TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengujian Kualitas Daging dan Produk Olahannya
2.1.1. Daging
Secara umum daging merupakan semua jaringan hewan dan semua produk hasil
pengolahan jaringan tersebut yang sesuai atau dapat untuk dikonsumsi serta tidak
menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang mengkonsumsinya termasuk organ hati,
ginjal, otak, paru-paru, jantung, dan jaringan otot. Daging menurut SNI 3932:2008
merupakan bagian otot skeletal dari karkas sapi yang aman, layak dan lazim dikonsumsi
oleh manusia, dapat berupa daging segar, daging segar dingin, atau daging beku.
Daging adalah sumber protein hewani yang bermutu tinggi, dan mengandung zat nutrisi
yang sangat dibutuhkan oleh tubuh, antara lain protein, air, lemak, mineral dan vitamin.
Selain itu, daging juga mengandung asam amino essensial yang lengkap dan seimbang.
Daging dibagi menjadi dua jenis, yaitu daging ternak besar seperti sapi dan kerbau,
maupun daging ternak kecil seperti domba, kambing, dan babi.
Daging merupakan suatu bahan penting dalam memenuhi kebutuhan gizi dalam
tubuh karena daging dapat sebagai sumber protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan
mineral (Murliana et al., 2018). Secara umum daging mengandung sekitar 75% (68-
80%) air, protein sekitar 19% (16-22%), mineral 1% serta lemak sekitar 2,5% (1,5-13%)
(Soeparno, 1992 dalam Amertaningtyas, 2012). Mutu protein pada daging cukup tinggi
dan terdapat kandungan asam amino esensial sehingga sangat baik dipakai sebaga
sumber protein hewani dalam perbaikan gizi. Hal ini menyebabkan daging sebagai salah
satu pangan asal hewan yang cukup digemari oleh masyarakat dimana tiap tahunnya
kebutuhan masyarakat akan daging terus meningkat.
Kualitas daging dapat dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah pemotongan.
Faktor sebelum pemotongan yaitu genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin,
umur, pakan, termasuk bahan aditif (hormon, anti biotik, dan mineral) dan stres.
Sedangkan faktor setelah pemotongan antara lain meliputi pelayuan, stimulasi listrik,
metode pemasakan, pH karkas, dan daging, bahan tambahan termasuk enzim
pengempuk daging, hormon, dan anti biotik, lemak intramuskular, dan metode
penyimpanan (Haq et al., 2015).
2.1.2. Produk Olahan Daging
Pembuatan makanan olahan daging ini pada awalnya adalah untuk mengawetkan
produk daging sehingga dapat disimpan lebih lama dengan nilai nutrisi yang tetap
tinggi, karena seperti yang kita ketahui daging sama halnya dengan produk ternak
lainnya jika tidak segera mendapat penanganan yang tepat dalam waktu kurang dari 24
jam maka akan mudah rusak karena perubahan kimiawi maupun kontaminasi mikroba
karena daging merupakan media yang ideal untuk tumbuh kembang mikroorganisme
(Ernawati et al., 2018). Seiring dengan perkembangan teknologi pengolahan,
pengemasan dan penyimpanan menyebabkan pengolahan daging tidak hanya bertujuan
untuk mengawetkan tetapi juga untuk diversifikasi pangan, meningkatkan citarasa,
kepraktisan dan untuk mendapatkan nilai tambah berupa uang dari kegiatan pengolahan
daging. Olahan daging yang cukup dikenal dan berkembang luas dipasaran berupa
bakso dan sosis, dimana olahan tersebut biasanya terbuat dari daging segar atau beku
yang dicincang atau daging yang telah dihaluskan dan dicampurkan beberapa bumbu.
Pengolahan daging yang cukup dikenal dan berkembang luas di Indonesia berupa bakso
dan sosis (Zurriyati, 2011).
