Anda di halaman 1dari 18

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hadiwiyoto, S (2012) menyatakan penggaraman merupakan proses
pengawetan yang banyak dilakukan di berbagai negara termasuk Indonesia.
Proses tersebut menggunakan garam sebagai media pengawet, baik yang
berbentuk kristal maupun larutan. Selama proses penggaraman, terjadi penetrasi
garam ke dalam tubuh ikan dan keluarnya cairan dari tubuh ikan karena perbedaan
konsentrasi. Cairan itu dengan cepat dapat melarutkan kristal garam atau
mengencerkan larutan garam
Garam biasanya digunakan untuk memasak maupun sebagai bahan
pengawet. Garam yang digunakan sebagai bahan pengawet adalah garam dapur
(NaCl), karena garam dapur mempunyai daya awet yang tinggi (Tarwiyah, 2001).
Menurut Afrianto (2002), garam merupakan faktor utama dalam proses
penggaraman ikan. Pengawetan ikan dengan cara penggaraman sebenarnya terdiri
dari dua proses, yaitu proses penggaraman dan proses pengeringan. Adapun
tujuan utama dari penggaraman sama dengan tujuan proses pengawetan atau
pengolahan lainnya, yaitu untuk memperpanjang daya tahan dan daya simpan
ikan. Ikan yang mengalami proses penggaraman menjadi awet karena garam dapat
menghambat atau membunuh bakteri penyebab pembusukan pada ikan.
Salah satu tujuan dari pengawetan bahan pangan adalah mencegah atau
mengendalikan pembusukan, dimana pembusukan merupakan hal yang membuat
makanan memiliki kondisi yang tidak nyaman bagi pertumbuhan mikroorganisme
yang merugikan. Berdasarkan uraian diatas, diharapkan praktikan mengetahui
prinsip penggaraman pada ikan, mengeahui perbedaan uji organoleptic antara
penggaraman kering dan penggaraman basah, serta mengetahui kadar air hasil
ikan dari perlakuan penggaraman basah dan kering.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum ini adalah sebagai berikut :
1. mengetahui prinsip penggaraman pada ikan
2. mengeahui perbedaan uji organoleptik antara penggaraman kering dan
penggaraman basah
3. mengetahui kadar air hasil ikan dari perlakuan penggaraman basah dan
kering
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penggaraman
Penggaraman adalah teknik pengawetan menggunakan garam dengan
konsentrasi tinggi yang biasa diaplikasikan pada ikan, daging, produk sayuran,
dan bahan pangan lainnya. Ada 2 macam teknik penggaraman yaitu penggaraman
basah dan penggaraman kering. Penggaraman umum dilakukan adalah jenis
penggaraman kering yaitu penggaraman yang menggunakan kristal garama yang
dicampurkan dengan ikan atau produk penggaraman lainnya (Syahruddin, 2013).
Tujuan penggaraman adalah untuk pengawetan dan perubahan sensoris
yang diinginkan seperti tekstur, warna, serta aroma dan rasa yang khas. Fungsi
penggaraman adalah menghambat mikroorganisme pencemar tertentu secara
selektif karena garam bersifat bakteriostatik. Mikroba pembusuk atau proteolitik
dan pembentuk spora adalah mikroba yang paling terpengaruh oleh kadar garam.
Garam juga berfungsi mengikat air dan menurunkan Aw yang menjadi faktor
pendukung pertumbuhan mikroba. Selain itu garam juga dapat menentukan dalam
pembentukan flavor dan aroma tertentu. teknik penggaraman digunakan garam
dengan konsentrasi tinggi yang bersifat bakteriostatik pada Cl- dari garam.
Senyawa bakteriostatik pada garam berperan dalam menghambat mikroorganisme
seperti bakteri pembusuk dan bakteri pembentuk spora bahkan Clostridium
botulinum. Garam juga dapat mengikat air dan menurunkan Aw yang menjadi
faktor pendukung pertumbuhan mikroba (Buckle et al, 2009).

