Anda di halaman 1dari 13

1

TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Bagaimana pemeriksaan daging dari aspek mikrobiologis?
2. Bagaimana pengawetan daging yang baik dan benar?
3. Sebutkan dan jelaskan pigmen-pigmen pada daging !
4. penyakit-penyakit zoonotik yang diperantarai oleh daging ?


PEMERIKSAAN DAGING DARI ASPEK MIKROBIOLOGIS
Hasil pengujian laboratorium terhadap daging dan hasil olahannya sangat tergantung
pada rencana dan teknik pengambilan, penanganan (pengiriman, penyimpanan) serta persiapan
contoh (sample). Daging dikategorikan sebagai bahan makanan yang mudah rusak (perishable
food) karena daging mengandung zat gizi yang baik, memiliki pH dan aktivitas air yang sangat
menunjang pertumbuhan mikroorganisme. Dengan kata lain, daging merupakan media yang baik
untuk pertumbuhan mikroorganisme. Selain itu, daging dikategorikan juga sebagai bahan
makanan yang berpotensi berbahaya (potentially hazardous food), artinya daging dapat menjadi
media pembawa mikroorganisme patogen yang dapat membahayakan kesehatan konsumen
(Lukman, 2010).
Untuk menjamin penyediaan daging yang ASUH, maka dilakukan pengawasan
(surveillance, monitoring, inspeksi) terhadap daging dalam mata rantai penyediaan daging.
Dalam pengawasan tersebut, dapat dilakukan pengambilan dan pengujian (laboratorium) contoh.
Pengujian contoh di laboratorium perlu mengikuti prosedur baku baku agar hasil pengujian dapat
dipertanggung-jawabkan.
Untuk pengujian mikrobiologis, perlu ditetapkan prosedur dan kriteria penetapan suatu contoh
diterima atau tidak. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan pengambilan
contoh untuk pengujian mikrobiologis adalah:
a. Bahaya terhadap kesehatan
Semakin bahaya jenis mikroorganisme yang diduga terdapat di dalam makanan atau
semakin kecil jumlah mikroorganisme yang dapat menimbulkan penyakit, maka unit
contoh yang diambil harus semakin besar dan banyak. Hal ini untuk meningkatkan
peluang untuk mendapatkan contoh yang positif, sehingga dapat dihindari kemungkinan
menyatakan suatu contoh aman padahal sebenarnya berbahaya (negatif palsu).
2

b. Keseragaman
Semakin seragam contoh, misalnya makanan cair (susu), pada proses homogenisasi,
maka contoh yang diambil dapat lebih kecil. Namun jika suatu contoh tidak atau kurang
seragam, maka unit contoh yang diambil harus lebih banyak atau lebih besar.
c. Pengelompokan
Jika di dalam suatu lot terdapat pengelompokan yang lebih kecil (sublot), misalnya
beberapa unit kaleng dimasukkan ke dalam kotak karton, maka unit contoh dapat diambil
dari masing-masing sublot untuk mewakili setiap atau sebagian besar sublot.
d. Konsistensi dalam produksi
Jika suatu produk selalu memiliki mutu yang baik setelah diuji, maka pengambilan
contoh dapat dikurangi jumlahnya atau diperpanjang periodenya karena sudah
mempunyai tingkat kepercayaan tinggi.

Contoh yang diambil dari daging/karkas segar atau beku dapat berupa contoh permukaan
(surface samples) dan contoh jaringan (deep tissue samples). Contoh permukaan digunakan
untuk pengujian mikrobiologis, misalnya jumlah mikroorganisme pada permukaan daging/karkas
(cfu/cm
2
atau cfu/karkas ayam). Contoh permukaan ini bersifat non-destruktif, artinya contoh
tidak dihancurkan (homogenisasi) dalam pengujian. Contoh jaringan biasanya digunakan untuk
pengujian mikrobiologis, kimiawi atau residu (Lukman, 2010).
Contoh permukaan dapat dilaksanakan dengan tiga cara, yaitu:
a. Swab
Cara ini digunakan untuk permukaan daging/karkas segar (panas atau dingin). Kapas
bergagang (cotton swab) steril diusapkan pada permukaan daging/karkas dengan luas
tertentu, umumnya 25 atau 50 cm
2
. Kemudian kapas bergagang tersebut dimasukkan ke
dalam tabung/wadah berisi larutan pengencer steril.
b. Excision
Cara ini digunakan untuk permukaan daging beku. Contoh diambil dengan menggunakan
cork borrer yang ditusukkan ke dalam daging (kurang lebih 2 mm dari permukaan). Perlu
diperhitungkan luas permukaan yang diambil dan jumlah larutan pengencer, sehingga
diperoleh jumlah mikroorganisme per cm
2
.


