Anda di halaman 1dari 58

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengujian Kualitas Daging dan Produk Olahannya
2.1.1. Daging
Secara umum daging merupakan semua jaringan hewan dan semua produk hasil
pengolahan jaringan tersebut yang sesuai atau dapat untuk dikonsumsi serta tidak
menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang mengkonsumsinya termasuk organ hati,
ginjal, otak, paru-paru, jantung, dan jaringan otot. Daging menurut SNI 3932:2008
merupakan bagian otot skeletal dari karkas sapi yang aman, layak dan lazim dikonsumsi
oleh manusia, dapat berupa daging segar, daging segar dingin, atau daging beku.
Daging adalah sumber protein hewani yang bermutu tinggi, dan mengandung zat nutrisi
yang sangat dibutuhkan oleh tubuh, antara lain protein, air, lemak, mineral dan vitamin.
Selain itu, daging juga mengandung asam amino essensial yang lengkap dan seimbang.
Daging dibagi menjadi dua jenis, yaitu daging ternak besar seperti sapi dan kerbau,
maupun daging ternak kecil seperti domba, kambing, dan babi.
Daging merupakan suatu bahan penting dalam memenuhi kebutuhan gizi dalam
tubuh karena daging dapat sebagai sumber protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan
mineral (Murliana et al., 2018). Secara umum daging mengandung sekitar 75% (68-
80%) air, protein sekitar 19% (16-22%), mineral 1% serta lemak sekitar 2,5% (1,5-13%)
(Soeparno, 1992 dalam Amertaningtyas, 2012). Mutu protein pada daging cukup tinggi
dan terdapat kandungan asam amino esensial sehingga sangat baik dipakai sebaga
sumber protein hewani dalam perbaikan gizi. Hal ini menyebabkan daging sebagai salah
satu pangan asal hewan yang cukup digemari oleh masyarakat dimana tiap tahunnya
kebutuhan masyarakat akan daging terus meningkat.
Kualitas daging dapat dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah pemotongan.
Faktor sebelum pemotongan yaitu genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin,
umur, pakan, termasuk bahan aditif (hormon, anti biotik, dan mineral) dan stres.
Sedangkan faktor setelah pemotongan antara lain meliputi pelayuan, stimulasi listrik,
metode pemasakan, pH karkas, dan daging, bahan tambahan termasuk enzim
pengempuk daging, hormon, dan anti biotik, lemak intramuskular, dan metode
penyimpanan (Haq et al., 2015).
2.1.2. Produk Olahan Daging
Pembuatan makanan olahan daging ini pada awalnya adalah untuk mengawetkan
produk daging sehingga dapat disimpan lebih lama dengan nilai nutrisi yang tetap
tinggi, karena seperti yang kita ketahui daging sama halnya dengan produk ternak
lainnya jika tidak segera mendapat penanganan yang tepat dalam waktu kurang dari 24
jam maka akan mudah rusak karena perubahan kimiawi maupun kontaminasi mikroba
karena daging merupakan media yang ideal untuk tumbuh kembang mikroorganisme
(Ernawati et al., 2018). Seiring dengan perkembangan teknologi pengolahan,
pengemasan dan penyimpanan menyebabkan pengolahan daging tidak hanya bertujuan
untuk mengawetkan tetapi juga untuk diversifikasi pangan, meningkatkan citarasa,
kepraktisan dan untuk mendapatkan nilai tambah berupa uang dari kegiatan pengolahan
daging. Olahan daging yang cukup dikenal dan berkembang luas dipasaran berupa
bakso dan sosis, dimana olahan tersebut biasanya terbuat dari daging segar atau beku
yang dicincang atau daging yang telah dihaluskan dan dicampurkan beberapa bumbu.
Pengolahan daging yang cukup dikenal dan berkembang luas di Indonesia berupa bakso
dan sosis (Zurriyati, 2011).
Sosis merupakan salah satu produk olahan daging yang mempunyai nilai tambah
tinggi dan banyak perusahaan yang memproduksi sosis. Bahan baku utama pembuatan
sosis adalah daging sapi bagian forequarter. Sosis dapat juga diproduksi dengan bahan
baku daging ayam dan bahan tambahan lainnya berupa tepung tapioka. Sosis sebagai
salah satu produk olahan daging yang sangat bermanfaat dalam meningkatkan asupan
gizi anak usia sekolah karena sosis mengandung protein sebesar 9,84% dengan
kandungan lemak sebesar 7,91% (Bulkaini et al., 2020). Sedangkan bakso merupakan
produk pangan yang terbuat dari daging yang dihaluskan, dicampur tepung terigu,
dibentuk bulat – bulat sebesar kelereng atau lebih besar dan dimasak dalam air panas
untuk mengkonsumsinya. Bakso yang banyak beredar dan populer di masyarakat
berasal dari daging sapi, babi, ayam dan ikan.
2.1.3. Pemeriksaan Subjektif
2.1.3.1 Warna Daging :
Warna daging tampak merupakan kombinasi pengamatan panjang gelombang
radiasi cahaya yang memberikan hasil pengamatan warna dengan intensitas cahaya dan
refleksi. Secara umum warna daging dipengaruhi dan tergantung pada pigem mioglobin.
Oleh karena itu, adanya perbedaan warna diantara spesies sebagian besar disebabkan
oleh konsentrasi mioglobin (Tahuk et al., 2020). Secara umum daging sapi memiliki
warna merah khas daging sapi seperti warna merah, warna keungu-unguan. Pengukuran
warna daging dapat dilakukan dengan menggunakan indikator meat color standart.
Mioglobin terdiri atas 2 bagian yaitu: bagian yang berprotein dan berbentuk seperti
gelembung disebut globin dan bagian yang bukan protein disebut cincin heme/heme
ring. Beberapa ternak memberikan karakteristik khusus warna seperti daging sapi
berwarna merah terang, ikan berwarna putih abu-abu sampai merah gelap, kuda
berwarna merah gelap, babi berwarna pink kelabu dan unggas berwarna putih abu-abu
sampai merah (Suardana dan Swacita, 2009). Menurut Lawrie (2005) dalam Ikhsan
(2020), menyatakan bahwa warna daging juga dapat dipengaruhi oleh adanya
mikroorganisme diudara yang dapat menyebabkan warna hijau akibat terbentuknya
Sulfiogbacilli dari aktivitas bakteri gram negative seperti Aeromonas dan Lactobacilli.
Selain itu, warna pada daging dapat berubah akibat reaksi dari pigmen dengan
beberapa bahan karena pigmen daging sendiri memiliki kemampuan untuk mengikat
molekul lain tergantung pada status kimiawi ion besi yang terdapat pada cincin Heme.
Fe dapat dalam bentuk reduksi atau oksidasi, dalam bentuk fero, Fe dapat bereaksi
dengan gas seperti oksigen dan nitrit oksida. Hewan yang baru disembelih mempunyai
daging yang berwarna merah keunguan. Setelah mendapatkan kontak dengan udara
mengadung oksigen, daging akan berubah warna menjadi merah cerah dikarenakan
terjadinya oksigenasi mioglobin menjadi oksimioglobin (Omb). Namun sebaliknya jika
jumlah oksigen menurun, oksimioglobin akan mengalami deoksigenasi dan kembali
menjadi mioglobin (Suardana dan Swacita, 2009).
2.1.3.2 Aroma Daging :
Aroma atau bau merupakan salah satu parameter yang dapat mempengaruhi
persepsi rasa enak dari suatu makanan atau daging. Pada industri pangan, uji bau
dianggap penting karena dapat memberikan penilaian awal terhadap hasil produksinya,
baik itu apakah akan disukai atau tidak oleh konsumen. Bau pada daging dapat
dipengaruhi oleh jenis hewan, pakan, umur, jenis kelamin, lama waktu dan kondisi
penyimpanan (Marlina et al., 2012 dalam Ikhsan, 2022). Selain itu, pada daging
disebabkan oleh adanya fraksi yang mudah menguap berupa inosin-5-monofosfat (hasil
konversi adenosine-5-trifosfat pada jaringan otot hewan sewaktu hidup) yang
mengandung hydrogen sulfide dan metil merkaptan. Daging yang masih segar berbau
seperti darah segar. Bau pada daging yang mengalami pembusukan merupakan
pengaruh campuran aktivitas enzim lipolitik triasilgliserol, ketengikan oksidatif asam
lemak tak jenuh, serta produk degradasi protein yang terakumulasi dalam jaringan
lemak/adiposa. Ciri-ciri bau daging yang baik secara spesifik yaitu tidak ada bau
menyengat, tidak berbau amis, dan tidak berbau busuk (Suardana dan Swacita, 2009).
2.1.3.3 Konsistensi dan Tekstur Daging :
Konsistensi dan tekstur adalah faktor yang penting terhadap kualitas daging.
Konsistensi dan tekstur dipengaruhi oleh dua faktor penting yaitu antemortem (genetik,
fisiologis, umur, manajemen, jenis kelamin dan stress) sedangkan faktor postmortem
adalah chilling, refrigerasi, pelayuan, pembekuan lama dan suhu penyimpanan termasuk
pemasakan dan pengempukan. Konsistensi daging disebabkan oleh banyak sedikitnya
jaringan ikat yang terdapat dalam daging. Semakin sedikit kandungan jaringan ikat pada
daging, maka konsistensi daging akan semakin empuk dan kualitasnya semakin baik,
begitupun juga sebaliknya apabila jaringan ikat pada daging semakin banyak, maka
kualitas daging semakin jelek, konsistensinya sangat kenyal/liat, dan jaringan ikat yang
banyak pada daging sering ditemukan pada daging hewan yang sudah tua (Sihombing et
al., 2020). Tekstur meliputi ikatan serabut otot kasar dan halus yang dipengaruhi oleh
jumlah serabut, ukuran dan jumlah perimisium, pengaruh umur dan bangsa ternak.
Kosistensi daging biasanya dinyatakan dengan liat (firmness), lembek (softness), berair
(juicness). Daging segar terasa liat sedangkan daging yang mulai membusuk akan
berair. Dilihat dari teksturnya daging segar mempunyai tekstur yang halus dan daging
yang mulai membusuk memeliki tekstur yang kasar (Suardana dan Swacita, 2009).
2.1.4. Pemeriksaan Objektif
2.1.4.1 pH
pH (Power of Hidrogen) adalah nilai keasaman suatu senyawa atau nilai hidrogen
dari senyawa tersebut. Nilai pH daging akan ditentukan oleh jumlah asam laktat yang
dihasilkan dari glikogen selama proses glikolisis anaerob dan hal ini akan terbatas bila
glikogen terdeplesi karena lelah, kelaparan, atau ternak takut sebelum dipotong (Haq et
al., 2015). Nilai pH pada jaringan otot ternak pada saat hidup sekitar 5,1 sampai 7,2 dan
akan terus menurun setelah pemotongan karena mengalami glikolisis dan dihasilkan
asam laktat yang akan mempengaruhi pH, pH akhir normal daging postmortem adalah
sekitar 5,4-5,8. Nilai pH juga berpengaruh terhadap keempukan daging. Daging dengan
pH tinggi mempunyai keempukan yang lebih tinggi daripada daging dengan pH rendah.
Kealotan atau keempukan serabut otot pada kisaran pH 5,4 sampai 6,0. pH daging
berhubungan dengan DIA (Daya Ikat Air/ WHC/Water Holding Capacity), jus daging,
keempukan dan susut masak, juga bisa berhubungan dengan warna dan sifat mekanik
daging. Nilai pH daging yang tinggi akan mempengaruhi jumlah mikroorganisme juga
semakin tinggi, pada pH rendah (sekitar 5,1 – 6,1) menyebabkan daging mempunyai
struktur terbuka, sedangkan pH tinggi (sekitar 6,2 – 7,2) menyebabkan daging pada
tahap akhir akan mempunyai struktur yang tertutup atau padat dan lebih memungkinkan
untuk perkembangan mikroorganisme lebih baik (Haq et al., 2015).
2.1.4.1 Kadar Air
Kadar air merupakan banyaknya air yang terkandung dalam bahan yang
dinyatakan dalam suatu persen. Kadar air adalah salah satu faktor penyebab kerusakan
pada bahan pangan, karena bahan pangan memiliki kandungan air yang dapat sebagai
media yang baik untuk mendukung pertumbuhan dan aktifitas mikroorganisme perusak
bahan pangan (Simanjuntak, 2022). Kadar air juga merupakan karakteristik yang sangat
penting dalam bahan pangan karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur serta
ikut menentukan kesegaran dan daya awet bahan pangan tersebut. Penentuan kadar air
dalam bahan pangan sangat penting digunakan untuk mengetahui jumlah zat gizi yang
terkandung dalam bahan pangan tersebut karena kandungan air dalam bahan pangan
ikut menentukan acceptability, kesegaran dan daya tahan bahan itu. Selain merupakan
bagian dari suatu bahan pangan, air merupakan pencuci yang baik bagi makanan
tersebut atau alay-alat yang akan digunakan dalam pengolahannya. Kandungan air
dalam bahan makanan mempengaruhi daya tahan bahan makanan terhadap serangan
mikroba yang dinyatakan dengan Aw yaitu jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh
mikroorganisme untuk pertumbuhannya (Winarno, 2004 dalam Leviana dan Paramita,
2017). Penetapan kandungan air dapat dilakukan dengan beberapa cara. Hal ini
tergantung pada sifat bahannya. Pada umumnya penentuan kadar air dilakukan dengan
mengeringkan bahan dalam oven pada suhu 100 -110 oC selama 3 jam atau sampai
didapat berat yang konstan..
2.1.4.1 Daya Ikat Air
Daya ikat air atau water holding capacity merupakan suatu indicator untuk
mengukur daging mengekiat air maupun air yang ditambahkan selama ada pengaruh
kekuatan dari luar. Daya ikat air erat kaitannya dengan keutuhan protein daging, karena
protein yang baik akan menyebabkan meningkatnya kemampuan daging dalam
menahan air, dan begitupun sebaliknya. Semakin tinggi jumlah air yang keluar maka
daya ikat airnya semakin rendah (Lawrie, 2003 dalam Merthayasa et al., 2015).
Komponen air yang terkandung dalam daging terdapat dalam tiga bentuk yaitu air yang
terikat erat (tightly bound water), jumlahnya sangat sedikit, terletak didalam molekul
protein, air yang tidak bergerak (immobilized water) air bebas (free water). Air daging
yang menetes dari daging segar (yang tidak dibekukan) disebut “weep”, sedangkan air
yang keluar dari daging yang dibekukan disebut “drip” dan yang keluar dari daging
yang dimasak disebut “shrink” (Soeparno, 2005 dalam Dengen 2015).
Daya ikat air adalah kemampuan daging untuk mempertahankan kandungan air
selama mengalami perlakuan dari luar seperti pemotongan, pemanasan, penggilingan
dan pemotongan. Daya ikat air oleh protein daging (WHC/Water Holding Capacity)
dapat ditentukan dengan beberapa cara, antara lain dengan metode Hamm (1972), yaitu
dengan membebani atau mengepres 0,3 g sampel daging dengan beban 35kg pada suatu
kertas saring di antara 2 plat kaca selama 5 menit. Daya ikat air oleh protein daging
mempunyai efek langsung terhadap penyusutan daging selama penyimpanan. Jika daya
ikat air rendah maka akan terjadi penurunan kadar air daging yang megakibatkan
kehilangan berat yang diikuti dengan penurunan nilai nutrisi selama penyimpanan.
Beberapa faktor yang mempengaruhi daya ikat air antara lain nutrisi ternak, pH daging,
ikatan aktomiosin, penyimpanan dan pengawetan, macam otot, kadar lemak, dan protein
daging (Suardana dan Swacita, 2009).
2.1.4.1 Cemaran Mikroba
Cemaran mikroba pada daging merupakan salah satu bentuk uji untuk menilai
kualitas daging dari sisi banyaknya mikroorganisme dalam daging. Penyediaan daging
sapi yang kandungan mikrobanya tidak melebihi Batas Maksimum Cemaran Mikroba
(BMCM) sangat diharapkan dalam memenuhi persyaratan untuk mendapatkan daging
yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH). Berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan
Badan Standarisasi Nasional (BSN) persyaratan cemaran kuman untuk daging sapi yang
beredar di Indonesia adalah angka lempeng total bakteri (ALTB), 1x106 (CFU/g),
Coliform 1x102 (CFU/g), dan Escherichia coli 1x101 (CFU/g) (SNI 7388, 2009).
Keberadaan mikroorganisme pada daging dapat dijadikan indicator bahwa daging
sudah tercemar, dan mikroorganisme yang sering mencemari daging adalah E. coli,
Salmonella sp. dan Staphylococcus sp. (Rabiulfa et al., 2021). Kontaminasi mikroba
pada daging sapi dapat berasal dari peternakan dan rumah potong hewan yang tidak
higienis, begitu juga sumber air dan lingkungan tempat diolahnya daging tersebut.
Selain itu, proses penyajian daging di pasar yang kurang memperhatikan aspek sanitasi
dan higiene, disimpan dalam suhu kamar (tidak pada suhu dingin), dan akibat dari suhu
penyimpanan ini akan berdampak pada perkembangan bakteri secara cepat (Suardana
dan Swacita, 2009). Salah uji yang dapat dilakukan untuk mengetahui cemaran mikroba
dengan menghitung ALTB. Indikator kontaminasi awal pada daging sapi segar salah
satunya dapat dilihat dari jumlah ALTB, karena bakteri tersebut terdapat secara alami
pada daging sapi segar dan dapat menimbulkan penyakit apabila keberadaannya berada
di atas ambang batas yang diperbolehkan (Kuntoro et al., 2012).
2.2 Pengujian Kualitas Susu
2.2.1 Susu
Susu adalah suatu sekresi kelenjar dari ternak yang sedang laktasi, yang diperoleh
dari pemerahan secara sempurna (tidak termasuk kolostrum), dengan tanpa penambahan
atau pengurangan suatu komponen (Suardana dan Swacita, 2009). Susu segar dan susu
murni memiliki definisi yang berbeda, yaitu susu murni adalah cairan yang berasal dari
ambing hewan yang sehat dan bersih, yang diperoleh dengan cara pemerahan yang
benar, yang kandungan alaminya tidak dikurangi atau ditambahkan sesuatu apapun dan
belum mendapatkan perlakuan apapun, sedangkan susu segar adalah susu murni yang
tidak mendapat perlakuan apapun kecuali proses pendinginan tanpa mempengaruhi
kemurniannya.
Direktorat Jendral Peternakkan menetapkan persyaratan kualitas susu secara
umum yang boleh beredar dipasaran dalam keputusan No. 17/Kpts/DJP/Deptan/1983
tentang syarat-syarat, tata cara pengawasan dan pemeriksaan kualitas susu produksi
dalam negeri (Suardana dan Swacita, 2009) . Adapun persyaratan kualitas susu yang
ditetapkan antara lain :
Tabel 2.1 Persyaratan kualitas susu secara umum yang boleh beredar dipasaran
dalam keputusan No. 17/Kpts/DJP/Deptan/1983 (Suardana dan Swacita, 2009)

