Anda di halaman 1dari 31

Makalah Patologi Unggas

“Viral Arthritis/Tenosynofitis, Egg drop Syndrome,


InclutionBodyHepatitis, Chicken Anemia Virus”

OLEH:

Adzka Rani Maulida (2102101010117)

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS SYIAH KUALA
KOTA BANDA ACEH
2023
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Unggas adalah burung domestik yang diternakkan oleh manusia


untuk dimanfaatkan daging, telur, dan/atau bulunya. Umumnya, burung
yang digolongkan sebagai unggas merupakan bagian dari
ordo Galliformes (seperti ayam dan kalkun)dan Anseriformes (seperti bebe
k).untuk pengumpulan, penimbunan, pengambilan kembali data yang
diinginkan dan penayangan data keruangan yang berasal dari kenyataan
dunia. Unggas merupakan salah satu komoditas ternak yang sudah banyak
dikembangkan oleh masyarakat Indonesia. Unggas memiliki banyak
manfaat seperti telur dan dagingnya tidak terlepas dari kebutuhan konsumsi
sehari-hari. Perkembangan komoditas ternak Indonesia sudah sangat besar,
banyak industri perkembangan komoditas ternak dari yang kecil hingga
yang besar. Akan tetapi banyak rintangan yang harus dihadapi oleh banyak
peternak dikarenakan dalam menjalani industri pertenakan atau
perkembangbiakan unggas. Salah satunya penyakit unggas.
Penyakit pada unggas merupakan masalah serius yang menjadi
rintangan bagi para peternak. Penyakit yang terjadi pada unggas mampu
membuat produktivitas dan Kesehatan unggas tersebut terancam. Penyakit
pada unggas merupakan salah satu faktor yang mampu membuat indsutri
peternakan terancam dalam bidang ekonomi maupun kesejahteraan unggas
itu sendiri. Masyarakat Indonesia sendiri masih minim terhadap bahaya nya
penyakit yang menyerang unggas.
Penyakit yang menyerang unggas dapat disebabkan oleh virus,
jamur, bakteri, serta protozoa dan juga penyakit – penyakit yang disebutkan
tadi bisa saja menjadi wabah bagi para peternak dalam mengembangkan
perindustrian ternak. Wabah penyakit tersebut sangat merugikan bagi
pengusaha peternakan. Banyak unggas yang baru terkena virus ataupun
gejala gejala ringan harus segera dimusnahkan karena minimnya
pengetahuan akan jenis penyakit pada unggas. Akan tetapi peternak dapat
menghadapi masalah – masalah tersebut jika mampu dengan baik
menjalankan manajemen pemeliharaannya, manajemen pakan, manajemen
vaksinasi, manajemen lingkungan, dan manajemen perkandangan yang
baik.
Dikarenakan beberapa penyakit unggas juga bersifat zoonosis, yang
berarti mereka dapat menular dari unggas ke manusia, menimbulkan risiko
kesehatan masyarakat. Dalam suatu peternakan, penyakit unggas yang
diakibatkan oleh virus merupakan penyakit yang memberikan kerugian
yang besar pada peternakan. Pada umumnya, penyakit yang disebabkan oleh
virus tidak dapat diobati dan hanya dapat diberikan pengobatan suportif.
Maka dari itu sebelum peternakan terserang penyakit sebaiknya dilakukan
tindakan berupa pencegahan dengan meningkatkan biosecurity kendang.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apa itu penyakit viral Arthritis?
1.2.2 Apa itu penyakit Egg Drop Syndrome?
1.2.3 Apa itu penyakit Inclution Body Hepatitis?
1.2.4 Apa itu Chicken Anemia Virus?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Viral Arthritis/Tenosynofitis


2.1.1 Etiologi

Penyakit infeksius yang disebabkan oleh virus pada suatu


peternakan ayam pedaging, petelur maupun pembibitan ayam merupakan
suatu permasalahan yang harus senantiasa diwaspadai, karena sedikit saja
kontrol terhadap penyakit viral ini berkurang, maka akan muncul wabah
dalam suatu populasi yang akan mengakibatkan kerugian ekonomi pada
peternak. mengakibatkan kerugian ekonomi pada peternak. Penyakit viral
arthritis pada ayam, sepintas lalu tidak sepopuler penyakit-penyakit
infeksius yang disebabkan oleh virus lainnya seperti Newcastle Disease
(ND), Infectious Bronchitis (IB), Infectious Laryngotracheitis (ILT) dan
lain-lainnya.
Viral arthritis adalah suatu penyakit infeksius yang disebabkan oleh
avian reovirus dan menyebabkan kelemahan pada kaki, pincang dan
rusaknya tendon gastrocnemius. Menyatakan bahwa avian reovirus selain
menyebabkan viral arthritis, juga diperkirakan menjadi penyebab dari
stunting syndrom, enteritis/ malabsorption syndrom dan penyakit pada
saluran pernafasan (Dharmayanti dan Darminto, 2000).
Virus tersebut tidak mempunyai envelop, berbentuk simetris
ikosahedral dan mengandung asam inti RNA beruntai ganda. Reovirus
resisten terhadap panas, dapat stabil pada suhu 60°C selama 6–10 jam, 56o
C selama 22–24 jam, 37o C selama 15–16 minggu dan 22o C selama 48–51
minggu, 4o C selama 3 tahun, -20o C selama 4 tahun dan -63o C selama 10
tahun. Reovirus tidak sensitif terhadap eter tapi cukup peka terhadap
kloroform. Reovirus tahan pada pH 3 dan in aktif dengan etanol 70% dan
iodin organik 0,5%.
2.1.2 Epidemiologi

