PENGAMATAN DAGING
DISUSUN OLEH :
Franky Arjuna Manurung
15730401
DOSEN PENGASUH :
Ir. Rosnawyta Simanjuntak, MP
Ir. Hotman Manurung, MS
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Daging merupakan salah satu produk yang menjadi penyuplan protein hewani
bagi masyarakat Indonesia. Indonesia yang kaya akan kebudayaan menyebabkan
jenis olehan dari daging berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya.
Beberapa daging yang lazim di konsumsi oleh masyarakat Indonesia dan diolah
menjadi aneka makanan adalah sapi, kerbau, domba, kambing dan ayam/bebek.
Tingkatan konsumsi akan semakin bertambah mengingat semakin
meningkatnya pertumbuhan penduduk, meningkatnya daya beli dan meningkatnya
kesadaran masyarakat akan pentingnya protein hewani. Oleh karena itu, untuk
menghasilkan daging dengan kualitas dan kuantitas yang baik, maka perlu adanya
penanganan yang baik. Penanganan daging sangat perlu dilakukan sedini mungkin
setelah ayam dipotong karena mempengaruhi kualitas daging itu sendiri.
Tujuan dari penanganan daging adalah untuk mencegah penurunan kualitas
daging sehingga memperpendek daya simpan daging. Parubahan fisik (warna dan
bau), perubahan cita rasa, yang kemudian dapat mengakibatkan gangguan kesehatan
bagi konsumen. Daging yang beredar dipasaran tentunya memiliki kualitas yang
bervariatif. Beragamnya kondisi ternak, cara pemeliharaan dan umur potong dari
ternak tersebut menyebabkan kualitas dari daging yang dihasilkan menjadi beragam.
Dengan beragam kondisi tersebut, pelanggan harus teliti dalam memilih daging yang
akan dikonsumsi.
Beberapa hal yang menjadi indicator kualitas daging diantaranya daya ikat
air, tingkat keempukan, besarnya susut masak an pH daging tersebut. Hal-hal
tersebut menjadi indikator akan kualitas daging yang akan dikonsumsi. Hal lain yang
dapat diaplikasikan dalam memilih daging adalah dengan memperhatikan warna
daging dan bau dari daging tersebut agar terhindar dari tindakan penipuan seperti
pengoplosan daging.
B. Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui susut masak daging, pH
dan penampakan fisik daging.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pemotongan Ternak
Rusa dan kambing adalah spesies yang mempunyai sifat yang alami. Sudah
jelas bahwa rasa dan keempukan daging kambing lebih disukai daripada daging sapi,
domba, dan babi, dalam kondisi umur dan perlemakkan yang serupa, tetapi
akseptibilitas daging dari spesies manapun sering ditentukan oleh kebiasaan tempat
(Lawrie, 1995).
Karkas ayam adalah bagian tubuh ayam tanpa bulu, kepala, darah, leher,
cakar, dan jaringan. Umumnya rata-rata ayam kampung di daerah tropis kira-kira
berbobot 0,9 sampai 1,8 kg dan mempunyai perbandingan yang baik, mempunyai
bulu halus (Lawrie, 1995).
Bangsa babi yang termasuk tinggi standarnya adalah Berkshire, babi ini
mempunyai produksi yang bentuk dan ukuran urat daging longisimus dorsi lebih
disukai daripada bangsa babi lainnya. Di Hongaria ada babi tipe daging (Manyalitse)
yang disebut-sebut amat berguna untuk membuat salami (sosis Italia yang digarami
dan diberi flavor bawang putih) karena (antara lain) mempunyai daging berpigmen
relatif banyak (Lawrie, 1995).
Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil
pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak
menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya. Daging adalah salah satu
hasil ternak yang memiliki kandungan gizi yang lengkap, dengan mengkonsumsi
daging atau produk-produk olahan daging, keseimbangan gizi untuk hidup dapat
terpenuhi (Acros, 1999).
Daging juga merupakan salah satu sumber protein hewani yang sangat
bermanfaat. Sejalan dengan perkembangankesadaran masyarakat mengenai gizi dan
kesehatan, permintaan daging di Indonesia mengalami peningkatan. Daging yang
biasa dikonsumsi masyarakat adalah daging sapi, daging ayam dan daging kambing,
yang masing-masing dipercaya bisa digunakan sebagai sumber gizi dan mengobati
bebeapa penyakit (Acros, 1999). Daging yang dapat dikonsumsi dibedakan menjadi
daging ternak besar (sapi), daging ternak kecil (babi, kambing), danging unggas,
daging ikan serta daging aneka ternak (kelinci) (Soeparno, 2009).
C. Kualitas Daging
Warna daging dapat diukur dengan notasi atau dimensi warna tristimulus.
