Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN HASIL DISKUSI

SMALL GROUP DISCUSSION

SKENARIO 2: Layer Periode Produksi Mati Mendadak

Disusun Oleh:

Nama: Monica Eka Chandra W

NIM: 18/427344/KH/09718

Kelompok: 9

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2022
I. Skenario
Layer Periode Produksi Mati Mendadak

Nusantara Farm yang memelihara layer galur Lohmann brown dengan populasi
total 150.000 ekor dikejutkan oleh kematian mendadak pada kelompok ayam produksi
umur 28 minggu (jumlah 25.000 ekor). Farm tersebut terdiri dari 5 kelompok umur dengan
kandang terbuka sistem panggung untuk starter/grower, dan system baterai untuk
kelompok produksi (laying) pada lokasi yang sama. Fasilitas biosecurity untuk kendaraan,
pekerja, dan kandang cukup tersedia, namun tidak digunakan secara maksimal. Pemilik
farm tersebut melakukan vaksinasi secara lengkap terhadap penyakit ayam utama di
Indonesia, yaitu: ND, IB, AI, Gumboro, ILT, fowl pox, EDS-76, dan infectious coryza,
sedangkan Marek’s disease (MD) divaksinasi pada saat masih hatchery. Sumber air
minum dari sumur dengan kedalaman 25meter dan disanitasi dengan klorin. Hejo Farm
membeli konsentrat dari pabrik pakan ternak, kemudian dicampur sendiri dengan jagung
dan katul menggunakan mixer.
Pada umur 28 minggu, kelompok ayam produksi pada saat puncak produksi telur
(92%) terjadi kematian pada sejumlah besar ayam dengan gejala-gejala sebagai berikut:
terjadi kematian mendadak, beberapa ayam teramati edema facial, beberapa ayam teramati
menunduk dengan paruh menopang pada kandang baterai, anoreksia, lesu, lemah, dan
berakhir dengan kematian. Terlihat juga penurunan produksi telur yang drastis dalam
kuantitas maupun kualitas (92% menjadi 60%). Penularan antar ayam dan antar kandang
tergolong cepat dengan morbiditas sekitar 70% dan mortalitas sekitar 20% pada saat kasus
tersebut dilaporkan. Akhir-akhir ini dilaporkan banyak kasus penyakit ND yang terjadi di
peternakan ayam komersial yang telah menerapkan vaksinasi secara berkala disebabkan
oleh virus ND genotype VII.
Hasil pemeriksaan titer antibodi terhadap virus ND menunjukan sebaran yang
rendah, bahkan terdapat sampel dengan titer 20. Hasil nekropsi menunjukan adanya
nekrosis dan lesi haemorrhagic pada saluran pencernaan, meliputi proventrikulus,
duodenum, jejunum, dan tonsil sekalis, dengan lesi khas keropeng. Hasil nekropsi
beberapa organ terpilih dikirim ke Lab. Mikrobiologi untuk mendapat konfirmasi
penyebab penyakit dan karakter patogenisitas penyebabnya. Di sisi lain hasil nekropsi
beberapa ayam teramati ada cacing pipih, putih yang terdapat pada intestinal. Data farm
menunjukkan bahwa selama ini memang belum pernah ada pengobatan cacing di farm
tersebut. Pemilik Nusantara Farm heran jenis cacing apa yang terdapat di ayamnya, serta
bertanya tanya dari mana datangnya cacing tersebut. Bagaimana mungkin ayam yang
dipelihara di kandang bateri tersebut dapat terinfestasi parasit cacing.
Hasil konsultasi kepada teknikal servis pada kasus tersebut, Nusantara Farm
diminta meningkatkan program biosekuriti terutama sanitasi desinfeksi farm, menseleksi
ayam yang sakit, memberikan antibiotika untuk mengatasi infeksi sekundernya serta
pemberian obat cacing. Tidak kalah penting Nusantara farm diminta melihat kembali
program vakinasi terhadap penyakit ND yang diterapkan di farmnya.

II. Kata Kunci


Layer, Newcastle Disease, ND genotype VII, vaksinasi ND cestoda, lesi khas, titer
antibodi, hospes intermedier, penanganan dan pencegahan penyakit viral dan parasiter
unggas.