Viral arthritis pertama kali dilaporkan pada tahun 1957. Sejak saat
itu beberapa negara melaporkan adanya peningkatan penyakit ini pada
peternakan komersial. Di India, avian reovirus pertama kali dilaporkan
dengan ditemukannya lima serum positif avian reovirus dari sembilan ayam
yang terserang arthritis pada flok dengan populasi 220 ekor. Antibodi
terhadap reovirus memberikan reaksi positif pada uji agar gel precipitin test
(AGPT) dengan menggunakan antigen reovirus standar.
Pada tahun 1983, pernah terjadi wabah viral arthritis/tenosinovitis
pada peterna-kan komersial di Washington bagian Barat. Sumber dari
infeksi ini ternyata adalah ayam umur sehari yang disuplai dari peternakan
pembibitan terinfeksi. Sementara itu, kejadian viral arthritis di Indonesia
belum dilaporkan secara resmi. Tetapi gejala klinis serupa telah banyak
terjadi pada peternakan pembibitan di Indonesia. Agen penyebab viral
arthritis dapat diisolasi dari kalkun, angsa, itik, dan merpati. Tapi ayam lebih
peka terhadap penyakit ini dibandingkan dengan kalkun. Ayam tipe
pedaging mempunyai kepekaan lebih tinggi terhadap virus ini dibandingkan
dengan ayam tipe petelur. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan bobot
badan yang cepat pada ayam tipe pedaging, sehingga secara fisik tendon
menanggung beban yang lebih berat, sehingga menjadi faktor predisposisi
dari penyakit ini. Di samping itu, tendon ayam tipe pedaging mempunyai
kekuatan yang lebih rendah dan mempunyai struktur jaringan ikat fibrous
yang lebih terbuka dibandingkan dengan tipe petelur.
Penyakit dapat ditularkan secara horizontal maupun vertical. Secara
horizontal penyakit dapat menyebar dengan cepat pada flok ayam pedaging,
tetapi pada ayam petelur penyakit menyebar lebih lambat. Virus menyebar
melalui saluran pernafasan dan pencernaan. Virus dapat ditemukan didalam
feses dan menyebar secara lateral kea yam lainnya. Pada stadium viremia,
virus menyebar melalu darah dan kemudian terlokalisasi didalam jaringan
synovial dari tendo dan persendian. Secara vertical penularan penyakit
dapat terhadu melalui telur.

2.1.3. Patogenesis

Pada awalnya, lesi mengeluarkan eksudat bening yang selanjutnya


akan berubah menjadi purulen (bernanah). Terdapat akumulasi fibrin pada
tendon yang bengkak atau dapat terjadi hemoragi di atas persendian lutut.
Pada kejadian yang kronis, terdapat pengerasan dan penyatuan selubung
tendon dan tulang rawan persendian mengalami erosi. Lesi yang sama juga
dapat ditemukan pada persendian lainnya seperti persendian bahu.
Peradangan menyeluruh dapat terjadi pada daerah persendian lutut dan
tarsometatarsal. Tendon yang mengalami penebalan dan udema jaringan
persendian, dapat diikuti dengan eksudasi yang tidak nyata. Lesi sering
mengalami infeksi sekunder, sehingga eksudasi berubah menjadi purulen
atau mengalami perkejuan. Pada kasus lebih lanjut, akumulasi fibrin akan
dapat dilihat bersamaan dengan adanya infeksi Staphylococcus aureus.
Patogenitas reovirus dapat juga dikonfirmasikan dengan
menginokulasikan virus pada telapak kaki ayam umur sehari yang sensitif.
Jika patogen, maka akan tampak adanya peradangan pada telapak kaki
setelah 72 jam pasca infeksi. Inokulasi avian reovirus secara oral atau
suntikan pada telapak kaki pada ayam percobaan (specific pathogen
free/SPF) umur 1 hari, 2, 4, 6, dan 9 minggu menunjukkan bahwa kelompok
ayam muda lebih peka terhadap infeksi virus dibandingkan kelompok ayam
dengan umur yang lebih tua.

2.1.4 Gejala Klinis

Penyakit yang berhubungan dengan organ gerak seperti otot, tulang,


dan persendian pada umumnya menimbulkan manifestasi klinik seperti
pincang, kesulitan bergerak, lumpuh, dan kelainan dari tubuh. Demikian
juga dengan viral arthritis, gejala umum yang dapat diamati pada ayam yang
terserang penyakit ini berupa pembengkakan tendon metatarsal ekstensor
dan digital fleksor.
Dari flok yang terinfeksi, 1–10% menunjukkan kepincangan dengan
derajad yang bervariasi, kebengkakan sendi lutut dapat terjadi pada salah
satu sisi atau keduanya. Beberapa ayam yang terserang tampak malas untuk
bergerak, tidak dapat makan dan minum, sehingga ayam cepat mengalami
dehidrasi dan akhirnya mati. Tanda–tanda awal penyakit ini adalah adanya
kepincangan dan pembengkakan tendon. Kepincangan pada ayam akibat
penyakit ini terjadi pada ayam umur 6–7 minggu. Ayam yang terserang
terkadang masih dalam kondisi yang baik, tetapi beberapa ekor ayam
tampak menunjukkan kekerdilan. Kematian pada kasus ini biasanya cukup
rendah.

2.1.5 Diagnosa

Sebelum ditentukan diagnosis kausatif dari flok yang menunjukkan


gejala kepincangan, kebengkakan persendian atau rusaknya tendon
gastrocnemius disebabkan oleh virus, maka sebaiknya dilakukan
pemeriksaan terhadap lingkungan, keadaan ayam, sejarah, dan pemeriksaan
klinis.

2.1.6 Patologi Anatomi

Perubahan patologi anatomi yang terlihat antara lain kongesti,


pendarahan, pembengkakan hati, limpa, dan ginjal yang mirip dengan lesi.
Pada bentuk tenosynovitis dapat ditemukan adanya pembekakan pada
tendon, juga terdapat akumulasi fibrin pada tendon yang bengkak atau dapat
terjadi hemoragi di atas persendian lutut. Pada kejadian yang kronis,
terdapat pengerasan dan penyatuan selubung tendon dan tulang rawan
persendian mengalami erosi.

2.1.7 Histopatologi

Pada fase akut, yaitu 7–15 hari setelah infeksi, dapat dilihat adanya
edema, koagulasi, nekrosa, akumulasi heterofil, dan infiltrasi perivaskular
pada jaringan persendian. Sel-sel sinovial mengalami hipertropi dan
hiperplasia, terdapat infiltrasi limfosit dan makrofag serta proliferasi sel
retikular. Lesi lebih lanjut menyebabkan lapisan parietal dan viseral tendon
menebal. Ruangan sinovial terisi dengan sel heterofil dan makrofag. Adanya
periostitis ditandai dengan meningkatnya pertumbuhan osteoklas. Pada fase
kronis, yaitu 15 hari setelah infeksi, pada membran sinovial tumbuh vilus
dan terdapat adanya nodul-nodul limfoid. Peradangan menjadi lebih kronis
setelah 30 hari, terdapat pertumbuhan jaringan ikat dan infiltrasi yang parah
atau adanya proliferasi dari sel retikular, limfosit, makrofag, dan sel plasma.

