Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Daging dan ikan merupakan bahan pangan yang banyak dikonsumsi oleh
masyarakat indonesia. daging dan ikan mudah ditemui pada pasar,
supermarket, dll. Pada daging dan ikan terdapat protein dan mengandung
lemak dan asam amino esensial yang lengkap dan seimbang serta beberapa
jenis mineral dan vitamin. Maka dari itu daging dan ikan perlu dikonsumsi
untuk memenuhi kebutuhan gizi. Pada ikan memiliki jaringan ikat yang lebih
sedikit sehingga ikan ini mudah dicerna sedangkan pada daging memiliki
jaringan ikat yang banyak sehingga daging sulit untuk di cerna.
Daging merupakan bahan pangan yang bernilai gizi tinggi sekaligus
mediayang baik untuk perkembangan mikroorganisme. Penanganan pasca
panen daging segar mutlak diperlukan untuk meminimalkan penurunan mutu
dan kerusakannya. Hal tersebut meliputi penanganan daging postmortem
pelayuan, penyimpanan, pendistribusian hingga pemasaran. Selain itu faktor
sanitasi (hygiene) juga sangat penting untuk dilakukan dalam setiap praktek
penanganan pasca panen daging segar(Susanto, 2014).
Menurut Lawrie (1979) daging adalah bagian dari hewan potong yang
digunakan manusia sebagai bahan makanan, selain mempunyai penampakan
yang menarik selera, juga merupakan sumber protein hewani berkualitas
tinggi. Sedangkan menurut Soeparno (1994) daging didefinisikan sebagai
semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan
tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan ganguan
kesehatan bagi yang memakannya. Selain itu Brahmantiyo (1996) menyatakan
bahwa daging adalah otot garis melintang yang sebagian besar dihubungkan
secara langsung atau tidak langsung dengan rangka (Dalam Hermansyah,
2008).
Komponen utama penyusun daging adalah otot. Otot hewan berubah
menjadi daging setelah pemotongan karena fungsi fisiologisnya telah berhenti.
Daging juga tersusun dari jaringan ikat, epitelial, jaringan-jaringan syaraf,
pembuluh darah, dan lemak. Jadi daging tidak sama dengan otot (Soeparno

1
dalamHermansyah, 2008). Daging yang disimpan pada suhu kamar pada
waktu tertentu akan mengalami kerusakan. Kerusakan daging oleh mikro
organisme mengakibatkan penurunan mutu daging. Jumlah dan jenis
mikroorganisme ditentukan oleh penanganan sebelum penyembelihan ternak
dan tingkat pengendalian hiegines dan sistem sanitasi yang baik selama
penanganan hingga dikonsumsi (Usmiati dalamSusanto, 2014).
Ikan merupakan salah satu komoditi pangan yang berasal dari perairan.
Ikan mengandung komposisi kimiawi seperti protein, lemak, karbohidrat,
garam-garam mineral, vitamin, zat-zat warna, enzim, air dan cita rasa. Ikan
yang baik memiliki ciri-ciri kenampakan segar dan cerah, elastis, daging pada
ikan kenyal, warna insang sudah coklat gelap, belum ada tanda-tanda bau
busuk bau asam/ bau-bau yang lain. Beberapa faktor yang mempengaruhi
kualitas daging ikan adalah Faktor sebelum pemotongan yang dapat
mempengaruhi kualitas daging adalah genetik, spesies, bangsa, tipe ternak,
jenis kelamin, umur, pakan dan bahan aditif (hormon, antibiotik, dan mineral),
serta keadaan stres. Faktor setelah pemotongan yang mempengaruhi kualitas
daging adalah metode pelayuan, metode pemasakan, tingkat keasaman (pH)
daging, bahan tambahan (termasuk enzim pengempuk daging), lemak
intramuskular (marbling), metode penyimpanan dan pengawetan, macam otot
daging, serta lokasi otot (Astrawan 2008). Pada daging dengan susut masak
(cooking loss) yang relatif rendah lebih baik daripada daging dengan susur
masak yang relatif rendah begitu juga pada drip loss.
Ikan pada umumnya lebih banyak dikenal dari pada hasil perikanan
lainnya, karena jenis tersebut yang paling banyak ditangkap dan dikonsumsi
(Hadiwiyoto, 1993). Ikan merupakan bahan pangan yang mudah sekali
mengalami kerusakan. Kerusakan pada ikan disebabkan oleh mikrobia
terutama bakteri (Hadiwiyoto, 1993). Penyebab kerusakan ikan antara lain
kadar air yang cukup tinggi (70-80% dari berat daging), kandungan protein
dan lemak yang tinggi menyebabkan mikrobia mudah untuk tumbuh dan
berkembang biak. Ikan mengandung enzim proteolisis yang menguraikan
protein menjadi putresin, isobutilamin, kadaverin, yang dapat menimbulkan
bau tidak sedap. Lemak ikan banyak mengandung asam lemak tidak jenuh