Sosis merupakan salah satu produk olahan daging yang mempunyai nilai tambah
tinggi dan banyak perusahaan yang memproduksi sosis. Bahan baku utama pembuatan
sosis adalah daging sapi bagian forequarter. Sosis dapat juga diproduksi dengan bahan
baku daging ayam dan bahan tambahan lainnya berupa tepung tapioka. Sosis sebagai
salah satu produk olahan daging yang sangat bermanfaat dalam meningkatkan asupan
gizi anak usia sekolah karena sosis mengandung protein sebesar 9,84% dengan
kandungan lemak sebesar 7,91% (Bulkaini et al., 2020). Sedangkan bakso merupakan
produk pangan yang terbuat dari daging yang dihaluskan, dicampur tepung terigu,
dibentuk bulat – bulat sebesar kelereng atau lebih besar dan dimasak dalam air panas
untuk mengkonsumsinya. Bakso yang banyak beredar dan populer di masyarakat
berasal dari daging sapi, babi, ayam dan ikan.
2.1.3. Pemeriksaan Subjektif
2.1.3.1 Warna Daging :
Warna daging tampak merupakan kombinasi pengamatan panjang gelombang
radiasi cahaya yang memberikan hasil pengamatan warna dengan intensitas cahaya dan
refleksi. Secara umum warna daging dipengaruhi dan tergantung pada pigem mioglobin.
Oleh karena itu, adanya perbedaan warna diantara spesies sebagian besar disebabkan
oleh konsentrasi mioglobin (Tahuk et al., 2020). Secara umum daging sapi memiliki
warna merah khas daging sapi seperti warna merah, warna keungu-unguan. Pengukuran
warna daging dapat dilakukan dengan menggunakan indikator meat color standart.
Mioglobin terdiri atas 2 bagian yaitu: bagian yang berprotein dan berbentuk seperti
gelembung disebut globin dan bagian yang bukan protein disebut cincin heme/heme
ring. Beberapa ternak memberikan karakteristik khusus warna seperti daging sapi
berwarna merah terang, ikan berwarna putih abu-abu sampai merah gelap, kuda
berwarna merah gelap, babi berwarna pink kelabu dan unggas berwarna putih abu-abu
sampai merah (Suardana dan Swacita, 2009). Menurut Lawrie (2005) dalam Ikhsan
(2020), menyatakan bahwa warna daging juga dapat dipengaruhi oleh adanya
mikroorganisme diudara yang dapat menyebabkan warna hijau akibat terbentuknya
Sulfiogbacilli dari aktivitas bakteri gram negative seperti Aeromonas dan Lactobacilli.
Selain itu, warna pada daging dapat berubah akibat reaksi dari pigmen dengan
beberapa bahan karena pigmen daging sendiri memiliki kemampuan untuk mengikat
molekul lain tergantung pada status kimiawi ion besi yang terdapat pada cincin Heme.
Fe dapat dalam bentuk reduksi atau oksidasi, dalam bentuk fero, Fe dapat bereaksi
dengan gas seperti oksigen dan nitrit oksida. Hewan yang baru disembelih mempunyai
daging yang berwarna merah keunguan. Setelah mendapatkan kontak dengan udara
mengadung oksigen, daging akan berubah warna menjadi merah cerah dikarenakan
terjadinya oksigenasi mioglobin menjadi oksimioglobin (Omb). Namun sebaliknya jika
jumlah oksigen menurun, oksimioglobin akan mengalami deoksigenasi dan kembali
menjadi mioglobin (Suardana dan Swacita, 2009).
2.1.3.2 Aroma Daging :
Aroma atau bau merupakan salah satu parameter yang dapat mempengaruhi
persepsi rasa enak dari suatu makanan atau daging. Pada industri pangan, uji bau
dianggap penting karena dapat memberikan penilaian awal terhadap hasil produksinya,
baik itu apakah akan disukai atau tidak oleh konsumen. Bau pada daging dapat
dipengaruhi oleh jenis hewan, pakan, umur, jenis kelamin, lama waktu dan kondisi
penyimpanan (Marlina et al., 2012 dalam Ikhsan, 2022). Selain itu, pada daging
disebabkan oleh adanya fraksi yang mudah menguap berupa inosin-5-monofosfat (hasil
konversi adenosine-5-trifosfat pada jaringan otot hewan sewaktu hidup) yang
mengandung hydrogen sulfide dan metil merkaptan. Daging yang masih segar berbau
seperti darah segar. Bau pada daging yang mengalami pembusukan merupakan
pengaruh campuran aktivitas enzim lipolitik triasilgliserol, ketengikan oksidatif asam
lemak tak jenuh, serta produk degradasi protein yang terakumulasi dalam jaringan
lemak/adiposa. Ciri-ciri bau daging yang baik secara spesifik yaitu tidak ada bau
menyengat, tidak berbau amis, dan tidak berbau busuk (Suardana dan Swacita, 2009).
