Anda di halaman 1dari 7

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konversi Otot Menjadi Daging

Kondisi ternak sebelum penyembelihan akan mempengaruhi tingkat


konversi otot menjadi daging dan juga mempengaruhi kualitas daging yang
dihasilkan (Soeparno 2005). Perubahan dari otot menjadi daging dimulai dari pe-
nyembelihan hewan. Penyembelihan dilakukan pada bagian leher dengan
memotong esofagus, trachea, dan saluran darah (Arteri carotis dan Vena
jugularis) dengan memperhatikan syariah agama Islam dan kaidah kesejahteraan
hewan (SK Mentan. 1992). Setelah hewan disembelih (mati), terjadi perubahan
yang sangat kompleks di dalam jaringan otot yang meliputi perubahan biokimia,
fisik, dan mikrobiologis. Secara umum, perubahan tersebut diawali dengan ber-
hentinya sirkulasi darah, yang mengakibatkan tidak adanya pasokan (supply) ok-
sigen ke jaringan, sehingga menimbulkan konsekuensi perubahan pada, jaringan
termasuk otot (Lukman et al. 2007). Secara umum perubahan-perubahan tersebut
dapat dilihat pada Gambar 2 berikut :

Sirkulasi darah terhenti

Tidak ada supply oksigen

Respirasi
Glikolisis
terhenti
anaerob

Penurunan kadar
ATP dan CP Penurunan nilai
pH

Rigor Pembebasan dan


Denaturasi
mortis aktivasi enzim
Protein
6

Gambar 2 Perubahan-perubahan fisiko-kimia pada otot setelah hewan disembelih


(Lukman et al. 2007)
Pengeluaran darah sebagai akibat penyembelihan ternak menyebabkan
persediaan oksigen di dalam otot yang berikatan dengan mioglobin makin
menurun dan menjadi habis. Akibatnya sistem enzim dari sitokrom tidak dapat
beroperasi dan sintesis ATP tidak dapat diproduksi. Tidak berhasilnya mensintesis
kembali ATP melalui proses glikolisis anaerob, maka tidak memungkinkan
mempertahankan tingkat ATP, sehingga ikatan aktin miosin yang terkunci yang
mengakibatkan otot menjadi keras proses ini dikenal dengan rigor mortis (Lawrie
1979; Swatland 1984).

Selama pelayuan (aging/conditioning) terjadi proses post rigor yang


menyebabkan peningkatan aktivitas enzim proteolitik yang menyebabkan
peningkatan keempukan dan cira rasa (flavor)daging. Pada proses ini juga terjadi
degradasi protein oleh enzim kalpain dan katepsin. Pelayuan pada daging sapi
dapat dilakukan pada temperatur 4 ºC selama 12 hari atau pada temperatur kamar
(29 ºC) selama 8 – 12 jam, selama proses tersebut terjadi perubahan secara
sempurna dari otot menjadi daging (Lukman et al. 2007).

2.2. pH Daging

Pada umumnya nilai pH daging sapi yang diukur pada jam pertama
postmortem adalah 7.0 – 7.2. Pada saat mulai rigor mortis, nilai pH daging
menjadi 5.90 dan kemudian mencapai pH akhir 5.50 yang dicapai kurang lebih
setelah 24 jam (Soeparno 2005). Nilai pH daging setelah hewan mati (nilai pH
postmortem) akan menurun mencapai pH akhir. Penurunan nilai pH tersebut
dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mempengaruhi laju glikolisis. Nilai pH
daging tidak akan pernah kurang dari 5.3, karena pada pH dibawah 5.3 enzim-
enzim yang berperan dalam proses glikolisis tidak aktif (Lawrie 1979). Menurut
Soeparno (2005) Faktor yang mempengaruhi laju dan besarnya penurunan pH
postmortem dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu faktor intrinsik dan faktor
ekstrinsik. Faktor intrinsik antara lain adalah spesies, tipe otot, glikogen otot dan
variabilitas diantara ternak, sedangkan faktor ekstrinsik, antara lain adalah
7

temperatur lingkungan, perlakuan bahan aditif sebelum penyembelihan dan stress


sebelum penyembelihan.