Karakteristik Syarat
Warna, bau, rasa, dan Kekentalan tidak ada perubahan
Berat jenis (pada suhu 27,5oC) 1.028
Kadar lemak minimum 2,8%
Derajat keasaman 6,5 – 7
Derajat asam 4,5 – 7 oSH
Kadar bahan kering tanpa lemak minimum 8,0%
Uji alkohol 70% Negative
Uji didih Negative
Uji katalase maksimum 3ml
Angka reduktase 2 - 5 jam
Cemaran mikroba maksimum 1X10oCFU/ml
Uji Pemalsuan Negatif

2.2.2 Pemeriksaan Susu


Menurut Ressang dan Nasution (1982), penelitian terhadap kualitas susu dapat
dilakukan berdasarkan keadaan dan susunan susu. Pemeriksaan susu untuk melihat
keadaannya dapat dilakukan dengan uji organoleptik yaitu pengujian warna, bau, rasa,
dan kekentalan. Selain itu pengujian juga dilakukan terhadap uji kebersihan, uji didih,
uji alkohol, uji tingkat keasaman (pH), dan uji reduktase dan menetapkan berat jenis
(BJ) dan uji CMT. Uji-uji tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kualitas
susu.
2.2.3 Pemeriksaan Subjektif Susu
2.2.4.1 Uji Warna
Warna susu dapat berubah dari satu warna kewarna yang lain tergantung
dari bangsa ternak, jenis pakan, jumlah lemak, bahan padat, dan bahan
pembentuk warna. Warna susu berkisar dari putih kebiruan hingga kuning
keemasan. Warna putih dari susu merupakan hasil dispersi dari refleksi cahaya
oleh globula lemak dan partikel koloidal dari casein dan calsium phosphat.
Warna kuning adalah karena lemak dan caroten yang dapat larut. Bila lemak
diambil dari susu maka susu akan menunjukkan warna kebiruan (Saleh, 2004).
2.2.4.2 Uji Bau dan Rasa
Susu segar memiliki rasa sedikit manis dan aroma khas. Rasa manis dalam
susu dikarenakan adanya gula laktosa didalam susu, meskipun sering dirasakan
adanya sedikit rasa asin yang disebabkan oleh klorida. Bau khas susu disebabkan
oleh beberapa senyawa yang mempunyai aroma spesifik dan sebagian bersifat
volatile. Bau dan rasa mudah dipengaruhi oleh sapi itu sendiri, pakan, bau
sekelilingnya, dekomposisi kandungan susu, material asing, dan perubahan
reaksi kimia (Suardana dan Swacita, 2009)
2.2.4.3 Uji Kekentalan
Susu yang baik memiliki konsistensi yang normal, tidak encer, tetapi juga
tidak pekat, dan tidak ada pemisahan bentuk apapun. Susu yang agak berlendir,
bergumpal-gumpal menunjukkan susu sudah busuk (Suardana dan Swacita,
2009).
2.2.4 Pemeriksaan Objektif Susu
2.2.4.1 Uji Kebersihan
Kebersihan susu dapat diamati dengan mata, mikroskop, atau
menggunakan kaca pembesar. Pengamatan dengan mata untuk mengetahui
adanya kotoran atau benda asing terutama benda mengambang seperti insekta,
rumput, dan lain sebagainya. Uji kebersihan dapat dilakukan dengan menyaring
susu dengan kapas, endapan yang tertinggal pada kapas tersebut dapat
dilanjutkan dengan mikroskopis. Kotoran yang sering ada pada susu biasanya
berupa dedak, ampas kelapa, kotoran kandang, bulu, pasir, dan lain sebagainya.
Susu yang baik harus tidak mengandung benda asing baik yang mengambang,
melayang, maupun
mengendap. Penentuan kebersihan atau derajat kebersihan dilihat sebagai :
bersih
sekali, bersih, sedang, kotor, dan kotor sekali dan biasanya ditentukan dengan
menggunakan angka (Suardana dan Swacita, 2009).
2.2.4.2 Uji Didih
Susu segar yang berkualitas tidak akan pecah (menggumpal) bila
dipanaskan atau didihkan pada waktu tertentu. Sebaliknya, susu akan menjadi
asam dan muda pecah bila dipanaskan apabila susu telah banyak ditumbuhi
mikroba.
2.2.4.3 Uji Alkohol
Susu segar yang berkualitas tidak akan pecah bila dipanaskan atau
didihkan pada waktu tertentu.
2.2.4.4 Uji Tingkat Keasaman (pH)
Variasi keasaman susu murni dipengaruhi oleh tingkat laktasi, komposisi
susu, mastitis dan kelenjar susu pada beberapa hewan (Suardana dan Swacita,
2009). Keasaman susu dapat disebabkan oleh berbagai senyawa yang bersifat
asam seperti senyawa-senyawa pospat komplek, asam sitrat, asam-asam amino,
dan karbondioksida yang larut dalam susu. Bila nilai pH susu lebih tinggi dari
6,7 biasanya diartikan terkena mastitis dan bila pH dibawah 6,5 menunjukkan
adanya kolostrum ataupun pembusukan bakteri (Saleh, 2004).
2.2.4.5 Uji Reduktase
Enzim reduktase di dalam susu dibentuk oleh kuman - kuman, yang dapat
mereduksi zat warna biru metilen menjadi tidak berwarna, semakin cepat biru
metilen hilang, menujukkan susu tersebut semakin banyak mengandung kuman.
Menurut SK Dirjenak No.17/Kpts/DJP/Deptan/1983, susu yang baik waktu 20
reduktasenya berkisar antara 2 - 5 jam, dengan perkiraan jumlah kuman antara 1
juta - 4,2 juta/ml.
2.2.4.6 Menetapkan Berat Jenis (BJ)
Berat jenis susu dipengaruhi oleh senyawa yang terlarut di dalamnya
(Adnan, 1984). Berat jenis masing-masing senyawa yang menyusun susu adalah
sebagai berikut : lemak 0,93, laktosa 1,66, protein 1,346, kasein 1,310, dan total
garam - garam anorganik 4,120. Susu yang disimpan makin lama berat jenisnya
makin rendah, hal ini disebabkan karena terbentuknya gas-gas, terutama gas
karbon dioksida, yang pada umumnya akibat dari aktifitas bakteri yang terdapat
di dalam susu tersebut. Berat jenis susu segar pada temperatur 27,5°C minimal
1,028 (Jennes dan Patton, 1995)
2.2.4.7 Uji CMT
California Mastitis Test (CMT) merupakan salah satu metode
diagnosa mastitis subklinis yang sampai saat ini dianggap sederhana dan cepat
yaitu metode dengan menggunakan alat yang disebut paddle dan
menggunakan reagen IPB-1 untuk mengetahui tingkat keparahan mastitis
subklinis yang dialami (Pradlee, et al,. 2011)
2.3 Pengujian Kualitas Telur
2.3.1 Telur
Telur merupakan produk peternakan yang memberikan sumbangan besar bagi
tercapainya kecukupan gizi masyarakat. Di masyarakat telur dapat disiapkan dalam
berbagai bentuk olahan, harganya relatif murah jika dibandingkan dengan sumber
protein hewani lainnya, sangat mudah diperoleh dan selalu tersedia setiap saat.
(Indrawan, 2012). Bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya pendapatan
ekonomi serta kesadaran masyarakat tentang pentingnya gizi, maka kebutuhan
masyarakat terhadap telur terus meningkat. Jenis telur yang paling banyak dikonsumsi
adalah telur ayam terutama telur ayam ras, telur itik (bebek) dan telur puyuh (Sarwono,
2001).
Telur merupakan bahan pangan dengan struktur fisik yang khas, dan tersusun atas 3
bagian yaitu kulit, kantung udara, dan isi yang terdiri dari putih telur dan kuning telur.
Komposisi telur secara fisik terdiri dari 10 % kerabang (kulit telur/cangkang), 60%
putih telur, dan 30% kuning telur. Terdapat 4 lapisan putih telur, yaitu bagian luar
cairan (lapisan tipis), bagian viscous cairan (lapisan tebal), bagian dalam cairan (lapisan
tipis), dan bagian lapisan kecil padat mengelilingi membrane vitelin kuning telur disebut
chalaza untuk mempertahankan posisi yolk (Sarwono, 2001).
Cara pemeliharaan sangat berpengaruh terhadap telur yang dihasilkan, dimana
pemeliharaan yang tanpa biosekuriti dapat mempengaruhi kualitas telur yang dihasilkan
baik bagian eksterior maupun interior dari telur. Namun demikian, telur yang
dikonsumsi hendaknya memenuhi kriteria layak konsumsi yang diantaranya mencakup
kualitas fisik, dan organoleptik. Telur yang sampai ke konsumen akhir biasanya
terdistribusi melalui beberapa rantai tataniaga mulai dari produsen, distributor,
pedagang pengumpul, dan pedagang pengecer (Suharyanto 2007b). Oleh karenanya
telur yang sampai ke konsumen sudah tidak baru lagi. Menurut Suharyanto (2007b)
bahwa rata-rata telur yang berada pada pedagang pengecer sudah berumur lebih dari 7
hari.
Berdasarkan hal di atas maka penting untuk mengevaluasi kualitas fisik, atas telur
yang dikonsumsi di masyarakat dengan studi kasus pada telur yang beredar di sekitar
Kota Denpasar, Bali
2.3.2 Pemeriksaan Mutu Telur
Tabel 1. Tingkatan Mutu Fisik Telur
No Faktor Mutu Tingkatan Mutu
Mutu I Mutu II Mutu III
1. Kerabang (kulit)
a. Keutuhan Utuh Utuh Utuh
b. Bentuk Normal Normal Boleh abnormal
c. Kelicinan Licin (halus) Ada bagian Kasar
kasar
d. Kebersihan Bersih, bebas Bersih bebas Bersih bebas
kotoran kotoran, boleh kotoran, boleh ada
ada noda noda
2. Kantong Udara
a. Kedalaman <0,5 cm 0,5-0,9 cm >0,9 cm
b. Kebebasan Tetap ditempat Bebas bergerak Bebas bergerak dan
bergerak ada gelembung
udara
3. Keadaan putih telur
a. Kebersihan Bebas bercak Bebas bercak Ada bercak darah,
darah atau benda darah atau benda tidak ada benda
asing asing asing
b. Kekentalan Kental Sedikit encer Encer, kuning telur
belum tercampur
dgn putih telur
c.IPT 0,134-0,175 0,092-0,133 0,050-0,091
4. Keadaan kuning telur
a. Bentuk Bulat Agak pipih Pipih
b. Posisi Di tengah Sedikit bergeser Agak kepinggir
dari tengah
c. Penampakan Tidak jelas Agak jelas Jelas
batas
d. Kebersihan Bersih Bersih Bersih
e. IKT 0,458-0,521 0,394-0,457 0,330-0,393
5. Bau Khas Khas Khas