2.1.8 Pengendalian, pengobatan dan pencegahan.

Penyebaran penyakit melalui penularan horizontal akan cepat terjadi


pada kandang dengan sistem tertutup (close house) dengan populasi yang
padat. Vaksinasi pada induk perlu dilakukan pada suatu peternakan
pembibitan (breeding) untuk mencegah terjadinya penularan secara vertikal
kepada keturunannya, di samping untuk melindungi induk tersebut terhadap
infeksi virus ini. Vaksinasi untuk menginduksi kekebalan maternal dapat
dilakukan dengan menggunakan vaksin reovirus yang telah mengalami
atenuasi dan dapat diaplikasikan secara subkutan atau dapat juga dengan
menggunakan vaksin aktif atau kombinasi keduanya. Aplikasi vaksin
reovirus yang telah diatenuasikan telah dikembangkan dari 235 seri pasase
avian reovirus strain S1133 pada kultur sel telur ayam bertunas dan 100
pasase pada kultur sel chicken embryo fibrolast (CEF) dari ayam SPF.
Vaksin aktif yang telah diatenuasikan dianjurkan diberikan pada ayam umur
muda, diikuti vaksinasi dengan vaksin yang lebih kuat (hotter) pada ayam
dengan umur lebih tua, dan vaksin in aktif diberikan pada ayam yang lebih
dewasa yang digunakan untuk meningkatkan antibodi maternal
keturunannya. Program vaksin yang dapat dilakukan untuk menekan
kejadian viral arthritis adalah sebagai berikut:
• Pada pembibitan ayam (breeding) Ayam umur 1-3 minggu,
sebaiknya divaksinasi dengan vaksin aktif/hidup yang telah
diatenuasikan dengan aplikasi melalui air minum. Pada ayam umur
8-12 minggu, divaksinasi dengan vaksin aktif/hidup dengan vaksin
yang lebih kuat (hotter) dengan aplikasi melalui air minum.
Sementara itu, ayam umur 16-20 minggu, vaksinasi dengan vaksin
in aktif/mati dengan aplikasi injeksi intramuskular.
• Pada broiler Umur 1-12 hari, vaksinasi dengan vaksin aktif/hidup
yang telah diatenuasikan dengan aplikasi melalui air minum.
Untuk mencapai hasil vaksinasi yang maksimal, bila vaksin viral
arthritis diberikan secara simultan dengan vaksin Marek, sebaiknya vaksin-
vaksin tersebut tidak diencerkan tapi dengan dosis penuh. Vaksinasi
reovirus pada peternakan pembibitan tampaknya memang suatu metode
yang efektif untuk mengontrol viral arthritis dan reovirus lainnya, tetapi
harus diingat bahwa vaksinasi hanya dapat digunakan untuk melawan
serotip yang homolog saja, sehingga program vaksinasi harus benar-benar
diseleksi terhadap adanya kasus penyakit ini. Ayam yang terinfeksi harus
diisolasi, kandang dibersihkan dengan seksama, sehingga dapat mengurangi
meluasnya penyakit ini dalam suatu populasi. Penggunaan desinfektan
kurang efektif untuk mengeliminir virus ini, tapi larutan iodin organik 0,5%
dapat digunakan untuk mengeliminir virus ini. Untuk mencegah penularan
secara vertikal, selain vaksinasi pada induk, sebaiknya pihak peternakan
pembibitan tidak menetaskan telur dari flok yang terinfeksi virus ini, untuk
mencegah penularan secara vertikal. Sistem all in all out juga dapat
mengurangi insiden penyakit ini.
2.2 Egg drop syndrome
2.2.1 Etiologi

EDS’76 disebabkan oleh adenovirus dari famili adevoviridae. Virus


EDS’76 dapat mengaglutinasi eritrosit ayam, itik. Dan kalkun. Virus
EDS’76 diduga berasal dari adenovirus itik. Materi genetic virus tersusun
dari DNA beruntau ganda (ds-DNA), bentuk icosahedral dan 70-100 nm.

2.2.2 Epidemiologi

Penyakit ditularkan secara vertical melalui telur dari induk ke


anaknya. Penularan juga dapat terjadi secara horizontal, biasanya
berlangsung lambat. Virus disebabkan melalui sekresi trakea. Penularan
daoat terjadi karena kontaminasi melalui makanan, minuman dan semen.
Virus tahan terhadap ether, choloroform, dan relatih tahan pada pH 3,0-10,0
serta suhu 4-50oC. Virus menjadi inaktif pada suhu 60oC selama 30 menit,
tetapi pada suhu 56oC tahan selama 3 jam. Virus juga tahan hidup dalam
larutan 0,5% formaldehida. Virus berkembang biak pada inti sel dari organ
terserang dan selanjutnya tampak sebagia inclusion bodies.virus EDS’76
juda dapat dibiakan pada jaringan fibroblast embrio itik, jaringan hati dan
ginjal anak ayam, serta fibroblast embrio ayam. Pertumbuhan virus ditandai
dengan adanya cytophatogenic effect (CPE).

Spesies rentan adalah ungags, seperti ayam, itik, kalkun, dan angsa.
Semua ayam dapat tertular penyakit ini, terutama pada ayam dewasa umur
26-55 minggu. Grand parent broiler dengan warna telur coklat lebih cepat
tertular dibandingkan denngan ayam bewarna telur putih.

2.2.3 Gejala Klinik

Gejala klinis EDS-76 tampak pada ayam berumur 25-35 minggu.


Gejala khas EDS berupa penurunan produksi dan kualitas telur. Kualitas
telur yang jelek dapat berupa hilang atau berkurangnya warna kulit telur,
kulit telur lunak, tipis atau bahkan tanpa kulit dan ukuran telur menjadi
sangat kecil (Gambar 2). Penurunan produksi telur dapat mencapai 40%,
keadaan ini dapat berlangsung 4-10 minggu, sehingga puncak produksi
tidak dapat tercapai (Suska 2009). Gejala lain yang terlihat adalah ayam
tampak sedikit lesu, nafsu makan berkurang, jengger, dan pial pucat serta
kadang disertai diare ringan. Ayam yang terserang EDS-76 sebelum dewasa
kelamin tidak dapat mencapai produksi telur secara optimal.
2.2.4 Patologi Anatomi

Gambar 2. Kerabang telur tipis

Pada umumnya tidak ada patologi anatomi yang spesifik, tetapi


kadang terlihat adanya inflamasi dan kebengkakan pada ovarium, tuba
falopii dan uterus. Pada unggas terinfeksi ovarium menjadi tidak aktif dan
terjadi atropi pada oviduct, uterus membengkak, dan terdapat eksudat
berwarna putih. Perubahan histopatologi dapat dilihat pada oviduct dan
uterus, terjadi degenerasi dan desquamasi pada sel epitel, atropi pada
glandula uterina dan infiltrasi heterofil, limfosit dan plasmasit. Intranuclear
inclusion bodies dapat ditemukan pada sel epitel dari uterus, istmus dan
daerah vagina.

