Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PRAKTIKUM

ILMU PENYAKIT UNGGAS

KASUS CORYZA, SALMONELLA (PULLORUM), COLIBASILOSIS


PADA AYAM PETELUR

DISUSUN OLEH :

1. UMI KARIMAH (171982)


2. ARIF NUR HIDAYAT (171972)
3. JEREMY HANS D.P (172005)
4. JALU PRATAMA (172012)

PROGRAM STUDI PRODUKSI TERNAK


AKADEMI PETERNAKAN KARANGANYAR
TAHUN 2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan peternakan ayam ras petelur di Indonesia sangat
pesat. Pesatnya perkembangan tersebut tidak hanya didorong oleh peluang
pasar yang masih terbuka tetapi juga oleh kebijakan pemerintah. Ada
banyak faktor lain yang dapat menentukkan keberhasilan kemajuan
peternakan ayam petelur antara lain manajemen pemeliharaan, kondisi
lingkungan yang mendukung, cuaca dan manajemen kesehatan. Penyakit
merupakan salah satu resiko yang seringkali harus dihadapi dalam usaha
peternakan ayam, oleh karena itu pengetahuan mengenai gejala masing-
masing penyakit, penyebab penyakit, pengobatan maupun pencegahan
penyakit merupakan salah satu bekal yang penting bagi suksesnya usaha
peternakan. Berbagai jenis penyakit sering menimbulkan gejala yang
hampir serupa, sehingga untuk melakukan diagnosa diperlukan
pemeriksaan-pemeriksaan lebih lanjut termasuk pemeriksaan laboratorium
(Retno dkk., 1998).

Bedah bangkai adalah tehnik lanjutan dari diagnosa klinik untuk


mengukuhkan atau meyakinkan hasil diagnosa klinik. Pada prinsipnya,
bedah bangkai adalah mengeluarkan organ-organ yang dihinggapi virus
tertentu. Bedah bangkai hendaknya dilakukan secepat mungkin setelah
hewan mati. Untuk daerah tropis seperti Indonesia, sebaiknya bedah
bangkai dilakukan tidak lebih dari 6 jam setelah hewan mati. Hewan yang
gemuk atau tertutup bulu lebih cepat. Bila pelaksanaan bedah bangkai
akan ditunda, bangkai dapat disimpan pada refrigerator agar tidak
membusuk. Bedah bangkai dapat dilakukan pada ayam hidup atau pada
ayam mati. Jika menggunakan ayam hidup, maka ayam harus dibunuh
dahulu, cara membunuh atau etanasi ayam ada beberapa cara antara lain
mematahkan tulang leher antara tulang atlas dan tulang cervikalis, emboli
udara ke dalam jantung, bordizo forceps, dan disembelih seperti pada
umumnya.

Infectious Coryza (snot) merupakan suatu penyakit pernafasan


pada ayam yang disebabkan oleh bakteri Haemaphilus Paragallinarum dan
dapat berlangsung akut sampai kronis. Secara umum snot dikenal sebagai
penyakit yang menyebabkan kematian rendah tetapi morbiditas tinggi.
Penyakit ini bersifat sangat infectious dan terutama menyerang saluran
pernafasan bagian atas, terutama rongga hidung. Snot mempunyai arti
ekonomis yang penting dalam industri perunggasan sehubungan dengan
peningkatan jumlah ayam yang diafkir, penurunan berat badan, penurunan
produksi telur (10% - 40%), dan peningkatan biaya pengobatan. Penyakit
ini dapat dicegah dengan pemberian vaksin.

Pullorum disebabkan oleh bakteri Salmonella pullorum, yaitu suatu


bakteri bersifat gram negatif, tidak bergerak, berbentuk batang, fakultatif
aerob dan tidak berspora, dan mampu bertahan di tanah hingga satu tahun.
Penyakit Pullorum merupakan penyakit menular pada ayam yang
menimbulkan kerugian ekonomi yang besar, menyebabkan kematian yang
sangat tinggi terutama pada anak ayam umur 1-10 hari.

Kolibasilosis merupakan penyakit yang dapat menimbulkan


berbagai kerugian pada peternakan ayam sehubungan dengan terjadinya
kematian, gangguan pertumbuhan atau produksi, faktor pendukung
timbulnya berbagai penyakit lainnya, respon yang kurang optimal terhadap
vaksinasi dan peningkatan biaya pengobatan, pakan, desinfektan serta
tenaga kerja. Dampak penting lainnya pada industri perunggasan
akibat Kolibasilosis antara lain adanya peningkatan jumlah ayam yang
diafkir, penurunan kualitas karkas dan telur, penurunan daya tetas telur
dan kualitas anak ayam dan mendukung timbulnya penyakit kompleks
yang sulit ditanggulangi (Calnek, 1997).
B. Tujuan

Praktikum bedah bangkai ini dilakukan dengan tujuan :

1. Untuk mengetahui perubahan-perubahan patologis anatomi pada


organ-organ yang terserang penyakit.

