Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN HASIL DISKUSI

FOCUS GROUP DISCUSSION

SKENARIO 4

“Sapi Sulit Bunting”

Disusun Oleh :

Nama : Khoirunissa Pangesti

NIM : 15/377758/KH/08481

Kelompok : 7.c

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2019
I. JUDUL/TOPIK DISKUSI
“ Sapi Sulit Bunting ”
II. TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Mengetahui pengertian atau konsep dari infertilitas dan sterilitas serta repeat
breeding.
2. Mengetahui apa gangguan yang menyebabkan kegagalan kebuntingan yang ditandai
dengan repeat breeding meliputi etiologi, patogenesis, gejala klinis, terapi, dan
pencegahannya.
3. Mengetahui bagaimana cara diagnosa dan intepretasi hasil pemeriksaan untuk
mendiagnosis gangguan yang ditandai dengan repeat breeding.
III. SKEMA PEMBELAJARAN

Infeksi

Repeat breeding Nutrisi

Kasus kegagalan
"Sapi Sulit Bunting" kebuntingan Hormonal

Diagnosa dan Terapi Manajemen

Lingkungan

2
IV. BAHAN DISKUSI

TOPIK I . REPEAT BREEDING

Sapi kawin berulang (repeat breeding) adalah sapi betina yang mempunyai siklus dan periode
birahi yang normal yang sudah dikawinkan 2 kali atau lebih dengan pejantan fertil atau diinseminasi
dengan semen pejantan fertil tetapi tetap belum bunting (Toelihere, 1981). Kawin berulang bisa
menjadi faktor utama ketidaksuburan. Kawin berulang dapat terjadi apabila sapi betina yang belum
bunting setelah tiga kali atau lebih kawin. Dalam kelompok hewan fertil yang normal, dimana
kecepatan pembuahan biasanya 50-55%, kira-kira 9-12% sapi betina menjadi sapi yang kawin
berulang (Brunner, 1984).

Menurut Zemjanis (1980) secara umum kawin berulang disebabkan oleh 2 faktor utama yaitu :

1. Kegagalan pembuahan/fertilisasi
2. Kematian embrio dini

I. Kegagalan Pembuahan/fertilisas

Faktor kegagalan pembuahan merupakan faktor utama penyebab kawin berulang sapi,
termasuk dalam faktor ini adalah :

a. Kelainan Anatomi Saluran Reproduksi

Menurut Hardjopranjoto (1995), kelainan anatomi dapat bersifat genetik dan non genetik.
Kelainan anatomi saluran reproduksi ini ada yang mudah diketahui secara klinis dan ada yang
sulit diketahui, yaitu seperti :

 Tersumbatnya tuba falopii


 Adanya adhesi antara ovarium dengan bursa ovarium
 Lingkungan dalam uterus yang kurang baik
 Fungsi yang menurun dari saluran reproduksi.

3
Meskipun kegagalan pembuahan terjadi pada hewan betina namun faktor penyebab juga
terjadi pada hewan jantan atau dapat disebabkan karena faktor manajemen yang kurang baik
(Zemjanis, 1980).

b. Kelainan Ovulasi

Kelainan ovulasi dapat menyebabkan kegagalan pembuahan sehingga akan menghasilkan sel
telur yang belum cukup dewasa sehingga tidak mampu dibuahi oleh sperma dan menghasilkan
embrio yang tidak sempurna (Hardjopranjoto, 1995). Kelainan ovulasi dapat disebabkan oleh :

 Kegagalan ovulasi karena adanya gangguan hormon dimana karena kekurangan atau
kegagalan pelepasan LH (Toelihere, 1981). Kegagalan ovulasi dapat disebabkan oleh
endokrin yang tidak berfungsi sehingga mengakibatkan perkembangan kista folikuler
(Zemjanis, 1980).
 Ovulasi yang tertunda (delayed ovulation). Normalnya ovulasi terjadi 12 jam setelah estrus.
Ovulasi tidak sempurna biasanya berhubungan dengan musim dan nutrisi yang jelek
(Arthur, 1975).
 Ovulasi ganda adalah ovulasi dengan dua atau lebih sel telur. Pada hewan monopara seperti
sapi, kerbau, kasusnya mencapai 13,19% . (Hardjopranjoto, 1995).

c. Sel Telur Yang Abnormal

Beberapa tipe morfologi dan abnormalitas fungsi telah teramati dalam sel telur yang tidak
subur seperti; sel telur raksasa, sel telur berbentuk lonjong (oval), sel telur berbentuk seperti
kacang dan zona pellucida yang ruptur (Hafez, 1993). Kesuburan yang menurun pada induk-
induk sapi tua mungkin berhubungan dengan kelainan ovum, ovum yang sudah lama Â
diovulasikan menyebabkan kegagalan fertilisasi (Toelihere, 1981).

d. Sperma Yang Abnormal

Sperma yang mempunyai bentuk abnormal menyebabkan kehilangan kemampuan untuk


membuahi sel telur di dalam tuba falopii. Kasus kegagalan proses pembuahan karena sperma
yang bentuknya abnormal mencapai 24-39% pada sapi induk yang menderita kawin berulang dan
12-13% pada sapi dara yang menderita kawin berulang (Hardjopranjoto, 1995).
4
e. Kesalahan Pengelolaan Reproduksi

Kesalahan pengelolaan reproduksi dapat berupa :

 Kurang telitinya dalam deteksi birahi sehingga terjadi kesalahan waktu untuk diadakan
inseminasi buatan (Toelihere, 1981). Deteksi birahi yang tidak tepat menjadi penyebab
utama kawin berulang, karena itu program deteksi birahi harus selalu dievaluasi secara
menyeluruh. Saat deteksi birahi salah, birahi yang terjadi akan kecil kemungkinan
terobservasi dan lebih banyak sapi betina diinseminasi berdasarkan tanda bukan birahi, hal
ini menyebabkan timing inseminasi tidak akurat sehingga akan engalami kegagalan
pembuahan (Brunner, 1984).
 Penyebab kawin berulang meliputi kualitas sperma yang tidak baik dan teknik inseminasi
yang tidak tepat (Brunner, 1984).
 Sapi betina yang mengalami metritis, endometritis, cervitis dan vaginitis dapat menjadi
penyebab kawin berulang pada sapi (Brunner, 1984).
 Manajemen pakan dan sanitasi kandang yang tidak baik (Toelihere, 1981).
 Kesalahan dalam memperlakukan sperma, khususnya perlakuan pada semen beku yang
kurang benar, pengenceran yang kurang tepat, proses pembekuan sperma, penyimpanan
dan thawing yang kurang baik (Toelihere, 1981).
 Faktor manajemen lain seperti pemelihara atau pemilik ternak hendaknya ahli dalam
bidang kesehatan reproduksi (Toelihere, 1981).

