Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Daging
Daging berperan cukup besar dalam konteks ketahanan pangan nasional karena
merupakan salah satu komoditas dengan kandungan gizi yang cukup lengkap (Usmiati,
2010). Daging merupakan bahan pangan yang penting dalam memenuhi kebutuhan gizi.
Selain mutu proteinnya yang tinggi, daging mengandung asam amino esensial yang
lengkap serta beberapa jenis mineral dan vitamin. Daging merupakan semua jaringan
hewan dan produksi hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk
dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang mengkonsumsinya
(Soeparno 2005), daging yang umum dikonsumsi dapat diperoleh dari ternak ruminansia
besar dan juga kecil seperti sapi, kerbau, domba, atau kambing, ternak unggas seperti
ayam atau itik, dan aneka ternak, seperti kelinci, rusa, kuda, atau babi. Menurut Belk et
al., (2001) daging adalah otot hewan yang tersusun dari serat-serat yang sangat kecil,
berupa sel memanjang yang disatukan oleh jaringan ikat, membentuk berkas ikatan yang
pada kebanyakan daging jelas kelihatan lemak pembuluh darah dan urat saraf.
Komposisi daging terdiri dari air 56–72%, protein 15-22%, lemak sekitar 3,5% yang
meliputi karbohidrat, garam organik, substansi nitrogen terlarut, mineral dan vitamin.
menurut (Tabrany, 2001). Komposisi daging dipengaruhi oleh jenis hewan, pemberian
pakan, kondisi iklim dan juga potongan daging yang dianggap berbeda tergantung pada
nutrisi dan sifat sensorisnya. Dengan melakukan seleksi terhadap ras hewan dan garis
keturunan secara genetik, komposisi karkas dapat berubah secara signifikan (Colmenero
et al., 2001).
Kualitas daging ditentukan oleh pertumbuhan komponennya antara lain tulang, lemak
dan otot. Otot yang terdapat pada bagian daging adalah otot skelet/ seran lintang. Apabila
otot seran lintang diperiksa tanpa alat pembesar, tampak adanya perbedaan warna pada
serabutnya yaitu tampak serabut otot yang berwarna merah dan serabut berwarna putih.
Warna daging merah banyak mengandung mioglobin, mitokondria, enzim respirasi,
serabut ototnya halus dan berhubungan dengan aktivitas otot yang tinggi. Sedangkan
warna putih mengandung sedikit mioglobin, mitokondria, enzim respirasi, serabutnya
kasar dan berhubungan dengan gerakan cepat dan singkat (Lawrie, 1991). Kualitas daging
juga dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah penyembelihan. Faktor sebelum
penyembelihan yang dapat mempengaruhi kualitas daging antara lain adalah tipe ternak,
jenis kelamin, umur, pakan, bahan aditif (hormon, antibiotik dan mineral), tingkat stress
hewan, genetik serta spesies. Faktor setelah penyembelihan yang mempengaruhi kualitas
daging antara lain meliputi metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, pH
daging, metode penyimpanan, dan macam otot daging (Soeparno, 1992). Penilaian
kualitas daging segar dapat dilakukan dengan menilai sampel daging yang sudah dipotong
dengan melakukan Uji Subyektif yang meliputi warna, bau, konsistensi, kepualaman,
tenunan jaringan pengikat, serta Uji Objektif yang meliputi nilai pH, kadar air, water
holding capacity (WHC), uji mikrobiologis. Daging yang bermutu baik adalah daging
yang memiliki warna cerah, permukaan mengkilat, tidak pucat, tidak berbau asam apalagi
busuk, konsistensinya liat dan masih terasa kebasahannya (Hadiwiyoto, 1983).
Berbeda dengan dengan daging segar, produk daging/olahan daging diartikan sebagai
produk olahan hasil proses yang berasal dari daging maupun produk lebih lanjut dari hasil
olahan tersebut sehinggan permukaan potongan menunjukan bahwa produk tersebut tidak
lagi memiliki ciri daging segar (Kamenik dan Steinhauser, 2001). Berbeda dengan daging
segar, daging olahan mengandung lebih sedikit protein dan air, dan lebih banyak lemak
dan mineral. Kenaikan presentase mineral daging olahan disebabkan karena penambahan
bumbu–bumbu dan garam, sedangkan kenaikan nilai kalorinya disebabkan karena
penambahan karbohidrat dan protein dari biji –bijian, tepung dan susu skim (Soeparno,
2011).
2.2 Pemeriksaan Kualitas Daging
2.1 Uji Subyektif
Evaluasi terhadap kualitas dan kesehatan daging dilakukan melalui Uji
Subyektif menggunakan panca indera, dengan melakukan pengamatan secara visual
terhadap daging dan olahan daging. Pemeriksaan subyektif daging mencangkup:
warna daging, bau (aroma) daging, konsistensi dan tekstur, keadaan tenunan
pengikat, kepualaman daging. Dengan melakukan pemeriksaan untuk mengetahui
kualitas dari daging serta olahan daging yang baik, sehingga daging tersebut layak
untuk dikonsumsi.
1. Warna Daging
Warna daging sangat tergantung pada jenis secara genetic, usia, pakan, umur,
jenis kelamin, stress, pH, dan oksigen. Warna pada daging merupakan salah satu
indicator penting dalam menentukan kualitas daging, namun warna tidak
mempengaruhi nilai gizi namun daging yang berwarna kuning cenderung
berkualitas rendah (Nugraheni dan Anggraeni, 2018). Daging sapi dewasa berbeda
dengan daging anak sapi, pada daging anak sapi umumnya agak pucat, kelabu
putih sampai merah pucat dan menjadi tua, serabutnya lebih halus daripada daging
sapi dewasa, konsistensinya agak lembek, bau dan rasanya berbeda dengan daging
sapi dewasa. Daging sapi dewasa dilihat secara makroskopis berwarna merah
pucat, berserabut halus dengan sedikit lemak, konsistensi liat, bau dan rasa
aromatis (Yudistira, 2005). Menurut Suardana dan Swacita, 2009 beberapa ternak
memberikam karakteristik khusus seperti daging sapi berwarna merah terang, ikan
berwarna putih abu-abu sampai merah gelap, kuda berwarna merah gelap, babi
berwarna pink kelabu dan unggas berwarna putih abu-abu sampai merah.
Adanya variasi warna daging pada beberapa hewan disebabkan oleh pigmen.
Pigmen adalah faktor terpenting dalam pembentukan warna daging, hal ini karena
kandungan haemoglobin (pigmen darah) dan mioglobin (pigmen jaringan). Namun
80-90% seluruh pigmen daging ditentukan oleh mioglobin.Daging yang terekspos
dengan udara (O2), mioglobin dan oksigen dalam daging akan bereaksi
membentuk ferrousoxymioglobin (OxyMb) sehingga daging akan berwarna merah
cerah. Apabila waktu kontak antara mioglobin dengan oksigen berlangsung lama,
maka akan terjadi oksidasi membentuk ferricmetmyoglobin (MetMb), sehingga
daging berwarna coklat dan tidak menarik (Jeong et al., 2009).