2.2. Bahan yang Digunakan


2.2.1 Ikan Kembung
Ikan kembung (Indian Mackerel-Scombridae) memiliki karakteristik
badan lonjong dan pipih. Di belakang sirip punggung kedua dan sirip dubur
terdapat 5 sirip tambahan (finlet) dan terdapat sepasang keel pada ekor. Pada ikan
ini terdapat noda hitam di belakang sirip dada. Pada semua jenis terdapat barisan
noda hitam di bawah sirip punggung. Jenis ikan Kembung yang tertangkap di
Indonesia terdiri dari spesies Rastelliger brachysoma, R. faughni dan R.
kanagurta. Ikan kembung memiliki nama lokal Rumahan, Temenong, Mabong,
Pelaling, Banyar, Kembung Lelaki. Habitat ikan kembung tersebar membentuk
gerombolan (schooling) besar di wilayah perairan pantai. Ikan ini sering
ditemukan bersama dengan ikan famili Clupeidae seperti Lemuru dan Tembang.
Jenis makanannya adalah Phytoplankton (Diatom), Zooplankton (Cladocera,
Ostracoda, Larva Polychaeta). Ikan dewasa memakan Makroplankton seperti
larva udang dan ikan (Wiadnya, 2012).
Menurut Thariq et al (2014), ikan kembung dikenal sebagai mackarel fish
yang termasuk ikan ekonomis penting dan potensi tangkapanya naik tiap
tahunnya. Ikan ini memiliki rasa cukup enak dan gurih sehingga banyak digemari
oleh masyarakat.
Tabel 1. Kandungan Gizi Ikan Kembung per 100 gram Bahan
Kandungan Gizi Jumlah
Kalori (Kal) 103
Protein (gr) 22
Lemak (gr) 1
Kalsium (mg) 20
Besi (mg) 1,5
Fosfor (mg) 200
Vitamin A (Si) 30
Vitamin B1 (mg) 0,05
Air (gr) 76
Sumber: Ariani, Mewa (2010)
2.2.2 Garam
Secara fisik, garam adalah benda padatan berwarna putih berbentuk kristal
yang merupakan kumpulan senyawa dengan bagian terbesar Natrium Chlorida
(>80%) serta senyawa lainnya seperti Magnesium Chlorida, Magnesium Sulfat,
Calsium Chlorida, dan lain-lain. Garam mempunyai sifat / karakteristik
higroskopis yang berarti mudah menyerap air, bulk density (tingkat kepadatan)
sebesar 0,8 - 0,9 dan titik lebur pada tingkat suhu 8010C ( Burhanuddin, 2001).
Garam Natrium klorida untuk keperluan masak dan biasanya diperkaya
dengan unsur iodin (dengan menambahkan 5 g NaI per kg NaCl) padatan Kristal
berwarna putih, berasa asin, tidak higroskopis, bila mengandung MgCl2 menjadi
berasa agak pahit dan higroskopis. Digunakan terutama sebagai bumbu penting
untuk makanan, sebagai bumbu penting untuk makanan, bahan baku pembuatan
logam Na dan NaOH ( bahan untuk pembuatan keramik, kaca, dan pupuk ),
sebagai zat pengawet ( Mulyono, 2009).
Kadar garam yang tinggi menyebabkan mikroorganisme yang tidak tahan
terhadap garam akan mati. Kondisi selektif ini memungkinkan mikroorganisme
yang tahan garam dapat tumbuh. Pada kondisi tertentu penambahan garam
berfungsi mengawetkan karena kadar garam yang tinggi menghasilkan tekanan
osmotik yang tinggi dan aktivitas air rendah. Kondisi ekstrim ini menyebabkan
kebanyakan mikroorganisme tidak dapat hidup. Pengolahan dengan garam
biasanya merupakan kombinasi dengan pengolahan yang lain seperti fermentasi
dan enzimatis. Contoh pengolahan pangan dengan garam adalah pengolahan acar
(pickle), pembuatan kecap ikan, pembuatan daging kering, dan pembuatan keju (
Estiasih, 2009).