2.2.5 Diagnose

Diagnosa dapat ditetapkan berdasarkan gejala klinis, patologi


anatomi ataupun pemeriksaan secara laboratoris. Isolasi virus dapat
dilakukan pada telur ayam berembrio (TAB) atau kultur jaringan. Pada
kultur jaringan pertumbuhan virus ditandai dengan adanya
cytopathogenic effect (CPE). Identifikasi virus dapat dilakukan dengan uji
Haemaglutinasi Inhibition (HI), Flourescent Antibody Technique (FAT),
Agar Gel Precipitation (AGP), dan Virus Neutralization (VN).

2.2.6 Penyebaran Penyakit

Penyakit EDS dapat ditularkan secara vertikal dan horizontal. Secara


vertikal melalui telur dari induk ke anaknya. Penularan secara horizontal,
namun biasanya berlangsung lambat. Virus masuk melalui pakan dan air
minum yang terkontaminasi sekresi trakhea.
EDS dapat dikelirukan dengan beberapa penyakit lain seperti
Newcastle Diseases (ND) dan Infectious Bronchitis (IB). Dari segi
penurunan produksi telur dengan disertai produksi telur yang lembek dapat
dikelirukan dengan Newcastle Diseases. Dari segi ukuran telur dan bentuk
abnormal atau pengapuran kerabang tidak rata dapat dikelirukan dengan
Infectious Bronchitis.

2.2.7 Pengobatan, pencegahan, pengendalian

Penanggulangan yang dapat dilakukan untuk mengendalikan egg


drop syndrome adalah culling (pengeluaran ternak dari populasi).
Pemberian antibiotik hanya mencegah terjadinya infeksi sekunder namun
tidak akan mengurangi gejala penyakit dan keparahan. Saluran reproduksi
ayam yang terinfeksi virus EDS menyebabkan terjadinya perubahan
anatomis persisten sehingga kualitas telur tetap rendah.
Pengendalian dan pencegahan dimulai dengan perbaikan
manajemen peternakan meliputi sanitasi kandang (kandang dibersihkan,
dicuci), membatasi tamu, mencegah hewan liar dan hewan peliharaan lain
masuk ke lingkungan kandang serta sanitasi sarana angkutan yang akan
masuk kandang.
Pencegahan terhadap EDS-76 dapat dilakukan dengan melakukan
vaksinasi pada ayam menjelang produksi, yakni 3-4 minggu sebelum
bertelur. Penularan EDS-76 dari itik atau angsa dapat dihindari dengan cara
mencegah kontak antara unggas tersebut dengan peternakan ayam,
menghindari penggunaan air minum dari sumber yang tercemar oleh unggas
tersebut. Virus EDS-76 dapat ditularkan secara vertikal, oleh karena itu
disarankan hanya beternak ayam yang berasal dari perusahaan pembibitan
yang bebas dari virus tersebut.

2.3 Inclution Bodies Hepatitis


2.3.1 Etiologi

IBH berasal dari kelompok Adenovirus (AdV) yang merupakan


virus double strand DNA tidak beramplop. Adenovirus yang menyerang
ayam dari Fowl Adenovirus (FAdV). FAdV yang menyebabkan penyakit
IBH adalah spesies FAdV Grup 1. IBH hanyalah salah satu penyakit yang
dimuncul akibat FAdV. Virus IBH berkembang biak pada inti sel dari
hewan yang terserang dan pada umumnya menimbulkan intranuklear
inklusion bodi yang meluas. Virus terbagi dalam 3 grup antigen, yang
masing-masing dapat dideteksi melalui uji Agar Gel Presipitation Test
(AGPT) dan Neutralisation Test (NT). Virus AAV tersusun oleh asam
dioksinukleat (DNA), protein dan lemak. Kapsidnya tersusun atas 252
capsomer, berbentuk kuboid dan mempunyai tipe simetri ikosahedral yang
bergaris tengah 69 - 76 nm. Kapsid ini tidak mempunyai selubung. Virus
stabil pada suhu 56°C selama 3 jam, tahan dalam keadaan asam dan tahan
terhadap ether dan chloroform. Tetapi Virus ini tidak tahan terhadap
disinfektan yang mengandung formaldehid dan Iodin. Berikut klasifikasi
Adenoviridae pada unggas :

2.3.2 Epidemiologi

Inclusion Body Hepatitis (IBH) pertama kali ditemukan oleh


Helmboldt dan Frazier pada tahun 1963 di Amerika Serikat. Penyakit ini
telah dilaporkan di banyak negara lain di dunia. Dalam beberapa tahun
terakhir, kemunculan kembali IBH telah meningkatkan pentingnya infeksi
adenovirus di industri unggas. Penyakit ini pertama kali dideskripsikan pada
ayam pedaging muda di Angara Goth, Pakistan, pada tahun 1987. Setelah
itu, menyebar ke seluruh Pakistan serta negara tetangga seperti India. IBH
dicatat kemudian di Irak, Meksiko, Ekuador, Peru, Chili, Amerika Selatan
dan Tengah, Slovakia, Rusia dan Jepang (Shiyamala, 2020). Di Indonesia
penyakit ini sudah tersebar di daerah Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Bali.

2.3.3 Cara Penularan

Penularan penyakit terjadi secara horisontal dan vertikal. Secara


horisontal bisa melalui kotoran (feses), makanan, air atau minuman dan
lingkungan yang tercemar virus atau langsung dari hewan sakit kepada
hewan sehat. Penularan secara vertikal telah terjadi pada anak ayam yang
berasal dari peternakan pembibit yang terinfeksi dengan serotipe AAV 4
dan 8 (Pedro Villegas et al., 2017). Transmisi horizontal juga bisa terjadi
karena anak ayam yang masih kecil kontak dengan ayam yang terinfeksi
lainnya. Karena sifat virusnya tahan terhadap lingkungan maka
kemungkinan virus dapat menyebar secara perlahan lahan dari satu kandang
ke kandang lainnya. Infeksi yang tidak menunjukkan gejala klinis diduga
dapat menjadi agen penyebar penyakit terutama pada ayam yang terganggu
sistem kekebalannya.

