Anda di halaman 1dari 36

Perkembangan dan Penyebaran Penyakit pada Unggas

Dewasa ini perkembangan unggas di negara Indonesia sangat pesat, hal ini
disebabkan peternakan unggas banyak menciptakan peluang bisnis yang sangat
menjanjikan, juga beternak unggas dapat dijangkau oleh masyarakat kalangan
menenggah kebawah. Namun banyak hambatan dan rintangan yang dihadapi dalam
beternak unggas yaitu jarga pakan yang terus naik terkadang tidak sebanding dengan
hasil panennya, harga vitamin dan obat-obatan yang harus merogok kantong dalam-
dalam, juga karena unggas mudah terserang penyakit.

Penyakit yang banyak mencerang unggas adalah penyakit parasit yang


disebabkan oleh cacing,dan sebagian besar unggas yang paling banyak diserang
adalah ayam petelur karena ayam peterlur memiliki hidup yang lama dan cacing juga
memerlukan waktu yang lama untuk siklus hidupnya. Berbeda dengan ayam pedaging
yang masa peliharaannya rata-rata satu kali masa panen cuma 35 hari, sehingga untuk
siklus hidup cacing juga sangat pendek apalagi untuk menyerang dan menimbulkan
penyakit.

Unggas yang baik adalah unggas yang dapat menghasilkan produksi yang
tinggi,dan untuk menghasilkan produksi yang tinggi unggas perlu diberi perlakuan
yang baik dengan memberikan pakan sesuai dengan kebutuhannya, dan dijaga
kebersihan agar terhindar dari berbagai macam penyakit yang salah satunya adalah
penyakit parasit yang di sebabkan oleh cacing,umumnya pencegahannya dapat
dilakukan dengan menjaga kebersihan kandang dengan rutin melakukan sanitasi
kandang. Penyakit unggas merupakan salah satu tantangan  besar bagi usaha
perunggasan yang terus menjadi kendala yang harus diberikan perhatian lebih.
Perkembangan penyakit unggas di lapangan cukup bervariasi dan dapat memberikan
efek buruk bagi dunia perunggasan.

1
Penyakit pada ternak secara umum terbagi mwnjadi penyakit infeksi dan
penyakit non infeksi. Penyakit infeksius adalah penyakit yang disebabkan oleh agen-
agen infeksi. Agen-agen infeksi penyebab penyakit antara lain virus, bakteri, mikal
dan parasit. Sedangkan panyakit non infeksius adalah penyakit yang disebabkan
selain agen infeksi misalnya akibat defisiensi nutrisi, defisiensi vitamin, defisiensi
mineral dan keracunan pakan (Tariakoso, 2009).

Penyakit yang menyerang ternak ungags dapat disebabkan oleh dua hal yaitu:

1. Nonliving agent atau disebabkan oleh agen tidak hidup, yang ditimbulkan
oleh factor luar sepeti factor lingkungan, factor pakan dan obat. Factor luar
meliputi cekaman temperature tingg atau rendah, sedangkan factor pakan dan
obat meliputi keracunan zat kimia atau nabati, defesiensi makanan dan
kelebihan unsur makanan.
2. Living agent atau disebabkan oleh agen hidup:
a. Penyakit ungags yang fisebabkan oleh Jasad renik (mikrob):
1) Penyakit ungags akibat infeksi bakteri. Contoh penyakit yang
ditimbulkannya antara lain hepatitis, buta ayam. Racun darah, feses
kuning, pernafasan susah, kolera dan lainnya.
2) Penyaki ungags ang ditimbulkan oleh infeksi virus, contoh penyakitnya
adalah, syaraf leher, flunayam, cacar ayam, anemia dan lainnya.
3) Penyakit ungags yang ditimbulkan akibat parasite. Contohnya feses
darah, demam, malaria ungags dan lainnya.
4) Penyakit ungags yang ditimbulkan oleh keberadaan jamur, kapang
seperti racun jamur, racun ikan, bulu kasar dan lainnya.
b. Penyakit pada unggas yang ditimbulkan oleh keberadaan cacing dalam
tubuh unggas contoh: cacing gilik, cacing pipih dan cacing pita.
c. Penyakit unggas yang timbul akibat keberadaan insekta. Contoh: kutu, lalat
dan lainnya.

2
Penyakit pada unggas adakalnya menyebar dan menular dengan sangat cepat
dengan tingkat kematian yang tinggi, misalnya penyakit yang disebabkan oleh
mikrob. Ada pula penyakit unggas yang menular secara lambat dengan tingkat
kematian rendah, misalnya serangan oleh parasite dan penyakit ektoparasit (parasite
yang hidup diluar tubuh unggas).
Dampak yang ditimbulkan oleh penyakit merupakan kendala utama dalam
peternakan unggas. Menurut Triakoso (2009) serangan parasite merupakan penyakit
yang banyak menimbulkan kerugian, terutama berpengaruh terhadap produktifitas,
berat badan, produksi, efesiensi reproduksi bahkan kematian pada ternak, yang akan
berujung dengan kerugian ekonomis juga meningkatkan biaya pengobatan.

A. Perkembangan dan Penyebaran Penyakit Pada Ayam Petelur


Ayam petelur adalah ayam-ayam betina dewasa yang dipelihara khusus untuk
diambil telurnya. Asal mula ayam unggas adalah berasal dari ayam hutan dan itik liar
yang ditangkap dan dipelihara serta dapat bertelur cukup banyak. Tahun demi tahun
ayam hutan dari wilayah dunia diseleksi secara ketat oleh para pakar. Arah seleksi
ditujukan pada produksi yang banyak, karena ayam hutan tadi dapat diambil telur dan
dagingnya maka arah dari produksi yang banyak dalam seleksi tadi mulai spesifik.
Ayam yang terseleksi untuk tujuan produksi daging dikenal dengan ayam broiler,
sedangkan untuk produksi telur dikenal dengan ayam petelur. Selain itu, seleksi juga
diarahkan pada warna kulit telur hingga kemudian dikenal ayam petelur putih dan
ayam petelur cokelat. Persilangan dan seleksi itu dilakukan cukup lama hingga
menghasilkan ayam petelur seperti yang ada sekarang ini. Dalam setiap kali
persilangan, sifat jelek dibuang dan sifat baik dipertahankan (“terus dimurnikan”).
Inilah yang kemudian dikenal dengan ayam petelur unggul.
Menurut Suratman (2009), sitem pemeliharaan ayam saat ini masih sudah
mengalami perkembangan yang lebih baik, namun dalam pemeiharaannya banyak
terdapt kendala yang menyebabkan perkembangan ayam menjadi terhambat. Salah
satu kendalanya adalah berbagai jenis agen penyakit, baik yang disebabkan oleh

3
bakteri, virus, protozoa maupun cacing. Dampak penyait yang ditimbulkan
merupakan kendala utama bagi peternak ayam.
Penyakit pada ayam petelur diartikan sebagai disfungsi organ, yakni tidak
berfungsinya secara normal organ ayam yang terinfeksi oleh mikroorganisme
penyebab penyakit, baik itu organ pencernaan, pernafasan, central neuro system
(CNS) maupun organ reproduksi yang secara langsung berhubungan dengan
pembentukan dan distribusi telur.
Munculnya permasalahan ini disinyalir akibat kelalaian peternak, misalnya
minimnya kandungan nutrisi bahan pakan yang diberikan pada ayam peliharaannya.
Disamping itu, faktor penyakit juga didaulat sebagai salah satu penyebab terjadinya
penurunan produksi telur.
Diantara jenis penyakit tersebut adalah ND, AI, AE Virus, IB, Mycoplasma
gallisepticum dan Paramyxoviruses lainnya, namun yang sering menjadi buah bibir
peternak layer, Technical Services, Praktisi Perunggasan dan Akademisi adalah IB,
ND dan Egg Drop Syndrome (EDS 76).
1. Penyakit karena Virus
1. EDS 76

Gambar 1. EDS 76 pada Telur Ayam


EDS 76 merupakan penyakit pada ayam petelur yang menyerang ayam petelur
pada periode pertumbuhan dan periode bertelur. Penyakit ini disebabkan oleh

4
Hemagglutinating adenovirus. Agen ini mampu mengaglutinasi eritrosit ayam,
sehingga ayam yang terinfeksi akan mengalami anemia, hal ini terlihat dari
penampakan luar tubuh ayam, yakni kepucatan pada vial dan jengger. Secara
ekonomi, penyakit ini menimbulkan kerugian pada peternak karena tidak tercapainya
produksi yang optimal.

Ayam yang terinfeksi agent EDS 76 tidak memperlihatkan gejala yang


spesifik. Secara umum ayam kelihatan sehat, tetapi produksi telur dapat turun sampai
40% selama 4-10 minggu. Pakar perunggasan Fakultas Kedokteran Hewan UGM
Prof drh Charles Rangga Tabbu MSc PhD menyatakan, “Gejala awal EDS 76 tersifat
dari kehilangan warna kerabang pada telur yang berwarna coklat. Gejala ini diikuti
oleh adanya telur yang mempunyai kerabang tipis, kerabang lembek atau tanpa
kerabang sama sekali. Telur dengan kerabang tipis biasanya bertekstur kasar
menyerupai kertas pasir atau bergranula pada salah satu ujungnya.”

