Anda di halaman 1dari 12

PENDAHULUAN

Daging berperanan cukup besar dalam konteks ketahanan pangan nasional karena
merupakan salah satu komoditas sumber protein hewani yang penting untuk kesehatan dan
pertumbuhan. Kesehatan daging merupakan bagian yang penting bagi keamanan pangan dan selalu
menjadi pokok permasalahan yang mendapatkan perhatian khusus dalam penyediaan daging untuk
konsumen.
Daging yang dapat dikonsumsi adalah daging dari ternak yang sehat, saat penyembelihan
dan pemasaran diawasi oleh petugas Rumah Potong Hewan (RPH) serta terbebas dari pencemaran
mikroba patogen. Saat ini permintaan masyarakat terhadap daging juga disertai oleh adanya
kecemasan masyarakat terhadap kasus bahaya pangan, contohnya kasus antraks (penyakit ternak
yang disebabkan oleh mikroba patogen bakteri Bacillus antracis) pada daging (domba, kambing, sapi)
yang dapat menular kepada manusia dan menyebabkan kematian.
Pada bulan Oktober 2004 kasus antraks di kabupaten Bogor menyebabkan enam korban jiwa
dan puluhan lainnya dirawat secara intensif di rumah sakit. Daging yang disimpan pada suhu kamar
pada waktu tertentu akan mengalami kerusakan. Hal ini karena daging merupakan bahan pangan
yang bergizi tinggi dan media yang baik untuk pertumbuhan mikroba. Kerusakan daging oleh mikroba
mengakibatkan penurunan mutu daging. Jumlah dan jenis mikroba yang mencemari permukaan
daging ditentukan oleh penanganan sebelum penyembelihan ternak dan tingkat pengendalian
hiegines dan sistem sanitasi yang baik selama penanganan hingga dikonsumsi. Besarnya
kontaminasi mikroba pada daging menentukan kualitas dan masa simpan daging. Untuk menghindari
kerusakan, daging perlu diawetkan dengan memperhatikan persyaratan keamanan pangan.
Daging merupakan semua jaringan hewan dan produk hasil pengolahan jaringan-jaringan
tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang
mengkonsumsinya (Soeparno, 1998). Daging yang umum dikonsumsi dapat diperoleh dari ternak
ruminansia besar dan kecil (sapi, kerbau, domba, kambing), ternak unggas (ayam, itik), dan aneka
ternak (kelinci, rusa, kuda, babi). Daging juga dapat dibedakan atas daging merah dan daging putih
tergantung perbedaan histologi, biokimia, dan asal ternak. Daging merah adalah daging yang memiliki
serat yang sempit, kaya akan pigmen daging (mioglobin), mitokondria dan enzim respirasi
berhubungan dengan tingginya aktivitas otot serta kandungan glikogen yang rendah. Daging putih
merupakan daging yang berserat lebih besar dan lebar, sedikit mioglobin, mitokondria dan enzim
respirasi berhubungan dengan aktivitas otot yang singkat/cepat serta kandungan glikogen yang tinggi.
Daging putih mempunyai kadar protein lebih tinggi dibanding daging merah namun daging merah
memiliki kadar lemak jenuh dan kolesterol lebih tinggi dibanding daging putih. Daging sapi berwarna
merah terang/cerah, mengkilap, dan tidak pucat. Secara fisik daging elastis, sedikit kaku dan tidak
lembek. Jika dipegang masih terasa basah dan tidak lengket di tangan. Dari segi aroma, daging sapi
sangat khas (gurih). Kandungan protein daging sapi sebesar 18,8% dan lemak total 14%. Daging
domba dan kambing Ciri-ciri daging domba dan kambing hampir sama dengan daging sapi. Namun
daging domba dan kambing memiliki serat lebih kecil dibandingkan serat daging sapi, serta aroma
daging kambing yang khas goaty. Daging domba dan kambing masing-masing mengandung protein
17,1% dan 16,6% dan lemak 14,8% dan 9,2%. Daging ayamDaging ayam berwarna putih keabuan
dan cerah. Kulit ayam berwarna putih kekuningan dan bersih. Jika disentuh daging terasa lembab
tidak lengket. Serat daging ayam halus, mudah dikunyah/digiling, mudah dicerna, berflavor lembut,

aroma tidak menyengat, dan tidak berbau amis. Daging ayam mengandung protein 18,2% dan lemak
total 25%. Daging kelinci Daging kelinci tidak berbau, berwarna putih hampir sama dengan daging
ayam, seratnya halus. Kandungan kolesterol daging kelinci rendah sehingga baik dikonsumsi oleh
penderita jantung, manula, dan obesitas, dipercaya dapat mengobati asma karena
mengandung kitotefin serta asam lemak omega-3 dan omega-9. Daging kelinci mengandung protein
antara 18,6-25,6% dan kadar lemak 3,91-10,9%.

