Anda di halaman 1dari 39

Rigor Mortis

CONTOH MAKALAH KULIAH, TEKNOLOGI HASIL TERNAK

Tugas Kuliah-Daging merupakan hasil dari produk peternakan. Daging banyak dimanfaatkan oleh manusia
untuk tujuan konsumsi. Daging mengandung nilai gizi yang tinggi yang dapat mencukupi kebutuhan gizi
seseorang. Nah, karena pentingnya daging, maka perlu rasanya untuk mengetahui "Mekanisme Penyediaan
Daging".
Dalam "Mekanisme Penyediaan Daging", biasanya daging yang disembelih mengalami kejang otot. Kejang
otot ini sering disebut oleh dunia kedokteran atau dunia ilmiah dengan Rigor Mortis. Kedua hal ini akan di
bahas pada Contoh Makalah yang ingin saya share kepada teman-teman, semoga dengan ini Anda lebih
paham mengenai kedua hal tersebut di atas. Silahkan menyimak baik-baik....!

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyediaan daging bagi konsumen merupakan salah satu kegiatan penerapan industri pada
hasil ternak yang disebut sebagai agroindustri hasil ternak. Penanganan pascapanen dan
penerapan teknologi pengawetan dan pengolahan daging merupakan kegiatan agroindustri yang
diharapkan akan meningkatkan pendapatan pelaku usaha dibandingkan dengan kegiatan yang
dilakukan ditingkat budidaya dari suatu sistem agribsinis peternakan sapi potong. Daging sebagai
salah satu bahan pangan asal hewan, kualitasnya tidak hanya ditentukan oleh penanganan ternak
semasa hidupnya (sebelum panen) tetapi juga tak kalah pentingnya adalah penanganannya
setelah panen (pascapanen).
Prosedur pemotongan yang sesuai diikuti dengan pengkarkasan yang tepat dan dilanjutkan
dengan "aging" (maturasi) yang layak dengan waktu yang optimal merupakan salah satu
rangkaian yang seharusnya tak terpisahkan dalam penanganan pascapanen. Ada dua hal yang
perlu dipertimbangkan dalam penanganan pascapanen produk-produk hasil ternak untuk
peningkatan mutunya yakni melalui pengawetan dan pengolahan. Dengan pertimbangan
perubahan-perubahan yang dapat terjadi pada daging pascamerta ternak (post mortem) ditinjau
dari penggunaan suhu rendah sejak ternak disembelih, dikaitkan dengan mutu yang dihasilkan
maka pada materi ini akan membahas teknologi pengawetan dan pengolahan yang dapat
dilakukan dalam rangkaian penyediaan daging dan produk olahannya, dikaitkan dengan
peningkatan nilai tambah dan pendapatan pada akhirnya.
Proses biokimia yang berlangsung sebelum dan setelah ternak mati sampai terbentuknya
rigor mortis pada umumnya merupakan suatu kegiatan yang besar perannya terhadap kualitas
daging yang akan dihasilkan pascarigor. Kesalahan penanganan pascamerta sampai terbentuknya

rigor mortis dapat mengakibatkan mutu daging menjadi rendah ditandai dengan daging yang
berwarna gelap (dark firm dry) atau pucat (pale soft exudative) ataupun pengkerutan karena dingin
(cold shortening) atau rigor yang terbentuk setelah pelelehan daging beku (thaw rigor).
Kelainan-kelainan mutu yang terjadi pascamerta ternak dapat dihindari jika pengetahuan
tentang mekanisme rigor mortis dan perubahan pascarigor daging dapat diterapkan dengan baik
pada penanganan pascapanen ternak. Proses biokimia yang berlangsung sebelum dan setelah
ternak mati sampai terbentuknya rigor mortis pada umumnya merupakan suatu kegiatan yang
besar perannya terhadap kualitas daging yang akan dihasilkan pascarigor. Kesalahan penanganan
pascamerta sampai terbentuknya rigor mortis dapat mengakibatkan mutu daging menjadi rendah
ditandai dengan daging yang berwarna gelap (dark firm dry) atau pucat (pale soft exudative)
ataupun pengkerutan karena dingin (cold shortening) atau rigor yang terbentuk setelah pelelehan
daging beku (thaw rigor).
Ruang Lingkup Isi
1. Definisi daging: menjelaskan perbedaan otot sebagai energi mekanis dan otot sebagai
energi kimiawi.
2. Mekanisme penyediaan daging: sumber dan proses transformasi ternak hidup menjadi
daging serta sirkuit pengadaan daging bagi konsumen.
3. Membahas tentang sumber energi untuk kontraksi dan relaksasi otot, fase rigor mortis
dan proses pematangan daging (aging).

BAB II
PEMBAHASAN
MEKANISME PENYEDIAAN DAGING
Pengertian Daging
Definisi daging adalah kumpulan sejumlah otot yang berasal dari ternak yang sudah
disembelih dan otot tersebut sudah mengalami perubahan biokimia dan biofisik sehingga otot
yang semasa hidup ternak merupakan energi mekanis berubah menjadi energi kimiawi yang
dikenal sebagai daging (pangan hewani). Kata otot dapat dipergunakan pada masa hidup ternak
dan setelah mati tetapi kata daging selayaknya secara akademik dipergunakan setelah ternak mati
dan otot telah berubah menjadi daging. Otot semasa hidup ternak dikenal sebagai alat pergerakan
tubuh ditandai dengan kemampuan berkontraksi dan berelaksasi, sehingga disebut sebagai energi
mekanis dan karena tersusun dari unsur kimia maka disebut pula sebagai energi kimiawi. Setelah
ternak disembelih dan tidak ada lagi oksigen dan otot tidak lagi berkontraksi maka otot dapat
disebut sebagai energi kimiawi (pangan hewani)
Perubahan biokimia yang terjadi diawali dengan proses glikolisis yakni perombakan
glikogen menjadi asam laktat dan dilanjutkan dengan proses maturasi (aging) ditandai dengan
pengempukan pada otot sebagai akibat kerja enzim pencerna protein. Proses glikolisis
pascamerta ternak disebut pula sebagai rigor mortis atau rigor (kekakuan) pascamerta. Perubahan
biofisik yang terjadi pada otot pascamerta adalah kehilangan ekstensibilitas otot pada saat terjadi
kekakuan dan pengempukan yang terjadi pasca kekakuan
Mekanisme Penyediaan Daging

Berdasarkan atas sumbernya maka dapat dibedakan daging warna merah (red meat) yang
berasal dari ternak besar (sapi, kerbau) atau ternak kecil (kambing, domba) dan daging putih
yang lebih sering disebut sebagai poultry meat (ayam, itik dan unggas lainnya). Pemberian nama
sebagai daging merah atau daging putih (poultry meat) berdasarkan atas ratio antara serat merah
dengan serat putih yang menyusun otot tersebut.; otot yang mengandung lebih banyak serat
merah akan disebut sebagai daging merah. Dalam penyediaan daging, dari sumbernya, bagi
kebutuhan konsumen dikenal melalui tiga fase perubahan /transformasi :
1. Transformasi pertama meliputi proses perubahan ternak hidup menjadi karkas dan bagian
bukan karkas (by product atau offal). Pada tahap pertama dari rangkaian penyediaan daging ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan :
a) Kondisi ternak sebelum pemotongan
Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum ternak dipotong :
Kebersihan tubuh ternak

Pertimbangan utama adalah kebersihan kulit, sebab kulit merupakan sumber utama bagi
kontaminasi bakteri pada karkas selama proses pemotongan dan pengeluaran isi dalam
ternak (Rosset, 1982).
Kesehatan dan sanitasi ternak

Produksi daging yang higinis harus dimulai melalui pencegahan penyakit selama
pemeliharaan dan penggemukan ternak. Ternak juga merupakan sumber utama
salmonella dalam saluran pencernaannya, untuk itu maka pencegahan infeksi terhadap
salmonella harus dimulai melalui kontrol pada pada makanan ternak sebagai asal dari
kontaminasi tersebut (Hess, 1973).
Keadaan Fisiologis

a. Pengaruh pakan sebelum pemotongan


Komposisi ransum memperlihatkan pengaruh terhadap :

mikroflora pada saluran pencernaan ; pemberian ransum basal terdiri dari biji-bijian
atau gandum yang diperkaya vitamin dan mineral selama beberapa minggu akan
menurunkan jumlah bakteri Coli - aerogen dan Enterobacteri pada usus halus (Barnes,
1979).

mikroflora pada karkas sapi (bakteri psychotropes dan mesophiles). Penelitian


Thomas et al. (1977) menggunakan empat macam perlakuan pakan pada sapi: 1)
Hijauan, 2) 80 % konsentrat + 20 % hijauan selama 49 hari, 3) 80 % konsentrat + 20
% hijauan selama 98 hari, dan 4) hijauan. Setelah 46 jam pascamerta, ternak-ternak
yang mengkonsumsi perlakuan keempat (hijauan) menghasilkan karkas dengan
kandungan bakteri psychotrophes, khususnyaPseudomonas, nyata lebih rendah
dibandingkan dengan karkas dari ternak yang mengkonsumsi perlakuan pakan
lainnya. Pada waktu pascamerta yang sama, kandungan bakteri mesophiles adalah
nyata berbeda diantara keempat perlakuan dengan susunan sebagai berikut
perlakuan 1 > perlakuan 2 > perlakuan 3 > perlakuan 4.
b. Pengaruh pengangkutan sebelum pemotongan
Pengangkutan ternak ke rumah potong hewan (RPH) mengakibatkan sejumlah
agresi psikik dan fisik. Sejumlah agresi ini akan memberikan konsekuensi terhadap
kualitas saniter pada daging. Akibatnya sifat-sifat bakteriside pada darah hanya
terjadi pada ternak-ternak yang dipotong dalam kondisi kesehatan yang sempurna
selama beberapa jam setelah ternak mati. Namun ternak yang disembelih dalam

keadaan darurat, karena luka atau kecapaian, mengakibatkan pengeluaran darah yang
sangat sering tidak sempurna (Schulze et al., 1972).
c. Pengaruh waktu istirahat sebelum pemotongan
Kontaminasi pada karkas dapat terjadi melalui tempat istirahat ternak sebelum
pemotongan . Untuk itu tempat istirahat tersebut perlu secara teratur dibersihkan dan
didesinfektan. Pemotongan merupakan suatu tahap yang penting dalam penyediaan
daging tersebut.
Prosedur Pemotongan
Prosedur pemotongan meliputi teknik pekerjaan secara berurutan yang dilakukan dalam
rangka perubahan ternak hidup menjadi karkas dan bagian-bagian yang bukan karkas dimana
kesemuanya itu berlangsung di rumah pemotongan hewan (RPH). Secara berurutan dalam
pengkarkasan ternak sapi, teknik yang dilakukan sebagai berikut (beberapa variasi bisa terjadi
antara satu negara dengan negara lainnya) :
1. Persiapan sebelum pemotongan
Dalam hal ini meminimalkan terjadinya luka memar dan menghindari terjadinya
ketegangan sejak ternak diangkut dari peternakan sampai pada saat menurunkan ternak di
tempat penampungan atau tempat istirahat di RPH sebelum pemotongan dilaksanakan.
2. Ternak tidak berdaya (Stunning or Immobilization)
Metoda stunning lainnya adalah menggunakan bolt atau pin yan akan menusuk otak pada
lokasi dahi ternak sapi tersebut. Stunning secara elektrik juga banyak digunakan dan
menjadi pertimbangan untuk masa kedepan.
3. Penyembelihan/pengeluaran darah (bleeding)
Ternak dalam keadaan tidak sadar/tidak berdaya, secepatnya disembelih pada daerah
kerongkongan persis dibelakang rahang sedalam mungkin untuk memotong vena
jugularis dan arteri karotid.sehingga darah menyemprot keluar.
4. Pengulitan
Ketika ternak sudah mati dan pengeluaran darah sudah sempurna, kaki depan dilepaskan dengan
memotongnya antara patella dengan shank.
1. Pelepasan kulit kepala
2. Pelepasan kulit ekor
3. Pelepasan kaki belakang
1. Rumping
Pembukaan kulit dari kerongkongan sampai ke daerah flank diperluas ke
daerah bung dimaksudkan untuk lebih memudahkan pengulitan yang akan dimulai pada
daerah hindquarter.
2. Penarikan kulit
Ada tiga tipe penarik kulit (hide puller) : 1) "up-puller", dimana menggunkan berat karkas
untuk menstabilkan melawan tekanan dari penarik dan melepaskan kulit
dari neck ke rump; 2) "down-puller" yang ditautkan pada kulit didaerah rump dan
umumnya tidak memerlukan untuk pengulitan kepala (kecuali pada pejantan); dan 3)
"side-puller" yang ditautkan pada kulit pada daerah perut (belly) dan menarik kedua sisi
dari belly ke belakang.
3. Pembelahan dada (brisket)
Brisket dibuka sepanjang garis tengah melalui tulang dada menggunakan ujung tumpul
gergaji untuk mencegah kerusakan pada jantung dan paru-paru.

4. Pengeluaran isi dalam (evisceration)


Proses evisceration dimulai dengan terlebih dahulu membuka rongga pelvis dengan
melakukan pemotongan antara otot-otot didalam round melalui membran yang tebal
5.

Pembelahan Karkas (splitting)


Pembelahan karkas dilakukan dengan menggunakan tenaga gergaji yang berpisau timbal
balik atau dalam beberapa hal digunakan gergaji lingkar (sirkular).
6. Penyiangan karkas (trimming)
Bagian-bagian lain pada karkas yang mudah mengalami pembusukan harus dikeluarkan
dari karkas seperti spinal cord, arteri besar dan vena pada bagian leher.
7. Pengawasan (inspection)
Inspeksi dilakukan pada daging, viscera dan kepala terhadap kemungkinan terdapatnya
hal-hal yang dapat mengakibatkan bagian-bagian karkas menjadi tidak higienis atau
membawa penyakit.
8. Pencucian (washing and shrouding)
Karkas kemudian dicuci dengan air bertekanan tinggi untuk menghilangkan darah dan
kemungkinan kontaminan-kontaminan lainnya.
9. Penimbangan (Weighing and grading/classification)
Penimbangan karkas dilakukan dalam keadaan hangat setelah pengkarkasan selesai
sebelum karkas didinginkan (dilayukan).