2.4 Penilaian Kualitas Limbah Rumah Pemotongan Hewan


2.4.1 Limbah RPH
Rumah Pemotongan Hewan (RPH) adalah suatu bangunan atau kompleks bangunan
dengan desain tertentu yang digunakan sebagai tempat pemotongan hewan selain
unggas bagi konsumsi masyarakat umum (Peraturan Menteri Pertanian Republik
Indonesia, 2010). Lokasi RPH harus memenuhi persyaratan, yaitu tidak menimbulkan
gangguan dan pencemaran lingkungan, mempunyai akses air bersih yang cukup untuk
pelaksanaan pemotongan hewan, dan kegiatan pembersihan serta disinfeksi. Setiap
kabupaten/kota harus mempunyai RPH yang memenuhi persyaratan teknis yang
ditetapkan oleh menteri pertanian. Untuk menyediakan daging yang Aman, Sehat, Utuh,
dan Halal (ASUH), RPH harus memenuhi persyaratan teknis yang meliputi fisik
(bangunan dan peralatan), sumber daya manusia, dan prosedur teknis pelaksanaannya
(Lubis et al., 2018).
Dalam proses produksi daging hewan di RPH tentunya akan menghasilkan limbah
sisa produksi. Limbah dari hasil produksi di RPH merupakan limbah organik yang
terdiri dari air, darah, sisa-sisa organ pencernaan, dan lainnya. Sesuai dengan pendapat
Budiyono et al,. (2011) yang menyatakan bahwa air limbah RPH adalah limbah organic
biodegradable yang terdiri atas darah, sisa-sisa pencernaan, urin, dan pencemar lainnya
yang dihasilkan dari proses pencucian. Air limbah RPH sebagian besar dihasilkan dari
air pembersihan ruang pemotongan, air pencucian saluran pencernaan, dan air
pembersih kandang hewan dengan tingkat pencemaran terbesar dari darah (Padmono,
2005). Dampak negatif dari limbah adalah proses pembuangan dan pembersihannya
memerlukan biaya serta efeknya dapat mencemari lingkungan.
Air limbah RPH jika mencemari lingkungan sekitar dapat menjadi media
pertumbuhan mikroba sehingga menyebabkan terjadinya pemanfaatan oksigen terlarut
didalam air. Pemanfaatan oksigen terlarut yang berlebihan dapat mengakibatkan
terjadinya degradasi kualitas air. Selain itu, aktivitas mikroba dalam proses pembusukan
limbah organik di dalam air mengakibatkan terjadinya peningkatan konsentrasi
Biological Oxygen Demand (BOD), Chemical Demand (COD), amonia (NH3),
hidrogen sulfida (H2S), perubahan pH, dan menimbulkan bau busuk seperti bau urea
serta belerang (Widya et al., 2008). Proses pembusukannya di dalam air menimbulkan
aroma tidak sedap yang dapat mengakibatkan gangguan pada saluran pernapasan
manusia yang ditandai dengan reaksi fisiologis tubuh berupa rasa mual dan kehilangan
selera makan. Selain menimbulkan gas beraroma busuk, penggunaan oksigen terlarut
yang berlebihan oleh mikroba dapat mengakibatkan kekurangan oksigen bagi biota air.
Karakteristik parameter limbah cair RPH memiliki kandungan amonia yang cukup
tinggi (Farahdiba et al., 2019). Pengelolaan limbah RPH perlu perhatian khusus dalam
penanganannya, hal ini berakaitan erat dengan pencemaran lingkungan disekitar RPH.
Selain itu, limbah RPH sangat mudah menjadi media pertumbuhan mikroba dan dapat
menularkan penyakit bagi warga sekitar. Roihatin dan Rizqi (2010).menyatakan bahwa
apabila limbah tidak dilakukan pengelolaan dan/atau pengelolaan pada limbah RPH,
maka limbah tersebut menjadi media pertumbuhan dan perkembangan mikroba
sehingga limbah mengalami pembusukan. Limbah RPH berupa feses, urin, isi rumen
atau isi lambung, darah afkiran daging atau lemak, dan air cuciannya. Limbah yang
dihasilkan industri RPH ada dua jenis, yaitu limbah padat (bulu, isi rumen, dan kotoran
hewan) dan limbah cair (bekas pencucian hewan yang bercampur dengan darah dan
lemak) (Al Kholif, 2015).
2.4.2 Parameter Air Limbah RPH
a. Parameter Suhu
Suhu limbah cair dipengaruhi oleh iklim dan cuaca setempat, suhu pada air akan
dipengaruhi oleh panas sinar matahari yang masuk kedalam perairan dan
disebarkan dari permukaan sampai kedasar (Syafriadiman et al., 2005). Selanjutnya
Effendi (2003) menyatakan cahaya matahari yang masuk ke perairan akan
mengalami penyerapan dan perubahan menjadi energi panas. Secara umum kondisi
suhu normal yang berada di RPH dapat mendukung pertumbuhan mikroorganisme
yang ada pada limbah cair RPH. Suhu optimum untuk perkembangan
mikroorganisme adalah 32 – 36°C (Salmin, 2005). Selain itu, jika limbah dibuang
keperairan tidak akan menggangu kehidupan organisme perairan. Menurut
Hutabarat dan Evans (1985) yang menyatakan bahwa kisaran suhu optimum bagi
kehidupan organisme perairan adalah 25 – 32°C. Sedangkan Barus (2002)
menyatakan suhu air yang baik dalam perairan untuk kehidupan ikan yaitu berkisar
23 – 32°C.
b. Parameter pH
Nilai pH berkaitan erat dengan konsentrasi CO2 dalam limbah cair. Dengan
demikian, peningkatan nilai pH yang diolah dengan proses biofilter anaerob dan
aerob pada reaktor bermedia maupun tanpa media selam lima minggu pengujian
disebabkan adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam pemnfaatan CO2.
Pemanfaatan CO2 oleh bakteri akan dapat meningkatkan nilai pH.. Bakteri akan
tumbuh dengan baik pada kondisi pH sedikit basa yaitu berkisar antara 7 – 8
(Herlambang ,2002).
c. Parameter CO2
Nilai CO2 disebabkan karena adanya aktivitas bakteri yang memanfaatkan CO2
dalam pembentukan gas metan. Bakteri metanogenik memerlukan asam asetat,
Karbondioksida (CO2) dan ion hidrogen (H2) dalam pembentukan gas metana
(CH4)( Balch et al., dalam Husin, 2008). Menurunnya nilai CO2 disebabkan
adanya penambahan aerasi pada reaktor bermedia dan tanpa media untuk
meningkatkan O2. Menurut Ginting (2007), meningkatnya O2 dalam air limbah
akan menurunkan CO2. Nilai CO2 setelah melalui proses aerob baik pada outlet
reaktor bermedia maupun tanpa media telah mampu mendukung kehidupan ikan.
Asmawi (1986), menyatakan bahwa kandungan CO2 didalam perairan tidak boleh
lebih dari 12 mg/l dan kurang dari 2 mg/l. Selanjutnya Sastrawidjaya (2000),
menyatakan Kandungan CO2 bebas sebesar 12 mg/l telah menyebabkan stress pada
ikan, pada kadar 30 mg/l beberapa jenis ikan akan mati dan pada 100 mg/l hampir
semua organisme akan mati.
d. Parameter BOD
Biochemical Oxygen Demand (BOD) adalah jumlah oksigen terlarut yang
diperlukan oleh mikroorganisme untuk mendekomposisi bahan organik dalam
kondisi aerobik (Santoso, 2018). Uji BOD penting untuk dilakukan guna
mengetahui perkiraan jumlah oksigen yang akan diperlukan untuk menstabilkan
bahan organik yang ada secara biologi. Selain itu, hal ini juga dapat digunakan
untuk mengetahui ukuran fasilitas unit pengolahan limbah. Tingginya nilai BOD
akan mengakibatkan menurunnya kandungan oksigen terlarut (DO) dari limbah
sehingga kandungan senyawa organik yang dihasilkan tinggi dan mengakibatkan
terjadinya peningkatan nilai zat padat tersuspensi (Pamungkas, 2016). Nilai BOD
tidak menunjukkan jumlah bahan organik yang sebenarnya, melainkan hanya
mengukur jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mendekomposisi bahan organik
tersebut (Wulandari, 2018).
e. Parameter COD
Chemical Oxygen Demand (COD) adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk
mengoksidasi bahan organik yang ada di dalam air secara kimiawi (Lumaela et al.,
2013). Kadar COD pada suatu air limbah harus memenuhi baku mutu yang telah
ditentukan. Baku mutu adalah batas atau kadar makhluk hidup, zat atau energi atau
komponen lain yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemaran yang
ditenggang adanya sesuai dengan peruntukannya (Andika et al., 2020). Hal ini
dikarenakan bahan organik diurai secara kimia menggunakan oksidator kuat dalam
kondisi asam dan panas dengan katalisator perak sulfat (Atima, 2015). Tingginya
nilai COD disebabkan adanya penurunan bahan organik maupun anorganik dari
limbah industri yang dihasilkan. Tingginya kandungan COD di dalam air limbah
mengakibatkan sedikitnya kandungan oksigen dalam limbah, sehingga biota air
tidak akan hidup di dalam air limbah tersebut (Mulyaningsih, 2013). Tingginya
kadar COD mengindikasikan tingginya derajat pencemaran pada air tersebut.
f. Total Bakteri (TPC)
Mikroba merupakan salah satu faktor kunci yang ikut menentukan berhasil
tidaknya suatu proses penanganan limbah cair organic secara biologi.
Keberadaanya sangat diperlukan untuk berbagai tahapan dalam perombakan bahan
organik. Marchaim (1992) menyatakan bahwa efektifitas biodegradasi limbah
organik menjadi metana membutuhkan aktifitas metabolik yang terkoordinasi dari
populasi mikrobia yang berbeda- beda. Populasi mikroba dalam jumlah dan kondisi
fisiologis yang siap diinokulasikan pada media fermentasi disebut sebagai starter.
Bakteri, suatu grup prokariotik, adalah organisme yang mendapat perhatian utama
baik dalam air maupun dalam penanganan air limbah (Jenie dan Winiati, 1993).
Jadi, dalam proses anaerobik, mikrobia yang digunakan berasal dari golongan
bakteri. Bakteri yang bersifat fakultatif anaerob yaitu bakteri yang mampu
berfungsi dalam kondisi aerobik maupun anaerobik. Bakteri-bakteri tersebut
dominan dalam proses penanganan limbah cair baik secara aerobik ataupun
anaerobik. Marchaim (1992) menyatakan bahwa digesti atau pencernaan bahan
organik yang efektif membutuhkan kombinasi metabolisme dari berbagai jenis
bakteri anaerobik.
g. Amonia (NH3)
Amonia (NH3) biasanya mucul sebagai akibat dari pembusukan jaringan tanaman
dan dekomposisi kotoran hewan. Amonia kaya akan nitrogen dan merupakan bahan
pupuk yang baik. Adanya amonia di dalam air erat hubungannya dengan siklus
pada N (nitrogen) di alam ini. Disamping itu adanya amonia dalam air limbah dapat
menjadi indikasi adanya pencemaran senyawa organik yang mengandung nitrogen.
Amonia merupakan suatu zat yang menimbulkan bau yang sangat tajam sehingga
kehadiran bahan ini dalam air menyangkut perubahan fisik dari air tersebut yang
akan mempengaruhi ekosistem di badan air.
2.4.3 Pengolahan Limbah Ternak RPH
Limbah cair RPH adalah seluruh air limbah yang dihasilkan oleh kegiatan rumah
pemotongan hewan, yaitu air yang berasal dari pemotongan, pembersihan lantai tempat
pemotongan, pembersihan lantai kandang penampungan, pembersihan kandang isolasi,
dan pembersihan isi perut serta air sisa rendaman (Manendar, 2010). Limbah cair rumah
pemotongan hewan memiliki konsentrasi zat organik yang relatif tinggi sehingga
termasuk dalam kategori limbah industri. Limbah organik yang dihasilkan dari RPH
berupa darah, sisa lemak, tinja, isi rumen, dan usus dengan kandungan protein, lemak,
dan karbohidrat yang cukup tinggi. Di indonesia sistem pengolahan air limbah termasuk
limbah RPH sudah berkembang dan telah banyak mengadopsi caracara yang lebih
efisien serta cepat. Menurut Kusnoputranto (1983), pengolahan air limbah termasuk air
limbah RPH dapat menggunakan cara sebagai berikut.
 Pengenceran (Dilution)
Pengenceran (dilution) air buangan dilakukan dengan menggunakan air jernih
untuk mengencerkan sehingga konsentrasi polutan pada air limbah menjadi cukup
rendah untuk bisa dibuang ke badan-badan air. Pada keadaan tertentu, pengenceran
didahului dengan proses pengendapan dan penyaringan. Kekurangan yang perlu
diperhatikan dalam cara ini adalah penggunaaan jumlah air yang banyak,
kontaminasi pada badan-badan air, dan pendangkalan saluran air akibat adanya
pengendapan.
 Irigasi Luas
Irigasi luas umumnya digunakan di daerah luar kota atau pedesaan, hal ini karena
memerlukan tanah yang cukup luas yang jauh dari pemukiman penduduk. Air
limbah dialirkan ke dalam parit terbuka yang digali dan merembes masuk ke dalam
tanah permukaan melalui dasar dan dinding parit tersebut. Air limbah RPH yang
banyak mengandung amonia atau bahan pupuk dapat dialirkan ke lahan pertanian
karena berfungsi untuk pemupukan.
 Kolam Oksidasi (Oxidation ponds/waste stabilization ponds lagoon)
Kolam oksidasi memerlukan sinar matahari, ganggang, bakteri, dan oksigen. Butir
chlorophylnya pada ganggang di air buangan mampu memfotosintesis dengan
bantuan sinar matahari sehingga menjadi subur. Proses fotosintesis tersebut
menghasilkan oksigen yang akan digunakan bakteri aerobik untuk proses
dekomposisi zat-zat organik pada air buangan. Selain itu terjadi penguraian dan
flokulasi zat-zat padat menjadi endapan. Hal ini dapat menjadikan kadar BOD dan
TSS pada air buangan akan berkurang dan sampai pada tingkat keamanan air
limbah bila akan dibuang.
 Instalasi pengolahan primer dan sekunder (Primary and secondary treatment plant)
Pengolahan primer merupakan pengolahan limbah yang dilakukan untuk
memisahkan kerikil, lumpur, dan penghilangan zat padat yang terapung (Sugiharto,
1987). Setelah pengolahan primer selesai maka dilanjutkan dengan pengolahan
sekunder, dimana meliputi proses biologis untuk mengurangi BOD di dalam air.
Instalasi ini biasanya merupakan fasilitas lengkap pengolahan air limbah yang besar
bagi sebuah kawasan pemukiman kota dan industri yang menghasilkan air limbah.
2.5 Koasistensi di Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Badung
2.5.1 Profil Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Badung
Dinas Pertanian Kabupaten Badung mempunyai tugas pokok membantu Bupati
Badung dalam melaksanakan urusan pemerintahan di bidang pertanian yang menjadi
kewenangan daerah dan juga bertugas dalam pembantuan yang diberikan kepada
daerah. Visi dari Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Badung adalah memantapkan
arah pembangunan kabupaten Badung berdasarkan Tri Hita Karana menuju
masyarakat yang maju, damai dan sejahtera. Kebijakan dan program yang akan
dilaksanakan oleh Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Badung pada tahun 2016 -
2021 adalah sebagai berikut.
1) Meningkatkan produksi dan produktivitas pertanian dalam arti luas untuk
mencapai swasembada pangan melalui pengembangan pertanian kontemporer.
 Kebijakan: Meningkatkan mutu intensifikasi, teknologi dan inovasi,
perbaikan sarana infrastruktur, efisiensi dan efektivitas pemanfaatan sumber
daya alam dan pemberdayaan sumber daya manusia di bidang pertanian,
perkebunan dan peternakan.
 Program: Peningkatan Ketahanan Pangan, Peningkatan Kesejahteraan Petani,
Peningkatan Produksi Pertanian/Perkebunan, Pengembangan Agribisnis,
Pemberdayaan Penyuluh Pertanian/Perkebunan Lapangan, Peningkatan
Pemasaran Hasil Produksi Pertanian/Perkebunan.
2) Meningkatkan Pelestarian Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Secara
Berkesinambungan.
 Kebijakan: Peningkatan kualitas penutupan lahan berbasis partisipasif,
perlindungan jurang, konservasi Daerah Aliran Sungai (DAS), serta
pengawasan dan pengamanan hutan lindung.
 Program: Pemanfaatan Potensi Sumber Daya Hutan, Rehabilitasi Hutan dan
Lahan, Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Hutan, Pembinaan dan
Penertiban Industri Hasil Hutan.
Program kerja Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Badung mewujudkan tata
kelola pemerintahan yang bersih, baik dan akuntabel (clean, good and accountable
governance), diperlukan kemauan dan komitmen yang kuat dari seluruh pemangku
kepentingan guna mencapai tujuan dan sasaran pembangunan yang telah disepakati,
demikian juga dengan pembangunan di bidang Pertanian dan Pangan.Komitmen untuk
mencapai tujuan dan sasaran yang telah disepakati tersebut, harus bersinergi dan
terintegrasi sesuai peraturan dan mekanisme yang ada dimana hasilnya dituangkan ke
dalam sebuah perencanaan pembangunan yang matang dan terarah berdasarkan
serapan aspirasi masyarakat bawah (bottom up) melalui mekanisme musrenbang mulai
dari Desa hingga Kecamatan yang diselenggarakan setiap tahun.
Dalam pembangunan di sektor peternakan, perikanan dan kelautan memerlukan
berbagai upaya terobosan dan kebijakan yang berpihak kepada produk dalam negeri
dan kepentingan masyarakat banyak serta diimbangi perencanaan strategik yang tepat,
dengan bertumpu pada 4 (empat) pilar pembangunan nasional yaitu pro growth
strategy (pertumbuhan ekonomi); pro job strategy (penyerapan tenaga kerja), pro poor
strategy (pengentasan kemiskinan) dan pro-environment (pembangunan yang
berkelanjutan). Pencapaian keempat aspek tersebut dapat diwujudkan dengan
pengembangan pembangunan di sektor peternakan dan perikanan dari tingkat hulu
sampai ke hilir dan dari skala kecil (rumah tangga) sampai ke skala produksi massal
(industri), melalui peningkatan akselerasi pembangunan peternakan, perikanan dan
kelautan, peningkatan intensitas produksi dan peningkatan nilai tambah produk-produk
peternakan dan perikanan.
2.5.2 Struktur Organisasi
Struktur Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Badung Berdasarkan Peraturan
Daerah Kabupaten Badung Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pembentukan, Organisasi
dan Tata Kerja Perangkat Daerah Kabupaten Badung yang merupakan penggabungan
dua dinas yaitu Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Badung dengan Dinas
Perhutanan dan Perkebunan Kabupaten Badung. Adapun susunan organisasi dari
Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Badung terdiri dari Kepala Dinas, Sekretariat,
Bidang Prasarana dan Sarana Pertanian, Bidang Tanaman Pangan dan Hortikultura,
Bidang Perkebunan, Bidang Produksi Peternakan, Bidang Kesehatan Hewan, Bidang
Pangan dan Penyuluhan, Unit Pelaksana Teknis di enam Kecamatan, dan Kelompok
Jabatan Fungsional (Gambar 2.5.2).
Gambar 2. 5. 2 Struktur Organisasi Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Badung
Sumber: Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Badung.

