Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH TEKNOLOGI INDUSTRI DAGING UNGGAS

KUALITAS DAN KEAMANAN DAGING UNGGAS DENGAN


BERBAGAI METODE PENDINGINAN (CHILLING)

Disusun oleh :
Novita Anggraini PT/06736

LABORATORIUM ILMU DAN TEKNOLOGI DAGING


DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL TERNAK
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2017
BAB I
PENDAHULUAN

Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang sangat


penting dalam kehidupan manusia. Pengolahan dan pengawetan bahan
makanan memiliki hubungan terhadap pemenuhan gizi masyarakat, maka
tidak mengherankan jika semua negara baik negara maju maupun
berkembang selalu berusaha untuk menyediakan suplai pangan yang
cukup, aman dan bergizi. Salah satunya dengan melakukan berbagai cara
pengolahan dan pengawetan pangan yang dapat memberikan
perlindungan terhadap bahan pangan yang akan dikonsumsi.

Daging unggas merupakan sumber protein hewani yang baik,


karena mengandung asam amino esensial yang lengkap dan dalam
jumlah perbandingan yang seimbang. Daging ayam yang kaya akan
kandungan zat-zat nutrisi seperti protein, lemak, karbohidrat, mineral dan
vitamin serta pH yang netral merupakan media yang sangat baik untuk
pertumbuhan mikroorganisme. Pertumbuhan dan perkembangan
mikroorganisme pada daging ayam dapat terjadi pada fase postmortem
yaitu fase setelah hewan mati karena pada fase ini terjadi perubahan pH
yang sangat berpengaruh terhadap tumbuhnya mikroorganisme, baik
bakteri patogen maupun non patogen. Apabila daging ayam
terkontaminasi terutama oleh bakteri patogen, maka akan sangat
berbahaya bila dikonsumsi. Oleh karena itu kualitas daging ayam harus
dijamin keamanannya selama fase postmortem. Usaha untuk
meningkatkan kualitas daging ayam dilakukan melalui pengolahan atau
penanganan yang lebih baik sehingga dapat mengurangi kerusakan atau
kebusukan selama penyimpanan dan pemasaran.
Kualitas pada daging unggas harus tetap dijaga keamaannya
dengan cara pendinginan atau pembekuan. Penggunaan dalam
membekukan makanan sudah sering kali dilakukan oleh masyarakat..
Tujuan utama dari chilling adalah untuk menurunkan suhu karkas di
bawah suhu minimum pertumbuhan bakteri patogen yang ditularkan
melalui makanan dan mikroorganisme pembusuk. The United States
Department of Agriculture (USDA) (2001) mengharuskan karkas unggas
didinginkan pada suhu 4 C atau lebih rendah selama 4, 6 atau 8 jam
untuk masing-masing karkas dengan berat kurang dari 4 pound, 4-8
pound, dan lebih dari 8 pound. Chilling atau pendinginan daging unggas
dibagi menjadi bebrapa metode yaitu air chilling, dan evaporative chilling
(spray chilling).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Dalam pengolahan daging unggas, chilling merupakan langkah