Transformasi kedua, merupakan proses pemotongan (cutting) bagian-bagian karkas


menjadiwhole dan retail karkas untuk mendapatkan daging dan bagian-bagian lainnya
seperti lemak, tulang, aponevrose dan lain-lain. Meliputi proses cutting karkas menjadi
whole cut dan retail cut, dimana pada akhirnya akan diperoleh daging sebagai bahan baku
utama bagi konsumen (rumah tangga atau industri pengolahan daging) dan bagian-bagian
lainnya seperti lemak, tulang, aponevrose dan bahan buangan lainnya. Sebelum dilakukan
cutting beberapa hal yang perlu dipertimbangkan untuk mendapatkan daging dengan
kualitas yang tinggi :
a. Pendinginan karkas yang masih hangat dan masih dalam keadaan pra rigor, sebaiknya
dilakukan pada temperatur dimana tingkat kejadian pengkerutan otot paling minimal.
Berdasarkan penelitian, diperlihatkan bahwa pengkerutan paling rendah terjadi jika
dilakukan pendinginan pada temperatur antara 14 - 19 C.
b. Pendinginan pada suhu + 2 C, dilakukan pada karkas yang telah melewati rigor mortis
selama beberapa hari, dimaksudkan untuk memanfaatkan kerja enzim proteolitik yang
pada akhirnya akan meningkatkan keempukan daging (keterangan lebih lanjut pada
bagian aging).
Pemotongan/Pembagian Karkas (Cutting)
Karkas yang telah dibelah menjadi dua pada saat pengkarkasan, selanjutnya dibagi menjadi
empat bagian dengan masing-masing memotong dua bagian pada setiap belahan karkas.
Pembagian karkas menjadi potongan utama (whole cut) dan potongan detail (retail cut), bisa
berbeda diantara beberapa negara. Di Indonesia potongan karkas dilakukan berdasarkan metoda
Australia dengan membagi menjadi 14 potong dalam tiga kategori :
1. Enam potong pada bagian belakang (potongan pistol) ; 1) filet, 2) sirloin, 3) rump, 4)
topside, 5) inside, 6) silverside
2. Empat potong pada kategori kedua ; 1) cube roll, 2) chuck, 3) chuck tender, 4) blade
2.

Empat potong pada kategori ketiga ; 1) rib meat, 2) brisket, 3) flank, 4) shank.
Pengklasifikasian potongan-potongan karkas akan memberiklan perbedaan harga diantara
kategori dan diantara potongan didalam kategori yang sama.
Berdasarkan atas metode pemasakan pada daging, ada dua teknik pemasakan yakni
pemasakan cepat yang diperuntukkan pada otot yang kualifikasinya empuk yang dimasak dengan
metode kering; panggang, bakar, dan pemasakan lambat yang umumnya menggunakan media air
dalam pemasakannya.
3. Transformasi ketiga, merupakan proses pengolahan lebih lanjut dari bahan baku daging
yang diperoleh pada transformasi kedua menjadi suatu produk akhir berupa daging
olahan dalam berbagai macam ragam. Pengawetan dan pengolahan daging merupakan
proses yang berlangsung ditingkat hilir dari suatu industri peternakan atau merupakan
suatu subsistem dari agribisnis, yang sering pula disebut agroindustri. Kedua proses ini
pada umumnya dilakukan selain bertujuan untuk mempertahankan daya simpan dari
suatu bahan pangan yang muidah mengalami kerusakan seperti daging, juga
dimaksudkan untuk mendapatkan nilai tambah melalui peningkatan kualitas (mutu) dari
produk yang telah melalui pengoalahan dan pengawetan tersebut, yang pada akhirnya
akan meningkatkan pendapatan.
Pengawetan Daging
Pengawetan daging dimaksudkan untuk mengurangi atau menghentikan sama sekali, sesuai
dengan teknik yang digunakan, perubahan-perubahan yang dapat terjadi pada daging segar atau
produk olahannya selama proses penyimpanan. Beberapa teknik pengawetan yang sering
digunakan dan diaharapkan akan meningkatkan mutu dalam keempukan dan citarasa :
1. Penggunaan suhu rendah
1.1. Pendinginan (refrigeration)
C sebelum daging tersebut di konsumsi. Untuk praktisnya, maturasi biasanya berlangsung
selama 7 8 hari dengan alasan ekonomi. Abustam (1995) menyatakan bahwa perbaikan
keempukan daging sapi Bali secara rata-rata dengan mengabaikan system pemeliharaan
(penggemukan dan tanpa penggemukan) selama 12 hari maturasi sebesar 21,83 % dimana secara
berurut-turut pada hari ketiga, keenam dan kesembilan sebesar 8,90 %, 13,90 %, dan 18,66 %.
Perbaikan keempukan pada sapi tanpa penggemukan lebih baik daripada sapi penggemukan;
secara rata-rata dari hari pertama sampai hari ke 12 sebesar 17,15 % pada sapi Bali pemeliharaan
tradisional dan 14,49 % pada sapi Bali penggemukan. C, masing-masing secara berurutan 7
jam, 10 jam, 12 jam, dan 24 jam. Cold shortening yang terjadi karena pendinginan yang cepat
dengan suhu sangat rendah pada karkas terutama pada potongan-potongan karkas dan daging
mengakibatkan kealotan yang berarti. Untuk memperoleh tingkat maturasi yang baik, pada
umumnya karkas sapi disimpan antara 10 15 hari pada suhu + 2 C, dan 15 C, 24 C,
34Pendinginan memungkinkan untuk menyimpan daging dalam waktu tertentu berkat aksinya
dalam menghambat perkembangan bakteri tanpa membunuh bakteri. Pendinginan dimaksudkan
pula untuk meningkatkan kualitas daging terutama keempukan dan citarasa yang terjadi selama
proses penyimpanan karena adanya maturasi pada daging. Kecepatan terbentuknya rigor mortis
sangat tergantung pada suhu dan kondisi ternak pada saat disembelih. Locker dan Daines (1975)
memperlihatkan waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis pada otot
Sternomandibularis pada suhu 37
1.2. Pembekuan (Freezing)
3.

Pembekuan merupakan tahap selanjutnya dari penyimpanan daging setelah karkas melalui proses
maturasi (aging) yang optimal dimana proses komplet rigor mortis telah terpenuhi. Hal ini
dimaksudkan untuk mencegah timbulnya cold shortening dan thaw rigor pada saat daging
dicairkan dari kristal es yang meliputinya sebelum dimasak. Untuk pengawetan daging dengan
menggunakan suhu sangat rendah, maka potongan potongan karkas terlebih dahulu harus
dikeluarkan tulang-tulangnya dan menghilangkan lemak dipermukaan karkas/daging, sehingga
benar-benar daging yang dibekukan. Ini dimaksudkan selain untuk efisiensi tempat, juga
dimaksudkan untuk menghindari peruabahan perubahan yang dapat terjadi pada daging selama
penyimpanan terutama lemak, pada suhu rendah masih dapat mengalami proses ketengikan.
.
Pengolahan daging
Pengolahan, pada dasarnya dimaksudkan penerapan teknologi proses pada suatu bahan
baku yang akan mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk dari suatu bentuk yang masih utuh
menjadi bentuk lain dari produk hasil olahan tersebut. Pada umumnya pengolahan akan
meningkatkan nilai tambah sebagai kompensasi dari penambahan biaya operasional selama
pengolahan dan juga akibat adanya peningkatan kualitas dari komponen yang digunakan pada
produk olahan tersebut. Produk-produk olahan yang pada umumnya dilakukan pada daging
adalah bakso, abon, dendeng dan sosis.
KONVERSI OTOT MENJADI DAGING
Pada saat ternak telah mengalami kematian maka otot yang semasa hidup ternak disebut sebagai
energi mekanik dan energi kimiawi akan disebut sebagi energi kimiawi saja karena setelah rigor
mortis terbentuk maka akativitas kontraksi tidak tejadi lagi. Sesaat setelah ternak mati maka sisasisa glikogen dan khususnya ATP yang terbentuk menjelang ternak mati akan tetap digunakan
untuk kontraksi otot sampai ATP habis sama sekali dan pada saat itu akan terbentuk rigor mortis
ditandai dengan kekakuan otot (tidak ekstensibel lagi). Produksi ATP dari glikogen melalui tiga
jalur yakni:
1. Glikolisis; perombakan glikogen menjadi asam laktat (produk akhir) atau melalui
pembentukan terlebih dahulu asam piruvat (dalam keadaan aerob) kemudian menjadi
asam laktat (anaerob). Pada kondisi ini akan terbentuk 3 mol ATP
2. Siklus asam trikarboksilat (siklus krebs); sebagian asam piruvat hasil perombakan
glikogen bersama produk degradasi protein dan lemak akan masuk kedalam siklus
asam trikarboksilat yang menghasilkan CO2 dan atom H. Atom H kemudian masuk ke
rantai transport elektron dalam mitochondria untuk menghasilkan H2O serta 30 mol
ATP.
3. Hasil glikolisis berupa atom H secara aerob via rantai transport elektron dalam
mitochondria bersama dengan O2 dari suplai darah akan menghasilkan H2O dan 4 mol
ATP.
Dengan demikian melalui tiga jalur ini glikogen otot pertama-tama dirubah menjadi glukosa
mono fosfat kemudian dirombak menjadi CO2 dan H2O serta 37 mol ATP.
Rigor Mortis
Rigor mortis adalah suatu proses yang terjadi setelah ternak disembelih diawali fase prarigor
dimana otot-otot masih berkontraksi dan diakhiri dengan terjadinya kekakuan pada otot. Padas
saat kekakuan otot itulah disebut sebagai terbentuknya rigor mortis sering diterjemahkan dengan
istilah kejang mayat. Waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis tergantung pada

jumlah ATP yang tersedia pada saat ternak mati. Jumlah ATP yang tersedia terkait dengan jumlah
glikogen yang tersedia pada saat menjelang ternak mati.
Fase Rigor Mortis
Ada tiga fase pada proses rigor mortis yakni fase prarigor, fase rigor mortis dan fase pascarigor.
Perubahan Fisik Pada Proses Rigor Mortis
Sesaat setelah ternak mati maka kontraksi otot masih berlangsung sampai ATP habis dan
aktomiosin terkunci (irreversible). Otot menjadi kaku (kejang mayat) dan tidak ekstensible; pada
ssat ini tidak dibenarkan untuk memasak daging karena akan sangat terasa alot.
Perubahan Karakter Fisikokimia
Kekakuan (kejang mayat) yang terjadi pada saat terbentuknya rigor mortis mengakibatkan
daging menjadi sangat alot dan disarnkan untuk tidak dikonsumsi. Pemendekan otot dapat terjadi
akibat otot yang masih prarigor (masih berkontraksi) didinginkan pada suhu mendekati titik nol.
Kejadian ini disebut sebagai cold shortening dimana serat otot bisa memendek sampai 40% dan
mengakibatkan otot tersebut menjadi alot dan kehilangan banyak cairan pada saat dimasak . Pada
saat prarigor, otot masih dibenarkan untuk dikonsumsi sekalipun tingkat keempukannya tidak
sebaik jika dikonsumsi pada fase pascarigor. Ini dimungkinkan karena adanya enzim
Ca+2 dependence protease (CaDP) atau calpain yang berperan sebagai enzim yang aktif bekerja
mencerna protein jika ada ion Ca+2 Ion ini diperoleh pada saat reticulum sarkoplasmik dipompa
pascakontraksi otot.
pH akhir otot menjadi asam akan terjadi setelah rigor mortis terbentuk secara sempurna. Tapi
kebanyakan yang terjadi adalah rigor mortis sudah terbentuk tetapi pH otot masih diatas pH
akhior yang normal (pH>5.5 5.8). pH akhir otot yang tinggi pada saat rigor mortis terbentuk
memberikan sifat fungsional yang baik pada otot yang dibutuhkan dalam pengolahan daging
(bakso, sosis, nugget). Demikian pula pada saat prarigor, dimana otot masih berkontraksi sangat
baik digunakan dalam pengolahan. pH asam akan mengakibatkan daya ikat air (water holding
capacity) akan menurun, sebaliknya ketika pH akhir tinggi akan memberikan daya ikat air yang
tinggi.
Denaturasi protein miofibriler dapat terjadi pada pH otot dibawah titik isoelektrik
mengakibatkan otot menjadi pucat, berair dan strukturnya longgar (mudah terurai).
Warna daging menjadi merah cerah pada saat pH mencapai pH akhir normal (5.5 5.8) pada
saat terbentuknya rigor mortis.
Faktor-faktor penyebab variasi waktu terbentuknya rigor mortis
Jangka waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis bervariasi dan tergantung pada:
1. Spesis; pada ternak babi waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis lebih
singkat, beberapa jam malahan bisa beberapa menmeit pada kasus PSE (pale soft exudative)
dibanding dengan pada sapi yang membutuhkan waktu 24 jam pada kondisi rigor mortis
sempurna.
2. Individu; terdapat perbedaan waktu terbentuk rigor mortis pada individu berbeda dari jenis
ternak yang sama. Sapi yang mengalami stress atau tidak cukup istirahat sebelum disembelih
akan memebutuhkan waktu yang lebih cepat untuk instalasi rigor mortis dibanding dengan
sapi yang cukup istirahat dan tidak stress pada saat menjelang disembelih.
3. Macam serat; ada dua macam serat berdasarkan warena yang menyusun otot yakni serat
merah dan serat putih. Rigor mortis terbentuk lebih cepat pada ternak yang tersusun oleh serat
putih yang lebih banyak dibanding dengan serat merah.