2.3.4 Gejala Klinis

Masa inkubasi pada kasus alami sangat singkat yaitu hanya sekitar
1-2 hari. Kasus IBH di lapangan cenderung akut dengan menunjukkan
gejala klinis tertentu selama beberapa jam dan kemudian mati.

Berdasarkan rangkuman pengiriman sampel yang sudah dilakukan


peneguhan diagnosa dengan uji PCR menunjukkan bahwa gejala klinis IBH
pada ayam ditandai dengan gejala kematian cukup tinggi, lemas, nafsu
makan menurun, terlihat pucat dan depresi, kadang-kadang feses berwarna
putih encer, serta bulu yang kusam dan acak-acakan. Tingkat mortilitas atau
kematian mendadak yang terjadi akibat penyakit ini dapat mencapai kisaran
240%, sedangkan angka morbiditasnya masih rendah.
Apabila ayam dibedah dapat terlihat hati bengkak berwarna belang
kekuningan terkadang pucat, rapuh dan kadang ditemukan bercak
perdarahan (haemoragi). Ginjal tampak pucat dan bengkak. Pada otot dada
dan paha kadang ditemukan juga adanya perdarahan bercak.

Ditemukan juga perubahan atropi (pengecilan) yang dialami bursa


Fabrisius, limpa dan timus yang merupakan organ penting dalam sistem
kekebalan tubuh menyebabkan ayam lebih rentan terhadap penyakit. Infeksi
IBH pada jantung juga menyebabkan terjadinya akumulasi cairan bening di
kantung perikardial (hydropericard) dan ditemukan adanya gizzard erosion.

Gejala spesifik yang terlihat pada ayam terserang penyakit IBH yaitu pucat
pada jengger, cuping, kulit, dan kulit wajah. Gangguan pernafasan umumnya
terjadi pada anak ayam. Pada ayam dewasa kadang terjadi penurunan produksi
telur. Hepatitis dapat terjadi pada 4 hari pasca infeksi, organ hati, sumsum tulang
terlihat pucat. Mordibitas lebih rendah dari pada mortalitas. Angka kematian yang
disebabkan oleh IBH bervariasi biasanya di bawah 10%, tetapi bisa lebih dari 30%
(Otto, 2020).
2.3.5 Perubahan Histopatologi
Pada nekropsi, hati membengkak berwarna kuning kecoklatan,
terdapat bercak, perdarahan, ptechiae dan echymotic di bawah membran dan
dalam parenchyma, serta konsistensinya lembek. Parenkim hati tersumbat
dan perdarahan petekie, terlihat pada permukaan hati dengan keterlibatan
difus kedua lobus (Gambar 1.)

Ginjal tampak bengkak dan pucat (Gambar 2.). Hepatitis fokal


dengan infiltrasi sel inflamasi mononuklear dicatat. Besar badan inklusi
intra-nuklir eosinofilik terlihat di hepatosit (Gambar 3.). Ginjal
menunjukkan hiperemia parah, degenerasi sel epitel tubular, seluler intra-
tubular pembentukan gips, dan nefritis interstitial ringan. Fokus ringan
miokarditis, dengan degenerasi serat otot yang terlihat di bagian hati. Bursa
fabrikasi menunjukkan eksudat keju pembesaran ringan dan perdarahan di
folikel bursal (Gambar 4.)
Pada pemeriksaan mikroskopis pada bagian hati terlihat adanya
kongesti parenkim hepatik. Degenerasi hepatosit yang ditandai dengan
pembengkakan seluler, kariomegali, perubahan vakuola dalam sitoplasma.
Terjadi hemoragi pada hati dan organ hati ditemukan adanya perivaskuler
kaffing (Gambar 3). Perubahan distrofi difus dengan hilangnya nukleus dan
batas seluler hepatosit diamati.. Adanya badan inklusi globular besar
intranuklear basofilik (Gambar 4) dan bersifat eosinofilik dengan ukuran
hepatosit yang membesar. Inclusion bodies berukuran variabel dengan bola
kecil hingga ukuran besar menempati sel lengkap (hepatosit) yang
menunjukkan sedikit sitoplasma. Bursa diamati dengan perubahan
degeneratif sesekali dan heamorrhage di folikel. Bagian ginjal menunjukkan
gambaran nekrotik dan degeneratif dari parenkim ginjal. Pembengkakan
glomerulus diamati dengan akumulasi kandungan eosinofilik di ruang
glomerulus. Tubulus ginjal menunjukkan pembengkakan seluler pada epitel
tubulus, nefrosis difus dan nekrosis. Beberapa bagian menunjukkan fokus
hemoragik yang luas dengan glomerulonefritis. Edema interstisial dan
infiltrasi fokal sel mononuklear antara tubulus ginjal. Limpa
mengungkapkan deplesi multifokal limfosit pada pulpa putih. Ada
gangguan pada pulpa putih dan merah dengan adanya fokus berwarna gelap
pada kongesti dan perubahan hemoragik. Area perdarahan subkapsular yang
menyebar. Jantung menunjukkan adanya dilatasi jantung yang menyebar
dan panjang serabut jantung yang tidak normal di seluruh bagian.
Pada pemeriksaan mikroskopis pada bagian hati terlihat adanya
kongesti parenkim hepatik. Degenerasi hepatosit yang ditandai dengan
pembengkakan seluler, kariomegali, perubahan vakuola dalam sitoplasma.
Terjadi hemoragi pada hati dan organ hati ditemukan adanya perivaskuler
kaffing (Gambar 3). Perubahan distrofi difus dengan hilangnya nukleus dan
batas seluler hepatosit diamati.. Adanya badan inklusi globular besar
intranuklear basofilik (Gambar 4) dan bersifat eosinofilik dengan ukuran
hepatosit yang membesar. Inclusion bodies berukuran variabel dengan bola
kecil hingga ukuran besar menempati sel lengkap (hepatosit) yang
menunjukkan sedikit sitoplasma. Bursa diamati dengan perubahan
degeneratif sesekali dan heamorrhage di folikel. Bagian ginjal menunjukkan
gambaran nekrotik dan degeneratif dari parenkim ginjal. Pembengkakan
glomerulus diamati dengan akumulasi kandungan eosinofilik di ruang
glomerulus. Tubulus ginjal menunjukkan pembengkakan seluler pada epitel
tubulus, nefrosis difus dan nekrosis. Beberapa bagian menunjukkan fokus
hemoragik yang luas dengan glomerulonefritis. Edema interstisial dan
infiltrasi fokal sel mononuklear antara tubulus ginjal. Limpa
mengungkapkan deplesi multifokal limfosit pada pulpa putih. Ada
gangguan pada pulpa putih dan merah dengan adanya fokus berwarna gelap
pada kongesti dan perubahan hemoragik. Area perdarahan subkapsular yang
menyebar. Jantung menunjukkan adanya dilatasi jantung yang menyebar
dan panjang serabut jantung yang tidak normal di seluruh bagian.