2. Agar praktikan lebih terlatih dalam melakukan euthanasia pada


unggas dan mampu menganalisa penyakit yang diderita oleh
unggas.

C. Manfaat

Agar praktikan lebih memahami secara mendalam mengenai


karakteristik penampilan luar dan organ dalam unggas yang terkena
penyakit.
BAB II.
TINJAUAN PUSTAKA

Ayam Petelur (Layer) Ayam petelur merupakan ayam yang


dibudidayakan khusus untuk menghasilkan telur. Kelompok ayam petelur
umumnya terdapat dua kelompok diantaranya tipe ringan dimana tipe ini
menghasilkan telur dengan kerabang warna putih dan terdapat tipe medium
dimana tipe ini menghasilkan telur dengan kerabang warna coklat (North dan
Bell, 1990). Ayam ras tipe medium mulai bertelur pada umur 20-22 minggu
dengan puncak produksi terjadi pada umur sekitar 20-30 minggu dan setelah itu
mengalami penurunan sampai tiba waktunya untuk diafkir (Scott, 1982).

Produktifitas dari ayam petelur ditentukan oleh genetik dan kualitas


ransum, dimana kualitas ransum bergantung dari kandungan zat-zat nutrisi,
keseimbangan antara energi metabolis serta zat-zat nutrisi lainnya (Wahju, 2004).
Ayam petelur unggul yang ada sangat baik dimanfaatkan sebagai plasma nutfah
untuk menghasilkan bibit yang bermutu. Usaha ayam buras memiliki prospek
yang baik ditinjau dari aspek ekonomi dan penyediaan pangan bergizi, baik
berupa usaha daging maupun telur (Kusnadi, 2001). Perkembangan ayam ras
petelur juga semakin maju dari hasil silang genetik berbagai ras ayam unggulan
seluruh dunia, salah satunya ISA Brown. Ayam ISA Brown merupakan hasil
penelitian dari perusahaan Institut de Selection Animale yang memiliki kelebihan
diantaranya adalah tingginya produktivitas telur yakni mencapai 409 butir pada
setiap periode pemeliharaan, dan berat telur rata-rata 62,9 gram (Santoso, 2013).

Peternak masih banyak yang mengabaikan masalah lingkungan, sehingga


masyarakat banyak yang mengeluhkan keberadaan usaha peternakan tersebut.
Berbagai jenis penyakit hewan menular yang menyerang ternak ayam yang
hampir secara merata terdapat diberbagai wilayah Indonesia. Beberapa penyakit
tersebut sudah bersifat endemik; sangat infeksius; serta memiliki tingkat
morbiditas dan mortalitas yang sangat tinggi. Kondisi ini menjadikan ayam lokal
berada pada posisi sangat rawan terhadap ancaman serangan penyakit yang
kemungkinan besar dapat terjadi setiap saat. Wabah penyakit yang terjadi akan
fatal karena dapat mengakibatkan kematian seluruh populasi ayam yang
diusahakan oleh para peternak (Retno, 2006). Penanganan terbaik untuk
mengurangi kejadian penyakit yaitu melakukan pencegahan dengan vaksinasi
yang teratur, sehingga dapat mengurangi pemakaian antibiotika yang terus
menerus dan berlebihan yang mengakibatkan terjadinya resistensi bakteri dan
akumulasi residu antibiotika pada bahan pangan asal ternak. Pengobatan diberikan
antibiotika melalui suntikan atau air minum selama 3-7 hari berturut-turut,
tergantung ringan beratnya serangan penyakit. Intensifnya pemakaian antibiotika
untuk pencegahan dan pengobatan penyakit, telah dilaporkan adanya bakteri
Haemophillus paragallinarum yang resisten terhadap beberapa antibiotika dan
preparat sulfa secara in vitro (Poernomo, 1997; Takagi, 1991).