II. Kematian Embrio Dini (Early Embrio Death)

Kematian embrio menunjukkan kematian dari ovum dan embrio yang fertil sampai akhir
dari implantasi (Hafez, 1993). Faktor yang mendorong kematian embrio dini adalah :

a. Faktor Genetik

Kematian embrio dini pada sapi betina sering terjadi karena perkawinan inbreeding atau
perkawinan sebapak atau seibu, sehingga sifat jelek yang dimiliki induk jantan maupun betina
akan lebih sering muncul pada turunannya (Hardjopranjoto, 1995).

b. Faktor Laktasi
5
Terjadinya kematian embrio dini dapat dihubungkan dengan kurang efektifnya mekanisme
pertahanan dari uterus, stres selama laktasi dan regenerasi endometrium yang belum sempurna
(Hafez, 1993).

c. Faktor Infeksi

Apabila terjadi kebuntingan pada induk yang menderita penyakit kelamin dapat diikuti
dengan kematian embrio dini atau abortus yang menyebabkan infertilitas (Hardjopranjoto, 1995).

d. Faktor Kekebalan Antibodi

Jika mekanisme imunosupresi tidak berjalan dengan baik, maka antibodi yang terbentuk akan
mengganggu perkembangan embrio di dalam uterus (Hafez, 1993).

e. Faktor Lingkungan

Kematian embrio dini dapat meningkat pada hewan induk dimana suhu tubuhnya meningkat
(Hafez, 1993).

f. Faktor Ketidakseimbangan Hormon

Ketidakseimbangan hormon estrogen dan progesteron dapat menyebabkan terjadinya


kematian embrio dini (Hafez, 1993).

g. Faktor Pakan

Kekurangan pakan mempunyai pengaruh terhadap proses ovulasi, pembuahan dan


perkembangan embrio dalam uterus (Toelihere, 1981).

h. Umur Induk

Kematian embrio dini banyak terjadi pada hewan yang telah berumur tua, hal ini dapat
disebabkan pada hewan tua sudah mengalami banyak kemunduran dalam fungsi endokrinnya
(Hardjopranjoto, 1995).
6
i. Jumlah Embrio atau Fetus Dalam Uterus

Karena placenta berkembang dimana berisi beberapa embrio didalam ruang uterus maka
suplai darah vaskuler akan menurun sehingga dapat menyebabkan kematian embrio (Hafez,
1993).

TOPIK II. PENYAKIT DENGAN GEJALA REPEAT BREEDING

A. Gangguan Hormonal
1. Sista Folikuler
Sista folikuler disebabkan karena tingginya kadar hormon FSH dan rendahnya
hormon LH. Hal tersebut menyebabkan adanya kegagalan ovulasi dikarenakan kadar hormon
LH yang berfungsi untuk stimulasi pelepasan oosit atau ovulasi tidak mencukupi.
Ketidakseimbangan hormon FSH dan LH dapat dipengaruhi oleh nutrisi sapi (Blowey and
Weaver, 2011 ; Divers and Peek, 2008).
Stress, defisiensi mineral dan trace element, masa laktasi panjang, dan herediter dapat
menjadi penyebab sista folikuler. Beberapa sista dapat teratasi secara spontan, terutama yang
terjadi di awal masa laktasi (Blowey dan Weaver, 2011). Keseimbangan energi negatif pada
sapi perah produksi tinggi, seperti masa laktasi panjang pada sapi potong, dapat menghambat
pelepasan LH dari hipofisis sehingga terjadi kegagalan ovulasi (Christensen dkk., 2015).
Hormon FSH berfungsi dalam stimulasi perkembangan folikel di dalam ovarium dari
folikel primer menjadi folikel de graff atau folikel dominan. Hormon FSH disintesis dari
hipofisis anterior dan pelepasannya distimulasi oleh hormon GnRH yang berasal dari
hipothalamus. Hormon FSH dan LH pada waktu yang sama dilepaskan bersama-sama oleh
hipofisis anterior untuk bekerja di ovarium namun memiliki fungsi yang berbeda. Hormon
FSH berfungsi dalam menstimulasi perkembangan folikel sedangkan hormon LH akan
menstimulasi sel teka interna dan meningkatkan sintesis androgen yang menyebabkan sel-sel
granulosa bersama dengan hormon FSH dalam memproduksi hormon Estrogen serta
berfungsi dalam inisiasi ovulasi atau pelepasan oosit. Tingginya kadar hormon FSH pada
kasus sista folikuler menyebabkan kadar hormon Estrogen juga meningkat namun kadar
hormon LH tidak mencukupi untuk terjadinya proses ovulasi, hal ini menyebabkan ovarium
menjadi sangat besar dan berdinding tipis dengan konsistensi yang kenyal karena terdapat
folikel dominan yang tidak mengalami ovulasi (anovulatorik) sehingga banyak mengandung
7
liquor foliculer. Tingginya kadar hormon estrogen menyebabkan sapi menjadi estrus yang
berkepanjangan (nimfomani) namun apabila dikawinkan akan terjadi kegagalan kebuntingan
yang dapat dilihat gejalanya yaitu repeat breeding (Blowey and Weaver, 2011 ; Divers and
Peek, 2008).

Gambar 1. Sista Folikuler pada sapi (Blowey and Weaver, 2011).


2. Sista Luteal
Sista luteal disebabkan karena tingginya kadar hormon LTH dan rendahnya hormon
LH. Kondisi ini banyak terjadi pada sapi perah yang berproduksi susu tinggi pasca partus
(Hardjopranjoto, 1995).
Hormon LTH yang tinggi dan hormon LH yang rendah dalam darah menyebabkan
folikel muda yang ada pada ovarium mengalami luteinisasi. Pada folikel akan terbentuk sel
lutein dan warnanya berubah menjadi kuning. Gejala yang ditimbulkan dari kasus ini adalah
anestrus akibat kadar progesteron yang tinggi (Hardjopranjoto, 1995).

Gambar 2. Sista Luteal pada sapi (Blowey and Weaver, 2011).


3. Sista Korpora Luteal
Pada kasus ini hormon LH hanya cukup untuk berovulasi saja sehingga tidak cukup
untuk membentuk korpus luteum secara sempurna dan menyebabkan adanya rongga. Sista
korpora luteal merupakan sista yang terbentuk dari folikel yang telah berovulasi kemudian
mengalami luteinisasi sebagian sehingga ada bagian tengah yang berongga dan berisi cairan.