Maturasi (aging) Pada Daging


Maturasi adalah proses secara alamiah yang terjadi pada daging selama penyimpanan dingin (2
5C setelah ternak disembelih yang memberikan dampak terhadap perbaikan palatabilitas daging
tersebut khususnya pada daerah rib dan loin. Selama aging akan terjadi perbaikan keempukan
daging yang secara fisik diakibatkan oleh terjadinya fragmentasi miofibriler akibat kerja enzim
pencerna protein. Ada dua kelompok enzim proteolitik yang berperan dalam proses
pengempukan ini yakni calcium dependence protease (CaDP) atau nama lainnya calpain ( dan
m-calpain) yang intens bekerja pada saat prarigor dan kelompok cathepsin yang aktif bekerja
pada saat pascarigor.
Problem berkaitan dengan aging
Daging sapi menjadi busuk atau bau dan flavor yang menyimpang dapat terjadi karena:
1. Pendinginan karkas yang kurang tepat.
2. Karkas akan menyerap bau ruangan aging.
3. Sanitasi yang kurang baik, dan kontaminasi dengan mikroorganisme menyebabkan bau dan
flavor menyimpang dan pembusukan.
4. Aging yang berlebihan akan menghasilkan akumulasi mikroorganisme.
5. Pengkerutan akan terjadi selama maturasi. Makin lama maturasi, makin besar kehilangan
berat.
6. Maturasi pada karkas yang telah jadi (finished-carcasses) akan menghasilkan pengkerutan
yang berlebihan, pengeringan pada daerah permukaan, dan diskolorasi. Pengeringan dan
diskolorasi daerah permukaan harus dibersihkan dan dijauhkan. Penyiangan ini dapat berarti
terhadap kehilangan yang dipertimbangkan pada produk.
BAB III
PENUTUP
Penerapan agroindustri hasil ternak melalui teknik penanganan pascapanen, pengawetan
(pendinginan dan pembekuan) serta pengolahan daging yang dibahas pada materi ini lebih
banyak mengacu kepada keadaan yang berlaku di negara-negara maju, yang secara praktek dapat
merupakan acuan untuk diterapkan dinegara-negara berkembang, khususnya Indonesia. Dalam
rangka menghadapi pasar global, mau tidak mau kita semua harus memikirkan perbaikan
kualitas daging agar nantinya produk kita mampu bersaing dalam pasar bebas nanti. Teknik
penyembelihan disesuaikan dengan tuntutan ritual untuk menghasilkan produk halal tanpa
mengurangi penerapan ilmiah untuk menghasilkan kualitas karkas/daging yang tinggi.
Penerapan suhu rendah pada daging segar selain dimaksudkan untuk memperpanjang
lama simpan juga sekaligus akan memperbaiki mutu dari daging tersebut, yang pada akhirnya
juga akan memberikan harga yang lebih baik. Demikian pula melalui pengolahan daging dengan
memanfaatkan teknologi pencincangan, penggilingan dan pencampuran dalam membentuk suatu
produk olahan akan meningkatkan nilai tambah dari bahan-bahan yang nilai ekonominya rendah
tersebut, yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan dari para pelaku usaha terkait:
peternak, pengolah dan retailer.

Konversi otot menjadi daging diawali pada saat ternak setelah mati dimana sejumlah
perubahan biokimia dan bifisk terjadi pada rangkaian kegiatan proses terbentuknya rigor mortis
dan dilanjutkan pada kegiatan pascarigor. Secara ilmiah otot baru dapat dikatakn daging setelah
melalui perubahan-perubahan biokimia dan biofisik tersebut. Perubahan biokimia berupa proses
glikolisis yakni perombakan glikogen menjadi asam laktat yang akan mengakibatkan kekakuan
otot dikenal sebagai instalasi rigor mortis dan dilanjutakn dengan proses aging untuk
memperbaiki tingkat keempukan daging. Sejumlah perubahan biofisik yang terjadi selama proses
rigor mortis dan pasca rigor seperti perubahan-perubahan atribut yang berkaitan dengan kualitas
daging: warna, citarasa, bau, dan keempukan.
Proses rigor mortis yang berlangsung tidak sempurna karena pengaruh sebelum ternak
disembelih dan penanganan pascapanen yang tidak tepat dapat mengakibatkan kelainan mutu
pada daging seperti DFD, DCB, PSE, cold shortening dan thaw rigor.

DAFTAR PUSTAKA
Abustam, E . 2008. Mekanisme Penyediaan Daging. http://cinnata.blogspot.com. Diakses pada 16
September 2011.
Abustam, E . 2008. Konversi Otot Menjadi Daging. http://cinnata.blogspot.com. Diakses pada 16
September 2011.

MEKANISME TERJADINYA PRE RIGOR, RIGOR


MORTIS DAN POST RIGOR
I. Latar Belakang
Untuk mempertahankan kehidupan dan aktivitas ternak, makanan merupakan
kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi. Kelebihan karbohidrat yang berasal dari pakan
yang dikonsumsi akan dirubah dalam tubuh ternak menjadi glikogen (pati hewan) yang
akan disimpan didalam hati dan otot. Glikogen ini akan dirombak menjadi asam laktat
(anaerob) atau asam piruvat (aerob) dan akan menghasilkan ATP (adenosine tri fosfat).
Pada otot ATP akan digunakan untuk proses kontraksi dan relaksasi sehingga
memungkinkan ternak untuk bergerak atau beraktivitas. Dengan demikian otot strip
(otot skelet=rangka tubuh) disebut sebagai alat pergerakan tubuh atau sebagai eneriy
mekanik. Karena otot terdiri dari unsur-unsur kimia (C, H, O) maka disebut juga sebagai
energi kimiawi. Pada saat ternak telah mengalami kematian maka otot yang semasa
hidup ternak disebut sebagai energi mekanik dan energi kimiawi akan disebut sebagi
energi kimiawi saja karena setelah rigor mortis terbentuk maka akativitas kontraksi tidak
tejadi lagi.
Sesaat setelah ternak mati maka sisa-sisa glikogen dan khususnya ATP yang
terbentuk menjelang ternak mati akan tetap digunakan untuk kontraksi otot sampai ATP
habis sama sekali dan pada saat itu akan terbentuk rigor mortis ditandai dengan
kekakuan otot (tidak ekstensibel lagi).
Produksi ATP dari glikogen melalui tiga jalur yakni:
1. Glikolisis; perombakan glikogen menjadi asam laktat (produk akhir) atau
melalui pembentukan terlebih dahulu asam piruvat (dalam keadaan aerob)
kemudian menjadi asam laktat (anaerob). Pada kondisi ini akan terbentuk 3
mol ATP
2. Siklus asam trikarboksilat (siklus krebs); sebagian asam piruvat hasil
perombakan glikogen bersama produk degradasi protein dan lemak akan
masuk kedalam siklus asam trikarboksilat yang menghasilkan CO 2 dan atom
H. Atom H kemudian masuk ke rantai transport elektron dalam mitochondria
untuk menghasilkan H2O serta 30 mol ATP.
3. Hasil glikolisis berupa atom H secara aerob via rantai transport elektron dalam
mitochondria bersama dengan O2 dari suplai darah akan menghasilkan H2O
dan 4 mol ATP.
Dengan demikian melalui tiga jalur ini glikogen otot pertama-tama dirubah
menjadi glukosa mono-fosfat kemudian dirombak menjadi CO 2 dan H2O serta 37 mol
ATP.
Adenosin tri-fosfat (ATP) akan digunakan sebagai sumber energi untuk kontraksi,
memompa ion Ca2 pada saat relaksasi, dan mengatur laju keseimbangan Na dan
K.Cepat lambatnya waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis sangat
tergantung pada sedikit banyaknya ATP yang tersedia pada saat ternak disembelih.
Kondisi ternak yang kurang istirahat menjelang disembelih dan terutama pada kondisi
stress atau kecapaian/kelelahan akan mempercepat terbentuknya rigor mortis.

II. Mekanisme Terjadinya Rigor mortis


Rigor mortis adalah suatu proses yang terjadi setelah ternak disembelih diawali
fase prarigor dimana otot-otot masih berkontraksi dan diakhiri dengan terjadinya
kekakuan pada otot. Padasasat kekakuan otot itulah disebut sebagai terbentuknya rigor
mortis sering diterjemahkan dengan istilah kejang mayat.
Waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis tergantung pada jumlah
ATP yang tersedia pada saat ternak mati. Jumlah ATP yang tersedia terkait dengan
jumlah glikogen yang tersedia pada saat menjelang ternak mati. Pada ternak yang
mengalami kecapaian/kelelahan atau stress dan kurang istirahat menjelang disembelih
akan menghasilkan persediaan ATP yang kurang sehingga proses rigor mortis akan
berlangsung cepat. Demikian pula suhu yang tinggi pada saat ternak disembelih akan
mempercepat habisnya ATP akibat perombakan oleh enzim ATPase sehingga rogor
mortis akan berlangsung cepat.
Waktu yang singkat untuk terbentuknya rigor mortis mengakibatkan pH daging
masih tinggi (diatas pH akhir daging yang normal) pada saat terbentuknya rigor mortis.
Jika pH >5.5 5.8 pada saat rigor mortis terbentuk dengan waktu yang cepat dari
keadaan normal maka kualitas daging yang akan dihasilkan menjadi rendah (warna
merah gelap, kering dan strukturnya merapat) dan tidak bertahan lama dalam
penyimpanan sekalipun pada suhu dingin.
A. Fase Rigor Mortis
Ada tiga fase pada proses rigor mortis yakni fase prarigor, fase rigor mortis dan
fase pascarigor. Pada fase prarigor dibedakan atas fase penundaan dan fase
cepat.Pada gambar di bawah terlihat waktu pascamerta yang dibutuhkan untuk proses
rigor mortis pada otot yang berasal dari ternak kelinci. Pada grafik a memperlihatkan
waktu proses rigor mortis yang berlangsung sempurna; fase penundaan membutuhkan
waktu 8 jam dan fase cepat 3 jam. Waktu yang dibutuhkan terbentuknya rigor mortis
adalah 11 jam. Pada grafik b memperlihatkan waktu rigor mortis pada kelinci yang
mengalami kecapaian/kelelahan dimana waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya
rigor mortis adalah 5 jam. Pada grafik c adalah proses rigor mortis yang terjadi sangat
cepat kurang dari 1 jam (30 menit) yang terjadi pada ternak kelinci yang sudah sangat
kelelahan (kehabisan sumber energi). Ketiga grafik ini (a, b, c) menunjukkan bahwa
waktu terbentuknya rigor mortis sangat tergantung pada jenis ternak dan kondisi ternak
sebelum mati; makin terkuras energi maka makin cepat terbentuknya rigor mortis
Daging yang baru saja diperoleh dari hewan yang sudah disembelih jika didiamkan
pada keadaan suhu ruang tanpa ada perlakuan apapun, maka daging akan mengalami
beberapa perubahan baik secara fisik, kimia, mikrobiawi maupun secara sensoris.
Berikut tahapan perubahan yang terjadi pada daging
1.
fase prarigor
Pada hewan yang akan disembelih, glikolisis berjalan secara aerob dan
pengahasilan ATP dalam jumlah banyak melalui jalur asam piruvat. pada hewan
yang sudah disembelih reaksi glikolisis secara perlahan akan berhenti dan akan
berlangsung glikolisis secara anaerob dengan mengubah glikogen menjadi asam
laktat. daging yang didapatkan dari hewan yang baru saja disembelih simpanan ATP

dari hasil glikolisis tersebut menjadi bantalan atau pembatas bagi protein miofibril
berupa aktin dan miosin. jarak antar aktin dan miosin menetukan kontrkasi otot yang
terjadi. masih tersisanya ATP membuat jarak aktin dan misin saling berjauhan
sehingga kontraksi otot akan jarang terjadi. hal ini akan menjadikan tekstur daging
menjadi lunak dan masih kenyal karena pengubahan glikogen menjadi asam laktat
masih sangat minim terjadi. sehingga asam laktat yang terbentuk tidak signifikan
menurunkan pH. penurunan pH akan berpengaruh pada kapasitas pengikatan air
oleh protein daging (WHC/ Water Holding Capacity). pada fase pre rigor WHC
protein masih tinggi sehingga tidak banyak air yang keluar dari jaringan sehingga
tingkat juiceness daging masih tinggi. tingkat juiceness daging yang tinggi akan
membuat daging jauh lebih kenyal. umumnya daging pada fase pre rigor ini paling
baik untuk dimasak karena tekstur daging yang masih lunak dan kenyal, akan tapi
pada untuk mendapatkan daging pada fase ini sangatlah sulit.
2. fase rigor mortis
Pada fase ini hewan sudah terlalu lama di biarkan tanpa perlakuan, sehingga
proses glikolisis akan berhenti dan produksi ATP semakin berkurang. proses glikolisis
akan diubah secara anaerob untuk dihasilkan asam laktat.berkurangnya ATP
membuat pembatas aktin dan miosin semakin tipis sehingga aktin dan miosin mudah
untuk berdekatan dan kemudian bersatu dan membentuk aktoniosin. keadaan ini
memungkin terjadinya kontraksi yang lebih dan akan menjadikan daging menjadi
kaku. pemasakan daging pada fase ini sebaiknya dihindari karena tekstur daging
yang kaku akan mengakibatkan proses pengolahan yang lama untuk
mengempukkan daging. pemasakan yang kurang matang akan mengakibatkan
daging menjadi alot dan kaku.
3. fase post rigor
Semakin lamanya daging terpapar semakin banyak kontaminan mikrobia di
dalamnya. pada fase ini daging akan kembali lunak dikarenakan peranan enzim
katepsin yang membantu pemecahan protein aktomiosin menjadi protein sederhana.
daging pada fase post rigor baik utnuk diolah karena tekstur daging sudah kembali
melunak, namun pengolahan daging harus dilakukan sesegera mungkin untuk
menghindari kontaminasi mikrobia semakin banyak dan terjadinya perubahan ke
arah penurunan mutu terhindari.
Pemaparan daging lebih lanjut akan menjadikan daging semakin mengalami
penurunan mutu. daging akan menjadi lembek dan menghasilkan aroma busuk.
kebusukan pada daging disebabkan oleh pemecahan protein menjadi protein
sederhana yang menyisakan gugus amino (alkali) dan sulfur yang merupakan
senyawa yang menyebabkan timbulnya bau busuk pada daging.
III. Perubahan Fisik Pada Proses Rigor Mortis
1. Aktomiosin
Aktomiosin adalah pertautan antara miofilamen tebal (myosin) dan miofilamen
tipis (aktin) pada organisasi miofibriler otot (Modul Struktur Otot) dan mengakibatkan
terjadinya kekakuan otot. Pada saat ternak masih hidup maka pertautan kedua
miofilamen ini (tebal dan tipis) berlangsung secara reversible (ulang alik) yakni kontraksi
dan relaksasi. Ketika kedua miofilamen bergesek maka dikatakan terjadi kontraksi dan