Gambar 2.1 Standar Warna Daging


Sumber: SNI, 2008
2. Bau (Aroma) Daging
Faktor-faktor yang mempengaruhi aroma daging adalah umur ternak, tipe
pakan, spesies, jenis kelamin, lemak, bangsa, lama waktu dan kondisi penyimpanan
daging setelah pemotongan (Forrest et al., 1975). Bau atau aroma daging
disebabkan oleh adanya fraksi yang mudah menguap berupa inosin-5-monofosfat
(merupakan hasil konversi dari adenosisne-5-trifosfat pada jaringan otot hewan
semasa hidup) yang mengandung hydrogen sulfide dan metal mercaptan. Daging
yang masih segar berbau seperti darah segar. Daging yang telah mengalami
pembusukan khususnya pada daging merah akan berbau busuk, bau dagung
merupakan campuran campuran dari aktivitas enzim lipolitik trasigliserol,
ketengikan oksidatif asam lemak tak jenh serta produk degradasi protein yang
terakumulasi dalam jaringan lemak. Produk degradasi protein dapat diketahui dari
pelepasan gas – gas ammonia (NH3), dan hydrogen sulfide (H2S) serta metal
mercaptan yang berbau busuk. Pelepasan gas – gas ini bersumber dari asam – asam
amnio penyusun protein daging yang mengandung gugus NH, gugus S, dan gugus
NH3 dalam kombinasi dengan senyawa lain. Pada daging sapi bali, bau yang lebih
dominan adalah bau darah segar (Suardana dan Swacita, 2009).
3. Konsistensi dan Tekstur
Tekstur daging menjadi salah satu unsur kualitas daging dan berpengaruh
terhadap daya tarik konsumen dalam memilih daging (Agustina et al., 2017).
Menurut Suardana dan Swacita, 2009 konsistensi daging dinyatakan dengan liat
(firmness), lembek (softness), berair (juiciness). Daging segar terasa liat sedangkan
daging yang mulai membusuk akan berair. Tekstur daging segar memiliki tekstur
yang halus dan daging yang mulai membusuk memiliki tekstur yang kasar. Ada
dua faktor penting yang dapat berpengruh terhadap konsistensi dan tekstur yaitu
antermortem (genetik, fisiologis, umur, manajemen hewan, jenis kelamin, dan
tingkat stress pada hewan) dan postmortem (chilling, refrigerasi, pelayuan,
pembekuan lama dan suhu penyimpanan termasuk dengan pemasakan dan
pengempukan). Komponen penting dalam penentuan keempukan daging adalah
status myofibril dan status kontraksi, kandungan jaringan ikat dan tingkat ikatan
silang, serta daya ikat air. Menurut Soeparno (2015), tekstur bisa bervariasi di
antara spesies, bangsa, ternak dalam spesies yang sama, potongan karkas dan di
antara otot serta otot yang sama.
4. Keadaan Tenunan Pengikat
Adanya tenunan pengikat dapat terlihat pada potongan melintang daging.
Sesuai dengan peraturan Direktorat Jenderal Peternakan RI, jika secara visual tidak
mengandung jaringan ikat atau negatif, maka daging tersebut termasuk dalam
klasifikasi mutu/Klas I. Jika jaringan ikat positif maka daging tersebut termasuk
mutu/Klas II. Pemeriksaan keadaan tenunan pengikat pada daging dapat diamati
secara visual terhadap penampang melintang daging, kemudian diperhatikan ada
tidaknya jaringan ikat.
5. Kepualaman
Kepualaman adalah suatu kondisi pada daging yang mengandung bintik bintik
lemak di antara serat-seratnya (intramuskuler) yang tampak secara visual.
Kemudian hasil yang didapatkan dari pengamatan digolongkan ke dalam tingkat
kepualaman berdasarkan standar The Japanese Meat Society (1974), sebagai
berikut.
a. 0 = bintik lemak absen (0% dari penampang melintang permukaan)
b. 1 = bintik lemak absen (10% dari penampang melintang permukaan)
c. 2 = bintik lemak absen (20% dari penampang melintang permukaan)
d. 3 = bintik lemak absen (30% dari penampang melintang permukaan)
e. 4 = bintik lemak absen (40% dari penampang melintang permukaan)
f. 5 = bintik lemak absen (50% dari penampang melintang permukaan)
Makin tinggi skor nilai yang diberikan oleh daging tersebut, maka makin baik
mutu daging tersebut sebagai bahan pangan karena akan mempengaruhi citarasa
daging setelah dimasak.
2.2 Uji Objektif
Pemeriksaan obyektif daging merupakan pemeriksaan daging dengan
menggunakan alat laboratoris. Pemeriksaan obyektif daging mencangkup: pH, daya
ikat air (water holding capacity /WHC), penetapan kadar air, dan uji mikrobiologis
daging.
1. Nilai pH Daging
Tingkat keasaman (pH) adalah indikator untuk menentukan derajat keasaman