8
Kejadian sista ini biasanya unilateral pada salah satu ovarium. Pada dasarnya kondisi ini
mempunyai siklus normal, estrus dan ovulasi serta fertilisasi dapat terjadi namun kondisi
konsepsi tidak dapat dipertahankan karena progesteron dalam darah rendah. Manifestasi dari
sista korpora luteal ditandai dengan adanya kawin berulang. Pada palpasi per rektal ovarium
teraba kenyal jika ditekan, diameter besar > 2,5 cm dan berdinding tebal (Hardjopranjoto,
1995).
Sista korpora luteal disebabkan oleh aktivitas hormonal. Pada awalnya, folikel tumbuh
dan mensintesis steroid di bawah kontrol trofik LH dan folikel stimulating hormone (FSH).
Selama tahap awal perkembangan folikel, sebagian besar sintesis steroid berada di bawah
kendali FSH, namun ketika folikel mencapai tahap perkembangan tertentu, LH mengakuisisi
aktivitas aromatase dalam sel-sel granulosa, yang memungkinkan konversi androgen menjadi
estrogen (terutama estradiol 17β). Ada banyak variasi dalam kemampuan folikel berukuran
sedang untuk mensekresikan estradiol. Akuisisi aktivitas estrogen adalah bertepatan dengan
pengembangan reseptor LH di sel techa interna dimana hanya folikel sangat estrogenik yang
dapat mengembangkan reseptor LH di granulosa. Kekurangan hormon LH tersebut
menyebabkan luteinasi pasca ovulasi menjadi terganggu. Hal tersebut menyebabkan ada
bagian ovarium yang tidak terluteinasi berbentuk rongga yang berisi cairan (Noakes, 2001).

Gambar 3. Sista Korpora Luteal (Anonim, 2018).


4. Delayed Ovulation
Salah satu faktor yang terjadi ketika muncul adanya repeat breading adalah delayed
ovulation, yaitu keadaan ketika hewan memiliki waktu interval yang dibutuhkan dari estrus
hingga ovulasi lebih panjang dibandingkan normalnya atau diperpanjangnya fase folikuler.
Kejadian ini dapat menyebabkan perkawinan atau IB tidak tepat waktu, sehingga fertilisasi
tidak terjadi dan akhirnya kegagalan kebuntingan (Bhattacharyya dan Hafiz, 2009). Pada
keadaan normal, horrmon LH yang diproduksi oleh GnRH sebesar 20-30 kali lebih tinggi
9
pada saat ovulasi daripada normalnya. Ovulasi akan terjadi sekitar 8-18 jam setelah
munculnya estrus (Dairyman, 1996; Bassert dan Thomas, 2014; Reece, 2015). Kejadian
delayed ovulation ini disebabkan oleh rendahnya konsentrasi estradiol yaitu LH (luteinizing
hormone) dalam darah sehingga kemampuan ovulasinya terhambat (Campbell dan Marshall,
2016). Hal ini dapat disebabkan oleh asupan nutrisi yang kurang baik (khususnya lemak yang
digunakan untuk pembentukan hormon reproduksi), distokia, retensi membran plasenta, dan
infeksi uterus (Crowe dkk., 2015). Faktor predisposisi lain yang menyebabkan adanya
delayed ovulation menurut Anonim (2018) adalah stres karena panas dan kadar progesteron
yang sifatnya subluteal.
Patogenesis pada delayed ovulation dapat diawali dengan kasus yang sering terjadi
yaitu kekurangan asupan nutrisi sehingga pembentukan hormon reproduksi tidak berjalan
dengan baik. Normalnya LH dalam darah sapi adalah 3,9-8,1 nanogram/ml (Coetzer dkk.,
1978), sehingga pada kejadian delayed ovulation yang disebabkan oleh gangguan hormon
memiliki kadar LH dibawah angka tersebut. Ketika kadar LH tidak mencapai keadaan LH
surge, maka ovulasi tidak akan terjadi dan fertilisasi juga akan mengalami kegagalan. Hal ini
dapat menyebabkan siklus reproduksi pada sapi akan bergeser dan tidak normal.
Gejala klinis pada kejadian delayed ovulation antara lain adalah hewan masih terlihat
estrus meskipun sudah melewati waktu batas ovulasi dan masih terdapat adanya folikel de
Graff yang terpalpasi secara perektal. Selain itu sapi juga tidak nampak ada tanda-tanda
bunting setelah dilakukan IB atau perkawinan sehingga sapi tampak estrus kembali (repeat
breeding) (Dairyman, 1996).