penting yang dapat mencegah pertumbuhan yang akan memaksimalkan
keamanan produk dan umur simpan (Carroll dan Alvarado, 2008). Sistem
chilling memiliki kelebihan dan kekurangan pada kualitas daging unggas
dan keamanan pangan. Selama proses perendaman chilling, karkas dapat
menyerap air (4-6%) melalui kulit dan lemak sekitarnya berbeda dengan
udara chilling di mana tidak ada penarik kelembaban dan bahkan negatif
menghasilkan karena hilangnya kelembaban yang berlebihan (James et
al., 2005; Carciofi dan Laurindo, 2007; Carroll dan Alvarado, 2008). Pada
metode air chilling biasanya menyebabkan penurunan berat antara 1
sampai 1,5% adalah umum dan dapat lebih tinggi 3% tergantung pada
kapasitas dan persyaratan sistem (James et al., 2005). Kelembaban yang
hilang pada saat perendaman chilling, karkas memiliki kerugian lebih
tinggi, kehilangan cairan, dan susut masak. Sifat tersebut dapat
menyebabkan kerugian yang lebih besar ketika dikemas di nampan
(Huezo et al., 2007).
Air chilling
karkas yang didinginkan dengan udara melewati ruang pendingin
atau terowongan air (suhu air dari 7 C untuk 2 C) pada alat penyangga
selama 90 untuk 150 menit. Air chilling dari karkas unggas telah
digunakan secara luas di negara-negara Uni Eropa, di mana karkas
biasanya disiram air panas dan dijual segar. Daging lembut unggas yang
tersiram air panas (49,4 52,2C) masih mempertahankan kutikula yang
berfungsi untuk melindungi kulit dari dehidrasi akibat udara dingin. Air
chilling mungkin melibatkan tahap pra chilling selama satu jam pada suhu
5C untuk menghilangkan uap air dari karkas, dan tahap chilling akhir
selama 1,5 jam pada suhu 0C. Kedua tahapan chilling karkas tersebut
didinginkan pada suhu 1 C di air chilling dengan kecepatan udara hampir
sama suhu udara. Pembekuan tingkat meningkat pesat sebagai
kecepatan udara meningkat dari 0 sampai 4 m/detik. Di atas 6 m/detik,
efek dari kecepatan udara pada suhu karkas hampir diabaikan (Huezo,
2007).
Evaporative chilling (spray chilling)
Evaporative chilling adalah sistem air alternatif yang sering
digunakan untuk penyiraman air panas pada karkas. Proses ini dilakukan
secara berkala menyemprotkan karkas dengan air seperti udara dingin
dihembuskan ke atau melintasi karkas. Sudah dilaporkan bahwa
penyemprotan karkas selama air chilling meningkatkan perpindahan
panas karena penguapan. bobot karkas setelah evaporative chilling
adalah sebanding dengan berat badan sebelum dingin, dan tidak ada
perubahan warna terjadi. Biasanya pada saat chilling kurang dari 90
menit, dan mengkonsumsi air kurang dari 0,1 L per karkas untuk setiap
sejumlah saluran penyemprot (Huezo, 2007).
.
PERMASALAHAN