2
ganda berantai panjang yang sangat mudah mengalami oksidasi atau hidrolisis
menghasilkan bau tengik (Astawan, 2004).
Hasil penelitian Purwani, Retnaningtyas, dan Widowati (2008) yang telah
melakukan isolasi mikrobia perusak ikan nila, ditemukan jenis-jenis mikrobia
perusak ikan nila terdiri dari Bacillus licheniformis, Bacillus alvei, Klebsiella
pneumonia, Acinetobacter calcoaceticus, Staphylococcus saphropyticus,
Enterobacter aerogenes, Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, Bacillus
cereus dan Klebsiella oxytoca. Mikrobia ini merupakan mikrobia perusak
pangan dan bersifat patogen. Bacillus alvei adalah bakteri gram positif
berbentuk batang aerob dan fakultatif anaerob, pembentuk spora. Bacillus
alvei merupakan bakteri proteolitik perusak dan memiliki toksin sehingga
bersifat patogen. Bakteri ini hidup pada media daging dan ikan berkenaan
dengan aktifitas proteolitiknya (Jawetz, Melnick dan Adelberg’s, 2005).

1.2 Rumusan Masalah


1. Jelaskan pengertian daging dan ikan ?
2. Bagaimana perubahan biokimia terhadap daging dan ikan ?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah untuk memberikan pengetahuan
ataupun wawasan mengenai perubahan biokimia terhadap daging dan ikan.

3
BAB II

PEMBAHSAN

2.1 Perubahan Biokimia Pada Daging

A. Fase Perubahan Pasca Mortem


Fase pre-rigor mortis adalah suatu fase yang terjadi setelah hewan
mengalami kematian. Pada fase ini otot berada dalam keadaan relaksasi
yaitu belum terjadi persilangan antara filamen aktin dan miosin sehingga
jaringan otot masih halus dan empuk. Proses kimiawi dan pertumbuhan
pada fase ini sangat lambat.
Rigor mortis adalah suatu perubahan pasca mortem yang terjadi
dalam otot dan mempunyai pengaruh langsung terhadap keempukan
daging. Secara fisik dapat dikatakan bahwa rigor mortis merupakan suatu
proses perubahan daging menjadi kaku dan kehilangan fleksibilitasnya.
Kekakuan jaringan otot tersebut disebabkan terjadinya persilangan filamen
aktin dan miosin karena kontraksi otot. Lamanya proses rigor mortis
tergantung pada jenis hewannya. Daging kembali menjadi empuk karena
tidak ada lagi pembentukan energy (ATP) yang dapat digunakan untuk
kontraksi dan persilangan filamen aktin dan miosin. Fase ini disebut pasca
rigor mortis.
B. Perubahan Ph
Dalam keadaan masih hidup pH daging berkisar antara 6,7 – 7,2.
Setelah disembelih maka terjadi penurunan pH karena terjadi penimbunan
asam laktat dalam jaringan otot akibat proses glikolisis anaerob. Pada
daging unggas (ayam) penurunan akan mencapai nilai 5,8 – 5,9 setelah
melewati fase pasca mortem selama 2 - 4 jam. Penimbunan asam laktat
akan berhenti setelah cadangan glikogen otot habis atau setelah kondisi pH
cukup rendah untuk menghentikan aktivitas enzim glikolitik di dalam
proses glikolisis anaerobik. Daging post mortem memiliki pH ultimat
normal 5,5 yang sesuai dengan titik isoelektrik sebagian besar protein
daging termasuk protein miofibril.