2.3.6 Diferensial Diagnosa

Penyakit ini mirip dengan Infectious Bursal Disease (IBD) atau Chicken
Anemia Virus (CAV).

2.3.7 Penanggulanan Penyakit


a. Pengobatan
Seperti pada penyakit yang disebabkan virus lainnya, belum ada
pengobatan untuk penyakit ini, antibiotik diberikan untuk mencegah infeksi
sekunder oleh bakteri. Sulfonamide akan menjadi kontra indikasi jika
unggas menunjukkan adanya penyakit hematologi atau menunjukkan
adanya immunosupres
b. Pencegahan
Pencegahan infeksi paling baik dilakukan dengan praktek
manajemen yang optimal, meliputi sanitasi/desinfeksi yang ketat dan
program pencegahan penyakit imunosupressif yang optimal. Vaksinasi
dilakukan pada ayam pembibit dalam waktu 3-4 minggu sebelum bertelur
untuk mencegah penularan virus tersebut secara vertikal dan mencegah
kejadian penyakit tersebut pada anak ayam. Anak ayam yang memiliki
antibodi maternal tinggi biasanya tahan terhadap infeksi awal.
2.4 Chicken Anemia Virus
2.4.1 Etiologi

Chicken anemia syndrome disebabkan oleh Chicken Anemia Agent


(CAA), termasuk grup Circovirus. Virus berukuran 18-26,5 nm, tergolong
ss-DNA, tidak beramplop dan berbentuk ikosahedral. Virion mempunyai
densisitas di dalam cesium chloride (CsCI) bertingkat adalah 1,33-1,37
q/ml. Genom virus memiliki panjang 2319 bp dan mengandung tiga bagian
utama open reading frame (ORF) yang saling tumpang tindih, baik sebagian
maupun keseluruhan yang terletak pada satu untaian.

2.4.2 Epidemiologi
1. Sifat Alami Agen

Virus Chicken Anemia (CA) resisten terhadap chloroform dan etil


ether. Virus stabil pada pH resisten terhadap pemanasan suhu 56 C selama
3 jam, 70°C selama 1 jam, suhu 80 C selama 15-30 menit, dan menjadi
inaktif secara lengkap pada suhu 100°C selama 15 menit. Virus yang
diinaktivasi dengan aseton 90% selama 24 jam pada suhu kamar tetap hidup
setelah disuntikkan pada biakan sel MDCC-MSB1, akan tetapi
infektivitasnya segera rusak dengan penambahan fenol 50% selama 5 menit.
Virus CA dapat ditumbuhkan secara in vitro pada biakan sel dan in vivo
pada telur ayam berembrio disamping itu dapat juga ditularkan pada ayam
percobaan. Biakan sel yang paling baik digunakan adalah cell line
limfoblastoid sel T seperti MDCC-MSB1, MDCC-JP2 dan limfoblastoid sel
B seperti LSCC- 1104B1. Pada biakan sel tersebut terjadi cytopathogenic
effect (CPE) setelah 4-7 pasase. Puncak infektivitas virus yang berasosiasi
sel terjadi 36 dan 42 jam setelah inokulasi, sedangkan virus keluar dari sel
setelah 48-72 jam. Rata-rata multiplikasi terjadi antara 10 dan 100 kali lipat.
Titer virus dapat ditingkatkan dengan cara pasase setiap 2-4 hari, akan tetapi
pengaruh pasase ini menyebabkan penurunan infektivitas dan
imunogenisitas virus. Pada telur ayam berembrio virus dapat tumbuh pada
selaput kuning telur dan virus dalam jumlah yang cukup dapat dideteksi di
dalam embrio 14 hari pasca infeksi.
Anak ayam umur 1 hari yang diinfeksi dengan virus CA dengan titer
108,25 Jo dada m glams unhe wand a innie impla and date Sean, way a
anigenician atau sel-sel yang mengandung badan-badan inklusi intranuklear
ditemukan pada berbagai jaringan, akan tetapi biasanya di dalam jaringan
limfoid. Antigen paling banyak ditemukan adalah pada timus, limpa,
sumsum tulang, proventrikulus dan duodenum.

2. Spesies Rentan
Ayam semua umur dapat terinfeksi oleh CAV terutama ayam muda
dengan umur kurang dari dua minggu yang tidak memiliki antibodi
maternal. Namun demikian, resistensi terhadap CAV akan meningkat sesuai
dengan bertambahnya umur. Selain ayam, CAV juga dapat menyerang
unggas lain yaitu burung puyuh yang diketahui dari hasil survei serologis di
Jepang.

3. Sifat Penyakit
Tingkat morbiditas penyakit ini tergolong tinggi dan mortalitas
dapat mencapai 60% terutama pada flok broiler. Mortalitas yang tinggi
dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain strain virus yang virulen,
dosis dan rute infeksi, adanya infeksi patogen seperti virus Mark's,
retikuloendotheliosis dan ID,serta bahan kimia yang bersifat imunosupresif,
seperti betamethasone atau siklosporin A. Adanya pengaruh imunosupresif
sehingga ayam menjadi lebih peka terhadap infeksi sekunder lain. Infeksi
CA didahului dengan masuknya virion ke dalam sel dengan cara absorpsi
dan penetrasi. Selanjutnya virus bereplikasi di dalam inti sel yang dapat
dideteksi dengan FAT setelah infeksi puncak. Sebagai akibat pertumbuhan
virus terutama pada limfosit timus menyebabkan deplesi sel yang hebat,
diikuti dengan distribusi antigen virus di dalam timus dan sumsum tulang.
Anak ayam umur 1 hari specific pathogenic free (SPF) yang terinfeksi CAA
akan teriadi infeksi sel-sel T precursor di dalam timus dan limfosit T dewasa
di dalam limpa.

Penyakit in dapat ditularkan secara horizontal maupun vertikal.