3

c. Rinse technique
Cara ini biasanya digunakan untuk contoh kecil (maksimum 2 kg), misalnya karkas
ayam, sosis, dan lain-lain. Contoh tersebut ditimbang secara aseptik dan dimasukkan ke
dalam plastik steril yang besarnya memadai, lalu tambahkan larutan pengencer steril
sebanyak 9 kali berat contoh.
Contoh jaringan diambil dari daging/karkas dengan menggunakan skalpel atau gunting
dan pinset dengan kedalaman 0,5 sampai 1,0 cm dari permukaan daging/karkas, atau mengambil
seluruh jaringan (Lukman, 2010). Pertumbuhan mikroba berhubungan erat dengan kualitas
daging segar. Peningkatan jumlah mikroba pembusuk/patogen berpengaruh terhadap keamanan
dan daya tahan atau masa simpan serta kandungan awal mikroba dalam daging segar. Kandungan
mikroba awal dalam jumlah sedikit dalam bahan pangan dicapai melalui aplikasi sanitasi yang
efektif selama penanganan bahan pangan serta penggunaan biopreservatif yaitu zat untuk
pengawetan secara biologi untuk mencegah mikroba patogen/pembusuk (Septiani, 2008).

PENGAWETAN DAGING YANG BAIK DAN BENAR
Daging mudah sekali mengalami kerusakan oleh mikroba. Kerusakan daging ditandai
oleh adanya perubahan bau dan timbulnya lendir yang biasanya terjadi jika jumlah mikroba
menjadi jutaan atau ratusan juta sel atau lebih per 1 cm luas permukaan daging. Kerusakan
mikroba pada daging terutama disebabkan oleh pertumbuhan bakteri pembusuk dengan tanda-
tanda sebagai berikut:
Pembentukan lendir
Perubahan warna
Perubahan bau menjadi busuk karena terjadi pemecahan protein dan terbentuknya
senyawa-senyawa berbau busuk seperti ammonia, H2S dan senyawa lain-lain
Perubahan rasa menjadi asam dan pahit karena pertumbuhan bakteri pembentuk asam dan
senyawa pahit
Terjadi ketengikan yang disebabkan pemecahan atau oksidasi lemak daging
(Usmiati, 2009).
4