4
Perubahan pH setelah post mortem dipengaruhi oleh faktor
intrinsik yaitu spesies, tipe otot dan variasi lainnya dari ternak, serta faktor
ekstrinsik yaitu penanganan ternak sebelum dipotong dan suhu
penyimpanan daging. Laju penurunan pH karkas post mortem akan cepat
pada suhu penyimpanan yang tinggi, sedangkan temperatur rendah akan
menghambat laju penurunan pH. Pengaruh suhu penyimpanan terhadap
perubahan pH post mortem ini adalah sebagai pengaruh langsung suhu
terhadap laju glikolisis post mortem. Nilai akhir pH pada rentang 5:1 - 6.1,
membuat struktur daging menjadi lebih terbuka. Nilai akhir pH yang
tinggi yaitu kisaran 6,2–7,2 menghasilkan struktur tertutup dan kompak,
warna merah gelap, flavor jelek serta memungkinkan pertumbuhan
mikroba menjadi lebih baik. Dan sebaliknya jika pH rendah, maka daging
berwarna pucat, flavor hambar, penetrasi garam dan bumbu baik serta
umumnya daya awetnya juga baik. Hubungan pH dengan kualitas daging
terlihat pada tabel berikut.
C. Perubahan Struktur Jaringan Otot
Faktor yang mempengaruhi struktur jaringan otot terutama
keempukan daging terdiri dari faktor antemortem dan post mortem. Faktor
antemortem antara lain adalah genetik, fisiologi, makanan, dan manajemen
pemeliharaan ternak sedangkan faktor post mortem antara lain adalah
metode pemotongan, penyimpanan dan pengolahan daging. Selama proses
pasca mortem terjadi perubahan struktur jaringan otot yaitu penurunan
keempukan akibat kelebihan energi, sehingga jaringan otot berkontraksi.
Setelah fase rigor mortis terlewati, jaringan otot mengalami fase pasca
rigor, di mana jaringan otot menjadi lunak dan daging menjadi empuk
(tender).
Mekanisme proteolitik merupakan teori yang sering digunakan
untuk menerangkan keempukan daging pada pasca rigor, yaitu
melonggarnya ikatan aktin dan miosin serta terurainya sebagian kolagen
oleh asam yang terbentuk. Dengan turunnya pH, enzim katepsin akan aktif
mendesintegrasi garisgaris gelap Z pada miofilamen, menghilangkan gaya
adhesi antara serabutserabut otot. Selain itu enzirn katepsin yang bersifat

5
protoelitik tersebut dapat melonggarkan serat otot. Ada hubungan yang
erat antara pengaruh pH dan keempukan daging.
D. Perubahan Kelarutan Protein
Perubahan kelarutan protein selama fase pasca mortem dipengaruhi
oleh pH, tersedianya ATP, dan faktor lainnya. Setelah hewan mati, terjadi
penurunan kelarutan protein larut garam, terutama miosin. Tahap
penurunan kelarutan protein dimulai dari fase pre-rigor. Pada fase pre-
rigor kelarutan per unit pH lebih kecil dibandingkan saat rigor mortis. Hal
ini disebabkan pada fase pre rigor penurunan kelarutan protein hanya
dipengaruhi oleh kuatnya ikatan aktin dan miosin akibat habisnya ATP.
E. Perubahan Daya Ikat Air
Daya ikat air oleh daging adalah kemampuan daging untuk
mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan
dari luar, misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan atau
tekanan. Kemampuan menahan air menjadi faktor penting terutama pada
daging yang akan digunakan pada industri yang melibatkan proses
penghancuran dan atau pengemulsian, misalnya produksi pasta daging,
sosis, bakso, ham matang, dan lain-lain. Daya ikat air juga erat
hubungannya dengan kehilangan air sewaktu daging dibekukan dan
dicairkan kembali (thawed). Pada fase prerigor daya ikat air daging masih
relatif tinggi, akan tetapi secara bertahap menurun seiring dengan
perubahan nilai pH dan jumlah ATP jaringan otot. Daging yang
mempunyai daya ikat air tinggi, di mana pH-nya jauh di atas isoelektrik
dari aktomiosin, maka protein akan mengikat air lebih banyak dan
akibatnya permukaan daging menjadi kelihatan kering, tetapi ketika
dimasak kehilangan airnya sedikit dan mampu memerangkap air lebih
banyak sehingga memberi cita rasa basah dan memberi kesan empuk.
Habisnya ATP Pasca Mortem pada fase rigor mortis menyebabkan
terjadinya ikatan yang kuat antara filamen aktin dan miosin. Kuatnya
ikatan jaringan protein miofibrilar tersebut juga dapat menyebabkan
menyempitnya ruangan untuk mengikat air, sehingga daya ikat air daging
pada fase rigor mortis sangat rendah. Selama proses pasca rigor daya ikat