Meskipun virus cepat menyebar di antara kelompok ayam, tetapi penularan
secara vertikal melalui telur merupakan cara penyebaran penyakit yang
terpenting. Penularan secara vertikal pada infeksi alami dapat berlangsung
selama 3-6 minggu, namun pada infeksi buatan pada telur hanya selama 8-
14 hari pasca infeksi. Ayam terserang tidak menunjukkan gejala klinis yang
jelas, tetapi terlihat adalah penurunan produksi telur, daya tetas atau
fertilitas.

2.4.3 Gejala Klinis

Pada kasus akut gejala klinis muncul pada ayam umur 7-14 hari,
ditandai dengan hambatan pertumbuhan dan anoreksia. Pada bagian muka,
pial dan jengger tampak pucat, bulu ayam berdiri disertai dengan terjadinya
peningkatan mortalitas ayam sekitar 5-16%, tetapi pernah mencapai 60%.
Kepucatan ayam tersebut disebabkan atropi jaringan hematopoietik pada
sumsum tulang, perdarahan subkutan dan otot serta atropi pada organ
limfoid. Selain itu sering ditemukan gejala berupa lesi fokal pada kulit,
terutama sayap, kepala, leher, ekor, dada, abdomen, paha, tibia dan kaki.
Lesi dapat berupa perdarahan pada kulit berbentuk echimotik atau
kerusakan dengan warna kebiruan yang disebut blue wing disease. Jika
disertai infeksi sekunder oleh bakteri biasanya mengeluarkan eksudat
serosanguinus yang bening dan encer, sehingga menimbulkan dermatitis
gangrenosa.

2.4.4 Patologi Anatomi

Patologi yang paling konsisten adalah di timus, sumsum tulang,


limpa dan bursa, kadang-kadang di otot jantung dan hati. Timus dan bursa
Fabricious mengalami atropi dari sedang sampai hebat dan sumsum tulang
warnanya kuning sampai pucat. Disamping itu terjadi pula perdarahan yang
hebat di bawah kulit dan otot serta perdarahan ptekie pada proventrikulus.
Hati membengkak dan sangat pucat atau anemis. Selain itu terjadi kepucatan
. karkas pada umur 7-21 hari pascainfeksi. Perubahan juga terjadi pada
sumsum tulang femur menjadi berwarna kekuningan pad 12 pascainfeksi,
kemudian kembali normal kemerahan pada 20 hari pascainfeksi. Hati
mengalami pembengkakan dan berwarna kekuningan.
2.4.5 Histopatologi
Perubahan histopatologi dari jaringan yaitu terjadi kerusakan sel-sel
eritroblastoid dan granuloblastoid dalam sumsum tulang dan menghasilkan
anemia sera panleukopenia. Folikel bursa Fabricius mengalami degenerasi
hidrofik atau membengkak dengan inti yang besar, mengandung badan-
badan inklusi eosinofilik. Jaringan interfolikel dan folikel kecil diinfiltrasi
oleh limfosit diikuti proliferasi sel retikuler dan setelah 20-24 hari terjadi
repopulasi limfosit. Terjadi pembesaran limfoblas pada timus dan bersifat
fokal di sebelah luar kortek. Sel-sel yang membesar mempunyai sitoplasma
yang kabur dan karyomegali ringan. Beberapa sel berisi badan-badan
inklusi eosinofilik sirkuler kecil. Disamping itu terjadi deplesi limfosit
kortek. Sejumlah sel terlihat sangat membesar memperlihatkan karyomegali
di sebelah luar kortek dan di dalam inti sel terdapat badan inklusi eosinofilik
kecil bentuknya sirkuler. Sel-sel debris dan degenerasi dengan kromatin
yang mengalami marginasi juga ditemukan di luar kortek. Pada kasus yang
hebat seluruh susunan dari timus hilang, batas antara kortek dan medula
tidak jelas. Ayam yang sembuh setelah 20-24 hari terjadi repopulasi sel-sel
limfosit dan morfologi sel Kembali normal setelah 32-36 hari.
Hemositoblas dari sumsum tulang sangat membesar dengan
kromatin granuler di dalam dan di luar sinusoid hemasitoblas mengandung
inklusi tunggal atau multipel bersifat eosinofilik intranuklear. Selanjutnya
juga terjadi deplesi yang menyebar dan moderat dari sel eritroid dan
mioloid. Kadang- kadang beberapa ayam yang terinfeksi CAA di dalam
sumsum tulang dapat ditemukan sel-sel limfosit. Jaringan limfoid limpa
mengalami atropi dengan hiperplasia sel-sel retikuler di dalam folikel
limfoid maupun di dalam Schweiger-Seidel sheath. Beberapa sel intinya
membesar dengan nukleoli eosinofilik atau amfofilik dan di dalam inti sel
terdapat inklusi eosinofilik. Sel-sel limfoid limp mengalami deplesi sedang
sampai hebat, sejumlah sel mengandung nukleoi yang membesar. Sel-sel
limfoid pada provetrikulus terkumpul pada lamina propria. Pada paru
terdapat kumpulan sel limfoid dan di dalam inti sel terdapat inklusi
eosinofilik. Terjadi nekrosis multifokal sampai hebat sentrilobuler dari hat
serta infiltrasi limfosit, dan makrofag periportal dan vaskuler. Sel-sel hati
membengkak dan sinusoid terlihat dilatasi. Pada ginjal terdapat infiltrasi
limfosit interstitial. Disamping itu terdapat kumpulan sel limfoid dengan inti
membesar dan di dalam inti sel terdapat inklusi eosinofilik Perubahan pada
jantung terjadi proliferasi multifokal sel-sel interstitial ventrikuler,
disamping itu terlihat epikarditis multifokal ringan dan kadang- kadang
diinfiltrasi fokal oleh sel-sel mononuklear seperti limfosit, sel plasma dan
makrofag. Pada beberapa kasus juga ditemukan radang granulomatous di
dalam miokardium dan epikardium.

2.4.6 Patologi Klinis

Perubahan hematologis ditandai dengan PCV kurang dari 29%


bahkan kurang dari 10%. Kerusakan sel-sel eritroblastoid dan
granuloblastoid di dalam sumsum tulang mengakibatkan anemia dan
panleukopenia. Disamping itu terjadi pula penurunan jumlah eritrosit dan
trombosit yanq umumnya terjadi 8 hari pasca infeksi. Waktu penjendalan
darah menurun dan plasma darah menjadi lebih pucat.