Pada infeksi alami ditemukan adanya penurunan ukuran telur, sedangkan pada
infeksi buatan ukuran telur tetap normal. Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa
ayam yang terinfeksi Hemagglutinating adenovirus dapat menurunkan viskositas
pada putih telur, yakni putih telur yang berada pada bagian luar menjadi lebih encer
menyerupai air, sedangkan putih telur yang terletak pada bagian dalam di sekitar
kuning telur relatif normal. Disamping itu, umur ayam saat terinfeksi agent EDS 76
pun dapat mempengaruhi kualitas putih telur. Hal ini sering dilaporkan oleh para
pakar perunggasan dunia bahwa anak ayam yang terinfeksi pada umur sehari (DOC)
akan menghasilkan telur yang mempunyai putih telur lebih encer dengan ukuran telur
yang lebih kecil. Gejala klinik lainnya yang juga dapat teramati pada kasus EDS 76
adalah kegagalan ayam mencapai target produksi telur atau tertundanya waktu
produksi telur. Gejala ini muncul akibat ayam terinfeksi agent EDS 76 dapat
memproduksi antibody sebelum periode laten infeksi muncul. Menurut Prof Charles,
periode laten infeksi ditandai dengan terjadinya penurunan produksi telur yang bisa
mencapai kisaran 50% dan terjadinya halangan untuk mencapai puncak produksi.

5
Penyakit ini menyebar melalui kontak langsung dengan unggas lain seperti
itik dan angsa yang terpapar virus EDS 76. Beberapa hasil penelitian menyatakan
bahwa itik dan angsa merupakan inang yang baik untuk virus EDS 76, artinya
keberadaan itik dan angsa dapat mempercepat proses penyebaran EDS 76 ke unggas
lain yang belum tertular. Perpindahan virus EDS 76 juga bisa melalui pemakaian
jarum suntik yang telah terkontaminasi virus EDS 76.

Tindakan pencegahan dapat dilakukan dengan cara memilih DOC dari telur
yang induknya tidak tertular EDS 76. Hal ini beralasan bahwa EDS 76 dapat menular
secara vertikal yakni melalui telur. Namun ditegaskannya bahwa kebanyakan breeder
telah mengeliminasi virus EDS 76, sehingga kemungkinan penularan secara vertikal
menjadi sangat kecil. Penularan secara horizontal perlu mendapat perhatian peternak.
Hal terkait dapat dilakukan kegiatan berupa penerapan praktek manajemen seoptimal
mungkin di kandang.

Praktek manajemen yang dianjurkan Guru Besar staff dan pengajar bagian
Patologi FKH UGM ini adalah sanitasi dan desinfeksi yang ketat. Disamping itu,
peternak dianjurkan untuk tidak menggunakan air minum dari sumber yang pernah
tercemar oleh feses atau leleran tubuh lainnya dari itik, angsa dan beberapa jenis
unggas lainnya.

Namun, bila kondisi usaha peternakan mengharuskan tetap menggunakan


sumber air yang tercemar feses unggas yang terinfeksi, maka peternak diminta untuk
melakukan sanitasi dan desinfeksi terlebih dahulu dengan cara klorinasi sebelum air
tersebut diberikan kea yam peliharaannya. Tindakan lain yang dapat dilakukan
peternak untuk mencegah meluasnya EDS 76 adalah dengan melalui vaksinasi. Saat
ini vaksin yang tersedia adalah vaksin killed atau vaksin in aktif yang diberikan pada
ayam dara dalam kurun waktu 3-4 minggu sebelum bertelur atau pada kisaran umur
14-16 minggu.

2. Infectious Bronchitis

6
Gambar 2. Infectious bronchitis pada Ayam
Infectious Bronchitis (IB) merupakan penyakit akut pada ayam petelur yang
menyerang saluran pernafasan ayam dan sangat mudah menular pada ayam dalam
satu kelompok atau antar kelompok lainnya. Penyakit ini tersifat oleh adanya ngorok
basah akibat adanya cairan dalam trachea, batuk dan bersin. Kejadian penyakit pada
anak ayam tersifat oleh adanya gejala kesulitan bernafas yang ditandai oleh
pernafasan melalui mulut atau gasping sedang pada ayam petelur tersifat oleh adanya
penurunan produksi telur yang terjadi secara mendadak. Dikalangan peternak, kasus
IB dipandang cukup serius. Hal ini disebabkan karena IB dapat menimbulkan
gangguan pertumbuhan, penurunan efisiensi pakan dan merupakan salah satu
penyakit kompleks pada saluran pernafasan terutama bila terjadi kolaborasi dengan E.
coli dan Mycoplasma gallisepticum. Disamping itu, penurunan produksi telur dalam
jumlah dan mutu sering terjadi, serta biaya penanggulangan penyakit yang tinggi dan
kompleks menjadikan IB sebagai penyakit strategis pada ayam petelur.
Virus IB dapat menyebar secara cepat dari ayam yang satu ke ayam lainnya
dalam suatu kandang. Gejala sakit pada ayam yang terinfeksi dapat dilihat dalam
waktu 48 jam. Penularan virus IB dapat terjadi secara langsung maupun secara tidak
langsung. Penularan secara langsung terjadi melalui leleran tubuh ataupun feses ayam
yang sakit kepada ayam yang peka dengan virus ini. Salah satu cara penularan yang

7
penting adalah penularan melalui udara yang tercemar oleh virus IB. Penularan secara
tidak langsung biasanya melalui anak kandang, alat atau perlengkapan peternakan,
tempat telur (egg tray), kandang bekas ayam sakit, bangkai ayam sakit dan
keberadaan rodensia di sekitar lingkungan kandang.
Kejadian IB pada ayam berlangsung cepat, yakni dengan masa inkubasi 18-36
jam, hal ini tergantung pada dosis virus dan rute infeksi. Infeksi dapat bersifat
asimptomatik dengan menunjukkan gejala gangguan pernafasan atau yang
berhubungan dengan abnormalitas pada system reproduksi. Disamping itu, dapat juga
ditemukan adanya penurunan berat badan yang disertai oleh depresi dan gangguan
pertumbuhan yang dapat dihubungkan dengan lesi-lesi pada saluran pernafasan dan
ginjal.
Gejala penyakit IB berbeda pada setiap tingkatan umur. Pada anak ayam
gejala klinik yang sering muncul adalah :
 batuk, sesak nafas, ngorok dan keluar lendir dari hidung,
 mata berair yang diikuti dengan pembengkakan sinus,
 anak ayam yang terpapar menunjukkan lemah dan lesu serta cenderung
berkerumun di bawah pemanas.
 lendir dan eksudat yang menyerupai keju terkumpul dalam trakea bagian
bawah dan bronki, kondisi ini dapat menimbulkan kematian,
 penyakit dapat berlangsung selama 5-21 hari dengan angka kematian 0-
40%.

Sementara itu, kasus pada ayam dewasa dicirikan dengan :


 tingkat produksi telur akan menurun yang diikuti dengan perubahan bentuk
kerabang telur, yakni kasar dan lembek,

8
 kualitas telur yang dihasilkan jelek,
 ayam yang tertular pada bagian akhir dari tahun produksi biasanya
memperlihatkan produksi telur yang sangat menurun, biasanya berlanjut ke
peristiwa ganti bulu,
 membutuhkan waktu yang panjang untuk proses penyembuhan (recovery),
 pada pemeriksaan patologi, ditemukan saluran telur yang mengeras atau
sebagian menutup yang menunjukkan petelur palsu,
 jalan penyakit berkisar antara 4-10 hari dengan angka kematian 0,5%.

Pencegahan IB dapat dilakukan dengan cara meningkatkan pengamanan


biologis dan pelaksanaan aspek manajemen lainnya secara optimal. Hal ini ditujukan
untuk menghilangkan faktor pendukung atau sumber infeksi virus IB. Pembatasan
umur dalam satu flok pemeliharaan diperlukan untuk menghindari kemungkinan
penularan virus IB dari kelompok umur yang satu ke kelompok umur lainnya.

Pencegahan yang efektif adalah dengan program vaksinasi. Program vaksinasi


harus mempertimbangkan 3 titik kritis yakni type vaksin, waktu dan cara vaksinasi.
Yang terpenting dari ketiganya adalah waktu yang tepat untuk melakukan vaksinasi.
Penentuan kapan vaksinasi itu dilakukan adalah penting karena campur tangan yang
kuat antara maternal antibodi dan virus vaksin. Artinya, jika vaksin diberikan dimana
level maternal antibodi masih tinggi, virus vaksin akan dinetralisir dan
konsekuensinya flok tersebut tidak dilindungi. Sebaliknya, jika pemberian vaksin
terlambat, virus lapangan akan menginfeksi ayam tersebut hingga terjadilah wabah.

Penyakit ini dapat menyebar melalui kontak langsung dengan ayam yang sakit
dan kotorannya. Penularan lainnya dapat juga melalui ransum, air minum, kandang,
tempat ransum atau tempat minum, peralatan kandang lainnya yang tercemar, melalui
pengunjung, serangga, burung liar dan angin atau udara yang dapat mencapai radius 5
Km. Virus ND ditemukan juga dalam jumlah tinggi selama masa inkubasi sampai

9
masa kesembuhan. Virus ini terdapat pada udara yang keluar dari pernafasan ayam,
kotoran, telur-telur yang diproduksi selama gejala klinis dan dalam karkas selama
infeksi akut sampai kematian.