6
air daging dapat meningkat lagi, hal ini dihubungkan dengan perubahan
muatan elektrik molekul protein otot, atau dengan melonggarnya jaringan
miofibrilar akibat aktivitas enzim proteolitik. Hubungan antara pasca
mortem dan perubahan pH serta WHC dapat dilihat pada lampiran.
F. Perubahan Warna
Warna daging ditentukan oleh pigmen daging yang utama, yaitu
mioglobin. Mioglobin merupakan protein sarkoplasma dari suatu rantai
polipeptida tunggal yang terikat di sekeliling suatu grup heme yang
mengikat oksigen. Banyak factor yang mempengaruhi warna daging
termasuk pakan, spesies, jenis hewan, umur, jenis kelamin, stres (tingkat
aktivitas dan tipe otot), pH dan oksigen. Faktor-faktor ini dapat menjadi
penentu konsentrasi pigmen daging mioglobin Perubahan warna selama
post mortem berhubungan dengan perubahan pH pada otot daging.
Kecepatan penurunan pH dan nilai pH ultimat sangat mempengaruhi
karakteristik warna daging. Penurunan pH post mortem yang cepat
mengakibatkan warna daging pucat. Sementara nilai pH post mortem yang
tinggi mengakibatkan daging berwarna merah gelap. Selain pengaruh pH,
perubahan warna juga dipengaruhi reaksi kimia mioglobin dengan adanya
oksigen. Dengan ketersediaan oksigen yang berkecukupan, maka akan
terjadi oksigenasi terbentuk oksimioglobin yang berwarna merah cerah,
serta pada proses lain akan Metmioglobin yang dapat menyebabkan
diskolorisasi daging segar.
G. Perubahan Menyimpang Akibat Stress Pra Rigor
Hewan ternak yang berada dalam kondisi stres sebelum
penyembelihan dapat menyebabkan daging yang diperoleh berada dalam
kondisi PSE (Pale, Soft, Exudative) atau DFD (Dark, Firm, Dry) .
1. Daging PSE

7
Daging PSE banyak terjadi pada ternak babi stres yang sering
disebut Porcine Stress Syndrome (PSS), namun dapat pula terjadi pada
jenis ternak yang lain. Kondisi daging PSE tergambar dari namanya (Pale,
Soft, Exudative), yaitu daging menjadi lunak dan cenderung lentur,
permukaan daging basah, serta warna daging pucat. Ketika dimasak
daging PSE sangat kering dan secara organoleptik kurang diterima.
Daging PSE ini kurang baik untuk pengolahan karena memiliki nilai WHC
yang rendah.

2. Daging DFD

Daging DFD adalah penyimpangan kualitas daging yang banyak


terjadi pada sapi dan babi. DFD adalah fenomena di mana daging menjadi
lebih gelap penampakannya dibandingkan daging normal. Permukaan
daging kering, pH lebih tinggi (6,0 – 6,2) dibanding normal (5,3 – 5,8).
DFD terjadi pada ternak yang mengalami stres dan banyak gerak/berontak
dalam waktu yang cukup lama sebelum disembelih. Akibatnya, cadangan
glikogen tubuh menjadi sangat rendah, proses glikolisis anaerob yang
menghasilkan asam laktat untuk penurunan Ph daging tidak terjadi dan pH
ultimat tetap tinggi. Karena pH tinggi, daya ikat air daging DFD juga
tinggi. Kondisi ini merupakan nilai tersendiri bagi industry pengolahan
daging, khususnya industri sosis.

2.2 Perubahan Biokimia Pada Ikan


Ikan, selama hidup tidak mengalami proses pembusukan karena
ikan memiliki kandungan glikogen dan pertahanan alami. Pertahanan

8
alami pada ikan dapat terbentuk secara fisik (kulit dan sisik) maupun
fisiologis (antibody). Proses pembusukan akan terjadi segera setelah ikan
mengalami kematian. Hal itu disebabkan mekanisme pertahanan alami
ikan tidak berfungsi secara normal.Semenjak ikan mengalami kematian,
maka akan terjadi serangkaian proses perubahan yang semuanya mengarah
pada penurunan kesegaran dan akhirnya pembusukan. Penurunan
kesegaran berkaitan dengan energy (glikogen) yang dikandung oleh ikan.
Kesegaran ikan tidak bisa ditingkatkan tetapi proses perubahanya dapat
dihambat sehingga kesegaran ikan dapat dipertahankan lebih lama. Ikan
akan membusuk 12-20 jam setelah ditangkap atau dipanen, tergantung
jenis dan kondisi ikan, cara penangkapan, cara penanganan dan kondisi
lingkungan. Ikan dengan kandungan glikogen yang tinggi mampu
mempertahankan kesegarannya lebih lama.
Kondisi ikan dipengaruhi oleh kerusakan fisik, jumlah populasi
mikroba pembusuk. Kerusakan fisik pada tubuh ikan berupa memar akibat
benturan dan luka terkena benda tajam merupakan jalan masuk bagi
mikroba pembusuk untuk merombak daging ikan. Cara penangkapan dapat
menyebabkan ikan mengalami stress, baik akibat perlakuan kasar, tekanan
atau kerusakan fisik. Apabila ikan mengalami stress, ikan membutuhkan
energy yang besar, sehingga glikogen yang tersisa semakin sedikit.
Akibatnya, ikan menjadi mudah mengalami penurunan
kesegaran.Kesuksesan dalam menghambat penurunan kesegaran ikan
sangat dipengaruhi oleh penanganan awal yang diberikan terhadap ikan.
Penanganan awal merupakan kombinasi antara pembuangan sumber
penyebab proses pembusukan dan dilanjutkan dengan penyimpanan yang
baik. Penanganan dapat berupa penyiangan, pendinginan, dan penggunaan
beberapa senyawa kimia tertentu. Kondisi lingkungan tempat penanganan
juag berpengaruh pada proses penurunan kesegaran ikan selama
penyimpanan. Sanitasi, temperature lingkungan dan kelembaban
merupakan komponen yang berperan dalam perubahan setelah ikan mati.
Peningkatan temperature lingkungan akan meningkatkan aktivitas