Selama pengolahan unggas komersial, karkas yang didinginkan


dengan cara pencelupan atau air spraying yang dingin terutama bertujuan
untuk mengurangi pertumbuhan mikroba. Di Amerika, pencelupan chilling
merupakan metode secara tradisional yang paling umum dari pendinginan
karkas daging unggas karena itu adalah baik efisien dan ekonomis
(Huezo, 2007). Dasar dari proses chilling atau pendinginan karkas unggas
dilakukan untuk menghasilkan produk yang aman dengan mengurangi
suhu dari daging ke titik di mana tingkat pertumbuhan mikroorganisme
pembusuk akan berkurang dan sebagian besar pertumbuhan
mikroorganisme patogen dapat dicegah. Hal ini juga berpengaruh pada
indikator kualitas utama rasa, penampilan dan tekstur daging (James et
al., 2005).Daging unggas sangat mudah tercemar oleh berbagai
mikroorganisme dari lingkungan sekitarnya. Beberapa jenis mikroba yang
terdapat pada bahan pangan adalah Escherichia coli, Campylobacter sp
dan Salmonella Sp. serta mikroba patogen lainnya. Pencemaran mikroba
pada bahan pangan merupakan hasil kontaminasi langsung atau tidak
langsung dengan sumber-sumber pencemaran mikroba, seperti tanah,
udara, air, debu, saluran pencernaan dan pernafasan manusia maupun
hewan.
Escherichia coli adalah gram-negatif, anaerobik fakultatif dan non
spora. Sel-sel biasanya berbentuk batang yang panjangnya sekitar 2
mikrometer (m) dan diameternya 0,5 m r, dengan volume sel 0,6-0,7 m
3. E. coli dapat hidup di berbagai substrat. Menurut Brooks et al. (2005),
E. coli merupakan mikroflora alami yang terdapat pada saluran
pencernaan manusia dan hewan. Beberapa galur E. coli yang dapat
menyebabkan penyakit pada manusia adalah enteropathogenic E. coli
(EPEC) enterotoxigenic E. coli (ETEC), enterohaemorrhagic E. coli
(EHEC), enteroinvasive E. coli (EIEC), dan enteroaggregative E. coli
(EAEC) (Supardi dan Sukamto, 1999).
Syarat mutu karkas dan daging ayam dalam SNI 7388:2009 (2009)
maupun syarat peraturan yang berlaku di Amerika Serikat menyatakan
bahwa Salmonella merupakan bakteri patogen berbahaya sehingga di
dalam produk pangan tidak diperbolehkan mengandung Salmonella.
Alasan dari dicanangkannya zero tolerance ini adalah karena
Salmonella bertanggung jawab sebagai penyebab gastroenteritis
(Lindquist, 1998). Bakteri dari genus Salmonella merupakan bakteri
penyebab infeksi, jika tertelan dan masuk ke dalam tubuh akan
menimbulkan gejala yang disebut salmonellosis. Salmonella yang
mencemari makanan dapat berkembang biak secara cepat karena
keadaan lingkungan yang panas dan lembab menstimulir
pertumbuhannya. Salmonella mungkin terdapat pada makanan dalam
jumlah tinggi tetapi tidak selalu menimbulkan perubahan dalam hal warna,
bau, maupun rasa dari makanan tersebut. Semakin tinggi jumlah
Salmonella di dalam suatu makanan, maka semakin besar timbulnya
gejala infeksi pada orang yang menelan makanan tersebut dan semakin
cepat waktu inkubasi sampai gejala infeksi (Supardi dan Sukamto, 1999).
Campylobacter jejuni secara alami ada dalam saluran pencernaan
ayam. Sumber terjadinya infeksi pada ayam dapat terjadi dengan
beberapa cara yaitu dari infeksi day of chick (DOC) dari ayam dewasa,
kontaminasi pakan, dan kontaminasi air. Selama proses pemotongan
bakteri C. jejuni akan menyebar ke karkas ayam (Andriani et al., 2014).
Kontaminasi C. jejuni pada ayam telah dilaporkan di beberapa negara
berkisar 22-78% pada produk ayam (Harris et al., 1986; Park et al., 1981;
Stern et al., 1985). Di Amerika, mayoritas karkas ayam yang dijual di
pasaran terkontaminasi oleh C. jejuni (Grant et al., 1980). Survey
menunjukkan bahwa C. jejuni telah berhasil diisolasi dari retail market
sebanyak 92% dari karkas ayam dan 85-89% dari hati dan ampela ayam.
Sebanyak 50% dari hati dan ampela ayam yang terkontaminasi
mengandung kuman lebih dari 1100 C. jejuni per gram (Butzler dan
Skirrow, 1979).
BAB III
PEMBAHASAN

Daging unggas merupakan sumber penting dari keracunan


makanan yang organisme, terutama Campylobacter dan Salmonella.
Patogen ini bertahan hidup dalam saluran usus ayam, yang menjadikan
patogen ini sulit dihilangkan dari produk daging unggas. Patogen tersebut
dapat terdeteksi pada karkas setelah dilakukan pengolahan (Fluckey et
al., 2003; James et al., 2007). Bakteri yang tidak sepenuhnya menempel
pada kulit karkas ayam broiler dapat menjadi terpisah selama pencelupan
chilling dan mencemari karkas lainnya di chiller (Bailey et al., 1987).
Pengaruh chilling pada keamanan dan kualitas produk
A. Mikrobiologi
Jumlah bakteri patogen yang dapat menyebabkan makanan
keracunan pada manusia diketahui mencemari unggas daging.
Yang paling penting adalah Salmonella spp., Campylobacter spp.,
Clostridium perfringens, Listeria monocytogenes dan
Enterohaemorrhagic Escherichia coli. Selain itu, Mead (2004)
menyatakan bahwa dua jenis toleran dingin bakteri, Aeromonas
spp. dan Yersinia enterocolitica juga ditemukan di karkas unggas
namun belum dikaitkan dengan penyakit bawaan dari makanan.
Suhu pertumbuhan minimum dan optimum untuk patogen
umumnya terkait dengan karkas daging unggas. Beberapa
patogen, seperti L. monocytogenes, mampu tumbuh pada suhu di
bawah 5C. Kekhawatiran tersebut sehubungan dengan daging
didinginkan karena pendingin tidak bisa diandalkan untuk
mencegah pertumbuhan patogen (James et al., 2005).
Jumlah dan jenis mikroorganisme yang sangat besar dapat
menyebabkan pembusukan makanan. Namun, tergantung pada
mikroflora dan terhadap pertumbuhan lingkungan, hanya beberapa
spesies dari genus Pseudomonas, Acinetobacter, Moraxella,
Brochothrix thermosphacta, Aeromonas spp. dan Psychrobacter
spp. dan dari keluarga Enterobacteriaceae secara signifikan
mewakili dari sebagian mikroflora yang menyebabkan pembusukan
daging unggas yang didinginkan (James et al., 2005).