Pengawetan daging bertujuan untuk memperpanjang masa simpannya sampai sebelum
dikonsumsi. Berdasarkan metode, pengawetan daging dapat dilakukan dengan 3 metode yaitu
pengawetan secara fisik, biologi, dan kimia. Pengawetan secara fisik meliputi proses pelayuan
(penirisan darah selama 12-24 jam setelah ternak disembelih), pemanasan (proses pengolahan
daging untuk menekan/membunuh kuman seperti pasteurisasi, sterilisasi) dan pendinginan
(penyimpanan di suhu dingin refrigerator suhu 4-10C, freezer suhu <0C), pengawetan secara
biologi melibatkan proses fermentasi menggunakan mikroba seperti pembuatan produk salami,
sedangkan pengawetan kimia merupakan pengawetan yang melibatkan bahan kimia
(Usmiati, 2009).
Pengawetan secara kimia dibedakan menjadi pengawetan menggunakan bahan kimia dari
bahan aktif alamiah dan bahan kimia (sintetis). Pengawetan menggunakan bahan aktif alamiah
antara lain menggunakan rempah-rempah (bawang putih, kunyit, lengkuas, jahe), metabolit
sekunder bakteri (bakteriosin), dan lain-lain yang dilaporkan memiliki daya antibakteri,
antimikroba, dan bakterisidal. Pengawetan menggunakan bahan kimia seperti garam dapur,
sodium tripolyphosphate (STPP), sodium nitrit, sodium laktat, sodium asetat, sendawa (kalium
nitrat, kalsium nitrat, natrium nitrat), gula pasir dan lain-lain dan lain-lain. Dengan jumlah
penggunaan yang tepat, pengawetan dengan bahan kimia sangat praktis karena dapat
menghambat berkembangbiaknya mikroba jamur, kapang/khamir dan bakteri pathogen
(Usmiati,2009) .
Pengawetan daging dengan pemanasan
a. Pasteurisasi, yaitu pemanasan menggunakan suhu di bawah suhu didih untuk membunuh
kuman/bakteri patogen namun sporanya masih dapat hidup. Ada 3 cara pasteurisasi yaitu:
(i) Pasteurisasi lama (Low Temperature Long Time/LTLT). Pemanasan pada suhu yang
tidak tinggi (62o-65C) dengan waktu yang relatif lama (1/2 -1 jam).
(ii) Pasteurisasi singkat (High Temperature Short Time/HTST). Pemanasan dilakukan pada
suhu tinggi (85o-95C) dengan waktu yang relatif singkat (1-2 menit).
(iii) Pasteurisasi Ultra High Temperature (UHT). Pemanasan pada suhu tinggi dan segera
didinginkan pada suhu 10C.
b. Sterilisasi adalah proses pengawetan yang dilakukan dengan pemanasan sampai suhu di atas
titik didih, sehingga bakteri dan sporanya mati. Sterilisasi dilakukan dengan cara :
(i) UHT yaitu pemanasan sampai suhu 137-140C selama 2-5 detik.
5

(ii) Produk dalam kemasan hermetis dipanaskan pada suhu 110-121C selama 20-45
detik.
Pendinginan (refrigeration)
Pendinginan memungkinkan untuk menyimpan daging dalam waktu tertentu berkat
aksinya dalam menghambat perkembangan bakteri tanpa membunuh bakteri. Oleh karena itu
sangat penting diperhatikan bahwa suhu dingin sebaiknya secepat mungkin dioperasikan setelah
ternak dipotong dan agar daging/karkas sekurang mungkin dicemari/terkontaminasi oleh bakteri
selama proses pemotongan. Ini dimaksudkan untuk mendapatkan daging dengan kualitas higienis
yang baik.
Pendinginan dimaksudkan pula untuk meningkatkan kualitas daging terutama keempukan
dan citarasa yang terjadi selama proses penyimpanan karena adanya maturasi pada daging.
Seperti pula diketahui bahwa suhu karkas berkisar 35 37 C pada akhir proses pemotongan
maka peranan pendinginan cukup penting didalam menurunkan suhu karkas tersebut agar dapat
disimpan pada suhu sekitar 0 - +2 C. Pendinginan karkas dengan menggunakan suhu mendekati
titik nol (0 5 C) pada suhu karkas masih tinggi , dimana pada saat itu karkas masih dalam
kondisi pra rigor, dapat mengakibatkan kelainan mutu daging yang dikenal dengan nama cold
shortening atau pengkerutan karena dingin. Pengkerutan akibat dingin menyebabkan otot
memendek bisa mencapai 50 % dan daging menjadi keras dan kehilangan cukup cairan yang
berarti selama pemasakan (Usmiati , 2009).
Pada tahap pertama, karkas didinginkan pada suhu dimana persentase pengkerutan paling
minimal, untuk memperoleh pengekerutan minimal sebaiknya daging didinginkan pada suhu
antara 14 19 C selama 24 jam pertama dimana pada saat tersebut rigor mortis telah terbentuk.
Kecepatan terbentuknya rigor mortis sangat tergantung pada suhu dan kondisi ternak pada saat
disembelih. Locker dan Daines (1975) memperlihatkan waktu yang dibutuhkan untuk
terbentuknya rigor mortis pada otot Sternomandibularis pada suhu 37 C, 34 C, 24 C, dan 15
C, masing-masing secara berurutan 7 jam, 10 jam, 12 jam, dan 24 jam. Rigor mortis dapat pula
terbentuk dalam waktu yang cepat pada ternak-ternak yang telah kekurangan atau kehabisan
glikogen akibat habis terkuras karena perlakuan-perlakuan yang keras sebelum pemotongan
dilakukan.
6

