DISUSUN OLEH :
A. Latar Belakang
Perkembangan peternakan ayam ras petelur di Indonesia sangat
pesat. Pesatnya perkembangan tersebut tidak hanya didorong oleh peluang
pasar yang masih terbuka tetapi juga oleh kebijakan pemerintah. Ada
banyak faktor lain yang dapat menentukkan keberhasilan kemajuan
peternakan ayam petelur antara lain manajemen pemeliharaan, kondisi
lingkungan yang mendukung, cuaca dan manajemen kesehatan. Penyakit
merupakan salah satu resiko yang seringkali harus dihadapi dalam usaha
peternakan ayam, oleh karena itu pengetahuan mengenai gejala masing-
masing penyakit, penyebab penyakit, pengobatan maupun pencegahan
penyakit merupakan salah satu bekal yang penting bagi suksesnya usaha
peternakan. Berbagai jenis penyakit sering menimbulkan gejala yang
hampir serupa, sehingga untuk melakukan diagnosa diperlukan
pemeriksaan-pemeriksaan lebih lanjut termasuk pemeriksaan laboratorium
(Retno dkk., 1998).
C. Manfaat
A. Snot
Pengertian Snot Snot merupakan penyakit unggas terutama pada ayam
yang menyerang pernafasan bagian atas dan penyakit ini bersifat akut. Kejadian
penyakit ini telah menyebar luas di seluruh dunia dan sering terjadi pada musim
dingin (cuaca jelek). Penyebaran penyakit dalam kandang sangat cepat, baik
secara kontak langsung dengan ayam-ayam sakit, maupun tidak langsung.
Penyebaran dengan tidak langsung dapat melalui air minum, udara, dan peralatan
yang tercemar (Hinz, 1981). Penyakit snot menyerang ayam pedaging maupun
ayam petelur yang dapat menghambat pertumbuhan ayam muda dan menurunkan
produksi telur (Istiyaningsih, 2011).
B. Etiologi Snot
Menurut Poernomo pada tahun 1975 menyatakan bahwa penyebab snot
diasingkan dari ayam yang terserang snot pertama kali terjadi di Indonesia pada
tahun 1975. Penyebab utama gangguan pernapasan ayam bagian atas yang
dikenal dengan penyakit snot yaitu Haemophillus paragallinarum (Hinz, 1981).
Penyakit ini disebabkan oleh Haemophillus paragallinarum yang merupakan
bakteri gram negatif, berbentuk batang pendek atau coccobacilli. Bakteri ini
bersifat polar, non-motil, tidak membentuk spora, fakultatif anaerob, dan
membutuhkan media khusus untuk tumbuh. Bakteri HPG merupakan organisme
yang mudah mati secara cepat diluar tubuh hospes. Eksudat yang mengandung
bakteri ini yang dicampur dengan air akan mengalami inaktivasi dalam waktu 4
jam pada temperatur yang fluktuatif dan akan tetap infeksius selama 24 jam pada
temperatur 37, bahkan dapat sampai 48 jam (Tabbu, 2000).
C. Gejala Klinis
Infeksi snot dapat dijumpai pada setiap peternakan unggas pada saat
pergantian musim. Morbiditasnya dari penyakit snot bervariasi 1-20% dan
mortalitasnya dapat diabaikan bila tidak terjadi komplikasi dengan penyakit lain
(Shane, 1998). Penyakit ini menyerang ayam sejak umur tiga minggu sampai
berproduksi (Tabbu, 2000). Agen penyebab snot adalah HPG, berhasil diisolasi
oleh Poernomo (1975) dari ayam sakit dari daerah di sekitar Bogor. Serangan
bakteri HPG memperlihatkan gejala khas, cairan mukoid dari rongga hidung yang
berbau busuk dan sedikit berbusa. Cairan hidung yang mengering sering terlihat di
sekitar rongga hidung sampai di bagian atas paruh. Bakteri HPG tidak bisa hidup
lama (tidak lebih dari 12 jam) di luar induk semang. Sampel atau ayam utuh yang
akan diisolasi bakteri harus sesegera mungkin dikirim ke laboratorium. Proses
pengiriman sampel yang harus diperhatikan antara lain: sampel untuk
pemeriksaan mikrobiologis harus dalam keadaan segar dan dingin (dimasukkan
dalam kontainer yang berisi es), swab atau organ dimasukkan dalam media
transpor, sedangkan organ untuk pemeriksaan histopatologi diawetkan dalam
Buffer Neutral Formalin (BNF) 10 persen (Shane, 1998).