PEMBAHASAN

PENGAWETAN DAGING
Pengawetan daging bertujuan untuk memperpanjang masa simpannya sampai sebelum
dikonsumsi. Berdasarkan metode, pengawetan daging dapat dilakukan dengan 3 metode yaitu
pengawetan secara fisik, biologi, dan kimia. Pengawetan secara fisik meliputi proses pelayuan
(penirisan darah selama 12-24 jam setelah ternak disembelih), pemanasan (proses pengolahan
daging untuk menekan/membunuh kuman seperti pasteurisasi, sterilisasi) dan pendinginan
(penyimpanan di suhu dingin refrigerator suhu 4-10C, freezer suhu <0C), pengawetan secara
biologi melibatkan proses fermentasi menggunakan mikroba seperti pembuatan produk salami,
sedangkan pengawetan kimia merupakan pengawetan yang melibatkan bahan kimia. Pengawetan
secara kimia dibedakan menjadi pengawetan menggunakan bahan kimia dari bahan aktif alamiah dan
bahan kimia (sintetis). Pengawetan menggunakan bahan aktif alamiah antara lain menggunakan
rempah-rempah (bawang putih, kunyit, lengkuas, jahe), metabolit sekunder bakteri (bakteriosin), dan
lain-lain yang dilaporkan memiliki daya antibakteri, antimikroba, dan bakterisidal. Pengawetan
menggunakan bahan kimia seperti garam dapur, sodium tripolyphosphate (STPP), sodium nitrit,
sodium laktat, sodium asetat, sendawa (kalium nitrat, kalsium nitrat, natrium nitrat), gula pasir dan
lain-lain dan lain-lain. Dengan jumlah penggunaan yang tepat, pengawetan dengan bahan kimia
sangat praktis karena dapat menghambat berkembangbiaknya mikroba jamur, kapang/khamir dan
bakteri patogen.
Pengawetan daging dengan pemanasan
Pasteurisasi, yaitu pemanasan menggunakan suhu di bawah suhu didih untuk membunuh
kuman/bakteri patogen namun sporanya masih dapat hidup. Ada 3 cara pasteurisasi yaitu: (i)
Pasteurisasi lama (Low Temperature Long Time/LTLT). Pemanasan pada suhu yang tidak tinggi (62o65C) dengan waktu yang relatif lama (1/2 -1 jam), (ii) Pasteurisasi singkat (High Temperature Short
Time/HTST). Pemanasan dilakukan pada suhu tinggi (85o-95C) dengan waktu yang relatif singkat
(1-2 menit), dan (iii)PasteurisasiUltra High Temperature (UHT). Pemanasan pada suhu tinggi dan
segera didinginkan pada suhu 10C. b.
Sterilisasi adalah proses pengawetan yang dilakukan dengan pemanasan sampai suhu di
atas titik didih, sehingga bakteri dan sporanya mati. Sterilisasi dilakukan dengan cara : (i) UHT yaitu
pemanasan sampai suhu 137-140C selama 2-5 detik dan (ii) Produk dalam kemasan hermetis
dipanaskan pada suhu 110-121C selama 20-45 detik.

Pengawetan daging dengan bahan kimia


a. Bahan Aktif alamiah
1)

Bawang putih dan bawang bombay, kandunganalisin berguna untuk antimikroba

2)

Kunyit, kandungan kurkumin (golongan fenol) didalamnya memiliki sifat bakterisidal

3)

Lengkuas, senyawa fenolik lengkuas bersifat menghambat pertumbuhan bakteri dan jamur

4)

Jahe, senyawa antioksidan didalamnya dapat dimanfaatkan mengawetkan minyak dan lemak

5)

Bakteriosin, merupakan produk ekstraseluler (Jack et al., 1995) yang diproduksi oleh bakteri asam
laktat, sebagai protein yang aktif secara biologi atau kompleks protein (agregat protein, protein
lipokarbohidrat, glikoprotein) yang disintesa secara ribosomal dan menunjukkan aktivitas antibakteri
(Vuyst and Vandamme, 1994; Ammor et al., 2006). Bakteriosin sebagai biopreservatif pangan harus
memenuhi kriteria seperti pengawet atau bahan tambahan pangan lainnya antara lain aman bagi
konsumen, memiliki aktivitas bakterisidal terhadap kelompok bakteri gram positif dalam sistem
makanan, stabil, terdistribusi secara merata dalam sistem makanan, dan ekonomis (Ray, 1996).

b. Bahan kimia
Pengawetan daging dapat dilakukan dengan penambahan bahan kimia pengawet yang
termasuk dalam bahan tambahan pangan (BTP) dalam produk olahan daging. Namun masyarakat
dewasa ini ketakutan bila mendengar istilah bahan pengawet atau bahan kimia yang dapat
menimbulkan efek negatif bagi tubuh. Bahan tambahan pangan adalah bahan aditif yang
mengandung senyawa kimia yang telah diizinkan penggunaannya (Suryanto, 2009). Di Indonesia,
penggunaan bahan tambahan tersebut diatur pada Peraturan Menteri Kesehatan No.
1168/MENKES/PER/X/1999 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan No.
722/MENKES/PER/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan. Beberapa BTP yang diizinkan
antara lain adalah:
1. Garam NaCl (garam dapur), berguna untuk menghambat pertumbuhan khamir/yeast dan jamur.
Penggunaan garam dapur berkisar antara 1,5-3%.
2.

Sodium tripolyphosphate (STPP), bertujuan menurunkan jumlah bakteri sehingga produk olahan
daging dapat tahan lama. Perendaman karkas selama 6 jam dalam larutan disodium fosfat dengan
konsentrasi 6,23% dapat meningkatkan masa simpan 1-2 hari. Penggunaan STPP pada produk
olahan daging tidak boleh lebih dari 0,5%.

3.

Gula pasir, dapat digunakan sebagai pengawet dengan tingkat penggunaan minimal 3% atau
disesuaikan dengan jenis produk olahan daging.

4.

Sodium nitrit, digunakan dalam campuran curinguntuk menghasilkan kestabilan pigmen daging
olahan. Jumlah penggunaan tidak boleh lebih dari 156 ppm, kadang-kadang dikombinasikan dengan
askorbat 550 ppm untuk mencegah pembentukan senyawa karsinogen nitrosamin.

5.

Sodium laktat, digunakan untuk mengontrol pertumbuhan patogen. Maksimum penggunaan sodium
laktat adalah 2,9%

6.

Sodium asetat, digunakan sebagai agen antimikroba dan flavouring dengan jumlah penggunaan
maksimum 0,25%.

7.

Sendawa (kalium nitrat, kalsium nitrat, natrium nitrat), sebagai pengawet daging olahan digunakan
dengan konsentrasi 0,1%.