2.1.3.3 Konsistensi dan Tekstur Daging :
Konsistensi dan tekstur adalah faktor yang penting terhadap kualitas daging.
Konsistensi dan tekstur dipengaruhi oleh dua faktor penting yaitu antemortem (genetik,
fisiologis, umur, manajemen, jenis kelamin dan stress) sedangkan faktor postmortem
adalah chilling, refrigerasi, pelayuan, pembekuan lama dan suhu penyimpanan termasuk
pemasakan dan pengempukan. Konsistensi daging disebabkan oleh banyak sedikitnya
jaringan ikat yang terdapat dalam daging. Semakin sedikit kandungan jaringan ikat pada
daging, maka konsistensi daging akan semakin empuk dan kualitasnya semakin baik,
begitupun juga sebaliknya apabila jaringan ikat pada daging semakin banyak, maka
kualitas daging semakin jelek, konsistensinya sangat kenyal/liat, dan jaringan ikat yang
banyak pada daging sering ditemukan pada daging hewan yang sudah tua (Sihombing et
al., 2020). Tekstur meliputi ikatan serabut otot kasar dan halus yang dipengaruhi oleh
jumlah serabut, ukuran dan jumlah perimisium, pengaruh umur dan bangsa ternak.
Kosistensi daging biasanya dinyatakan dengan liat (firmness), lembek (softness), berair
(juicness). Daging segar terasa liat sedangkan daging yang mulai membusuk akan
berair. Dilihat dari teksturnya daging segar mempunyai tekstur yang halus dan daging
yang mulai membusuk memeliki tekstur yang kasar (Suardana dan Swacita, 2009).
2.1.4. Pemeriksaan Objektif
2.1.4.1 pH
pH (Power of Hidrogen) adalah nilai keasaman suatu senyawa atau nilai hidrogen
dari senyawa tersebut. Nilai pH daging akan ditentukan oleh jumlah asam laktat yang
dihasilkan dari glikogen selama proses glikolisis anaerob dan hal ini akan terbatas bila
glikogen terdeplesi karena lelah, kelaparan, atau ternak takut sebelum dipotong (Haq et
al., 2015). Nilai pH pada jaringan otot ternak pada saat hidup sekitar 5,1 sampai 7,2 dan
akan terus menurun setelah pemotongan karena mengalami glikolisis dan dihasilkan
asam laktat yang akan mempengaruhi pH, pH akhir normal daging postmortem adalah
sekitar 5,4-5,8. Nilai pH juga berpengaruh terhadap keempukan daging. Daging dengan
pH tinggi mempunyai keempukan yang lebih tinggi daripada daging dengan pH rendah.
Kealotan atau keempukan serabut otot pada kisaran pH 5,4 sampai 6,0. pH daging
berhubungan dengan DIA (Daya Ikat Air/ WHC/Water Holding Capacity), jus daging,
keempukan dan susut masak, juga bisa berhubungan dengan warna dan sifat mekanik
daging. Nilai pH daging yang tinggi akan mempengaruhi jumlah mikroorganisme juga
semakin tinggi, pada pH rendah (sekitar 5,1 – 6,1) menyebabkan daging mempunyai
struktur terbuka, sedangkan pH tinggi (sekitar 6,2 – 7,2) menyebabkan daging pada
tahap akhir akan mempunyai struktur yang tertutup atau padat dan lebih memungkinkan
untuk perkembangan mikroorganisme lebih baik (Haq et al., 2015).