sarkomer (panjang serat) akan memenedek sebaliknya pada saat kedua miofilamen
saling melepas (tidak terjadi pergesekan) maka disebut terjadi relaksasi ditnadai
dengan sarkomer memanjang.
Sesaat setelah ternak mati maka kontraksi otot masih berlangsung sampai ATP habis
dan aktomiosin terkunci (irreversible). Otot menjadi kaku (kejang mayat) dan tidak
ekstensible; pada ssat ini tidak dibenarkan untuk memasak daging karena akan sangat
terasa alot.
2. Perubahan Karakter Fisikokimia
Kekakuan (kejang mayat) yang terjadi pada saat terbentuknya rigor mortis
mengakibatkan daging menjadi sangat alot dan disarankan untuk tidak dikonsumsi.
Kekakuan ini secara perlahan akan kembali menjadi ekstensibel akibat kerja sejumlah
enzim pencerna protein diantaranya cathepsin (lihat proses maturasi).
Pemendekan otot dapat terjadi akibat otot yang masih prarigor (masih
berkontraksi) didinginkan pada suhu mendekati titik nol. Kejadian ini disebut sebagai
cold shortening dimana serat otot bisa memendek sampai 40% dan mengakibatkan otot
tersebut menjadi alot dan kehilangan banyak cairan pada saat dimasak (lihat modul V).
Pada saat prarigor, otot masih dibenarkan untuk dikonsumsi sekalipun tingkat
keempukannya tidak sebaik jika dikonsumsi pada fase pascarigor. Ini dimungkinkan
karena adanya enzim Ca+2 dependence protease (CaDP) atau calpain yang berperan
sebagai enzim yang aktif bekerja mencerna protein jika ada ion Ca +2 Ion ini diperoleh
pada saat reticulum sarkoplasmik dipompa pascakontraksi otot.
pH akhir otot menjadi asam akan terjadi setelahrigor mortis terbentuk secara
sempurna. Tapi kebanyakan yang terjadi adalah rigor mortis sudah terbentuk tetapi pH
otot masih diatas pH akhior yang normal (pH>5.5 5.8). pH akhir otot yang tinggi pada
saat rigor mortis terbentuk memberikan sifat fungsional yang baik pada otot yang
dibutuhkan dalam pengolahan daging (bakso, sosis, nugget). Demikian pula pada saat
prarigor, dimana otot masih berkontraksi sangat baik digunakan dalam pengolahan. pH
asam akan mengakibatkan daya ikat air (water holding capacity) akan menurun,
sebaliknya ketika pH akhir tinggi akan memberikan daya ikat air yang tinggi.
Denaturasi protein miofibriler dapat terjadi pada pH otot dibawah titik
isoelektrik mengakibatkan otot menjadi pucat, berair dan strukturnya longgar (mudah
terurai). Hal ini bisa terjadi pada ternak babi atau ayam yang mengalami stress sangat
berat menjelang disembelih dan akibatnya proses rigor mortis berlangsung sangat
cepat; bisa beberapa menit pada ternak babi.
Warna daging menjadi merah cerah pada saat pH mencapai pH akhir normal
(5.5 5.8) pada saat terbentuknya rigor mortis.
IV. Faktor-faktor penyebab variasi waktu terbentuknya rigor mortis
Jangka waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis bervariasi dan
tergantung pada:
1.
Spesis; pada ternak babi waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis
lebih singkat, beberapa jam malahan bisa beberapa menmeit pada kasus PSE
(pale soft exudative) dibanding dengan pada sapi yang membutuhkan waktu 24 jam
pada kondisi rigor mortis sempurna. Dikatakan sempurna jika rigor mortis terjadi

selama 24 jam pada ternak dengan kondisi cukup istirahat dan full glikogen
sebelum disembelih dan suhu ruangan sekitar 15C.
2.
Individu; terdapat perbedaan waktu terbentuk rigor mortis pada individu berbeda
dari jenis ternak yang sama. Sapi yang mengalami stress atau tidak cukup istirahat
sebelum disembelih akan memebutuhkan waktu yang lebih cepat untuk instalasi
rigor mortis dibanding dengan sapi yang cukup istirahat dan tidak stress pada saat
menjelang disembelih.
3.
Macam serat; ada dua macam serat berdasarkan warena yang menyusun otot
yakni serat merah dan serat putih. Rigor mortis terbentuk lebih cepat pada ternak
yang tersusun oleh serat putih yang lebih banyak dibanding dengan serat merah.
Pada otot dengan serat merah yang lebih banyak memperlihatkan pH awal lebih
tinggi dengan aktivitas ATP ase yang lebih rendah. Aktivitas ATP ase yang lemah
akan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menghabiskan ATP. Dengan
demikian pada otot merah membutuhkan waktu yang lebih lama untuk terbentuknya
rigor mortis.
SUMBER REFERENSI:
http://cinnatalemien-eabustam.blogspot.com/2008/04/konversi-otot-menjadidaging.html.

Daging segar jika dipotong mula-mula berwarna ungu tapi lama kelamaan permukaan daging berubah
berwarna merah dan akhirnya menjadi coklat. Terbentuknya warna coklat ini sering digunakan
sebagai petunjuk menurunnya kualitas daging.

Jika dilakukan pentahapan proses yang didasarkan pada urutan


proses yang terjadipascapenyembelihan, proses awal yang terjadi pada daging dikenal dengan istilah
pre rigor, kemudian diikuti rigor mortis kemudian diakhiri dengan post rigor atau pasca rigor. Hewan
setelah disembelih, proses awal yang terjadi pada daging adalah pre rigor. Setelah hewan mati,
metabolisme yang terjadi tidak lagi sabagai metabolism aerobik tapi menjadi metabolism anaerobik
karena tidak terjadi lagi sirkulasi darah ke jaringan otot. Kondisi ini menyebabkan terbentuknya
asam laktat yang semakin lama semakin menumpuk. Akibatnya pH jaringan otot menjadi turun.
Penurunan pH terjadi perlahan-lahan dari keadaan normal (7,2-7,4) hingga mencapai pH akhir sekitar
3,5-5,5. Sementara itu jumlah ATP dalam jaringan daging masih relatif konstan sehingga pada tahap
ini tekstur daging lentur dan lunak. Jika ditinjau dari kelarutan protein daging pada larutan garam,
daging pada fase prerigor ini mempunyai kualitas yang lebih baik dibandingkan daging pada fase
postrigor. Daging pada fase prerigor. Hal ini disebabkan pada fase ini hampir 50% protein-protein
daging yang larut dalam larutan garam, dapat diekstraksi keluar dari jaringan (Forrest et al, 1975).
Karakteristik ini sangat baik apabila daging pada fase ini digunakan untuk pembuatan produk-produk
yang membutuhkan sistem emulsi pada tahap proses pembuatannya. Mengingat pada sistem emulsi
dibutuhkan kualitas dan jumlah protein yang baik untuk berperan sebagai emulsifier. Tahap
selanjutnya yang dikenal sebagai tahap rigor mortis. Pada tahap ini, terjadi perubahan tekstur pada
daging. Jaringan otot menjadi keras, kaku, dan tidak mudah digerakkan. Rigor mortis juga sering
disebut sebagai kejang bangkai. Kondisi daging pada fase ini perlu diketahui kaitannya dengan proses
pengolahan. Daging pada fase ini jika dilakukan pengolahan akan menghasilkan daging olahan yang
keras dan alot. Kekerasan daging selama rigor mortis disebabkan terjadinya perubahan struktur
serat-serat protein. Protein dalam daging yaitu protein aktin dan miosin mengalami crosslinking.
Kekakuan yang terjadi juga dipicu terhentinya respirasi sehingga terjadi perubahan dalam struktur
jaringan otot hewan, serta menurunnya jumlah adenosine triphosphat (ATP) dan keratin phosphat
sebagai penghasil energi (Muchtadi dan Sugiyono, 1992). Jika penurunan konsentrasi ATP dalam
jaringan daging mencapai 1 mikro mol/gram dan pH mencapai 5,9 maka kondisi tersebut sudah dapat
menyebabkan penurunan kelenturan otot. Pada tingkat ATP dibawah 1 mikro mol/gram, energi yang
dihasilkan tidak mampu mempertahankan fungsi reticulum sarkoplasma sebagai pompa kalsium, yaitu
menjaga konsentrasi ion Ca di sekitar miofilamen serendah mungkin. Akibatnya, terjadi pembebasan
ionion Ca yang kemudian berikatan dengan protein troponin. Kondisi ini menyebabkan terjadinya
ikatan elektrostatik antara filamen aktin dan miosin (aktomiosin). Proses ini ditandai dengan

terjadinya pengerutan atau kontraksi serabut otot yang tidak dapat balik (irreversible). Penurunan
kelenturan otot terus berlangsung seiring dengan semakin sedikitnya jumlah ATP. Bila konsentrasi
ATP lebih kecil dari 0,1 mikro mol/gram, terjadi proses rigor mortis sempurna. Daging menjadi keras
dan kaku. Keadaan rigor mortis yang menyebabkan karakteristik daging alot dan keras memerlukan
waktu yang cukup lama sampai kemudian menjadi empuk kembali.
Melunaknya kembali tekstur daging menandakan dimulainya fase post rigor atau pascarigor.
Melunaknya kembali tekstur dagung bukan diakibatkan oleh pemecahan ikatan aktin dan miosin, akan
tetapi akibat penurunan pH. pada kondisi pH yang rendah (turun) enzim katepsin akan aktif
mendesintegrasi garis-gis gelap Z pada miofilamen, menghilangkan daya adhesi antara serabutserabut otot. Enzim katepsi yang bersifatproteolitik juga melonggarkan struktur protein serat otot.

Tugas Kuliah-Daging merupakan hasil dari produk peternakan. Daging banyak dimanfaatkan oleh manusia untuk
tujuan konsumsi. Daging mengandung nilai gizi yang tinggi yang dapat mencukupi kebutuhan gizi seseorang. Nah,

karena pentingnya daging, maka perlu rasanya untuk mengetahui "Mekanisme Penyediaan Daging".
Dalam "Mekanisme Penyediaan Daging", biasanya daging yang disembelih mengalami kejang otot. Kejang otot
ini sering disebut oleh dunia kedokteran atau dunia ilmiah dengan Rigor Mortis. Kedua hal ini akan di bahas
pada Contoh Makalah yang ingin saya share kepada teman-teman, semoga dengan ini Anda lebih paham
mengenai kedua hal tersebut di atas. Silahkan menyimak baik-baik....!

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyediaan daging bagi konsumen merupakan salah satu kegiatan penerapan industri pada
hasil ternak yang disebut sebagai agroindustri hasil ternak. Penanganan pascapanen dan
penerapan teknologi pengawetan dan pengolahan daging merupakan kegiatan agroindustri yang
diharapkan akan meningkatkan pendapatan pelaku usaha dibandingkan dengan kegiatan yang
dilakukan ditingkat budidaya dari suatu sistem agribsinis peternakan sapi potong. Daging sebagai
salah satu bahan pangan asal hewan, kualitasnya tidak hanya ditentukan oleh penanganan ternak
semasa hidupnya (sebelum panen) tetapi juga tak kalah pentingnya adalah penanganannya
setelah panen (pascapanen).
Prosedur pemotongan yang sesuai diikuti dengan pengkarkasan yang tepat dan dilanjutkan
dengan "aging" (maturasi) yang layak dengan waktu yang optimal merupakan salah satu
rangkaian yang seharusnya tak terpisahkan dalam penanganan pascapanen. Ada dua hal yang
perlu dipertimbangkan dalam penanganan pascapanen produk-produk hasil ternak untuk
peningkatan mutunya yakni melalui pengawetan dan pengolahan. Dengan pertimbangan
perubahan-perubahan yang dapat terjadi pada daging pascamerta ternak (post mortem) ditinjau
dari penggunaan suhu rendah sejak ternak disembelih, dikaitkan dengan mutu yang dihasilkan
maka pada materi ini akan membahas teknologi pengawetan dan pengolahan yang dapat
dilakukan dalam rangkaian penyediaan daging dan produk olahannya, dikaitkan dengan
peningkatan nilai tambah dan pendapatan pada akhirnya.
Proses biokimia yang berlangsung sebelum dan setelah ternak mati sampai terbentuknya
rigor mortis pada umumnya merupakan suatu kegiatan yang besar perannya terhadap kualitas
daging yang akan dihasilkan pascarigor. Kesalahan penanganan pascamerta sampai terbentuknya
rigor mortis dapat mengakibatkan mutu daging menjadi rendah ditandai dengan daging yang
berwarna gelap (dark firm dry) atau pucat (pale soft exudative) ataupun pengkerutan karena
dingin (cold shortening) atau rigor yang terbentuk setelah pelelehan daging beku (thaw rigor).
Kelainan-kelainan mutu yang terjadi pascamerta ternak dapat dihindari jika pengetahuan
tentang mekanisme rigor mortis dan perubahan pascarigor daging dapat diterapkan dengan baik
pada penanganan pascapanen ternak. Proses biokimia yang berlangsung sebelum dan setelah
ternak mati sampai terbentuknya rigor mortis pada umumnya merupakan suatu kegiatan yang
besar perannya terhadap kualitas daging yang akan dihasilkan pascarigor. Kesalahan penanganan
pascamerta sampai terbentuknya rigor mortis dapat mengakibatkan mutu daging menjadi rendah
ditandai dengan daging yang berwarna gelap (dark firm dry) atau pucat (pale soft exudative)
ataupun pengkerutan karena dingin (cold shortening) atau rigor yang terbentuk setelah pelelehan
daging beku (thaw rigor).
Ruang Lingkup Isi
1. Definisi daging: menjelaskan perbedaan otot sebagai energi mekanis dan otot sebagai
energi kimiawi.