2.3 Jenis – Jenis Penggaraman


Menurut Budiman (2004) pada dasarnya, metode penggaraman ikan dapat
dikelompokkan menjadi tiga macam yaitu penggaraman kering (Dry Salting),
penggraman basah (Wet Salting) dan Kench Salting.
a) Penggaraman Kering (Dry Salting)
Metode penggaraman kering menggunakan kristal garam yang
dicampurkan dengan ikan. Pada umumnya, ikan yang berukuran besar dibuang isi
perut dan badannya dibelah dua. Dalam proses penggaraman ikan ditempatkan
didalam wadah yang kedap air. Ikan disusun rapi dalam wadah selapis demi
selapis dengan setiap lapisan ikan ditaburi garam. Lapisan paling atas dan paling
bawah wadah merupakan lapisan garam. Garam yang digunakan pada proses
penggaraman umumnya berjumlah 10 % - 35 % dari berat ikan yang
digarami. Pada waktu ikan bersentuhan dengan kulit / daging ikan (yang
basah/berair), garam itu mula-mula akan membentuk larutan pekat. Larutan ini
kemudian akan meresap kedalam daging ikan melalui proses osmosa. Jadi, kristal
garam tidak langsung menyerap air, tetapi terlebih dahulu berubah jadi larutan.
Semakin lama larutan akan semakin banyak dan ini berarti kandungan air dalam
tubuh ikan semakin berkurang.
b) Penggaraman Basah (Wet Salting)
Penggaraman basah menggunakan larutan garam 30 - 35 % (dalam 1 liter
air terdapat 30 – 35 gram garam). Ikan yang akan digarami dimasukkan kedalam
larutan garam tersebut, kemudian bagian atas wadah ditutup dan diberi pemberat
agar semua ikan terendam. Lama waktu perendaman tergantung pada ukuran
ketebalan tubuh ikan dan derajat keasinan yang diinginkan. Dalam proses osmosa,
kepekatan larutan garam akan semakin
berkurang karena adanya kandungan air yang keluar dari tubuh ikan, sementara
itu molekul garam masuk kedalam tubuh ikan. Proses osmosa akan berhenti
apabila kepekatan larutan diluar dan didalam tubuh ikan sudah seimbang.
c) Kench Salting
Pada dasarnya, teknik penggaraman ini sama dengan pengaraman kering
(dry salting) tetapi tidak mengunakan bak /wadah penyimpanan. Ikan dicampur
dengan garam dan dibiarkan diatas lantai atau geladak kapal, larutan air yang
terbentuk dibiarkan mengalir dan terbuang. Kelemahan dari cara ini adalah
memerlukan jumlah garam yang lebih banyak dan proses penggaraman
berlangsung sangat lambat.

2.4 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Penggaraman


Menurut Moeljanto (1992), beberapa factor yang mempengaruhi kecepatan
penetrasi garam ke dalam tubuh ikan, selain tingkat kemurnian garam yang
digunakan, yaitu
sebagai berikut :
1. Kadar lemak ikan
Semakin tinggi kadar lemak yang terdapat di dalam tubuh ikan semakin
lambat proses penetrasi garam ke dalam tubuh ikan.
2. Ketebalan daging ikan
Semakin tebal daging ikan semakin lambat proses penetrasi garam dan
semakin banyak pula jumlah garam yang diperlukan.
3. Kesegaran ikan
Pada ikan yang memiliki kesegaran rendah, proses penetrasi garam
berlangsung lebih cepat karena ikan dengan tingkat kesegaran rendah mempunyai
tubuh yang relatif lunak, cairan tubuh tidak terikat dengan kuat dan mudah terisap
oleh larutan garam yang mempunyai konsentrasi lebih tinggi. Apabila ikan kurang
segar, produk ikan asin yang dihasilkan akan terlalu asin dan kaku.
4. Temperatur ikan
Semakin tinggi temperatur tubuh ikan semakin cepat pula proses penetrasi
garam ke dalam tubuh ikan. Tetapi sangat disayangkan, bahwa hal tersebut diikuti
oleh perkembangan bakteri yang juga semakin cepat. Oleh karena itu, sebelum
dilakukan proses penggaraman sebaiknya ikan ditangani lebih dahulu dengan baik
agar sebagian besar bakteri yang dikandung dapat dihilangkan.
5. Konsentrasi larutan garam
Semakin tinggi perbedaan konsentrasi antara garam dengan cairan yang
terdapat dalam tubuh ikan, semakin cepat prosespenetrasi garam ke dalam tubuh
ikan. Selain itu, proses penetrasi garam akan menjadi lebih cepat lagi apabila
digunakan garam kristal. Semakin tinggi konsentrasi garam, semakin tinggi daya
awet ikan tetapi ikan menjadi semakin asin dan kurang disukai.
BAB 3 METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat
1. Neraca digital
2. Baskom besar
3. Baskom kecil
4. Sendok
3.1.2 Bahan
1. Ikan kembung
2. Air
3. Garam kasar
4. Garam halus