atau kebasaan dari daging segar ataupun produk yang dihasilkan (Merthayasa, et
al., 2015). Menurut Setiawan et al., 2017 penurunan nilai pH pada otot hewan ang
sehat dan ditangani dengan baik sebelum pemotongan akan berjalan secara
bertahap mulai dari 7,0 dan akan mencapai nilai pH (ultimate pH value) akhir
sekitar 5,4-5,8. Penurunan pH terjadi setelah perubahan otot menjadi daging yang
disebabkan oleh terbentuknya asam laktat pada proses glikolisis. Jarak penurunan
pH tersebut tidak sama untuk semua urat daging dan tidak sama juga untuk seekor
hewan. Pada hewan sakit atau yang memperlihatkan penyimpangan maka dalam
waktu 48-72 jam sesudah penyembelihan tidak terlihat adanya penurunan pH.
Keadaan pH akhir setelah proses glikolisis selesai dipengaruhi oleh beberapa hal
antara lain keadaan keletihan dan stress. Hewan yang mengalami cekaman dan
keletihan setelah pengangkutan ke RPH akan menyebabkan kadar glikogen otot
menjadi rendah. Apabila hewan ini tidak diistirahatkan tetapi langsung disembelih
maka pH minimum yang dicapai hanya sekitar 6. Pada sapi, kerbau, biri-biri
setelah tiba dari pengangkutan kadar glikogen ototnya akan normal kembali
setelah istirahat minimal 1 hari (24 jam).
Keadaan pH akhir setelah proses glikolisis selesai dipengaruhi oleh beberapa
hal antara lain keadaan keletihan dan stress. Hewan yang mengalami cekaman dan
keletihan setelah pengangkutan ke RPH akan menyebabkan kadar glikogen otot
menjadi rendah. Apabila hewan ini tidak diistirahatkan tetapi langsung disembelih
maka pH minimum yang dicapai hanya sekitar 6. Pada sapi, kerbau, biri-biri
setelah tiba dari pengangkutan kadar glikogen ototnya akan normal kembali
setelah istirahat minimal 1 hari (24 jam) (Suardana dan Swacita, 2009).
2. Daya Ikat Air / Water Holding Capacity (WHC)
Daya ikat air atau Water Holding Capacity didefinisikan sebagai kemampuan
daging untuk menahan airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh
kekuatan, misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan, dan tekanan.
Protein daging berfungsi untuk mengikat air dalam daging. Komponen air yang
terdapat dalam daging dengan kualitas baik terdapat dalam tiga bentuk yaitu: air
yang terikat erat (tightly bound water), jumlahnya sangat sedikit, terletak didalam
molekul protein; air yang tidak bergerak (immobilized water); dan air bebas (free
water). Daya ikat air oleh protein daging memiliki efek langsung terhadap
penyusutan daging selama penyimpanan. Apabila daya ikat air rendah maka akan
terjadi penurunan kadar air daging yang mengakibatkan kehilangan berat yang
diikuti dengan penurunan nilai nutrisi selama penyimpanan (Suardana dan
Swacita, 2009). Sesuai dengan pendapat Pedersen, 1971 di dalam Soeparno (2005)
yang menyatakan banyak faktor yang mempengaruhi daya ikat air daging,
diantaranya pH, bangsa, pembentukan aktomiosin (rigormortis), temperatur dan
kelembaban, pelayuan karkas, tipe daging dan lokasi otot, fungsi otot, umur,
pakan, dan lemak intramuskuler.
3. Penetapan Kadar Air Daging
Batas ambang kadar air daging sapi yaitu 65 - 80% (Winarno dan Koswara,
2002). Kadar air dalam daging segar tercatat memiliki rata-rata 75%, untuk batas
normal antara 65 - 80% (Lawrie 2003). Kadar air daging sekitar 75,83% (Kuswati
2006). Kadar air yang tersedia dalam daging sangat mempengaruhi tingkat
pertumbuhan mikroorganisme. Kualitas karkas yang berhubungan dangan umur
dan lemak intramuskuler mempunyai pengaruh terhadap kadar air daging dan sapi
yang mendapat pakan berenergi tinggi akan meninmbun lemak intramaskular lebih
cepat dibanding sapi yang diberikan pakan berenergi rendah sehingga jumlah
deposisi lemak intramaskular lebih banyak dan berdampak pada presentase kadar
air yang rendah (Soeparno, 1994). Kadar air dalam daging juga dipengaruhi oleh
kandungan lemak intramuskuler yang terdapat dalam otot (Nurwantoro et al.,
2012). Kasmadiharja (2008) menyatakan bahwa kadar air yang meningkat
dipengaruhi oleh jumlah air bebas yang terbentuk sebagai hasil samping dari
aktivitas bakteri. Kadar air pada daging yang rendah bertujuan untuk mengurangi