3. Newcastle Disense (ND)

Gambar 3. ND pada Ayam

Gejala ND dapat diamati melalui (1) gejala pernafasan seperti bersin-bersin,


batuk, sukar bernafas, megap-megap dan ngorok, (2) gejala syaraf berupa sayap
terkulai, kaki lumpuh (jalan terseret), jalan mundur (sempoyongan) serta kepala dan
leher terpuntir yang merupakan gejala khas penyakit ini dan (3) gejala pencernaan
meliputi diare berwarna hijau, jaringan sekitar mata dan leher bengkak, pada ayam
petelur produksinya berhenti, kalau sudah sembuh kualitas telurnya jelek, warna
abnormal, bentuk dan permukaannya abnormal dan putih telurnya encer. Hal ini
disebabkan oleh karena organ reproduksinya tidak dapat normal kembali. Umumnya
kematian anak ayam dan ayam muda lebih tinggi dibandingkan ayam tua.

Sejauh ini belum ada satu jenis obat yang efektif yang dapat menyembuhkan
ayam yang menderita penyakit ini. Penanggulangan penyakit ND hanya dapat
dilakukan dengan dengan tindakan pencegahan (preventif) melalui program vaksinasi
yang baik. Ada dua jenis vaksin yang dapat diberikan yaitu vaksin aktif dan vaksin

10
inaktif. Vaksin aktif berupa vaksin hidup yang telah dilemahkan, diantaranya yang
banyak digunakan adalah strain Lentogenic terutama vaksin Hitchner B-1 dan Lasota.
Vaksin aktif ini dapat menimbulkan kekebalan dalam kurun waktu yang lama
sehingga penggunaan vaksin aktif lebih dianjurkan dibanding vaksin inaktif.

4. Infeksi Laryngotracheitis (ILT)

Gambar 4. Ayam terkena Infeksi Laryngotracheitis


Penyakit ILT adalah penyakit saluran pernafasan yang sangat menular pada
unggas, terutama ayam petelur. Penakit ini bersifat akut dan menular yang disertai
dengan gangguan pernafasan berat dan pendarahan pada trachea. Penyebaran ILT
sangat cepat dengan tingkat morbiditas mencapai 90-100% umumnya menyerang
ayam berumur diatas tiga minggu dengan angka kematian yang cukup tinggi yakni
10-70%.
Penyakit ILT dijumpai pertama kali di Amerika Serikat pada tahun 1923 oleh
May dan Tittsler. Penyakit ini dapat menyerang unggas pada semua tingkatan umur
dan ditemukan hamper diseluruh dunia. Di Negara-negara dengan empat musim,
penyakut menjadi lebih parah disaat musim dingn atau basah.
Penularan penyakit ILT terjadi melauli kontal langsung antara ayam sakit dan
sehat. Penularan dapat terjadi melalui alat respirasi bagian atas dan mata. Penularan
melalui saluran pencernaan (mulut) dapat terjadi dari ayam yang terinfeksi secara
akut. Penularan melalui telur belum dapat dibuktikan, tetapi infeksi dapat terjadi pada
anak ayam baru menetas atau pada saat diangjut dari satu tempat ketempat yang lain.

11
Penularan secara tidak langsung dapat terjadi melalui peralatan kandang, nahan
pakan, air, kotoran ayam, pakaian yang tercemar atau karyawan peternakan.
Diangnosis penyakit ILT secara klinis dapat diketahui berdasrkan gejala yang
menciri terutama kesulitas bernafas dan batuk darah. Peneguhan diagnosis dilakukan
dengan mengirimkan trachea, paru dan getah radang dar trachea dalam keadaan segar
diuji secara Flourescent Antibosy Twchnique (FAT) dan isolasi virus.
Dalam upaya pengendalian penyakit ILT tidak terlepas dari tiga faktor penting
yang perlu diperhatikan yaitu immunitas, vaksinasi dan monitoring terhadap
kekebalan ayam, sehingga ayam akan terhindar dari bahaya penyakit ILT yang sangat
merugikan.
Infeksi alami dan vaksinasi dapat menyebabkan unggas akan tahan (resisten)
terhadap penyakit ILT. Resistensi unggas terhadap infeksi virus ILT akan timbul
setelah satu tahun atau lebih bila terjadi infesi alami. Selama terjadinya infeksi alami,
virus ILT pada unggas bersifat laten, sehingga ditemukan unggas pembawa virus tapi
tanpa adanya gejala klinik.
Imunitas yang ditimbulkan melalui vaksinasi dapat terdeteksi lebih awal
karena imunitas yang ditimbulkan oleh adanya infeksi alami, yaitu berkisar 8-15 hari
pasca vaksinasi.
Antibody-netralisasi sebaga produk tanggap kebal merupakan akibat adanya
infeksi virus ILT. Antibody ini dapat terdeteksi dalam serum darah ayam setelaj 5-7
hari pasca infeksi dan akan mencapai puncaknya sekitar 21 hari pasca infeksi,
kemudian titer antibody akan turun dangan tajam seteah beberapa bulan. Antibody
maternal terhadap virus ILT dapat diturunkan dari induk kepada anak melalui telur.
Antibody maternal pada anak ayam masih dapat terdeteksi hngga ayam berumur tiga
minggu, akan tetapi antibody yang terdapat pada anak ayam tersebut tidak dapat
melindungi dari infeksi virus ILT
Tindakan vaksinasi merupakan salah satu cara yang sangat efektif untuk
meningkatkan daya tahan unggas terhadap infeksi virus ILT. Akan tetapi perlakuan

12
vaksinasi dapat menimbulkan karier pada unggas, sehingga disarnkan program
vaksinasi hanya untuk peternakan yang sudah tertular oleh penyakit ILT sja.
Untuk memperoleh daya imunitas yang tinggi serta mencegah terjadinya
penularan baru, maka dalam pemakaian vaksin ILT sebaiknya menggunakan vaksin
yang telah dilemahkan. Adapun cara pemberian vaksin daoat dilakukan memlalui
intra kloaka, tetes hidung, tetes mata dam melalui air minum. Vaksinasi sebainya
tidak dilakukan pada ayam yang masih muda, karena ayam muda kurang memiliki
kemampuan dalam pembenukan antobodi terhadap vaksinasi. Oleh karena itu,
vaksniansi sebaiknya menunggu sampai ayam berumur skurang-kurangnya enam
bulan, sedangkan pengobatan untuk penyakt ILT hingga sekarang belum ada.

2. Penyakit karena Protozoa

Menurut Akoso (2009), akibat serangan protozoa parasite pada ayam akan
menimbulkan kerugian, yaitu penurunan produktifitas dan berat badan,
mengakibatkan kelumouhan serta gangguan fungs organ lainnya, bahkan
menyebabkan kematian ayam.

Salah satu penyakit akibat protozoa parasite yang menyerang ayam adalah
koksidosis. Koksidosis merupakan penyakit berak darah yang disebabkan oleh
protozoa yang dapat merusak saluran pencernaan pada ayam. Kematian ternak ayam
pada suatu peternakan akibat koksidosis dapat mencapai 5-10% bahkan koksidosis
dapat menimbulkan kematian sampai 100%, apabila terjadi infeksi berat yang ditanda
dengan hilangnya darah yang cukup banyak.

Protozoa adalah orgaisme satu sel dengan bagian-bagian sel yang lengkap.
Protozoa dapat menyebabkan penyakit pada manusia dan hewan, salah satunya adalah
unggas. Adanya protozoa didalam tubuh unggas merupakan salah satu factor yang
dapat menentukan tingkat kesehatan dan kelayakan ayam untuk dikonsumsi. Cara

13
makan unggas yang merupakan pemakan segala menjadikan ayam rentan untuk
terserang penyakit.

Koksidosis merupakan penyakit usus yang disebabkan oleh protozoa parasite


dab genus Eimeria. Eimeria berkembang baik disaluran pencernaan dan
menyebabkan kerusakan jaringan yang terjadi pada dinding epitel usus ayam, yang
menyebabkan keluarnya darah bersama feses. Eimeria menyebabkan kerusakan pada
usus sehingga akan menurunkan penggunaan pakan, lambatnya pertambahan bobot
badan, serta penurunan daya tahan tubuh dan penurunan produksi telur.

Gambar 5. Koksidosis pada ayam


Gejala Klinis Koksidosis
Gejala terjadinya koksidosis dapat terligat tiga hari setelah infeksi. Dehidrasi dapat
terjadi pada koksidosis sekum. Ayam terlihat lesu, tidak nafsu makan dan saling
berhimpit serta muncul darah dalam feses pada hari keempat. Munculnya darah
dalam jumlah banyak (Gambar 1.) terjadi pada hari kelima atau keenam, pada hari
kedelapan atau kesembilan ayam mengalami kematian atau berada dalam
penyembuhan. Kematian paling sering trjadi antara hari keemapt dan hari keenam
yang datangnya dapat tak terduga karena kehilangan darah dalam jumlah banyak.