Pengawetan daging melalui pengolahan


Pengawetan daging merupakan suatu cara menyimpan daging untuk jangka waktu yang
cukup lama agar kualitas maupun kebersihannya tetap terjaga. Tujuan pengawetan adalah menjaga
ketahanan terhadap serangan jamur, kapang/khamir, dan bakteri patogen, agar daging tidak mudah

rusak. Dalam rangka mempertahankan nilai gizi daging dilakukan upaya pengolahan untuk tujuan
pengawetan dan perluasan jangkauan pemasaran. Beberapa cara pengolahan daging yang dapat
dilakukan antara lain dengan proses pengeringan (contoh dendeng), pengasapan (contoh daging
asap), pengasaman (contoh salami), pemanasan (contoh abon), kombinasi perlakuan-perlakuan
tersebut (contoh: sosis, bakso, nugget, kornet, dan lain-lain). Dalam bentuk produk olahan maka
daging dapat disimpan lebih lama serta relatif tidak mengalami perubahan mutu dan citarasa spesifik
daging.
Daging dan Olahannya
Daging diperoleh setelah otot berubah melalui proses penyembelihan atau ternak dimatikan.
Selama dan segera setelah penyembelihan ternak, otot mengalami perubahan-perubahan yang
mempengaruhi sifat-sifat dan kualitas daging. Daging didefinisikan sebagai semua jaringan tubuh
hewan dan produk hasil olahannya yang sesuai untuk dikonsumsi. Daging harus tidak menimbulkan
gangguan kesehatan bagi yang mengkonsumsinya. Termasuk ke dalam definisi daging di atas adalah
organorgan seperti hati, ginjal, otak, paru-paru, jantung, limfa, pankreas dan jaringan otot.
Daging tersusun atas berbagai macam jaringan tubuh seperti jaringan adiposa, jaringan ikat,
jaringan saraf, jaringan epitel dan jaringan otot. Jaringan otot merupakan komponen terbesar dari
daging sehingga pembahasan mengenai daging lebih banyak mempelajari sifat dari jaringan otot ini,
khususnya otot sekeletal.
Namun demikian yang sering dijadikan pembahasan tentang daging adalah hanya urat daging
(jaringan otot skeletal) yang dikonversikan menjadi daging setelah hewan dipotong. Bila merujuk pada
SNI 01-3947-1995 dan SNI 01-3948-1995 maka daging sapi/kerbau dan kambing/domba
dideskripsikan sebagai urat daging yang melekat pada kerangka, kecuali urat daging pada bagian
bibir, hidung dan telinga yang berasal dari sapi/kerbau yang sehat waktu dipotong. Sementara untuk
daging kuda belum dicantumkan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI). Jika merujuk pada SNI,
maka daging adalah yang menyatu dengan karkas. Karkas adalah ternak yang telah disembelih
kemudian dibuang darahnya, dikuliti (kecuali babi)/dibului pada unggas, dibuang kepalanya dari
pangkal kepala, dibuang saluran pencernaanya, dibuang organ dalamnya kecuali ginjal, dibuang kaki
depan dan belakang dari lututnya (kecuali babi, utuh).
Setiap jenis ternak memiliki ciri-ciri tersendiri terutama dalam hal warna dan lemaknya. Hal ini
dapat dijadikan pegangan dalam membedakan jenis daging berdasarkan asal ternaknya. Karaktersitik
tersebut adalah:

a.

Daging sapi :
Warna merah khas daging sapi: warna gelap, warna keungu-unguan dan akan berubah menjadi
merah chery bila daging tersebut kontak dengan oksigen terbatas.
Serat daging halus dan sedikit berlemak tergantung letak daging dalam karkas.
Konsistensi padat.
Lemak berwarna kekuning-kuningan.

b.

Daging kerbau
Daging berwarna lebih merah dari daging sapi.
Serat otot/daging agak kasar.
Lemaknya berwarna putih.

c.

Daging kuda
Warna daging kecoklatan, jika terkena udara luar warnanya menjadi gelap.
Serat otot/dagingnya kasar dan panjang.
Konsistensi padat.
Di antara serat tidak terdapat lemak.

Lemak berwarna kuning emas dengan konsistensi lunak karena banyak mengandung olein.

d.

Daging domba
Warna merah khas domba, merah lebih gelap.
Daging terdiri dari serta-serat halus yang sangat rapat jaringannya.
Konsistensi cukup padat.
Diantara otot-otot dan bawah kulit terdapat banyak lemak.
Lemak berwarna putih.
Daging domba jantan berbau khas.

e.

Daging kambing
Daging berwarna lebih pucat dari domba.
Lemak berwarna putih.

f.

Daging babi
Daging berwarna pucat merah muda, daging bagian punggung yang banyak mengandung lemak,
biasanya nampak putih kelabu.
Daging berserat halus.
Konsistensi kurang padat.
Baunya spesifik, lemak jauh lebih lembek dibanding daging sapi/kambing.

g.

Daging ayam
Warna daging pada umumnya keputih-putihan.
Serat daging halus.
Konsistensi kurang padat.
Warna putih kekuning-kuningan dengan konsistensi lunak.

h.