Menurut Soeparno (2005) sapi yang mengalami stress atau kelelahan


sebelum dipotong, maka kandungan glikogen pada otot akan menipis, sehingga
konsentrasi asam laktat yang terbentuk tidak bisa membuat pH mencapai angka
5,6, bila pH lebih tinggi misalnya 6,2 maka daging akan terlihat gelap, keras dan
kering yang dikenal dengan nama dry, firm, dark (DFD). Warna gelap pada
daging ini berhubungan dengan daya ikat air (water holding capacity) yang lebih
tinggi dari normal. Dengan tingginya daya ikat air tersebut, menyebabkan keadaan
serabut otot menjadi lebih besar dan lebih banyak cahaya yang diserap dari yang
dipantulkan oleh permukaan daging, hal ini yang menyebabkan daging terlihat
lebih gelap

Penimbunan asam laktat dan tercapainya pH ultimat (akhir) otot


postmortem tergantung pada jumlah cadangan glikogen otot pada saat
penyembelihan. Penimbunan asam laktat akan berhenti setelah cadangan glikogen
otot menjadi habis atau setelah kondisi yang tercapai yaitu pH cukup rendah untuk
menghentikan aktivitas enzim-enzim glikolitik didalam proses glikolisis
anaerobik. Jadi pH ultimat daging adalah pH yang tercapai setelah glikogen otot
menjadi habis atau setelah enzim-enzim glikolitik menjadi tidak aktif pada pH
rendah atau setelah glikogen tidak lagi sensitif terhadap serangan enzim glikolitik
(Pearson 1971; Lawrie 1979). pH ultimat normal daging postmortem adalah
sekitar 5,5 yang sesuai dengan titik isoelektrik sebagian besar protein daging
termasuk protein miofibril. Pada umumnya glikogen tidak diketemukan pada pH
antara 5,4 – 5,5 (Lawrie 1979).

Laju penurunan pH otot yang cepat dan ekstensif akan mengakibatkan : (1)
warna daging menjadi lebih pucat, (2) daya ikat protein daging terhadap cairannya
menjadi lebih rendah, dan (3) permukaan potongan daging menjadi basah karena
keluarnya cairan permukaan potongan daging yang disebut drip atau weep
(Forrest et al. 1975). Sebaliknya pada pH ultimat yang tinggi, daging berwarna
gelap dan permukaan potongan daging menjadi sangat kering karena cairan
daging terikat secara erat oleh proteinnya (Soeparno 2005).
8

2.3. Keempukan (Tenderness)

Pertama kali konsumen menilai keempukan daging pada saat daging


dikunyah. Kesan keempukan secara keseluruhan meliputi tekstur dan melibatkan
tiga aspek (Bratzler 1971; Lawrie 1979) pertama, kemudahan awal penetrasi gigi
ke dalam daging; kedua, mudahnya daging dikunyah menjadi fragmen/potongan-
potongan yang lebih kecil, dan ketiga jumlah sisa fragmen/potongan yang
tertinggal setelah pengunyahan (Weir 1960; Bratzler 1971). Peningkatan
keempukan daging selama proses pelayuan, antara lain disebabkan oleh kerja
enzim-enzim proteolitik terhadap protein fibrus otot, termasuk elemen-elemen
kontraktil.

Menurut Soeparno (2005) keempukan dan tekstur daging kemungkinan


besar merupakan penentu yang paling penting pada kualitas daging. Faktor yang
mempengaruhi keempukan daging digolongkan menjadi faktor antemortem
seperti genetik dan termasuk bangsa, spesies dan fisiologi, faktor umur,
managemen, jenis kelamin dan stress. Faktor postmortem antara lain meliputi
metode pelayuan (chilling), refrigerasi dan pembekuan termasuk faktor lama dan
temperatur penyimpanan serta metode pengolahan termasuk metode pemasakan
dan penambahan bahan pengempuk. Jadi keempukan bisa bisa bervariasi
diantaranya spesies, bangsa, ternak dalam spesies yang sama, potongan karkas
dan diantara otot serta otot yang sama.

Komponen daging yang mempengaruhi keempukan daging adalah jaringan


ikat, serabut otot, lemak (lemak intramuskular = marbling). Faktor lain yang
mempengaruhi keempukan daging adalah umur ternak, jumlah jaringan ikat, cara
penanganan daging sebelum dan setelah penyembelihan, serta cara pemasakan
daging. Keempukan daging banyak ditentukan setidak-tidaknya oleh tiga
komponen daging, yaitu struktur miofibrilar dan status kontraksinya (Davey et al.
1967), kandungan jaringan ikat dan tingkat ikatan silangnya dan daya ikat air oleh
protein daging serta jus daging (Bouton et al. 1971).

Pada ternak yang mengalami kecapaian/kelelahan atau stres dan kurang


istirahat menjelang disembelih akan menghasilkan persediaan ATP yang kurang
sehingga proses rigormortis akan berlangsung cepat. Kekakuan otot yang terjadi
9

akan diikuti dengan pemendekan otot yang relatif lebih besar, sehingga daging
menjadi kurang empuk dan mempunyai daya ikat air yang rendah (Soeparno
2005). Oleh karena itu, penanganan ternak sebelum penyembelihan perlu untuk
diperhatikan karena memiliki pengaruh yang besar terhadap keadaan fisiologis
sapi saat menjelang proses penyembelihan. Dalam hal ini, penggunaan alat-alat
penyembelihan yang tepat antara lain restraining box sebagai alat fiksasi hewan
sebelum penyembelihan, pisau yang tajam untuk menyembelih hewan dan alat
penggantung karkas di rumah penyembelihan hewan (RPH) menjadi faktor
penting yang mempengaruhinya.