Cold shortening yang terjadi karena pendinginan yang cepat dengan suhu sangat rendah
pada karkas terutama pada potongan-potongan karkas dan daging mengakibatkan kealotan yang
berarti.
Karkas yang telah mengalami rigor mortis, kemudian disimpan pada kamar pendingin
(+ 2 C) selama beberapa hari. Selama penyimpanan ini terjadi maturasi yakni proses
transformasi kimia didalam otot dan memperlihatkan efek terhadap perbaikan keempukan daging
secara progresif sampai tingkat optimal. Keadaan dimana daging menjadi matang, pada tingkat
inilah daging sebaiknya dikonsumsi (Usmiati, 2009).
Untuk memperoleh tingkat maturasi yang baik, pada umumnya karkas sapi disimpan
antara 10 15 hari pada suhu + 2 C sebelum daging tersebut di konsumsi. Untuk praktisnya,
maturasi biasanya berlangsung selama 7 8 hari dengan alasan ekonomi. Hal mana tidaklah
cukup dari segi teknisnya.
Pembekuan
Pembekuan merupakan metode yang sangat baik untuk pengawetan daging dan daging
proses. Nilai nutrisi daging secara relatif tidak mengalami perubahan signifikan selama
penbekuan dalam jangka waktu yang terbatas.
Laju pembekuan tervagi menjadi 2 macam : pembekuan lambat dan pembekuan cepat.
Waktu yang diperlukan untuk melewati temperature 0
o
C sampai -5
o
C, biasanya dipergunakan
sebagai petunjuk percepatan pembekuan. Beberapa metode yang digunakan dalam pembekuan
daging antara lain : udara diam, pembekuan plat, pembekuan cepat, pencelupan ke dalam cairan
atau pemercikan cairan beku (Sutaryo,2004).
Perubahan kualitas daging beku sangat minimal pada suhu -18
o
C, sehingga temperatur ini
dipergunakan sebagai dasar penyimpanan beku. Pada temperatur ini daging beku mulai
menunjukkan perubahan kualitas, terutama flavor dagung setelah penyimpanan 4-6 bulan.
Pembekuan cepat pada daging yang tanpa prteksi dapat menyebabkan penampak daging
seperti terbakar, daging berwarna keputih-putihan atau coklat kekuning-kuningan, jernih yang
disebut freeze burn atau terbakar beku. Freeze burn disebabkan oleh sublimasi atau terbentuknya
lapisan kondensasi dari jaringan molecular di dekat permukaan daging, sehingga mencegah akses
air dari dalam dan mencegah desikasi permukaan (Sutaryo, 2004).
7

Pada laju pembekuan yang sangat cepat, Kristal es kecil terbentuk pada lapisan sel,
sehingga struktur daging tak mengalami perubahan. Pada pembekuan yang lambat, Kristal es
mulai terjadi di luar serabut otot (ekstraselular) karena tekanan osmotik ekstraselular lebih kecil
daripada di dalam otot (intramuscular). Air yang membeku pada Kristal es yang sudah terbentuk
sebelumnya akan menyebabkan Kristal es membesar. Kristal-kristal es yang besar ini akan
menyebabkan distorsi dan merusak serabut otot serta sarkolema. Kekuatan ionik cairan
ekstraselular yang tinggi juga menyebabkan denaturasi sejumlah protein otot. Denaturasi protein
juga menyebabkan hilangnya daya ikat air daging, dan pada saat penyegaran kembali terjadi
kegagalan serabut otot dalam menyerap kembali semua air yang mengalami translokasi atau
keluar pada proses pembekuan. Dan cairan inilah yang disebut drip (Sutaryo, 2004).
Menurut Sutaryo (2004), kualitas daging beku dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut :
1. Lama waktu daging dalam pendinginan sebelum pembekuan
2. Laju pembekuan
3. Lama penyimpanan dingin
4. Kondisi penyimpanan beku (temperature, kelembapan, material pengepak)
5. Umur ternak
6. pH daging
7. kontaminasi logam berat
8. Jumlah mikroba awal