Daging kelinci
Warna hampir sama dengan daging ayam.
Konsistensi kurang padat

Pengolahan Daging
Pada umumnya produk-produk olahan daging merupakan penerapan teknik dalam pohon
industri sebagai berikut:
Daging curing (cured meat)
Curing merupakan proses pemeraman daging dengan menggunakan garam sendawa (garam
salpeter) biasanya dalam bentuk NaNO2, NaNO3, KNO2 dan KNO3; garam dapur, bumbu-bumbu,
fosfat (Sodium tripolifosfat/STPP) dan bahan-bahan lainnya. Tetapi biasanya curing dilakukan hanya
dengan garam salpeter/sendawa dan garam dapur saja dan kemudian, ditambahkan bahan-bahan
lainnya bila akan dibuat produk olahannya.
Curing itu sendiri merupakan cara mengawetkan daging seca kimiawi. Produk dari daging
curing ini disebut dengan cured meat. Biasanya cured meat ini merupakan produk intermediate
daging karena setelah dicuring, daging bisa diolah menjadi olahan lainnya
Curing pada daging ini dimaksudkan untuk meningkatkan warna merah daging, menstabilkan
flavor, mengawetkan dan lain-lainnya. Jadi bila menghendaki produk daging (misalnya sosis) dengan
warna merah cerah daging, maka perelu dicuring dengan nitrit. Nitrat/nitrit berfungsi untuk fiksasi
warna merah daging, antimikrobial terutama Clostridium botulinum, dan menstabilkan flavor. Garam
berfungsi sebagai pembangkit flavor yang khas dan antimikrobial. Bumbu-bumbu adalah penting

untuk meningkatkan flavor sehingga meningkatkan kesukaan pada konsumen. Selain itu bumbu juga
bersifat antimikrobial dan antioksidan sehingga
berperan mengawetkan. Fosfat, berfungsi untuk meningkatkan kekenyalan produk dan mengurangi
pengkerutan daging selama proses pengolahan serta menghambat oksidasi produk. Beberapa olahan
tidak menggunakan fosfat, jadi bersifat pilihan saja.
Khusus nitrat/nitrit, penggunaannya harus dibatasi karena bila berlebihan bisa berdampak
negatif bagi yang mengkonsumsinya. Kadar akhir nitrit pada suatu produk harus tidak lebih dari 200
ppm dan nitrat tidak lebih dari 500 ppm. Berdasarkan Departemen Pertanian Amerika Serikat,
penambahan garam nitriat atau nitrit tidak boleh lebih dari 239,7 g/1001 larutan garam, 62,8 g/100 kg
daging untuk curing kering dan 15,7 g/100 kg daging cacahan untuk sosis. Secara garis besar, curing
dapat dilakukan dengan cara kering dan basah. Cara kering adalah dengan mengolesi/menaburkan
campuran bahan curing secara merata ke seluruh bagian daging. Curing kering ini bahan-bahannya
adalah 26% NaCl, 5% KNO3, 0,1% NaNO2 dan 0,5 - % sukrosa. Curing secara basah adalah dengan
merendam daging ke dalam larutan yang mengandung bahan-bahan curing. Caranya adalah
merendamkan daging ke dalam larutan garam dengan perbandingan 1:1. Larutan garam yang dibuat
adalah 26% NaCl, 2 4% KNO3, 0,1% NaNO2. Perendaman dilakukan selama 10 20 hari. Selain
direndam, cara basah ini bisa dilakukan dengan injeksi larutan curing.
Penanganan Daging Postmortem
A. Pelayuan
Karkas dari hasil pemotongan sapi umumnya mempunyai temperatur yang tinggi, yaitu sekitar
39C. Hal ini harus segera diturunkan untuk menghindarkan perubahan-perubahan yang
menyebabkan terjadinya kerusakan daging, oleh karena itu karkas harus segera disimpan dalam
ruang pendingin yang disebut dengan proses pelayuan.
Pelayuan disebut juga aging, conditioning atau hanging, yaitu dengan menggantungkan
karkas selama waktu tertentu di dalam ruangan dengan temperatur diatas titik beku karkas (-1,5 C).
Pelayuan biasanya dilakukan pada ruangan pendingin dengan temperatur pada kisaran 15 - 16 C
selama 24 jam, atau dapat pula dilakukan pada kisaran temperatur 0 - 3 C dengan waktu yang lebih
lama. Selama proses pelayuan terjadi proses autolisis, yaitu perombakan tenunan daging oleh enzim
yang terdapat di dalam daging, sehingga daging menjadi lebih empuk dan berkembangnya flavor
daging yang lebih baik.
Selama pelayuan, terjadi aktivitas enzim yang mampu menguraikan tenunan ikat daging.
Daging menjadi lebih dapat mengikat air, bersifat lebih empuk, dan memiliki flavor yang lebih kuat.
Daging biasanya dilayukan dalam bentuk karkas atau setengah karkas. Hal ini dilakukan
untuk mengurangi luas permukaan yang dapat diinfeksi oleh mikroba.
Tujuan dari pelayuan daging adalah: (1) agar proses pembentukan asam laktat dari glikogen
otot berlangsung sempurna sehingga pertumbuhan bakteri akan terhambat, (2) pengeluaran darah
menjadi lebih sempurna, (3) lapisan luar daging menjadi kering, sehingga kontaminasi mikroba
pembusuk dari luar dapat ditahan, (4) untuk memperoleh daging yang memiliki tingkat keempukan
optimum serta cita rasa khas.
Karkas sapi biasanya dilayukan dalam waktu sekitar 224 jam. Untuk memperoleh daging
yang memiliki keempukan optimum dan cita rasa yang khas, pelayuan dilakukan pada suhu yang
lebih tinggi atau dengan waktu yang lebih lama, misalnya suhu 3-4C selama 7-8 hari atau suhu 20C
selama 40 jam. Bisa juga dilakukan pada suhu 43C selama 24 jam.
Metode pemuliaan merupakan salah satu penentu untuk mendapatkan daging yang empuk,
karena menurut hasil penelitian 50 % keempukan daging disebabkan oleh faktor keturunan.
Disamping itu jenis makanan yang diberikan kepada ternak dan pelayuan daging setelah hewan
dipotong. Pendapat lain mengatakan bahwa faktor yang mempengaruhi keempukan daging
adalah faktor sebelum pemotongan (ante mortem), dan sesudah pemotongan (post mortem). Dalam
artikel ini akan diulas secara rinci proses pelayuan untuk menghasilkan daging yang empuk.