Warna daging sapi yang baru biasanya berwarna ungu gelap. Warna tersebut berubah
menjadi terang (merah ceri) jika daging dibiarkan terkena oksigen. Perubahan warna
ungu menjadi terang tersebut bersifat reversibel (dapat balik). Namun bila daging
tersebut terlalu lama terkena oksigen, warna merah terang akan berubah menjadi
coklat. Faktor-faktor yang menjadi penentu utama warna daging adalah konsentrasi
pigmen daging mioglobin yang dipengaruhi oleh pakan, spesies, bangsa, umur, jenis
kelamin, stres, pH dan oksigen (Soeparno, 2009).
Perbedaan warna permukaan daging, disebabkan oleh status kimia molekul
mioglobin. Bentuk kimia warna daging segar yang diinginkan oleh konsumen adalah
merah terang oksimioglobin. Bentuk daging sapi yang baik adalah berwarna merah
terang, mengkilap tidak pucat dan tidak kotor. Mioglobin merupakan pigmen
berwarna merah keunguan yang menentukan daging segar. Mioglobin dapat
mengalami perubahan bentuk akibat berbagai reaksi kimia. Bila terkena udara,
pigmen mioglobin akan teroksidasi menjadi oksimioglobin yang mengeluarkan
warna merah terang. Oksidasi lebih lanjut dari oksimioglobin akan menghasilkan
pigmen metmioglobin yang berwarna coklat (Soeparno, 2009).
Daya ikat air adalah kemampuan daging untuk megikat air atau air yang
ditambahkan selama pengaruk kekuatan dari luar seperti pemotongan, pemanasan,
penggilingan, atau pengepresan (Soeparno, 2009). Komposisi kimia daging terdiri
dari kadar air, protein dan kadar karbohidrat serta mineral yang ditentukan untuk
nutrisi dan umur ternak saat ternak masih hidup. Kualitas daging dipengaruhi oleh
kandungan air dalam daging. Airmerupakan medium biologis termasuk sebagai
medium untuk mentransformasikan substrat otot. Daya ikat air dipengaruhi oleh
kadar protein daging dan karkas (Soeparno, 2009).
Perbedaan daya ikat air diantara otot dipengaruhi oleh beberapa faktor antara
lain spesies, umur dan fungsi otot (Soeparno, 2009). Kandungan air pada tubuh
hewan dipengaruhi oleh variasi umur dan pakan (Tillman et al., 1991). Kandungan
Kolagen yang tinggi menyebabkan miofilamen relatif memberi ruang untuk molekul
air sehingga kadar air akan menurun. Lemak daging berhubungan dengan kandungan
airnya. Semakin besar kandungan lemak yang diperoleh oleh hewan dewasa, ternyata
kandungan airnya semakin menurun (Judge et al., 1990).
Derajat keasaman (pH) mempunyai pengaruh terhadap mutu daging. Daging
yang derajat keasamanya 5,1 sampai 6,1 berwarna merah cerah, cita rasa baik, tidak
mudah rusak, dan punya struktur yang terbuka, sedangkan daging yang mempunyai
pH 6,2 sampai 7,2 berwarna merah tua, rasanya kurang enak, lebih mudah busuk,
dan strukturnya padat (Soeparno, 2009). pH ultimat normal daging postmortem
adalah sekitar 5,4 sampai 5,8 yang sesuai dengan titik isoelektrik sebagian besar
protein daging termasuk protein miofibril. Stres sebelum pemotongan, pemberian
injeksi hormon atau obat-obatan (kimiawi) tertentu, spesies, individu ternak, macam
otot, stimulasi listrik dan aktivitas enzim yang mempengaruhi glikolisis adalah
faktor-faktor yang dapat menghasilkan variasi pH daging. (Soeparno, 2009).
Perlakuan pemasakan terhadap daging akan mengakibatkan kenaikan pH
daging karena penambahan akan mengurangi gugus asidik sehingga titik isoelektrik
daging akan berubah dan berada pada pH yang lebih tinggi (Soeparno,
2009).Pemasakan dapat menurunkan atau meningkatkan keempukan daging yang
tergantung dari lama dan temperatur pemasakan yang digunakan. Lama pemasakan
mempengaruhi perlunakan kolagen.Temperatur pemasakan mempengaruhi pada
kealotan miofibril daging (Judge et al., 1990).
Susut masak menunjukkan perbedaan nyata. Selama pemasakan daging akan
membuat jaringan ikat kolagen mengalami perubahan menjadi gelatin (Gaman and
Sherrington, 1994). Sebelum menjadi gelatin serabut kolagen jaringan ikat menglami
pengkerutan dan menekan keluar cairan yang terkandung dalam protein miofibril.
Kolagen lebih sukar larut pada ternak dewasa karena ikatan silang yang semakin
meningkat atau kuat dengan meningkatnya umur ternak dan ikatan-ikatannya
dikonversikan menjadi ikatan yang stabil (Judge et al., 1990).