2.5.3 Wilayah Kerja


Secara administratif, Kabupaten dengan Ibu Kota Mangupura ini terdiri dari 6
kecamatan yang terbentang dari utara ke selatan, yaitu Kecamatan Abiansemal,
Kecamatan Mengwi, Kecamatan Petang, Kecamatan Kuta, Kecamatan Kuta Utara, dan
Kecamatan Kuta Selatan (Prabandari et al., 2017) yang mencakup 16 kelurahan dan 46
desa.
Gambar 2.2 Peta Wilayah Administratif Kabupaten Badung
Sumber: Pemerintah Kabupaten Badung
Secara fisik wilayah Kabupaten Badung mempunyai bentuk unik menyerupai
sebilah keris yang kemudian bentuk ini diangkat menjadi lambang Daerah Kabupaten
Badung. Dalam lambang keris terkandung semangat jiwa ksatria yang sangat erat
hubungannnya dengan perjalanan historis Kabupaten Badung yaitu Peristiwa Puputan
Badung. Ibu Kota Kabupaten Badung adalah Mangupura yang ditetapkan pada tanggal
16 November 2009 berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 67
tahun 2009. Pusat Pemerintahan Kabupaten Badung yang meliputi kantor Bupati,
kantor DPRD, kantor dinas, gedung kesenian, dan perpustakaan kini berlokasi di Pusat
Pemerintahan (Puspem) Mangupraja Mandala Kabupaten Badung di Mangupura.
2.5.4 Bidang Kesehatan Hewan
Bidang Kesehatan Hewan merupakan salah satu bidang yang ada di bawah Dinas
Pertanian dan Pangan Kabupaten Badung. Bidang ini dipimpin oleh seorang Kepala
Bidang yang menaungi 4 seksi, yakni Seksi Pengamatan dan Penyidikan Penyakit
Hewan, Seksi Pelayanan Kesehatan Hewan, dan Seksi Kesehatan Masyarakat
Veteriner. Dimana masing-masing seksi ini dipimpin oleh seorang kepala seksi.
Bidang Kesehatan Hewan memiliki peran yang penting terutama dalam menjaga
kesehatan masyarakat veteriner. Dimana pada bidang ini terdapat program-program
yang membantu dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit hewan menular
strategis yang merupakan golongan penyakit yang sangat merugikan di berbagai
sektor. Salah satu program yang dijalankan adalah program vaksinasi rabies,
pemeriksaan ante-mortem dan post mortem pada hewan qurban, serta pengamatan dan
penanggulangan penyakit hewan menular strategis.
Penyakit hewan menular strategis yang merupakan golongan penyakit yang
sangat merugikan di berbagai sektor. Salah satu program yang dijalankan adalah
program vaksinasi rabies, pemeriksaan ante-mortem dan post mortem pada hewan
qurban, serta pengamatan dan penanggulangan penyakit hewan menular strategis.
Bidang Kesehatan Hewan memiliki tugas sebagai berikut.

1) Menyusun rencana kegiatan di bidang tugasnya berdasarkan rencana dan


kebutuhan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas dinas sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2) Mengkoordinir para Kepala Seksi dalam merumuskan program dan sistem kerja
operasional bidang tugasnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
3) Melakukan koordinasi yang diperlukan dengan bidang lainnya dalam hal
kenyamanan dan keterpaduan tugas untuk kelancaran pelaksanaan tugas sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4) Menyusun langkah teknis operasional di bidang tugasnya sesuai dengan
kebutuhan dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk
menunjang kelancaran pelaksanaan tugas.
5) Membagi tugas kepada bawahan sesuai dengan bidang tugasnya untuk
dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
6) Memberi bimbingan dan petunjuk kepada bawahan di bidang tugasnya agar
tercapai keserasian dan kebenaran tugas sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
7) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas bawahan agar sesuai dengan
rencana kerja dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
8) Melakukan penilaian terhadap pelaksanaan tugas bawahan sesuai dengan hasil
yang dicapai dengan mencocokkan terhadap petunjuk dan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku sebagai bahan pertimbangan dalam menilai
peningkatan karier bawahan.
9) Menyusun rencana makro kehutanan dan program-program kegiatan anggaran.
10) Mengkaji dan menyusun pengembangan sumber daya hutan, pengelolaan hutan
dan pedoman teknis kehutanan, melaksanakan kegiatan penataan dan
pengukuran kavling hutan, rehabilitasi lahan konservasi tanah di daerah DAS.
11) Reboisasi dan reklamasi hutan dan lahan, penanganan erosi, sedimentasi dan
produktivitas lahan.
12) Mengkaji dan menyusun rencana kegiatan perlindungan dan pengamanan hutan,
menyusun data dan sistem informasi kegiatan Bidang Kehutanan.
13) Melaksanakan tugas-tugas polisional kehutanan dan kegiatan konservasi alam
flora dan fauna.
14) Melakukan evaluasi terhadap seluruh pelaksanaan kegiatan di bidang tugasnya
untuk bahan perbaikan ke depan yang diperlukan sesuai dengan kebutuhan dan
ketentuan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
15) Melakukan tugas dinas lain yang diberikan oleh atasan.
Membuat laporan terhadap pelaksanaan kegiatan di bidang tugasnya sebagai
bahan informasi dan pertanggungjawaban kepada atasan
2.5.5 Populasi Ternak
Potensi unggulan peternakan kabupaten Badung diantaranya sapi, babi, kuda,
kambing, itik, ayam dan lainnya. Ternak besar yang banyak dibudidayakan adalah sapi
potong. Populasi sapi potong pada tahun 2021 sebanyak 34.141 ekor, setiap tahun ada
peningkatan populasi sebanyak 1-2 persen. Sapi Bali merupakan komoditi peternakan
andalan kabupaten badung. Ternak kecil meliputi Babi populasinya 22.311 ekor,
ternak kambing sebanyak 482, populasi babi mengalami penurunan dibandingkan
dengan tahun 2016-2019. ternak unggas yang banyak di dibudidayakan adalah ayam
ras pedaging dengan populasi pada tahun 2021 sebanyak 1.109.927 dan disusul ayam
petelur dan ayam buras (Badan Pusat Statistik Kabupaten badung 2021). Data populasi
ternak di Kabupaten Badung pada tahun 2016 – 2021 dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2. 1 Data populasi ternak di Kabupaten Badung
Jumlah Kejadian
No. Jenis Hewan
2016 2017 2018 2019 2020 2021
1. Sapi Potong 28.433 28.511 29.874 30.453 32.183 34.141
2. Babi 78.933 70.177 70.356 69.626 14.136 22.311
3. Kambing 955 1.014 1.043 445 414 482
4. Ayam Buras 435.954 507.424 258.552 238.618 238.833 241.059
5. Ayam Petelur 83.850 116.181 132.477 140.626 184.138 374.479
6. Ayam 791.950 611.503 703.962 851.195 834.500 1.109.927
Pedaging
7. Itik 88.810 66.819 57.240 66.562 71.571 63.568
8. Sapi Perah - 0 0 20 20 22
9. Kerbau - 2 0 0 2 2
10. Kuda - 0 49 12 49 49
11. Aneka Ternak - 105.266 75.654 93.493 95.501 96.670
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Badung, 2021.
2.5.6 Penyakit Hewan Menular Strategis
Beberapa penyakit hewan menular strategis dan penyakit yang dapat
mempengaruhi ekonomi di Wilayah Kerja Dinas Pertanian Kabupaten Badung periode
2016-2021 yang disebabkan oleh bakteri, virus dan parasite yang merupakan penyakit
zoonosis. Penyakit pada ternak sering kali menimbulkan ekonomi yang cukup besar
bagi peternak dan masyarakat luas pada umumnya. Banyaknya penyakit ternak yang
dapat menyerang ternak lainnya tetapi juga dapat menular kepada manusia disebut
penyakit zoonosis (Pratama et al., 2020). Menurut Winarsih (2018), Penyakit hewan
ternak dikelompokkan menjadi penyakit menular dan penyakit menular strategis.
Penyakit hewan menular adalah penyakit yang ditularkan antara hewan dan hewan,
hewan dan manusia, serta hewan dan media pembawa penyakit hewan lain melalui
kontak langsung atau tidak langsung dengan media perantara mekanis seperti air,
udara, tanah, pakan, perlatan, dan manusia; atau melalui media perantara biologis
seperti virus, bakteri, amuba atau jamur.
Tabel 2. 2 Data PHMS di Wilayah Kabupaten Badung Tahun 2017-2021
Jumlah Kejadian
No. PHMS
2017 2018 2019 2020 2021
1. Coccidiosis 149 273 120 428 709
2. Helminthiasis 489 910 775 731 1.150
3. Bovine Ephemeral Fever (BEF) 885 1.076 998 1.282 1.600
4. Scabies 2.929 2.529 6.833 5.313 3.385
5. Streptococcus 4.183 2.183 2.508 5.153 2.006
6. Colibacillosis 5.773 8.286 10.533 9.196 4.103
7. Hog Cholera - - - - -
Sumber : Data Dinas Pertanian dan Pangan Bidang Kesehatan Hewan
Tabel 2. 3 Data PMK Kabupaten Badung Tahun 2022
Alamat Pemilik

Komulatif
Bersyarat
Tanggal

Potong
Sakit
No.

Sisa
Desa/
Pelaksanaan Kecamatan
Kelurahan

1 13 Juli 2022 Cemagi Mengwi 1 1 1 0


2 17 Juli 2022 Dalung Kuta Utara 6 6 7 0
3 18 Juli 2022 Darmasaba Abiansemal 2 2 9 0
4 20 Juli 2022 Baha Mengwi 13 13 22 0
5 21 Juli 2022 Sempidi Mengwi 4 4 26 0
6 1 Agustus 2022 Jimbaran Kuta Selatan 2 2 28 0
Sumber : Data Dinas Pertanian dan Pangan Bidang Kesehatan Hewan

Penyakit hewan menular strategis (PHMS) merupakan penyakit hewan yang


berdampak pada kerugian ekonom tinggi karena bersifat menular, menyebar dengan
cepat sehingga angka morbiditas dan mortalitasnya tinggi, atau berpotensi mengancam
kesehatan masyarakat (Primatika et al., 2021). Menurut Adji dan Sani (2015),
penggolongan PHMS didasarkan atas tiga kriteria. Pertama secara ekonomis penyakit
tersebut dapat menganggu produksi dan reproduksi ternak (secara signifikan) dan
mengakibatkan gangguan perdagangan. Kedua, secara politis penyakit ini dapat
menimbulkan keresahan pada masyarakat, umumnya dari kelompok penyakit
zoonosis. Ketiga, secara strategis penyakit ini dapat mengakibatkan mortalitas yang
tinggi, dan penularan relative cepat, sehingga perlu pengaturan lalu lintas ternak atau
produknya secara ketat.
Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 pembentukan istilah PHMS
dapat dilihat dari tiga definisi yang ditentukan Bab I (Ketentuan Umum) pada UU
tersebut yaitu sebagai berikut.
1) Penyakit Hewan adalah ganggguan kesehatan pada hewan yang disebabkan oleh
cacat genetik, proses degeneratif, gangguan metabolisme, trauma, keracunan,
infestasi parasite, prion, dan infeksi mikroorganisme patogen.
2) Penyakit Hewan Menular Strategis adalah penyakit yang ditularkan antara hewan
dan hewan, hewan dan manusia, serta hewan dan media pembawa penyakit hewan
lain melalui kontak langsung dengan media perantara mekanis seperti air, udara,
tanah, pakan, peralatan, dan manusia atau melalui media perantara biologis seperti
virus, bakteri, amuba atau jamur.
3) Penyakit Hewan Menular Stratergis adalah Penyakit Hewan yang dapat
menimbulkan angka kematian dan/atau angka kesakitan yang tinggi pada hewan,
dampak kerugian ekonomi, keresahan masyarakat, dan/atau bersifat zoonosis.