3.2 Skema Kerja dan Fungsi Perlakuan


3.2.1 Skema Kerja

Ikan

Penimbangan

Penggaraman Kering Penggaraman Basah

Pendiaman selama 24 jam

Penimbangan

Pengamatan organoleptik dan


Perhitungan kadar air
3.2.2 Fungsi Perlakuan
Pada praktikim ini terlebih dahulu dilakukan penyiapan bahan yaitu ikan.
Ikan dicuci terlebih dahulu agar semua kotoran yang masih menempel pada tubuh
ikan hilang. Kemudia dilakukan penimbangan awal, hal ini bertujuan untuk
mengetahui berat awal ikan sebelum dilakukan proses penggaraman.
Penimbangan dilakukan menggunakan neraca digital agar hasil yang didapat lebih
akurat. Lalu dilakukan perlakuan penggaram pada ikan. Pada proses ini, ada dua
kelompok yang melakukan penggaraman basah dan ada dua kelompok yang
melakukan penggaraman kering, bedanya terletak pada penggunaan garam, yaitu
kasar dan halus. Pada penggaraman basah, ikan dimasukkan kedalam larutan
garam selama 24 jam, sedangkan pada penggaraman kering tubuh ikan dibaluri
garam dan dibiarkan diwadah yang telah ditutupi kertas. hal ini bertujuan untuk
mengetahui perbedaan hasil dari kedua perlakuan tersebuat terhadap hasil
organoleptik ikan. Kemudian dilakukan pendiaman selama 24 jam terhadap ikan
yang sudah diberi dua perlakuan, hal ini bertujuan agar garam pada ikan dapat
masuk secara ssempurna dan dapat dilihat apakah terjadi perubahan pada uji
organoleptik dan berat ikan setelah perlakuan. Lalu dilakukan penimbangan
kembali pada ikan setelah perlakuan, hal ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
penggaraman terhadap berat akhir, lebih berat atau ringan. Kemudian dilakukan
uji organoleptik pada ikan, hal ini bertujuan untuk mengetahui warna, aroma,
tekstur dan lendir ikan setelah penggaraman.
BAB 4 HASIL PENGAMATAN DAN HASIL PERHITUNGAN

4.1 Hasil Pengamatan


Adapun hasil pengamatan pada praktikum ini adalah sebagai berikut:
Perlakuan Warna Aroma Tekstur Lendir
Penggaraman + +++ +++ +
kering
Penggaraman ++ ++ ++ ++
basah
Keterangan : - Warna pucat (+), warna agak kuning (++), warna kuning (+++)
- Aroma tidak amis (+), aroma agak amis (++), aroma amis (+++)
- Tekstur lunak (+), tekstur agak keras (++), tekstur keras (+++)
- Tidak berlendir (+), berlendir (++), sangat berlendir(+++)