III. Tujuan Pembelajaran


1. Mahasiswa mengenali karakter penyakit ND dan mampu melakukan diagnosis di
lapangan.
2. Mahasiswa mampu mengenali penyakit parasite (cacing pita), siklus hidup, penularan,
dan diagnosisnya.
3. Mahasiswa mampu melakukan isolasi dan identifikasi NDV secara laboratorium
dalam rangka konfimasi penyebab penyakit.
4. Mahasiswa dapat mengetahui cara penanganan kasus penyakit NDV, serta mampu
menyusun program vaksinasi penyakit ND.
5. Mahasiswa mampu menyusun program kesehatan pada ayam petelur, terutama dalam
mencegah penyakit cacing dan penyakit ND serta mengenal program biosekuriti pada
peternakan unggas

IV. Pembahasan
Penyakit Newcastle Disease
Newcastle Disease disebabkan oleh virus yang tergolong Paramyxovirus yang
termasuk virus ss-RNA berukuran 150-250 milimikron dengan bentuk bervariasi tetapi
umumnya berbentuk spheric. Virus ini memiliki amplop dan kapsis yang berbentuk heliks
yang simetris. Golongan ini memiliki 6 protein penting, yakni nucleocapsid (N),
phosphoprotein (P), matrix (M), Fusion (F), hemagglutinin-neuraminidase (HN), dan
RNA-dependent RNA polymerase (L).
Protein H merupakan protein yang melekat dan mengikat pada reseptor pada
bagian luar membrane sel inang, termasuk sel darah merah. Perlekatan virus ke sel darah
merah adalah sifat penting yang digunakan di laboratorium untuk mendeteksi keberadaan
virus dan untuk mendeteksi antibody terhadap virus. Bagian N merupakan enzim aktif
yang membantu dalam pelepasan virus dari membrane sel inang. Aktivitas enzim ini
mempengaruhi waktu yang dibutuhkan bagi virus untuk mengelusi dari sel darah merah
(Kementrian Pertanian, 2014).

Patologi Newcastle Disease


Patologi anatomi bergantung pada strain virus yang menulari. Perubahan yang
disebabkan oleh infeksi virus velogenik strain Asia yang patognomosis berupa ptechiae
(bintik-bintik pendarahan) pada proventrikulus (perut kelenjar) dan nekrosa pada usus.
Kelainan-kelainan pada saluran pernafasan seperti rhinitis, tracheitis, laryngitis,
pneumonia dengan eksudat katarrhalis sampai mucopurulent dapat pula ditemui, akan
tetapi tanda ini tidak khas untuk penyakit tetelo saja. Kelainan susunan syaraf berupa
degenerasi dan nekrosi otak.
Patologi anatomi pada infeksi virus strain velogenik type Amerika serupa dengan
infeksi oleh strain virus strain velogenik tipe Asia, kecuali ptechiae pada proventrikulus
jarang terjadi dan encephalitis hampir selalu terjadi.
Gambaran patologi anatomi pada infeksi virus strain mesogenic tidak khas,
perubahannya terbatas pada saluran pernafasan. Selain itu juga ditemukan perubahan
berupa ptechiae pada perikarium, subpleural, tembolok, dan usus (Kementrian Pertanian,
2014).

Gambar 1. Perubahan patologi pada unggas yang terserang ND. (a) Pendarahan pada sekal
tonsil, (b) ptechiae pada proventrikulus, (c) nekrosa pada usus.
(Kementrian Pertanian, 2014)

Cestodiasis karena Railietina sp.