B. Perkembangan dan Penyebaran Penyakit Pada Ayam Broiler

14
Ayam broiler ,erupakan jenis ayam unggul dalam pertumbuhan bobot badan
untuk memproduksi daging. Ayam pedaging dikenal dengan sebutan ayam potong
yang memiliki ciri ekonomis dengan pertumbuhan cepat, masa panen pendek dengan
menghasilkan produksi daging yang tinggi. Pemeliharaan budidaya amap pedaging
terbagi dari periode stater atau brooding, grower dan finisher. Persiapan pemeliharaan
periode stater dengan dimulainya persiapan sebelum DOC (day old chick) masuk ke
kandang. Persiapan kandang merupakan keguatan awal untuk memulai kegiatan
budidaya yang menjadikan salah satu keberhasilan pemeliharan ayam pedaging pada
periode selanjutnya (Fadilah, 2011).
Langkah persiapan sebelum DOC mausk dengan melakukan kegiatan tata
laksana kandanh seperti mempersiapkan dan menyalakan alat pemanas heater,
sanitasi, biosecurity dan kegiatan penunjang lainnya. System pemeliharaan ayam
edaging terdapat dua metode yaitu pemberan oakan berdasarkan kebutuhan setiap
hari dan siang hari. Pemberian kebutuhan setiap hari yaitu metode pemberian pakan
setiap ghari yang tidak dibatasi dimana ayam memperoleh pakan dalam jumlah cukup
dengan sesuai kebutuhan, yang diterapkan pada budidaya ayam pedaging. Skip a day
yaitu pemberian pakan pada siang hari yang diberikan pada setiap dua hari, dengan
tujuan untuk membatasi bobot badan agar tidak berlebihan yang diterapkan ada ayam
petelur.
1. Penyakit pada Ayam Broiler
Penyakit merupakan salah satu resiko yang diwaspadai dan diahadapi dalam
budidaya dunia perunggasan khususnya pada ayam pedaginf. Penyakit pada ayam
pedaging dapat disebabkan oleh beberapa sumber sepeti bakteri, virus, jamur parasite
dan protozoa yang merupakan sumber penyakt yang menyerang ayam (Fadilah,
2011). Sumber oenyakt dari bakteri pengobatannya relait mudah yaitu cuku diberikan
antbiotik, sebaliknya penyakit yang susah diobati adalah ayam yang terkena virus,
akrena virus belum ada obatnya melainnkan hanya dilakukan perketataan pencegahan
penyakit.
a. Penyakit Chronic Respiratory Dosease (CRD)

15
Gambar 6. A.kantung udara keruh dan B. berbusa

Perkembangan peternakan ayam broiler di Indonesia sangat pesat. Pesatnya


perkembangan tersebut didorong oleh kebutuhan manusia tehadap daging ayam. Ada
banyak faktor lain yang dapat menentukkan keberhasilan kemajuan peternakan ayam
broiler antara lain manajemen pemeliharaan, kondisi lingkungan yang mendukung,
cuaca dan manajemen kesehatan. Penyakit merupakan salah satu resiko yang
seringkali harus dihadapi dalam usaha peternakan ayam, oleh karena itu pengetahuan
mengenai gejala masing-masing penyakit, penyebab penyakit, pengobatan maupun
pencegahan penyakit merupakan salah satu bekal yang penting bagi suksesnya usaha
peternakan. Berbagai jenis penyakit sering menimbulkan gejala yang hampir serupa,
sehingga untuk melakukan diagnosa diperlukan pemeriksaan-pemeriksaan lebih
lanjut termasuk pemeriksaan laboratorium.
Penyakit CRD merupakan penyakit yang sering di sebuah peternakan.
Hampir di setiap periode pemeliharaan, serangan bakteri Mycoplasma gallisepticum
(penyebab penyakit CRD) selalu muncul. Kemunculannya pun kerap kali diikuti
dengan serangan penyakit lainnya, yang salah satunya ialah infeksi bakteri Eschericia
coli (penyebab Kolibacillosis). Komplikasi kedua penyakit ini disebut sebagai
penyakit CRD kompleks. Berdasarkan pengamatan rekan-rekan technical service
(TS) Medion, selama tahun 2007 penyakit CRD kompleks termasuk ke dalam 10
besar penyakit yang sering menyerang ayam pedaging maupun petelur ( Muklis,
2008).

16
Kolibasilosis merupakan penyakit yang dapat menimbulkan berbagai
kerugian pada peternakan ayam sehubungan dengan terjadinya kematian, gangguan
pertumbuhan atau produksi, faktor pendukung timbulnya berbagai penyakit lainnya,
respon yang kurang optimal terhadap vaksinasi dan peningkatan biaya pengobatan,
pakan, desinfektan serta tenaga kerja. Dampak penting lainnya pada industri
perunggasan akibat kolibasilosis antara lain adanya peningkatan jumlah ayam yang
diafkir, penurunan kualitas karkas dan telur, penurunan daya tetas telur dan kualitas
anak ayam dan mendukung timbulnya penyakit kompleks yang sulit ditanggulangi
(Muklis, 2008).
Perunggasan telah berkembang menjadi industri yang mampu memenuhi
kebutuhan dunia akan protein hewani melalui produksi daging dan telur. Namun
sayangnya perkembangan hasil produksi yang dicapai masih belum optimal, salah
satunya akibat rutinnya berbagai penyakit menyambangi peternakan kita. Pada awal
tahun 2011 ini kasus penyakit yang menimpa peternakan ayam di Indonesia
diprediksikan masih didominasi oleh penyakit lama dan memang sudah sering
menyerang ayam, salah satunya adalah CRD kompleks (Poultry Indonesia, 2010).
Sebagai sebuah industri yang sedang berkembang, hampir semua ayam
dipelihara pada situasi kandang yang terlalu padat dengan kualitas udara yang rendah.
Pada situasi demikian, kemungkinan besar hampir seluruh populasi ayam di kandang
akan terinfeksi oleh M. gallisepticum (penyebab CRD) sehingga kondisi ayam akan
terus menurun. Setelah daya tahan tubuh ayam menurun, infeksi oleh bakteri lain
seperti Eschericia coli akan mudah berkembang dan CRD kompleks pun terjadi.
Ditingkat peternak ayam pedaging, kasus CRD dan CRD kompleks merupakan kasus
teratas yang sering dijumpai, namun berdasar pada pola pemeliharaan ayam pedaging
yang terlalu singkat dan kasus CRD kompleks yang sudah sering terjadi berulang di
farm, maka kehadiran penyakit ini kurang diekspos oleh peternak (Info Medion ,
2011).
Penyakit ngorok atau CRD pada ayam merupakan suatu penyakit yang
menyerang saluran pernapasan dimana sifatnya kronis. Disebut “kronis” karena

17
penyakit ini berlangsung secara terus menerus dalam jangka waktu lama dan sulit
untuk disembuhkan. Penyebab utamanya adalah M. gallisepticum, yang salah satu
gejala khas dari penyakit ini adalah ngorok, sehingga peternak lebih umum
menyebutnya dengan penyakit ngorok (Anonimus, 2011).
Saluran pernapasan ayam secara alami dilengkapi dengan pertahanan
mekanik. Permukaannya dilapisi mukosa dan terdapat silia (bulu-bulu getar) serta
mukus yang berfungsi menyaring udara yang masuk. M. gallisepticum sering terdapat
di saluran pernapasan ayam ini, masuk bersamaan dengan aliran udara yang
sebelumnya telah terkontaminasi. Ketika memasuki saluran pernapasan ayam, agen
penyakit ini menempel pada mukosa saluran pernapasan dan merusak sel-selnya.
Adanya bakteri ini akan memicu terjadinya radang dan aliran darah di daerah tersebut
menjadi meningkat. Bakteri akan ikut aliran darah dan menuju kantung udara, dimana
kantung udara merupakan tempat yang cocok untuk M. gallisepticum hidup dan
berkembang biak (Info medion, 2010).

Gambar 7. Ayam Berpenyakit CRD

Struktur bakteri M. gallisepticum

18
Gambar 8. Bakteri M. Gallisepticum
M. gallisepticum merupakan bakteri Gram (-) berbentuk polimorfik kokoid
dan tidak memiliki dinding sel sehingga bakteri ini mudah pecah/mati oleh
desinfektan, panas, sinar matahari dan faktor lainnya. Pola serangan yang ditimbulkan
oleh CRD tergolong lambat. Ketika ayam mulai terjangkit M. gallisepticum, infeksi
tersebut akan berjalan dalam jangka waktu yang cukup lama. Selama beberapa
minggu bakteri akan tetap menetap dalam saluran pernapasan dan baru bekerja
menginfeksi akut ketika ayam mengalami stres (Anonimus, 2008).
M. gallisepticum menimbulkan masalah serius pada ayam pedaging dimana
bakteri tersebut sering bekerja sinergis dengan agen infeksi lain seperti E.coli. E. coli
adalah bakteri yang hampir ditemukan pada semua tempat, terlebih pada tempat-
tempat yang kotor. Colibacillosis memang penyakit yang identik dengan kebersihan.
Semakin kotor lingkungan peternakan maka colibacillosis akan semakin tinggi
tingkat kejadiannya. Oleh karena itu colibasillosis sangat bergantung pada
pelaksanaan manajemen peternakan. Tingkat kematian akibat colibacillosis bisa
mencapai 10%. Timbulnya CRD yang menyerang saluran pernapasan, akan semakin
membuka kesempatan bagi bakteri lain seperti E.coli untuk ikut menginfeksi ayam
sehingga terjadilah CRD kompleks. CRD kompleks merupakan gabungan/komplikasi
penyakit antara CRD dan colibacillosis.