D. Perubahan Patologi Anatomi (Makroskopik)
Perubahan makroskopik ayam yang terinfeksi snot mengeluarkan eksudat
dari hidung yang akan menjadi kuning kental, pada keadaan kronik terdapat
peradangan kantong hawa, mata sering terdapat eksudat, muka dan pialnya
bengkak, serta kesulitan pada saat bernafas (Dharma dan Putra, 1997). Gejala-
gejala klinis dari penyakit ini ditandai dengan keluarnya eksudat dari hidung yang
mula-mula berwarna kuning dan encer (sereous), dalam waktu yang lama berubah
menjadi kental dan bernanah dengan bau yang khas (mucopurulent). Bagian paruh
di sekitar hidung tampak kotor atau berkerak dikarenakan sisa pakan yang
menempel pada eksudat. Sinus infraorbitalis membengkak, yang ditandai dengan
pembengkakan sekitar mata dan muka. Suara ngorok sering terdengar dan ayam
penderita agak sulit bernafas. Penurunan nafsu makan dan diare sering terjadi,
sehingga pertumbuhan ayam menjadi terhambat dan kerdil (Anonim, 1980;
Hardjoutomo, 1985; Gordon dan Jordan, 1982; Blackall, 1997).
2. SALMONELLA PULLORUM
Pullorum atau berak kapur, penyebab penyakit pullorum adalah
bakteri salmonella pullorum. Umumnya, pullorumbanyak menyerang anak ayam
umur 1-21 hari. Ayam dewasa bersifat sebagai pembawa
penyakit (carrier). Penularan terjadi melalui telur tetas dari induk yang
menderita pullorum; kontak langsung dengan ayam yang menderita; serta melalui
media lainnya, yaitu udara, air minum, pakan, dan pemelihara. Gejala
penyakit,berupa nafsu makan berkurang, lesu, haus, dan kedinginan; diare, feses
berwarna kehijauan, kemudian putih; kotoran menempel pada anus, selanjutnya
mengering menutupi anus; serta kematian pada anak ayam yang menderita
penyakit ini dapat terjadi pada umur satu minggu. Pencegahan
penyakit, berupa bibit bebas harus bebas pullorum, dibeli dari induk yang belum
pernah terserang pullorum; serta sanitasi kandang dan peralatan harus dilakukan
secara ketat. Pengobatan penyakit dilakukan dengan
pemberian antibiotik (Suprijatna, 2005).
Penyakit ini untuk pertama kali dilaporkan oleh Rettger pada tahun 1990.
Biasanya menyerang anak ayam sampai dengan umur 4 minggu. Masa tunas
terjadi antara 4-5 hari, tetapi bakteri ini dapat tahan hidup sampai satu tahun di
kandang ayam.Infeksi dapat terjadi di berbagai jenis burung terutama ayam,
entok, dan kalkun, sedangkan pada hewan mamalia sangat jarang
dijumpai. Ayam di bawah umur 14 hari yang terserang penyakit ini dapat
berakibat fatal, tetapi untuk ayam yang berumur lebih tua lebih tahan terhadap
penyakit ini. Ayam sembuh menjadi pembawa sifat dan seumur hidupnya
mengeluarkan bibit penyakit. Pengobatan hanya dilakukan untuk ayam potong.
Beberapa preparat sulfat dan antibiotik dapat dipergunakan untuk menurunkan
kematian, tetapi tidak dimaksudkan untuk memberantas penyakit secara luas
dalam kelompok. Pemberantasan dapat dilakukan dengan pemusnahan seluruh
reaktor dan bahkan untuk ayam bibit perlu dimusnahkan seluruhnya. Lokasi
kandang harus dibebashamakan dan membuat kelompok baru yang bebas dari
penyakit pullorum. Di Indonesia, penyakit ini telah dikenal sejak lama. Sebagai
perlindungan terhadap penyakit ini, maka setiap peternakan pembibitan
dipersyaratkan bebas dari pullorum. Ayam yang terserang pullorum tidak menular
ke manusia. Pemotongan dapat dilakukan asal kondisi ayam tersebut layak
dipotong dan dikonsumsi. Daging dan telurnya boleh diperdagangkan setelah
direbus atau dimasak.Semua jerohan dan sisa pemotongan (usus dan sebagainya)
harus dibakar atau dikubur (Akoso, 1998).
3. COLIBASILLOSIS
a. Colibasillosis
Colibasilosis merupakan penyakit pada ayam yang disebabkan oleh Avian
Pathogenic Escherichia coli (APEC), yang menyebabkan kerugian ekonomi
industri perunggasan di seluruh dunia (Mellata et al., 2003). Istilah umum lain
untuk penyakit ini adalah koliseptikemia dan infeksi E. coli (Purchase,et al.,1989).