2.
3.

Mekanisme penyediaan daging: sumber dan proses transformasi ternak hidup menjadi
daging serta sirkuit pengadaan daging bagi konsumen.
Membahas tentang sumber energi untuk kontraksi dan relaksasi otot, fase rigor mortis
dan proses pematangan daging (aging).
BAB II

PEMBAHASAN
MEKANISME PENYEDIAAN DAGING
Pengertian Daging
Definisi daging adalah kumpulan sejumlah otot yang berasal dari ternak yang sudah
disembelih dan otot tersebut sudah mengalami perubahan biokimia dan biofisik sehingga otot
yang semasa hidup ternak merupakan energi mekanis berubah menjadi energi kimiawi yang
dikenal sebagai daging (pangan hewani). Kata otot dapat dipergunakan pada masa hidup ternak
dan setelah mati tetapi kata daging selayaknya secara akademik dipergunakan setelah ternak mati
dan otot telah berubah menjadi daging. Otot semasa hidup ternak dikenal sebagai alat pergerakan
tubuh ditandai dengan kemampuan berkontraksi dan berelaksasi, sehingga disebut sebagai energi
mekanis dan karena tersusun dari unsur kimia maka disebut pula sebagai energi kimiawi. Setelah
ternak disembelih dan tidak ada lagi oksigen dan otot tidak lagi berkontraksi maka otot dapat
disebut sebagai energi kimiawi (pangan hewani)
Perubahan biokimia yang terjadi diawali dengan proses glikolisis yakni perombakan
glikogen menjadi asam laktat dan dilanjutkan dengan proses maturasi (aging) ditandai dengan
pengempukan pada otot sebagai akibat kerja enzim pencerna protein. Proses glikolisis
pascamerta ternak disebut pula sebagai rigor mortis atau rigor (kekakuan) pascamerta. Perubahan
biofisik yang terjadi pada otot pascamerta adalah kehilangan ekstensibilitas otot pada saat terjadi
kekakuan dan pengempukan yang terjadi pasca kekakuan
Mekanisme Penyediaan Daging
Berdasarkan atas sumbernya maka dapat dibedakan daging warna merah (red meat) yang
berasal dari ternak besar (sapi, kerbau) atau ternak kecil (kambing, domba) dan daging putih
yang lebih sering disebut sebagai poultry meat (ayam, itik dan unggas lainnya). Pemberian nama
sebagai daging merah atau daging putih (poultry meat) berdasarkan atas ratio antara serat merah
dengan serat putih yang menyusun otot tersebut.; otot yang mengandung lebih banyak serat
merah akan disebut sebagai daging merah. Dalam penyediaan daging, dari sumbernya, bagi
kebutuhan konsumen dikenal melalui tiga fase perubahan /transformasi :
1. Transformasi pertama meliputi proses perubahan ternak hidup menjadi karkas dan bagian
bukan karkas (by product atau offal). Pada tahap pertama dari rangkaian penyediaan daging
ada beberapa hal yang perlu diperhatikan :
a) Kondisi ternak sebelum pemotongan
Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum ternak dipotong :
Kebersihan tubuh ternak
Pertimbangan utama adalah kebersihan kulit, sebab kulit merupakan sumber utama bagi
kontaminasi bakteri pada karkas selama proses pemotongan dan pengeluaran isi dalam
ternak (Rosset, 1982).
Kesehatan dan sanitasi ternak
Produksi daging yang higinis harus dimulai melalui pencegahan penyakit selama
pemeliharaan dan penggemukan ternak. Ternak juga merupakan sumber utama

salmonella dalam saluran pencernaannya, untuk itu maka pencegahan infeksi terhadap
salmonella harus dimulai melalui kontrol pada pada makanan ternak sebagai asal dari
kontaminasi tersebut (Hess, 1973).
Keadaan Fisiologis
a. Pengaruh pakan sebelum pemotongan
Komposisi ransum memperlihatkan pengaruh terhadap :

mikroflora pada saluran pencernaan ; pemberian ransum basal terdiri dari biji-bijian
atau gandum yang diperkaya vitamin dan mineral selama beberapa minggu akan
menurunkan jumlah bakteri Coli - aerogen dan Enterobacteripada usus halus
(Barnes, 1979).

mikroflora pada karkas sapi (bakteri psychotropes dan mesophiles). Penelitian


Thomas et al. (1977) menggunakan empat macam perlakuan pakan pada sapi: 1)
Hijauan, 2) 80 % konsentrat + 20 % hijauan selama 49 hari, 3) 80 % konsentrat + 20
% hijauan selama 98 hari, dan 4) hijauan. Setelah 46 jam pascamerta, ternak-ternak
yang mengkonsumsi perlakuan keempat (hijauan) menghasilkan karkas dengan
kandungan bakteri psychotrophes, khususnyaPseudomonas, nyata lebih rendah
dibandingkan dengan karkas dari ternak yang mengkonsumsi perlakuan pakan
lainnya. Pada waktu pascamerta yang sama, kandungan bakteri mesophiles adalah
nyata berbeda diantara keempat perlakuan dengan susunan sebagai berikut
perlakuan 1 > perlakuan 2 > perlakuan 3 > perlakuan 4.
b. Pengaruh pengangkutan sebelum pemotongan
Pengangkutan ternak ke rumah potong hewan (RPH) mengakibatkan sejumlah
agresi psikik dan fisik. Sejumlah agresi ini akan memberikan konsekuensi terhadap
kualitas saniter pada daging. Akibatnya sifat-sifat bakteriside pada darah hanya
terjadi pada ternak-ternak yang dipotong dalam kondisi kesehatan yang sempurna
selama beberapa jam setelah ternak mati. Namun ternak yang disembelih dalam
keadaan darurat, karena luka atau kecapaian, mengakibatkan pengeluaran darah yang
sangat sering tidak sempurna (Schulze et al., 1972).
c. Pengaruh waktu istirahat sebelum pemotongan
Kontaminasi pada karkas dapat terjadi melalui tempat istirahat ternak sebelum
pemotongan . Untuk itu tempat istirahat tersebut perlu secara teratur dibersihkan dan
didesinfektan. Pemotongan merupakan suatu tahap yang penting dalam penyediaan
daging tersebut.
Prosedur Pemotongan
Prosedur pemotongan meliputi teknik pekerjaan secara berurutan yang dilakukan dalam
rangka perubahan ternak hidup menjadi karkas dan bagian-bagian yang bukan karkas dimana
kesemuanya itu berlangsung di rumah pemotongan hewan (RPH). Secara berurutan dalam
pengkarkasan ternak sapi, teknik yang dilakukan sebagai berikut (beberapa variasi bisa terjadi
antara satu negara dengan negara lainnya) :
1. Persiapan sebelum pemotongan
Dalam hal ini meminimalkan terjadinya luka memar dan menghindari terjadinya
ketegangan sejak ternak diangkut dari peternakan sampai pada saat menurunkan ternak di
tempat penampungan atau tempat istirahat di RPH sebelum pemotongan dilaksanakan.
2. Ternak tidak berdaya (Stunning or Immobilization)

Metoda stunning lainnya adalah menggunakan bolt atau pin yan akan menusuk otak pada
lokasi dahi ternak sapi tersebut. Stunning secara elektrik juga banyak digunakan dan
menjadi pertimbangan untuk masa kedepan.
3. Penyembelihan/pengeluaran darah (bleeding)
Ternak dalam keadaan tidak sadar/tidak berdaya, secepatnya disembelih pada daerah
kerongkongan persis dibelakang rahang sedalam mungkin untuk memotong vena
jugularis dan arteri karotid.sehingga darah menyemprot keluar.
4. Pengulitan
Ketika ternak sudah mati dan pengeluaran darah sudah sempurna, kaki depan dilepaskan dengan
memotongnya antara patella dengan shank.
1. Pelepasan kulit kepala
2. Pelepasan kulit ekor
3. Pelepasan kaki belakang
1. Rumping
Pembukaan kulit dari kerongkongan sampai ke daerah flank diperluas ke
daerahbung dimaksudkan untuk lebih memudahkan pengulitan yang akan dimulai pada
daerah hindquarter.
2. Penarikan kulit
Ada tiga tipe penarik kulit (hide puller) : 1) "up-puller", dimana menggunkan berat
karkas untuk menstabilkan melawan tekanan dari penarik dan melepaskan kulit
darineck ke rump; 2) "down-puller" yang ditautkan pada kulit didaerah rump dan
umumnya tidak memerlukan untuk pengulitan kepala (kecuali pada pejantan); dan 3)
"side-puller" yang ditautkan pada kulit pada daerah perut (belly) dan menarik kedua sisi
dari belly ke belakang.
3. Pembelahan dada (brisket)
Brisket dibuka sepanjang garis tengah melalui tulang dada menggunakan ujung tumpul
gergaji untuk mencegah kerusakan pada jantung dan paru-paru.
4. Pengeluaran isi dalam (evisceration)
Proses evisceration dimulai dengan terlebih dahulu membuka rongga pelvis dengan
melakukan pemotongan antara otot-otot didalam round melalui membran yang tebal
5. Pembelahan Karkas (splitting)
Pembelahan karkas dilakukan dengan menggunakan tenaga gergaji yang berpisau timbal
balik atau dalam beberapa hal digunakan gergaji lingkar (sirkular).
6. Penyiangan karkas (trimming)
Bagian-bagian lain pada karkas yang mudah mengalami pembusukan harus dikeluarkan
dari karkas seperti spinal cord, arteri besar dan vena pada bagian leher.
7. Pengawasan (inspection)
Inspeksi dilakukan pada daging, viscera dan kepala terhadap kemungkinan terdapatnya
hal-hal yang dapat mengakibatkan bagian-bagian karkas menjadi tidak higienis atau
membawa penyakit.
8. Pencucian (washing and shrouding)
Karkas kemudian dicuci dengan air bertekanan tinggi untuk menghilangkan darah dan
kemungkinan kontaminan-kontaminan lainnya.
9. Penimbangan (Weighing and grading/classification)
Penimbangan karkas dilakukan dalam keadaan hangat setelah pengkarkasan selesai
sebelum karkas didinginkan (dilayukan).

Transformasi kedua, merupakan proses pemotongan (cutting) bagian-bagian karkas


menjadi whole dan retail karkas untuk mendapatkan daging dan bagian-bagian lainnya
seperti lemak, tulang, aponevrose dan lain-lain. Meliputi proses cuttingkarkas menjadi
whole cut dan retail cut, dimana pada akhirnya akan diperoleh daging sebagai bahan baku
utama bagi konsumen (rumah tangga atau industri pengolahan daging) dan bagian-bagian
lainnya seperti lemak, tulang, aponevrose dan bahan buangan lainnya. Sebelum dilakukan
cutting beberapa hal yang perlu dipertimbangkan untuk mendapatkan daging dengan
kualitas yang tinggi :
a. Pendinginan karkas yang masih hangat dan masih dalam keadaan pra rigor, sebaiknya
dilakukan pada temperatur dimana tingkat kejadian pengkerutan otot paling minimal.
Berdasarkan penelitian, diperlihatkan bahwa pengkerutan paling rendah terjadi jika
dilakukan pendinginan pada temperatur antara 14 - 19 C.
b. Pendinginan pada suhu + 2 C, dilakukan pada karkas yang telah melewati rigor mortis
selama beberapa hari, dimaksudkan untuk memanfaatkan kerja enzim proteolitik yang
pada akhirnya akan meningkatkan keempukan daging (keterangan lebih lanjut pada
bagian aging).
Pemotongan/Pembagian Karkas (Cutting)
Karkas yang telah dibelah menjadi dua pada saat pengkarkasan, selanjutnya dibagi menjadi
empat bagian dengan masing-masing memotong dua bagian pada setiap belahan karkas.
Pembagian karkas menjadi potongan utama (whole cut) dan potongan detail (retail cut), bisa
berbeda diantara beberapa negara. Di Indonesia potongan karkas dilakukan berdasarkan metoda
Australia dengan membagi menjadi 14 potong dalam tiga kategori :
1. Enam potong pada bagian belakang (potongan pistol) ; 1) filet, 2) sirloin, 3) rump, 4)
topside, 5) inside, 6) silverside
2. Empat potong pada kategori kedua ; 1) cube roll, 2) chuck, 3) chuck tender, 4) blade
3. Empat potong pada kategori ketiga ; 1) rib meat, 2) brisket, 3) flank, 4) shank.
Pengklasifikasian potongan-potongan karkas akan memberiklan perbedaan harga diantara
kategori dan diantara potongan didalam kategori yang sama.
Berdasarkan atas metode pemasakan pada daging, ada dua teknik pemasakan yakni
pemasakan cepat yang diperuntukkan pada otot yang kualifikasinya empuk yang dimasak dengan
metode kering; panggang, bakar, dan pemasakan lambat yang umumnya menggunakan media air
dalam pemasakannya.
3. Transformasi ketiga, merupakan proses pengolahan lebih lanjut dari bahan baku daging
yang diperoleh pada transformasi kedua menjadi suatu produk akhir berupa daging
olahan dalam berbagai macam ragam. Pengawetan dan pengolahan daging merupakan
proses yang berlangsung ditingkat hilir dari suatu industri peternakan atau merupakan
suatu subsistem dari agribisnis, yang sering pula disebut agroindustri. Kedua proses ini
pada umumnya dilakukan selain bertujuan untuk mempertahankan daya simpan dari
suatu bahan pangan yang muidah mengalami kerusakan seperti daging, juga
dimaksudkan untuk mendapatkan nilai tambah melalui peningkatan kualitas (mutu) dari
produk yang telah melalui pengoalahan dan pengawetan tersebut, yang pada akhirnya
akan meningkatkan pendapatan.
Pengawetan Daging
Pengawetan daging dimaksudkan untuk mengurangi atau menghentikan sama sekali, sesuai
dengan teknik yang digunakan, perubahan-perubahan yang dapat terjadi pada daging segar atau
2.