2.6 Pemeriksaan Ante-Mortem dan Post-Mortem di RPH Mambal dan Pesanggaran


Rumah potong hewan (RPH) adalah kompleks bangunan dengan desain dan
konstruksi khusus yang memenuhi persyaratan teknis dan higienis tertentu, yang
digunakan sebagai tempat memotong hewan potong selain unggas bagi konsumsi
masyarakat (Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia, 2010). Terdapat beberapa
dasar hukum dalam mendirikan RPH yaitu:
 Undang-Undang No. 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan
dan Kesehatan Hewan.
 Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1977 tentang Usaha Peternakan.
 Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2000 tentang Karantina Hewan.
 Surat Keputusan Menteri Pertanian No.555/KPTS.240/9/1996 tentang Syarat-Syarat
RPH dan Usaha Pemotongan Hewan
 Surat Keputusan Menteri Pertanian No.557/KPTS.240/9/1986 tentang Syarat-Syarat
RPH dan Usaha Pemotongan Unggas.
Ada beberapa syarat administrasi sebelum mendirikan RPH yaitu:
 Mengajukan surat permohonan dengan meterai cukup yang disertai dengan data:
- Jenis ternak yang dipotong.
- Lokasi RPH.
- Luas tanah dan luas bangunan.
- Status hak tanah. Jika tanah bukan milik pribadi, maka harus menyertakan surat
pernyataan dari pemilik tanah dimana pemilik tanah tidak keberatan tanahnya
digunakan untuk RPH.
- Kapasitas pemotongan.
- Jumlah tenaga kerja.
- Rekomendasi dari Dinas Pertanian, Kehutanan, Perkebunan,dan Peternakan
(atau dinas yang berwenang).
- Fotokopi KTP pemohon.
- Fotokopi IMB.
- Fotokopi izin gangguan (H0)
- Gambar kasar tanah dan bangunan
Adapun Prosedurnya yaitu:
 Pemohon mengajukan permohonan kepada Dinas pertanian, Kehutanan, Perkebunan,
dan peternakan (atau dinas yang berwenang). Petugas dinas melakukan survei lokasi
dan penelitian. Jika petugas menyatakan layak, maka Kepala dinas yang berwenang
mengeluarkan rekomendasi.
 Pemohon mengajukan surat permohonan izin penyelenggaraan RPH yang ditujukan
kepada bupati/wali kota melalui Kepala Dinas Perizinan dengan disertai persyaratan
administrasi dan surat rekomendasi dari Kepala Dinas pertanian, Kehutanan,
Perkebunan, dan Peternakan (atau dinas yang berwenang).
Jika berkas dinyatakan lengkap, pemohon akan mendapatkan surat izin rumah potong
hewan.
 Penyelenggara RPH yang telah memperoleh izin harus menjalankan hak dan
kewajibannya dengan benar sesuai peraturan yang ditetapkan Pemerintah Daerah.
Semua persyaratan tersebut ditujukan agar daging hewan yang dipotong di rumah
potong hewan (RPH) Aman, Sehat, Utuh, dan Halal (ASUH) untuk dikonsumsi
masyarakat.
2.6.1 Pemeriksaan Ante-mortem
Pemeriksaan kesehatan ante-mortem adalah pemeriksaan kesehatan hewan dan
unggas potong sebelum disembelih dengan maksud agar ternak yang akan disembelih
hanyalah ternak sehat, normal dan memenuhi syarat, sebaliknya, ternak yang sakit
sebaiknya tidak dipotong. Adapun tujuan dari pemeriksaan ante-mortem agar daging dan
jeroan yang akan dikonsumsi masyarakat adalah daging yang benar-benar sehat dan
berkualitas (Suardana dan Swacita, 2009). Pemeriksaan antemortem dilakukan agar
mencegah pemotongan hewan yang memiliki gejala klinis penyakit menular/zoonosis,
sebagai informasi untuk pemeriksaan postmortem & penelusuran penyakit dari daerah
asal, mencegah kontaminasi (dari hewan yang sakit ke lingkungan, peralatan, dan dan
petugas), menentukan status hewan (dipotong, ditunda, ditolak, dan dipotong bersyarat),
serta pencegahan pemotongan hewan betina produktif (sapi).
Beberapa abnormalitas yang harus diteliti pada saat pemeriksaan antemortem
yaitu:
a. Abnormal pernafasan
Dilakukan melalui pemeriksaan frekquesi pernafasan/respirasi, juga diamati pola
cara bernafas, yang membedakan antara hewan sehat dan sakit. Bila ada dugaan
ternak sakit harus segera dipisahkan dari ternak yang sehat.
b. Abnormal perilaku
Pengamatan perilaku meliputi gejala antara lain yang mungkin timbul yaitu:
- Ketika berjalan saat keliling menampakkan jalan pincang atau posture ketika
berjalan terlihat abnormal.
- Terlihat pola menekan-nekan kepalanya ke dinding.
Terlihat perilaku sangat agresif.
- Terlihat dungu dan ekspresi mata yang liar.
- Gangguan rasa.
c. Abnormal kepincangan
Abnormal kepincangan sangat berhubungan dengan rasa sakit pada kaki, dada,
abdomen atau indikasi gangguan syaraf.
d. Abnormal bentuk tubuh (posture)
Diamati melalui bentuk abdomen atau pada saat akanberdiri melalui cara ternak
mengangkat kepala atau mengangkat kaki atau ternak mungkin tiduran dengan
kepala terkulai kesisi. Ketika ternak tidak mampu mengangkat tubuhnya bangun
(ambruk/downer) yang harus dilakukan perlu perhatian khusus untuk mencegah
penderitaan berkepanjangan.
e. Abnormal pada susunan tubuh (conformasi)
Abnormal susunan tubuh (conformasi) dapat diartikan sebagai berikut:
- Terlihat bengkak (abses) pada tubuh
- Pembengkakan persendian
- Pembengkakan tali pusar, hernia atau omphalophlebitis
- Pembengkakan ambing karena mastitis
- Pembengkanan rahang
- Pembengakan abdomen (bloated abdomen).
f. Abnormal leleran atau cairan yang keluar dari tubuh ternak
Beberapa contoh abnormal leleran atau yang keluar dari tubuh ternak adalah:
- Leleran hidung, cairan ludah berlebihan dari mulut
- Keluar cairan berlebihan dari vulva
- Adanya penonjolan rectum
- Adanya penonjolan dari vagina
- Adanya penonjolan mata dan diare berdarah.
g. Abnormal warna
Abnormal warna seperti adanya peradangan pada mata, radang pada kulit,
kebiruan pada kulit atau ambing (adanya gangrene). Abnormal warna dapat
menunjukkan status penyakit akut atau kronis.
h. Abnormal bau
Abnormal bau sulit diketahui apabila tidak diamati secara rutin selama
pemeriksaan antemortem. Bau yang berkembang dari abses, atau bau yang berasal
dari pengobatan, dan bau khas dari pakan yang dikonsumsi atau bau acetone pada
kasus ketosis harus dibedakan.
i. Abnormal kebersihan fisik
Abnormal kebersihan fisik diketahui terjadi pada ternak yang posisi ambruk
(downer) atau penderita penyakit kronis.
Pemeriksaan antemortem dilakukan oleh dokter hewan ataupun paramedik yang
telah ditunjuk dibawah pengawasan dokter hewan yang berwewenang. Saat pemeriksaan
antemortem hal-hal yang harus diperiksa adalah:
 Keadaan umum ternak dan penampakan hewan secara umum
 Keadaan bulu, kulit, selaput lendir, dan limfonodus
 Jika terdapat ternak abnormal maka segera dipisahkan, kemudian lakukan
pemeriksaan dikandang jepit
 Amati apakah terdapat gejala klinis penyakit zoonosis
Tabel 2.6.1. Keputusan Akhir Hasil Pemeriksaan Ante-Mortem (Sumber : Direktorat Kesmavet)
Hasil Pemeriksaan Keputusan
 Hewan normal/sehat
1. Diijinkan untuk
 Hewan dengan kelainan terlokasi, sepeti tumor pada mata,
dipotong
pneumonia, dll.
 Hewan lumpu/ambruk karena kecelakaan, tetapi tidak 2. Harus segera
menunjukan gejala penyakit dipotong
 Hewan menderita atau menunjukan gejala sakit (surra, abses, 3. Dipotong dengan
mastitis, arthritis, brucellosis, oedema, septicemia, fractura) pengawasan dokter
hewan
 Hewan penderita gejala sakit yang belum dapat ditentukan 4. Ditunda
penyakitnya (menunggu hasil laboratorium) pemotongannya
 Hewan penderita menunjukan gejala penyakit akut, seperti
5. Dilarang dipotong
antrax, tetanus, malleus

2.6.2 Pemeriksaan Post-mortem


Pemeriksaan kesehatan post-mortem adalah pemeriksaan kesehatan ternak setelah
disembelih. Tujuan dari pemeriksaan post-mortem adalah untuk memberikan jaminan
bahwa karkas, daging, dan jeroan yang dihasilkan aman dan layak dikonsumsi, mencegah
beredarnya bagian/jaringan abnormal yang berasal dari pemotongan hewan sakit,
meberikan informasi untuk penulusuran penyakit di daerah asal ternak (Kartasudjana,
2011). Pemeriksaan post-mortem meliputi inspeksi, palpasi, dan insisi untuk lebih
menegakkan diagnosa dan tindakan kesmavet yang akan dilakukan. Pemeriksaan post-
mortem yang biasa dilakukan di Indonesia menurut Soeparno (1994), antara lain adalah
pemeriksaan karkas pada kelenjar limfe, pemeriksaan kepala pada bagian mulut, lidah,
bibir, dan otot maseter, dan pemeriksaan paru-paru, jantung, ginjal, hati serta limpa. Jika
terdapat kondisi abnormal pada karkas, organ-organ internal atau bagian-bagian karkas
lainnya, maka dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Keputusan hasil pemeriksaan akan
menentukan apakah karkas dan bagian-bagian karkas dapat dikonsumsi, diproses lebih
lanjut atau tidak.
Pemeriksaan kesehatan postmortem dilakukan melalui dua cara, yaitu
pemeriksaan rutin dan pemeriksaan khusus. Pemeriksaan rutin dilakukan dengan
intensitas normal setiap hari meliputi pemeriksaan kesehatan kepala ternak dan kelenjar
getah bening (limfoglandula) yang diantaranya adalah pemeriksaan limfoglandula
prescapularis, limfoglandula femoralis, limfoglandula visceralis dan organ-organ tubuh,
pemeriksaan permukaan karkas, pleura dan potonganpotongan karkas. Pemeriksaan
khusus adalah pemeriksaan yang lebih seksama terhadap karkas dan organ-organ tubuh
ternak yang dicurigai akan menderita sakit ataupun kelainan pada saat pemeriksaan
antemortem.
Pemeriksaan yang penting untuk dilakukan pada saat pemeriksaan kesehatan post-
mortem menurut Suardana dan Swacita (2009):
a. Pemeriksaan Kepala dan Lidah
Setelah kepala dipisahkan dari badan ternak, maka dilakukan penyayatan dari
dagu sejajar kedua siku mandibula. Hal ini agar memudahkan untuk memeriksa
keadaan masetter dan lidah. Pemeriksaan di kepala dan lidah dapat dilakukan dengan
cara palpasi dan inspeksi. Pemeriksaan pada masetter bertujuan untuk melihat apakah
adanya larva (Cysticercus bovis) yang merupakan larva dari cacing Taenia saginata.
Biasanya larva pada masetter ini ditandai dengan adanya benjolan kecil seperti
kista/cacar air di masetter.
Pemeriksaan pada mata juga dilakukan untuk melihat apakah terdapat cacing
Thelazia sp yang berbentuk seperti rambut pada mata hewan. lubang hidung juga
dilakukan pemeriksaan, apakah terdapat leleran, darah, dan kondisi cermin hidung
apakah basah/kering. Di kepala terdapat beberapa limfoglandula seperti
limfoglandula retropharyngealis, tonsil limfoglandula parotis, submaxillaris, dan
mandibularis. Limfoglandula yang baik berbentuk bulat/lonjong dengan warna
bening kekuningan.
b. Pemeriksaan Limpa
Limpa merupakan organ pertahanan. Limpa yang sehat berwarna abu kebiruan
dengan konsistensi lembut dan elastis. Apabila ditemukan limpa yang mengeluarkan
darah berbuih jika ditekan, maka dapat dipastikan hewan terjangkit anthrax.
c. Pemeriksaan Ginjal
Ginjal terdiri dari cortex (luar) dan medula (dalam). Ginjal berfungsi untuk
menyaring air dan darah. Ginjal yang sehat berwarna coklat dengan bentuk seperti
kacang atau seperti buah anggur. Ginjal yang sehat tidak ditemukan adanya kalkuli
dan cacing Stephanurus dentatus. Dilakukan juga pemeriksaan limfoglandula renalis
untuk melihat kemungkinan adanya peradangan.
d. Pemeriksaan Hati
Hati yang sehat berwarna coklat dengan konsistensi padat dan elastis. Fibrosis
juga terkadang dapat terlihat, hal ini dikarenakan sel hati tidak dapat beregenerasi
sehingga digantikan oleh jaringan ikat. Hati yang tidak sehat apabila ditekan akan
ditemukan Fasciola gigantica pada saluran empedu nya.
e. Pemeriksaan Paru-Paru
Paru-paru yang sehat berwarna merah muda (pink) dengan konsistensinya seperti
spons karena terdapat banyak udara di alveoli nya. Paru-paru yang sehat juga
ditandai dengan adanya suara krepitasi seperti suara bubble wrap apabila diremas.
f. Pemeriksaan Jantung
Jantung normal berwarna coklat dengan bentuk meruncing di bagian apex nya
dengan konsistensi kenyal.
Tabel 2.6.2. Keputusan Akhir Hasil Pemeriksaan Post-Mortem (Sumber : Direktorat Kesmavet)
Hasil Pemeriksaan Keputusan
 Daging dari hewan yang tidak menderita penyakit
Baik untuk dikonsumsi
 Daging dari hewan yang menderita penyakit bersifat
manusia
lokal, setelah bagian yang tidak layak dibuang
 Daging dari hewan yang menderita penyakit akut
Ditolak untuk dikonsimsi
seperti antrax, malleus, rabies, tetanus, radang paha,
manusia
blue tangue akut
 Daging yang warna, bau, dan konsstensinya tidak Dapat dikonsumsi manusia
normal, seperti kasus septicemia, cechexia, hydrops dan setelah bagian yang tidak layak
oedema dikonsumsi dibuang
 Daging dari hewan yang menderita trichinellosis, Dapat dikonsumsi manusia
cysticercosis, babesiosis, surra sarcosporodiosis, setelah mendapat perlakuan
brucellosis, tuberculusis pemanasan yang cukup
sebelumnya

2.7 Koasistensi di Balai Besar Veteriner Denpasar


2.7.1 Balai Besar Veteriner
Balai Besar Veteriner atau yang biasa disingkat BBVet adalah unit pelaksana
teknis dibidang peternakan dan kesehatan hewan yang berada dibawah dan
bertanggung jawab kepada Direktur Jendral Peternakan dan Kesahatan Hewan dan
secara teknis dibina oleh Direktur Kesehatan Hewan dan Direktur Kesehatan
Masyarakat Veteriner dan Pascapanen. Salah satu Balai Besar Veteriner yang ada di
Indonesia terdapat di Denpasar. BBVet Denpasar sendiri mulai didirikan pada tahun
1975, dimana Departemen Pertanian c/q Direktorat Jenderal Peternakan dan FAO
mendirikan Laboratorium Type A sebagai Pusat Penyidikan Penyakit Hewan (P3H)
atau Disease Investigation Center (DIC). Pada 12 April 1975 P3H/DIC pertama
dibangun di Denpasar dengan wilayah kerja 4 provinsi yaitu Bali, NTB, NTT dan
Tim-Tim, kemudian P3H Maros dengan wilayah kerja Sulawesi, Maluku dan Irian
jaya. SK Mentan No.190/Kpts/Org/5/1975, tanggal 12 Mei 1975, lab type A dijadikan
UPT yang berada dibawah Direktorat Jenderal Peternakan, diresmikan pada tahun
1976. SK Mentan No. 135/Kpts/Org/5/1978, tanggal 25 Mei 1978, Susunan Organisasi
dan Tata Kerja Balai Penyidikan Penyakit Hewan (BPPH Wilayah VI) disempurnakan
dengan Eselon III B.SK Mentan No. 457/Kpts/Org/OT.210/8/20 01, tanggal 20
Agustus 2011, berubah menjadi Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner (BPPV
Regional VI) dengan Eselon III. Permentan No. 42/Permentan/OT.140/9/2006, tanggal
12 September 2006, berubah menjadi Balai Besar Veteriner (BBVet Denpasar) dengan
Eselon II B.
2.7.2 Visi dan Misi Balai Besar Veteriner Denpasar
Balai Besar Veteriner Denpasar memiliki visi yaitu terwujudnya masyarakat sehat
dan produktif melalui pelayanan diagnosa penyakit hewan serta pengujian bahan asal
hewan yang cepat, tepat dan akurat. Berdasarkan adanya visi tersebut maka dibuatlah
beberapa misi BBVet Denpasar, yaitu:
1. Mewujudkan pelayanan kesehatan hewan yang profesional
2. Menyediakan informasi tentang kesehatan hewan tingkat nasional maupun
internasional
3. Melindungi ternak dari penyakit hewan yang mengancam kelestarian sumber daya
hewan dan lingkungan dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi
4. Mewujudkan status kesehatan hewan yang kondusif untuk menjamin kestabilan
usaha dibidang peternakan dan kesehatan hewan yang lestari dan berdaya saing
5. Mewujudkan insfratruktur laboratorium yang aman bagi petugas, masyarakat,
hewan dan lingkungannya
6. Mewujudkan produk pangan hewani yang aman, sehat, utuh dan halal serta
berkualitas.
7. Mewujudkan Bahan Asal Hewan yang aman, sehat dan utuh serta berkualitas.
2.7.3 Struktur Organisasi Balai Besar Veteriner Denpasar