Proses Pelayuan Daging


Hewan yang baru dipotong dagingnya lentur dan lunak, kemudian terjadi perubahanperubahan sehingga jaringan otot menjadi keras, kaku, dan tidak mudah digerakkan. Keadaan inilah
yang disebut dengan rigor mortis.
Dalam kondisi rigor, daging menjadi lebih alot dan keras dibandingkan dengan sewaktu baru
dipotong. Oleh karena itu, jika daging dalam keadaan rigor dimasak, akan alot dan tidak nikmat.
Untuk menghindarkan daging dari rigor, daging perlu dibiarkan untuk menyelesaikan proses rigornya
sendiri. Proses tersebut dinamakan proses aging (pelayuan).
Pelayuan adalah penanganan daging segar setelah penyembelihan dengan cara
menggantung atau menyimpan selama waktu tertentu pada temperatur di atas titik beku daging (1,50C). Daging yang kita beli di pasar atau swalayan adalah daging yang telah mengalami proses
pelayuan.
Selama pelayuan, terjadi aktivitas enzim yang mampu menguraikan tenunan ikat daging.
Daging menjadi lebih dapat mengikat air, bersifat lebih empuk, dan memiliki flavor yang lebih kuat.
Daging biasanya dilayukan dalam bentuk karkas atau setengah karkas. Hal ini dilakukan untuk
mengurangi luas permukaan yang dapat diinfeksi oleh mikroba.
Tujuan dari pelayuan daging adalah: (1) agar proses pembentukan asam laktat dari glikogen
otot berlangsung sempurna sehingga pertumbuhan bakteri akan terhambat, (2) pengeluaran darah
menjadi lebih sempurna, (3) lapisan luar daging menjadi kering, sehingga kontaminasi mikroba
pembusuk dari luar dapat ditahan, (4) untuk memperoleh daging yang memiliki tingkat keempukan
optimum serta cita rasa khas.
Karkas sapi biasanya dilayukan dalam waktu sekitar 2X24 jam. Untuk memperoleh daging
yang memiliki keempukan optimum dan cita rasa yang khas, pelayuan dilakukan pada suhu yang
lebih tinggi atau dengan waktu yang lebih lama, misalnya suhu 3-4C selama 7-8 hari atau suhu 200C
selama 40 jam. Bisa juga dilakukan pada suhu 43C selama 24 jam.
Untuk menghambat pertumbuhan mikroba, proses pelayuan dibantu dengan sinar
ultraviolet.Selama pelayuan ini, akan terjadi peningkatan keempukan dan flavor daging dan
penyelesaian proses-proses fisiologis otot postmortem (setelah disembelih). Proses fisiologis ini yang
pasti terjadi adalah rigor mortis, yaitu suatu kekakuan otot yang terjadi setelah penyembelihan.
Proses kekakuan ini merupakan kontraksi otot yang ireversibel. Bila daging diperoleh dari karkas
yang masih rigor mortis maka daging akan terasa lebih alot/keras. Oleh karena itu proses rigor mortis
harus dilalui.
Pelayuan dengan cara menggantung karkas akan mengurangi pemendekan otot akibat rigor
mortis karena secara fisik, penggantungan menyebabkan gaya berat karkas menahan proses
kontraksi otot. Selain itu dengan adanya pelayuan maka memberikan kesempatan enzim proteolitik
untuk mendegradasi protein-protein serat sehingga menjadikan daging terasa lebih empuk.
Rigor mortis merupakan proses yang harus diperhatikan karena kesalahan penanganan bisa
berpengaruh pada kualitas daging. Karkas yang pre rigor atau sedang rigor disimpan beku maka bila
karkas/daging dicairkan (thawing) akan terjadi pengkerutan yang hebat hingga bisa mencapai 50%
karena terjadi rigor mortis kembali (thaw rigor). Hal ini menyebabkan ukuran karkas atau daging
menjadi lebih kecil dari ukuran semula. Oleh karena itu pembekuan karkas atau daging biasanya
dilakukan pada keadaan posrigor. Berkenaan dengan sifat rigor mortis ini maka dalam pelayuan
biasanya dilakukan pada temperatur antara 15-16C. Pada temperatur ini rigor mortis masih bisa
berlangsung sehingga tidak menimbulkan pengkerutan. Pelayuan pada temperatur rendah akan
menyebabkan pengkerutan dingin (cold shortening). Temperatur di bawah 15oC menyebabkan karkas
yang belum rigor atau sedang rigor menjadi tidak bisa melangsungkan rigor mortis dan bila
dikembalikan ke temperatur ruang maka rigor mortis yang tertunda tadi berlangsung kembali tetapi
diikuti dengan pengkerutan karkas/daging.
B. Perecahan Karkas