9
enzimatis dan mikroba pembusuk, sehingga mempercepat proses
penurunan kesegaran ikan.
Oleh karena penanganan dan penyimpanan harus dilakukan pada
suhu rendah. Ikan yang disimpan pada suhu 5oC dapat mempertahankan
kesegarannya sehingga dapat dikonsumsi hingga hari kelima atau keenam.
Kondisi lingkungan Indonesia kurang menguntungkan bagi penanganan
ikan segar. Kelembaban yang relative tinggi merupakan lingkungan yang
sesuai dengan kebutuhan mikrobia, sehingga pertumbuhan mikrobia
berlangsung cepat.

A. Tahap pre-rigo
Perubahan pada pre-rigor diawali dengan hyperaemia yaitu
keluarnya lendir dari kelenjar lendir tubuh ikan. Lendir merupakan
glukoprotein mucin yang dapat dimanfaatkan mikroba sebagai media
pertumbuhan. Keluarnya lendir merupakan bentuk reaksi alami yang
terjadi pada awal kematian. Ikan mati, jantung ikan berhenti memompa.
Sehingga sirkulasi darah di dalam tubuh ikan terhenti, akibatnya tidak ada
lagi suplai oksigen ke dalam jaringan tubuh ikan. Dampaknya adalah
proses sintesis Adenosin Triphosphat (ATP) menjadi terhenti karena rantai
pernafasan maupun mekanisme fosforilasi oksidatif tidak berfungsi. Ikan
yang telah mati, hanya dapat memanfaatkan ATP yang tersisa dalam
tubuhnya. Otot ikan yang mati cenderung melakukan kontraksi sehingga
daging menjadi tegang (keras). Otot ikan terdiri dari komponen aktin dan
myosin. Dalam kondisi normal, aktin dan myosin berada pada posisinya.
Namun pada saat kontraksinya, aktin dan myosin akan membentuk
aktomiosin.
Untuk mempertahankan aktin dan myosin tetap terpisah, maka
diperlukan energy dalam bentuk ATP, yang dapat diperoleh dari
perombakan glikogen di dalam otot menjadi glukosa melalui proses
glikolisis an aerob.Pemecahan glikogen menghasilkan asam laktat yang
akan meningkatkan keasaman daging. pH akhir daging tergantung pada
jenis ikan, namun sekitar 6.4-6.8. Nilai pH tersebut relative lebih tinggi

10
dibandingkan dengan ternak yang lain, sehingga ikan lebih mudah
mengalami proses pembusukan dibandingkan produk ternak. Perombakan
glikogen akan menghasilkan asam laktat yang menyebabkan daging ikan
bersifat asam, sehingga aktivitas ATP-ase dan kreatinin fosfatase akan
meningkat dalam merombak ATP dan keratin fosfat untuk memperoleh
energy. ATP-ase akan merombak ATP menjadi ADP+P, sedangkan enzim
keratin fosfatase dapat membntuk ATP dari ADP + keratin fosfat.
Dengan demikia, awal kematian ikan, jumlah ATP relative konstan
dan keratin fosfat tidak menurun. Cadangan ATP yang ada di dalam otot
ikan akan terurai menjadi Adenosin diphosphat (ADP), kemudian diurai
lebih lanjut menjadi Adenosin monophosphat (AMP) dan inosin
monophosphat (IMP) berdasarkan reaksi defosforilasi dan deaminasi.
Tahap selanjutnya, IMP akan terdegradasi menjadi hipoksantin (Hx) dan
ribose.
Kandungan ATP dan keratin fosfat lama kelamaan akan menurun.
Sehingga saat terjadi kontraksi otot, daging tidak memiliki energy yang
cukup untuk menghambat aktivitas aktin dan myosin selama proses
relaksasi. Hal ini berarti bahwa daging tidak memiliki energy untuk
memisahkan aktin dan myosin sehingga daging menjadi kaku.
Ikan yang berada pada tahap pre-rigor masih dapat dianggap
sebagai ikan segar karena memiliki sifat seperti ikan yang masih hidup.
Tahap pre-rigor, daging ikan memiliki karakteristik kering, tidak ada
cairan dan pH mendekati normal. Tahap pre-rigor berlangsung 1- 7 jam
setelah ikan mati. Faktor yang mempengaruhi adalah jenis ikan, kondisi
ikan, suhu lingkungan.
B. Tahap rigor mortis
Tahap rigor mortis ditandai dengan perubahan tekstur daging ikan
yaitu semula kenyal dan elastic pada tahap pre-rigor secara bertahap
menjadi kaku, keras dan kehilangan kelenturannya. Hal ini terjadi karena
aktivitas aktin dan myosin. Ikan yang berukuran kecil dan ikan yang
kenyang relative memiliki masa pre rigor mortis lebih singkat karena
enzim-enzim proteolitik yang terdapat didalam saluran pencernaan masih