4.2 Hasil Perhitungan


Adapun hasil perhitungan pada praktikum ini adalah sebagai berikut:
Perlakuan Kadar Air
Penggaraman kering 13 %
Penggaraman basah -5,4%
BAB 5 PEMBAHASAN

5.1 Uji Organoleptik


5.1.1 Warna
Dalam praktikum ini dilakukan uji organoleptik terhadap warna tubuh ikan
setelah dilakukan penggaraman basah dan penggaraman kering. Penilaian warna
pada uji ini menggunakan tanda plus (+) satu sampai dengan tiga, dengan
keterangan semakin banyak tanda plus maka warna ikan semakin kuning. Dari
praktikum ini didapat data sebagai berikut. Untuk ikan dengan penggaraman
kering, diberi tanda plus sebanyak satu dengan keterangan warnanya pucat,
sedangkan untuk ikan dengan penggaraman basah diberi tanda plus sebanyak dua,
dengan keterangan warnanya sedikit kuning
Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahmani, dkk. (2007), yang
menyatakan bahwa tingginya konsentrasi garam pada pengolahan ikan asin dan
dilakukannya penggaraman berulang akan menyebabkan ikan asin menjadi lebih
putih karena adanya kristal garam. Semakin tinggi konsentrasi garam dan lama
penggaraman menyebabkan semakin banyak butiran garam pada ikan asin. Pada
proses penggaraman bahan pangan yang dilanjutkan dengan pengeringan sering
terjadi pencoklatan (browning) karena terjadinya oksidasi lemak pada ikan.
Hadiwiyoto (2012) menyatakan bahwa, oksidasi lemak, degradasi protein dan
komponen-komponen lainnya dapat menyebabkan kerusakan sel-sel daging
sehingga kenampakan fisik ikan akan berubah. Molekul molekul oksigen yang
kontak dengan produk akan segera memasuki rantai reaksi dan menyebabkan
terjadinya oksidasi lemak, kerusakan vitamin, protein dan oksidasi pigmen,
sehingga terjadi perubahan warna pada produk. Perubahan warna pada bahan yang
di garamkan terjadi karena proses reaksi mailard pada saat pengeringan dan terjadi
oksidasi kandungan bahan, serta kandungan mioglobin yang merupakan penyusun
warna pada daging melepaskan pigmen heme sehingga warna daging menjadi
pucat. Pada ikan peda perubahan warna disebabkan karena adanya proses
fermentasi mikroba dan enzim endogen yang ada pada perut ikan.
Berdasarkan literature diatas, didapatkan bahwa penyebab perbedaan
warna pada pada ikan dikarenakan penggunaan garam pada penggaraman kering
lebih banyak dan butiran Kristal garam lebih banyak yg terserap kedalam tubuh
ikan, sedangkan pada penggaraman basah konsentrasi garam lebih rendah dan
Kristal garam kurang terserap kedalam tubuh ikan. Penggaraman dapat
mengawetkan produk pangan karena kadar garam yang tinggi menghasilkan
tekanan osmotik yang dan kadar air yang rendah sehingga jumlah air bebas yang
biasa digunakan mikroorganisme untuk tumbuh berkurang dan mikroorganisme
tidak dapat tumbuh dan mati sehingga makanan menjadi awet (Estiasih, 2014).
5.1.2 Aroma
Pada praktikum penggaram ini dilakukan uji organoleptik terhadap aroma
ikan yang telah dilakukan penggaraman basah dan penggaraman kering.
Penggaraman basah dilakukan dengan merendamkan ikan kedalam larutan garam
selama 24 jam, sedangkan penggaraman kering dilakukan dengan melumuri tubuh
ikan dengan garam lalu diletakkan disebuah wadah dan ditutupi selama 24 jam.
Penilaian aroma pada uji ini menggunakan tanda plus (+) satu sampai dengan tiga,
dengan keterangan semakin banyak tanda plus maka aroma ikan semakin amis.
Dari praktikum ini didapatkan data mengenai aroma ikan sebagai berikut: pada
penggaraman kering, diberi tanda plus sebanyak tiga, dengan keterangan bau
amis, sedangkan pada penggaraman basah diberi tanda plus sebanyak dua, dengan
keterangan aroma ikan sedikit amis.
Pada ikan asin metode kering dari yang beraroma amis awalnya menjadi
agak menyengat. Jumlah garam yang digunakan dalam jumlah yang sedikit,
karena garam dapat menimbulkan aroma yang harum untuk spesifikasi ikan asin.
Hal ini disebabkan semakin lama waktu perendaman akan semakin banyak garam
yang larut. Banyaknya garam yang larut akan menyebabkan nilai aroma asin ikan
menurun karena salah satu fungsi garam dalam pengolahan pangan adalah untuk
menambah cita rasa (Riansyah, dkk, 2013). Pada ikan asin metode basah dari