2.4.7 Diagnosa

Penyakit in dapat didiagnosa berdasarkan epidemiologis, gejala


klinis, patologi, isolasi dan identifikasi agen penyebab. Berbagai uji dapat
digunakan seperti uji virus neutralization (VN), Enzyme Linked
Immunosorbent Assay (ELISA) menggunakan antibodi monoclonal.
Antigen yang terdapat di dalam potongan jaringan dapat dideteksi dengan
Indirect Immunoflorescence (IF) dan Immunoperoxidase (IP) menggunakan
antibodi poliklonal, atau Avidin Biotin Peroxidase Complex (ABPC).
Teknik yang lebih maju telah dikembangkan pula seperti hybridization in
situ dan Polymerase Chain Reaction (PCR).
2.4.8 Diferensial Diagnosa

Ada beberapa penyakit unggas yang gejalanya sangat mirip dengan


CAS adalah Inclusion Body Hepatitis (IBH) yang juga menyebabkan
anemia, penyakit Marek' dan IBD menyebabkan atropi jaringan limfoid
dengan lesi histologis tipikal, akan tetapi tidak menyebabkan anemia.
Disamping itu pada peristiwa keracunan sulfonamida dosis tinggi tau
mikotoksin seperti aflatoxin dapat menyebabkan anemia aplastik dan
sindroma hemoragi.

2.4.9 Pengobatan, Pencegahan, dan Pengendalian

• Pengobatan
Pengobatan dengan antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder
dapat membantu menurunkan kasus.

• Pencegahan
Pencegahan dilakukan dengan cara vaksinasi, paling efektif adalah
melakukannya pada breeder yaitu umur 18 mingqu agar
keturunannya memiliki antibodi maternal yang dapat melindunginya
dari serangan CAS sampai pada umur 6 minggu. Vaksinasi dapat
dilakukan dengan vaksin inaktif atau vaksin akfif yang telah
dilemahkan (atenuated live vaccine). Anak ayam umur 1 hari yang
diinfeksi dengan CAS, respon antibody sangat jelek. Antibodi tidak
dapat dideteksi sampai 3 minggu pasca infeksi. Titer antibodi bar
meningkat dari titer 1 : 80 meningkat menjadi 1 : 320 setelah 4
minggu. Pembentukan antibodi humoral tertunda kira- kira 1
minggu apabila ayam diinfeksi peroral. Antibodi maternal dapat
melindungi anak ayam terhadap CAS. Wabah CAS yang terjadi di
lapangan dapat disebabkan tidak adanya antibody maternal pada
anak ayam yang diturunkan dari induk. Namun dengan antibodi
maternal ini akan menghambat respon antibodi pasca vaksinasi
karena teriadi netralisasi virus vaksin.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Penyakit unggas merupakan penyakit yang cukup serius bagi


masyarakat dan suatu peternakan. Karna memberikan dampak yang cukup
besar pada peternakan berupa kerugian dan masalah Kesehatan bagi
konsumen yaitu masyarakat. Oleh karena itu masyarakat harus paham dan
peka terhadap bahaya nya penyakit yang terjadi pada unggas.

Beberapa manajemen dalam mewaspadai dan mencegah penyakit


penyakit tersebut dengan cara menjalankan manajemen pemeliharaannya,
manajemen pakan, manajemen vaksinasi, manajemen lingkungan, dan
manajemen perkandangan yang baik. Contoh nya sebagai berikut :

• Jangan mencampur antara ayam baru dan ayam lama


• Menjaga kebersihan kandang secara teratur
• Mencegah masuknya hewan-hewan lain masuk ke kandang
• Tempatkan makanan ayam pelung pada wadah yang tertutup

• Tingkatkan pemberian makanan yang bergizi dan banyak vitamin


• Dan lain lain.
DAFTAR PUSTAKA

Disnak Jatim. 2012. Mengenal Penyakit Ayam Petelur : Egg Drop Syndrome 1976.
[terhubung berkala] http://disnak.jatimprov.go.id/web/layananpublik/
readartikel/702/mengenal-penyakit-ayam-petelur---egg-drom-syndrome-
1976#.VnI2bF5UNFs (diunduh pada 2015 Desember 17).

Hess M. 2000. Detection and differentiation of adenoviruses : a review. Avian


Pathology. 29 : 195-206.

Kementan. 2014. Manual Penyakit Unggas. Jakarta : Kementerian Pertanian.

Kumar, V., Kumar, R., Chandra, R., Bhatt, P. and Dhama, K. (2013). Outbreaks of
inclusion body hepatitis (ibh) in chickens: pathological studies and
isolation of fowl adenovirus. Advances in Animal and Veterinary Sciences,
1(3): 21-24.

McFerran JB dan Adair BM. 2003. Diseases of poultry : Egg drop syndrome
11thedision. Iowa state press

Ng FK, Sing KL, Yeo SC dan Ng SH. 1980. Studies on Egg Drop Syndrom 1976
in Singapura. Sing. Vet. J. 4 : 36-51

Pedro Villegas. (2017). Overview of inclusion body hepatitis/hydropericardium


syndrome in poultry in merck veterinary manual. Merck & Co Inc. NJ
USA.

Pudjiatmoko. (2014). Manual Penyakit Unggas. Direktorat Kesehatan Hewan,


Jakarta.

Rahimi, M. and Haghighi, Z. M. S. (2015). Adenovirus-like inclusion body hepatitis


in a flock of broiler chickens in Kermanshah province, Iran. Veterinary
Research Forum. 6(1): 95 – 98.

Shiyamala, S., Chandrashekhar, M., Jadhav, S.N., Kadam, A.S. and Kamdi, B.P.
(2020). Pathological investigation into outbreak of inclusion body hepatitis
from poultry flocks. Journal of Entomology and Zoology Studies. 8(3):
170-174.

Silaen, O. S. M., Murtini, S., Pamungkas, J. and Nugroho, C. M. H. (2020).


Isolation and molecular characterization of fowl aviadenovirus associated
with inclusion body hepatitis from poultry in Banten and West Java,
Indonesia. Veterinary World, EISSN: 2231-0916.
Suska, D. 2009. Waspada 3 Penyakit Utama Turunnya Produksi Telur. [tersedia
pada] http://www.majalahinfovet.com/2009/01/waspada-3-penyakit-utama-
penyebab.html (diunduh pada 2015 Desember 20)

Van Eck JHH, Davelaar FG, Van den Heuvel-Plesman TAM, Van Kol, N
Kouwenhoven B, Guldic FHM. 1976. Dropped Egg Production, Soft Shell
and Shell-less Egg Associated with Appearance of Precipitatins to
Adenovirus in Flock of Laying Fowls. Av . Pathol. 5 : 261-276.

Anda mungkin juga menyukai