19
Struktur bakteri E. coli
E.coli termasuk bakteri gram negatif, tidak tahan asam, tercat uniform, tidak
membentuk spora, berukuran 2-3 x 0,6 µ, mempunyai flagella peritrikus, bentuk
koloni sirkuler, konveks, halus, memfermentasi laktosa, sukrosa dan memproduksi
hemolisin. Bakteri ini dapat tumbuh pada kisaran suhu antara 10-46 0C, pertumbuhan
baik pada suhu 20-40 0C dan pertumbuhan optimum pada suhu 37 0C.
Sebagai penyakit tunggal, CRD pada ayam dewasa jarang sampai
menimbulkan kematian, meskipun angka kesakitannya cukup tinggi. Dari data yang
dikumpulkan oleh tim Technical Service Medion sepanjang tahun 2010, CRD
kompleks masih menduduki posisi teratas dalam ranking penyakit 2010 yang
menyerang ayam pedaging. Sedangkan pada ayam petelur, penyakit CRD kompleks
berada diposisi 7 ranking penyakit (Info Medion ,2011).
Jika dilihat dari umur serangan, maka pada ayam pedaging CRD kompleks
sering menyerang di umur 20-28 hari (minggu ke-3 pemeliharaan), sedangkan pada
ayam petelur pada umur < 22 minggu (Technical Service Medion, 2010). CRD
kompleks biasanya muncul di farm saat pemeliharaan menginjak minggu ketiga, hal
ini terkait dengan penurunan kualitas litter dan manajemen tutup kandang yang
kurang optimal. Tabel Ranking penyakit tahun 2010 pada ayam pedaging dan petelur
(Info Medion,2011).

Patogenesa
Infeksi E. coli pada unggas umumnya dipicu oleh infeksi primer saluran
pernapasan yang disebabkan oleh virus atau Mycoplasma. Kondisi tersebut akan
menjadi parah karena faktor-faktor lingkungan seperti tingginya amoniak di dalam
kandang. Kolibasilosis menyebar karena unggas menghirup debu kandang yang telah
tercemar bakteri. Unggas dapat bersifat sebagai pembawa bakteri karena di dalam
tinjanya selalu mengandung E. coli.
Bakteri akan masuk ke dalam saluran pernapasan bagian bawah dan akan
melekat di permukaan epitel. Perlekatan yang spesifik dari bakteri ini disebabkan

20
karena adanya vili yang dimilikinya. Setelah melekat bakteri akan masuk ke
perredaran darah dan akhirnya menimbulkan kerusakan pada kantong udara,
perikardium jantung dan kapsula hati. Bakteri E. coli yang ganas dapat diisolasi
terutama dari kantong udara dan perikardium jantung.Penularan E. coli yang terjadi
melalui telur tetas akan menyebabkan kematian dini yang tinggi pada anak ayam.
Anak ayam yang dihasilkan dari telur yang terkontaminasi akan mengandung
sejumlah besar E. coli di dalam usus atau feses, sehingga akan berakibat terjadinya
penularan yang cepat pada suatu populasi tertentu. Sumber penularan terpenting pada
telur adalah feses yang mengandung E. coli yang mengkontaminasi dan menembus
kerabang telur serta selaput telur. Pencemaran telur oleh E.coli bisa terjadi di ovarium
maupun oviduk yang terinfeksi oleh bakteri tersebut (Imbang, 2010).
Cara Penularan
Penularan CRD kompleks bisa terjadi baik secara vertikal maupun horizontal.
Secara vertikal dapat melalui induk yang menularkan penyakit melalui telur dan
secara horizontal disebarkan dari ayam yang sakit ke ayam yang sehat, baik melalui
kontak langsung maupun tidak langsung. Penularan tidak langsung dapat melalui
kontak dengan tempat peralatan, tempat makan dan minum, hewan liar/vektor
maupun petugas kandang. Ayam muda biasanya memiliki kepekaan yang lebih tinggi
terhadap penyakit dibandingkan ayam dewasa. Technical Service Medio (Info
Medion , 2010).
Faktor – faktor penularan CRD
a) DOC berkualitas rendah
Secara keilmuan, penyebab CRD kompleks dapat berasal dari induk (induk
yang terserang CRD secara otomatis akan menularkannya ke anak ayam yang
dihasilkannya) maupun karena manajemen pemeliharaan yang kurang baik. Namun di
lapangan (farm), merebaknya kasus CRD kompleks seringkali disebabkan karena
kesalahan tata laksana pemeliharaan. Bahkan, penyakit ini disebut juga sebagai
penyakit kesalahan manajemen.

21
Perbaikan genetik ayam ras yang kita kembangkan sekarang, memang telah
menunjukkan perkembangan yang sungguh menakjubkan. Ayam pedaging mampu
tumbuh cepat dengan efisiensi ransum semakin baik. Demikian pula dengan ayam
petelur, mampu menghasilkan telur dalam waktu lebih awal (bertelur lebih awal 2
minggu, red.) dengan puncak produksi lebih tinggi dan persistensi produksi telur
yang lebih lama.
Pada ayam pedaging, pertumbuhan berat badan yang begitu pesat tidak
diimbangi dengan perkembangan organ dalam, seperti jantung dan paru-paru. Hal ini
mengakibatkan paru-paru dipaksa bekerja keras dalam menyuplai oksigen untuk
proses metabolisme tubuh. Akibatnya, organ pernapasan ini menjadi lebih rentan
terhadap gangguan. Kondisi ini juga dialami oleh organ pernapasan lainnya, seperti
hidung (sinus hidung), trakea dan kantung udara. Pertumbuhan berat badan yang
cepat tanpa diikuti dengan perkembangan organ dalam akan memicu munculnya
penyakit saluran pernapasan DOC atau day old chick dengan ukuran berat badan di
bawah standar lebih rentan terserang penyakit pernapasan. Kondisi tubuhnya yang
lemah menyebabkan DOC yang berukuran tubuh lebih kecil lebih mudah terinfeksi
bakteri M. gallisepticum maupun E. coli.
b) Kesalahan manajemen brooding
Masa brooding menjadi “pondasi” bagi pertumbuhan ayam pada masa
selanjutnya karena masa brooding merupakan periode pertumbuhan dan
perkembangan seluruh sel dan organ tubuh ayam, yaitu organ pencernaan,
pernapasan, reproduksi dan organ kekebalan atau pertahanan tubuh. Kesalahan pada
periode ini akan memberikan dampak tersendiri yaitu pertumbuhan dan produktivitas
yang tidak optimal. Terlebih lagi jika ayam sempat terserang penyakit (misalnya
penyakit CRD kompleks).
Seringkali peternak beranggapan masa brooding dimulai pada saat chick in.
Paradigma ini sebenarnya kurang tepat karena sesungguhnya masa brooding sudah
dimulai waktu persiapan kandang. Kunci awal keberhasilan pemeliharaan brooding
ialah persiapan, pembersihan dan desinfeksi kandang secara tepat dan menyeluruh.

22
Jika kegiatan ini tidak dilakukan dengan baik maka saat chick in akan banyak
ditemukan kendala, terlebih lagi bila periode sebelumnya terserang penyakit.
Saat kondisi cuaca dingin, pemanas atau brooder selalu dihidupkan dan tirai
kandang ditutup (tanpa celah ventilasi) dengan anggapan agar mampu menjaga panas
di dalam kandang tetap stabil. Namun, tahukah kita bahwa hal tersebut kurang tepat?
Panas yang cukup memang menjadi syarat agar DOC dapat tumbuh dengan baik,
namun mempertahankan panas dengan menghilangkan ventilasi kandang dapat
berakibat sebaliknya. Ventilasi kandang yang tertutup akan menyebabkan gas sisa
pembakaran dari brooder, amonia dari kandang maupun debu dari litter tidak dapat
dikeluarkan dari kandang. Akibatnya, kualitas udara menurun sehingga memicu
serangan penyakit pernapasan, terutama CRD.
c) Tingginya kadar amonia
Amonia merupakan gas yang dihasilkan dari penguraian feses oleh bakteri
ureolitik. Gas ini memiliki kemampuan mengiritasi saluran pernapasan ayam. Kadar
amonia di dalam kandang sangat dipengaruhi oleh kondisi litter (lembab atau kering),
kepadatan kandang, kualitas ransum yang diberikan (kadar protein kasar dan garam),
tata laksana penanganan litter, sistem ventilasi maupun tata laksana pemberian air
minum.
Keberadaan amonia di dalam kandang dalam kadar yang tinggi dapat merusak
saluran pernapasan atas sampai penurunan produksi telur (tabel 2). Kerusakan saluran
pernapasan atas berarti juga kerusakan sistem pertahanan pertama terhadap masuknya
bibit penyakit. Oleh karenanya, kerusakan tersebut akan memicu serangan penyakit
lainnya, seperti E. coli maupun korisa.
d) Lemahnya biosecurity
Sanitasi dan desinfeksi yang dilakukan secara rutin akan mengurangi
tantangan bibit penyakit yang berada di sekitar ayam. Namun, seringkali kita
(peternak, red.) belum begitu konsisten dalam melakukan sanitasi dan desinfeksi.
Tempat minum berupa, menjadi sarana penularan penyakit yang sangat baik.
Jika ada salah satu ayam yang terserang CRD, maka saat minum eksudat dari hidung

23
ayam tersebut akan mencemari air minum. Akibatnya saat ayam melakukan aktivitas
minum, bakteri CRD bisa menginfeksi. Infeksi dan penularan E. coli juga bersumber
dari air minum. Oleh karena itu, lakukan pemeriksaan kualitas air secara rutin,
terutama saat pergantian musim.
e) Kondisi cuaca yang tidak nyaman
Kandang yang nyaman, yaitu memiliki suhu 25-28oC dan kelembaban 60-
70% akan mendukung produktivitas ayam. Namun kenyataannya, kondisi kandang
seringkali berfluktuasi, terlebih lagi saat musim pancaroba (perubahan musim).
Kondisi suhu dan kelembaban saat perubahan musim tidak menentu. Sering
ditemukan kejadian saat siang hari panas namun tiba-tiba hujan dan biasanya diikuti
dengan tiupan angin yang kencang. Kondisi ini tentu saja akan menurunkan stamina
tubuh ayam sehingga serangan penyakit relatif mudah terjadi, terlebih lagi CRD
kompleks.