11
banayk dan aktif. Ikan yang berukuran besar, enzim proteolitik di dalam
saluran pencernaan dapat dikurangi dengan penyiangan, tetapi sulit
dilakukan pada ikan-ikan kecil.
Miosin merupakan komponen daging ikan yang memiliki kepala
ganda pada salah satu ujungnya. Pada bagian kepala ini terdapat bagian-
bagian aktif yang mengandung senyawa kimia. Senyawa kimia ini akan
berperan aktif dalam kontraksi otot. Aktiviats ATPase, pada bagian-bagian
enzimatis dari myosin, membutuhkan ion magnesium dan kalsium. Ion
magnesium dan kalsium mengendalikan aktivitas ATPase pada myofibril
yang berperan dalam kontraksi otot. Apabila ion Ca2+ dalam sarkoplasma
meningkat,aktivitas system aktomiosin-ATPase meningkat dan myofibril
akan mampu merombak ATP menjadi ADP+Pa. Enzim ATP ase akan
menghidrolisis ATP sehingga energy untuk kontraksi otot tersedia.
Kontraksi aktin dan myosin akan memperpendek otot daging
sehingga 20-50% dari panjang sarkomere semula. Pada saat kontraksi,
myosin akan melepaskan ADP+P dan secara bersamaan aktin akan
melepaskan diri sehingga memungkinkan terbentuknya molekul Mg-ATP-
2 dibagian enzimatis myosin, sehingga terbentuk kompleks substrat-
enzim. Molekul Mg-ATP-2 akan berperan sebagai “plasticizing effect”
yang dapat menyebabkan pemisahan aktin dan myosin sehingga panjang
sarkomer kembali seperti awal.
Penurunan ATP menyebabkan pembentukan Mg-ATP-2 tidak
dapat berlangsung sehingga aktin dan myosin bereaksi membentuk aktin
dan myosin yang dicirikan dengan kaku dan mengejangnya daging ikan.
Proses pengejangan pada ikan, biasanya dimulai dari ekor dan menyebar
ke arah kepala. Ekor merupakan bagian yang paling aktif, sehingga diduga
cadangan glikogennya yang paling rendah. Akibatnya, tahap pre-rigornya
lebih singkat dibandingkan bagiantubuh yang lain.
Waktu yang diperlukan untuk berada pada tahap rigor tergantung
pada spesies ikan, kondisi ikan, dan temperature ikan. Lama dan intensitas
rigor berkisar 30-120 jam tergantung spesies, temperature, dan kondisi
ikan. Pada tahap akhir rigor, nilai pH daging ikan secara perlahan-lahan

12
akan meningkat sehingga yang semula asam menjadi sedikit basa karena
terbentuknya senyawa volatile yang bersifat basa, seperti ammonia,
trimetil amin (TMA), indol dan sebagainya.
C. Tahap post rigormortis
Perubahan selam tahap pre- rigor dan rigor mortis belum
memberikan perubahan nyata atau dapat dikatakan kondisi dagin relative
sama dnegan ikan hidup. Oleh karena itu sampai tahap rigor, ikan masih
digolongkan sebagai ikan segar. Namun demikian, memasuki tahapan
post-rigor mortis mulai terjadi pembusukan. Pada tahap post rigor mulai
terebntuk warna, rasa, baud an tekstur yang tidka diharapkan dan menjadi
indicator tingkat kesegaran ikan. Penyebab proses perombakan pada tahap
ini adalah aktivitas enzim, mikroba pembusuk dan oksigen.
Jenis ikan mempengaruhi kecepatan proses pembusukan.Ikanyangb
entuknya pipih akan lebih cepat menglami proses pembusukan
dibandingkan dengan ikan bulat. Ikan gemuk (fatty fish) lebih mudah
mengalami proses pembusukan dibandingkan ikan kurus (lean fish). Ikan
yang mengandung trimetil amin oksida (TMAO) yang tinggi akan
mengalami proses pembusukan yang lebih cepat dibandingkan yang
kurang mengandung senyawa tersebut. Oleh karena itu ikan laut yang
mengandung TMAO lebih tinggi dibandingkan air tawar, akan mengalami
proses pembusukan lebih cepat.
 Perubahan otolisis
Otolisis merupakan proses perombakan oleh enzim yang
terdapat pada daging ikan. Ketika ikan masih hidup, enzim
mempercepat reaksi menghasilkan perubahan bahan pangan,
membantu tubuh mensisntesa komponen bahan pangan menjadi
jaringan atau mengganti sel-sel yang telah rusak. Setelah ikan mati,
maka enzim tersebut tetapaktif namu berperan dalam perombakan.
Karena tidak ada pangan yang masuk, maka enzim akan merombak
jaringan dagingikan.
Proses otolisis dapat berlangsung cepat, terutama ikan
kecil, akrena proses metabolism lebih cepat. Ikan yang