Pengawetan daging dengan bahan kimia

a. Bahan aktif alamiah

(i) Bawang putih dan bawang bombay, kandungan alisin berguna untuk antimikroba
(ii) Kunyit, kandungan kurkumin (golongan fenol) didalamnya memiliki sifat bakterisidal
(iii)Lengkuas, senyawa fenolik lengkuas bersifat menghambat pertumbuhan bakteri dan jamur
(iv) Jahe, senyawa antioksidan didalamnya dapat dimanfaatkan mengawetkan minyak dan lemak


8

b. Bahan aktif buatan
Pengawetan daging dapat dilakukan dengan penambahan bahan kimia pengawet yang termasuk
dalam bahan tambahan pangan (BTP) dalam produk olahan daging. Namun masyarakat dewasa
ini ketakutan bila mendengar istilah bahan pengawet atau bahan kimia yang dapat menimbulkan
efek negatif bagi tubuh. Bahan tambahan pangan adalah bahan aditif yang mengandung senyawa
kimia yang telah diizinkan penggunaannya (Suryanto, 2009). Di Indonesia, penggunaan bahan
tambahan tersebut diatur pada Peraturan Menteri Kesehatan No. 1168/MENKES/PER/X/1997
tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan No. 722/MENKES/PER/IX/1988 tentang
Bahan Tambahan Makanan. Beberapa BTP yang diizinkan antara lain adalah :
1. Garam NaCl (garam dapur), berguna untuk menghambat pertumbuhan khamir/yeast dan
jamur. Penggunaan garam dapur berkisar antara 1,5-3%.
2. Sodium tripolyphosphate (STPP), bertujuan menurunkan jumlah bakteri sehingga produk
olahan daging dapat tahan lama. Perendaman karkas selama 6 jam dalam larutan disodium
fosfat dengan konsentrasi 6,23% dapat meningkatkan masa simpan 1-2 hari. Penggunaan
STPP pada produk olahan daging tidak boleh lebih dari 0,5%.
3. Gula pasir, dapat digunakan sebagai pengawet dengan tingkat penggunaan minimal 3% atau
disesuaikan dengan jenis produk olahan daging.
4. Sodium nitrit, digunakan dalam campuran curing untuk menghasilkan kestabilan pigmen
daging olahan. Jumlah penggunaan tidak boleh lebih dari 156 ppm, kadang-kadang
dikombinasikan dengan askorbat 550 ppm untuk mencegah pembentukan senyawa
karsinogen nitrosamin.
5. Sodium laktat, digunakan untuk mengontrol pertumbuhan patogen. Maksimum penggunaan
sodium laktat adalah 2,9%
6. Sodium asetat, digunakan sebagai agen antimikroba dan flavouring dengan jumlah
penggunaan maksimum 0,25%.
7. Sendawa (kalium nitrat, kalsium nitrat, natrium nitrat), sebagai pengawet daging olahan
digunakan dengan konsentrasi 0,1%.



9

PIGMEN-PIGMEN PADA DAGING
Menurut Abustam (2009) bahwa persepsi warna daging, baik dalam keadan mentah
maupun telah dimasak, mempengaruhi tingkat penerimaan oleh konsumen. Warna daripada
daging sangat bervariasi menurut spesies, fungsi otot dalam setiap ternak, umur ternak, dan
kondisi penanganan dan penyimpanan. Namun demikian, warna daging pada dasarnya
dipengaruhi oleh kandungan mioglobin otot, suatu pigmen warna yang terdapat pada otot hewan.
Peningkatan kandungan mioglobin, meningkatkan intensitas warna dari warna keunguan menjadi
merah gelap.
Menurut Lawrie (2003) bahwa warna daging tidak hanya disebabkan oleh kandungan
mioglobin, tetapi juga oleh tipe molekul mioglobin yang dikandungnya (tergantung pada status
dan kondisi kimia serta kondisi fisik komponen lain dalam daging). Mioglobin yang berasal dari
reduksi metmioglobin dan deoksigenasi oksimioglobin berwarna merah-purple. Oksimioglobin
yang berasal dari oksigenasi mioglobin berwarna merah cerah. Metmioglobin dari oksidasi
mioglobin bewarna coklat.
Aktifitas otot yang tinggi menyebabkan terbentuknya mioglobin yang lebih banyak,
merupakan penyebab variasi warna dari daging yang dihasilkan. Dengan demikian, daging kuda
pekerja banyak mengadung mioglobin, daging sapi jantan mengandung mioglobin lebih banyak
dari induk sapi, urat daging diafragma yang bekerja terus menerus lebih banyak dibanding
dengan otot longissimus yang kurang digunakan (Lawrie, 2003).
Warna pada daging dipengaruji oleh pakan. Spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, stress
(tingkat aktivitas dan tipe otot), pH, dan oksigen faktor-faktor ini dapat mempengaruhi
penentuan utama warna pada daging, yaitu konsemtrasi pigmen daging mioglobin, status
mioglobin dan kondisi kimia serta fisik daging. Perbedaan warna permukaan daging terutama
disebabkan oleh status kimia molekul mioglobin. Bentuk kimia warna daging segar yang
diinginkan oleh kebanyakan konsumen adalah merah terang oksimioglobin. Proporsi relatif dan
distribusi ketiga pigmen daging, yaitu mioglobin reduksi ungu, oksimioglobin merah terang dan
metmioglobin coklat akan menentukan intensitas warna daging (Soeparno, 1994).
.Ada tiga macam mioglobin yang memberikan warna yang berbeda; pada jaringan otot
yang masih hidup, mioglobin dalam bentuk tereduksi dengan warna merah keunguan, mioglobin
ini seimbang dengan mioglobin yang mengalami kontak dengan oxigen, oximioglobin yang
berwarna merah cerah (Abustam 2009).
10