Cestodiasis merupakan infestasi cacing cestode atau cacing pita pada saluran
pencernaan ayam. Keberadaan cacing dalam jumlah yang sedikit masih mampu ditoleransi
oleh unggas, namun dalam jumlah tertentu cacing akan merugikan bagi kesehatan unggas,
karena mengambil nutrisi dari tubuh unggas, menimbulkan kerusakan ekstensif pada
mukosa usus, dan mengganggu penyerapan dalam usus. Dampak infeksi cacing dapat
bervariasi tergantung derajat infeksinya, dari infeksi berat yang dapat menyebabkan
kematian, hingga infeksi ringan yang menyebabkan penurunan produksi yang tidak terlihat
(Winarso, 2016).
Salah satu cacing pita yang sering menyerang pada ayam petelur adalah genus dari
Railietina. Genus ini terdiri dari 3 species, yakni Raillietina echinobothrida, Railietina
tetragona, dan Raillietina cesticullus. Masing-masing spesies dapat dibedakan dari bentuk
skoleksnya. Ketiga spesies cacing terdapat di usus halus dengan menancapkan skoleksnya
di mukosa. Ukuran R.echinobothrida dan R.tetragona mencapai 10-25 cm, sedangkan
R.cesticellus mencapai 9-13 cm. Setiap proglottid gravid dari masing-masing cacing
mempunyai jumlah telur yang berbeda tetapi ukuran telur yang sama yakni 74 x 93
mikrometer (Permin & Hansen, 1998).

Siklus Hidup Railietina sp.


Siklus hidup Raillietina sp. Adalah tidak langsung dengan burung atau unggas
sebgai hospes akhir dan beberapa serangga atau siput sebagai hospes intermediet. Segmen
gravid dari cacing dewasa akan terbuang bersama feses. Pada cuaca yang sejuk dan
lembab, telur tetap infektif untuk serangga dan siput selama beberapa hari. Hospes
intermediet akan memakan segmen gravid dimana di dalam segmen tersebut terdapat telur
yang akan keluar dari segmen ketika sudah mencapai pencernaan. Telur akan berkembang
menjadi sistiserkoid di dalam tubuh hospes intermediet. Unggas kemudian akan memakan
hospes intermediet yang terkontaminasi. Setelah tercerna, sistiserkoid akan berkembang
menjadi cacing muda dan akan berpredileksi pada usus unggas. Waktu yang dibutuhkan
antara infeksi hingga pelepasan telur pertama adalah 2-3 minggu (Ramnath et al., 2017).
Gambar 2. Siklus hidup Raillietina sp.
(Ramnath et al., 2017)

Patogenitas Railietina sp.


Infeksi oleh R.cesticillus menyebabkan ayam tidak mau makan, radang, dan
degenerasi pada vili usus, penurunan gula darah dan hemoglobin, serta penurunan laju
pertumbuhan. Adanya cacing ini di ayam tidak menyebabkan penurunan berat badan,
tetapi menyebabkan penurunan produksi telur pada ayam layer. Infeksi oleh R.tetragona
menyebabkan penurunan berat badan dan penurunan level glikogen di hepar dan mukosa
usus. R.echinobothridia merupakan spesies yang pathogen pada ayam dan dikaitkan
dengan penyakit nodular pada ayam karena cacing ini menyebabkan nodul pada usus di
tempat scolex berada. Selain itu juga menyebabkan radang granulomatous dengan
diameter 1-6 mm ditempat cacing tersebut menyerang (Prastowo & Priyowidodo, 2014).

Diagnosa dan Gejala Klinis Railietina sp.


Gejala klinis sangat bergantung dari intensitias infeksi dan jenis cacing pita yang
menginfeksi. Pada infeksi berat, ayam dewasa akan tampak penurunan pada produksi,
pertumbuhan yang terhambat, gerakan lambat, mencret, bulu mudah lepas dan kering, serta
selapit lendir pucat dan kurus. Pada anak ayam akan tampak pertumbuhan yang terhambat,
berjalan tidak tegap, berdiri dengan tumit terangkat, keadaan lebih lanjut akan diikuti
dengan kekejangan pada kaki dan akhirnya lumpuh (Soeprapto & Soetijono, 1989).
Diagnose yang paling awal berdasarkan gejala klinis, kemudian mengamati
proglottid atau dalam rangkaian segmen yang keluar dari anus dan pengamatan bedah
bangkai untuk menemukan cacing pita di dalam usus (Nugroho, 1983).
Isolasi dan Identifikasi Newcastle Disease
Pemeriksaan secara laboratorik untuk menguji Newcastle Disease dapat dilakukan
dengan:
1. Isolasi swab trakea atau kloaka atau suspense 10% dari otak atau paru kemudian
diinokulasikan pada TAB umur 9-11 hari. Pasca inkubasi, cairan allantois diperiksa
aglutinasinya dengan HA test. Apabila uji HA positif, dilanjutkan uji HI atau uji
Neutralisasi Virus dengan serum kebal ND. Bila salah satu positif maka dapat
dipastikan isolate adalah ND.
2. Pemeriksaan serologi dilakukan dengan menguji adanya antibody dalam tubuh dengan
uji HI, uji Serum Neutralization, dan ELISA.
3. Pemerisksaan antigen dengan uji FAT atau rapid test.
(Kementrian Pertanian, 2014)