Manajemen Pemeliharaan Ayam Petelur


a. Perkandangan
Fase layer atau masa produksi (umur di atas 16 minggu) umumnya
menggunakan kandang baterai. Kandang baterai merupakan kandang yang dimana
satu kandang berisi satu ayam, bentuknya berjajar-jajar dan dipisahkan dari ayam
lainnya (Rahardjo, 2016). Kandang baterai berdasarkan bentuk dan ukurannya
dibagi menjadi dua jenis yaitu kandang sistem baterai individu dan kandang
sistem koloni. Kandang sistem baterai individu memiliki kelebihan yaitu tingkat
produksi individu dan kesehatan ayam masing-masing ayam mudah dikontrol,
memudahkan pengontrolan pakan ayam, kanibalisme antar ayam dapat dihindari,
serta penyakit tidak mudah menular dari satu ayam ke ayam lainnya, namun
kelemahannya adalah membutuhkan ruangan yang luas serta biaya pembuatan
relatif mahal, tetapi hal ini dapat diatasi dengan cara menyusun cage secara
bertingkat dengan syarat maksimal tingkat cage hanya tiga tingkat serta memilih
bahan pembuat cage dari bambu dibandingkan dengan menggunakan kawat.
Kandang sistem koloni mirip dengan sistem baterai individu tetapi dalam
satu ruangan kandang dapat diisi beberapa ekor ayam. Cage ini mempunyai
kelebihan yaitu tempat yang dibutuhkan tidak terlalu luas dan biaya yang
dibutuhkan lebih murah jika dibandingkan model individual cage, namun
kekurangan dari cage model ini adalah mudah terjadi penularan penyakit dan sulit
melakukan pengontrolan, selain itu pada sistem ini juga lebih sulit dilakukan
pengontrolan tingkat produksi, konsumsi pakan, maupun kondisi kesehatan
masing-masing ayam.
Bangunan kandang sebaiknya menghadap ke arah Timur agar sinar
matahari pagi dapat masuk dengan leluasa ke dalam kandang. Hal ini dapat
menjaga kebugaran ayam dan membantu ayam memproduksi vitamin D di dalam
tubuhnya. Sekeliling kandang sebaiknya diberi tirai untuk menghindari tiupan
angin yang kering dan kencang pada musim kemarau atau angin yang basah pada
musim hujan. Penutup yang digunakan dapat terbuat dari karung plastik atau
terpal. Atap sebaiknya terbuat dari genting agar penyinaran cahaya matahari tidak
langsung menembus mengenai ayam – ayam sehingga tidak mengganggu
kenyamanan ayam (Ustomo, 2016).
b. Pemberian pakan
Pemberian pakan umumnya diberikan saat pagi dan sore hari karena suhu
saat pagi dan sore hari relatif sejuk dan memberikan suasana nyaman bagi ayam
untuk makan. Jumlah pakan yang diberikan biasanya 40% pada pagi hari dan 60%
pada sore hari, sedangkan untuk siang hari tidak pelu diberikan pakan (Riawan,
2016). Standar nutrisi pakan pada ayam layer adalah kadar air maksimal 13%,
protein minimal 16,5%, lemak minimal 3%, serat kasar maksimal 7%, abu
maksimal 14%, dan kalsium 3,25-4,25% (SNI, 2016).
c. Penyakit pada Ayam
Penyakit yang menyerang ayam pada periode bertelur yang dapat
menurunkan jumlah produksi, yang jika tidak segera ditangani makan peternak
akan menjadi rugi (Riawan, 2016). Penyakit datang diakibatkan oleh kelalaian
peternak atau petugas kandang. Intensitas penyakit yang tinggi dapat
menyebabkan kegagalan usaha, oleh karena itu dibutuhkan penerapan manajemen
pengendalian penyakit yang baik dan benar agar ayam terhindar dari penyakit
(Ustomo, 2016).
1. SNOT