Jika daging segar dipotong, warnanya adalah merah keunguan dari mioglobin. Ketika
berada didalam lingkungan beroksigen, maka permukaan daging segar akan berwarna merah
terang karena terjadinya oksigenasi mioglobin menjadi oksimioglobin. Oksigen yang masuk
kedalam otot kemudian dipakai untuk reaksi biokimiawi didalam otot. Kondisi ini menghasilkan
gradien oksigen dari jenuh di permukaan sampai nol pada beberapa cm didalam otot. Pada
konsentrasi oksigen rendah (1-2%), atom fero (Fe+2) akan teroksidasi menjadi feri (Fe+3) dan
sisi ikatan keenam akan berikatan dengan air membentuk metmioglobin berwarna coklat. Reaksi
oksidasi fero menjadi feri bersifat reversible dan juga terjadi pada bentuk mioglobin. Bentuk
warna kimia daging segar yang diinginkan oleh kebanyakan konsumen adalah merah terang
oksimioglobin (Soeparno,2004).
Reaksi oksigenasi biasanya dapat ditandai pada daging segar < 0,5 jam dan biasanya
disebut blooming pada industri daging. Oksimioglobin yang merah tetap stabil sepanjang heme
tetap teroksigenasi dan besi dalam heme tetap pada status tereduksi. Bentuk lain dari mioglobin
ditandai adanya oxidasi besi dari heme di dalam mioglobin dari bentuk Fe
2+
(ferrous) menjadi
Fe
3+
(ferric), disebut sebagai metmioglobin dan berwarna coklat. Metmiglobin adalah pigmen
utama penyebab penyimpangan warna daging yang normal sebagai akibat dari oksidasi atom
besi. Nampaknya merupakan pigmen merah kecoklatan yang tidak diinginkan. Reaksi ini dapat
reversible sepanjang ada senyawa pereduksi, seperti NADH (nicotinamide adenine dinucleotide)
didalam daging (Abustam 2009).

Secara singkat reaksi perubahan warna pada daging dapat dilihat pada bagan alir berikut :








Sumber : Lukman dkk, 2009
11

Proses perubahan warna daging menjadi hijau disebabkan akibat oleh kerja dari
mikroba. Pembentukan warna hijau pada daging terjadi pada saat proses oksidasi
membentuk metmioglobin (warna coklat), bila dalam prosesnya terdapat H
2
S yang
dihasilkan oleh mikroba (dari proses dekarboksilasi mikroba) biasanya oleh BAL dan
Pseudomonas. Maka H
2
S akan bereaksi dengan mioglobin membentuk sulfmioglobin
(warna hijau) pada daging (Lawrie 2003).