a. Bakteri patogen
Campylobacter jejuni pada ayam tidak menyebabkan penyakit
tetapi kejadian kontaminasi karkas ayam oleh bakteri ini cukup
tinggi yang mengakibatakan Campylobacteriosis pada manusia.
Sekitar 70% kasus Campylobacteriosis pada masuisa disebabkan
oleh adanya kontaminasi C. jejuni pada karkas ayam (Deming et
al., 1987, Tauxe et al., 1987, Skirrow, 1990). Jumlah Campylobacter
banyak pada karkas ditemukan cukup tinggi yaitu 10.000 CFU per
karkas ayam (Waldroup et al., 1992). Hasil survey di Australia
menunjukkan hasil bahwa 94% karkas ayam segar terkontaminasi
Campylobacter dengan jumlah 105 per karkas (Skorrow, 1990).
Potensi penurunan (atau kenaikan) dalam jumlah keseluruhan
selama chilling bukan satu-satunya efek yang diamati pada
mikroorganisme. Newell et al. (2001) menunjukkan bahwa
perubahan dalam distribusi strain Campylobacter terjadi selama
pengolahan dan paling jelas setelah di chilling, memang beberapa
subtipe Campylobacter hidup melalui karkas yang didinginkan.
Jimenez et al. (2002) mengamati bahwa proporsi
Enterobacteriaceae E. coli di kloaka lebih meningkat saat dichilling
langkah dibandingkan dengan pengeluaran isi dan saat dibilas.
b. Bakteri pembusuk
Hanya sejumlah kecil penelitin yang langsung membandingkan
pengaruh metode chilling yang berbeda pada perubahan jumlah
bakteri. Graw et al. (1997) melakukan studi ekstensif pada pengaruh
metode air chilling dan spray/evaporative chilling pada jumlah bakteri
pembusuk yang berbeda. Selama air chilling tidak ada perubahan dari
jumlah bakteri pada kulit dan organ visceral yang diamati. Pada
spary/evaporative chilling mengakibatkan adanya penurunan
kontaminasi kulit sekitar setengah log Unit tapi tidak berdampak pada
jumlah baketripada organ visceral. Jumlah bakteri berkurang selama
air chilling, tapi tidak ada efek keseluruhan yang dikontaminasi mikroba
dari kulit karkas metode air chilling berbagai pendingin air. Namun,
berat rongga tubuh berkurang, sekitar satu log rongga unit/badan, lebih
banyak di air chiller 'kering' daripada air chiller dengan water spray.
Dalam salah satu pendingin udara atau air chiller di mana non-
diklorinasi disemprotkan yang digunakan untuk peningkatan
pseudomonad yang diamati (James et al., 2005).