A. Snot
Pengertian Snot Snot merupakan penyakit unggas terutama pada ayam
yang menyerang pernafasan bagian atas dan penyakit ini bersifat akut. Kejadian
penyakit ini telah menyebar luas di seluruh dunia dan sering terjadi pada musim
dingin (cuaca jelek). Penyebaran penyakit dalam kandang sangat cepat, baik
secara kontak langsung dengan ayam-ayam sakit, maupun tidak langsung.
Penyebaran dengan tidak langsung dapat melalui air minum, udara, dan peralatan
yang tercemar (Hinz, 1981). Penyakit snot menyerang ayam pedaging maupun
ayam petelur yang dapat menghambat pertumbuhan ayam muda dan menurunkan
produksi telur (Istiyaningsih, 2011).
B. Etiologi Snot
Menurut Poernomo pada tahun 1975 menyatakan bahwa penyebab snot
diasingkan dari ayam yang terserang snot pertama kali terjadi di Indonesia pada
tahun 1975. Penyebab utama gangguan pernapasan ayam bagian atas yang
dikenal dengan penyakit snot yaitu Haemophillus paragallinarum (Hinz, 1981).
Penyakit ini disebabkan oleh Haemophillus paragallinarum yang merupakan
bakteri gram negatif, berbentuk batang pendek atau coccobacilli. Bakteri ini
bersifat polar, non-motil, tidak membentuk spora, fakultatif anaerob, dan
membutuhkan media khusus untuk tumbuh. Bakteri HPG merupakan organisme
yang mudah mati secara cepat diluar tubuh hospes. Eksudat yang mengandung
bakteri ini yang dicampur dengan air akan mengalami inaktivasi dalam waktu 4
jam pada temperatur yang fluktuatif dan akan tetap infeksius selama 24 jam pada
temperatur 37, bahkan dapat sampai 48 jam (Tabbu, 2000).
C. Gejala Klinis
Infeksi snot dapat dijumpai pada setiap peternakan unggas pada saat
pergantian musim. Morbiditasnya dari penyakit snot bervariasi 1-20% dan
mortalitasnya dapat diabaikan bila tidak terjadi komplikasi dengan penyakit lain
(Shane, 1998). Penyakit ini menyerang ayam sejak umur tiga minggu sampai
berproduksi (Tabbu, 2000). Agen penyebab snot adalah HPG, berhasil diisolasi
oleh Poernomo (1975) dari ayam sakit dari daerah di sekitar Bogor. Serangan
bakteri HPG memperlihatkan gejala khas, cairan mukoid dari rongga hidung yang
berbau busuk dan sedikit berbusa. Cairan hidung yang mengering sering terlihat di
sekitar rongga hidung sampai di bagian atas paruh. Bakteri HPG tidak bisa hidup
lama (tidak lebih dari 12 jam) di luar induk semang. Sampel atau ayam utuh yang
akan diisolasi bakteri harus sesegera mungkin dikirim ke laboratorium. Proses
pengiriman sampel yang harus diperhatikan antara lain: sampel untuk
pemeriksaan mikrobiologis harus dalam keadaan segar dan dingin (dimasukkan
dalam kontainer yang berisi es), swab atau organ dimasukkan dalam media
transpor, sedangkan organ untuk pemeriksaan histopatologi diawetkan dalam
Buffer Neutral Formalin (BNF) 10 persen (Shane, 1998).
D. Perubahan Patologi Anatomi (Makroskopik)
Perubahan makroskopik ayam yang terinfeksi snot mengeluarkan eksudat
dari hidung yang akan menjadi kuning kental, pada keadaan kronik terdapat
peradangan kantong hawa, mata sering terdapat eksudat, muka dan pialnya
bengkak, serta kesulitan pada saat bernafas (Dharma dan Putra, 1997). Gejala-
gejala klinis dari penyakit ini ditandai dengan keluarnya eksudat dari hidung yang
mula-mula berwarna kuning dan encer (sereous), dalam waktu yang lama berubah
menjadi kental dan bernanah dengan bau yang khas (mucopurulent). Bagian paruh
di sekitar hidung tampak kotor atau berkerak dikarenakan sisa pakan yang
menempel pada eksudat. Sinus infraorbitalis membengkak, yang ditandai dengan
pembengkakan sekitar mata dan muka. Suara ngorok sering terdengar dan ayam
penderita agak sulit bernafas. Penurunan nafsu makan dan diare sering terjadi,
sehingga pertumbuhan ayam menjadi terhambat dan kerdil (Anonim, 1980;
Hardjoutomo, 1985; Gordon dan Jordan, 1982; Blackall, 1997).

2. SALMONELLA PULLORUM
Pullorum atau berak kapur, penyebab penyakit pullorum adalah
bakteri salmonella pullorum. Umumnya, pullorumbanyak menyerang anak ayam
umur 1-21 hari. Ayam dewasa bersifat sebagai pembawa
penyakit (carrier). Penularan terjadi melalui telur tetas dari induk yang
menderita pullorum; kontak langsung dengan ayam yang menderita; serta melalui
media lainnya, yaitu udara, air minum, pakan, dan pemelihara. Gejala
penyakit,berupa nafsu makan berkurang, lesu, haus, dan kedinginan; diare, feses
berwarna kehijauan, kemudian putih; kotoran menempel pada anus, selanjutnya
mengering menutupi anus; serta kematian pada anak ayam yang menderita
penyakit ini dapat terjadi pada umur satu minggu. Pencegahan
penyakit, berupa bibit bebas harus bebas pullorum, dibeli dari induk yang belum
pernah terserang pullorum; serta sanitasi kandang dan peralatan harus dilakukan
secara ketat. Pengobatan penyakit dilakukan dengan
pemberian antibiotik (Suprijatna, 2005).

