OLEH:
Viral arthritis pertama kali dilaporkan pada tahun 1957. Sejak saat
itu beberapa negara melaporkan adanya peningkatan penyakit ini pada
peternakan komersial. Di India, avian reovirus pertama kali dilaporkan
dengan ditemukannya lima serum positif avian reovirus dari sembilan ayam
yang terserang arthritis pada flok dengan populasi 220 ekor. Antibodi
terhadap reovirus memberikan reaksi positif pada uji agar gel precipitin test
(AGPT) dengan menggunakan antigen reovirus standar.
Pada tahun 1983, pernah terjadi wabah viral arthritis/tenosinovitis
pada peterna-kan komersial di Washington bagian Barat. Sumber dari
infeksi ini ternyata adalah ayam umur sehari yang disuplai dari peternakan
pembibitan terinfeksi. Sementara itu, kejadian viral arthritis di Indonesia
belum dilaporkan secara resmi. Tetapi gejala klinis serupa telah banyak
terjadi pada peternakan pembibitan di Indonesia. Agen penyebab viral
arthritis dapat diisolasi dari kalkun, angsa, itik, dan merpati. Tapi ayam lebih
peka terhadap penyakit ini dibandingkan dengan kalkun. Ayam tipe
pedaging mempunyai kepekaan lebih tinggi terhadap virus ini dibandingkan
dengan ayam tipe petelur. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan bobot
badan yang cepat pada ayam tipe pedaging, sehingga secara fisik tendon
menanggung beban yang lebih berat, sehingga menjadi faktor predisposisi
dari penyakit ini. Di samping itu, tendon ayam tipe pedaging mempunyai
kekuatan yang lebih rendah dan mempunyai struktur jaringan ikat fibrous
yang lebih terbuka dibandingkan dengan tipe petelur.
Penyakit dapat ditularkan secara horizontal maupun vertical. Secara
horizontal penyakit dapat menyebar dengan cepat pada flok ayam pedaging,
tetapi pada ayam petelur penyakit menyebar lebih lambat. Virus menyebar
melalui saluran pernafasan dan pencernaan. Virus dapat ditemukan didalam
feses dan menyebar secara lateral kea yam lainnya. Pada stadium viremia,
virus menyebar melalu darah dan kemudian terlokalisasi didalam jaringan
synovial dari tendo dan persendian. Secara vertical penularan penyakit
dapat terhadu melalui telur.
2.1.3. Patogenesis
2.1.5 Diagnosa
2.1.7 Histopatologi
Pada fase akut, yaitu 7–15 hari setelah infeksi, dapat dilihat adanya
edema, koagulasi, nekrosa, akumulasi heterofil, dan infiltrasi perivaskular
pada jaringan persendian. Sel-sel sinovial mengalami hipertropi dan
hiperplasia, terdapat infiltrasi limfosit dan makrofag serta proliferasi sel
retikular. Lesi lebih lanjut menyebabkan lapisan parietal dan viseral tendon
menebal. Ruangan sinovial terisi dengan sel heterofil dan makrofag. Adanya
periostitis ditandai dengan meningkatnya pertumbuhan osteoklas. Pada fase
kronis, yaitu 15 hari setelah infeksi, pada membran sinovial tumbuh vilus
dan terdapat adanya nodul-nodul limfoid. Peradangan menjadi lebih kronis
setelah 30 hari, terdapat pertumbuhan jaringan ikat dan infiltrasi yang parah
atau adanya proliferasi dari sel retikular, limfosit, makrofag, dan sel plasma.
2.2.2 Epidemiologi
Spesies rentan adalah ungags, seperti ayam, itik, kalkun, dan angsa.
Semua ayam dapat tertular penyakit ini, terutama pada ayam dewasa umur
26-55 minggu. Grand parent broiler dengan warna telur coklat lebih cepat
tertular dibandingkan denngan ayam bewarna telur putih.
2.2.5 Diagnose
2.3.2 Epidemiologi
Masa inkubasi pada kasus alami sangat singkat yaitu hanya sekitar
1-2 hari. Kasus IBH di lapangan cenderung akut dengan menunjukkan
gejala klinis tertentu selama beberapa jam dan kemudian mati.
Gejala spesifik yang terlihat pada ayam terserang penyakit IBH yaitu pucat
pada jengger, cuping, kulit, dan kulit wajah. Gangguan pernafasan umumnya
terjadi pada anak ayam. Pada ayam dewasa kadang terjadi penurunan produksi
telur. Hepatitis dapat terjadi pada 4 hari pasca infeksi, organ hati, sumsum tulang
terlihat pucat. Mordibitas lebih rendah dari pada mortalitas. Angka kematian yang
disebabkan oleh IBH bervariasi biasanya di bawah 10%, tetapi bisa lebih dari 30%
(Otto, 2020).
2.3.5 Perubahan Histopatologi
Pada nekropsi, hati membengkak berwarna kuning kecoklatan,
terdapat bercak, perdarahan, ptechiae dan echymotic di bawah membran dan
dalam parenchyma, serta konsistensinya lembek. Parenkim hati tersumbat
dan perdarahan petekie, terlihat pada permukaan hati dengan keterlibatan
difus kedua lobus (Gambar 1.)
Penyakit ini mirip dengan Infectious Bursal Disease (IBD) atau Chicken
Anemia Virus (CAV).