c. Rasa
Proses pendinginan dapat mempengaruhi rasa masakan daging
unggas dan produk unggas, namun efek utama yang sangat
berpengaruh adalah selama penyimpanan daripada chilling. Hale dan
Stadelman (1969) melaporkan bahwa secara komersial proses,
'dry'(air) ayam broiler yang didinginkan memiliki tekstur lembut, tetapi
rasa dapat terdeteksi melalui proses perendaman dingin daging ayam
broiler dengan cara tradisional. Di sisi lain, Zenoble et al. (1977) dan
Pedersen dan Ristic (1979) tidak menemukan efek chilling pada rasa
daging menemukan bahwa water chilling ayam broiler menghasilkan
rasa yang lebih menguntungkan daripad air chilling untuk kedua kaki
dan daging bagian dada. Lillard (1982) menyatakan bahwa sistem
chilling memperbaiki rasa pada sistem chilling dengan menggunakan
nitrogen cair atau karbon dioksida (James et al., 2005).
d. Tekstur
Masalah tekstur ditemukan dalam daging merah yang disebabkan
oleh lambatnya chilling ('pucat, lunak, eksudat' (PSE) daging) atau
chilling yang cepat ('cold shortening') juga ada dalam daging unggas,
meskipun pada tingkat lebih rendah. Daging yang berwarna pucat,
lunak, eksudat (PSE) telah dilaporkan menjadi masalah yang
berkembang di industri unggas (terutama berkaitan dengan daging
kalkun) dan ditandai dengan postmortem yang mempercepat
penurunan pH. PH yang kondisinya rendah bersifat sementara suhu
tubuh tetap mengarah tingginya untuk denaturasi protein,
menyebabkan warna pucat dan mengurangi sifat daya ikat air. Lesiak
et al. (1997) melaporkan bahwa dada kalkun dipotong untuk 15, 60
atau 120 menit direndam pada air panas pada suhu 30C sebelum
chilling mengakibatkan kerugian sebesar masing-masing 0,5, 1,17 dan
1,6%. Rapid chilling seharusnya mengurangi masalah ini dan telah
direkomendasikan bahwa suhu dibawah otot kalkun harus dikurangi di
bawah 25C selama 60 menit setelah postmortem (James et al., 2005).
Sebaliknya rapid chilling, sebelum perkembangan rigor mortis
dapat memperkeras daging melalui proses yang dikenal sebagai
'Shortening cold'. Meskipun otot dada unggas yang utama terdiri dari
serat putih yang kurang rentan terhadap shortening cold daripada serat
merah ditemukan di daging merah.
KESIMPULAN

Selama pengolahan daging unggas, chilling sangat penting


dilakukan karena mempengaruhi karkas dalam segi mikrobiologi dan
kualitasnya. Dasar chilling karkas unggas dilakukan untuk
mempertahankan produk yang aman dengan mengurangi suhu daging
untuk menurunkan laju pertumbuhan patogen dan pembusuk
mikroorganisme. Secara umum, primer chilling mengurangi angka dan
prevalensi patogen dan mikroorganisme pembusuk pada karkas unggas.
Ada juga beberapa bukti bahwa perubahan chilling jumlah relatif dari
berbagai jenis bakteri di atas permukaan unggas. penurunan yang besar
pada jumlah mikroorganisme yang ditemukan saat perendaman sistem
chilling yang digunakan, terutama jika air diklorinasi. Air chilling biasanya
menghasilkan sedikit jika adanya perubahan.
Penuaan daging unggas tidak berjalan selama atau sama
pentingnya seperti dalam daging merah tapi sangat cepat chilling dapat
menyebabkan tekstur masalah kecuali stimulasi listrik digunakan.
Penguapan sangat berpengaruh terhadap berat karkas sebagai ukuran
untuk keberhasilan ekonomi dari operasi chilling karkas unggas.
Pencelupan dan spray chilling secara substansial dapat mengurangi
kerugian dan dapat mengakibatkan bertambahnya berat karkas.
DAFTAR PUSTAKA