PENYAKIT ZOONOTIK YANG DIPERANTARAI OLEH DAGING
Penyakit zoonosis yang ditularkan melalui pangan terutama daging merupakan salah satu
problem utama dalam pemasaran produk daging di Indonesia, bahkan hampir semua Negara di
dunia. Di Inggris dilaporkan bahwa 20-40% penyakit sakit perut diakibatkan oleh foodborne
disease yang ditularka oleh produk pangan, salah satunya daging. Di Amerika Serikat pernah
dilaporkan bahwa 58% penyebab dari kasus foodborne yang dilaporkan, 10% merupakan berasal
dari bahan pangan asal hewan (Murdiati et al, 2006).
Bahaya biologis daripada bahan pangan asal hewan dapat berupa bakteri, virus, ataupun
parasit, walaupun dapat dikatakan bahwa secara umum agen biologi yang dianggap berbahaya
bagi kesehatan manusia umumnya dikaitkan dengan bakteri seperti Salmonella atau E. coli.
Berdasarkan agen penyebabnya, zoonosis dibedakan menjadi 5 penyebab, antara lain:
1. Zoonosis yang disebabkan oleh bakteri, antara lain : antraks, brucellosis,
leptospirosis, dan salmonelosis.
2. Zoonosis yang di sebabkan oleh virus : rabies, Japanese enchepalitis, nipah dan Avian
Influenza.
3. Zoonosis yang disebabkan oleh parasit, antara lain : toxoplasmosis, taeniasis, scabies
4. Zoonosis yang disebabkan oleh jamur: ringworm
5. Zoonosis yang disebabkan oleh penyebab lain : BSE (sapi gila) oleh prion
Untuk beberapa penyakit zoonosis pemeriksaan antemortem dapat mencegah penularan
penyakit tersebut lebih jauh. Masuknya zoonosis dalam rantai makanan dapat dicegah dalam
tahap ini dengan memisahkan atau memusnahkan hewan yang menjadi vector penyakit tersebut.
Namun beberapa kasus ternyata tak dapat ditanggulangi dengan pemeriksaan antemortem saja,
adakalanya penularan terjadi melalui udara atau feses hewan yang terinfeksi (Murdiati et al,
2006).
12

Tabel 1. Ternak yang terinfeksi zoonosis dan kaitannya dengan keamanan produk pangan
Zoonosis Hewan Sumber Faktor Pendukung Penularan Melalui
Tubercolosis Sapi, kambing Ventilasi RPH,
pencemaran feses,
kontaminasi peralatan
Susu mentah, daging
setengah matang
Brucelosis Sapi Calving, pencemaran
feses, kontaminasi
peralatan
Susu mentah
Salmonellosis Sapi, unggas, kuda Pencemaran feses Daging setengah
matang
Taeniasis Sapi Pencemaran feses Bentuk kista dalam
daging
Antraks Semua hewan Spora tahan lama
dalam tanah dan
higienik pemotongan
Pemasakan tak
sempurna,
kontaminasi peralatan
potong
BSE Ruminansia Pencemaran feses,
penggunaan feses
sebagai pupuk
Konsumsi produk
ternak yang terinfeksi
Sumber : Murdiati et al (2006)












13


DAFTAR PUSTAKA
Abustam E. 2009. Kualitas Daging. Cinnata artikel. http://cinnatalemieneabustam.blogspot.com
/2009/03/ kualitas-daging.html [22 Nov 2010]
Lawrie, R. A. 2003. Ilmu Daging. Parakkassi A, penerjemah; Jakarta : UI-Press. Terjemahan dari
:Meat Science.
Lukman, D.W. 2010. Pengambilan dan Pengujian Contoh Daging. Di unduh dari http://higiene-
pangan.blogspot.com/2010/03/pengambilan-dan-pengujian-contoh-daging.html pada 17
November 2011 pukul 08.00
Murdiati, T.B dan Sendow, I. 2006. Zoonosis Yang Ditularkan Melalui Pangan. Wartazoa
Vol.16 No.1 Tahun 2006
Soeparno, 2004. Ilmu dan Teknologi Daging, Edisi I. Penerbit Gadjah Mada University Press:
Yogyakarta.
Sutaryo. 2004. Penyimpanan dan Pengawetan Daging. Fakultas Peternakan Universitas
Diponegoro : Semarang
Usmiati, S. 2009. Pengawetan Daging Olahan dan Segar. Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Pascapanen Pertanian : Bogor

Anda mungkin juga menyukai