2.4.2 Epidemiologi
1. Sifat Alami Agen
2. Spesies Rentan
Ayam semua umur dapat terinfeksi oleh CAV terutama ayam muda
dengan umur kurang dari dua minggu yang tidak memiliki antibodi
maternal. Namun demikian, resistensi terhadap CAV akan meningkat sesuai
dengan bertambahnya umur. Selain ayam, CAV juga dapat menyerang
unggas lain yaitu burung puyuh yang diketahui dari hasil survei serologis di
Jepang.
3. Sifat Penyakit
Tingkat morbiditas penyakit ini tergolong tinggi dan mortalitas
dapat mencapai 60% terutama pada flok broiler. Mortalitas yang tinggi
dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain strain virus yang virulen,
dosis dan rute infeksi, adanya infeksi patogen seperti virus Mark's,
retikuloendotheliosis dan ID,serta bahan kimia yang bersifat imunosupresif,
seperti betamethasone atau siklosporin A. Adanya pengaruh imunosupresif
sehingga ayam menjadi lebih peka terhadap infeksi sekunder lain. Infeksi
CA didahului dengan masuknya virion ke dalam sel dengan cara absorpsi
dan penetrasi. Selanjutnya virus bereplikasi di dalam inti sel yang dapat
dideteksi dengan FAT setelah infeksi puncak. Sebagai akibat pertumbuhan
virus terutama pada limfosit timus menyebabkan deplesi sel yang hebat,
diikuti dengan distribusi antigen virus di dalam timus dan sumsum tulang.
Anak ayam umur 1 hari specific pathogenic free (SPF) yang terinfeksi CAA
akan teriadi infeksi sel-sel T precursor di dalam timus dan limfosit T dewasa
di dalam limpa.
Pada kasus akut gejala klinis muncul pada ayam umur 7-14 hari,
ditandai dengan hambatan pertumbuhan dan anoreksia. Pada bagian muka,
pial dan jengger tampak pucat, bulu ayam berdiri disertai dengan terjadinya
peningkatan mortalitas ayam sekitar 5-16%, tetapi pernah mencapai 60%.
Kepucatan ayam tersebut disebabkan atropi jaringan hematopoietik pada
sumsum tulang, perdarahan subkutan dan otot serta atropi pada organ
limfoid. Selain itu sering ditemukan gejala berupa lesi fokal pada kulit,
terutama sayap, kepala, leher, ekor, dada, abdomen, paha, tibia dan kaki.
Lesi dapat berupa perdarahan pada kulit berbentuk echimotik atau
kerusakan dengan warna kebiruan yang disebut blue wing disease. Jika
disertai infeksi sekunder oleh bakteri biasanya mengeluarkan eksudat
serosanguinus yang bening dan encer, sehingga menimbulkan dermatitis
gangrenosa.
2.4.7 Diagnosa
• Pengobatan
Pengobatan dengan antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder
dapat membantu menurunkan kasus.
• Pencegahan
Pencegahan dilakukan dengan cara vaksinasi, paling efektif adalah
melakukannya pada breeder yaitu umur 18 mingqu agar
keturunannya memiliki antibodi maternal yang dapat melindunginya
dari serangan CAS sampai pada umur 6 minggu. Vaksinasi dapat
dilakukan dengan vaksin inaktif atau vaksin akfif yang telah
dilemahkan (atenuated live vaccine). Anak ayam umur 1 hari yang
diinfeksi dengan CAS, respon antibody sangat jelek. Antibodi tidak
dapat dideteksi sampai 3 minggu pasca infeksi. Titer antibodi bar
meningkat dari titer 1 : 80 meningkat menjadi 1 : 320 setelah 4
minggu. Pembentukan antibodi humoral tertunda kira- kira 1
minggu apabila ayam diinfeksi peroral. Antibodi maternal dapat
melindungi anak ayam terhadap CAS. Wabah CAS yang terjadi di
lapangan dapat disebabkan tidak adanya antibody maternal pada
anak ayam yang diturunkan dari induk. Namun dengan antibodi
maternal ini akan menghambat respon antibodi pasca vaksinasi
karena teriadi netralisasi virus vaksin.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Disnak Jatim. 2012. Mengenal Penyakit Ayam Petelur : Egg Drop Syndrome 1976.
[terhubung berkala] http://disnak.jatimprov.go.id/web/layananpublik/
readartikel/702/mengenal-penyakit-ayam-petelur---egg-drom-syndrome-
1976#.VnI2bF5UNFs (diunduh pada 2015 Desember 17).
Kumar, V., Kumar, R., Chandra, R., Bhatt, P. and Dhama, K. (2013). Outbreaks of
inclusion body hepatitis (ibh) in chickens: pathological studies and
isolation of fowl adenovirus. Advances in Animal and Veterinary Sciences,
1(3): 21-24.
McFerran JB dan Adair BM. 2003. Diseases of poultry : Egg drop syndrome
11thedision. Iowa state press
Ng FK, Sing KL, Yeo SC dan Ng SH. 1980. Studies on Egg Drop Syndrom 1976
in Singapura. Sing. Vet. J. 4 : 36-51
Shiyamala, S., Chandrashekhar, M., Jadhav, S.N., Kadam, A.S. and Kamdi, B.P.
(2020). Pathological investigation into outbreak of inclusion body hepatitis
from poultry flocks. Journal of Entomology and Zoology Studies. 8(3):
170-174.
Van Eck JHH, Davelaar FG, Van den Heuvel-Plesman TAM, Van Kol, N
Kouwenhoven B, Guldic FHM. 1976. Dropped Egg Production, Soft Shell
and Shell-less Egg Associated with Appearance of Precipitatins to
Adenovirus in Flock of Laying Fowls. Av . Pathol. 5 : 261-276.