Vaksinasi Newcastle Disease


Vaksinasi ND dilakukan dengan pemberian vaksian aktif atau pun gabungan antara
vaksin aktif dan inaktif. Vaksin ND inaktif dibuat dari virus hidup yang masih utuh (virion)
yang kemudian diinaktifkan dengan cara fisis (panas dan penyinaran uv) dan chemis
(penambahan bahan kimia fenol, chloroform, betapropiolakton, asetilmenamin,
merthiolate). Virus yang sudah diinaktifkan ini tidak mempunyai kemampuan untuk
mengadakan replikasi di dalam tubuh ayam yang divaksinasi, tetapi masih mampu
merangsang pembentukan kekebalan. Jika ditambahkan adjuvant pada vaksin inaktif maka
akan dapar merangsang pembentukan antibody yang lebih tinggi dan tidak menimbulkan
stress pada ayam yang divaksin (Darminto & Ronohardjo, 1996).
Program vaksinasi yang secara umum diterapkan, yaitu:
1. Infeksi lentogenic ayam pedaging: pemberian vaksin aerosol atau tetes mata pada anak
ayam umur sehari dengan menggunakan vaksin Hitchner B1 dan dilanjutkan dengan
booster melalui air minum atau secara aerosol.
2. Infeksi lentogenic ayam pembibit: pemberian vaksin Hitchner B1 atau vaksin LaSota
dalam air, diikuti dengan pemberian vaksin emulsi multivalent yang diinaktivasi
dengan minyak pada umur 18-20 minggu. Di berikan lagi pada umur 45 minggu
bergantung pada titer antibody kawanan ayam, resiko terjangkitnya penyakit dan
factor-faktor lain yang berhubungan dengan pemeliharaan.
(Darminto & Ronohardjo, 1996)
Biosekuriti pada Peternakan Unggas
Selain penggunaan vaksin pada hewan ternak, diperlukan pula pengolahan
manajemen yang optimal, terutama pengaturan biosekuriti yang ketat. Program biosekuriti
merupakan program yang dijalankan di suatu Kawasan peternakan yang bertujuan untuk
menjaga terjadinya perpindahan bibit penyakit menular sehingga ternak terbebas dari
infeksi penyakit serta selalu dalam kondisi sehat.
1. Program sanitasi pada pintu gerbang
Pintu gerbang harus dalam keadaan terkunci, dan tidak setiap kendaraan atau orang
bisa masuk ke kawasan peternakan. Proses sanitasi sebagai berikut:
- Peralatan sprayer dan bak celup ban untuk kendaraan
- Ruang sprayer, tempat mandi, dan tempat ganti pakaian
- Tempat parkir dan ruang tamu yang dibangun di luar kawasan peternakan
digunakan untuk kendaraan dan orang yang tidak diizinkan masuk ke kawasan
peternakan.
2. Program sanitasi di dalam dan sekitar kandang
- Melakukan penyemprotan disinfektan di dalam kandang dan di sekitar kandang
secara rutin (2-3 hari sekali).
- Memisahkan ayam yang telah diketahui mulai terserang penyakit atau pembawa
penyakit (carrier) ke kandang karantina atau dimusnahkan.
- Membatasi lalu lalang karyawan, mobil, peralatan kandang, dan perpindahan
karyawan antar-kandang.
- Membasmi binatang pembawa penyakit dan memusnahkan sarangnya.
- Menghindari pemeliharaan ayam dengan umur yang beraga, dalam satu flock
- Menjaga kebersihan di sekitar dan dalam kandang beserta peralatan yang
digunakan dalam produksi, termasuk tempat pakan dan tempat minum
- Menjaga air dalam parit dan kubangan agar selalu mengalir
- Menjaga litter dalam kandang selalu kering dan bersih, serta tidak berdebu
- Menjaga sirkulasi udara di dalam kandang tetap dalam keadaan baik
- Menambahkan kaporit ke dalam air minum dengan dosis 3-5 ppm untuk menekan
perkembangbiakan organisme yang ada di dalam air
- Mengontrol parasite yang menyerang dari luar seperti kutu, lalat, nyamuk, dan
kumbang kecil
3. Penanganan ayam mati dan kotoran ayam
- Pembakaran merupakan cara yang paling disarankan karena penyebaran penyakit
bisa dihindari dan abunya bisa dimanfaatkan untuk pupuk. Membakar ayam bisa
menggunakan kayu bakar, sekam, atau incennator
- Penguburan dalam tanah merupakan cara yang paling banyak digunakan.
Perhatikan kedalaman lubang dan harus jauh dari sumber air. Kelemahan car aini
adalah lubang yang tidak dalam bisa menjadi sumber pencemaran penyakit dan
bau.
(Fadilah, 2013)