Bakteri E. coli dapat menyebabkan penyakit primer pada ayam, tetapi dapat juga
bersifat sekunder mengikuti penyakit lainnya, misalnya berbagai penyakit
pernapasan dan pencernaan (Tabbu,2000).
b. Etiologi
E. coli termasuk bakteri gram negatif, tidak tahan asam, tercat uniform, tidak
membentuk spora, berukuran 2-3 x 0,6 µ, mempunyai flagella peritrikus,
bentuk koloni sirkuler, konveks, halus, memfermentasi laktosa, sukrosa
dan memproduksi hemolisin. Bakteri ini dapat tumbuh pada kisaran suhu
antara 10-46 0C, pertumbuhan baik pada suhu 20-40 0C dan pertumbuhan
optimum pada suhu 37 0C (Howard et al,1987). Koloni yang tumbuh
berbentuk bulat, halus, cembung dan berwarna merah-hitam atau berwarna
hijau mengkilap atau biru kehitaman sampai coklat dengan pendar
methalic sheen pada media Eosin Methylene Blue (EMB) (Quinn et al.,
2002). Fermentasi laktosa dan sukrosa menyebabkan koloni pada EMB
berwarna gelap, presipitasi gelap ini mungkin karena MB-eosinate yang
dipresipitasi oleh koloni yang memfermentasi laktosa dan sukrosa. Larutan
gelap terabsorbsi ke dalam koloni (Howard et al, 1987) Semua bakteri E.
coli memfermentasi glukosa, laktosa, dan sukrosa, juga memproduksi gas
tetapi tidak memproduksi H2S, memberikan hasil positif pada uji indol,
motility, methyl red, dan negatif pada uji Voges Proskauer dan citrat
(Barnes & Gross, 1997).
d.Pencegahan Penyakit
a. Biosecurity
b. Sanitasi
Sanitasi merupakan tindakan pengendalian penyakit melalui
kebersihan. Sanitasi harus dilakukan secara teratur agar dapat
memperoleh lingkungan yang bersih, higienis dan sehat (Sudarmono,
2003). Sanitasi mempunyai tujuan untuk mencegah berkembangnya
penyakit atau memotong siklus hidup mikroorganisme yang merugikan
kesehatan ayam agar kandang, peralatan, dan lingkungan tetap 9 bersih
dan steril. Sanitasi kandang harus dilakukan setelah panen dan melalui
beberapa tahapan, tahap pertama yaitu pencucian kandang dengan air
hingga bersih dari kotoran ayam, tahap kedua yaitu pengapuran lantai
dan dinding kandang, selanjutnya untuk menyempurnakan sanitasi
dilakukan dengan penyemprotan desinfektan (Lysol, Bromoquat,
Tepol) untuk membunuh bibit penyakit, biarkan minimal 10 hari
sebelum budidaya selanjutnya untuk memutus siklus hidup virus dan
bakteri yang tidak mati oleh perlakuan sebelumnya (Ustomo, 2016).
c. Vaksinasi
Vaksin adalah cairan dari bibit penyakit yang telah dilemahkan
yang dimasukkan ke tubuh ayam melalui air minum, tetes mata, tetes
hidung, maupun injeksi. Fungsi vaksin adalah adalah untuk
menimbulkan kekebalan pada tubuh ayam (Marconah, 2012). Program
vaksinasi pada ayam petelur adalah pada fase starter yaitu ND Clone
dan IB pada hari 4, gumboro pada hari 9, AI pada hari 14, ND Lasota
pada hari 19, Pox pada hari 24, Coryza pada hari 30, dan ILT pada hari
35. Fase grower program vaksinasi dilakukan sebanyak tiga kali yaitu
pada umur 45 hari vaksin Coryza, umur 54 hari vaksin ND Clone dan
IB serta umur 60 hari vaksin cacing. Fase layer dilakukan program
vaksinasi umur 80 hari ND Clone dan IB, umur 90 hari Coryza, umur
105 hari ND EDS, umur 119 hari AI, dan 135 hari vaksin cacing
(Sumarno, 2009).
e.Penanganan Penyakit
Karantina merupakan suatu upaya pemindahan ayam ke tempat
khusus (kandang karantina) untuk diobati untuk sementara waktu
(Muslim, 2006). Karantina adalah memisahkan suatu ayam dari
kelompoknya untuk beberapa waktu yang jika ayam dirasa sudah
membaik dapat dikembalikan kembali ke kelompoknya (Trubus,
2016).