Gejala Klinis
Jika M. gallisepticum menginfeksi ayam tanpa komplikasi, maka gejala klinis
tidak akan terlihat. Namun karena ada faktor lain seperti E. coli akan menyebabkan
saluran pernapasan akan lebih teriritasi dan gejala klinis pun akan mulai terlihat.
Gejala klinis dari CRD kompleks pada ayam umur muda (DOC dan pullet) sering
terlihat gejala sakit pernapasan, menggigil, kehilangan nafsu makan, penurunan bobot
badan dan peningkatan rasio konversi ransum. Anak ayam lebih sering terlihat
bergerombol di dekat pemanas brooder. Pada ayam dewasa kadang-kadang terlihat
ingus keluar dari hidung dan air mata, sulit bernapas, ngorok, dan bersin (Info
medion, 2011).

Serangan CRD pada ayam muda.


Perubahan Patologi Anatomi (Makroskopis ) dan Histopatologi (mikroskopis)

24
Perubahan pada bedah bangkai ditemukan peradangan pada saluran
pernapasan bagian atas (laring, trakea, bronkus), paru-paru berwarna kecoklatan,
kantung udara tampak adanya lesi yang khas (keruh dan menebal) serta pembentukan
jaringan fibrin pada selaput hati (perihepatitis) dan selaput jantung (pericarditis) dan
perkejuan di organ dalam (komplikasi colibacillosis (Info medion, 2008).

Selaput lendir pada trakea, bengkak dan berwarna merah


Sebenarnya M. gallisepticum sangat mudah mati, terutama oleh temperatur
lingkungan yang tinggi, kadar O2 tinggi, kelembaban relatif rendah dan juga
beberapa desinfektan maupun antiseptik. Namun, pada kandang dengan ventilasi dan
sanitasi jelek, kondisi ini justru dapat membuat Mycoplasma dapat bertahan lama
hidup di udara. M. gallisepticum ketika berada dalam saluran pernapasan akan
berkembangbiak dengan cepat, tetapi memiliki pola serangan yang lambat. Sisa
metabolisme dan bangkai M. gallisepticum yang mati akibat terjadi perebutan tempat
hidup dan makanan mengakibatkan kerusakan pada sel-sel permukaan saluran
pernapasan. Kerusakan ini akan mempermudah terjadinya infeksi sekunder, sehingga
muncul CRD kompleks dimana terjadi Perihepatitis dan pericarditis

Perihepatitis dan pericarditis


Perubahan Makroskopis dan Mikroskopis lainya yang kelihatan adalah:
1) Airsaculitis
Infeksi pada kantong udara biasanya diikuti perikarditis dan perihepatitis
(Tabbu, 2000). Secara mikroskopis lesi mengandung edema dan infiltrasi heterofil.
Terdapat banyak proliferasi fibroblastik dan akumulasi sejumlah besar heterofil
nekrotik di dalam eksudat kaseosa.
2) Omfalitis
Saat abdomen membengkak dan anak ayam dibuka akan tampak yolk sac
tidak diabsorbsi, tapi dipenuhi oleh cairan tidak berwarna atau coklat dan infeksi telah

25
menyebar ke seluruh rongga perut. Kandungan normal yolk sac berubah dari
viskositas, kuning kehijauan dan cair, kuning kecoklatan atau masa kaseosa.
3) Koliseptisemia
Ginjal membesar dan berwarna hitam. Pada septisemi akut perubahan yang
tersifat adalah hati yang berwarna kehijauan dan otot pektoralis yang kongesti,
terdapat eksudat fibrinus yang menutupi permukaan hati. Secara mikroskopis hati
menunjukkan kongesti disertai infiltrasi heterofil (Mulyadi, 2011).
4) Enteritis
Enterotocsigenic (ETEC) yang membebaskan toksin dapat menyebabkan
akumulasi cairan pada usus. Selama infeksi E. coli akut selalu terdapat cairan
menguning (Calnek, 1997). Mukosa usus biasanya mengalami kongesti dan kadang-
kadang mengalami deskuamasi akibat endotoksin yang dihasilkan oleh E. coli
(Mulyadi, 2011)
5) Salpingitis
Ditandai dengan bentuk ova yang tidak teratur, ova berwarna kekuningan dan
kerapkali ditemukan adanya folikel yang berubah menjadi cyst atau ruptur. Oviduk
dapat mengalami obstruksi oleh adanya material yang mengkeju ataupun bagian dari
telur yang pecah (Mulyadi, 2011). Reaksi jaringan dalam oviduk ringan dan
mengandung sebagian besar akumulasi heterofil di bawah epitelium. Estrogen yang
tinggi tampak berhubungan dengan pertumbuhan E.coli di oviduk
6) Koligranuloma
Terdapat granuloma di hati, duodenum, sekum, dan mesenterium. Lesi tampak
menyerupai tumor, organ mengeras, belang dan membesar.

7) Sinovitis dan arthritis


Persendian yang terkena akan membengkak dan jika dibuka dapat ditemukan
cairan bening atau mengkeju di dalam persendian tersebut (mulyadi, 2011).
8) Panolpthalmitis

26
Terjadi pernanahan, biasanya pada satu mata dan mengakibatkan kebutaan.
Secara mikroskopis terdapat infiltrasi heterofil dan pagositosis mononuklear di mata
serta giant cell terbentuk di sekitar area nekrosis.

Diagnosa
CRD kompek dapat didiagnosa berdasarkan gejala klinis, pemeriksan
patologi anatomi (pemeriksaan makroskopis), maupun mikroskopis (histopat) serta
isolasi dan identifikasi bakteri M. gallisepticum dan Escherichia coli. Isolasi bakteri
dapat berasal dari swab saluran pernafasan dan organ visceral seperti tracea, kantong
udara ,hepar, jantung, lien, perikardium, air sac dan yolk sac.

b. Penyakit Asites
Asites (water belly)/busung pada ayam merupakan suatu timbunan cairan
yang tergolong transudat (tidak berhubungan dengan proses radang) di dalam rongga
perut (TABBU, 2002). Sebelumnya JULIAN (2009) mengatakan bahwa, asites
merupakan gangguan metabolisme yang berhubungan dengan ketidakmampuan tubuh
untuk menyediakan oksigen yang cukup akibat kebutuhan oksigen yang meningkat.
Asites adalah semacam penyakit akibat komplikasi banyak faktor yang saling
berkaitan satu sama lain antara produktivitas, penyakit dan lingkungan.
Pada ayam pedaging yang sedang tumbuh, asites sering menyebabkan
kematian akibat kegagalan jantung (ventrikel kanan) dan umumnya disebabkan oleh
sindrorn hipertensi pulmonum (pulmonary hypertension syndrome/PHS). Kasus
hipertropi ventrikel kanan dan kegagalan jantung meningkat pada ayam broiler yang
dipelihara di daerah dataran tinggi dengan temperatur rendah (HASSANZADEH, dkk
2002). Penyakit tersebut dilaporkan terjadi pertama kali pada ayam pedaging yang
dipelihara di dataran tinggi di Bolivia. Setelah itu, kasus yang sama juga dijumpai di
Peru, Meksiko, Afrika Selatan dan di negara-negara lain.
Pada musim dingin, banyak dijumpai kematian ayam pedaging akibat asites.
Kasus ini dilaporkan oleh ANJUM et al. (1998), dalam studinya pada 27 peternakan