V. Kesimpulan
1. Penyakit ND disebabkan oleh virus dari famili Paramyxovirus yang menyerang pada
system pernafasan, system pencernaan, dan system syaraf
2. Salah satu penyebab penurunan produksi telur pada ayam petelur adalah adanya infeksi
cacing pita atau cestodiasis seperti adanya infestasi cacing Raillietina sp. pada usus
unggas.
3. Sampel yang digunakan untuk isolasi NDV didapatkan dari swab kloaka atau swab
trakea. NDV ditanam pada telur ayam berembrio (TAB) yang bersifat specific
pathogen free (SPF). Inokulasi NDV dilakukan melalui rute allantois. Identifikasi
NDV dilakukan dengan melakukan uji hemaglutinasi (HA), uji hemaglutinasi inhibisi
(HI), RT-PCR, dan ELISA.
4. Factor dari vaksinasi ND bergantung pada umur unggas, rute pemberian, vaksin yang
digunakan, serta vaksinator.
5. Biosekuriti dilakukan untuk menghindari hewan ternak dari penyakit dan merupakan
salah satu hal terpenting setelah vaksinasi.
VI. Daftar Pustaka
Darminto, & Ronohardjo, P. (1996). Vaksin Newcastle Disease Inaktif Berasal dari Virus
Isolat Lokal Galur Velogenik. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 2(1), 42-49.
Fadilah, R. (2013). Super Lengkap Beternak Ayam Broiler. Jakarta: AgroMedia.
Kementrian Pertanian. (2014). Manual Penyakit Unggas. Jakarta: Direktorat Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Nugroho. (1983). Penyakit Ayam di Indonesia Jilid II. Jakarta: Eka Offset.
Permin, A., & Hansen, J. (1998). Epidemiology, Diagnosis, and Control Poultry Parasites.
Rome: FAO United Nation.
Prastowo, J., & Priyowidodo, D. (2014). Penyakit Parasit pada Ayam. Yogyakarta: UGM
Press.
Ramnath, Dutta, A., Dkhar, B., Tandon, V., & Das, B. (2017). Biological Significance of
Phospoenolpyruvate Carboxykinase in A Cestode Parasite, Raillietina
echinobothrida and Effect of Phytoestrogens on The Enzyme From The Parasite
and its Host, Gallus domesticus. Parasitology 114(09), 1264-1274.
Soeprapto, & Soetijono. (1989). Parasit-Parasit Ayam. Jakarta: PT Gramedia.
Winarso, A. (2016). Pengendalian Helminthiasis pada Peternakan Ayam Petelur
Tradisional di Kabupaten Magetan, Provinsi Jawa Timur. Jurnal Kajian Veteriner
4, 33-41.

Anda mungkin juga menyukai