Ternak sapi menghasilkan karkas yang besar dan berat, sehingga untuk mentransportkan ke
pusat-pusat pemasaran atau tempat prosessing dalam keadaan karkas utuh dirasakan tidak praktis.
Oleh karena itu, sebelum dipasarkan atau diprosessing lebih lanjut, karkas sapi harus direcah.
Perecahan karkas dimulai dengan membagi karkas menjadi dua bagian, yaitu belahan kiri
dan belahan kanan, kemudian setiap belahan tersebut dibelah lagi menjadi bagian perempat
belakang (hindquarter) dan perempat depan (forequarter), kemudian setiap potongan perempa
potongan (kwartir) akan dipotong lagi sebagai potongan primal dan sub primal atau potongan whole
sale dan retail, dimana setiap potongan karkas tersebut mempunyai kualitas yang berbeda, oleh
karena itu nilai jual dari setiap potongan karkas tersebut tidak sama.
Potongan primal karkas sapi dari bagian seperempat depan, sekitar 48 % dari berat karkas,
terdiri dari : bahu (chuck), rusuk, paha depan, dada (breast) yang terdiri dari dada depan ( brisket)
dan dada belakang (plate), sedangkan seperempat belakang (52 % dari berat karkas), terdiri dari :
paha (round), paha atas (rump), sir loin dan short loin, flank dan ginjal beserta lemak yang menutupi
ginjal.
C. Pengasapan
Pengasapan sebenarnya merupakan metode pengawetan untuk daging dan produk-produk
olahan daging. Tujuannya adalah selain mengawetkan juga untuk meningkatkan flavor, antioksidan
dan penampakan permukaan produk yang menarik. Pengasapan dapat mengawetkan dan
meningkatkan flavor karena asap mengandung senyawa-senyawa kimia seperti formiat, asetat,
butirat, kaprilat, vanilat dan asam siringat, dimetoksifenol, metil glioksal, furfural, alkohol-alkohol,
formaldehida, dan lain-lain. Semua senyawa tersebut berperan sebagai antimikrobial, antioksidan dan
flavoring.
Pengasapan dapat dilakukan secara tradisional, yaitu dengan menggantungkan produk di
ruang pengasapan dimana daging tidak boleh saling bersentuhan. Asap dibuat di luar ruang
pengasapan yang dikipasi untuk mengarahkan asap ke produk. Asap dibuat dari kayu, serbuk gergaji,
serabut kelapa dan lain-lain. Pada pengasapan modern ruang asap dilengkapi dengan alat untuk
proses pemanasan dan proses pemakaian asap. Dengan kelengkapan alat ini,
temperatur, kelembaban relatif dan kepadatan asap dapat dikontrol. Produk olahan daging yang
biasa diasap adalah sosis dan di beberapa wilayah juga memasukkan dendeng sebagai daging asap.

a)
b)
c)
d)

e)
f)

Bahan Non Daging pada Produk Olahan Daging


Beberapa produk olahan daging menggunakan bahan selain daging sebagai tambahan yang
akan menentukan kualitas produk. Produk-produk yang menggunakan bahan lain adalah sosis,
bakso, meatloaf, nugget dan lain-lain. Berikut ini adalah jenis dan fungsi bahan-bahan non daging
pada produk olahan daging.
Garam, sebagaimana telah disebutkan di atas, garam berperan sebagai pembangkit flavor dan
mengawetkan. Hampir semua produk olahan daging menggunakan garam.
Pemanis, biasanya gula. Berperan sebagai pembentuk flavor khas dan menetralisir efek pengerasan
garam serta mengawetkan. Beberapa produk olahan menggunakan gula.
Bumbu-bumbu. Digunakan sebagai flavoring dan bersifat mengawetkan, terutama bawang putih.
Hampir semua produk olahan daging menggunakan bumbu-bumbu.
Fosfat dalam bentuk sodium tripolifosfat (STPP), berfungsi untuk meningkatkan kekenyalan produk
dan mengurangi pengkerutan daging selama proses pengolahan serta menghambat oksidasi produk.
Beberapa olahan tidak menggunakan fosfat, jadi bersifat pilihan saja. Tetapi sosis dan bakso
menggunakan STPP.
Garam sendawa/salpeter, digunakan bila pada produk curing.
Bahan extender, pengikat (binder) atau pengisi (filler). Bahan-bahan ini biasanya digunakan pada
pembuatan sosis, meatloaf, bakso dan lain-lainnya. Fungsi ketiga bahan tersebut adalah untuk
meningkatkan stabilitas emulsi, meningkatkan daya ikat air produk, meningkatkan flavor, mengurangi