Obat dan vitamin merupakan hal yang sangat dibutuhkan, terutama
saat ayam terkena penyakit (Krista dan Harianto, 2010). Obat dan
vitamin berperan dalam pencegahan penyakit. Pemberian obat dan
vitamin umumnya dicampurkan dengan air minum ayam dan diberikan
saat ayam baru tiba, sebelum dan sesudah vaksinasi, dan dalam
keadaan cuaca buruk (Zumrotun dan Tiswo, 1996).
III. MATERI DAN METODE
B. Materi
Alat dan bahan :
a. Ayam hidup
b. Scalpel
c. Gunting tulang
d. Gunting bedah
e. Gunting gut
f. Pinset
g. Sarung tangan
h. Air
C. METODE
1. Bedah bangkai bisa dilakukan 1 orang atau lebih.
2. Ambil ayam yang akan dibedah catat semua spesifikasinya (pertandaan
sidik, anamnesa)
3. Pertama kali periksalah jengger, pial, dan cuping telinga, kulit dan
bulu.
4. Perhatikan juga terhadap kemungkinan diare, leleran-leleran dari
paruh, lubang hidung dan mata, kebengkakan di daerah fascial dan
kemungkinan adanya parasit-parasit tertentu pada bulu dan kulit.
5. Bangkai harus disiram dengan air agar bulunya tidak mengganggu
pemeriksaan.
6. Taruh diatas meja operasi dengan dorsal recumbency, dengan ekor
menghadap pemeriksa/operator.
7. Ke dua kaki dipegang dan ditarik kearah lateral, kemudian kuliti
diantara tubuh dan paha diiris sampai persendian coxo-femoral
sehingga bangkai dapat telentang baik pada punggungnya.
8. Kulit dan bulu dilepas dengan cara mengiris kulit perut secara
melintang kemudian dilanjutkan ke depan dan ke belakang dengan
bantuan tarikan jari operator, sehingga perut, dada dan leher dapat
terbuka kulitnya.
9. Perhatikan warna, kualitas, derajat dehidrasi jaringan subcutaneus dan
otot-otot dada.
10. Guntinglah otot perut bagian posterior secara melintang, kemudian
irisan ini diteruskan kearah depan dengan memotong bagian costo-
chondral dari semua costai sampai ke clavicula pada kedua lateral
tubuh. Jika diseksi sudah dewasa pergunakanlah gunting tulang untuk
memutus semua clavicula.
11. Irisan pada dinding abdomen diteruskan pula kearah belakang sehigga
rongga abdomen dan rongga dada dapat dibuka seluruhnya.
12. Periksalah semua kantong hawa dan kemungkinana abnormalitasnya.
13. Perhatikan juga terhadap kemungkinan adanya cairan exudat atau
darah dari dalam rongga perut dan rongga dada.
14. Jika akan melakukan penanaman pada perbenihan-perbenihan tertentu
hendaknya dilakukan sebelum alat-alat tersebut bersinggungan dengan
operator atau bahan-bahan kimia lain.
15. Sebelum mengeluarkan alat-alat pencernaan periksalah alat-alat
tersebut pada posisi aslinya. Demikian pula dengan alat-alat rongga
dada.
16. Oesophagus di bagian proximal proventrikulus dipotong kemudian
keluarkan bersama-sama dengan gizard, pancreas, usus halus, dan usus
besar serta caecum, kemudian periksalah.
17. Keluarkan hepar dan lien, kemudian periksalah. Periksalah ginjal,
nervus plexus ichiadicus, dan plexus brachialis.
18. Bangkai diputar sehingga kepala menghadap operator.
19. Dengan gunting yang dimasukkan ke dalam mulut, ujung mulut
dipotong pada satu sisi dan diteruskan ke eksophagus dan inguives.
20. Pharynx, larinx, dan trachea, dibuka sampai ke cabang-cabang bronkus
yang masuk ke paru-paru.
21. Dengan menarik trachea, eksophagus serta menggunting
penggantungnya, keluarkanlah alat-alat tersebut bersama-sama dengan
paru-paru, jantung, dan ginjal dan testis atau ovarium, kemudian
periksalah.