produk olahannya selama proses penyimpanan. Beberapa teknik pengawetan yang sering
digunakan dan diaharapkan akan meningkatkan mutu dalam keempukan dan citarasa :
1. Penggunaan suhu rendah
1.1. Pendinginan (refrigeration)
C sebelum daging tersebut di konsumsi. Untuk praktisnya, maturasi biasanya berlangsung
selama 7 8 hari dengan alasan ekonomi. Abustam (1995) menyatakan bahwa perbaikan
keempukan daging sapi Bali secara rata-rata dengan mengabaikan system pemeliharaan
(penggemukan dan tanpa penggemukan) selama 12 hari maturasi sebesar 21,83 % dimana secara
berurut-turut pada hari ketiga, keenam dan kesembilan sebesar 8,90 %, 13,90 %, dan 18,66 %.
Perbaikan keempukan pada sapi tanpa penggemukan lebih baik daripada sapi penggemukan;
secara rata-rata dari hari pertama sampai hari ke 12 sebesar 17,15 % pada sapi Bali pemeliharaan
tradisional dan 14,49 % pada sapi Bali penggemukan. C, masing-masing secara berurutan 7
jam, 10 jam, 12 jam, dan 24 jam. Cold shortening yang terjadi karena pendinginan yang cepat
dengan suhu sangat rendah pada karkas terutama pada potongan-potongan karkas dan daging
mengakibatkan kealotan yang berarti. Untuk memperoleh tingkat maturasi yang baik, pada
umumnya karkas sapi disimpan antara 10 15 hari pada suhu + 2 C, dan 15 C, 24 C,
34Pendinginan memungkinkan untuk menyimpan daging dalam waktu tertentu berkat aksinya
dalam menghambat perkembangan bakteri tanpa membunuh bakteri. Pendinginan dimaksudkan
pula untuk meningkatkan kualitas daging terutama keempukan dan citarasa yang terjadi selama
proses penyimpanan karena adanya maturasi pada daging. Kecepatan terbentuknya rigor mortis
sangat tergantung pada suhu dan kondisi ternak pada saat disembelih. Locker dan Daines (1975)
memperlihatkan waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis pada otot
Sternomandibularis pada suhu 37
1.2. Pembekuan (Freezing)
Pembekuan merupakan tahap selanjutnya dari penyimpanan daging setelah karkas melalui proses
maturasi (aging) yang optimal dimana proses komplet rigor mortis telah terpenuhi. Hal ini
dimaksudkan untuk mencegah timbulnya cold shortening dan thaw rigor pada saat daging
dicairkan dari kristal es yang meliputinya sebelum dimasak. Untuk pengawetan daging dengan
menggunakan suhu sangat rendah, maka potongan potongan karkas terlebih dahulu harus
dikeluarkan tulang-tulangnya dan menghilangkan lemak dipermukaan karkas/daging, sehingga
benar-benar daging yang dibekukan. Ini dimaksudkan selain untuk efisiensi tempat, juga
dimaksudkan untuk menghindari peruabahan perubahan yang dapat terjadi pada daging selama
penyimpanan terutama lemak, pada suhu rendah masih dapat mengalami proses ketengikan.
.
Pengolahan daging
Pengolahan, pada dasarnya dimaksudkan penerapan teknologi proses pada suatu bahan
baku yang akan mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk dari suatu bentuk yang masih utuh
menjadi bentuk lain dari produk hasil olahan tersebut. Pada umumnya pengolahan akan
meningkatkan nilai tambah sebagai kompensasi dari penambahan biaya operasional selama
pengolahan dan juga akibat adanya peningkatan kualitas dari komponen yang digunakan pada
produk olahan tersebut. Produk-produk olahan yang pada umumnya dilakukan pada daging
adalah bakso, abon, dendeng dan sosis.
KONVERSI OTOT MENJADI DAGING
Pada saat ternak telah mengalami kematian maka otot yang semasa hidup ternak disebut sebagai
energi mekanik dan energi kimiawi akan disebut sebagi energi kimiawi saja karena setelah rigor

mortis terbentuk maka akativitas kontraksi tidak tejadi lagi. Sesaat setelah ternak mati maka sisasisa glikogen dan khususnya ATP yang terbentuk menjelang ternak mati akan tetap digunakan
untuk kontraksi otot sampai ATP habis sama sekali dan pada saat itu akan terbentuk rigor mortis
ditandai dengan kekakuan otot (tidak ekstensibel lagi). Produksi ATP dari glikogen melalui tiga
jalur yakni:
1. Glikolisis; perombakan glikogen menjadi asam laktat (produk akhir) atau melalui
pembentukan terlebih dahulu asam piruvat (dalam keadaan aerob) kemudian menjadi
asam laktat (anaerob). Pada kondisi ini akan terbentuk 3 mol ATP
2. Siklus asam trikarboksilat (siklus krebs); sebagian asam piruvat hasil perombakan
glikogen bersama produk degradasi protein dan lemak akan masuk kedalam siklus
asam trikarboksilat yang menghasilkan CO2 dan atom H. Atom H kemudian masuk ke
rantai transport elektron dalam mitochondria untuk menghasilkan H2O serta 30 mol
ATP.
3. Hasil glikolisis berupa atom H secara aerob via rantai transport elektron dalam
mitochondria bersama dengan O2 dari suplai darah akan menghasilkan H2O dan 4 mol
ATP.
Dengan demikian melalui tiga jalur ini glikogen otot pertama-tama dirubah menjadi glukosa
mono fosfat kemudian dirombak menjadi CO2 dan H2O serta 37 mol ATP.
Rigor Mortis
Rigor mortis adalah suatu proses yang terjadi setelah ternak disembelih diawali fase prarigor
dimana otot-otot masih berkontraksi dan diakhiri dengan terjadinya kekakuan pada otot. Padas
saat kekakuan otot itulah disebut sebagai terbentuknya rigor mortis sering diterjemahkan dengan
istilah kejang mayat. Waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis tergantung pada
jumlah ATP yang tersedia pada saat ternak mati. Jumlah ATP yang tersedia terkait dengan jumlah
glikogen yang tersedia pada saat menjelang ternak mati.
Fase Rigor Mortis
Ada tiga fase pada proses rigor mortis yakni fase prarigor, fase rigor mortis dan fase pascarigor.
Perubahan Fisik Pada Proses Rigor Mortis
Sesaat setelah ternak mati maka kontraksi otot masih berlangsung sampai ATP habis dan
aktomiosin terkunci (irreversible). Otot menjadi kaku (kejang mayat) dan tidak ekstensible; pada
ssat ini tidak dibenarkan untuk memasak daging karena akan sangat terasa alot.
Perubahan Karakter Fisikokimia
Kekakuan (kejang mayat) yang terjadi pada saat terbentuknya rigor mortis mengakibatkan
daging menjadi sangat alot dan disarnkan untuk tidak dikonsumsi. Pemendekan otot dapat
terjadi akibat otot yang masih prarigor (masih berkontraksi) didinginkan pada suhu mendekati
titik nol. Kejadian ini disebut sebagai cold shortening dimana serat otot bisa memendek sampai
40% dan mengakibatkan otot tersebut menjadi alot dan kehilangan banyak cairan pada saat
dimasak . Pada saat prarigor, otot masih dibenarkan untuk dikonsumsi sekalipun tingkat
keempukannya tidak sebaik jika dikonsumsi pada fase pascarigor. Ini dimungkinkan karena
adanya enzim Ca+2 dependence protease (CaDP) atau calpain yang berperan sebagai enzim yang
aktif bekerja mencerna protein jika ada ion Ca+2 Ion ini diperoleh pada saat reticulum
sarkoplasmik dipompa pascakontraksi otot.
pH akhir otot menjadi asam akan terjadi setelah rigor mortis terbentuk secara sempurna. Tapi
kebanyakan yang terjadi adalah rigor mortis sudah terbentuk tetapi pH otot masih diatas pH
akhior yang normal (pH>5.5 5.8). pH akhir otot yang tinggi pada saat rigor mortis terbentuk
memberikan sifat fungsional yang baik pada otot yang dibutuhkan dalam pengolahan daging

(bakso, sosis, nugget). Demikian pula pada saat prarigor, dimana otot masih berkontraksi sangat
baik digunakan dalam pengolahan. pH asam akan mengakibatkan daya ikat air (water holding
capacity) akan menurun, sebaliknya ketika pH akhir tinggi akan memberikan daya ikat air yang
tinggi.
Denaturasi protein miofibriler dapat terjadi pada pH otot dibawah titik isoelektrik
mengakibatkan otot menjadi pucat, berair dan strukturnya longgar (mudah terurai).
Warna daging menjadi merah cerah pada saat pH mencapai pH akhir normal (5.5 5.8) pada
saat terbentuknya rigor mortis.
Faktor-faktor penyebab variasi waktu terbentuknya rigor mortis
Jangka waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis bervariasi dan tergantung pada:
1. Spesis; pada ternak babi waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis lebih
singkat, beberapa jam malahan bisa beberapa menmeit pada kasus PSE (pale soft exudative)
dibanding dengan pada sapi yang membutuhkan waktu 24 jam pada kondisi rigor mortis
sempurna.
2. Individu; terdapat perbedaan waktu terbentuk rigor mortis pada individu berbeda dari jenis
ternak yang sama. Sapi yang mengalami stress atau tidak cukup istirahat sebelum disembelih
akan memebutuhkan waktu yang lebih cepat untuk instalasi rigor mortis dibanding dengan
sapi yang cukup istirahat dan tidak stress pada saat menjelang disembelih.
3. Macam serat; ada dua macam serat berdasarkan warena yang menyusun otot yakni serat
merah dan serat putih. Rigor mortis terbentuk lebih cepat pada ternak yang tersusun oleh serat
putih yang lebih banyak dibanding dengan serat merah.
Maturasi (aging) Pada Daging
Maturasi adalah proses secara alamiah yang terjadi pada daging selama penyimpanan dingin (2
5C setelah ternak disembelih yang memberikan dampak terhadap perbaikan palatabilitas daging
tersebut khususnya pada daerah rib dan loin. Selama aging akan terjadi perbaikan keempukan
daging yang secara fisik diakibatkan oleh terjadinya fragmentasi miofibriler akibat kerja enzim
pencerna protein. Ada dua kelompok enzim proteolitik yang berperan dalam proses
pengempukan ini yakni calcium dependence protease (CaDP) atau nama lainnya calpain ( dan
m-calpain) yang intens bekerja pada saat prarigor dan kelompok cathepsin yang aktif bekerja
pada saat pascarigor.
Problem berkaitan dengan aging
Daging sapi menjadi busuk atau bau dan flavor yang menyimpang dapat terjadi karena:
1. Pendinginan karkas yang kurang tepat.
2. Karkas akan menyerap bau ruangan aging.
3. Sanitasi yang kurang baik, dan kontaminasi dengan mikroorganisme menyebabkan bau dan
flavor menyimpang dan pembusukan.
4. Aging yang berlebihan akan menghasilkan akumulasi mikroorganisme.
5. Pengkerutan akan terjadi selama maturasi. Makin lama maturasi, makin besar kehilangan
berat.
6. Maturasi pada karkas yang telah jadi (finished-carcasses) akan menghasilkan pengkerutan
yang berlebihan, pengeringan pada daerah permukaan, dan diskolorasi. Pengeringan dan
diskolorasi daerah permukaan harus dibersihkan dan dijauhkan. Penyiangan ini dapat berarti
terhadap kehilangan yang dipertimbangkan pada produk.
BAB III

PENUTUP
Penerapan agroindustri hasil ternak melalui teknik penanganan pascapanen, pengawetan
(pendinginan dan pembekuan) serta pengolahan daging yang dibahas pada materi ini lebih
banyak mengacu kepada keadaan yang berlaku di negara-negara maju, yang secara praktek dapat
merupakan acuan untuk diterapkan dinegara-negara berkembang, khususnya Indonesia. Dalam
rangka menghadapi pasar global, mau tidak mau kita semua harus memikirkan perbaikan
kualitas daging agar nantinya produk kita mampu bersaing dalam pasar bebas nanti. Teknik
penyembelihan disesuaikan dengan tuntutan ritual untuk menghasilkan produk halal tanpa
mengurangi penerapan ilmiah untuk menghasilkan kualitas karkas/daging yang tinggi.
Penerapan suhu rendah pada daging segar selain dimaksudkan untuk memperpanjang
lama simpan juga sekaligus akan memperbaiki mutu dari daging tersebut, yang pada akhirnya
juga akan memberikan harga yang lebih baik. Demikian pula melalui pengolahan daging dengan
memanfaatkan teknologi pencincangan, penggilingan dan pencampuran dalam membentuk suatu
produk olahan akan meningkatkan nilai tambah dari bahan-bahan yang nilai ekonominya rendah
tersebut, yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan dari para pelaku usaha terkait:
peternak, pengolah dan retailer.
Konversi otot menjadi daging diawali pada saat ternak setelah mati dimana sejumlah
perubahan biokimia dan bifisk terjadi pada rangkaian kegiatan proses terbentuknya rigor mortis
dan dilanjutkan pada kegiatan pascarigor. Secara ilmiah otot baru dapat dikatakn daging setelah
melalui perubahan-perubahan biokimia dan biofisik tersebut. Perubahan biokimia berupa proses
glikolisis yakni perombakan glikogen menjadi asam laktat yang akan mengakibatkan kekakuan
otot dikenal sebagai instalasi rigor mortis dan dilanjutakn dengan proses aging untuk
memperbaiki tingkat keempukan daging. Sejumlah perubahan biofisik yang terjadi selama proses
rigor mortis dan pasca rigor seperti perubahan-perubahan atribut yang berkaitan dengan kualitas
daging: warna, citarasa, bau, dan keempukan.
Proses rigor mortis yang berlangsung tidak sempurna karena pengaruh sebelum ternak
disembelih dan penanganan pascapanen yang tidak tepat dapat mengakibatkan kelainan mutu
pada daging seperti DFD, DCB, PSE, cold shortening dan thaw rigor.