Penyakit ini untuk pertama kali dilaporkan oleh Rettger pada tahun 1990.
Biasanya menyerang anak ayam sampai dengan umur 4 minggu. Masa tunas
terjadi antara 4-5 hari, tetapi bakteri ini dapat tahan hidup sampai satu tahun di
kandang ayam.Infeksi dapat terjadi di berbagai jenis burung terutama ayam,
entok, dan kalkun, sedangkan pada hewan mamalia sangat jarang
dijumpai. Ayam di bawah umur 14 hari yang terserang penyakit ini dapat
berakibat fatal, tetapi untuk ayam yang berumur lebih tua lebih tahan terhadap
penyakit ini. Ayam sembuh menjadi pembawa sifat dan seumur hidupnya
mengeluarkan bibit penyakit. Pengobatan hanya dilakukan untuk ayam potong.
Beberapa preparat sulfat dan antibiotik dapat dipergunakan untuk menurunkan
kematian, tetapi tidak dimaksudkan untuk memberantas penyakit secara luas
dalam kelompok. Pemberantasan dapat dilakukan dengan pemusnahan seluruh
reaktor dan bahkan untuk ayam bibit perlu dimusnahkan seluruhnya. Lokasi
kandang harus dibebashamakan dan membuat kelompok baru yang bebas dari
penyakit pullorum. Di Indonesia, penyakit ini telah dikenal sejak lama. Sebagai
perlindungan terhadap penyakit ini, maka setiap peternakan pembibitan
dipersyaratkan bebas dari pullorum. Ayam yang terserang pullorum tidak menular
ke manusia. Pemotongan dapat dilakukan asal kondisi ayam tersebut layak
dipotong dan dikonsumsi. Daging dan telurnya boleh diperdagangkan setelah
direbus atau dimasak.Semua jerohan dan sisa pemotongan (usus dan sebagainya)
harus dibakar atau dikubur (Akoso, 1998).

3. COLIBASILLOSIS
a. Colibasillosis
Colibasilosis merupakan penyakit pada ayam yang disebabkan oleh Avian
Pathogenic Escherichia  coli (APEC), yang menyebabkan kerugian ekonomi
industri perunggasan di seluruh dunia (Mellata et al., 2003). Istilah umum lain
untuk penyakit ini adalah koliseptikemia dan infeksi E. coli (Purchase,et al.,1989).
Bakteri E. coli dapat menyebabkan penyakit primer pada ayam, tetapi dapat juga
bersifat sekunder mengikuti penyakit lainnya, misalnya berbagai penyakit
pernapasan dan pencernaan (Tabbu,2000).

Escherichia coli telah tersebar di seluruh dunia dan ditularkan bersama air


minum yang terkontaminasi oleh feses. Mikroorganisme ini juga merupakan
mikroorganisme indikator sebagaimana dalam analisis air, dimana kehadirannya
merupakan bukti bahwa air tersebut terkontaminasi oleh bahan dari manusia atau
hewan berdarah panas (Merchant dan Parker,1996). Infeksi E. coli hingga tampak
secara klinis dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang jelek atau agen infeksi
lainnya yang biasanya muncul menyertai (Purchase,et al.,1989), pada lingkungan
yang kotor dan berdebu atau pada sekelompok ayam yang mengalami
imunosupresif akibat penyakit infeksius atau yang mengalami stres akibat
lingkungan. Kuman ini dapat ditemukan di dalam litter, kotoran ayam,
debu/kotoran lain dalam kandang serta lingkungannya, pakan dan minuman.
Penularan dapat terjadi melalui kontak langsung antara ayam yang sakit dengan
ayam yang sensitif. Penularan secara tidak langsung dapat terjadi melalui kontak
antara ayam yang sensitif dengan bahan-bahan yang tercemar oleh leleran tubuh
atau feses ayam yang menderita Kolibasilosis (Tabbu, 2000).

b. Etiologi

Kolibasilosis disebabkan oleh bakteri Escherichia coli, yang secara


taksonomi termasuk divisi Gratellicutes, kelas Cyanobacteria, famili
Enterobactericeae, genus Eschericia dan species Eschericia coli (Jordan, et al.,
2001). Escherichia coli diisolasi pertama kali pada tahun 1885 oleh Buchner
dan secara lengkap diuraikan oleh Theobald Escherich pada tahun 1882
(Gyles, 1983).

E. coli termasuk bakteri gram negatif, tidak tahan asam, tercat uniform, tidak
membentuk spora, berukuran 2-3 x 0,6 µ, mempunyai flagella peritrikus,
bentuk koloni sirkuler, konveks, halus, memfermentasi laktosa, sukrosa
dan memproduksi hemolisin. Bakteri ini dapat tumbuh pada kisaran suhu
antara 10-46 0C, pertumbuhan baik pada suhu 20-40 0C dan pertumbuhan
optimum pada suhu 37 0C (Howard et al,1987). Koloni yang tumbuh
berbentuk bulat, halus, cembung dan berwarna merah-hitam atau berwarna
hijau mengkilap atau biru kehitaman sampai coklat dengan pendar
methalic sheen pada media Eosin Methylene Blue (EMB) (Quinn et al.,
2002). Fermentasi laktosa dan sukrosa menyebabkan koloni pada EMB
berwarna gelap, presipitasi gelap ini mungkin karena MB-eosinate yang
dipresipitasi oleh koloni yang memfermentasi laktosa dan sukrosa. Larutan
gelap terabsorbsi ke dalam koloni (Howard et al, 1987) Semua bakteri E.
coli memfermentasi glukosa, laktosa, dan sukrosa, juga memproduksi gas
tetapi tidak memproduksi H2S, memberikan hasil positif pada uji indol,
motility, methyl red, dan negatif pada uji Voges Proskauer dan citrat
(Barnes & Gross, 1997).