B. Infeksi
1. Brucellosis
Brucellosis pada sapi telah menyebar dan bersifat zoonosis. Kontrol aktif dapat
dilakukan dengan uji brucella, pemotongan dan vaksinasi pada sapi dara. Brucellosis
menyababkan abortus pada pertengahan kebuntingan sampai akhir kebuntingan (7- 9 bulan)
pada sapi yang tidak divaksin. Organisme masuk lewat membrane mukosa, ambing, nodus
limpatikus dan uterus, menyebabkan plasentitis yang akut atau kronis diikuti dengan abortus
atau stillbirth dalam waktu 2 minggu sampai 5 bulan setelah infeksi. Kotiledon yang
terinfeksi mungkin normal sampai nekrotik, merah atau kuning, dan di sekitar interkotiledon
mengalami penebalan. Fetus mungkin normal atau nekrotik dengan bronchopneumonia.
10
Diagnosisnya dengan uji seroligik dan induk dan FAT dan plasenta dan fetus. Isolasi bakteri
bias dan plasenta, fetus dan leleran vagina (Anonim, 2018).
Penyebab brucellosis pada sapi adalah Brucella abortus sedangkan pada kambing/
domba adalah Brucella melitensis. Bersifat zoonosis dan menyebabkan demam undulan pada
manusia bila mengkonsumsi susu yang tercemar B.abortus. Bakteri ini tergolong genus
Brucella, famili Brucella ceae . Sifat-sifat bakteri ini adalah : Gram negatif, berbentuk batang
halus (kokus basilus), panjang 0,6- 1,5 mikron dan lebar 0,5-0,7 mikron (Meyer, 1984).
Dewasa ini diketahui bahwa Brucella abortus memiliki 9 biotipe (biotipe 1 - 9) . Perbedaan di
antara biotipe tersebut didasarkan atas perbedaan sifat-sifat biologik dan biokemiknya, dan
yang paling banyak ditemukan pada sapi adalah biotipe 1 (Meyer, 1984) . Sifat-sifat biologik
lainnya dari bakteri B. abortus adalah bila terdapat di luar tubuh inang tidak tahan terhadap
pemanasan dan desinfektan. Sifat ini penting diketahui dalam hubungannya dengan upaya
penanggulangannya, yakni dengan memutus siklus penularannya . Bakteri B. abortus bila
terdapat di dalam tubuh inang, dapat tumbuh di dalam sel (fakultatif intraseluler) dan sulit
untuk difagosit oleh sel-sel makrofag (Frienchick dkk., 1985) .
Brucellosis dapat menular melalui eksudat (lendir) alat kelamin, selaput lendir mata,
makanan dan air yang tercemar ataupun melalui IB dari semen yang terinfeksi. Sapi dapat
tertular brucellosis melalui saluran pencernaan setelah memakan atau meminum bahan
(makanan) yang tercemar oleh bahan yang di abortuskan . Sedangkan manusia dapat tertular
setelah minum susu sapi atau kambing yang terinfeksi tanpa dipasteurisasi terlebih dahulu.
Dengan suatu percobaan dapat dibuktikan bahwa penularan pada sapi dapat juga melalui
selaput lendir konjuntiva, goresan pada kulit atau dengan inseminasi yang semennya tercemar
oleh bakteri brucella (Brubaker, 1985). Setelah bakteri masuk ke dalam tubuh, akhirnya
menyebar dan menetap pada organ tubuh melalui pembuluh darah dan limfe. Terkumpulnya
bakteri di dalam saluran reproduksi terutama di placenta dan endometrium sapi yang sedang
bunting sangat didukung oleh adanya zat penumbuh yang dikenal dengan nama eritritol (sifat
spesifitas jaringan). Pada bentuk infeksi yang akut, bakteri brucella selain bermukim di dalam
placenta, juga di dalam lambung dan paru-paru foetus (janin) dan di keluarkan bersama-sama
foetus dan cairan uterus waktu abortus . Pada bentuk infeksi yang kronis, pada sapi betina
dewasa bakteri bermukim di dalam kelenjar susu, kelenjar limfe supramammae,
retrofaringeal, iliaka interna dan eksterna . Oleh karena itu bakteri dapat dikeluarkan bersama
air susu. Pada sapi jantan, bakteri brucella bermukim di dalam testis, epididimis, vas diferen
11
dan kelenjar vesikularis, sehingga bakteri dapat dikeluarkan bersama semen (mani) sewaktu
ejakulasi (Nicoletti, 1980; Partodihardjo, 1980).
2. Vibriosis
Penyebabnya adalah Vibrio fetus veneralis atau Campylobacter foetus veneralis.
Dapat menular melalui perkawinan dengan pejantan tercemar. Gejala yang timbul diataranya:
endometritis dan kadang – kadang salpingitis dengan leleran mukopurulen, siklus estrus
diperpanjang ± 32 hari, kematian embrio, abortus pada trisemester 2 kebuntingan dan
terjadinya infertilitas karena kematian embrio dini.
Pengendaliannya yaitu dengan cara IB dengan semen sehat, istirahat kelamin selama 3
bulan pada hewan yang terinfeksi, vaksinasi dengan bakterin 30-90 hari sebelum dikawinkan
atau setiap tahun. Pengobatan dengan infuse (pemasukan) antibiotika spektrum luas secara
intra uterin, injeksi pejantan dengan dihydrostreptomisin dosis 22 mg/kg BB secara subkutan
(di bawah kulit).
3. Endometritis Subklinis
Endometritis adalah peradangan pada lapisan endometrium uterus, biasanya terjadi
sebagai suatu hasil dari infeksi bakteri patogen terutama terjadi melalui vagina dan
menerobos serviks sehingga mengkontaminasi uterus selama partus, membuat involusi uterus
menjadi tertunda dan performa reproduksi memburuk. Sehingga menyebabkan kerugian
secara ekonomis (Kasimanickam et al., 2005). Tingkat kejadian endometritis di Indonesia
cukup tinggi (20-40%), rata-rata 10 - 80% tergantung pada bervariasinya faktor ekternal dan
internal saat melakukan metode diagnosa (Dolezel et al. 2008).
Keradangan pada endometrium uterus ini juga dapat disebabkan infeksi sekunder yang
berasal dari bagian lain tubuh sehingga dapat menyebabkan gangguan reproduksi pada hewan
betina. Penyebab lain adalah karena kelanjutan dari abnormalitas partus seperti abortus,
retensi plasenta, kelahiran prematur, kelahiran kembar, distokia serta perlukaan pada saat
membantu kelahiran (Ball dan Peters 2004). Berat tidaknya endometritis tergantung pada
keganasan bakteri yang menginfeksi, jumlah bakteri dan ketahanan tubuh hewan penderita.
Bentuk infertilitas yang terjadi antara lain matinya embrio yang masih muda karena pengaruh
mikroorganisme atau terganggunya perlekatan embrio pada dinding uterus (Ball dan Peters
2004).
Endometritis digolongkan menjadi dua kelompok yaitu endometritis klinis dan
endometritis subklinis. Endometritis klinis digambarkan dengan adanya purulen atau
12
mucopurulen discharge yang dapat ditemukan pada bagian luar atau pada anterior vagina atau
dengan diameter serviks lebih dari 7,5 cm setelah hari ke 26 pospartum. Endometritis
subklinis digambarkan dengan ukuran serviks ≤7,5 cm dan/atau cairan abnormal pada lumen
uterus dan adanya poliymorphonuclear leukocytes (PMN) dalam sampel sitologi uterus
dan/atau gambaran ultrasonografi dari cairan yang ada dalam lumen uterus setelah 21 hari
postpartum (Gilbert et al. 1998).
Agen infeksi biasanya masuk ke dalam uterus melalui vagina pada saat koitus,
inseminasi buatan, partus, dan atau postpartus, walaupun memugkinkan juga pada suatu
keadaan agen infeksi berasal dari sirkulasi. Pada kebanyakan kasus, agen infeksi tersebut
berasal dari kontaminasi uterus postpartus tetapi biasanya flora tersebut akan segera
dihilangkan.
Flora tersebut akan tetap tinggal di uterus, sehingga menyebabkan peradangan pada
endometrium. Tingkat kontaminasi bakteri pada uterus sangat menentukan terjadi
endometritis atau tidak. Patogenesis penyakit ini sangat berhubungan dengan faktor-faktor
yang berkaitan dengan kemampuan tubuh hospes untuk mengeliminasi flora tersebut,
daripada faktor dari bakteri-bakteri sendiri (Noakes, 2001).
Endometritis subklinis merupakan endometritis yang tidak tampak gejalanya, biasanya
terjadi karena IB yang tidak steril dan legeartis. Akibatnya dapat menyebabkan kegagalan
fertilisasi, kegagalan implantasi embrio, dan kematian embrio dini. Riwayat pengawinan
mungkin menunjukkan adanya kegagalan konsepsi setelah beberapa kali inseminasi.
Penderita bisa nampak sehat, walaupun dengan leleran vulva purulen dan dalam uterusnya
teraba timbunan cairan. Pengaruh endometritis terhadap fertilitas adalah dalam jangka
pendek, meurunkan kesuburan, calving interval dan S/C naik, sedangkan dalam jangka
panjang, menyebabkan sterilitas karena terjadi perubahan traktus reproduksi, sehingga
meningkatkan pemotongan (Prihatno, 2004).
4. IBR-IPV
Penyebabnya adalah virus herpes dengan tingkat kematian prenatal dan neonatal
cukup tinggi. Penularan dapat melalui air, pakan, kontak langsung maupun tidak langsung.
Gejala yang nampak dalam berbagai bentuk, yaitu :
 Respiratorik bagian atas (demam, anorexia, depresi, leleran hidung, nodula/ bungkul-bungkul
pada hidung, pharynx, trachea, batuk, penurunan produksi susu).