2.1.4.1 Kadar Air
Kadar air merupakan banyaknya air yang terkandung dalam bahan yang
dinyatakan dalam suatu persen. Kadar air adalah salah satu faktor penyebab kerusakan
pada bahan pangan, karena bahan pangan memiliki kandungan air yang dapat sebagai
media yang baik untuk mendukung pertumbuhan dan aktifitas mikroorganisme perusak
bahan pangan (Simanjuntak, 2022). Kadar air juga merupakan karakteristik yang sangat
penting dalam bahan pangan karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur serta
ikut menentukan kesegaran dan daya awet bahan pangan tersebut. Penentuan kadar air
dalam bahan pangan sangat penting digunakan untuk mengetahui jumlah zat gizi yang
terkandung dalam bahan pangan tersebut karena kandungan air dalam bahan pangan
ikut menentukan acceptability, kesegaran dan daya tahan bahan itu. Selain merupakan
bagian dari suatu bahan pangan, air merupakan pencuci yang baik bagi makanan
tersebut atau alay-alat yang akan digunakan dalam pengolahannya. Kandungan air
dalam bahan makanan mempengaruhi daya tahan bahan makanan terhadap serangan
mikroba yang dinyatakan dengan Aw yaitu jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh
mikroorganisme untuk pertumbuhannya (Winarno, 2004 dalam Leviana dan Paramita,
2017). Penetapan kandungan air dapat dilakukan dengan beberapa cara. Hal ini
tergantung pada sifat bahannya. Pada umumnya penentuan kadar air dilakukan dengan
mengeringkan bahan dalam oven pada suhu 100 -110 oC selama 3 jam atau sampai
didapat berat yang konstan..
2.1.4.1 Daya Ikat Air
Daya ikat air atau water holding capacity merupakan suatu indicator untuk
mengukur daging mengekiat air maupun air yang ditambahkan selama ada pengaruh
kekuatan dari luar. Daya ikat air erat kaitannya dengan keutuhan protein daging, karena
protein yang baik akan menyebabkan meningkatnya kemampuan daging dalam
menahan air, dan begitupun sebaliknya. Semakin tinggi jumlah air yang keluar maka
daya ikat airnya semakin rendah (Lawrie, 2003 dalam Merthayasa et al., 2015).
Komponen air yang terkandung dalam daging terdapat dalam tiga bentuk yaitu air yang
terikat erat (tightly bound water), jumlahnya sangat sedikit, terletak didalam molekul
protein, air yang tidak bergerak (immobilized water) air bebas (free water). Air daging
yang menetes dari daging segar (yang tidak dibekukan) disebut “weep”, sedangkan air
yang keluar dari daging yang dibekukan disebut “drip” dan yang keluar dari daging
yang dimasak disebut “shrink” (Soeparno, 2005 dalam Dengen 2015).
Daya ikat air adalah kemampuan daging untuk mempertahankan kandungan air
selama mengalami perlakuan dari luar seperti pemotongan, pemanasan, penggilingan
dan pemotongan. Daya ikat air oleh protein daging (WHC/Water Holding Capacity)
dapat ditentukan dengan beberapa cara, antara lain dengan metode Hamm (1972), yaitu
dengan membebani atau mengepres 0,3 g sampel daging dengan beban 35kg pada suatu
kertas saring di antara 2 plat kaca selama 5 menit. Daya ikat air oleh protein daging
mempunyai efek langsung terhadap penyusutan daging selama penyimpanan. Jika daya
ikat air rendah maka akan terjadi penurunan kadar air daging yang megakibatkan
kehilangan berat yang diikuti dengan penurunan nilai nutrisi selama penyimpanan.
Beberapa faktor yang mempengaruhi daya ikat air antara lain nutrisi ternak, pH daging,
ikatan aktomiosin, penyimpanan dan pengawetan, macam otot, kadar lemak, dan protein
daging (Suardana dan Swacita, 2009).