13
lambungnya penuh pangan, proses otolisis berlangsung cepat
karena enzim paling aktif pada saat lambung penuh pangan. Pada
tahap awal enzim akan meombak jaringan otot sehingga daging
ikan menjadi lebih lunak. Perubahan otolisis dapat dilihat pada
awal tahap pembusukan adalah hancurnya dinding perut ikan yang
saluran pencernaannya terisi pangan dan tidka disiangi. Sebab
aktifitas enzim pencernaan paling tinggi dan akan segera mencerna
dinding usus dan jaringan disekitarnya menjadi lunak.
Beberapa reaksi otolisis masih tetap berlangsung meskipun
ikan disimpan pada suhu rendah meskipun prosesnya lambat.
Trimetilaminoksida (TMAO) akan dirombak menjadi senyawa
trimetilamin (TMA) , kemudian dirombak lagi menjadi
dimetilamin dan formaldehid. Lemak akan dirombak melalui
proses hidrolisis menjadi asam lemak dan gliserol. Ikan segar
memiliki karakter rasa yang khas daging ikan segar karena adanya
asaminosinik. Perombakan asam ini selama otolisis menyebabkan
ikan kehilangan rasa khas tersebut.Hipoksantin merupakan salah
satu senyawa hasil perombakan asam inosinik, yang menimbulkan
rasa pahit. Aktivitas otolisis dipengaruhi oleh temperature dan
dapat dihambat dengan penurunan suhu dibawah titik beku. Enzim
masih mampu bekerja pada suhu - 17.8oC tetapi sangat lambat,
sehingga ikan yang disimpan selama beberapa minggu atau
beberapa bulan akan mengalami perubahan aroma dan cita rasa
menjadi abnormal.
 Perubahan kimiawi
Kandungan lemak pada ikan berbeda-beda tergantung pada
spesiesnya., dan sebagian besar adalah lemak tidak jenuh yang
memiliki beberapa ikatan rangkap. Lemak dengan ikatan rangkap
bersifat tidak stabil dan relative mudah mengalami proses oksidasi.
Selama penyimpanan dapat menyebabkan terbentuknya senyawa
yang berperan pada pembentukan aroma, cita rasa dan
penampakan.

14
Oksidasi lemak merupakan penyebab utama penurunan
kualitas (ketengikan) pada ikan segar yang disimpan pada suhu
rendah. Daging ikan kurus (lean fatty) tidak menjadi tengik selama
penyimpanan beku, tetapi menghasilkan aroma dan cita rasa yang
tidak diinginkan. Ikan gemuk memiliki masa simpan yang relative
singkat pada suhu beku karena terjadinya proses ketengikan
oksidatif. Oksidasi dipengaruhi beberapa factor yaitu kondisi ikan
saat ditangkap, musim, daerah penangkapan, penyiangan,
pendinginan dan penyimpanan. Proses oksidasi akan berlangsung
lebih cepat pada suhu tinggi. Proses oksidasi membutuhkan
oksigen, dengan demikian laju reaksi dapat dihambat dengan
menghalangi kontak antara udara dengan produk. Beberapa
senyawa kimia dapat menghambat (antioskidan) dan dapat
mempercepat oksidasi (katalis,prooksidan).
 Perubahan mikrobiologis
Pembusukan mikrobiologis merupakan prose pembusukan
pada ikan yang disimpan pada suhu dingin. Proses pembusukan ini
terkjadi karena adanya kontaminasi mikrobia, kondisi lingkungan
yang cocok untuk pertumbuhan mikrobia dan penurunan kualitas
bahan pangan. Proses pembusukan mikrobiologis tidak akan
dimulai hingga tahapan rigor mortis berakhir, yaitu ditandai
dengan lunaknya daging ikan dan pengeluaran cairan dari serta
otot.
Jenis mikrobia utama penyebab proses pembusukan adalah
bakteri. Bakteri ini terdapat dipermukaan lendir (kulit), insang, dan
saluran pencernaan. Jumlah bakteri dipengaruhi oleh musim dan
lingkungan. Jenis bakteri yang terdapat dalam ikan
menggambarkan jenis bakteri di dalam air dimana ikan
tersbeutditangkap.
Ikan dapat mengalami proses pembusukan dari permukaan
dalam maupun luar. Dari permukaan dalam, mikroba masuk
melalui insang ke system vascular, melalui ginjal, dan masuk ked