Gambar 2.7.3 Struktur Organisasi Balai Besar Veteriner Denpasar


2.7.4 Tugas Pokok dan Fungsi Balai Besar Veteriner Denpasar
Melaksanakan pengamatan dan pengidentifikasian diagnosa, pengujian veteriner
dan produk hewan, serta pengembangan teknik dan metode penyidikan, diagnosa, dan
pengujian veteriner. Selain tugas pokok, BBVet Denpasar memiliki 22 fungsi yaitu
sebagai berikut :
1. Penyusunan program, rencana kerja, dan anggaran, pelaksanaan kerja sama, serta
penyediaan evaluasi dan pelaporan
2. Pelaksanaan penyidikan penyakit hewan
3. Pelaksanaan penyidikan melalui pemeriksaan dan pengujian produk hewan
4. Pelaksanaan surveillans penyakit hewan, dan produk hewan
5. Pemeriksaan kesehatan hewan, semen, embrio, dan pelaksanaan diagnosa penyakit
hewan
6. Pembuatan peta penyakit hewan regional
7. Pelaksanaan pelayanan laboratorium rujukan dan acuan diagnosa penyakit hewan
8. Pelaksanaan pengujian dan pemberian laporan dan atau setifikasi hasil uji
9. Pelaksanaan pengjian forensik veteriner
10. Pelaksanaan peningkatan kesadaran masyarakat (public awareness)
11. Pelaksanaan kajian terbatas teknis veteriner
12. Pelaksanaan pengujian toksikologi veteriner dan keamanan pakan
13. Pemberian bimbingan teknis laboratorium veteriner, pusat kesehatan hewan dan
kesejahteraan hewan
14. Pemberian rekomendasi hasil pemeriksaan dan pengujian veteriner, serta bimbingan
teknis penanggulangan penyakit hewan
15. Pelaksanaan analisis resiko penyakit hewan dan keamanan produk hewan di
regional
16. Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pelayanan kesehatan hewan dan kesehatan
masyarakat veteriner
17. Pengkajian batas maksimum residu obat hewan dan pencemaran mikroba
18. Pemberian pelayanan teknis penyidikan, pengujian veteriner dan produk hewan,
serta pengembangan teknik dan metode penyidikan, diagnosa dan pengujian
veteriner
19. Pelaksanaan pengembangan dan desiminasi teknik dan metoda penyidikan,
diagnosa dan pengujian veteriner
20. Pengembangan sistem dan desiminasi informasi veteriner
21. Pengumpulan, pengolahan, dan analisis data pengamatan dan pengidentifikasian
diagnosa, pengujian veteriner dan produk hewan
22. Pengelolaan urusan tata usaha dan rumah tanggan Balai Besar Veteriner Denpasar

2.7.5 Wilayah Kerja Balai Besar Veteriner Denpasar


Tabel 2. 4 Wilayah Kerja Balai Besar Veteriner Denpasar (Provinsi Bali)
No Kabupaten/Kota Ibu Kota
1 Kabupaten Badung Mangupura
2 Kabupaten Bangli Bangli
3 Kabupaten Buleleng Singaraja
4 Kabupaten Tabanan Tabanan
5 Kabupaten Gianyar Gianyar
6 Kabupaten Jembrana Negara
7 Kabupaten Karangasem Amlapura
8 Kabupaten Klungkung Semarapura
9 Kota Denpasar Denpasar

Tabel 2. 5 Wilayah Kerja Balai Besar Veteriner Denpasar (Provinsi NTB)

No Kabupaten/Kota Ibu Kota


1 Kabupaten Bima Raba
2 Kabupaten Dompu Dompu
3 Kabupaten Lombok Barat Mataram
4 Kabupaten Lombok Tengah Praya
5 Kabupaten Lombok Timur Selong
6 Kabupaten Lombok Utara Tanjung
7 Kabupaten Sumbawa Sumbawa Besar
8 Kabupaten Sumbawa Barat Taliwang
9 Kota Bima Bima
10 Kota Mataram Mataram

Tabel 2. 6 Wilayah Kerja Balai Besar Veteriner Denpasar (Provinsi NTT)

No Kabupaten/Kota Ibu Kota


1 Kabupaten Alor Kalabahi
2 Kabupaten Belu Atambua
3 Kabupaten Ende Ende
4 Kabupaten Flores Timur Larantuka
5 Kabupaten Kupang Kupang
6 Kabupaten Lembata Lewoleba
7 Kabupaten Manggarai Ruteng
8 Kabupaten Manggarai Barat Labuan Bajo
9 Kabupaten Manggarai Timur Borong
10 Kabupaten Ngada Bajawa
11 Kabupaten Nagekeo Mbay
12 Kabupaten Rote Ndao Baa
13 Kabupaten Sabu Raijua Seba
14 Kabupaten Sikka Maumere
15 Kabupaten Sumba Barat Waikabukak
16 Kabupaten Sumba Barat Daya Tambolaka
17 Kabupaten Sumba Tengah Waibakul
18 Kabupaten Sumba Timur Waingapu
19 Kabupaten Timor Tengah Selatan Sore
20 Kabupaten Timor Tengah Utara Kefamenanu
21 Kota Kupang Kupang

2.7.6 Laboratorium Balai Besar Veteriner Denpasar


Adapun laboratorium yang terdapat di Balai Besar Veteriner Denpasar dan jenis
layanan pengujiannya adalah sebagai berikut.
Tabel 2. 7 Laboratorium Balai Besar Veteriner
Lab Uji Jenis Uji Jenis Sampel
Bakteriologi Brucella RBT Serum
Isolasi kuman Organ, feses, swab
Pullorum rapid test Serum
SE Elisa Serum
SE isolasi Organ
Isolasi jamur Organ, feses, swab
Anthrax Elisa Serum
Brucella CFT Serum
Sensitivitas test Organ, feses, swab
Isolasi dan identifikasi Salmonella sp. Organ, feses, swab
Isolasi dan identifikasi Streptococcus Organ, darah
sp.
Bioteknologi JD PCR Organ, darah
AI PCR Organ, darah, swab
IBR PCR Swab
ASF PCR Organ, darah
HC PCR Organ, darah
BVD PCR Darah
Rabies PCR Organ
JE PCR Darah
Campylobacter PCR Daging/organ
Uji Spesies (Pemalsuan) Daging/organ
SE PCR Swab, tonsil
Kesmavet Cemaran mikroba Daging, susu, telur
Coliform Daging, susu, telur
E. coli Daging, susu, telur
TPC Daging, susu, telur
Salmonella Daging, susu, telur
S. Aureus Daging, susu, telur
Campylobacter Daging, susu, telur
Residu antibiotika Daging, susu, telur
Residu aminoglikosida Daging, susu, telur
Residu makrolida Daging, susu, telur
Residu penicillin Daging, susu, telur
Residu tetracyclin Daging, susu, telur
Residu formalin Daging, susu, telur
Parasitologi Cacing identifikasi Cacing
Parasit darah identifikasi Darah, ulas darah
Uji Apung Feses
Uji Sedimentasi Feses
Trypanosoma Identifikasi Darah, ulas darah
Hematologi Darah
Patologi Nekropsi/PA Bangkai utuh
Histopatologi Organ
Rabies FAT Otak, kepala
Virologi Rabies Elisa Serum
AI HA/HI Serum
AI Isolasi Organ, feses, swab
BVD Elisa Serum
PMK Elisa Serum
Hog cholera antibodi Elisa Serum
Hog cholera antigen Elisa Klot darah
IBD Elisa Serum
IBR Elisa Serum
ND HA/HI Serum
ND Isolasi Organ, feses, swab
Western Immunoblotting Serum
JD Elisa Serum