tingkat kebusukan pada daging, jika kadar air dalam daging tinggi mempercepat
pertumbuhan jamur. Hal ini sesuai yang dilaporkan oleh kadar air daging yang
tinggi merupakan suatu faktor yang mendukung 9 perkembangan jamur dan
mikroorganisme, sehingga daging yang berkualitas tinggi kadar airnya harus
dalam batas yang normal (Anam et al., 2003).
4. Mikrobiologis Daging
Unsur utama daging adalah air, protein, lemak, vitamin dan mineral. Adanya
kandungan gizi tersebut mengakibatkan daging mudah rusak dan menjadi media
yang sangat cocok bagi pertumbuhan mikroorganisme terutama bakteri. Adanya
kontaminasi bakteri pada daging akan berdampak pada penurunan mutu daging
tersebut (Kuntoro et al., 2013). Kontaminasi mikrooganisme terjadi karena sanitasi
dan higienis yang kurang baik. Semakin buruk sistem sanitasi dan higienis, tingkat
pencemaran mikroba akan semakin tinggi (Hernando et al., 2015). Penyediaan
daging sapi yang kandungan mikrobanya tidak melebihi Batas Maksimum Cemaran
Mikroba (BMCM) sangat diharapkan dalam memenuhi persyaratan untuk
mendapatkan daging sapi yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH) (Hernando et
al., 2015). Berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan Badan Standardisasi
Nasional (BSN) persyaratan mikrobiologis dalam daging sapi yang beredar di
Indonesia adalah total plate count (TPC) 106 CFU/g, bakteri coliform 102 CFU/g,
bakteri S. aureus 102 CFU/g, bakteri Salmonella sp negatif per 25 g, dan bakteri E.
coli 10 CFU/g (SNI 3932, 2008). Apabila kandungan bakteri dalam daging sapi
melebihi standard yang telah ditentukan, maka daging sapi tersebut dianggap tidak
layak sebagai bahan pangan, karena kemungkinan menjadi mudah rusak/busuk.
Kemungkinan pula dapat menimbulkan penyakit apabila daging sapi tersebut
mengandung bakteri patogen diolah kurang sempurna dan selanjutnya dikonsumsi
(Nurwantoro et al., 2012).
Evaluasi pemeriksaan mikrobiologis pada daging dapat dilakukan dengan dua
media agar dan dua metode yaitu metode tuang dengan NA (Nutrient Agar) dan
metode sebar dengan EMBA (Eosin Methylene Blue Agar).
2.3 Pemeriksaan Produk Olahan Daging
Bahan segar memiliki keterbatasan mengingat sifatnya yang mudah rusak (perisable)
sehingga daging sapi memiliki keterbatasan baik terhadap ruang, tempat dan waktu untuk
didistribusi dari tangan konsumen ke tangan konsumen, yang sekaligus berdampak pada
penurunan fungsi ekonomis. Untuk mengatasi penurunan fungsi ekonomis produk daging,
maka perlu dilakukan upaya pengolahan (Sonbait, 2011). Pengolahan daging bertujuan
untuk menambah keragaman pangan, sedangkan pengawetan daging bertujuan untuk
memperpanjang masa simpan bahan pangan tersebut. Pemakaian bahan kimia dalam
pengawetan pada dasarnya sudah di lakukan pada pada pengolahan daging seperti abon,
nugget dendeng, sosis, corned beef, lidan asin, ham dan bakso. Di Indonesia pengolahan
daging yang cukup dikenal dan berkembang adalah bakso dan sosis (Zurriyati, 2011).
Bakso daging adalah produk makanan berbentuk bulatan atau lainnya yang diperoleh
dari campuran daging ternak dengan kadar daging tidak kurang dari 50% dengan pati atau
serealia disertai atau tanpa disertai penambahan bahan tambahan pangan yang diizinkan
(Zurriyati, 2011). Sosis merupakan salah satu produk makanan yang dapat digunakan
sebagai sumber protein hewani (Komariah et al., 2012).
Bahan pangan hewani dapat diolah menjadi suatu produk makanan melalui metode
tertentu misalnya dengan teknologi pengawetan, pengasapan, fermentasi, pengeringan dan
memberi suhu tinggi ataupun rendah sehingga bahan makanan dapat bertahan lebih lama
dan mempertahankan flavor/ rasa dari bahan pangan asal hewani khususnya daging
(Patriani et al., 2020). Adapun hal- hal yang perlu diperhatikan dalam pengolahan dan
pengawetan daging yaitu (Suardana dan Swacita, 2009):
1. Pengaruh metode pengolahan dan pengawetan terhadap mutu produk
2. Adanya bahan kesehatan baik bagi pengolah maupun konsumen
3. Kemungkinan salah penerapan dari metode pengolahan dan pengawetan
4. Masalah distribusi dan pemasaran
5. Evaluasi teknis dan ekonomis dari metode pengolahan dan pengawetan yang
dipergunakan
BAB III
MATERI DAN METODE