DAFTAR PUSTAKA
Abustam, E . 2008. Mekanisme Penyediaan Daging. http://cinnata.blogspot.com. Diakses pada
16 September 2011.
Abustam, E . 2008. Konversi Otot Menjadi Daging. http://cinnata.blogspot.com. Diakses pada 16
September 2011.

Daging, Aspek Produksi, Penyembelihan Ternak, dan Penyiapan Karkas


Oleh: Suharyanto
Program Studi Produksi Ternak, Jurusan Peternakan
Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu
Daging merupakan bahan makanan penting karena kandungan gizinya. Sebagaimana
diketahui bahwa daging merupakan sumber protein yang utama bagi manusia karena
komponen utama penyusun daging adalah protein. Kandungan asam aminonya juga lebih
lengkap dan seimbang dibandingkan dengan protein nabati.
Daging juga sebagai sumber kalori yang penting. Nilai kalori daging sangat ditentukan oleh
kandungan lemak intraseluler di dalam serabut-serabut otot yang disebut sebagai lemak
marbling atau lemak intramuskular. Kandungan lemak marbling ini juga turut menentukan
kualitas dari daging.
Definisi dan Penggolongan
Daging adalah semua bagian tubuh ternak yang dapat dan wajar dimakan termasuk jaringanjaringan dan organ tubuh bagian dalam seperti hati, ginjal, dan lain-lain. Soeparno (1994)
mendefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan
tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang
memakannya. Dengan didasarkan pada definisi tersebut maka organ-organ dalam (jeroan)
dan produk olahan seperti corned termasuk dalam kategori daging. Namun demikian sering
dalam kehidupan sehari-hari yang disebut dengan daging adalah semata-mata jaringan otot,

meskipun benar bahwa komponen utama penyusun daging adalah otot, tetapi tidaklah sama
otot dengan daging.
Berdasarkan asal hewan, daging dikategorikan ke dalam 4 (empat) kelompok (Peterson, et al.,
1978), yaitu:
a. daging merah, yaitu daging yang berasal dari kelompok hewan berkaki empat yang
diternakkan seperti sapi, kerbau, kambing, dan sebagainya,
b. daging unggas (poultry), yaitu daging yang berasal dari ternak unggas seperti ayam, kalkun,
puyuh, itik, dan lain sebagainya,
c. daging ikan, adalah semua daging yang berasal dari produk perikanan seperti ikan, udang,
kepiting, dan lain-lain, dan
d. daging dari hewan liar, yaitu daging yang berasal dari hewan-hewan liar dan potensial
untuk dibudidayakan seperti rusa, kijang, dan lain-lain.
Selanjutnya, dalam kajian ini yang menjadi fokus pembahasan adalah daging merah dan
daging unggas.
Dalam rangkaian dan tingkatan proses setelah pemotongan ternak, berdasarkan kondisi
fisiknya maka daging dikategorikan sebagai berikut (Soeparno, 1994):
a. a. daging segar, yaitu daging yang baru didapat dari pemotongan baik setelah pelayuan
maupun tidak,
b. b. daging dingin, yaitu daging segar yang telah dilayukan kemudian didinginkan,
c. c. daging beku, yaitu daging segar yang telah dilayukan, didinginkan kemudian dibekukan,
d. d. daging masak,
e. e. daging asap, dan
f. f. daging olahan.
Dalam perdagangan internasional dikenal beberapa istilah atau penamaan daging yang
didasarkan pada umur, jenis kelamin, dan kondisi seksual ternaknya. Penamaan daging
tersebut adalah (Soeparno, 1994),
1. Daging sapi

a. Veal, yaitu daging yang berasal dari sapi yang dipotong pada umur antara 3 14 minggu,
b. Calf, yaitu daging yang berasal dari sapi yang dipotong pada umur antara 14 52 minggu,
c. Beef, yaitu daging yang berasal dari sapi yang dipotong pada umur lebih dari 1 tahun. Beef
itu sendiri dapat berasal dari:
Steer, yaitu sapi jantan yang dikastrasi sebelum mencapai dewasa kelamin
Heifer, yaitu sapi betina muda (belum pernah melahirkan)
Cow, sapi betina dewasa dan pernah melahirkan
Bull, sapi jantan dewasa
Stag, sapi jantan yang dikastrasi setelah mencapai dewasa kelamin.
2. Daging Babi
Daging babi disebut Pork, dan dapat berasal dari:
Barrow, babi jantan yang dikastrasi seleblum dewasa kelamin,
Gilt, babi betina muda,
Sow, babi betina dewasa,
Boar, babi jantan dewasa yang tidak dikastrasi
Stag, babi jantan yang dikastrasi setelah mencapai umur dewasa kelamin.
3. Daging Domba
a. Lamb, yaitu daging yang berasal dari domba yang berumur hingga 1 tahun
b. Yearling (Hogget), yaitu daging yang berasal dari domba bermur 1 tahun
c. Mutton, daging yang berasal dari domba berumur lebih dari 1 tahun. Mutton itu sendiri
dapat berasal dari:
Wether, domba yang dikastrasi pada umur muda,
Ewe, domba betina dewasa

Ram, domba jantan dewasa,


Stag, domba yang dikastrasi setelah mencapai umur dewasa kelamin.
4. Daging Unggas (Poultry)
Adalah semua daging yang berasal dari ternak unggas, seperti:
Cock, ayam jantan dewasa (jago)
Hen, ayam/kalkun betina dewasa,
Tom, kalkun jantan dewasa,
Capon, ayam kastrasi
Broiler
Selain penamaan di atas, sering juga ditemui beberapa peristilahan yang terkait dengan
daging dan ternak dalam dunia internasional, seperti:
a. Chick, anak ayam,
b. Poult, anak kalkun,
c. Duckling, anak itik,
d. Bovine, kata sifat untuk sapi,
e. Ovine, kata sifat untuk domba,
f. Procine, kata sifat untuk babi.
Otot dan Daging
Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, bahwa penyusun utama daging adalah otot, maka
perlu juga diuraikan perihal otot. Namun demikian daging berbeda dengan otot karena selain
otot, daging juga tersusun atas jaringan ikat. Jaringan ikat ini berkaitan erat dengan tingkat
kealotan daging.
Otot adalah jaringan yang memiliki struktur dan fungsi utamanya sebagai penggerak. Otot
berubah menjadi daging setelah fungsi fisiologisnya terhenti setelah melalui pemotongan
yang sah.

Otot tersusun atas beberapa ikatan serabut-serabut otot (fasikuli) yang disebut berkas otot.
Fasikuli ini tersusun atas serabut otot, dan serabut otot tersusun atas miofibril. Satu serabut
otot tersusun dari epimisium yang terdapat di sekeliling otot; perimisium terletak di antara
fasikuli, dan endomisium yang terdapat di sekeliling sel otot atau serabut otot. Sedangkan
miofibril ini terdiri dari segmen-segmen yang disebut dengan sarkomer. Tiap unit sarkomer
terdiri dari dua macam filamen yaitu filamen tebal dan filamen tipis. Filamen tebal penyusun
utamanya adalah protein miosin sehingga disebut sebagai filamen miosin, filamen tipis
penyusun utamanya adalah protein aktin sehingga disebut sebagai filamen aktin. Filamen
miosin dan aktin ini berfungsi dalam kontraksi otot.
Aspek Produksi dan Kualitas Daging
Tujuan utama usaha peternakan pedaging adalah untuk menghasilkan produk daging dan
karkas yang berkualitas baik. Kualitas daging dan karkas ini secara umum sangat dipengaruhi
oleh tiga aspek, yaitu aspek produksi, aspek pemanenan (pemotongan), dan aspek
penanganan segera setelah pemanenan (pemotongan).
Aspek produksi menyangkut seluruh rangkaian proses produksi peternakan termasuk di
dalamnya adalah faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik yang turut mempengaruhi
kualitas daging dan karkas adalah spesies, breed (bangsa), tipe ternak, dan jenis kelamin
ternak. Sebagai contoh adalah bahwa kerbau memiliki serat daging yang lebih kasar daripada
sapi. Sapi potong bangsa angus lebih memiliki kecenderungan menimbun lemak
intramuskular daripada bangsa sapi yang lain. Pada sapi madura memiliki persentase karkas
yang lebih rendah dibanding dengan sapi bali meskipun daging total yang diperoleh bisa jadi
lebih banyak. Demikian halnya bahwa tipe ternak perah akan memiliki kecenderungan
penimbunan lemak pada ginjal dan pelviksnya.
Faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap kualitas karkas dan daging diantaranya
adalah status nutrisi dan konsumsi pakan, umur dan berat tubuh ternak saat dipotong, bahan
aditif, dan stres. Status nutrisi bisa jadi merupakan faktor lingkungan yangterpenting yang
mempengaruhi komposisi karkas dan daging. Ternak yang mengkonsumsi pakan dengan
kandungan energi tinggi akan meningkatkan kadar lemak tubuhnya. Ternak-ternak yang
digembalakan di pasture dengan dominan spesies legum akan memiliki kecenderungan
penimbunan lemak tubuhnya lebih besar daripada yang digembalakan pada pasture dengan
spesies rerumputan.
Faktor umur dan berat tubuh sering merupakan faktor yang saling terkait satu dengan yang
lainnya. Biasanya baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama antara umur dan berat
tubuh akan mempengaruhi komposisi karkas. Ternak yang dipotong pada umur yang tua akan
memiliki kealotan daging yang lebih tinggi daripada ternak muda. Dengan bertambahnya
umur biasanya diikuti pertambahan berat badan. Kondisi ini diikuti dengan peningkatan
pertumbuhan organ-organ tertentu terutama yang berkaitan dengan depot lemak.

Bahan aditif yang sering dihubungkan dengan kualitas daging adalah hormon dan antibiotika.
Hormon-hormon tertentu telah terbukti mempunyai pengaruh yang baik terhadap
pertumbuhan, tetapi banyak juga hormon yang tidak mampu meningkatkan kualitas karkas
dan daging (Soeparno, 1994). Soeparno (1994) juga menyebutkan bahwa hormon tiourasil
sebagai agensia antitiroid dapat menurunkan konsumsi pakan dan laju pertumbuhan berat
badan tanpa meningkatkan kualitas karkas. Injeksi hormon adrenalin menjelang
penyembelihan ternak dapat mengakibatkan pH ultimat otot tinggi. Keuntungan pH ultimat
yang tinggi adalah melindungi protein otot dan meningkatkan daya ikat air oleh protein
daging yang direfleksikan pada peningkatan keempukan daging (Soeparno, 1994).
Antibiotik sering ditambahkan pada pakan untuk dikonsumsi ternak. Antibiotik aureomisin,
teramisin, dan penisilin efektif dapat merangsang laju pertumbuhan, berat dan komposisi
karkas, dan efisiensi konversi pakan pada ternak muda, tetapi pengaruhnya berbeda-beda
diantara spesies (Soeparno, 1994). Dengan kondisi yang demikian itu maka daging/karkasdari
ternak yang diberi antibiotik dengan yang tidak memiliki kualitas yang berbeda. Hal ini
terkait dengan efek penggunaan antibiotika pada laju pertumbuhan dan konsumsi serta
konversi pakan. Namun demikian penggunaan antibiotik yang berlebihan dan tidak tepat
waktu dapat mempengaruhi kualitas daging dari sisi konsumen, yaitu aspek kesehatan dari
residu antibiotik pada tubuh ternak.
Penyembelihan Ternak dan Penyiapan Karkas
1. Penanganan Sebelum Penyembelihan
Selain aspek produksi sebagaimana disebutkan di atas, penyembelihan ternak memiliki
peranan penting dalam mempertahankan kualitas daging/karkas yang dihasilkan. Ini terkait
dengan kerja fisiologis ternak, perubahan-perubahan baik fisik maupun biokemis segera
setelah disembelih, dan pencemaran daging oleh mikroorganisme.
Pada prinsipnya dalam persiapan penyembelihan ternak adalah bagaimana mengkondisikan
ternak baik secara fisik, emosional, dan fisiologis siap untuk disembelih dengan sebaikbaiknya sehingga pada proses penyembelihannya darah yang dikeluarkan sebanyak mungkin
dan ternak tidak merasa tersiksa.
Berkenaan dengan kesiapan ternak untuk siap disembelih maka beberapa hal perlu
diperhatikan sebelum ternak disembelih. (1) Ternak harus diistirahatkan secukupnya dan
tenang sesaat menjelang eksekusi, (2) ternak harus dihindarkan dari tekanan dan perlakuan
menyakiti, dan (3) ternak harus dalam keadaan sehat. Ternak yang cukup istirahat dan tenang
sebelum penyembelihan diharapkan akan mendapatkan kualitas karkas/daging bermutu
tinggi dibandingkan dengan ternak yang sebelum penyembelihan dalam kondisi kelelahan
dan mendapat tekanan (stres). Ternak yang kelelahan dan stres memiliki cadangan glikogen