d.Pencegahan Penyakit

a. Biosecurity

Biosecurity adalah tindakan perlindungan terhadap ternak melalui


pengamanan terhadap lingkungannya dan orang yang terlibat dalam
siklus pemeliharaan. Biosecurity bukan hanya diarahkan pada tindakan
kebersihan semata tetapi juga jaminan keamanan pada ternak agar
ternak yang dipelihara mampu hidup lebih nyaman sehingga
memberikan hasil optimal. Salah satu prinsip dasar penanggulangan
penyebab penyakit adalah memutus siklus hidup bibit penyakit, baik
yang disebabkan oleh bakteri, virus, parasit, maupun jamur (Ustomo,
2016). Biosecurity adalah serangkaian program yang mencakup
kebijakan dan praktik yang dirancang untuk mencegah masuk atau
menyebarnya agen penyebab penyakit pada ayam. Biosecurity meliputi
isolasi, pengendalian lalu lintas pekerja dan tamu, serta sanitasi
(Tamaluddin, 2012).

b. Sanitasi
Sanitasi merupakan tindakan pengendalian penyakit melalui
kebersihan. Sanitasi harus dilakukan secara teratur agar dapat
memperoleh lingkungan yang bersih, higienis dan sehat (Sudarmono,
2003). Sanitasi mempunyai tujuan untuk mencegah berkembangnya
penyakit atau memotong siklus hidup mikroorganisme yang merugikan
kesehatan ayam agar kandang, peralatan, dan lingkungan tetap 9 bersih
dan steril. Sanitasi kandang harus dilakukan setelah panen dan melalui
beberapa tahapan, tahap pertama yaitu pencucian kandang dengan air
hingga bersih dari kotoran ayam, tahap kedua yaitu pengapuran lantai
dan dinding kandang, selanjutnya untuk menyempurnakan sanitasi
dilakukan dengan penyemprotan desinfektan (Lysol, Bromoquat,
Tepol) untuk membunuh bibit penyakit, biarkan minimal 10 hari
sebelum budidaya selanjutnya untuk memutus siklus hidup virus dan
bakteri yang tidak mati oleh perlakuan sebelumnya (Ustomo, 2016).
c. Vaksinasi
Vaksin adalah cairan dari bibit penyakit yang telah dilemahkan
yang dimasukkan ke tubuh ayam melalui air minum, tetes mata, tetes
hidung, maupun injeksi. Fungsi vaksin adalah adalah untuk
menimbulkan kekebalan pada tubuh ayam (Marconah, 2012). Program
vaksinasi pada ayam petelur adalah pada fase starter yaitu ND Clone
dan IB pada hari 4, gumboro pada hari 9, AI pada hari 14, ND Lasota
pada hari 19, Pox pada hari 24, Coryza pada hari 30, dan ILT pada hari
35. Fase grower program vaksinasi dilakukan sebanyak tiga kali yaitu
pada umur 45 hari vaksin Coryza, umur 54 hari vaksin ND Clone dan
IB serta umur 60 hari vaksin cacing. Fase layer dilakukan program
vaksinasi umur 80 hari ND Clone dan IB, umur 90 hari Coryza, umur
105 hari ND EDS, umur 119 hari AI, dan 135 hari vaksin cacing
(Sumarno, 2009).
e.Penanganan Penyakit
Karantina merupakan suatu upaya pemindahan ayam ke tempat
khusus (kandang karantina) untuk diobati untuk sementara waktu
(Muslim, 2006). Karantina adalah memisahkan suatu ayam dari
kelompoknya untuk beberapa waktu yang jika ayam dirasa sudah
membaik dapat dikembalikan kembali ke kelompoknya (Trubus,
2016).
Obat dan vitamin merupakan hal yang sangat dibutuhkan, terutama
saat ayam terkena penyakit (Krista dan Harianto, 2010). Obat dan
vitamin berperan dalam pencegahan penyakit. Pemberian obat dan
vitamin umumnya dicampurkan dengan air minum ayam dan diberikan
saat ayam baru tiba, sebelum dan sesudah vaksinasi, dan dalam
keadaan cuaca buruk (Zumrotun dan Tiswo, 1996).
III. MATERI DAN METODE

A. Waktu dan Tempat

Praktikum Ilmu Penyakit Unggas yang dilaksanakan pada hari tanggal 29


November 2018 pukul 13.00-15.00 WIB di Laboratorium Akademi Peternakan
Karanganyar.