3.1 Materi
a. Waktu dan Tempat
Pemeriksaan daging dan produk olahan daging dilakukan di Laboratorium
Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana.
Waktu pemeriksaan dilaksanakan pada tanggal 22 Juli 2021 – 23 Juli 2021.
b. Sampel
Sampel yang diuji berupa tiga jenis daging segar yaitu daging sapi, daging
babi, dan daging ayam. Total jumlah sampel daging segar yang diuji adalah 6 sampel.
Keseluruhan daging segar dibeli dari tiga lokasi pasar berbeda, yaitu Pasar Tradisional
Sanglah dan Pasar Tradisional Badung. Sedangkan sampel produk olahan daging
yang diuji berupa sosis dan bakso yang terbuat dari daging sapi, daging babi, dan
daging ayam. Total jumlah sampel produk olahan daging yang diuji adalah x sampel.
Produk olahan daging dibeli di Pasar Modern Tiara Dewata.
c. Alat
Alat-alat yang dibutuhkan dalam pemeriksaan daging adalah pisau dapur,
talenan, timbangan, mortar, pH meter digital, mikropipet, pinset, lempengan kaca,
beban seberat 35 kg, tabung Eppendorf, cawan petri, cawan alumunium, alat pemanas,
oven, kertas, timer, dan incubator.
d. Bahan
Bahan-bahan yang dibutuhkan adalah sampel daging, sampel produk olahan
daging, media EMBA (Eosin Methylene Blue Agar), media NA (Nutrient Agar), dan
aquades.
3.2 Metode
a. Pemeriksaan secara Subyektif (Indrawi)
Pemeriksaan secara subyektif merupakan pemeriksaan yang dilakukan secara
indrawi. Pemeriksaan subyektif yang dilakukan pada daging meliputi pemeriksaan
terhadap warna, bau atau aroma, konsistensi dan tekstur, keadaan tenunan pengikat,
serta kepualaman. Sedangkan pemeriksaan secara subyektif pada olahan daging
meliputi pemeriksaan terhadap warna, bau atau aroma, serta konsistensi dan tekstur.
Pemeriksaan Warna Daging
Pemeriksaan terhadap warna daging dilakukan dengan cara mengiris daging
setebal 1 cm pada permukaan yang segar. Kemudian diamati warna daging
berdasarkan standar Photographic Colour Standard for Muscle Department of
Agriculture, Western Autralia (1982).
Tabel 3.1 Photographic Colour Standard for Muscle Department of Agriculture,
Western Autralia (1982)
Cokelat
Cokelat Cokelat Cokelat Cokelat
Cokelat Merah
Muda Kemerahan Merah Tua Gelap
Muda

1 2 3 4 5 6

Pemeriksaan Bau atau Aroma


Pemeriksaan terhadap bau atau aroma pada daging atau olahan daging
dilakukan dengan mencium bau sampel daging atau olahan daging, untuk
mengetahui apakah daging berbau darah segar, bau busuk, bau ammonia, bau H 2S,
atau bau lainnya.
Pemeriksaan Konsistensi dan Tekstur
Pemeriksaan konsistensi dapat dilakukan dengan cara meraba sampel daging.
Konsistensi daging dapat dinyatakan sebagai: liat (firmness), lembek (softness),
kering, atau berair (juiciness). Daging yang segar terasa liat, sedangkan daging
yang mulai membusuk terasa berair. Pemeriksaan tekstur dapat dinyatakan dengan
halus atau kasar. Daging yang segar akan mempunyai tekstur halus sedangkan pada
daging yang mulai membusuk memiliki tekstur yang kasar.
Pemeriksaan Keadaan Tenunan Pengikat
Pemeriksaan keadaan tenunan pengikat pada daging dapat diamati secara
visual terhadap penampang melintang daging, kemudian diperhatikan ada tidaknya
jaringan ikat. Pemeriksaan keadaan tenunan pengikat berdasarkan peraturan
Direktorat Jenderal Peternakan Republik Indonesia, dikategorikan menjadi Mutu I
dan Mutu II. Mutu I apabila daging yang dilihat secara visual tidak mengandung
jaringan ikat. Sedangkan kategori Mutu II apabila daging yang dilihat secara visual
mengandung jaringan ikat.
Pemeriksaan Kepualaman
Kepualaman daging dapat diperiksa pada penampang daging secara melintang
dengan mengamati ada tidaknya bintik-bintik lemak diantara serat- serat daging
yang tampak secara visual. Kemudian hasil yang didapatkan dari pengamatan
digolongkan ke dalam tingkat kepualaman berdasarkan standar The Japanese Meat
Society (1974), sebagai berikut.
 0 = bintik lemak absen (0% dari penampang melintang permukaan)
 1 = bintik lemak absen (10% dari penampang melintang permukaan)
 2 = bintik lemak absen (20% dari penampang melintang permukaan)
 3 = bintik lemak absen (30% dari penampang melintang permukaan)
 4 = bintik lemak absen (40% dari penampang melintang permukaan)
 5 = bintik lemak absen (50% dari penampang melintang permukaan)
b. Pemeriksaan secara Objektif
Pemeriksaan secara objektif dilakukan dengan menggunakan alat-alat
laboratotium meliputi pemeriksaan terhadap pH, Daya Ikat Air/Water Holding
Capacity (WHC), Kadar Air, dan Uji Mikrobiologis.
Pemeriksaan Nilai pH
Diambil setiap sampel daging sapi, babi, dan ayam dari dua Pasar Tradisional
berbeda sebanyak masing-masing ± 5 gram. Masing- masing sampel daging
dilumatkan di dalam mortar dengan ditambahkan aquades sebanyak 5 ml
kemudian dihomogenkan. Disiapkan alat pH Meter yang telah dikalibrasi dengan
larutan Buffer pH 4,0 dan pH 7,0. Elektroda yang sudah dikalibrasi kemudian
dimasukkan ke masing-masing ekstrak daging, kemudian dibaca setelah
angkanya tetap. Pengukuran pH diulang kembali untuk memastikan hasil yang
didapatkan konstan.
Pemeriksaan Daya Ikat Air (Water Holding Capacity) dengan Metode Hamm
Sampel daging ditimbang sebanyak ± 5 gram dan ditempatkan diatas kertas.
Masing-masing sampel diberi label agar tidak tertukar dengan yang lainnya.
Letakkan di atas kaca dan bagian atasnya ditutup dengan lempengan kaca lain.
Lakukan penekanan dengan beban seberat 35 kg. Setelah didiamkan selama 10
menit, daging diambil dan ditimbang kembali. Selanjutnya, dihitung daya ikat air
dengan rumus:
Berat Residu
Daya Ikat Air ( % )= ×100 %
Berat Awal
Keterangan: Berat Residu adalah berat daging sebelum kadar air terlepas
dikurangi dengan berat daging seletah kadar air nya terlepas melalui proses
penekanan dengan beban.
Pemeriksaan Kadar Air
Pemeriksaan kadar air dilakukan dengan membuat potongan daging seberat ±
3 gram yang kemudian diletakkan pada cawan alumunium yang sudah ditimbang
menggunakan neraca analitik dan dipanaskan hingga berat cawan konstan. Cawan
yang sudah dipanaskan dimasukkan dalam desikator untuk didinginkan. Potongan
daging dimasukkan ke dalam cawan alumunium dan ditimbang. Kemudian
daging dan cawan dipanaskan dalam oven dengan suhu 105oC selama 3 jam.
Berat daging dan cawan yang sudah konstan kemudian dihitung kandungan air
yang keluar selama pengeringan menggunakan rumus berikut:
Berat Awal−Berat Akhir
Kadar Air ( % )= ×100 %
Berat Awal
Uji Mikrobiologis
Perhitungan jumlah mikroba pada daging dilakukan dengan metode sebar
dengan menggunakan media EMBA (Eosin Methylene Blue Agar) dan
pemeriksaan dengan metode tuang menggunakan media NA (Nutrient Agar).
Perhitungan terhadap cemaran mikroba dilakukan dengan cara menghitung
jumlah koloni yang tumbuh pada media agar.
a) Pembuatan Ekstrak Daging
Pembuatan ekstrak daging dilakukan dengan menggerus 5 g daging
dengan menggunakan mortir kemudian ditambahkan 5 ml aquades, kemudian
pisahkan ekstrak dari dagingnya. Ekstrak daging siap digunakan.
b) Pengenceran Sampel Daging
Pengenceran dapat dilakukan dengan cara mengambil ekstrak daging tadi
kemudian siapkan 3 tabung Eppendorf yang diisi 0,9 cc aquades menggunakan
pipet pasteur. Kemudian 0,9 cc aquadest ditambahkan 0,1 ekstrak daging sapi,
ayam dan babi jadilah pengenceran 10x, kemudian ambil 0,1 dari pengenceran
pertama dan masukkan kedalam tabung ependorf kedua yang sudah berisi 0,9cc
aquadest jadilah pengenceran 100x, kemudian ambil kembali 0,1 dari
pengenceran 100x kemudian dimasukkan kedalam tabung ependorf yang ketiga
jadilah pengenceran 1000x. Pengenceran pada ependorf ketiga (semua
volumenya jadi 1 cc) dimasukkan ke dalam cawan petri dan siap ditanam pada
media agar.
c) Metode Sebar dengan Media EMBA
Sebelum dilakukan penanaman inokulum terlebih dahulu dilakukan
pembuatan media yaitu dengan cara: Timbang 0,15 (25 ml x 6 cawan petri =
150 ml) x 37,5 g = 5,62 g media EMBA dengan neraca analitik. Tambahkan
aquades sampai volumenya 150 ml. Kemudian panaskan diatas kompor sambil
diaduk beberapa menit sampai mendidih. Diamkan beberapa menit lalu
tuangkan ke dalam 6 buah cawan petri dengan volume ±20 ml / petri. Tunggu
sampai media menjadi padat, dan media siap digunakan untuk penanaman
kuman/inokulum dengan metode sebar. Penanaman kuman/inokulum dilakukan
dengan memasukan 0,1 inokulum kedalam media EMBA, kemudian cawan
petri dimasukkan kedalam inkubator dengan suhu 370C selama 24 jam.
Setelah itu dilakukan penghitungan keloni dengan menggunakan
rumus:
1
Jml .Coliform=Jml . Koloni ×
Fak . Pengenceran ( 1 ) × Vol . Ekstrak Daging
Keterangan:
Jumlah Koloni : Koloni yang terhitung dimedia pertumbuhan
Faktor Pengencer : 1 (karena tanpa pengenceran)
Volume Inokulum : 0.1 ml
d) Metode Tuang dengan Media NA
Sebelum dilakukan penanaman inokulum terlebih dahulu dilakukan
pembuatan media yaitu dengan cara : Timbang 0,15 (25 ml x 6 cawan petri =
150 ml) x 28 g= 4,2 g media Nutrient Agar dengan neraca analitik. Tambahkan
aquades sampai volumenya 150 ml. Kemudian panaskan diatas kompor sambil
diaduk-aduk beberapa menit. Media dengan suhu ± 45 0C siap digunakan untuk
penanaman kuman/inokulum dengan metode tuang. Penanaman inokulum
dilakukan dengan mengambil Pengenceran ketiga dari tiap-tiap sampel daging
diambil sebanyak 1 ml kemudian dimasukkan kedalam cawan petri, tuang NA
cair dengan suhu ± 450C kemudian dihomogenkan. Masukkan cawan petri
kedalam inkubator dengan suhu 370C selama 24 jam. Setelah itu dilakukan
penghitungan koloni dengan menggunakan rumus :
1
ALTB=Jumlah Koloni ×
Faktor Pengenceran ×Vol . Inokulum
Keterangan:
Jumlah Koloni : Koloni yang terhitung dimedia pertumbuhan
Faktor Pengencer : 10-3 (pengenceran 3 kali)
Volume Inokulum : 1 ml
c. Pemeriksaan Kualitas Produk Olahan Daging
Pemeriksaan kualitas produk olahan daging dilakukan melalui uji subjektif yang
meliputi pemeriksaan warna, bau, konsistensi, dan tekstur, serta uji objektif meliputi
pemeriksaan nilai pH. Metode yang digunakan pada pemeriksaan kualitas olahan
daging sama dengan metode pemeriksaan kualitas daging.
DAFTAR PUSTAKA

Sonbait, LY. 2011. Kesukaan Konsumen Terhadap Produk Olahan Daging Sapi di Kota
Manokwari. Agrinimal, 1 (2): 71-75.

Komariah, Sirajuddin, Purnomo. 2012. Aneka Olahan Daging Sapi. Agro Media. Bogor.

Patriani,P. Hafid, H., Mirwandhono, E., Wahyuni, T.H. 2020. Teknologi pengolahan daging.
CV Anugerah Pangeran Jaya Press. Medan.

Kuntoro, B., Maheswari, R. R. A., & Nuraini, H. (2013). Mutu fisik dan mikrobiologi daging
sapi asal rumah potong hewan (RPH) Kota Pekanbaru. Jurnal Peternakan, 10(1).

Jeong, J. Y., S.J. Hur, H.S. Yang, S.H. Moon, Y.H. Hwang, G.B. Park, S.T. Joo. 2009.
Discoloration characteristics of 3 major muscles from cattle during cold storage.
Journal of food science, 74(1).

Estancia K., Isroli, Nurwantoro. (2012). Pengaruh Pemberian Ekstrak Kunyit (Curcuma
domestica) terhadap Kadar Air, Protein, dan Lemak Daging Ayam Broiler. Animal
Agriculture Journal, Vol. 1. No. 2, 2012, p 31-39.

Hernando D, Septinova D, Adhianto K. 2015. Kadar air dan total mikroba pada daging sapi
di Tempat Pemotongan Hewan (TPH) Bandar Lampung. Jurnal Ilmiah Peternakan
Terpadu Vol. 3(1): 61-67.

Suardana, I.W dan I.B.N Swacita. 2009. Hygine Makanan. Udayana University Press.
Denpasar.

Kasmadiharja, H. 2008. Kajian Penyimpanan Sosis, Nuget Ayam dan Daging Ayam
Berbumbu dalam Kemasa Polipropilen Rigid. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Kuswati. E. 2006. Evaluasi Total Bakteri, Water Holding Capacity dan Kadar Air Daging
Sapi di Pasar Salatiga. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro,
Semarang.

Yudistira. 2005. Mengenali Daging Sehat. http://www.google. com/

Jiménez-Colmenero F, Carballo J, Cofrades S. Healthier meat and meat products: their role as
functional foods. Meat Sci. 2001 Sep;59(1):5-13. doi: 10.1016/s0309-1740(01)00053-
5. PMID: 22062500

Belk, K.E,George, M.H., Tatum, J.D., Hilton, G.G., Miller, R.K., Koohmaraie, M., Reagan,
J.O., Smith, G.C. 2001. Evaluation of the tendertec beef grading instrument to predict
the tenderness of steaks from beef carcasses. J Anim Sci 79:688-697.

Lawrie R.A. 1991. Meat Science. Fifth Edition. University of Nottingham


Lawrie, RA. 2003. Ilmu Daging. Universitas Indonesia. Jakarta.

Soeparno. (1992). Ilmu dan Teknologi Daging. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta.

Soeparno. (1994). Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Soeparno. (2005). Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan ke-4. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta

Soeparno. 2011. Ilmu Nutrisi dan Gizi Daging. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Tabrany T. 2001. Pengaruh Proses Pelayuan Terhadap Keempukan Daging. Makalah


Falsafah Sains (PPs 702). Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Winarno, F. G., dan Koswara, S. 2002. Telur Komposisi, Penanganan dan Pengolahannya.
M-Brio Press, Bogor.

Nurwantoro, V. P. Bintoro, A. M. Legowo, A. Purnomoadi., L. D. Ambara, A.Prokoso dan S.


Mulyani. 2012. Nilai pH, kadar air, dan total escherichia coli daging sapi yang
dimarinasi dalam jus bawang putih. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan, 1(2): 20-22.

Zurriyati Y. 2011. Palatabilitas Bakso Dan Sosis Sapi Asal Daging Segar, Daging Beku Dan
Produk Komersial. Jurnal Peternakan 8(2) : 49-57.

Anda mungkin juga menyukai