yang berbau amis awalnya menjadi amis menyengat campur garam (khas ikan
asin). Proses pembusukan lebih cepat terjadi, namun dengan adanya pengeringan
bau asli ikan (bau anyir/amis) menghilang dan bau menyengat yang ditimbulkan
akibat garam lebih terasa (Riansyah, dkk, 2013). Perubahan aroma pada ikan asin
dikarenakan pada ikan mengandung TMAO (trimetilamin oksida) dan ketika
dilakukan penambahan garam terjadi hidrolisa lemak dan TMAO. Lemak yang
dihidrolisa menghasilkan bau tengik atau amis. Selain itu dengan perendaman
lama pada larutan garam pada metode basah dapat menyebabkan banyaknya
garam dan air yang masuk ke tubuh ikan dan membuat aroma khas tertentu.
Berdasarkan literature diatas, didapatkan bahwa seharusnya untuk
penggaraman kering pada ikan menghasilkan bau yang sudah sedikit tidak amis,
karena garam dapat menimbulkan aroma yang harum untuk spesifikasi ikan asin.
Hal ini disebabkan semakin lama waktu perendaman akan semakin banyak garam
yang larut. Banyaknya garam yang larut akan menyebabkan nilai aroma asin ikan
menurun. Sedangkan pada praktikum dihasilkan ikan dengan bau amis. Bau amis
disebabkan karena jumlah garam yang digunakan kurang, dan ikan tidak berhasil
menyerap garam dengan optimal sehingga aroma yang timbul tidak sesuai.
5.1.3 Tekstur
Pada praktikum penggaram ini dilakukan uji organoleptik terhadap tekstur
ikan yang telah dilakukan penggaraman basah dan penggaraman kering.
Penggaraman basah dilakukan dengan merendamkan ikan kedalam larutan garam
selama 24 jam, sedangkan penggaraman kering dilakukan dengan melumuri tubuh
ikan dengan garam lalu diletakkan disebuah wadah dan ditutupi selama 24 jam.
Penilaian tekstur pada uji ini menggunakan tanda plus (+) satu sampai dengan
tiga, dengan keterangan semakin banyak tanda plus maka tekstur ikan semakin
keras. Dari praktikum ini didapatkan data mengenai tekstur ikan sebagai berikut:
pada penggaraman kering, diberi tanda plus sebanyak tiga, dengan keterangan
tekstur ikan keras, sedangkan pada penggaraman basah diberi tanda plus sebanyak
dua, dengan keterangan aroma ikan sedikit keras.
Menurut Sofiyanto (2001), bahwa penggunaan garam yang bersifat
higroskopis pada ikan asin menyebabkan tekstur ikan menjadi kompak dan padat.
Penambahan garam dalam fermentasi ikan mempunyai beberapa fungsi antara
lain, yaitu meningkatkan rasa ikan, membentuk tekstur yang diinginkan dan
mengontrol mikroorganisme, yaitu merangsang pertumbuhan mikroorganisme
yang diinginkan berperan dalam fermentasi, dan menghambat pertumbuhan
mikroorganisme pembusuk dan pathogen (Adawiyah, 2007).
Berdasarkan literatur yang telah didapat, penggaraman dapat membuat
tubuh ikan lebih mengeras dari tekstur awalnya. Hal ini sesuai dengan hasil
praktikum penggaraman yang telah dilakukan yaitu tubuh ikan lebih mengeras
dan memadat.
5.1.4 Lendir
Pada praktikum penggaram ini dilakukan uji organoleptik terhadap lendir
ikan yang telah dilakukan penggaraman basah dan penggaraman kering.
Penggaraman basah dilakukan dengan merendamkan ikan kedalam larutan garam
selama 24 jam, sedangkan penggaraman kering dilakukan dengan melumuri tubuh
ikan dengan garam lalu diletakkan disebuah wadah dan ditutupi selama 24 jam.
Penilaian lendir pada uji ini menggunakan tanda plus (+) satu sampai dengan tiga,
dengan keterangan semakin banyak tanda plus maka ikan menghasilkan banyak
lendir. Dari praktikum ini didapatkan data mengenai lendir ikan sebagai berikut:
pada penggaraman kering, diberi tanda plus sebanyak satu, dengan keterangan
ikan tidak menghasilkan lendir, sedangkan pada penggaraman basah diberi tanda
plus sebanyak dua, dengan keterangan ikan sedikit berlendir.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Bahar, H. (2006) didapatkan hasil
uji organoleptik lendir penggaraman kering adalah selaput lendir tipis dan encer,
berdasarkan literatur diatas, terdapat ketidak sesuaian antara hasil praktikum
dengan literatur. Hal ini disebabkan karena oleh adanya osmosis yaitu air dari
tubuh ikan keluar digantikan dengan garam, sehingga lendir dari tubuh ikan hilang
dan menyebabkan ikan menjadi kering dan tidak berlendir.

