Anda di halaman 1dari 3

Nama : March Bella Hotman

NIM : 21502008

Program Studi : Ilmu Biologi

Masalah Pada Sosis Daging Ayam Di Pasar

Sosis merupakan produk makanan olahan daging yang dikemas dalam wadah yang tertutup
rapat. Sosis terbuat dari campuran daging halus (mengandung daging lebih dari 75%) dan
tepung, dengan atau tanpa penambahan bumbu serta bahan tambahan makanan lain yang
diizinkan (Badan Standardisasi Nasional, 1995).

1. Faktor pertumbuhan bakteri Salmonella sp. pada sosis daging ayam

Keberadaan bakteri Salmonella sp. serta bakteri lainnya dalam sosis daging ayam yang
diperoleh dari pasar, menunjukan bahwa dalam tahap pengolahan sosis daging ayam tersebut
mengalami kontak tidak langsung dengan kotoran melalui air dan peralatan yang digunakan
selama pengolahan. Hal ini sesuai dengan pendapat Widiyanti dan Ristiati (2004), yang
menyatakan bahwa adanya kontaminasi bakteri patogen pada air atau makanan menunjukkan
bahwa dalam satu atau lebih tahap pengolahannya pernah mengalami kontak tidak langsung
dengan kotoran, yang menandakan proses pengolahan produk tersebut kurang higienis.

Sosis sebagai produk makanan beku, seharusnya disimpan dalam pendingin dengan suhu -18ºC.
Menurut Pelczar (1986), penyimpanan makanan pada suhu beku sebenarnya hanya
menghambat proses pertumbuhan bakteri penyebab kebusukan dan kerusakan, tetapi tidak
membunuh sel-sel bakteri. Sel-sel bakteri tersebut dapat tumbuh kembali seperti sel-sel normal
apabila berada pada kondisi lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhannya. Hal inilah yang
terjadi pada sampel sosis daging ayam disimpan pada suhu ruang (28ºC-30ºC). Terjadinya
perubahan warna,tekstur dan aroma pada sampel dapat disebabkan karena adanya
peningkatan jumlah bakteri.

1. Identifikasi bakteri Salmonella sp.

Keberadaan cemaran bakteri S. aureus pada sampel sosis daging ayam dapat diketahui dengan
melakukan pengujian dengan menggunakan media Trypticase Soy Agar (TSA) dan Mannitol Salt
Agar (MSA). Menurut Rollins dan Joseph (2000), media TSA mengandung asam amino dan
substansi nitrogen yang membuatnya menjadi media bernutrisi untuk mendukung
pertumbuhan mayoritas bakteri patogen. Koloni bakteri S. aureus yang tumbuh pada media TTA
berbentuk bulat, elevasinya cembung dan berwarna putih kekuningan.
Suhu ideal penyimpanan sosis sekitar -18ºC, tetapi para pedagang di pasar menyimpan sosis
pada suhu ruang tanpa menggunakan fasilitas pendingin. Penggunaan suhu rendah dalam
pengawetan makanan tidak dapat mematikan bakteri, sehingga pada saat sosis dikeluarkan dari
pendingin dan dibiarkan berada pada suhu ruang maka pertumbuhan dan perkembangbiakan
bakteri dapat berlangsung dengan cepat (Asmoel, 2009).

Menurut penelitian Haryati (2003), sosis yang disimpan pada suhu termos es (10ºC-15ºC)
bertahan sampai 7 hari, dengan rata-rata total bakteri adalah 4,58x102 CFU/g, sedangkan sosis
yang disimpan pada suhu ruang (27ºC-30ºC) hanya bertahan 2 hari dengan total bakteri
1,42x103 CFU/g, dan pada hari ke-3 terjadi peningkatan jumlah total bakteri sebanyak
1,86x106CFU/g.

Koloni bakteri Salmonella sp. yang tumbuh pada media selektif Bismuth Sulfite Agar (BSA)
berbentuk bulat, elevasinya cembung dengan pinggiran rata, dan berwarna coklat kehitaman
dengan kilap logam (Tabel 2). Pertumbuhan bakteri Salmonella sp. media Triple Sugar Iron Agar
(TSIA) ditandai adanya perubahan warna media, yaitu kuning pada butt (dasar) dan merah pada
slant (permukaan miring). Perubahan warna tersebut terjadi karena adanya fermentasi glukosa
oleh Salmonella sp. Selain itu, keberadaan bakteri Salmonella sp. juga ditandai dengan
pembentukan ruang udara di bawah medium sehingga medium terangkat ke atas. Menurut
Afrianto (2008), media TSIA digunakan untuk identifikasi bakteri gram negatif yang
memfermentasi glukosa atau laktosa atau sukrosa dan produksi H 2S. Oleh karena itu, media ini
dapat digunakan untuk konfirmasi bakteri Salmonella sp. yang tumbuh pada media BSA.
Terjadinya fermentasi glukosa oleh Salmonella sp.akan mengubah phenol red (media merah)
menjadi kuning dan menurunkan pH menjadi asam. Kondisi inilah yang juga menyebabkan
perubahan aroma pada sampel sosis daging ayam yang menjadi lebih asam pada hari ke3 dan
ke-5.

3. Dampak dari bakteri :

Mikroorganisme patogen yang sering ditemukan pada produk pangan dapat digolongkan
sebagai mikroorganisme indikator keamanan pangan. Mikroorganisme patogen tersebut
merupakan penyebab keracunan makanan (intoksikasi), contohnya kasus keracunan pada
warga di Dusun Surya Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang. Keracunan ini menyebabkan 1
orang meninggal dunia dan 2 orang mengalami keracunan ringan setelah mengkonsumsi sosis
dalam kemasan yang mulai berlendir. Kondisi sosis yang mulai berlendir tersebut menunjukkan
adanya kontaminasi bakteri pada sosis tersebut (Harian Equator, 2010).

4. Pencegahan
Pencegahan terhadap kontaminasi bakteri patogen, dapat dilakukan dengan
penanganan makanan dengan proses pemasakan yang benar, pencegahan pencemaran
silang (cross contamination), penerapan higiene personal serta sanitasi yang memadai.
Meskipun proses pemasakan dengan suhu 60ºC-70ºC bakteri Coliform, E. coli dan
Salmonella sp. dapat dimusnahkan, karena bakteri-bakteri tersebut tidak tahan
terhadap panas, akan tetapi bakteri patogen lainnya seperti S. aureus tidak dapat
dimusnahkan. Menurut Stewart (2003) dalam Chotiah (2009), S. aureus mampu
menghasilkan enterotoksin. Toksin inibersifat tahan dalam suhu tinggi, meskipun bakteri
mati dengan pemanasan namun toksin yang dihasilkan tidak akan rusak dan masih
dapat bertahan meskipun dengan pendinginan ataupun Salmonella sp. melebihi standar
yang telah pembekuan. Sel vegetatif S. aureus dapat diinaktivasi pada suhu > 46°C
namun sporanya masih mampu bertahan pada pemanasan 100°C-120°C. Kebanyakan
spora bakteri rusak dengan pemanasan 100°C selama 30 menit. Ada juga spora bakteri
yang tidak rusak selama pemanasan pada suhu 100°C selama 24 jam. Akan tetapi,
semua spora bakteri akan mati pada pemanasan 121°C selama 15 menit (Setiowati dan
Inanusantri, 2011).

Anda mungkin juga menyukai