13
 Konjungtival hiperlakrimasi dengan eksudat mukopurulen, konjungtiva merah dan bengkak,
adanya pustula pada konjungtiva dan ulcer nekrotik.
 Digestif neonatal ( septikemia, lesi pada mulut, larynx dan pharynx).
 Meningoencepalitis (kelesuan, inkoordinasi, tremor, mati dalam 3-4 hari).
 Vulvovagina (septikemia, pustula dan ulcer pada vagina dan vulva disertai leleran purulen).
 Preputial (pustula dan ulcer pada penis dan preputium).
 Abortus dan prenatal (abortus pada trisemester kebuntingan).
 Intrauterina (endometritis nekrotik, uterus tegang dan edematus).
Pengendalian dan pengobatan: Pemberian antibiotik, karantina hewan dan istirahat
kelamin selama 3-4 minggu, vaksinasi kombinasi (IBR, IPV dan BVD-MD) (Ratnawati, dkk,
2007).
5. BVDV
Virus BVD-MD menyerang sapi dengan gejala: demam tinggi, depresi, anorexia,
diare, lesi pada mukosa mulut dan sistem pencernaan, abortus pada 2-9 bulan kebuntingan
serta terjadinya kawin berulang. Pengobatan dengan pemberian antibiotika, pencegahan
dengan vaksinasi umur 9-10 bulan. Sanitasi dan desinfeksi kandang dan lingkungan penting
untuk diperhatikan (Ratnawati, dkk, 2007).

Gangguan Nutrisi

Energi
Energi ada beberapa macam yaitu Energi Bruto dan Energi tercerna, Energi Bruto
(GE) adalah energi yang dihasilkan dari proses degradasi pakan atau ransum, sedangkan
Energi Tercerna (DE) adalah energi yang terdapat di dalam ransum/ pakan setelah dikurangi
dengan sejumlah energi yang terdapat dalam kotoran / feses.
Energi terbagi menjadi dua yang paling banyak yaitu karbohidrat dan lemak
1. Lemak
Lemak memiliki peranan penting baik bagi pertumbuhan maupun perkembangan sapi,
sebab lemak dapat berfungsi sebagai cadangan sumber energi bagi ternak peliharaan.
Beberapa fungsi lemak bagi pertumbuhan dan perkembangan sapi yaitu sebagai sumber
energi atau tenaga dan sebagai pembawa vitamin A, D, E, dan K. Vitamin-vitamin tersebut
merupakan jenis vitamin larut dalam lemak.

14
Lemak yang berasal dari bahan makanan dapat disimpan dalam jaringan sel-sel tubuh
dalam bentuk lemak cadangan. Namun, jika dibutuhkan, lemak juga dapat diubah menjadi
pati dan gula yang digunakan sebagai sumber energi. Tubuh ternak akan membentuk lemak
dari karbohidrat maupun lemak makan yang belum digunakan. Setiap kelebihan lemak akan
disimpan sebagai lemak cadangan terutama di bawah kulit. Berbeda dengan domba, domba
meyimpan kelebihan lemak terutama pada ekornya, sapi memiliki tempat khusus untuk
menyimpan kelebihan lemak ini terutama pada punuknya (terletak di belakang leher). Di
samping itu kelebihan lemak juga dapat disimpan di sekitar buah pinggang, selaput
penggantung usus maupun di antara otot-otot.
2. Karbohidrat
Karbohidrat merupakan salah satu zat makanan yang merupakan sumber utama energi
bagi ternak, Fungsi karbohidrat diantaranya sebagai sumber utama tenaga atau energi dan
sebagai komponen pembentukan lemak tubuh.
Setelah dicerna, karbohidrat pada bahan makanan diserap oleh darah dalam bentuk
glukosa. Karbihidrat ini langsung dioksidasi untuk menghasilkan energi atau disimpan
sebagai cadangan lemak dalam tubuh. Komponen yang termasuk karbohidrat antara lain serat
kasar, yaitu bahan makanan berkandungan gula dan pati tinggi. Jagung merupakan salah satu
bahan makanan sumber karbohidrat tinggi. Kebutuhan karbohidrat pada ternak sapi juga bisa
dipenuhi dari hijauan, sehingga dalam pemenuhan kebutuhan akan karbohidrat, ternak
peliharaan bisa mendapatkannya dengan mudah. Sumber karbohidrat pada pakan ternak bisa
diperoleh dari berbagai jenis rumput, batang jagung, jerami, daun tebu, dan hijauan makanan
ternak lainnya.

Protein

Pakan ternak berkualitas harus mengandung protein dalam jumlah cukup karena protein
memiliki peran sangat penting untuk pertumbuhan maupun perkembangan ternak sapi.
Protein berfungsi memperbaiki dan menggantikan sel tubuh rusak, terutama untuk sapi tua
atau lanjut usia. Juga berperan untuk membantu pertumbuhan atau pembentukan sel-sel
tubuh, terutama untuk pedet maupun sapi muda. Selain itu protein berperan dalam
mendukung keperluan berproduksi, terutama untuk sapi-sapi dewasa produktif. Protein akan
diubah menjadi energi, terutama untuk sapi-sapi pekerja. Sapi muda fase pertumbuhan
membutuhkan asupan protein lebih tinggi daripada sapi-sapi dewasa. Protein merupakan zat
15
yang tidak bisa dibentuk atau diproduksi dalam tubuh, sehingga untuk mencukupi kebutuhan
protein, binatang ternak harus mendapatkan suplai protein dari makanan. Oleh karena itu,
pemberian pakan ternak harus memiliki kandungan protein dalam jumlah cukup bagi
petumbuhan dan perkembangan sapi. Untuk memenuhi kebutuhan protein, peternak atau
pembudidaya sapi harus menyertakan protein tersebut saat memberiakn pakan. Beberapa
sumber protein untuk membantu menopang pertumbuhan dan perkembangan ternak sapi
diantaranya adalah:

- Pakan hijauan, terutama memanfaatkan tumbuhan berasal dari famili leguminosae atau
kacang-kacangan, seperti Centrosema pubescens (petai air/kayu air), daun turi, lamtoro, daun
kacang tanah, daun kacang panjang, daun kedelai, dll.
- Makanan tambahan, terutama berfungsi sebagai makanan penguat, seperti bungkil kelapa,
bungkil kacang tanah, katul, ampas tahu, tepung ikan, tepung tulang, tepung cangkang Kopi
dll.
Perlu diketahui bahwa, pemenuhan kebutuhan protein berasal dari protein hewani
memiliki kualitas lebih unggul dibanding dengan pemberian protein berasal dari protein
nabati. Protein hewani mengandung asam amino esensial serta nilai gizi lebih kompleks.
Bahan makanan yang memiliki kandungan protein bermutu tinggi adalah bahan makanan
berkandungan protein mendekati susunan protein tubuh, misalnya protein hewani. Kelebihan
lain dari protein hewani ialah protein tersebut lebih mudah diproses menjadi jaringan tubuh
dengan resiko kerugian lebih kecil dibandingkan dengan protein nabati. Kebutuhan protein
pada hewan ternak ruminansia, seperti sapi, tidak begitu memerlukan kualitas protein
bermutu tinggi karena di dalam rumen maupun usus banyak terjadi aktifitas penguraian oleh
mikroorganisme yang terkandung didalamnya. Perlu diperhatikan dalam hal ini adalah untuk
membangun kembali protein yang telah terurai, maka dibutuhkan protein berkandungan asam
amino lengkap. Oleh karena itu, jika sapi peliharaan terpaksa hanya diberi pakan jerami,
maka untuk memenuhi kebutuhan zat-zat makan yang tidak terkandung pada jerami tersebut
harus diberikan melalui pakan tambahan berkandunganprotein, lemak, dan karbohidrat tinggi.
Selain itu, pakan ternak berupa jerami mengandung banyak serat kasar yang tidak mudah
dicerna serta hanya sedikit sekali mengandung protein, lemak, dan karbohidrat.

16
Vitamin dan Mineral
Persyaratan dan maksimum konsentrasi untuk beberapa mineral ditunjukkan pada
Tabel I. Setidaknya 17 mineral dibutuhkan oleh sapi potong. Persyaratan ini dibagi menjadi
dua grup: macrominerals dan microminerals. Dalam nutrisi tabel persyaratan, persyaratan
macromineral adalah dinyatakan sebagai persen (%) dalam ransum pada bahan kering (D.M.)
basis. Sebaliknya, dalam tabel kebutuhan nutrisi, kebutuhan micromineral dinyatakan dalam
bagian per juta (ppm) atau mg / kg (10 ppm mineral setara 10 mg / kg bahan kering ransum).

TOPIK III. DIAGNOSA DAN TERAPI DARI PENYEBAB REPEAT BREEDING

Ternak dianggap gagal menjadi bunting apabila (1) ternak tersebut tidak bunting setelah
beberapa kali dikawinkan, (2) periode berahinya tidak teratur seperti pada kasus nymphomania, (3)
ternak tersebut mengeluarkan sekret yang tidak normal dari alat kelaminnya (Toelihere, 1979).
Tanda gagalnya ternak tersebut menjadi bunting adalah kemambaran kembalinya ternak
tersebut memperlihatkan gejala berahi. Interval waktu yang normal untuk siklus estrus adalah 18
sampai 24 hari dengan distribusi sebagai berikut : 5 % dari semua sapi kembali berahi dalam waktu
kurang atau sama dengan 18 hari, 85% antara waktu 18-24 hari, dan 10 % di atas 24 hari.
Pada umumnya kegagalan konsepsi setelah dikawinkan adalah mencakup pejantan yang steril,
adanya vibrosis, Trichomoniasis, Brucellosis, dan sebagainya, dan abnormalitas dari fungsional
seperti salphingitis, sista ovari, dan adhesi bursa ovarii (Toelihere, 1979).
Infertilitas dengan dasar akibat gangguan makanan cenderung untuk memperlihatkan siklus
berahi yang lebih pendek dengan sebagai berikut : 20% kembali minta kawin sebelum 18 hari, 50%
antara 18-24 hari, dan 30 % di atas 24 hari
Diagnosa yang dilakukan terhadap penyebab dari repeat breeding terdiri dari beberapa macam,
antara lain :
1. Anamnesa pada pemilik, mengenai kondisi sapi.
2. Pemeriksaan klinis pada alat reproduksi betina
a. Pemeriksaan melalui eksplorasi rektal
b. Pemeriksaan dengan menggunakan alat endoskop pada saluran reproduksi
c. Pemeriksaan dengan palpasi serviks uteri dan vagina.
2. Berdasarkan gejala klinis dan recording dari sapi tersebut
17
3. Untuk menentukan jumlah populasi bakteri maka dapat digunakan biopsi pada cairan uterus
dan vagina.
4. Pemeriksaan hormonal (hormon Gonadotropin dan steroid) dengan menggunakan teknik RIA
5. Pemeriksaan sitologi untuk mendeteksi kelaian genetik pada hewan
6. Laparotomi, untuk mendeteksi kelainan pada organ reproduksi
7. Pemeriksaan serum darah
Sampel darah dikoleksi melalui vena jugularis 3,5 jam sebelum diberi pakan
menggunakan spuit ukuran 10 ml, kemudian dimasukkan ke dalam tabung darah yang tidak
mengandung antikoagulan dan disimpan pada termos es. Analisis glukosa dan total protein
darah dilakukan di Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu (LPPT) Universitas
Gadjah Mada. Pemisahan supernatan dengan cara sentrifugasi dengan kecepatan 4000 rpm
selama 10 menit atau 12000 rpm selama 2 menit. Analisis kadar total glukosa dan total
protein darah menggunakan Photometer Microlab 300. Penentuan kuantitatif in vitro glukosa
dalam serum dilakukan dengan metode spektrofotometri. Kandungan glukosa darah diukur
dengan menggunakan metode glucose oxidase-phenol amino phenazone (GOD-PAP) atau tes
warna enzimatis yang ditemukan oleh Trinder (1969). Penentuan glukosa setelah reaksi
oksidasi enzimatik oleh glukosa oksidase.
Indikator warna yaitu quinonelmine berasal dari reaksi 4-aminoantipyrine, phenol
anhydrogen peroksidase yang dikatalis oleh peroksidase (Trinder reaction) yang berwarna
antara merah muda sampai hijau. Sampel serum diambil menggunakanmikropipet sebanyak
10 μl ditambah 1 ml reagen, untuk standar (100 mg/dl) 10 μl ditambah 1 ml reagen, untuk
blanko 10 μl aquadest ditambah 1 ml reagen. Campuran bahan disentrifus selama 2 menit
dengan kecepatan 12000 rpm dengan vortex mixer, diinkubasikan selama 20 menit pada suhu
20-250C atau 10 menit pada suhu 370C. Pembacaan serapannya dilakukan dengan
menggunakan Photometer Microlab 300 dengan gelombang 500 nm dilakukan secara
berurutan: blanko, reagen, standar, sampel. Kadar glukosa serum dihitung dengan rumus :
Kadar glukosa = Δ Absorbance sampel x konsentrasi standar (mg/dl) Δ Absorbance standar
Penentuan kuantitatif total protein dalam serum in vitro dilakukan dengan metode
spektrofotometri. Protein dan ion tembaga akan membentuk warna ungu dalam larutan
basa.Absorbansi warna proporsional dengan konsentrasi protein dapat ditentukan dengan
metode Biuret. Prinsip kerja metode Biuret adalah sebagai berikut: preparasi monoreagen
atau reagen mix dengan mencampur reagen 1 dan reagen 2 dengan perbandingan 4 : 1.
18
Sampel serum darah selanjutnya diambil 20 μl, dimasukkan dalam tabung dan ditambah 1 ml
monoreagen, untuk standar (100 mg/dl) 20 μl ditambah 1 ml monoreagen, untuk blanko 20 μl
aquadest ditambah 1 ml monoreagen. Larutan disentrifus selama 2 menit dengan kecepatan
12000 rpm dengan vortex mixer, diinkubasikan selama 5 menit pada suhu kamar. Pembacaan
serapannya dilakukan dengan menggunakan Photometer Microlab 300 gelombang 540 nm
secara berurutan: blanko, monoreagen, standar, sampel. Kadar total protein darah dihitung
dengan rumus :
Kadar total protein = Δ Absorbance sampel x konsentrasi standar (5g/dl) Δ
Absorbance standar (Ramandani dan Nururrozi, 2015)
8. Pemeriksaan dengan mengkoleksi mukosa serviks
Bagian eksternal genitalia betina dibersihkan dengan cairan antiseptik dan
dikeringkan dengan kapas. Sample mukus dikoleksi dengan aspirasi, menggunakan kateter
steril yang terkoneksi oleh disposible syringe 50 mL. Kateter dimasukan kedalam vagina
diikuti dengan palpasi rektal untuk membuat kateter mencapai cornu uteri.
Sampel mukus di analisis kuantitas, warna, konsistensi, pola fern, pH, spinnbarkeit.
- Kuantitas dikategorikan menjadi little, moderatte dan banyak.
- Warna mukus di observasi secara visual dan dikategorikan menjadi clear, cloudy, atau
turbid.
- Konsistensi mukus dievaluasi meletakan 2-3 tetes mukus ke slopped glass objek bersih
dan di grupkan jadi tiga kategori yang berbeda, yaitu thick, medium, atau thin.
- Untuk mengidentifikasi pola fern, mukus cervial di letakan di permukaan glass objek, dan
dikeringkan dengan udara, lalu diobservasi dengan mikroskop dengan perbesaran 10x10
dan 10x40. Pola fern diklasifikasikan menjadi typical, atypical atau negatif.
- Untuk mengidentifikasi spinnbarkeit, 2-3 tetes dari cervical mukus diletakan di
permukaan glass objek yang bebas lemak, dan letakan glass objek bebas lemak lainnya.
Lalu kedua glass objek dengan perlahan dipisahkan. Jarak antara dua slide sebelum mucus
terputus diukur dan dijadikan centimeter. Spinnbarkeit values, dikategorikan jadi 0-8; 8-
16; 16-24; dan >24 cm.
- pH diukur dengan menggunakan indikator universal dan diklasifikasikan menjadi <7,0;
7,0-7,5; 7,5-8,0; dan >8,0