5.2 Kadar Air


Pada praktikum ini selain dilakukan uji organoleptik juga dilakukan
pengamatan terhadap kadar air ikan setelah dan sebelum perlakuan. Untuk
menghitung kadar air dilakukan melalui persamaan sebagai berikut :
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟−𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑤𝑎𝑙
Kadar air (BB%) = × 100%
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑤𝑎𝑙
Dimana berat awal adalah berat ikan sebelum dilakukan perlakuan, dan berat
akhir adalah berat ikan sesudah dilakukan perlakuan. Berdasarkan persamaan
diatas didapat data sebagai berikut : untuk penggaraman kering didapatkan kadar
air sebesar 13%,sedangkan penggaraman basah diperoleh kadar air sebesar -5,4%.
Semakin besar kadar garam yang diberikan, maka semakin banyak air
yang akan ditarik oleh ion garam. Selanjutnya Moeljianto (1982) menyatakan
bahwa karena konsentrasi garam diluar tubuh ikan lebih pekat daripada cairan
didalam tubuh ikan, maka garam akan merembes masuk kedalam tubuh ikan,
sedangkan air akan merembes keluar.
Berdasarkan uraian diatas didapatkan bahwa setelah penggaraman kadar
air ikan akan berkurang, hal ini disebabkan karena konsentrasi garam diluar tubuh
ikan lebih pekat daripada cairan didalam tubuh ikan. Afrianto dan Liviawaty
(1989) juga menyatakan bahwa semakin tinggi perbedaan konsentrasi antara gara
dan cairan didalam tubuh ikan, maka akan semakin cepat proses penetrasi garam
kedlaam tubuh ikan bersamaan dengan keluarnya cairan dari dalam tubuh ikan
karena tekanan osmosa. Pada hasil praktikum didapatkan hasil kadar air 0% dan
-10,8%, hal ini bias terjadi disebabkan karena air yang terdapat didalam dan diluar
ikan sama, sedangkan untuk kadar air -10,8% disebabkan karena suhu yang
digunakan dalam penggaraman terlalu tinggi.
DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, E. 2002. Pakan Ikan. Yogyakarta : Kanisius.

Afrianto, E dan E. Liviawaty. 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan.


Yogyakarta: Kanisius.

Ariani, Mewa. 2010. Analisis Konsumsi Pangan Tingkat Masyarakat. Gizi Indon.
33(1):20-28.