pengkerutan selama pemasakan, meningkatkan karakteristik irisan produk dan mengurangi biaya
formulasi. Bahan extender biasanya adalah adalah tepung sereal dari gandum, barley, jagung atau
padi; ekstrak pati dari tepung sereal atau dari kentang; dan sirup jagung. Penambahan bahan
extender ini akan memperbesar volume dan berat serta komposisi produk olahan. Bahan binder
adalah bahan bukan daging yang mampu meningkatkan daya mengikat air dan emulsifikasi lemak.
Bahan-bahan ini adalah bahan yang mengandung protein tinggi, bisa berupa produk susu kering
maupun tepung kedelai. Bahan filler biasanya adalah bahan yang mampu meningkatkan daya
mengikat air produk tetapi kecil pengaruhnya terhadap emulsifikasi lemak. Bahan-bahan ini adalah
bahan-bahan yang mengandung karbohidrat. Bahan extender dan filler seringkali sama saja. Bahkan
ketiga istilah tersebut juga sering dicampur baurkan karena semua bahan tersebut juga memiliki
fungsi ketiga-tiganya.
Penyimpanan Daging
Daging mengandung air yang tinggi, disamping itu zat-zat makanan yang dikandungnya
sangat disukai oleh mikroorganisme, oleh karena itu segera setelah pemotongan ternak, daging harus
segera disimpan di dalam ruangan dengan temperatur rendah.
Terdapat dua macam cara penanganan daging pada temperatur rendah, yaitu refrigerasi dan
pembekuan. Refrigerasi adalah penyimpanan pada suhu di atas titik beku daging, sedangkan
pembekuan adalah penyimpanan dibawah titik beku daging, sehingga daging dalam keadaan beku.
Prinsip dari pengawetan pada temperatur rendah adalah menghambat kecepatan
pertumbuhan mikroorganisme serta reaksi-reaksi kimia dan biokimia di dalam daging, sehingga
dengan demikian kerusakan yang ditimbulkannya juga akan diperlambat.
A.
Penyimpanan Refrigerasi
Daya tahan bahan pangan yang disimpan pada temperatur refrigerasi hanya sementara, yaitu
berkisar dari antara beberapa hari sampai beberapa minggu bergantung pada bagian daging dan
penanganan daging sebelumnya.
Prinsip utama dari penanganan daging dengan cara penyimpanan refregerasi yang harus
diperhatikan adalah bahwa temperatur penyimpanan daging harus tercapai secepat mungkin setelah
pemotongan ternak ataupun pengolahan. Suhu refrigerasi tidak dapat mematikan semua
mikoorganisme yang ada di dalam daging, tetapi hanya menghambat kecepatan pertumbuhan
miroorganisme dan reaksi-reaksi kimia dan biokimia di dalam daging, sehingga penyimpanan cara ini
disebut sebagai usaha penyimpanan, bukan sebagai usaha pengawetan. Salah satu keuntungan dari
daging yang disimpan dengan cara refrigerasi adalah sifat organoleptik (rasa, tekstur, kenampakkan,
flavor, aroma) dan nilai gizinya hampir tidak dapat dibedakan dengan karakteristik yang dimiliki daging
segar. Oleh karena itu untuk mempertahankan kualitas daging maka suhu rendah ini harus terus
dipertahankan selama pengangkutan ke pasar, penjajaan di pedagang, bahkan juga selama
penyimpanan di rumah tangga.
Ruang pendingin untuk daging biasanya diatur pada kisaran -4 - 0 C, sehingga diharapkan
temperatur di dalam daging pada kisaran 2 - 5 C. Pada temperatur penyimpanan ini, kualitas
daging dapat dipertahankan selama 8 hari. Beberapa faktor yang mempengaruhi laju pendinginan
daging, yaitu :
(a) panas spesifik daging,
(b) berat dan ukuran daging,
(c) jumlah lemak pada permukaan daging,
(d) jumlah daging dalam ruang pendingin,
(e) temperatur alat pendingin.
B.
Penyimpanan Beku
Pembekuan merupakan metode yang sangat baik untuk mengawetkan daging, karena proses
pembekuan tidak mempunyai pengaruh yang berarti terhadap warna, flavor dan kadar jus daging

setelah pemasakkan, tetapi penyimpanan beku dapat mengakibatkan terjadinya penurunan daya
terima dari bau dan flavor. Kualitas daging yang dibekukan dipengaruhi oleh :
(a) lama waktu penyimpanan daging di dalam ruang pendingin,
(b) laju pembekuan,
(c) lama penyimpanan beku,
(d) kondisi penyimpanan beku,
(e) kondisi daging yang dibekukan
Air yang terdapat di dalam daging tidak membeku secara sekaligus, tetapi pembekuannya
berlangsung secara berangsur-angsur. Air yang membeku di dalam daging tidak dapat digunakan lagi
oleh mikroorganisme dan reaksireaksi kimia di dalam daging. Hal inilah yang menyebabkan mengapa
pembekuan dapat menyimpan daging dalam jangka waktu yang lama.
Beberapa persyaratan untuk memperoleh hasil daging beku yang baik, yaitu:
(a) daging berasal dari ternak yang sehat,
(b) daging berasal dari pemotongan ternak dengan cara yang baik,
(c) daging telah mengalami proses pendinginan,
(d) daging dibungkus dengan bahan yang kedap udara,
(e) temperatur pembekuan -18 oC atau lebih rendah lagi.
Kerusakan kimia dan fisik pada daging dapat terjadi akibat penyimpanan beku, yaitu :
(a) kehilangan zat-zat gizi pada waktu daging beku dikembalikan ke bentuk asal,
(b) perubahan warna daging dari merah menjadi gelap,
(c) timbulnya bau tengik pada daging.
Pangan secara umum bersifat mudah rusak (perishable), karena kadar air yang terkandung di
dalamnya sebagai faktor utama penyebab kerusakan pangan itu sendiri. Semakin tinggi kadar air
suatu pangan, akan semakin besar kemungkinan kerusakannya baik sebagai akibat aktivitas biologis
internal (metabolisme) maupun masuknya mikroba perusak. kriteria yang dapat digunakan untuk
menentukan apakah makanan tersebut masih pantas di konsumsi, secara tepat sulit di laksanakan
karena melibatkan faktor-faktor nonteknik, sosial ekonomi, dan budaya suatu bangsa. Idealnya,
makanan tersebut harus: bebas polusi pada setiap tahap produksi dan penanganan makanan, bebas
dari perubahan-perubahan kimia dan fisik, bebas mikroba dan parasit yang dapat menyebabkan
penyakit atau pembusukan (Winarno,1993).
Tujuan dari pengolahan dan pengawetan daging ialah untuk memperpanjang daya simpan
dan untuk meningkatkan cita rasa yang sesuai dengan selera konsumen serta dapat
mempertahankan nilai gizinya sehingga diharapkan dapat memperluas rantai pemasaran daging
olahan tersebut. Salah satu cara pengolahan dan pengawetan daging sapi adalah produk daging
yang dibuat secara tradisional di Indonesia, dengan cara kuring yaitu menaburkan gula, garam dan
rempah-rempah pada irisan daging kemudian dijemur. (Anonim b, 2010)
C.
Pengeringan
Pengeringan adalah suatu cara untuk mengeluarkan atau mengilangkan sebagian air dari
suatu bahan dengan menguapkan sebagian besar air yang di kandung melalui penggunaan energi
panas. Biasanya, kandungan air bahan tersebut di kurangi sampai batas sehingga mikroorganisme
tidak dapat tumbuh lagi di dalamya. Keuntungan pengeringan adalah bahan menjadi lebih awet dan
volume bahan menjadi lebih kecil sehingga mempermudah dan menghemat ruang pengangkutan dan
pengepakan, berat bahan juga menjadi berkurang sehingga memudahkan transpor, dengan demikian
di harapkan biaya produksi menjadi lebih murah. Kecuali itu, banyak bahan-bahan yang hanya dapat
di pakai apabila telah di keringkan, misalnya tembakau, kopi, teh, dan biji-bijian. Di samping
keuntungan-keuntunganya, pengeringan juga mempunyai beberapa kerugian yaitu karena sifat asal