TERAPI
19
Pada kasus sista folikuler dan sista luteal terapi yang dapat diberikan, antara lain :

a. Hormon LH (misalnya Prolan). Pemberian hormon LH akan menyebabkan pecahnya sista


dan terbentuknya CL, atau menyebabkan luteinisasi sista tanpa disertai pecahnya sista.
Terbentuknya jaringan luteal dan hormon progesteron akan menyebabkan terselenggaranya
daur estrus secara normal.
b. Hormon chorionik gonadotropin (HCG) dapat dipakai sebagai sumber LH dengan dosis yang
dianjurkan adalah 2500 IU secara IV. GnRH sama potennya dengan LH.
c. Progesteron. Hormon ini dapat dipakai dan dimaksudkan untuk membual CL dapat lebih
terbentuk. Hormon ini disuntikkan secara IM selama 14 hari berturut-turut kemudian
dihentikan. Seminggu setelah pengobatan terakhir, gejala birahi akan nampak.. Walaupun
demikian, hasilnya tidak lebih baik daripada LH dan GnRH.
d. Prostaglandin. Obat yang sangat aktif untuk menyembuhkan sista luteal. Kemungkinan
hormon ini tidak secara langsung mengobati sista luteal karena sifatnya yang tergantung pada
keberadaan jaringan luteal. Dosis yang dapat diberikan adalah 25 mg secara IM atau 5 mg
secara intrauterin (IU) untuk tujuan luteolisis. Untuk cloprostenol dianjurkan dengan dosis
0,5 mg atau sesuai dengan petunjuk dari pabrikan.
Pada kasus kegagalan infertilisasi antara ovum dan sperma dapat terjadi akibat kejadian
Delayed Ovulation (keterlambatan ovulasi) dan gangguan transportasi ovum serta sperma. Dan
kejadian tersebut dapat diantisipasi dengan terapi :
1) Delayed ovulation : Terapi dapat dilakukan dengan injesi GnRH (100-250 mikrogram
Gonadorelin) saat IB atau pemberian hCG.
2) Gangguan transportasi ovum dan sperma : penambahan antibiotik dan kortikosteroid
Pada kasus ovulasi tertunda (delayed ovulations) dapat digunakan Inseminasi Buatan secara
berganda, masing-masing satu dosis dengan selang waktu selama 10-12 jam. sedangkan pada kasus
endometritis subklinis dapat dilakukan terapi intra uterin antibiotika, dengan penisilin Kristal 1 juta
IU dan streptomycin sebanyak 1 gram atau dengan iodine povidone 2% sebanyak 100-250 ml per
perlakuan ( Putro, 1992).

PENCEGAHAN REPEAT BREEDING

Terapi pada sapi yang menderita kawin berulang bertujuan untuk meningkatkan angka
kebuntingan. Induk yang menderita penyakit karena adanya kuman pada saluran alat kelamin maka
20
dilakukan pengobatan dengan memberikan larutan antibiotika yang sesuai dan diistirahatkan sampai
sembuh, baru dilakukan perkawinan dengan inseminasi buatan. Bila karena indikasi
ketidakseimbangan hormon reproduksi dapat ditingkatkan dengan pemberian GnRH dengan dosis
100-250 mikrogram pada saat inseminasi (Hardjopranjoto, 1995). Bila ovulasi tertunda dapat diterapi
dengan LH (500 U) (Arthur, 1975). Peningkatan kualitas pakan dan manajemen peternakan, serta
pengelolaan reproduksi yang baik (Toelihere, 1981).