15
aging. Kondisi insang yang lunak dan berair merupakan tempat
ideal untuk pertumbuhan bakteri pembusuk. Pertumbuhan bakteri
diinsang menyebabkan terbentuknya bau dan warna yang tidak
diinginkan. Jika warna insang kecoklatan atau kehiajuan,
menandakan ikan sudah membusuk.
Ikan dapat mengalami proses pembusukan melalui saluran
pencernaan. Dari permukaan luar, ikan mengalami proses
pembusukan karena terkontaminasi oleh kotorannya sendiri. Jenis
bakteri pembusuk pada suhu rendah, Pseudomonas,
Achromobacter dan Flavobacterium. Sedangkan pada suhu tinggi
didominasi oleh Micrococcus dan Bacillus.

16
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Fase pasca mortem merupakan tahapan setelah mati. Pasca mortem
mengakibatkan perubahan-perubahan secara biokimia dan fisikokimia pada
ternak yang disembelih. Pasca mortem dibagi menjadi tiga fase, yaitu: fase
pre-rigor, rigor mortisdan pasca rigor mortis.
Fase pre-rigor mortis adalah fase yang terjadi setelah hewan
mengalami kematian. Pada fase ini otot dalam keadaan relokasi, proses
kimiawi dan pertumbuhan sangat lambat.
Fase rigor mortis adalah fase setelah pre-rigor mortis. Secara fisik pada
fase ini terjadi perubahan daging, yang menjadi kaku dan kehilangan
fleksibilitasnya. Lama fase rigor mortis tergantung pada jenis hewannya.
Fase ini berpengaruh langsung terhadap keempukan daging.Fase pasca rigor
mortis adalah fase setelah rigor mortis. Pada fase ini tidak ada pembentukan
energi (ATP) yang dapat digunakan untuk kontraksi dan pensilnya akhir dan
miosin, sehingga daging menjadi empuk kembali.
Perubahan fisikokimia meliputi perubahan pH, perubahan struktur
jaringan otot, perubahan kelarutan protein dan perubahan daya ikat air.
Perubahan pH setelah post mortem dipengaruhi faktor intrinsik dan
ekstrinsik. Faktor yang mempengaruhi perubahan struktur jaringan otot
adalah faktor antemortem dan post-mortem. Perubahan kelarutan protein
dipengaruhi oleh pH, tersedianya ATP dan faktor lain. Perubahan daya ikat
air dipengaruhi oleh pH dan jumlah ATP jaringan otot.
Perubahan warna daging ditentukan oleh pigmen daging yang utama,
yaitu mioglobin. Banyak faktor yang mempengaruhi warna daging yaitu
pakan, spesies, jenis hewan, umur, jenis kelamin, stres, pH dan
oksigen.Masuknya mikroorganisme ke dalam daging terjadi bersamaan
dengan masuknya enzim pencernaan ke dalam jaringan tubuh. Hal ini
terjadi disebabkan oleh terhentinya mekanisme biologis karena hewan mati
disembelih.

17
Untuk memperoleh keempukan yang sempurna dan cita rasa yang
khas, daging mengalami proses pelayuan. Tujuan proses pelayuan adalah
agar proses pembentukan asam laktat dapat berlangsung sempurna sehingga
terjadi penurunan pH. Selama proses daging pelayuan daging mengalami
perubahan-perubahan sebagai berikut: daging menjadi lunak, daging
menjadi kurang transparan, perubahan pH daging, perubahan daya ikat air
dan pembentukan aroma daging.
Pembekuan adalah metode untuk mengawetkan daging. Ada tiga
metode pembekuan, yaitu: pembekuan di udara, pembekuan dengan kontak
tidak langsung dan pembekuan dengan percelupan. Kondisi penyampaian
daging dalam keadaan beku sangat berpengaruh terhadap mutu produk
akhir.
3.2 Saran
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah tentang “Perubahan
Biokimia Pada Ikan Dan Daging” ini masih jauh dari kata kesempurnaan.
Maka dari itu penulis mengharapkan kritikan dan saran yang sifatnya
membangun untuk menjadi acuan perbaikan untuk penulisan makalah-
makalah yang selanjutnya.

18

Anda mungkin juga menyukai