B. Materi
Alat dan bahan :
a. Ayam hidup
b. Scalpel
c. Gunting tulang
d. Gunting bedah
e. Gunting gut
f. Pinset
g. Sarung tangan
h. Air

C. METODE
1. Bedah bangkai bisa dilakukan 1 orang atau lebih.
2. Ambil ayam yang akan dibedah catat semua spesifikasinya (pertandaan
sidik, anamnesa)
3. Pertama kali periksalah jengger, pial, dan cuping telinga, kulit dan
bulu.
4. Perhatikan juga terhadap kemungkinan diare, leleran-leleran dari
paruh, lubang hidung dan mata, kebengkakan di daerah fascial dan
kemungkinan adanya parasit-parasit tertentu pada bulu dan kulit.
5. Bangkai harus disiram dengan air agar bulunya tidak mengganggu
pemeriksaan.
6. Taruh diatas meja operasi dengan dorsal recumbency, dengan ekor
menghadap pemeriksa/operator.
7. Ke dua kaki dipegang dan ditarik kearah lateral, kemudian kuliti
diantara tubuh dan paha diiris sampai persendian coxo-femoral
sehingga bangkai dapat telentang baik pada punggungnya.
8. Kulit dan bulu dilepas dengan cara mengiris kulit perut secara
melintang kemudian dilanjutkan ke depan dan ke belakang dengan
bantuan tarikan jari operator, sehingga perut, dada dan leher dapat
terbuka kulitnya.
9. Perhatikan warna, kualitas, derajat dehidrasi jaringan subcutaneus dan
otot-otot dada.
10. Guntinglah otot perut bagian posterior secara melintang, kemudian
irisan ini diteruskan kearah depan dengan memotong bagian costo-
chondral dari semua costai sampai ke clavicula pada kedua lateral
tubuh. Jika diseksi sudah dewasa pergunakanlah gunting tulang untuk
memutus semua clavicula.
11. Irisan pada dinding abdomen diteruskan pula kearah belakang sehigga
rongga abdomen dan rongga dada dapat dibuka seluruhnya.
12. Periksalah semua kantong hawa dan kemungkinana abnormalitasnya.
13. Perhatikan juga terhadap kemungkinan adanya cairan exudat atau
darah dari dalam rongga perut dan rongga dada.
14. Jika akan melakukan penanaman pada perbenihan-perbenihan tertentu
hendaknya dilakukan sebelum alat-alat tersebut bersinggungan dengan
operator atau bahan-bahan kimia lain.
15. Sebelum mengeluarkan alat-alat pencernaan periksalah alat-alat
tersebut pada posisi aslinya. Demikian pula dengan alat-alat rongga
dada.
16. Oesophagus di bagian proximal proventrikulus dipotong kemudian
keluarkan bersama-sama dengan gizard, pancreas, usus halus, dan usus
besar serta caecum, kemudian periksalah.
17. Keluarkan hepar dan lien, kemudian periksalah. Periksalah ginjal,
nervus plexus ichiadicus, dan plexus brachialis.
18. Bangkai diputar sehingga kepala menghadap operator.
19. Dengan gunting yang dimasukkan ke dalam mulut, ujung mulut
dipotong pada satu sisi dan diteruskan ke eksophagus dan inguives.
20. Pharynx, larinx, dan trachea, dibuka sampai ke cabang-cabang bronkus
yang masuk ke paru-paru.
21. Dengan menarik trachea, eksophagus serta menggunting
penggantungnya, keluarkanlah alat-alat tersebut bersama-sama dengan
paru-paru, jantung, dan ginjal dan testis atau ovarium, kemudian
periksalah.
22. Otak dikeluarkan dengan membuka tulang tengkorak seperti pada
spesies-spesies lainnya. Untuk membuka tulang tengkorak biasannya
dipergunakan gunting tulang atau gunting yang cukup kuat.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemeriksaan Kesehatan Ternak Unggas


a.  Riwayat Hidup Unggas Ayam Layer
              Unggas pada pemeriksaan kesehatan ternak unggas adalah jenis unggas
ayam petelur atau layer, berjenis kelamin betina pada umur afkir, diperoleh dari
pasar peterongan, kondisi umum sakit, riwayat kesehatan unggas telah
dalam kondisi tua, serta tindakan yang telah dilakukan peternak dalam mencegah
atau mengalami penyakit unggas ayam layer tersebut adalah dengan vaksinasi,
pemberian vitamin, atau dijual.