a. Escherichia coli dan Bakteri Coliform


Spesies Escherichia coli merupakan bakteri yang dapat menyebabkan diare pada
manusia dan hewan. Escherichia coli merupakan bakteri Gram negative berbentuk
batang pendek yang memiliki panjang sekitar 2 µm, diameter 0,7 µm, lebar 0,4-0,7 µm
dan bersifat anaerob fakultatif. E. coli membentuk koloni yang bundar, cembung, dan
halus dengan tepi yang nyata (Kusuma, 2010). E. coli yang berperan sebagai penyebab
diare pada hewan diduga kuat dapat menular kepada manusia (bersifat zoonosis). Jalur
penularan E. coli antara hewan dan manusia kemungkinan dapat terjadi melalui
kontak langsung, kontak dengan kotoran hewan atau melalui rantai makanan yang
tercemar (Jay-Russell dkk., 2014). Adapun warna koloni dari E. coli pada media
Brilliant E. coli adalah ungu, sedangkan pada media EMBA akan berwarna hijau
metalik.
Adapun batas cemaran mikroba pada daging dan produk daging (termasuk unggas
dan daging hewan buruan) adalah 1 x 101 koloni/g (SNI 7388:2009). Untuk
menentukan bakteri dalam sampel, dapat dilakukan dengan membiakkan dan
menghitung koloni tersebut. Selain itu, metode yang digunakan adalah Most Probable
Number (MPN). Interpretasi hasil dilakukan dengan mencocokkan kombinasi jumlah
tabung yang memperlihatkan hasil positif berdasarkan tabel nilai MPN.
Coliform didefinisikan sebagai kelompok bakteri Gram-negatif, berbentuk batang,
oksidase-negatif, aerob sampai anaerob fakultatif, tidak membentuk spora, mampu
tumbuh secara aerobik pada media agar yang mengandung garam empedu, dan mampu
memfermentasikan laktosa dengan membentuk asam dan gas pada suhu 37°C. Bakteri
Coliform adalah golongan bakteri intestinal, yaitu hidup didalam saluran pencernaan
hewan. Bakteri Coliform termasuk salah satu kelompok bakteri terbesar dari famili
Enterocteriaceae. Bakteri Coliform dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu bakteri
Coliform fekal dan non fekal. Coliform fekal berasal dari kotoran manusia dan hewan
sedangkan Coliform non fekal berasal dari hewan atau tanaman yang sudah mati.
Golongan bakteri Coliform fekal menjadi indicator pencemaran dikarenakan jumlah
koloninya pasti berkorelasi positif dengan keberadaan bakteri pathogen (Khairunissa,
2013). Bakteri Coliform terdiri dari empat genus, yaitu Enterobacter, Klebsiella,
Citrobacter, dan Escherichia (Suardana, 2016). Coliform adalah golongan
mikroorganisme yang digunakan sebagai indicator produk olahan hewan yang telah
terkontaminasi oleh pathogen atau tidak. Adapun warna koloni dari coliform pada
media Brilliant E.coli adalah merah muda (pink) dan ungu. Batas cemaran mikroba
pada daging dan produk daging (termasuk ungags dan daging hewan buruan) adalah 1
x 102 koloni/g (SNI 7388:2009).
b. Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus merupakan bakteri penyebab food poisoning yang dapat
menimbulkan terjadinya gastroenteritis akibat mengkonsumsi daging atau produk
olahan yang mengandung satu atau lebih enterotoksin yang dihasilkan oleh S. aureus.
Toksin yang dihasilkan bersifat tahan terhadap suhu tinggi, meskipun bakteri mati
dengan pemanasan namun toksin yang dihasilkan tidak akan rusak dan masih dapat
bertahan meskipun dengan pendinginan ataupun pembekuan (Ibrahim et al., 2017).
Toksin tersebut tidak menyebabkan perubahan tekstur, warna, bau, atau rasa makanan,
sehingga tidak dapat terlihat secara fisik. Kondisi seperti ini yang sering
mengakibatkan konsumen terkecoh sehingga menimbulkan terjadinya Staphylococcal
food poisioning (SFP) (Palupi et al., 2010). Keberadaan bakteri S. aureus dan
enterotoksinnya pada daging tentu akan memberikan dampat negative pada orang yang
akan mengkonsumsinya. Pencemaran oleh S. aureus pada daging dapat terjadi pada
berbagai tahap pemprosesan karkas, sanitasi dan higienis yang kurang baik dari
pekerja, alat, dan tempat rumah pemotongan hewan. Hal ini sesuai dengan pendapat
Ibrahim et al., (2017), menyatakan bahwa keberadaan S. aureus dalam bahan pangan
erat kaitannya dengan sanitasi pekerjaan serta kebersihan lingkungan dan peralatan
pengolahan. Menurut standar SNI 7388 : 2009 menyatakan bahwa batas maksimum
cemaran mikroba dalam pangan untuk Staphylococcus aureus baik itu pada daging
segar maupun daging beku adalah 1x102.
c. Salmonella
Salmonella sp dikenal sebagai bakteri penyebab Salmonellosis. Bakteri ini hidup
pada saluran pencernaan hewan dan manusia serta dapat menyebar melalui makanan,
terutama daging, telur dan susu. Kasus Salmonelosis banyak dilaporkan di negara-
negara maju, namun persentase jumlah yang dilaporkan masih kecil dibandingkan
dengan wabah yang sebenarnya terjadi. Infeksi dan kontaminasi yang disebabkan oleh
Salmonella sp ditemukan hampir di seluruh dunia. Pada tahun 1991, di Belanda
banyak didapatkan kontaminasi Salmonella sp pada daging ayam dan telur. Demikian
pula pada tahun 1994, dari 87% ternak kalkun di Kanada, ditemukan banyak yang
positif Salmonella sp (Myint, 2004). Kejadian serupa juga sering terjadi di daerah
beriklim tropis atau pada musim panas. Salmonella sp yang telah mencemari makanan
dan mudah berkembang biak secara cepat karena keadaan lingkungan yang panas dan
lembab menstimulasi pertumbuhannya (Budiarso dan Maria, 2009).
Pada umumnya, Salmonella sp menyebabkan penyakit pada organ pencernaan.
Kontaminasi Salmonella sp pada produk makanan dapat mengakibatkan demam tifoid
dengan gejala demam tinggi, konstipasi, nyeri abdomen, pusing, kulit gatal dan timbul
bercak-bercak berwarna kemerahan, bahkan kehilangan kesadaran. Infeksi oleh
Salmonella sp dikenal sebagai Salmonellosis dan bersifat zoonosis (Srigede, 2015).
d. Formalin
Formalin adalah salah satu bahan kimia yang terdiri dari larutan formaldehyde
37% dalam air dengan 10% methanol sebagai stabilizer. Formalin memiliki sifat
sebagai antibacterial agent yang dapat memperlambat aktivitas bakteri dengan cara
bereaksi bersama protein dalam makanan dan membuat makanan menjadi awet
(Iftriani et al., 2016). Penggunaan formalin sebagai antibakteri dan pengawet bahan
non-pangan tidak diimbangi dengan informasi mengenai dampak buruk penggunaan
formalin terhadap tubuh. Menurut Sukmawati (2018), formalin dapat bereaksi cepat
dengan lapisan lendir saluran pencernaan dan saluran pernafasan. Formalin juga cepat
teroksidasi dalam tubuh dan membentuk asam format terutama jaringan di hati dan
sel darah merah yang menyebabkan timbulnya keracunan, efek yang ditimbulkan
yaitu adanya rasa sakit pada perut yang akut dan disertai muntahmuntah, timbulnya
depresi pada susunan syaraf atau mengalami kegagalan peredaran darah.
Penggunaan formalin sendiri telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.
33 tahun 2012, bahwa bahan tambahan pangan seperti asam borat dan senyawanya
serta formalin dinyatakan sebagai bahan berbahaya dan dilarang penggunaannya
dalam makanan meskipun dengan dosis kecil. Meskipun telah diatur, menurut
Faradila et al., (2014), penggunaan bahan yang berbahaya seperti formalin sampai
saati ini masih ditemui pada oknum pedagang olahan makanan dengan tujuan untuk
mengawetkan produknya. Hal ini bisa terjadi, karena kurangnya pengetahuan
pedagang mengenai bahan tambahan yang dilarang dan bahayanya bagi manusia.
2.8 Koasistensi di Karantina Pertanian Kelas I Denpasar
2.8.1 Definisi Karantina
Dalam UU No 21 tahun 2019 pasal 1 dikatakan bahwa Karantina Hewan, Ikan, dan
Tumbuhan yang selanjutnya disebut Karantina adalah sistem pencegahan masuk, keluar
dan tersebarnya hama dan penyakit hewan Karantina, hama dan penyakit ikan Karantina,
dan organisme pengganggu tumbuhan Karantina; serta pengawasan dan / atau
pengendalian terhadap keamanan pangan dan mutu pangan, keamanan pakan dan mutu
pakan, Produk Rekayasa Genetik, Sumber Daya Genetik, Agensia Hayati, Jenis Asing
Invasif, Tumbuhan dan Satwa Liar, serta Tumbuhan dan Satwa Langka yang dimasukkan
ke dalam, tersebarnya dari suatu Area ke Area lain, dan / atau dikeluarkan dari wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2.8.2 Balai Karantina Pertanian Kelas I Denpasar
1) Sejarah Balai Karantina Pertanian Kelas I Denpasar
Karantina Hewan secara hukum berdiri pada tahun 1978 sesuai SK Menteri
Pertanian No. 316/Kpts/Org/5/1978 tanggal 25 Mei 1978 tentang Struktur
Organisasi dan Tata Kerja Balai Karantina Kehewanan. Ketika pada tahun 1983
organisasi karantina hewan diintegrasikan dengan organisasi karantina tumbuhan
di bawah Sekretariat Jenderal Departemen Pertanian dengan pembinaan
operasional langsung di bawah Menteri Pertanian, dan selanjutnya ketika pada
tahun 1985 diserahterimakan tenaga-tenaga karantina hewan dari Direktorat
Jenderal Peternakan kepada Pusat Karantina Pertanian, Balai Karantina
Kehewanan Wilayah IV Denpasar pada masa itu membawahi stasiun-stasiun
karantina hewan yang belum distrukturalkan yang tersebar di Provinsi Bali, Nusa
Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Timor Timur.
Kemudian pada tahun 1994 terjadi reorganisasi dengan SK Menteri Pertanian
No. 800/Kpts/OT.210/ 12/1994 tanggal 13 Desember 1994, yang menetapkan
bahwa Balai Karantina Kehewanan Wilayah IV Denpasar berubah menjadi Balai
Karantina Hewan Ngurah Rai, dengan wilayah kerja yang meliputi pelabuhan
laut, pelabuhan penyeberangan dan pelabuhan udara yang ada di Provinsi Bali
saja. Kemudian berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 501/Kpts/OT/8/2002
tanggal 21 Agustus 2002 tentang Susunan Organisasi Balai, Stasiun Kelas I dan
Stasiun Kelas II Karantina Hewan, Balai Karantina Hewan Ngurah Rai tidak
mengalami perubahan nama.
Perkembangan selanjutnya berdasarkan SK Menteri Pertanian
No.548/Kpts/OT.210/2004 tentang Susunan Organisasi Balai dan Stasiun
Karantina Hewan, maka Balai Karantina Hewan Ngurah Rai berubah menjadi
Balai Karantina Hewan (BKH) Kelas I Ngurah Rai dengan wilayah kerja yang
meliputi Pelabuhan Laut Benoa, Pelabuhan Laut Celukan Bawang, Pelabuhan
Penyeberangan Padang Bai, Pelabuhan Penyeberangan Gilimanuk, Bandar Udara
Ngurah Rai dan Kantor Pos Besar Denpasar. Struktur organisasi ini tidak ada
perubahan hingga tahun 2008.
Karantina Tumbuhan di Pulau Bali pada awalnya merupakan penggabungan
dari Pos Karantina Pertanian Ngurah Rai yang berkedudukan di Bandara Ngurah
Rai dan Pos Karantina Pertanian Singaraja yang berkedudukan di Pelabuhan Laut
Singaraja. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No.
800/Kpts/OT/12/94 tanggal 13 Desember 1994 tentang Struktur Organisasi,
kedua unit kerja Pusat Karantina Pertanian tersebut melebur menjadi Stasiun
Karantina Tumbuhan Ngurah Rai yang berkedudukan di Bandara Ngurah Rai.
Sedangkan Pelabuhan Laut Singaraja berstatus sebagai wilayah kerja dari Stasiun
Karantina Tumbuhan Ngurah Rai. Perubahan status ini diikuti dengan
peningkatan eselonering dari eselon V-a menjadi eselon IV-a. Selanjutnya, sesuai
Keputusan Menteri Pertanian No. 499/Kpts/OT.210/8/2002 tanggal 21 Agustus
2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai dan Stasiun Karantina Tumbuhan,
Stasiun Karantina Tumbuhan Ngurah Rai diubah menjadi Stasiun Karantina
Tumbuhan Kelas I Ngurah Rai dengan penambahan satu eselon V-a yaitu Kepala
Urusan Tata Usaha, selain Kepala Sub Seksi Pelayanan Teknis yang telah ada.
Pada tanggal 22 September 2004, terbit Keputusan Menteri Pertanian Nomor
547/Kpts/OT.140/9/2004 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai dan Stasiun
Karantina Tumbuhan. Dalam Keputusan Menteri Pertanian tersebut Stasiun
Karantina Tumbuhan Kelas I Ngurah Rai meningkat statusnya menjadi Balai
Karantina Tumbuhan Kelas I Ngurah Rai, yang diikuti peningkatan dan
penambahan eselonering dari eselon IVa menjadi eselon IIIa, dan tepatnya pada
tanggal 29 Desember 2004 dilantik para pejabat struktural sesuai dengan SK
Menteri Pertanian Nomor 699/Kpts/KP.330/12/2004 tanggal 22 Desember 2004.
Pejabat struktural tersebut terdiri dari Kepala Balai (eselon IIIa), Kepala Sub
Bagian Tata Usaha (eselon IVa), Kepala Seksi Pelayanan Teknik (eselon IVa)
dan Kepala Seksi Informasi dan Dokumentasi (eselon IVa). Dengan wilayah
Kerja Bandara Ngurah Rai, Pelabuhan Laut Benoa, Pelabuhan Penyeberangan
Padang Bai, Pelabuhan Penyeberangan Gilimanuk, Pelabuhan Laut Celukan
Bawang, Kantor Pos Denpasar, dan tempat-tempat pemasukan dan/atau
pengeluaran lainnya di Propinsi Bali
Peningkatan status Stasiun Karantina Tumbuhan Kelas I Ngurah Rai menjadi
Balai Karantina Tumbuhan Kelas I Ngurah Rai tidak terlepas dari penilaian
peningkatan kinerja dan pelayanan pada tahun 2004 maupun tahun-tahun
sebelumnya, dimana Stasiun Karantina Tumbuhan Kelas I Ngurah Rai pernah
mendapatkan Piagam Penghargaan ABDI BAKTI TANI pada tahun 2003,
sebagai unit kerja pelayanan berprestasi Madya atas upaya meningkatkan
pelayanan kepada publik. Pada tahun 2006 Balai Karantina Tumbuhan Kelas I
Ngurah Rai kembali meraih Plakat Penghargaan ABDI BAKTI TANI, sebagai
unit kerja pelayanan berprestasi Madya atas upaya meningkatkan pelayanan
kepada publik Hal ini merupakan tantangan harus dipertahankan dan
ditingkatkan sehingga pelayanan kita terhadap masyarakat akan semakin baik.
Pada tanggal 3 April 2008 terjadi reorganisasi yang cukup besar yaitu dengan
dikeluarkannya permentan No. 22/Permentan/OT.140/4/2008, tentang Organisasi
dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Karantina Pertanian. Dengan permentan
tersebut terjadi integrasi antara Balai Karantina Hewan Kelas I Ngurah Rai
dengan Balai Karantina Tumbuhan Kelas I Ngurah Rai menjadi Balai Karantina
Pertanian Kelas I Denpasar.
2.8.3 Motto, Visi, dan Misi Balai Karantina Pertanian Kelas I Denpasar
Balai Karantina Kelas I Denpasar memiliki motto “Bersama Anda Melindungi
Negeri”. Sedangkan visi dari Balai Karantina Pertanian Kelas I Denpasar adalah “Balai
Karantina Pertanian Kelas I Denpasar yang profesional, tangguh, dan terpercaya dalam
mencegah masuk dan tersebarnya HPHK dan OPTK. Selain itu Balai Karantina Kelas I
Denpasar juga memiliki misi yaitu,
1. Melindungi kelestarian sumber daya alam hayati hewan dan tumbuhan dari serangan
Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK) dan Organisme Pengganggu Tumbuhan
Karantina (OPTK).
2. Memfasilitasi kelancaran perdagangan/pemasaran produk pertanian (agrobisnis).
3. Mewujudkan operasional karantina yang prima.
4. Mendorong partisipasi masyarakat dalam membantu penyelenggaraan perkarantinaan
2.8.4 Tugas dan Fungsi Balai Karantina Pertanian Kelas I Denpasar
 Tugas BKP Kelas I Denpasar adalah melaksanakan kegiatan operasional
perkarantinaan hewan dan tumbuhan, serta pengawasan keamanan hayati hewani dan
nabati.
 Fungsi BKP Kelas I Denpasar
- Penyusunan rencana, evaluasi, dan pelaporan.
- Pelaksanaan tindakan karantina meliputi 8P, yaitu Pemeriksaan, Pengasingan,
Pengamatan, Perlakuan, Penahanan, Penolakan, Pemusnahan, dan Pembebasan
terhadap media pembawa HPHK dan OPTK.
- Pelaksanaan pemantauan daerah sebar HPHK dan OPTK.
- Pelaksanaan pembuatan koleksi HPHK dan OPTK.
- Pelaksanaan pengawasan keamanan hayati hewani dan nabati.
- Pelaksanaan pemberian pelayanan operasional karantina hewan dan tumbuhan.
- Pelaksanaan pemberian pelayanan operasional pengawasan keamanan hayati hewani
dan nabati.
- Pengelolaan sistem informasi, dokumentasi, dan sarana teknik karantina hewan dan
tumbuhan.
- Pelaksanaan pengawasan dan penindakan.
- Pelaksanaan urusan tata usaha.

2.8.5 Wilayah Kerja Balai Karantina Pertanian Kelas I Denpasar


Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 548/Kpts/OT. 140/9/2004, Balai
Karantina Pertanian Kelas I Denpasar terdiri dari lima wilayah kerja, yaitu:
- Bandar Udara Ngurah Rai.
- Pelabuhan Laut Benoa.
- Pelabuhan Laut Celukan Bawang.
- Pelabuhan Penyebrangan Padangbai.
- Pelabuhan Laut Gilimanuk.
Ada satu tambahan lagi yaitu Kantor Pos.
2.8.6 Struktur Organisasi Balai Karantina Pertanian Kelas I Denpasar