_______________________. 2009. SNI 7388:2009 tentang Batas


maksimum cemaran mikroba dalam pangan. Departemen
Pertanian. Jakarta.
Andriani, I. Komala., Noor, S. M., Masniari, P. 2014. Patogenesis
campylobacter terhadap hewan dan manusia. Balai Penelitian
Veteriner. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Bailey, J. S., J. E. Thompson, and N. A. Cox. 1987. Contamination of
poultry during processing. Page 193 in The Microbiology of Poultry
Meat Products. F. E. Cunningham and N. A. Cox, ed. Acad. Press.
New York.
Brooks G.F, J.S. Butel, S.A. Morse. 2005. Medical Microbiology. McGraw-
Hills Companies Inc.
Butzler, J.P and M.B. Skirrow. 1979. Campylobacter enteritis. clinics in
Gastroenterology. 8: 737-765.
Carroll, C. D., and C. Z. Alvarado. 2008. Comparison of air and immersion
chilling on meat quality and shelf life of marinated broiler breast
fillets. Poult. Sci. 87:368372.
Fluckey, W.M., M.X. Sanchez, S.R. McKee, D. Smith, E. Pendleton, M.M.
Brashears. 2003. Establishment of a microbiological profile for an
air chilling poultry operation in the United States. J Food Prot.
Graw, A. Kobe, R. Fries. 1997. Air chilling and evaporationtechnique in
poultry meat productionda microbiological survey. 1. Total germ
count, Fleischwirtschaft.
Hale, K.K., W.J. Stadelman. 1969. Flavour differences between wet-chilled
and dry chilled broilers, Poult Sci.
Harris, N.V., D. Thompsin; D.C. Martin and C.M. Nolan. 1986. A. survey of
Campylobacter and other bacterial contaminants of pre-market
chicken and retail poultry and meats, King County, Washington.
Am.J.Publ.Health. 76: 401.
Huezo, R., J. K. Northcutt, D. P. Smith, and D. L. Fletcher. 2007a. Effect of
chilling method and deboning time on broiler breast filet quality. J.
Appl. Poult. Res. 16:537545.
James, C., C. Vincent, T.I. de Andrade Lima, S.J. James. 2005. The
primary chilling of poultry carcasses. University of Bristol, Churchill
Building, Langford, Bristol. UK.
Jimenez, S.M., M.S. Salsi, M.C. Tiburzi, M.E. Pirovani. 2002. A
comparison between broiler chicken carcasses with and without
visible faecal contamination during the slaughtering process on
hazard identification of Salmonella spp. J Appl Microbiol 93.
Lesiak, M.T., D.G. Olson, C.A. Lesiak, D.U. Ahn. 1997. Effects of post-
mortem time before chilling and chilling temperatures on water-
holding capacity and texture of turkey breast muscle. Poult Sci 76.
Lillard, H.S. 1982. Improving chilling systems for poultry. Food Technol 36
(2).
Lindquist, J. 1998. Salmonella-General Aspects and Nomenclature.
Laboratory Manual for the Food Microbiology Laboratory at
University of Wisconsin- Mandison.
Mead, G. C., V. M. Allen, C. H. Burton, and J. E. L. Corry. 2000. Microbial
cross-contamination during air chilling of poultry. Br. Poult. Sci.
41:158162.
Newell, D.G., J.E. Shreeve, M. Toszeghy, G. Domingue, J. Bull, T.
Humphrey. 2001. Changes in the carriage of Campylobacter strains
by poultry carcasses during processing in abattoirs. Appl Environ
Microbiol.
Park, C.E., Z.K. Stankiewicz, J. Lovett, J. Hunt and D.W. Francis. 1983.
Effect of temperature, duration of incubation, and pH of enrichment
culture on the recovery of Campylobacter jejuni from eviscerated
marked chickens. Can. J. Microbiol. 29: 803.
Pedersen, R. 1972. Immersion chilling fresh chickens, organoleptic
characteristics, shelf life and determination of water uptake,
Landbrugsministeriets Slagteri-og Konserves laboratorium.
Copenhagen. Denmark.
Ristic, M. 1982. Influence of the water cooling of fresh broilers on the shelf
life of poultry parts at 15 and 21 C. Food Sci Technol-Lebensm-
Wiss Technol.
Supardi dan Sukamto. 1999. Mikrobiologi dalam Pengolahan dan
Keamanan Pangan. Penerbit Alumni. Bandung.
USDA. 2001. Retained water in raw meat and poultry products; poultry
chilling requirements; final rule. 9 CFR Parts 381 and 441. 66:1750-
1772.
Zenoble, O. C., J. A. Roberts, and F. E. Cunningham. 1977. Eating quality
of spent hens processed with and without immersion chilling. Poult.
Sci. 56:843845.

Anda mungkin juga menyukai