b. Pengamatan Performan Unggas Ayam Layer
              Unggas ayam layer tersebut memliki tingkah laku lincah dan memiliki
anatomi-anatomi, yaitu anatomi bagian kepala normal, anatomi bagian pial atau
jengger merah cerah, anatomi bagian dubur bersih serta hidung berlendir, anatomi
bagian punggung normal, anatomi bagian mata bersinar, anatomi bagian bulu
kusam dan rontok atau berjatuhan.

c. Pengambilan Darah
              Perubahan darah yang terjadi pada tabung gelas adalah hanya
menggumpal, tidak sampai dalam keadaaan terbentuk serum atau cairan bening
pada permukaan darah di tabung gelas tersebut.

d. Nekropsi
              Kondisi teramati pada unggas ayam layer bagian kulit tidak terdapat
perubahan;
jaringan subkutan bersih, basah mengkilap, berwarna putih, sedangkan jaringan
daging bersih, basah mengkilap, berwarna merah muda; isi rongga dada terdapat
banyak gumpalan lemak, isi rongga perut terdapat banyak gumpalan lemak, dan
kantong udara bersih;
dinding saluran pencernaan bagian proventrikulus normal, gizzard atau empedal
atauventrikulus terdapat lapisan lemak, usus halus terdapat bercak kemerahan
yang tidak dapat dihilangkan melalui air seharusnya bisa hilang atau kondisi
dinding dalam keadaan bening atau cerah, seka memiliki warna biru normal serta
terdapat lapisan lemak, dan usus besar terdapat bercak kemerahan yang tidak
dapat dihilangkan melalui air seharusnya bisa hilang atau kondisi dinding dalam
keadaan bening atau cerah; isi saluran pencernaan bagian proventrikulus
normal, gizzard atau empedal atau ventrikulus terdapat pakan berwarna hijau dan
selaput kulit gizzard tidak terlalu mudah untuk dibuka, apabila dalam keadaan
sakit maka selaput gizzard tersebut akan dengan mudah untuk dibuka, usus halus
bersih terdapat bercak kemerahan, seka bersih, dan usus besar terdapat bercak
kemerahan; hati memiliki ukuran normal, warna merah-kecoklatan, konsistensi
rapuh, dan kantong empedu terbungkus lemas; jantung memiliki ukuran normal,
berwarna merah muda-kecoklatan, selaput jantung lemak, dan konsistensi kenyal;
ginjal memiliki ukuran normal dan berwarna merah cerah; pankreas memiliki
ukuran normal dan berwarna coklat-kemerahan bersih; bursa fabrisius memiliki
ukuran tipis dan halus serta berwarna bening normal; trakea memiliki bercak
kemerahan; paru-paru memiliki warna merah cerah, konsistensi rapuh, serta
memiliki uji apung mengambang diatas air, paru-paru mengambang menunjukkan
bahwa paru-paru unggas ayam tersebut dalam keadaan tidak sakit atau sehat; dan
syaraf memiliki berwarna putih dan berukuran kecil.
              Sejauh pemeriksaan unggas ternak ayam layer, ayam yang
telah dinekropsi dalam keadaan sakit, tetapi sejauh organ atau jaringan diperiksa
ayam layer tersebut dalam keadaan sehat. Pada bagian usus halus dan usus
besar, baik bagian dinding serta isi organ atau jaringan tersebut terdapat bercak
kemerahan. Hal ini dapat didiagnosis bahwa ayam tersebut sedang
mengalami gejala penyakit berak kapur atau “pullorum” dengan gejala tampak
dari luar adalah diare, feses berwarna kehijauan, kemudian putih dan kotoran
menempel pada anus, selanjutnya mengering menutupi anus. Hal ini sesuai
pendapat Suprijatna (2005) bahwa gejala pullorum, yaitu nafsu makan berkurang,
lesu, haus, dan kedinginan; diare, feses berwarna kehijauan, kemudian putih;
kotoran menempel pada anus, selanjutnya mengering menutupi anus; serta
kematian pada anak ayam yang menderita penyakit ini dapat terjadi pada umur
satu minggu. Ditambahkan oleh Kartasudjana (2010)
bahwagejala pullorum, berupa mencret berwarna putih berbusa yang melekat di
sekitar anus. Diperkuat oleh Akoso (1998) bahwa berak kapur
atau pullorum menyerang ayam di bawah umur 14 hari yang terserang penyakit
ini dapat berakibat fatal, tetapi untuk ayam yang berumur lebih tua lebih tahan
terhadap penyakit ini. Gejala klinis berupa pernafasan megap-megap, pantat kotor
dengan bulu yang lengket, tinja putih seperti kapur dan ada kalanya berwarna
hijau, usus buntu atau seka membesar berisi material mengkeju, serta radang usus
(bercak kemerahan pada hasil praktikum).
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

B. SARAN
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai