Anda di halaman 1dari 8

BAB II

PEMBAHASAN

A. Sifat Fisik Daging

1. Water Holding Capacity (WHC)

Daya ikat air oleh protein daging dalam bahasa asing disebut sebagai
Water Holding Capacity (WHC), didefinisikan sebagai kemampuan daging
untuk menahan airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh
kekuatan, misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan, dan
tekanan. Daging juga mempunyai kemampuan untuk menyerap air secara
spontan dari lingkungan yang mengandung cairan (water absorption).

Ada tiga bentuk ikatan air di dalam otot yakni air yang terikat secara
kimiawi oleh protein otot sebesar 4 – 5% sebagai lapisan monomolekuler
pertama. Kedua air terikat agak lemah sebagai lapisan kedua dari molekul
air terhadap grup hidrofilik, sebesar kira-kira 4%, dimana lapisan kedua ini
akan terikat oleh protein bila tekanan uap air meningkat. Ketiga adalah
lapisan molekul-molekul air bebas diantara molekul protein, besarnya kira-
kira 10%.

2. Warna Daging

Ada tiga atribut yang dipertimbangkan dalam penentuan warna yakni: hue,
chroma, dan value. Hue berhubungan dengan warna, misalnya kuning,
hijau, biru, atau merah, dalam kenyataan hue dijelaskan lewat panjang
gelombang dari radiasi cahaya. Chroma (kemurnian, atau kejenuhan)
menjelaskan jumlah atau intenstitas warna fundamental. Value merupakan
indikasi dari reflectance cahaya (ketajaman) dari warna yakni terang atau
gelap. Diketahui penentu warna daging adalah pigmen daging mioglobin,
yang mana konsentrasinya dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti jenis
ternak, bangsa, jenis kelamin, umur, jenis otot, tingkat aktivitas otot, pakan,
pH dan oksigen.
Kontributor yang paling penting terhadap warna daging adalah pigmen
yang mengabsorpsi sejumlah panjang gelombang cahaya dan refleksi
lainnya. Namun demikian sejumlah factor mempengaruhi dan memodifikasi
cara dimana warna secara visual diterima. Warna daging adalah total
impressi yang dilihat oleh mata , dan dipengaruhi oleh kondisi
pemandangan. Juga terdapat perbedaan yang jelas diantara individu dalam
persepsi tentang warna. Struktur dan tekstur otot yang dipandang juga
mempengaruhi refleksi dan absorpsi cahaya.

Pigmen daging terdiri atas dua protein yakni hemoglobin, pigmen darah,
dan myoglobin, pigmen otot Dalam pencampuran yang tepat pada jaringan
otot, myoglobin terdiri atas 80 -90% dari total pigmen. Pigmen semacam
enzim katalase dan sitokrom juga ada tetapi kontribusinya terhadap warna
adalah sedikit.

Struktur dari kedua pigmen utama adalah sama, kecuali molekul


myoglobin seperempat lebih besar dari molekul hemoglobin. Myoglobin
terdiri atas bagian protein globular (globin) dan bagian bukan protein
disebut cincin heme. Bagian heme dari pigmen mendapatkan perhatian
khusus karena warna daging sebagian tergantung dari tingkat oksidasi zat
besi didalam cincin heme. Kuantitas mioglobin bervariasi diantar jenis
ternak, umur, jenis kelamin, otot, dan aktivitas fisik, yang akan
memepengaruhi variasi warna daging. Perbedaan jenis ternak terlihat antara
warna ringan pada daging babi dibanding warna merah cerah pada daging
sapi. Warna pucat otot pada karkas anak sapi (veal) adalah indikasi bahwa
otot yang belum dewasa pada ternak mempunyai kandungan mioglobin
yang rendah dibanding pada ternak yang lebih dewasa. Pada pejantan
mempunyai otot-otot yang mengandung lebih banyak mioglobin daripada
ternak betina atau jantan kastrasi pada umur yang sama. Karena perbedaan
kandungan mioglobin, otot dada ayam lebih terang daripada otot yang lebih
gelap (tua) warnanya seperti pada kaki dan paha. Ternak aduan (permainan)
mempunyai otot yang lebih gelap daripada ternak peliharaan (domestic)
karena sebagian disebabkan induksi mioglobin oleh aktivitas fisik. Pada
umumnya, daging sapi dan domba mempunyai mioglobin yang lebih banyak
daripada daging babi, anak sapi, ikan atau unggas.

Warna daging dari beberapa jenis ternak:

a. Daging sapi – merah cerah (bright cherry red)

b. Daging babi – merah pink keabuan (grayish pink)

c. Ikan – putih kelabu – merah gelap (gray-white to dark red)

d. Unggas – putih kelabu – merah pudar (gray-white to dull red)

e. Kuda – merah gelap (dark red)

f. Anak sapi – merah pink kecoklatan (brownish pink)

g. Domba dan anak domba – merah ringan – merah bata (light red to brick
red)

Perbedaan kandungan mioglobin antar otot (dan banyak variasi diantara


jenis ternak) disebabkan karena tipe serat otot. Pada otot dimana proporsi
relatif tinggi (30 – 40%) serat merah memperlihatkan merah merah gelap
(tua). Namun demikian, jika diamati secara histologis, serat-serat kaya
mioglobin masih dapat dilihat bercampur, dengan mudah dibedakan dengan
serat-serat putih. Jadi, warna otot merah gelap adalah serin sebagaii
konsekuensi sederhana dari frekuensi tinggi dari serat-serat merah.

3. Struktur ketegaran dan tekstur

Sifat ini sulit diukur secara objektif. Sifat ini diukur oleh konsumen secara
visual, diraba, dan dirasakan. Ketegaran antara karkas yang telah mengalami
pelayuan (chilled) berbeda dengan karkas segar. Setting up ialah
penambahan ketegaran karena kehilangan ekstensibilitas yang diikuti oleh
penyempurnaan rigormortis dan solidifikasi di dalam dan sekitar otot saat
chilling. Lemak intramaskuler (marbling) mempengaruhi ketegaran daging
yang telah didinginkan (refrigerated) karena solidifikasi lemak selama
chilling.

Tekstur daging dipengaruhi oleh jumlah jaringan ikat dalam otot. Otot
yang banyak bergerak, teksturnya kasar, seperti paha yang kurang empuk.
Otot yang kurang gerak, teksturnya halus, seperti psoas. Jumlah jaringan
ikat pada otot tidak bertambah seiring naiknya umur ternak.

Nilai keempukan daging ditentukan dengan metode shear press menurut


Warner-Blatzer (Bouton et al., 1971). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
penyimpanan beku dapat menurunkan nilai daya putus atau meningkatkan
keempukan daging secara nyata pada penyimpanan beku selama 0 sampai 2
bulan, dan tidak berbeda nyata pada penyimpanan beku selama 3 sampai 6
bulan . Hal ini disebabkan karena selama proses pembekuan dan
penyimpanan beku terjadi kerusakan protein-protein daging, misalnya
protein miofibrilar dan sarkoplasmik (Awad et al., 1968 cit Soeparno,
1998). Pembekuan cepat dapat meningkatkan keempukan daging, karena
struktur jaringan mengalami perubahan, misalnya denaturasi protein.

Salah satu penilaian mutu daging adalah sifat keempukannya yang


dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor yang mempengaruhi keempukan
daging ada hubungannya dengan komposisi daging itu sendiri, yaitu berupa
tenunan pengikat, serabut daging, sel-sel lemak yang ada diantara serabut
daging serta rigor mortis daging yang terjadi setelah ternak dipotong. Faktor
yang mempengaruhi keempukan daging digolongkan menjadi faktor
antemortem (sebelum pemotongan) seperti genetik (termasuk bangsa,
spesies, dan status fisiologi), umur, manajemen, jenis kelamin, serta stres,
dan faktor postmortem (setelah pemotongan) yang meliputi metode chilling,
refrigerasi, pelayuan/pemasakan (aging), pembekuan (termasuk lama dan
temperatur penyimpanan), dan metode pengolahan (termasuk metode
pemasakan dan penambahan bahan pengempuk). Keempukan daging dapat
diketahui dengan mengukur daya putusnya, semakin rendah nilai daya
putusnya, semakin empuk daging tersebut. Tujuan dari tinjauan ini adalah
memberikan informasi mengenai keempukan daging dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya.

4. Ph Daging

Pengaruh stres sesaat sebelum pemotongan terhadap bermacam-macam


otot sapi sangat bervariasi. Misalnya, sejumlah otot mengalami peningkatan
cairan daging, sementara otot lain dapat menjadi kering. Stres sebelum
pemotongan, seperti iklim, tingkah laku agresif diantara ternak sapi atau
gerakan yang berlebihan, juga mempunyai pengaruh yang besar terhadap
penurunan atau habisnya glikogen otot dan akan menghasilkan daging yang
gelap dengan pH yang tinggi (lebih besar dari 5,9)

Setelah pH menurun pasca pemotongan, kemudian pH akan mencapai


konstan pada beberapa waktu dan waktu ini bertambah meskipun daging
dalam keadaan dingin dan akan naik lagi pH-nya pada kontaminasi dan
kondisi membusuk. Bila pH mencapai 6,7 atau lebih, secara objektif
pembusukan telah terjadi dan akan terbentuk perubahan bau, warna, dan
susunan komposisinya.

Nilai pH pasca mati akan ditentukan oleh jumlah asam laktat yang
dihasilkan dari glikogen selama proses glikolisis anaerob dan hal ini akan
terbatas bila glikogen terdeplesi karena lelah, kelaparan, atau takut pada
hewan sebelum dipotong. Berhubung pH adalah faktor penentu
pertumbuhan bakteri yang penting, maka jelas bahwa pH akhir daging
memang penting untuk ketahannya terhadap pembusukan. Hampir semua
bakteri tumbuh secara optimal pada pH sekitar 7 dan tidak akan tumbuh
persis dibawah pH 4 atau diatas 9, tetapi pH untuk pertumbuhan optimal
ditentukan oleh kerja stimulan dari berbagai variabel lain di luar faktor
keasaman itu sendiri.

5. Susut Masak
Susut masak merupakan persentase berat daging yang hilang akibat
pemasakan dan merupakan fungsi dari waktu dan suhu pemasakan. Daging
dengan susut masak yang rendah mempunyai kualitas yang relatif lebih baik
daripada daging dengan persentase susut masak yang tinggi, hal ini karena
kehilangan nutrisi selama proses pemasakan akan lebih sedikit. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa terdapat interaksi(P<0,05) antara jenis
ternak dan lama postmortemnterhadap susut masak daging. Rataan susut
masak daging sapi pada 4 jam postmortemnyata lebih tinggi.

Menurut Lawrie (2003), nilai susut masak daging cukup bervariasi yaitu
antara 1,5% sampai 54,5% dengan kisaran 15% sampai 40%. Hal ini
menunjukkan bahwa susut masak yang diperoleh pada berbagai jenis ternak
dengan lama postmortem yang berbeda adalah bervariasi. Susut masak
merupakan indikator nilai nutrisi daging yang berhubungan dengan kadar air
daging, yaitu banyaknya air yang terikat di dalam dan di antara otot. Daging
dengan susut masak yang rendah mempunyai kualitas yang relatif lebih baik
daripada daging dengan persentase susut masak yang tinggi, karena
kehilangan nutrisi selama proses pemasakan akan lebih sedikit. Menurut
Shanks et al. (2002), besarnya susut masak dipengaruhi oleh banyaknya
kerusakan membran seluler, banyaknya air yang keluar dari daging,
degradasi protein dan kemampuan daging untuk mengikat air.

Susut masak daging sapi dipengaruhi oleh daya ikat air dan kadar air.
Semakin tinggi daya ikat air, semakin rendah kadar air daging sapi. Hal ini
diikuti oleh turunnya persentase susut masak daging sapi. Rataan susut
masak daging sapi yang didapatkan dari penelitian ini menurun sebanding
dengan penurunan kadar air. Daging yang mempunyai angka susut masak
rendah, memiliki kualitas yang baik karena kemungkinan keluarnya nutrisi
daging selama pemasakan juga rendah.

Nilai susut masak daging sapi yang disimpan beku selama 0 sampai 6
bulan pada temperatur -180C menunjukkan peningkatan secara nyata sampai
dengan lama penyimpanan 2 bulan dan tidak berbeda nyata pada
penyimpanan beku selama 3 sampai 6 bulan. Hal ini dikarenakan selama
penyimpanan beku terjadi perubahan-perubahan protein otot, yang
menyebabkan berkurangnya nilai daya ikat air protein otot dan
meningkatnya jumlah cairan yang keluar (drip) dari daging akibat dari
pembekuan dan penyimapan beku daging .

B. Komposisi Kimia Daging

Daging sebagai sumber protein hewani memiliki nilai hayati (biological


value) yang tinggi, mengandung 19% protein, 5% lemak, 70% air, 3,5% zat-zat
non protein dan 2,5% mineral dan bahan-bahan lainnya. Komposisi daging
menurut Lawrie (1991) terdiri atas 75% air, 18% protein, 3,5% lemak dan
3,5% zat-zat non protein yang dapat larut. Secara umum, komposisi kimia
daging terdiri atas 70% air, 20% protein, 9% lemak dan 1% abu. Jumlah ini
akan berubah bila hewan digemukkan karena akan menurunkan persentase air
dan protein serta meningkatkan persentase lemak.

Komposisi kimia daging secara umum dapat diestimasi, yaitu air sekitar
75%, protein 19%, lemak 2,5%, karbohidrat 1,2%, subtanasi non protein lemak
yang larut 2,3% termasuk subtansi nitro genus 1,65% dan subtansi anorganik
0,65%, dan vitamin-vitamin yang larut dalam lemak dan dalam air, relatif
sangat sedikit (Soeparno, 2011).

Nilai gizi daging dapat dilihat dari bahan kering daging tersebut yaitu
protein yang merupakan bahan kering terbesar pada daging, lemak merupakan
bahan pangan yang berenergi tinggi karna setiap gramnya banyak memberikan
energi. Daging biasanya diperoleh dari beberapa ternak yang dipotong, dan
yang lazim dimanfaatkan oleh masyarakat antara lain daging kambing, sapi,
kerbau, ayam, babi dan lain lain. Soeparno (2009) menyatakan kualitas kimia
daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah pemotongan. Faktor
sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging adalah
genetik, spesies, bangsa, dan bahan aditif (hormon, antibiotik dan mineral)
serta keadaan stress.

Anda mungkin juga menyukai