Gambar 2.2. Struktur Organisasi Balai Karantina Pertanian Kelas I Denpasar

2.9 Persyaratan Karantina


Persyaratan karantina berdasarkan UU No. 21 Tahun 2019 yaitu sebagai berikut:
1) Setiap orang yang memasukkan media pembawa ke dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia wajib:
2.8.1 Melengkapi sertifikat kesehatan dari negara asal bagi hewan, produk hewan, ikan,
produk ikan, tumbuhan, dan/atau produk tumbuhan;
2.8.2 Memasukkan media pembawa melalui tempat pemasukan yang ditetapkan oleh
pemerintah pusat;
2.8.3 Melaporkan dan menyerahkan media pembawa kepada pejabat karantina di
tempat pemasukan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat untuk keperluan tindakan
karantina dan pengawasan dan/atau pengendalian.
2) Setiap orang yang mengeluarkan media pembawa dari wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia wajib:
a. Melengkapi sertifikat kesehatan bagi hewan, produk hewan, ikan, produk ikan,
tumbuhan, dan/atau produk tumbuhan;
b. Mengeluarkan media pembawa melalui tempat pengeluaran yang ditetapkan oleh
pemerintah pusat;
Melaporkan dan menyerahkan media pembawa kepada pejabat karantina di tempat
pengeluaran yang ditetapkan oleh pemerintah pusat untuk keperluan tindakan karantina
dan pengawasan dan/atau pengendalian
2.10 Tindakan Karantina
Media pembawa hama dan penyakit hewan atau organisme pengganggu tumbuhan adalah
hewan, bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan, tumbuhan dan bagian-bagiannya dan/atau
benda lain yang dapat membawa Hama dan Penyakit Hewan Karantina (HPHK) atau
Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina (OPTK).
a. Setiap media pembawa hama dan penyakit hewan karantina yang dimasukkan, dibawa,
atau dikirim dari suatu area ke area lain di dalam, dan/atau dikeluarkan dari wilayah
Negara Republik Indonesia dikenakan tindakan karantina.
b. Setiap media pembawa hama dan penyakit ikan karantina atau organisme pengganggu
tumbuhan karantina yang dimasukkan ke dalam dan/atau dibawa atau dikirim dari suatu
area ke area lain di dalam wilayah Negara Republik Indonesia dikenakan tindakan
karantina.
c. Media pembawa hama dan penyakit ikan karantina dan organisme pengganggu tumbuhan
karantina yang dikeluarkan dari wilayah Negara Republik Indonesia tidak dikenakan
karantina, kecuali disyaratkan oleh negara tujuan. Tindakan karantina dilakukan oleh
petugas karantina dikenal dengan istilah 8P, yaitu:
1) Pemeriksaan, meliputi pemeriksaan administratif dan kesesuaian dokumen untuk
mengetahui kelengkapan, kebenaran, keabsahan dokumen persyaratan dan kesesuain
jenis dan jumlah media pembawa dengan dokumen persyaratan karantina. Selain itu,
dilakukan juga pemeriksaan kesehatan, uji keamanan pangan, uji keamanan pakan,
uji mutu pangan, dan uji mutu pakan.
2) Pengasingan, dilakukan terhadap sebagian atau seluruhnya media pembawa untuk
diadakan pengamatan, pemeriksaan, dan perlakuan dengan tujuan untuk mencegah
kemungkinan penularan hama penyakit hewan karantina selama waktu tertentu yang
akan dipergunakan sebagai dasar penetapan masa karantina.
3) Pengamatan, mendeteksi lebih lanjut hama penyakit hewan karantina melalui
pengamatan timbulnya gejala hama penyakit hewan karantina pada media pembawa
selama diasingkan dengan menggunakan sistem semua masuk-semua keluar.
4) Perlakuan, tindakan untuk membebaskan dan mensucihamakan media pembawa dari
hama penyakit hewan karantina atau tindakan lain yang bersifat preventif, kuratif,
dan promotif.
5) Penahanan, dilakukan terhadap media pembawa yang belum memenuhi persyaratan
karantina atau dokumen yang dipersyaratkan oleh menteri lain yang terkait atau
dalam pemeriksaan masih diperlukan konfirmasi lebih lanjut. Pemenuhan dokumen
persyaratan diberikan waktu 3 hari kerja setelah pemilik menerima surat penahanan.
6) Penolakan, dilakukan penolakan apabila media pembawa tersebut berasal dari
daerah/negara terlarang karena masih terdapat/tertular atau sedang wabah penyakit
hewan karantina golongan I, pada waktu pemeriksaan ditemukan gejala adanya
penyakit hewan karantina golongan I, atau pada waktu pemeriksaan tidak dilengkapi
dengan dokumen karantina (sertifikat kesehatan).
7) Pemusnahan, dilakukan apabila media pembawa yang ditahan tersebut melewati
batas waktu yang ditentukan dan pemilik/kuasanya tidak dapat memenuhi
persyaratan yang diperlukan atau terhadap media pembawa tersebut ditemukan
adanya hama dan penyakit hewan karantina golongan I ataupun golongan II tetapi
telah diobati dan ternyata tidak dapat disembuhkan, atau hewan yang ditolak tidak
segera diberangkatkan/tidak mungkin dilakukan penolakan dan media pembawa
tersebut berasal dari daerah terlarang atau daerah yang tidak bebas dari penyakit
hewan karantina golongan I.
8) Pembebasan, dilakukan apabila semua kewajiban dan persyaratan untuk
memasukkan/mengeluarkan media pembawa tersebut telah dipenuhi dan dalam
pemeriksaan tidak ditemukan adanya/dugaan adanya gejala hama danpenyakit hewan
karantina, atau selama pengasingan dan pengamatan tidak ditemukan adanya hama
dan penyakit hewan karantina. Pembebasan untuk masuk diberikan dengan sertifikat
pelepasan/pembebasan, sedangkan pembebasan keluar diberikan dengan sertifikat
kesehatan.
2.11 Kebijakan Karantina Hewan
Kebijakan karantina hewan dalam hal ini, antara lain:
1) Mempertahankan status bebasnya Indonesia dari beberapa penyakit hewan menular
utama (major epizootic disease) dari kemungkinan masuk dan tersebarnya agen
penyakit dari luar negeri.
2) Mengimplementasikan kebijakan pengamanan maksimum (maximum security policy)
dengan menerapkan kebijakan pelarangan atau pelarangan sementara jika terjadi wabah
penyakit hewan menular yang dalam pelaksanaanya memantau perkembangan situasi
wabah melalui berbagai informasi resmi baik dari OIE maupun dengan cara mencermati
pelaporan negara yang bersangkutan atau melalui komunikasi langsung dengan negara
tersebut.
3) Melakukan pengawasan dan pemeriksaan lalu lintas hewan serta produknya dengan
menerapkan CIA (Controlling, Inpection, and Approval) untuk melindungi sumber daya
alam hayati fauna dari ancaman penyakit hewan berbahaya lainnya serta penyakit
eksotik.
4) Melakukan Minimum Disease Program, yaitu program untuk meminimalkan kasus
penyakit hewan di suatu wilayah/daerah tertentu di Indonesia melalui sistem
pengendalian dan pengawasan lalu lintas hewan serta produknya antar wilayah/antar
pulau sehingga dapat mencegah atau menangkal penyebarannya.
5) Mewujudkan pelayanan karantina hewan yang modern, mandiri, dan professional.

2.12 Operasional Karantina Hewan


Operasional perkarantinaan meliputi data yang terkait dengan tindakan karantina 8P
berupa pemeriksaan, pengasingan, pengamatan, perlakuan, penahanan, penolakan,
pemusnahan, dan pembebasan.Menurut Statistik Badan Karantina Pertanian 2012-2016
tahun 2017, berikut operasional karantina hewan :
1. Tindakan 8P pada karantina hewan
 Impor
 Ekspor
 Domestik masuk
 Domestik keluar
2. Jenis media pembawa karantina hewan
Jenis media pembawa Karantina Hewan berupa hewan hidup, bahan asal hewan
(BAH), Hasil Bahan Asal Hewan (HABAH) dan media pembawa benda lain (MP/B
LAIN) pada lalulintas impor, ekspor, domestik masuk dan domestik keluar.
3. Pemeriksaan terhadap hama penyakit hewan karantina
2.13 Instansi yang Membantu Kerja Karantina
Dalam pelaksanaan karantina, terdapat beberapa instansi yang membantu dalam
pengawasan lalu lintas hewan serta tumbuhan, bahan asal hewan, dan produk asal hewan.
Instansi tersebut antara lain:
1) Kepolisian Republik Indonesia, bertugas memberikan payung hukum bagi karantina jika
terdapat pihak pelaku lalu lintas ternak dan bahan ikutannya yang mencoba melawan
atau mengancam pegawai karantina, khususnya di setiap wilayah kerja.
2) Dinas Peternakan, bertugas menerbitkan surat rekomendasi dalam pemasukan dan
pengiriman serta surat keterangan sehat ternak.
3) Badan Penanaman Modal dan Perizinan (BPMP), bertugas menerbitkan surat izin dalam
pemasukan dan pengiriman ternak berdasarkan rekomendasi dinas peternakan.
4) Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), bertugas dalam hal
perlindungan/pelestarian satwa liar dan menerbitkan Surat Ijin Angkut Satwa (SIAS).
5) Balai Besar Veteriner (BBVet), bertugas membantu karantina untuk meneguhkan
diagnosa terhadap hewan maupun bahan ikutan lainnya.
6) Direktur Jendral Bea dan Cukai, bertugas membantu pengawasan komoditi wajib
periksa karantina baik ekspor maupun impor.
7) Imigrasi, beacukai, imigrasi, dan karantina merupakan tiga unsur yang disebut dengan
CIQ (Custom, Imigration, Quarantine).
8) PT. Pos Indonesia (Persero) dan Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres
Indonesia, bertugas dalam hal pelaksanaan tindakan karantina terhadap media pembawa
14 HPHK serta OPTK yang berasal dari barang impor, ekspor, dan kiriman antar area
yang dikirim melalui pos dan/atau jasa titipan.
9) Direktorat Jendral Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kementrian Komunikasi dan
Informatika, bertugas dalam hal penyediaan akses internet dalam rangka mendukung
pelayanan karantina pertanian.
10) Direktorat Jenderal Standarisasi dan Perlindungan Konsumen dengan Direktorat Jendral
Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Badan Pengawasan Obat dan Makanan,
bertugas dalam hal kerjasama pengawasan untuk produk non pangan, pangan olahan,
dan pangan segar.
11) Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD), bertugas dalam hal dukungan
operasional perkarantinaan hewan dan tumbuhan serta pengawasan keamanan hayati di
wilayah perbatasan darat antar negara.
12) Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI-AL), bertugas dalam hal dukungan
operasional perkarantinaan hewan dan tumbuhan serta pengawasan keamanan hayati di
wilayah perairan Republik Indonesia.
13) Deputi Bidang Pengkaji Persandian, bertugas dalam hal penyelenggaraan Certificate
Authority (CA) sebagai sarana pengaman pertukaran data dan informasi dalam sistem
ECert Sanitary and Pythosanitary (SPS).

2.14 Komoditi Karantina Hewan


Komoditi karantina hewan meliputi beberapa hal, antara lain:
1) Hewan/ternak, yaitu seluruh binatang/hewan yang hidup di darat baik yang dipelihara
maupun yang hidup secara liar.
2) Bahan Asal Hewan (BAH), yaitu bahan yang berasal dari hewan yang dapatdiolah lebih
lanjut seperti dendeng, kulit, tulang, telur, tanduk, lemak, sususegar, madu, tepung
tulang, tepung hati, dan lainnya.
3) Hasil Bahan Asal Hewan (HBAH), yaitu bahan asal hewan yang telah diolah lebih
lanjut seperti daging kaleng, keju, krim, mentega, sosis, daging olahan, dan lainnya.
4) Benda lain adalah media pembawa yang bukan tergolong dalam hewan, BAH, dan
HBAH yang memiliki potensi penyebaran hama penyakit hewan karantina.

2.15 Formulir Penting Karantina


Dalam rangka kelancaran pelaksanaan tugas karantina hewan, diperlukan berbagai
macam bentuk formulir dokumen operasional karantina hewan yang meliputi:
1) KH.1 (berita acara serah terima media HPHK, diajukan paling lambat dua hari sebelum
mendatangkan atau memberangkatkan hewan maupun komoditi asal hewan).
2) KH. 2 (surat penugasan melakukan tindakan karantina).
3) KH. 3 (laporan pelaksanaan tindakan karantina).
4) KH. 4 (surat penolakan bongkar muatan, karena komoditi tersebut adalah komoditi yang
tidak boleh masuk ke daerah tujuan atau transit).
5) KH. 5 (surat persetujuan bongkar muatan, bongkar muatan biasanya dilakukan bea
cukai atas persetujuan karantina saat transit atau pindah pesawat).
6) KH. 6 (surat persetujuan muat).
7) KH. 7 (surat perintah masuk instalasi karantina hewan, untuk daging biasanya proses
karantina dilakukan di IKHS).
8) KH. 8A (surat perintah penahanan jika komoditi tersebut tidak memiliki dokumen yang
lengkap, pemilik diberikan waktu maksimal tujuh hari untuk melengkapinya).
9) KH. 8B (berita acara penolakan komoditi masuk atau keluar wilayah tersebut, komoditi
tersebut tidak boleh masuk atau keluar wilayah).
10) KH. 9A (surat perintah penolakan).
11) KH. 9B (berita acara penolakan).
12) KH. 10A (surat perintah pemusnahan).
13) KH. 10B (berita acara pemusnahan).
14) KH. 11 (sertifikat kesehatan hewan).
15) KH. 12 (sertifikasi sanitasi produk hewan).
16) KH. 13 (surat keterangan untuk benda lain).
17) KH. 14 (sertifikat pelepasan karantina hewan).
18) KH. 15 (surat keterangan transit).
19) KH. 16 (berita acara serah terima media pembawa hama penyakit hewan karantina dan
pelaksanaan tindakan karantina antar dokter hewan karantina).
20) KH. 17 (surat keterangan untuk barang yang bukan termasuk media pembawa hama
penyakit hewan karantina).
21) Kwitansi PNBP.
22) Lampiran :
 Surat keterangan kesehatan dari daerah/negara asal.
 Surat izin/rekomendasi pemasukan/pengeluaran.
 Sertifikat halal.
 Hasil uji laboratorium.
 Health Certificate Quarantina negara asal.
 Surat angkut satwa dalam negeri/luar negeri.
 Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Faunaand Flora
(CITES).
 Bill of Landing (BL)
2.16 Ketentuan Pidana
Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2019 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan
Tumbuhan; ketentuan pidana yang dikenakan meliputi:
1) Setiap orang yang memasukkan:
a. memasukkan media pembawa dengan tidak melengkapi sertifikat kesehatan dari
negara asal bagi hewan, produk hewan, ikan, produk ikan, tumbuhan, dan/atau
produk tumbuhan;
b. memasukkan media pembawa tidak melalui tempat pemasukan yang ditetapkan
oleh pemerintah pusat;
c. tidak melaporkan atau tidak menyerahkan media pembawa kepada pejabat
karantina di tempat pemasukan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat untuk
keperluan tindakan karantina dan pengawasan dan/atau pengendalian;
d. mentransitkan media pembawa tidak menyertakan sertifikat kesehatan darinegara
transit; dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan pidana denda
paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
2) Setiap orang yang mengeluarkan:
a. mengeluarkan media pembawa dengan tidak melengkapi sertifikat kesehatan bagi
hewan, produk hewan, ikan, produk ikan, tumbuhan, dan/atau produk tumbuhan;
b. mengeluarkan media pembawa tidak melalui tempat pengeluaran yang ditetapkan
oleh pemerintah pusat;
c. tidak melaporkan atau tidak menyerahkan media pembawa kepada pejabatkarantina
di tempat pengeluaran yang ditetapkan oleh pemerintahan pusat untuk keperluan
tindakan karantina dan pengawasan dan/atau pengendalian; dipidana dengan pidana
penjara paling lama tiga tahun dan pidana denda paling banyak Rp.
3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
3) Setiap orang yang memasukkan dan mengeluarkan:
a. media pembawa dari suatu area ke area lain di dalam wilayah negara kesatuan
republik indonesia yang tidak melengkapi sertifikat kesehatan dari tempat
pengeluaran yang ditetapkan oleh pemerintah pusat bagi hewan, produk hewan,
ikan, produk ikan,tumbuhan, dan/atau produk tumbuhan;
b. tidak melalui tempat pemasukan dan tempat pengeluaran yang ditetapkan oleh
pemerintah pusat;
c. tidak melaporkan atau tidak menyerahkan media pembawa kepada pejabatkarantina
di tempat pemasukan dan tempat pengeluaran yang ditetapkan oleh pemerintah
pusat untuk keperluan tindakan karantina dan pengawasandan/atau pengendalian;
d. mentransitkan media pembawa tidak menyertakan surat keterangan transit; dipidana
dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan pidana denda paling banyak Rp.
2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)
Dafus baru
Bulkaini, B., Kisworo, D., Sukirno, S., Wulandani, R., & Maskur, M. (2020). Kualitas Sosis Daging Ayam
Dengan Penambahan Tepung Tapioka. Jurnal Ilmu dan Teknologi Peternakan Indonesia (JITPI),
Indonesian Journal of Animal Science and Technology, 6(1), 10-15.
Ikhsan, M. (2022). MUTU ORGANOLEPTIK DAGING SAPI FERMENTASI DENGAN
PENAMBAHAN MEDIA FERMENTASI SAMU PADA KONSENTRASI YANG BERBEDA
(Doctoral dissertation, UIN SULTAN SYARIF KASIM RIAU).
Leviana, W., & Paramita, V. (2017). Pengaruh suhu terhadap kadar air dan aktivitas air dalam
bahan pada kunyit (Curcuma Longa) dengan alat pengering electrical oven. METANA, 13 (2),
37–44.
Dengen, P. M. R. (2015). perbandingan uji pembusukan dengan menggunakan metode uji
postma, uji eber, uji H2S dan pengujian mikroorganisme pada daging babi di pasar tradisional
sentral Makassar. Skripsi. Program Studi Kedokteran Hewan. Fakultas kedokteran. Universitas
Hasanuddin, Makasar.
Rabiulfa, P., Rudyanto, M. D., & Sudarmini, N. W. 2021. Angka Lempeng Total Bakteri pada
Daging Sapi Bali yang Dipasarkan Keluar Bali. Indonesia Medicus Veterinus. 10(1) : 12-20.
Kuntoro B, Maheswari RRA, Nuraini H. 2012. Hubungan Penerapan Standard Sanitation
Operasional Procedure (SSOP) Terhadap Mutu Daging Ditinjau dari Tingkat Cemaran Mikrob.
Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan 15(2): 70-80

Anda mungkin juga menyukai