22. Otak dikeluarkan dengan membuka tulang tengkorak seperti pada
spesies-spesies lainnya. Untuk membuka tulang tengkorak biasannya
dipergunakan gunting tulang atau gunting yang cukup kuat.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
b. Pengamatan Performan Unggas Ayam Layer
Unggas ayam layer tersebut memliki tingkah laku lincah dan memiliki
anatomi-anatomi, yaitu anatomi bagian kepala normal, anatomi bagian pial atau
jengger merah cerah, anatomi bagian dubur bersih serta hidung berlendir, anatomi
bagian punggung normal, anatomi bagian mata bersinar, anatomi bagian bulu
kusam dan rontok atau berjatuhan.
c. Pengambilan Darah
Perubahan darah yang terjadi pada tabung gelas adalah hanya
menggumpal, tidak sampai dalam keadaaan terbentuk serum atau cairan bening
pada permukaan darah di tabung gelas tersebut.
d. Nekropsi
Kondisi teramati pada unggas ayam layer bagian kulit tidak terdapat
perubahan;
jaringan subkutan bersih, basah mengkilap, berwarna putih, sedangkan jaringan
daging bersih, basah mengkilap, berwarna merah muda; isi rongga dada terdapat
banyak gumpalan lemak, isi rongga perut terdapat banyak gumpalan lemak, dan
kantong udara bersih;
dinding saluran pencernaan bagian proventrikulus normal, gizzard atau empedal
atauventrikulus terdapat lapisan lemak, usus halus terdapat bercak kemerahan
yang tidak dapat dihilangkan melalui air seharusnya bisa hilang atau kondisi
dinding dalam keadaan bening atau cerah, seka memiliki warna biru normal serta
terdapat lapisan lemak, dan usus besar terdapat bercak kemerahan yang tidak
dapat dihilangkan melalui air seharusnya bisa hilang atau kondisi dinding dalam
keadaan bening atau cerah; isi saluran pencernaan bagian proventrikulus
normal, gizzard atau empedal atau ventrikulus terdapat pakan berwarna hijau dan
selaput kulit gizzard tidak terlalu mudah untuk dibuka, apabila dalam keadaan
sakit maka selaput gizzard tersebut akan dengan mudah untuk dibuka, usus halus
bersih terdapat bercak kemerahan, seka bersih, dan usus besar terdapat bercak
kemerahan; hati memiliki ukuran normal, warna merah-kecoklatan, konsistensi
rapuh, dan kantong empedu terbungkus lemas; jantung memiliki ukuran normal,
berwarna merah muda-kecoklatan, selaput jantung lemak, dan konsistensi kenyal;
ginjal memiliki ukuran normal dan berwarna merah cerah; pankreas memiliki
ukuran normal dan berwarna coklat-kemerahan bersih; bursa fabrisius memiliki
ukuran tipis dan halus serta berwarna bening normal; trakea memiliki bercak
kemerahan; paru-paru memiliki warna merah cerah, konsistensi rapuh, serta
memiliki uji apung mengambang diatas air, paru-paru mengambang menunjukkan
bahwa paru-paru unggas ayam tersebut dalam keadaan tidak sakit atau sehat; dan
syaraf memiliki berwarna putih dan berukuran kecil.
Sejauh pemeriksaan unggas ternak ayam layer, ayam yang
telah dinekropsi dalam keadaan sakit, tetapi sejauh organ atau jaringan diperiksa
ayam layer tersebut dalam keadaan sehat. Pada bagian usus halus dan usus
besar, baik bagian dinding serta isi organ atau jaringan tersebut terdapat bercak
kemerahan. Hal ini dapat didiagnosis bahwa ayam tersebut sedang
mengalami gejala penyakit berak kapur atau “pullorum” dengan gejala tampak
dari luar adalah diare, feses berwarna kehijauan, kemudian putih dan kotoran
menempel pada anus, selanjutnya mengering menutupi anus. Hal ini sesuai
pendapat Suprijatna (2005) bahwa gejala pullorum, yaitu nafsu makan berkurang,
lesu, haus, dan kedinginan; diare, feses berwarna kehijauan, kemudian putih;
kotoran menempel pada anus, selanjutnya mengering menutupi anus; serta
kematian pada anak ayam yang menderita penyakit ini dapat terjadi pada umur
satu minggu. Ditambahkan oleh Kartasudjana (2010)
bahwagejala pullorum, berupa mencret berwarna putih berbusa yang melekat di
sekitar anus. Diperkuat oleh Akoso (1998) bahwa berak kapur
atau pullorum menyerang ayam di bawah umur 14 hari yang terserang penyakit
ini dapat berakibat fatal, tetapi untuk ayam yang berumur lebih tua lebih tahan
terhadap penyakit ini. Gejala klinis berupa pernafasan megap-megap, pantat kotor
dengan bulu yang lengket, tinja putih seperti kapur dan ada kalanya berwarna
hijau, usus buntu atau seka membesar berisi material mengkeju, serta radang usus
(bercak kemerahan pada hasil praktikum).
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
B. SARAN
LAMPIRAN