yang rendah sehingga berpengaruh pada proses pengeluaran darah, meronta, dan rigor
mortis.
Lamanya waktu mengistirahatkan ternak berbeda-beda tergantung dari spesies, tipe ternak
dan kondisi atau tingkat kelelahannya, misalnya dari perjalanan (pengakutan) menuju tempat
pemotongan yang jauh, dan lain sebagainya. Namun demiian biasanya cukup antara 12 24
jam. Perlunya ternak diistirahatkan adalah agar (1) ternak tidak mengalami stres, (2) cukup
tersedia cadangan energi sehingga proses rigormortis dapat berlangsung secara sempurna,
dan (3) pada saat disembelih darah yang keluar sebanyak mungkin.
Mengistirahatkan ternak sebelum disembelih ada 2 (dua) cara, yaitu dengan dipuasakan dan
tanpa dipuasakan. Pemuasaan dilakukan agar (1) diperoleh bobot tubuh kosong (BTK), yaitu
bobot tubuh yang telah dikurangi isi saluran pencernaan, saluran kencing dan empedu, (2)
mempermudah proses penyembelihan terutama bagi ternak yang agresif atau liar (Soeparno,
1994). Sedangkan pengistirahatan ternak tanpa pemuasaan adalah agar (1) ternak tidak
mengalami stres dan (2) ketika disembelih ternak mengeluarkan darah sebanyak mungkin
karena lebih kuat meronta, mengejang atau berkontraksi sehingga darah yang dikeluarkan
akan lebih sempurna (Soeparno, 1994).
Hal penting lain yang perlu/harus dilakukan sebelum ternak disembelih adalah melakukan
pemeriksaan ternak (pemeriksaan antemortem). Menururt Swatland (1984 disitasi oleh
Soeparno (1994) bahwa pemeriksaan antemortem dimaksudkan (1) untuk mengetahui ternak
yang cidera sehingga diprioritaskan untuk disembelih terlebih dahulu dan (2) untuk
mengetahui ternak-ternak yang sakit sehingga disembelih secara terpisah. Adapun manfaat
dari pemeriksaan antemortem (Suharyanto, 1996) adalah:
a. Menegtahui/menentukan ternak yang dagingnya berbahaya untuk dikonsumsi. Misalnya
ditemukan adanya ternak yang berada pada taraf septi chaemi (gejala infeksi yang mulai
menjalar); ternak yang demikian ini sukar diketahui gejala-gejalanya sehingga tanpa
pemeriksaan sukar diketahui sedangkan hal ini berbahaya bagi konsumen.
b. Dapat menetapkan kesehatan ternak ketika masih hidup sehingga bisa menyatakan sehat
atau tidak dagingnya untuk dikonsumsi.
c. Dapat mengetahui apakah ternak dalam keadaan lelah atau tidak untuk segera dilakukan
penyembelihan.
2. Penyembelihan Ternak
Cara penyembelihan ternak bermacam-mcam sesuai dengan kebiasaan, adat istiadat dan
agama masyarakat setempat. Di Indonesia dan masyarakat Islam lainnya, penyembelihan
dilakukan dengan menyebut nama Allah dan disembelih secara langsung dengan alat

penyembelihan yang tajam. Namun demikian prinsip penyembelihan ternak adalah bahwa
ternak harus disembelih secepat mungkin dan rasa sakit diusahakan seminimal mungkin
untuk menghindari stres (tekanan) dan pengurangan cadangan glikogen.
Menurut Soeparno (1994) ada 2 (dua) cara penyembelihan, yaitu (1) penyembelihan secara
langsung dan (2) penyembelihan secara tidak langsung. Penyembelihan secara langsung
adalah bahwa petugas penyembelih (jagal) menyembelih langsung pada leher ternak dengan
memutuskan arteri karotis, vena jugularis, dan esofagus. Sedangkan penyembelihan secara
tidak langsung dapat dilakukan dengan pemingsanan ternak terlebih dahulu. Pemingsanan ini
dapat dilakukan dengan (a) menggunakan alat pemingsan (knocker), (b) senjata pemingsan
(stunning gun), (c) pembiusan, dan (4) menggunakan arus listrik.
Setelah ternak disembelih, untuk menentukan apakah ternak benar-benar telah mati atau
belum dapat dilakukan dengan 3 (tiga) macam ujicoba, yaitu reflek mata, reflek kaki, dan
reflek ekor (Soeparno, 1994). Ujicoba dengan reflek mata dilakukan dengan menyentuh
pelupuk mata apakah masih bergerak atau tidak. Ujicoba refrlek kaki adalah dengan memukul
persendian kaki atau memijit sela-sela kuku. Dan ujicoba reflek ekor adalah dengan
membengkokkan ekor. Apabila respon kelopak mata, kaki, dan ekor tidak bergerak tandanya
ternak telah benar-benar mati.
3. Perubahan-perubahan sesudah disembelih
Setelah ternak disembelih maka penyediaan oksigen ke otot terhenti sebagai akibat
terhentinya aliran darah. Akibatnya adalah bahwa persediaan glikogen tidak ada lagi di otot
dan sisa metabolisme tidak dapat dikeluarkan dari otot. Perubahan perubahan tersebut
diikuti dengan perubahan-perubahan fisik, dan biokemis lainnya seperti perubahan suhu,
perubahan pH, dan rigor mortis.
Ternak yang disembelih, suhu permukaan karkasnya menurun, hal ini karena tidak ada lagi
aliran darah ke permukaan tubuh/kerkas ternak. Penurunan ini sama dengan suhu sekitarnya
atau lebih rendah lagi. Namun demikian karena darah dan sisa-sisa metabolisme yang tersisa
di dalam otot, maka suhu di dalam jaringan justri meningkat. Peningkatan ini berkisar antara
10 20 , tergantung dari besar kecilnya ternak sebagai akibat dari proses glikolisis sesudah
kematian dimana glikogen diubah menjadi asam laktat (Buckle, et al., 1987).
Konversi glikogen menjadi asam laktat mempengaruhi pH daging. Dengan demikian pH
daging dipengaruhi oleh tingkat cadangan glikogen, penanganan sebelum penyembelihan,
dan laju glikolisis. pH akhir yang dicapai tubuh ternak dapat mempengaruhi mutu daging
(Buckle, et al., 1987), yaitu:
a) pH rendah yaitu sekitar 5,1 6,1 menyebabkan daging mempunyai struktur terbuka yang
sangat diinginkan untuk pengasinan daging; warna merah muda yang cerah dan disukai

konsumen; flavor yang lebih disukai, baik dalam kondisi telah dimasak maupun diasin; dan
stabilitas yang lebih baik terhadap kerusakan akibat mikroorganisme.
b) pH tinggi, yaitu sekitar 6,2 7,2 menyebabkan daging tahap akhir mempunyai struktur
tertutup atau padat dengan warna merah-ungu tua, rasa kurang enak dan keadaan yang lebih
memungkinkan untuk perkembangan mikroorganisme.
Perubahan yang secara fisik dapat disaksikan adalah rigor mortis, yaitu proses yang
menunjukkan keadaan karkas menjadi kaku yang biasanya terjadi antara 24 48 jam setelah
penyembelihan. Rigor mortis terjadi merupakan akibat dari serangkaian peristiwa biokimia
yang kompleks menyangkut hilangnya creatin phosphat (CP) dan Adhenosine Triphosphat
(ATP) dari otot, tidak berfungsinya sistem enzim sitokhrom dan reaksi-reaksi kompleks
lainnya (Buckle, et al., 1987). Kekakuan ini juga akibat adanya aktin dan miosin mebentuk
aktomiosin yang kemudian menjadi irreversible.
Kecepatan laju rigor mortis dipengaruhi oleh beberapa faktor (Buckle, et al., 1987),
diantaranya adalah (1) tingkat cadangan glikogen pada saat mati. Bila glikogen rendah rigor
mortis cenderung berlangsung cepat. Dan ini berkaitan erat dengan pH akhir yang dicapai. (2)
Suhu karkas; kecepatyan tertinggi dari rigor mortis sebanding dengan suhu yang tinggi, yang
mempercepat hilangnya CP dan ATP otot.
4. Penyiapan Karkas
Setelah ternak disembelih secara sah dan dinyatakan benar-benar mati maka yang dilakukan
selanjutnya adalah penyiapan karkas. Urutan penyiapan karkas yang umum dilakukan
(swatland, 1984 disitasi oleh Soeparno, 1994) adalah:
(1) Memisahkan kepala dari tubuh ternak
(2) Melakukan pengulitan kepala
(3) Memisahkan keempat kaki pada bagian persendian tulang kanon
(4) Pengulitan tubuh
(5) Membuka rongga dada, tepat melalui ventral tengah tulang dada atau sternum
(6) Membuka rongga abdomen dengan irisan sepanjang ventral tengah, kemudian
memisahkan penis, ambing, dan lemak abdomen
(7) Membelah bonggol pelvik dan memisahkan keduanya

(8) Membuat irisan sekitar anus dan menutupnya dengan kantong plastik
(9) Menguliti ekor, jika belum dilakukan
(10) Memisahkan esofagus dari trakhea
(11) Mengeluarkan kandung kencing dan uterus jika ada, usus, rumen, jantung, dan hati
(12) Pisahkan karkas menjadi dua bagian melalui garis tengah punggung
(13) Rapikan karkas dengan membuang bagian-bagian yang kurang bermanfaat.
Kemudian karkas ditimbang untuk mendapatkan berat segar. Karkas yang telah siap, dicuci
dapat dibungkus dengan kain putih untuk merapikan lemak subkutan. Selanjutnya karkas
dapat dipotong-potong menjadi wholesle cut dan retail cut sesuai dengan permintaan pasar.
5. Pemeriksaan Daging
Sebelum ternak disembelih telah dilakukan pemeriksaan antemortem, maka setelah ternak
disembelih dan disiapkan menjadi karkas dilakukan juga pemeriksaan yang disebut sebagai
pemeriksaan postmortem. Yaitu memeriksa karkas dan alat-alat dalam (viscera), serta produk
akhir. Menurut Soeparno (1994), pemeriksaan daging dimaksudkan (1) untuk melindungi
konsumen dari penyakit yang dapat ditimbulkan karena makan daging yang tidak sehat, (2)
melindungi konsumen dari pemalsuan daging, dan (3) mencegah penularan penyakit diantara
ternak.
Pemeriksaan postmortem yang dilakukan di Indonesia adalah dengan memeriksa karkas,
kelenjar limfa, kepala, mulut, kuku, lidah, dan organ-organ dalam. Bila ditemukan kondisi
abnormal maka dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Keputusan hasil pemeriksaan
menentukan apakah karkas dan bagian-bagiannya dapat dikonsumsi, diproses lebih lanjut
atau tidak (Soeparno, 1994).
Pemalsuan daging sering terjadi di Indonesia karena aspek pemeriksaan belum dilakukan
dengan baik dan integratif dengan pihak-pihak lain. Pada tahun 2000 terjadi pemalsuan
daging sapi dengan daging celeng (babi hutan) yang disinyalir justru berasal dari Bengkulu.
Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk memaksimalkan pemerikasaan secara
integratif diantaranya adalah dengan (1) membentuk seperangkat aturan dan penegakannya
secara jelas dan tegas dan (2) mengoptimalkan fungsi dan peran Rumah Potong Hewan
(RPH) dengan melibatkan pihak pemerintah dan MUI yang mengontrol kemungkinan
penyimpangan-penyimpangan pada RPH itu sendiri (Suharyanto dan Anton Sutrisno, 2000).
6. Penyembelihan pada Unggas dan Prosesingnya

Pada prinsipnya penyembilan ternak unggas adalah sama dengan ternak-ternak lainnya.
Hanya pada tahap penanganan selanjutnya sedikit ada perbedaan.
Setelah penyembelihan ada beberapa tahap yang harus dilalui dalam penanganan untuk
mendapatkab karkas/daging unggas, (Peterson, et al., 1978) yaitu:
(a) Scalding (pencelupan ke dalam air panas). Hal ini dilakukan untuk memudahkan dalam
pembersihan bulu. Suhu dan lamanya pencelupan berbeda-beda menurut sepesies dan umur
ternaknya. Berikut adalah tabel yang menggambarkan suhu dan lamanya scalding dilakukan:
Jenis unggas
Suhu 0 C
Lamanya
Ayam muda dan kalkun
50 54
30 45 menit (?)
Ayam tua
55 60
45 90 detik
Broiler
50 54
30 detik
Itik dan angsa
65 80
5 30 detik
Sumber: Soeparno, 1994 (dimodifikasi)
(b) Feather Picking, yaitu pembuangan bulu.
(c) Singeing & Washing, yaitu mebersihkan sisa-sisa bulu/rambut halus pada tubuh/kerkas
unggas yang baru selelsai dibersihkan bulunya.
(d) Eviceration, yaitu mengeluarkan jeroan.
(e) Preparing giblet, yaitu penyiapan organ-organ seperti jantung, hati, dan organ dalam lain
yang bisa dimakan. Ini dilakukan setelah dilakukan pemeriksaan terhadap organ tersebut
(lihat pemeriksaan postmortem).

(f) Final processing, yaitu penanganan terakhir dengan memisahkan paru-paru dan organ
atau jaringan reproduktiv dari karkas.
(g) Packaging, yaitu karkas dikemas sesuai dengan permintaan pasar (konsumen) atau untu
diproses lebih lanjut.
Literatur
Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet, dan M. Wootton, 1987. Ilmu Pangan. UI-Press.
Jakarta.
Peterson, Christensen, dan Nelson, 1978. Working in Animal Science. McGraw-Hill. USA.
Soeparno, 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Suharyanto dan Anton Sutrisno, 2000. Strategi Menghindari Peredaran Daging Ilegal. Poultry
Indonesia edisi Oktober 2000.
Suharyanto, 1996. Pentingnya Pembangunan Rumah Potong Ayam di Bengkulu. Semarak, 4
Januari 1996.

Anda mungkin juga menyukai