Sedangkan pada kasus sista folikuler pencegahan dapat dilakukan dengan cara penyuntikan
GnRH, yang di ikuti dengan injeksi dari PGF 2a pada 10 sampai 14 hari sesudahnya. Perlakuan
tersebut sudah menunjukkan adanya interval yang pendek antara perlakuan dan estrus pertama dan
memberikan hasil yang memuaskan untuk kebuntingan (Bearden dkk, 2002).

Pentatalaksanaan manajemen reproduksi ternak yang tidak legeartis juga dapat menyebabkan
terjadinya repeat breeding. Pada kasus Inseminasi Buatan (IB) apabila operator tidak melakukan IB
mengikuti ketetntuan yang berlaku maka dikhawatirkan akan terjadi gesekan antara gun IB dengan
lapisan mukosa saluran kelamin, dan apabila terdapat bakteri patogen oportunis di dalamnya maka
dapat menyebabkan terjadinya endometritis subklinis, sehingga hal tersebut akan mempuat
persentase terjadinya repeat breeding semakin besar. Karena keadaan uterus yang asam akan
membuat spermatozoa yang bergerak menuju ampula ishmut junction untuk melakukan fertilisasi
mati dan tidak ada sperma yang bertahan untuk melakukan fertilisasi.

Keadaan kandang hendaknya perlu diperhatikan juga, kandang yang kurang ventilasi udara dan
panas akan menurunkan kemungkinan terjadinya fertilisasi dikarenakan suhu tubuh sapi juga
meningkat, maka hindari kondisi kandang yang terlalu tertutup untuk menghindari hal tersebut.

21
DAFTAR PUSTAKA

Ball PJH, Peters AR. 2004. Reproduction in Cattle. Oxford USA. Ed ke-3. Blackwell Publising
Bearden,H.J., Fuquay,J.W., Willard,S.C. 2002. Applied Animal Reproduction Edisi ke-6. Pearson
Prentice Hall : New Jersey
Blowey, R.W. dan Weaver, A.D. 2011. Color Atlas of Diseases and Disorders of Cattle Third
Edition. USA: Mosby Elsevier.
Brubaker, R.R. 1985. Mechanism of bacterial virulence . In Ornston, L.N., A. Balows and P.
Baumann (Edits) . Annual Review of Microbio logy . Vol . 39, Annual Review Inc . Palo
Alto, California .
Brunner, M. A, 1984, Repeat Breeding, Dairy Integrated Reproductive Management, Cornell
University, www. Repeat breeding.com
Campbell, J.R. Dan Marshall, R.T. 2016. Dairy Production and Processing: The Science of Milk
and Milk Products. Illinois: Waveland Press. 206.
Christensen, B.W., McNabb, B.R., Troedsson, M.H.T., dan Woodward, E.M. 2015. Diseases of
the Reproductive System in Large Animal Internal Medicine Fifth Edition. USA: Elsevier.
Coetzer, W.A., Niekerk, C.H., Morgenthal, J.C., dan Westhuysen, J.M. 1978. Hormone Levels in
Peripheral Plasma of The Afrikaner Cow. S. Afr. J. Anim. Sci. 8, 1-5 (1978).
Crowe, M.A., Williams, E.J., Mulligan, F.J. (2015). Physiological and health factors affecting
fertility in beef and dairy cows. Cattle Practice Volume 23 Part 1.
Dairyman, H. 1996. Dairy Cattle Fertility & Sterility. USA: W.D. Hoard & Sons Company. 18.
22
Divers, T.J and Peek, S.F. 2008. Disease of Diary Cattle. London : El Sevier.
Dolezel R, Vecera M, Palenik T, Cech S, Vyskocyl M. 2008. Systematic clinical examination of
early postpartum cows and treatment of puerperal endometritis did not have any beneficial
effect on subsequent reproductives performance. Vet Med no 53
Fensterbank, R. 1987. Brucellosis in cattle, sheep and goats. Technical Series No . 6. O.I .E .
Paris.
Frienchick, P.J ., R.J .F . Markham and A.H. Cocharane . 1985 . Inhibition of phagosom lisosom
fusion in macrophages by soluble extracts of virulent B. abortus. Am . J. Vet . Res. 46 (3) :
332-335.
Gilbert RO, Shin ST, Guard CL, Erb HN. 1998. Incidence of endometritis and effects on
reproductive performance of dairy cows. Theriogenology
Goff, J.P. 2015. Female Reproduction in Mammals. Dalam: Reece, W.O, (eds). Dukes’
Physiology Domestic Animals. USA: Wiley Blackwell. 683.
Hafez, E.S.E, 1993, Reproduction Failure in Females, 6 th Edition, LEA And Febiger,
Philadelphia, pp: 267, 271.
Hafez, E.S.E. 2002. Reproduction in Farm Animal 7th edition. Philadelpia: Lippincott
William&Wilkins
Hardjopranjoto, H. S. 1995. Ilmu Kemajiran pada Ternak. Surabaya: Airlangga University Press
Hardjopranjoto, H.S, 1995, Ilmu Kemajiran Pada Ternak, Airlangga University Press, Hal: 103-
114, 139-146.
Hunter, R.H.F, 1981, Fisiologi dan Teknologi Reproduksi Hewan Betina Domestik, Penerbit ITB
Bandung dan Universitas Udayana, Hal: 20, 332.
Juliana, A., Hartono, M., Suharyati, S. Repeat Breeder Pada Sapi Bali di Kabupaten Pringsewu.
Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu Vol. 3(2): 42-47 Mei, 2015.
Kasimanickam R, Duffield TF, Foster RA, Gartley CJ, Leslie KE, Walton JS, Johnson WH. 2004.
Endometrial cytology and ultrasonography for the detection of subclinical endometritis in
postpartum dairy cows. Theriogenology.
Noakes D. E., Perkinson, T. J., England, G. C. 2001. Arthur Veterinary Reproduction and
Obstetrics Eighth Edition. USA : W. B. Saunders.
Partodihardjo, S. 1980. Ilmu Reproduksi Ternak. Mutiara. Jakarta .
Prihatno, S.A. 2004. Infertilitas dan Sterilitas. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta.
23
Ratnawati, D., Pratiwi, W. C., Affandhy, L. 2007. Petunjuk Teknis Penanganan Gangguan
Reproduksi Sapi Potong. Pasuruan: Agro Inovasi
Toelihere, M.R, 1981, Ilmu Kemajiran Pada Ternak Sapi, Edisi Pertama, Institut Pertanian Bogor,
Hal: 52-57, 76-85.
Zemjanis, R, 1980, Repeat Breeding or Conception Failure in cattle; Current Theraphy in
Theorigenology.,Morrow, D.A, W.B Saunders Company Philadelphia, pp: 205.

24

Anda mungkin juga menyukai