2.1.4.1 Cemaran Mikroba
Cemaran mikroba pada daging merupakan salah satu bentuk uji untuk menilai
kualitas daging dari sisi banyaknya mikroorganisme dalam daging. Penyediaan daging
sapi yang kandungan mikrobanya tidak melebihi Batas Maksimum Cemaran Mikroba
(BMCM) sangat diharapkan dalam memenuhi persyaratan untuk mendapatkan daging
yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH). Berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan
Badan Standarisasi Nasional (BSN) persyaratan cemaran kuman untuk daging sapi yang
beredar di Indonesia adalah angka lempeng total bakteri (ALTB), 1x106 (CFU/g),
Coliform 1x102 (CFU/g), dan Escherichia coli 1x101 (CFU/g) (SNI 7388, 2009).
Keberadaan mikroorganisme pada daging dapat dijadikan indicator bahwa daging
sudah tercemar, dan mikroorganisme yang sering mencemari daging adalah E. coli,
Salmonella sp. dan Staphylococcus sp. (Rabiulfa et al., 2021). Kontaminasi mikroba
pada daging sapi dapat berasal dari peternakan dan rumah potong hewan yang tidak
higienis, begitu juga sumber air dan lingkungan tempat diolahnya daging tersebut.
Selain itu, proses penyajian daging di pasar yang kurang memperhatikan aspek sanitasi
dan higiene, disimpan dalam suhu kamar (tidak pada suhu dingin), dan akibat dari suhu
penyimpanan ini akan berdampak pada perkembangan bakteri secara cepat (Suardana
dan Swacita, 2009). Salah uji yang dapat dilakukan untuk mengetahui cemaran mikroba
dengan menghitung ALTB. Indikator kontaminasi awal pada daging sapi segar salah
satunya dapat dilihat dari jumlah ALTB, karena bakteri tersebut terdapat secara alami
pada daging sapi segar dan dapat menimbulkan penyakit apabila keberadaannya berada
di atas ambang batas yang diperbolehkan (Kuntoro et al., 2012).
2.2 Pengujian Kualitas Susu
2.2.1 Susu
Susu adalah suatu sekresi kelenjar dari ternak yang sedang laktasi, yang diperoleh
dari pemerahan secara sempurna (tidak termasuk kolostrum), dengan tanpa penambahan
atau pengurangan suatu komponen (Suardana dan Swacita, 2009). Susu segar dan susu
murni memiliki definisi yang berbeda, yaitu susu murni adalah cairan yang berasal dari
ambing hewan yang sehat dan bersih, yang diperoleh dengan cara pemerahan yang
benar, yang kandungan alaminya tidak dikurangi atau ditambahkan sesuatu apapun dan
belum mendapatkan perlakuan apapun, sedangkan susu segar adalah susu murni yang
tidak mendapat perlakuan apapun kecuali proses pendinginan tanpa mempengaruhi
kemurniannya.
Direktorat Jendral Peternakkan menetapkan persyaratan kualitas susu secara
umum yang boleh beredar dipasaran dalam keputusan No. 17/Kpts/DJP/Deptan/1983
tentang syarat-syarat, tata cara pengawasan dan pemeriksaan kualitas susu produksi
dalam negeri (Suardana dan Swacita, 2009) . Adapun persyaratan kualitas susu yang
ditetapkan antara lain :
Tabel 2.1 Persyaratan kualitas susu secara umum yang boleh beredar dipasaran
dalam keputusan No. 17/Kpts/DJP/Deptan/1983 (Suardana dan Swacita, 2009)
Karakteristik Syarat
Warna, bau, rasa, dan Kekentalan tidak ada perubahan
Berat jenis (pada suhu 27,5oC) 1.028
Kadar lemak minimum 2,8%
Derajat keasaman 6,5 – 7
Derajat asam 4,5 – 7 oSH
Kadar bahan kering tanpa lemak minimum 8,0%
Uji alkohol 70% Negative
Uji didih Negative
Uji katalase maksimum 3ml
Angka reduktase 2 - 5 jam
Cemaran mikroba maksimum 1X10oCFU/ml
Uji Pemalsuan Negatif
Komulatif
Bersyarat
Tanggal
Potong
Sakit
No.
Sisa
Desa/
Pelaksanaan Kecamatan
Kelurahan