bahan yang di keringkan dapat berubah, misalnya bentuknya, misalnya bentuknya, sifat-sifat fisik dan
kimianya, penurunan mutu dan sebagainya. Kerugian yang lainya juga disebabkan beberapa bahan
kering perlu pekerjaan tambahan sebelum di pakai, misalnya harus di basahkan kembali (rehidratasi)
sebelum di gunakan. Agar pengeringan dapat berlangsung, harus di berikan energi panas pada
bahan yang di keringkan, dan di perlukan aliran udara untuk mengalirkan uap air yang terbentuk
keluar dari daerah pengeringan. Penyedotan uap air ini daoat juga di lakukan secara vakum.
Pengeringan dapat berlangsung dengan baik jika pemanasan terjadi pada setiap tempat dari bahan
tersebut, dan uap air yang di ambil berasal dari semua permukaan bahan tersebut. Faktor-faktor yang
mempengaruhi pengeringan terutama adalah luas permukaan benda, suhu pengeringan, aliran udara,
tekanan uap di udara, dan waktu pengeringan.
Pengawetan dengan cara pengeringan dilakukan dengan penambahan garam,gula dan
bahan kimia seperti nitrat (NO3) dan nitrit (NO2). Penambahan garam untuk pengawetan daging kirakira sepersepuluh dari berat daging. Disamping sebagai pengawet, garam juga berfungsi sebagai
penambah rasa. Penambahan gula juga dimaksudkan sebagai penambahan rasa pada bahan yang
diolah. Untuk melunakkan daging sebelum diolah, daging dibungkus dengan daun pepaya yang
mengandung enzim papain atau dilumuri dengan parutan buah nenas yang mengandung enzim
bromolin. Contoh hasil olahan dan pengawetan daging adalah abon, dendeng sayat, dendeng giling,
dendeng ragi, daging asap, kornet, sosis dan sebagainya. (Anonim a, 2010)

Beberapa Produk Olahan Daging


Sosis
Sosis atau sausage berasal dari bahasa latin salsulus yang berarti digarami. Jadi sosis
sebenarnya merupakan daging yang diolah melalui proses penggaraman. Berdasarkan prosedurnya,
sosis merupakan makanan yang dibuat dari daging (atau ikan) yang digiling dan dibumbui dan
kemudian dimasukkan ke dalam selongsong bulat panjang. Selongsong dapat berupa usus sapi
ataupun buatan. Proses pembuatan sosis melalui beberapa tahap, yaitu curing, pembuatan adonan,
pengisian selongsong, pengasapan (untuk sosis asap) dan perebusan.
Bakso
Bakso merupakan produk olahan daging yang populer di kalangan masyarakat Indonesia.
Tahapan pembuatannya meliputi curing (bila diperlukan), penggilingan, pembuatan adonan,
pembentukan bulatan dan perebusan hingga bulatan bakso mengapung. Bahan-bahan yang
digunakan adalah daging, tepung, STPP, garam dan bumbu-bumbu.
Kornet
Kornet adalah bahan olahan daging yang diawetkan. Pembuatannya merupakan campuran
dengan bumbu-bumbu, garam dan nitrit. Prosesnya adalah curing, penggilingan, pembumbuan,
pengalengan dan sterilisasi.
Abon
Abon merupakan produk olahan daging dengan cara disuwir. Prosesnya: daging direbus
hingga empuk kemudian dipuku-pukul dan disuwir-suwir. Tambahkan bumbu-bumbu yang
telah dihaluskan . Tambahkan santan dan direbus dalam pada sapi yang kecil hingga agak kering.
Kemudian ditumbuk hingga hancur.
Dendeng
Dendeng merupakan salah satu makanan tradisional Indonesia. Dendeng termasuk makanan
semi-basah, yaitu mengandung kadar air antara 15 50%. Dendeng juga merupakan produk olahan

daging yang diproses secara kombinasi antara curing dan pengeringan. Dendeng ada dua jenis, yaitu
dendeng iris dan dendeng giling.
Dendeng iris dibuat dengan mengiris dendeng kira-kira setebal 3 mm kemudian dicampurkan
dengan bumbu-bumbu dan curing selama satu malam. Kemudian dendeng dijemur hingga kering.
Pengeringan bisa dilakukan dengan menggunakan oven.
Pembuatan dendeng giling adalah diawali dengan menggiling daging yang kemudian
dicampur dengan bumbu-bumbu. Selanjutnya dibentuk lembaranlembaran dengan ketebalan lebih
kurang 3 mm.
Nugget
Nugget biasanya dibuat dari daging ayam tetapi semua daging bisa dibuat nugget. Bahan
untuk membuat nugget adalah daging, garam, bumbu-bumbu, tepung, kuning telur, bisa ditambahkan
susu full cream dan lain-lain.
Proses pembuatannya meliputi tahap penggilingan daging, pembentukan adonan (campur dengan
bumbu dan bahan lainnya), pencetakan dan dikukus selama 45 menit, pemotongan, pelapisan dan
penggorengan.
Lain-lain Produk
Selain yang telah disebut di atas, masih banyak produk-produk olahan daging lainnya baik
yang tradisional Indonesia maupun manca negara dan yang modern. Beberapa diantaranya adalah
Sate, Rendang (Indonesia), Jerky (Amerika), Charqui (Brazil), Biltong, (Afrika), dan lain-lain.

Anda mungkin juga menyukai