Disusun oleh :
Novita Anggraini PT/06736
a. Bakteri patogen
Campylobacter jejuni pada ayam tidak menyebabkan penyakit
tetapi kejadian kontaminasi karkas ayam oleh bakteri ini cukup
tinggi yang mengakibatakan Campylobacteriosis pada manusia.
Sekitar 70% kasus Campylobacteriosis pada masuisa disebabkan
oleh adanya kontaminasi C. jejuni pada karkas ayam (Deming et
al., 1987, Tauxe et al., 1987, Skirrow, 1990). Jumlah Campylobacter
banyak pada karkas ditemukan cukup tinggi yaitu 10.000 CFU per
karkas ayam (Waldroup et al., 1992). Hasil survey di Australia
menunjukkan hasil bahwa 94% karkas ayam segar terkontaminasi
Campylobacter dengan jumlah 105 per karkas (Skorrow, 1990).
Potensi penurunan (atau kenaikan) dalam jumlah keseluruhan
selama chilling bukan satu-satunya efek yang diamati pada
mikroorganisme. Newell et al. (2001) menunjukkan bahwa
perubahan dalam distribusi strain Campylobacter terjadi selama
pengolahan dan paling jelas setelah di chilling, memang beberapa
subtipe Campylobacter hidup melalui karkas yang didinginkan.
Jimenez et al. (2002) mengamati bahwa proporsi
Enterobacteriaceae E. coli di kloaka lebih meningkat saat dichilling
langkah dibandingkan dengan pengeluaran isi dan saat dibilas.
b. Bakteri pembusuk
Hanya sejumlah kecil penelitin yang langsung membandingkan
pengaruh metode chilling yang berbeda pada perubahan jumlah
bakteri. Graw et al. (1997) melakukan studi ekstensif pada pengaruh
metode air chilling dan spray/evaporative chilling pada jumlah bakteri
pembusuk yang berbeda. Selama air chilling tidak ada perubahan dari
jumlah bakteri pada kulit dan organ visceral yang diamati. Pada
spary/evaporative chilling mengakibatkan adanya penurunan
kontaminasi kulit sekitar setengah log Unit tapi tidak berdampak pada
jumlah baketripada organ visceral. Jumlah bakteri berkurang selama
air chilling, tapi tidak ada efek keseluruhan yang dikontaminasi mikroba
dari kulit karkas metode air chilling berbagai pendingin air. Namun,
berat rongga tubuh berkurang, sekitar satu log rongga unit/badan, lebih
banyak di air chiller 'kering' daripada air chiller dengan water spray.
Dalam salah satu pendingin udara atau air chiller di mana non-
diklorinasi disemprotkan yang digunakan untuk peningkatan
pseudomonad yang diamati (James et al., 2005).
c. Rasa
Proses pendinginan dapat mempengaruhi rasa masakan daging
unggas dan produk unggas, namun efek utama yang sangat
berpengaruh adalah selama penyimpanan daripada chilling. Hale dan
Stadelman (1969) melaporkan bahwa secara komersial proses,
'dry'(air) ayam broiler yang didinginkan memiliki tekstur lembut, tetapi
rasa dapat terdeteksi melalui proses perendaman dingin daging ayam
broiler dengan cara tradisional. Di sisi lain, Zenoble et al. (1977) dan
Pedersen dan Ristic (1979) tidak menemukan efek chilling pada rasa
daging menemukan bahwa water chilling ayam broiler menghasilkan
rasa yang lebih menguntungkan daripad air chilling untuk kedua kaki
dan daging bagian dada. Lillard (1982) menyatakan bahwa sistem
chilling memperbaiki rasa pada sistem chilling dengan menggunakan
nitrogen cair atau karbon dioksida (James et al., 2005).
d. Tekstur
Masalah tekstur ditemukan dalam daging merah yang disebabkan
oleh lambatnya chilling ('pucat, lunak, eksudat' (PSE) daging) atau
chilling yang cepat ('cold shortening') juga ada dalam daging unggas,
meskipun pada tingkat lebih rendah. Daging yang berwarna pucat,
lunak, eksudat (PSE) telah dilaporkan menjadi masalah yang
berkembang di industri unggas (terutama berkaitan dengan daging
kalkun) dan ditandai dengan postmortem yang mempercepat
penurunan pH. PH yang kondisinya rendah bersifat sementara suhu
tubuh tetap mengarah tingginya untuk denaturasi protein,
menyebabkan warna pucat dan mengurangi sifat daya ikat air. Lesiak
et al. (1997) melaporkan bahwa dada kalkun dipotong untuk 15, 60
atau 120 menit direndam pada air panas pada suhu 30C sebelum
chilling mengakibatkan kerugian sebesar masing-masing 0,5, 1,17 dan
1,6%. Rapid chilling seharusnya mengurangi masalah ini dan telah
direkomendasikan bahwa suhu dibawah otot kalkun harus dikurangi di
bawah 25C selama 60 menit setelah postmortem (James et al., 2005).
Sebaliknya rapid chilling, sebelum perkembangan rigor mortis
dapat memperkeras daging melalui proses yang dikenal sebagai
'Shortening cold'. Meskipun otot dada unggas yang utama terdiri dari
serat putih yang kurang rentan terhadap shortening cold daripada serat
merah ditemukan di daging merah.
KESIMPULAN