27
ayam pedaging di Faisalabad, Pakistan selama musim dingin. Ditemukan adanya
ayam yang mati karena asites sebanyak 4,46% dan kematian maksimurn terjadi pada
umur tujuh minggu, hingga 5,95%.
Kejadian asites pada ayam pedaging juga dilaporkan sebanyak 1,4% (0-
10%) pada 179 buah peternakan ayam di Inggris (MAXWELL dan ROBSERTSON,
1997). Kebutuhan oksigen yang tinggi guna menjamin kecepatan pertumbuhan
merupakan penyebab primer timbulnya hipertensi pulmonum, sehingga dapat
menginduksi terjadinya asites (JULIAN, 1998). Laju pertumbuhan sangat
dipengaruhi oleh faktor genetik dan kemampuan tubuh mensuplai oksigen untuk
proses metabolismenya. Menurut TABBU (2002), ayam pedaging generasi terakhir
terseleksi secara ketat untuk mendapatkan pertumbuhan yang cepat dan telah dicapai
perbaikan untuk mendapatkan laju pertumbuhan sebesar 5% per tahun. Hat ini
dilakukan untuk memenuhi permintaan pasar yang menginginkan pencapaian bobot
badan ayam optimal dalam waktu yang singkat. Namun, kemajuan seleksi genetik ini
juga diikuti dengan peningkatan kejadian asites pada industri peternakan ayam
pedaging. Sejalan dengan perbaikan genetik tersebut, memungkinkan munculnya titik
lemah dari hasil seleksi. Pertama, perkembangan embrio pada ayam modern lebih
cepat yang menyebabkan tingkat metabolisme fase embrional lebih tinggi. Kedua,
perubahan anatomis terjadi pada volume paru-paru ayam pedaging, yakni 20-30%
lebih kecil dibandingkan ayam klasik, dan dinding ventrikel kanan jantung yang lebih
tipis, kapasitas kantong hawa lebih kecil akibat terdesak oleh porsi usus, daging dada
dan hati lebih besar. Selain itu, ayam modern juga sensitif terhadap stres, toksin dan
kasus tumor. Menurut JULIAN (1989), persentase volume paruparu dibandingkan
bobot tubuhnya, menurun 32% dari 2,02% pada ayam umur sehari (DOC) menjadi
1,38% pada ayam umur 144 hari. Kemungkinan penyebabnya adalah massa otot yang
besar dan jenis ayam/genetik ayam. Tidak sebandingnya antara pertambahan dengan
perkembangan paru-paru ini dapat menyebabkan kapasitas paru-paru berkurang dan
ini merupakan faktor predisposisi terjadinya asites dalam penyediaan oksigen. Di
Indonesia, kasus asites sudah sering didiagnosis di beberapa peternakan ayam

28
pedaging yang masih dalam tingkat pertumbuhan dan juga pada itik pedaging. Pada
ayam pedaging, kasus ini dapat ditemukan mulai dari ayam umur sehari (DOC)
hingga panen, dengan tingkat keparahan yang berbeda. Ayam jantan lebih peka
terhadap asites dibanding dengan ayam betina, karena kebutuhan oksigen yang tinggi,
sehubungan dengan pertumbuhan yang cepat dan massa otot yang besar. Jenis ayam
tertentu, terutama ayam yang pertumbuhannya sangat cepat dan menghasilkan daging
banyak, lebih sensitif terhadap asites. Selain pada ayam pedaging, asites juga dapat
dijumpai pada ayam petelur (layer) dan pembibitan (breeder) (TABBU, 2002).

Etiologi dan pathogenesis

Penyebab asites Asites disebabkan oleh banyak faktor dan tidak spesifik,
penyebab asites belum diketahui secara pasti, namun penggunaan garam yang
berlebihan di dalam pakan diperkirakan dapat menimbulkan penyakit mi. Selanjutnya
TABBU (2002) menyatakan bahwa, penyebab kejadian asites pada ayam pedaging
dapat dihubungkan dengan tiga faktor yang saling berhubungan, yaitu, faktor
fisiologik, manajemen dan lingkungan. Faktor pendukung utama adalah kebutuhan
oksigen yang meningkat guna memenuhi percepatan pertu mbuhannya. Beberapa
sindrom penting yang dapat mengakibatkan peningkatan tekanan darah, mendukung
terjadinya asites, antara lain: kerusakan hati (akibat toksin hepatik) pada semua tipe
unggas, penyakit jantung primer (endokarditis, miokarditis) yang disebabkan oleh
virus) dan hipertensi pulmonum. Banyak faktor, baik secara sendiri-sendiri maupun
kombinasi yang dapat menyebabkan hipertensi pulmonum, tetapi kebanyakan akibat
hipoksemia (keadaan oksigen darah yang menurun). Hipoksemia dapat
mengakibatkan peningkatan "cardiac output", polisitemia (bertambahnya jumlah
eritrosit dalam tubuh), peningkatan Hemoglobin (Hb) dan Packed Cell Volume
(PCV). Perubahan pada darah yang menimbulkan kekentalan darah, eritrosit menjadi
lebih besar dan lebih kaku, akan menyulitkan darah untuk melewati kapiler paru-paru.
Keadaan ini mendukung hipertensi pulmonum. Sementara itu (Yusuf, 2013)
mengatakan bahwa, asites disebabkan oleh faktor endogenus struktural, yaitu: paru-

29
paru tidak mampu berkembang, jaringan paruparu dan pembuluh darah bervariasi dan
perubahan rasio kapiler darah dan serabut otot. Faktor endogenus fungsional, yakni:
perbedaan kebutuhan oksigen antara ayam jantan dan betina, ayam yang cepat
tumbuh, lambat tumbuh dan fungsi tiroid. Secara patologi, penyebab asites dapat
dihubungkan dengan berbagai lesi. Pertama, penyumbatan saluran limfe, kedua,
pengurangan osmotik cairan plasma, ketiga, peningkatan permeabilitas dinding
pembuluh darah . Dan keempat, peningkatan tekanan hidrostatik sistem vaskuler
sebagai akibat dari: a) kelainan patologi hati, b) kelainan patologi katup
atrioventrikuler bagian kanan, c) hipertensi pulmonum dan d) kelainan patologik
lainnya. menggolongkan penyebab asites ke dalam tiga kategori, yaitu: 1) hipertensi
pulmonum, 2) macam-macam kelainan patologi jantung dan 3). gangguan seluler
yang disebabkan oleh reaksi jenis oksigen. Secara fisiologis antara jantung dan paru-
paru saling ketergantungan, dan kebanyakan perubahan organ dapat menjadi
penyebab atau membawa konsekuensi hipertensi pulmonum. Penyebab asites lainnya,
diperkirakan dapat terjadi pada periode embrional, meskipun kejadiannya baru akan
muncul setelah penetasan dan mencapai puncaknya pada minggu ke-lima sampai ke-
enam periode pertumbuhannya Kekurangan oksigen ketika di dalam suatu mesin
penetasan telur (inkubator) dapat mendukung timbulnya asites (TABBU, 2002).

Patogenesis asites

Perkembangan asites biasanya diawali dari stres yang melampaui toleransi


jantung atau paru-paru untuk mendapatkan oksigen yang cukup tinggi. Sebagai
kompensasinya, frekuensi denyut jantung akan berubah cepat untuk meningkatkan
aliran darah ke paru-paru dan jaringan tubuhnya, guna memenuhi kebutuhan oksigen
tersebut. Akibatnya tekanan darah meningkat (hipertensi) di dalam pembuluh darah
kecil/kapiler, permeabilitas kapiler meningkat dan cairan akan lolos ke dalam rongga
perut (asites) atau sekitar jantung (hidroperikardium) (TABBU, 2002). Peningkatan
tekanan dalam paru-paru dan pembuluh darah paru-paru menyebabkan peningkatan
tekanan pada dinding ventrikel kanan, sehingga terjadi pembesaran (hipertropi)

30
ventrikel tersebut . Hipertropi ventrikel kanan akan menimbulkan peningkatan retensi
aliran darah ke paru-paru, yang mengakibatkan tekanan intra vaskuler paru-paru
bertambah, sehingga terjadi edema paru-paru yang dapat menimbulkan kematian
hewan. Di samping itu, hipertropi ventrikel kanan juga dapat menyebabkan
ketidakmampuan katup jantung, karena terjadi kebocoran katup tersebut, terutama
akibat katup yang kurang efektif dan akibat tekanan balik arteri pulmonum dan
tekanan ruang ventrikel bagian kanan. Akibat katup jantung bagian kanan yang bocor
akan menambah volume darah yang berlebihan pada ventrikel kanan yang
mempunyai tekanan yang berlebihan pula, sehingga menimbulkan dilatasi pada
ventrikel kanan. Selanjutnya akan terjadi penurunan darah yang melewati paru-paru
dan meningkatkan tekanan balik di dalam vena. Tekanan balik (vena) ini
(menyebabkan pembendungan dan edema hati) dapat mengakibatkan kebocoran
plasma dari hati ke dalam ruangan hepatoperitoneal. Cairan plasma akan terkumpul
dalam ruangan abdomen dan timbunan cairan tersebut disebut asites. Kejadian asites
ini, juga bisa dipicu oleh rendahnya suplai 02/oksigen (tekanan atmosfer yang
rendah/kadar oksigen rendah) untuk merespon kebutuhan metabolisme. Kemudian
menggertak terjadinya peningkatan aliran darah atau kekentalan darah dan
selanjutnya dapat mengakibatkan peningkatan tekanan darah di dalam paru-paru dan
pembuluh darah paru. Ayam pedaging yang dipelihara di suatu lokasi dengan udara
dingin dan tekanan udaranya rendah, misalnya di dataran tinggi (>1.500 m di atas
permukaan laut/dpl), porsi 02-nya menurun sehingga ayam akan kekurangan 02.
(Menurut TABBU (2002), persentase equivalen 02 menurun sekitar 1% pada setiap
kenaikan 500 m dpl. Kekurangan 02 ini akan mengakibatkan ginjal bereaksi dan
menggertak eritropoietin untuk meningkatkan produksi sel darah. Peningkatan sel-sel
darah akan menyebabkan viskositas darahnya meningkat. Padahal spesies avian
mempunyai kapiler berukuran kecil dan keras, sedangkan sel darah (muda) pada
ayam pedaging mempunyai inti sel yang lebih besar dan lebih kaku. Oleh karena itu,
peningkatan viskositas darah tersebut dapat merupakan faktor pendukung terpenting
kejadian hipertensi pulmonum, yang akhirnya dapat memicu terjadinya asites. Laju