Bahar, H. 2006. Sumber daya Perikanan Indonesia. Galia Indonesia. Jakarta

Buckle, K.A, R.A Edwards, G.H. Fleet, and M. Wootton. 2009. Ilmu Pangan
(Food Science ). Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).

Budiman, S. 2004. Proses Pemindangan. Jakarta: Departemen Pendidikan


Nasional.

Burhanuddin. 2001. Strategi Pengembangan Industri Garam di Indonesia,


Kanisius, Yogyakarta.

Estiasih, Teti, Ahmadi. 2009. Teknologi Pengolahan Pangan. Jakarta: Bumi


Aksara.

Hadiwiyoto, S. 2012. Hubungan Keadaan Kimiawi dan Mikrobiologik Ikan


Pindang Naya Pada Penyimpanan Suhu Kamar Dengan Sifat
Organoleptiknya. Agritech Volume 15 Nomor 1, 2, 3.

Moeljanto (1992). Pengawetan dan pengolahan ikan. Jakarta: Penebar Swadaya.

Mulyono, H. (2009). Kamus Kimia. Jakarta: Bumi Aksara. Halaman 72, 74.

Rahmani, Abdul dan Sumantri. 2007. Analisis Makanan. Yogyakarta : Gajah


Mada University Press.

Riansyah, A., dkk.,2013,Pengaruh Suhu dan Waktu Pengeringan Terhadap


Karakteristik Ikan Asin Sepat Siam dengan Menggunakan Oven,
Universitas Sriwijaya Indralaya Organ Ilir.

Sofiyanto. 2001. Penggunaan Berbagai Jenis Bahan Kemasan Dalam


Mempertahankan Mutu Ikan Asin Patin (Pangasius Hypophthalmus)
Selama Penyimpanan. Jakarta: Penebar Swadaya
Syahruddin, Haris. 2013. “Pengaruh Penggaraman Terhadap Protein Ikan Layang
(Decapterus rucell)”. Jurnal. Surabaya: Fakultas Farmasi Universitas
Surabaya.

Tariq, A. et al., 2014. Effectiveness of Tetrachlorodecaoxide Compounds in the


Healing of Mandibular Case description. , 4(3), pp.152–153.

Tarwiyah, K. 2001. Tapioka. Dewan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Industri,


Sumatera Barat.
BAB 6 PENUUTUP

6.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari praktikum ini adalah sebagai berikut :
1. Prinsip penggaraman ini adalah meresapnya garam yang ditaburkan
keseluruh tubuh ikan secara lambat namun pasti, sehingga terjadi tekanan
osmosis yang seimbang antara caiaran yang terdapat didalam dan diluar
tubuh ikan. Larutan garam yang diluar tubuh ikan akan menyebabkan air
yang berada dalam tubuh ikan terus keluar sehingga makin lama sisa-sisa
cairan yang berada dalam tubuh ikan menjadi maikn kental dan kadar
proteinnya menggumpal serta ses-sel daging ikan menjadi mengkerut.
2. Pada penggaraman basah didapatkan hasil uji organoleptik yaitu warna
pucat, aroma sangat amis, tekstur keras, dan tiak berlendir. Untuk
penggaraman kering didapatkan hasil uji organoleptik yaitu warna agak
kuning, aroma sedikit amis, tekstur sedikit keras, dan berlendir.
3. Pada praktikum ini didapatkan data untuk penggaraman kering
mempunyai kadar air sebesar 13%, sedangkan untuk penggaraman basah
didapatkan hasil kadar air sebesar -5,4%. Perbedaan ini disebabkan karena
semakin besar kadar garam yang diberikan, maka semakin banyak air yang
akan ditarik oleh ion garam.
6.2 Saran
Adapun saran dari praktikum ini adalah sebaiknya praktikan sudah
mengetahui metode penggaraman basah dan kering, agar saat melakukan
perlakuan dapat terhindar dari kesalahan.

Anda mungkin juga menyukai