2.4. Daya Ikat Air (Water Holding Capacity/WHC)

Daya ikat air adalah kemampuan protein daging (otot) untuk mengikat air
atau air yang ditambahkan. Daya ikat air dipengaruhi oleh faktor nilai pH, rigor
mortis dan aging. Daya ikat air mempengaruhi beberapa sifat fisik daging antara
lain: warna, citarasa (flavour) dan tekstur. Daya ikat air oleh protein daging
ditentukan dengan pemeriksaan susut masak (cooking loss) dan drip loss. Cooking
loss adalah berat yang hilang (penyusutan berat) selama pemasakan. Adapun drip
loss adalah cairan atau (eksudat) yang keluar dari daging tanpa aplikasi/penerapan
tekanan dari luar (Lukman et al. 2007). Peningkatan tekanan osmotik,
pembebasan ion Na+ dan Ca++ ke dalam sarkoplasma oleh protein-protein otot
dan absorbsi ion K+, serta perubahan struktur otot setelah 24 jam pelayuan,
berhubungan dengan meningkatnya daya ikat air daging (Arnold et al. 1956;
Bratzler et al. 1977; Lawrie 1979)

Cooking loss bisa dipengaruhi oleh pH, panjang sarkomer serabut otot,
panjang potongan serabut otot, status kontraksi miofibril, ukuran dan berat sampel
daging dan penampang lintang daging (Bouton et al. 1971). Menurut Soeparno
(2005), perbedaan cooking loss yang besar bisa diperoleh dengan pemasakan pada
temperatur 50 ºC dibandingan dengan pemasakan pada temperatur 60 ºC. Pada
umumnya cooking loss bervariasi antara 15% - 54,5% dengan kisaran 15% - 40%.
Sifat mekanik daging termasuk cooking loss merupakan indikasi dari sifat
mekanik miofibril dan jaringan ikat dengan bertambahnya umur ternak, terutama
10

peningkatan panjang sarkomer. Besarnya cooking loss dapat dipergunakan untuk


mengestimasi jumlah jus dalam daging masak. Daging dengan cooking loss yang
lebih rendah mempunyai kualitas yang relatif lebih baik daripada daging dengan
cooking loss yang lebih besar, karena kehilangan nutrisi selama pemasakan akan
lebih sedikit.

Penanganan sapi sesaat sebelum penyembelihan akan berpengaruh


terhadap kualitas daging postmortem termasuk daya ikat air. Hal tersebut
berkaitan dengan jumlah cadangan glikogen otot yang tersisa setelah
penyembelihan yang mempengaruhi nilai pH daging dan proses rigor mortis
sehingga dapat menentukan tingkat daya ikat air oleh protein daging melalui
berbagai perubahan-perubahan fisiko-kimia pada otot setelah hewan disembelih.
Penurunan pH yang cepat akan meningkatkan kontraksi aktomiosin dan
menurunkan daya ikat air protein daging juga menerangkan bahwa penurunan pH
akan menyebabkan denaturasi protein sehingga perpindahan air ke ruang
ekstraseluler meningkat (Soeparno 2005).

2.5. Restraining Box

Restraining box adalah sebuah alat fiksasi pemotongan sapi di RPH yang
berfungsi mengendalikan sapi sesaat sebelum pemotongan. Penggunaan
restraining box sebelum pemotongan diharapkan dapat menekan tingkat stres
pada sapi sebelum dipotong, baik akibat pengaruh lingkungan di RPH maupun
faktor-faktor lainnya, seperti pengangkutan dan penampungan sementara yang
padat (Anonymus 2007). Menurut Grandin (1991), restraining box adalah alat
yang digunakan untuk mengendalikan sapi sebelum disembelih agar tingkat stres
pada sapi dapat dikurangi. Pada prinsipnya, tingkat stres dapat diturunkan karena:
(1) saat sapi masuk ke dalam restraining box sapi tidak merasa takut karena
terhindar dari pengaruh lingkungan area penyembelihan. Hal tersebut penting
terutama bagi sapi yang cukup agresif; (2) untuk mengatasi terjangan kepala sapi
karena pandangan di sekeliling sapi tertutup penuh; (3) memudahkan dalam
merobohkan sapi tanpa perlakuan kasar; (4) stabilitas alat membuat sapi menjadi
11

lebih tenang dan mengatasi gerakan berontak yang tiba-tiba; dan (5) tekanan alat
pada sapi tidak menimbulkan kesakitan dan berlangsung cepat.

Anda mungkin juga menyukai