31
pertumbuhan yang cepat dan Basal Metabolisme Rate (BMR) yang tinggi, merupakan
faktor predisposisi kejadian asites. Faktor ini erat kaitannya dengan hipertensi
pulmonum yang dapat menimbulkan hipertropi ventrikel kanan . Manajemen optimal
dengan pemberian pakan berprotein tinggi merupakan faktor utama pendukung
kejadian asites, sehubungan dengan laju pertumbuhan yang tinggi. Protein
membutuhkan oksigen dalam jumlah besar untuk proses metabolismenya, sehingga
oksigen diperlukan untuk mengubah kelebihan protein menjadi energi dan
mengeluarkan sisa metabolisme protein. Demikian pula halnya dengan pakan yang
berbentuk pelet (bersifat padat), yang mudah dimakan dan dicerna, dapat mendukung
terjadinya asites (TABBU, 2002). Oleh sebab itu, kelebihan protein dapat
menyebabkan jaringan tubuh kekurangan oksigen (hipoksia). Faktor pendukung lain,
misalnya, cuaca dingin, panas, aktivitas, hipertiroid, massa otot yang besar dan
kelebihan makan (overeating) dapat menyebabkan kebutuhan oksigen pada jaringan
tubuh ayam meningkat Ayam yang memiliki persentase otot dada lebih tinggi atau
massa otot yang besar dan kepadatan kapilernya lebih rendah, akan mempunyai
resiko kekurangan suplai oksigen ke dalam otot dada. Ayam semacam itu sangat
rentan terhadap terjadinya asites.

Gejala klinis

Secara klinis ayam penderita asites memperlihatkan gejala depresi, kurang


lincah/lamban, malas bergerak, sulit bernafas dan bagian perutnya mengembung,
nampak gelisah, bulu kasar dan sering terjadi kematian mendadak, Terlihat warna
kebiruan (sianosis) pada kulit di daerah kepala dan jenggernya mengkerut, sedangkan
kulit di daerah abdomen biasanya berwarna merah kecoklatan dan pembuluh darah
tepi dapat mengalami kongesti (TABBU, 2002). Perubahan Patologi Anatomi (PA)
pada kasus asitesyangmencolok adalah terjadinya busung airpada perut dan pelebaran
jantung bagian kanan, serta perubahan hati yang bervariasi dan rongga perut berisi
banyak cairan. Pada jantung terjadi penebalan, endokardium berbenjol-benjol
terutama pada katup atrio-ventrikuler. Hati berwarna belang-belang atau mengkerut

32
dengan permukaan yang tidak rata atau dengan selubung warna kelabu (Akumulasi
sejumlah cairan jernih/transparan, berwarna kekuningan atau kecoklatan, atau cairan
yang bercampur dengan bekuan fibrin terdapat di dalam rongga perutnya (TABBU,
2002). Pada kejadian infeksius, cairan asites biasanya keruh berwarna abuabu hingga
kehijau-hijauan dan berbau busuk. Sebaliknya, pada kasus non infeksius, cairan jernih
dan tidak berbau. Volume cairan asites pada ayam pedaging (umur21-56 hari)
bervariasi antara 10-400 ml.

PENANGGULANGAN

Penanggulangan asites terutama ditujukan pada faktor pendukung primer


yakni, faktor genetik yang mempengaruhi perkembangan kapasitas pembuluh darah
dari organ (paru-paru dan jantung) yangterbatas dan kebutuhan oksigen yang tinggi.
Oleh karena itu, seleksi genetik terhadap jenis ayam tertentu mempunyai peranan
penting dalam penanggulangan asites ini. Di samping itu, penanggulangan asites juga
ditujukan untuk menghilangkan faktor sekunder yang dapat mempengaruhi
peningkatan aliran darah . Perlu ditentukan sumber penyebab kasus tersebut . Bila
kejadian asites sejak DOC atau pada minggu pertama kehidupan ayam dan ada lutut
yang merah (red hock), maka kasus tersebut akibat kesalahan manajemen hatchery.
Bila asites muncul pada saat minggu kedua, bisa disebabkan oleh kegagalan
manajemen brooding, yang menyebabkan anak ayam kedinginan dan kekurangan
oksigen. Oleh karena itu harus segera dilakukan evaluasi terhadap alat pemanas (jenis
dan ketinggian), kualitas sekam, aliran udara dan kepadatan. Pada saat musim hujan
manajemen brooding dan lepas brooding menjadi sangat penting. Di samping itu,
pencegahan kontaminasi Aspergillus sp. dan infeksi bakterial dapat dilakukan seawal
mungkin sejak dari telur tetas hingga ayam dewasa (TROBOS, 2005). Menurut
TABBU (2002), pengendalian dan pencegahan asites hendaknya ditujukan pada
upaya menekan pencapaian bobot badan yang terlalu cepat dan mencegah berbagai
faktor pendukung sindrom tersebut. Misalnya, praktek manajemen yang ketat
(khususnya ventilasi yang optimal), penurunan tingkat kepadatan, pengendalian

33
penyakit pernafasan, menekan kadar amonia dalam kandang, menjaga kadar NaCI
atau Na dalam pakan yang optimal dan menghindari stres. Pengobatan yang spesifik
terhadap ayam penderita asites tidak ada. Pemberian antibiotik biasanya hanya
dilakukan jika faktor pendukung asites adalah infeksi bakterial dan pemberian
vitamin C untuk mengatasi stresyang dapat memperberat efek asites. Di daerah
dengan udara dingin, Frusemide sebagai diuretik yang biasa digunakan untuk
pengobatan gagal jantung, bisa ditambahkan dalam pakan. WIDEMAN et al. (1994)
menyebutkan bahwa, penambahan Frusemide dengan dosis 0,001%, 0,005% dan 0,01
dapat mengurangi kejadian asites tanpa penurunan bobot badan akhir secara
signifikan. Selanjutnya CHAKRBARTI dan CHANDRA (2001) melaporkan bahwa,
pemberian Livol Classic dikombinasi dengan Lasilactone dapat digunakan untuk
pengobatan asites. Livol Classic (produk herbal) 2% dalam pakan (selama 3 minggu)
dan Lasilactone 50 diberikan melalui air minum dengan dosis 0,25 mg/kg bobot
badan. LADMAKHI et al. (1997) melaporkan bahwa, penambahan vitamin C dalam
pakan dapat mengurangi kejadian stres dan plasma tiroid tereduksi secara nyata.
Penambahan vitamin C 500 mg/kg dalam pakan yang diberikan pada ayam yang
dipelihara di lokasi dengan temperatur rendah, tidak mempunyai efek terhadap
pertumbuhan, konsumsi pakan dan konversi pakan. Suplementasi vitamin C bertujuan
untuk mengurangi efek stres akibat infeksi. Hal ini telah ditunjukkan dengan adanya
pengurangan rasio heterofil/limfosit pada unggas yang stres, akibat infeksi E. coli
atau stres sebelum pemotongan untuk mengurangi kematian. Pembatasan pakan pada
periode awal dapat menekan kejadian asites pada ayam pedaging. Kondisi ini dapat
dicapai dengan program penyinaran yang sesuai (pembatasan lama penyinaran),
pemberian pakan bentuk mash (tepung) dan pengurangan kandungan energi dan/atau
protein dari pakan. Program penyinaran (gelap/terang silih berganti) ini membantu
mengatur metabolisme tubuh. Karena pada saat gelap, ayam tidak makan dan
istirahat. Ini dimaksudkan untuk mengurangi bobot badan supaya tidak terlalu cepat
pertumbuhannya. Menurut (Trobos, 2005) ayam pedaging yang diberi penyinaran
hanya delapan jam sehari pada saat umur lima hari sampai dengan umur 21 hari,

34
dapat mengurangi pertambahan bobot badannya 11% bila dibandingkan dengan ayam
yang diberi penyinaran 23 jam sehari, dan mortalitasnya juga lebih rendah. Hal ini
berarti dapat mengurangi kejadian asites.

DAFTAR PUSTAKA

Akoso, Hidayat. 2009. Manual Kesehatan Unggas: Panduan bagi Petugas Teknis
Penyuluh dan Peternak. Cetakan Pertama. Kanisius. Yogyakarta.

35
Fadilah. Darminto. 2011. Epidemiologi Diagnosis dan Kontrol Penyakit Infectious
Laryngotracheitis (ILT) pada Ayam. Jurnal Wartazoa. Vol.8. No.1.
Info Medion. 2011. Proyeksi Penyakit.
Muklis. 2008. Kasus Penyakit Pernafasan Yang Tidak Pernah Tuntas. Majalah
Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Mulyadi P. 2011. Chronic Respiratory Disease ( CRD) komplek Kolibasilosis.
Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Syiah Kuala.
Tabbu. R.C. 2005. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya. Volume 2. Penerbit
Kanisius, Yogyakarta. him. 305-320.
Tri Akoso , B. 2009 . Manual Kesehatan Unggas. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
him. 179-180.
Trobos . 2005. Kembung pada ayam modern. Edisi no. 64. Januari 2005.

36

Anda mungkin juga menyukai