Keempukan daging adalah kualitas daging setelah dimasak. Berdasarkan
kemudahan untuk dikunyah tanpa kehilangan sifat dan jaringan yang layak. Penilaian
keempukan daging dapat dilakukan secara obyektif dan subyektif. Penilaian secara
obyektif meliputi metode pengujian secara fisik dan kimia, sedangkan secara
subyektif menggunakan metode panel test (Soeparno, 2009). Tiga faktor yang
mempengaruhi proses keempukan daging ketika daging dimasak yaitu mencairnya
lemak, berubahnya kolagen menjadi gelatin dan putusnya serabut otot sehingga
menjadi lebih empuk. Kecenderungan pada daging yang memberi lebih banyak
lemak intramuskular akan memberi lebih banyak ruang pada protein-protein daging
untuk mengikat molekul-molekul air sehingga akan lebih empuk (Soeparno, 2009).
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Alat alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah timbangan analitik,
pH meter, kompor, panci, cawan petri.
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah air, daging sapi, daging
babi.
C. Cara Kerja
Pengukuran pH daging :
1. Disiapkan pH meter yang telah dikalibrasi dengan buffer.
2. Disediakan daging sapi dan daging babi
3. Diukur pH daging masing-masing di 3 titik yang berbeda
4. Dihitung dan dirata-ratakan
Susut masak daging :
1. Disiapkan masing-masing berat awal daging ; Daging sapi 26.59 gr dan
daging babi 44.32 gr.
2. Direbus dalam air bersuhu 80 oC selama 30 menit
3. Diangkat dan ditiriskan lalu ditimbang berat akhir
4. Hitung % susut masak dengan rumus =
berat sebelum pemasakanberat setela h pemasakan
x 100
berat sebelum pemasakan
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Hasil pengamatan yang diperoleh dari praktikum pengamatan pada daging
disajikan pada tabel berikut ini :
Parameter Daging sapi Daging babi
pH 5.54 6.33
5.79 6.06
5.73 6.30
B. Pembahasan
Pengujian warna daging dalam praktikum ini hanya diamati secara visual dan
diperoleh hasil warna daging merah segar. Pengujian warna daging dapat dilakukan
dengan menggunakan alat yang dinamakan meat colour standard, dimana setiap
warna yang terdapat dalam skala mempunyai fungsi masing-masing. Menurut
Soeparno (2005) warna daging dapat diukur dengan dimensi warna terstimulus, yaitu
daging yang awalnya berwarna ungu gelap akan berubah menjadi warna merah
terang ketika diberi oksigen dalam waktu tertentu dan akan berubah menjadi warna
cokelat ketika terus menerus diberikan oksigen. Ismail (1997) menyatakan bahwa
warna daging sapi adalah ungu gelap namun ketika daging tidak lama bereaksi
dengan oksigen warnanya akan berubah menjadi warna cokelat.
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan diperoleh pH sampel daging
sapi berturut-turut 5.54, 5.79, 5.73 dan daging babi 6.33, 6.06, 6.30. Rerata pH
daging sapi adalah 5.68 dan daging babi 6.23. Menurut Soeparno (2005) pH normal
daging berada pada kisaran 5,4 sampai 5,8 dalam keadaan postmortem yang sesuai
denggan titik isoelektrik, sebagian besar protein daging termasuk protein myofibril.
Faktor yang mempengaruhi perbedaan pH daging antara lain stress sebelum
pemotongan, obat-obatan, individu, spesies dan aktivitas enzim. Hal tersebut
menunjukkan daging yang diujji memiliki kualitas baik sebab daging segar memiliki
suasana agak asam. Penurunan pH yang berlebihan akan mengakibatkan protein
daging terdenaturasi sehingga kualitas daging akan menurun, kemampuan daging
dalam mengikat air berkurang sebab fungsi protein adalah mengikat air.
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan diperoleh hasil susut masak
sampel daging sapi 37.42 % dengan berat awal 26.59 gr dan berat akhir 16.64 gr.
Sedangkan pada daging babi 34.37 % dengan berat awal 44.32 gr dan berat akhir
29.00 gr. Semakin rendah nilai susut masak maka menunjukkan bahwa daging
memiliki kualitas yang semakin baik sebab tidak banyak kehilangan masa daging
ketika dimasak. Menurut Goman (1994) selama pemasakan daging, proses perubahan
air akan ditekan keluar karena jaringan menyusut. Kolagen lebih sukar larut pada
ternak dewasa karena ikatan akan semakin kuat sehingga semakin tua ternak akan
semakin berkurang susut masaknya.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Untuk mendapatkan hasil analisa yang lebih baik diharapkan praktikan lebih
teliti dalam mengamati sampel dan memahami materi yang disampaikan.
Kekurangan alat bantu untuk analisa sangat menjadi kendala bagi praktikan untuk
melakukan beberapa uji.
DAFTAR PUSTAKA
Acros, G.G. 1999. Physicochemical, Microbial and Sensory Properties of Horse
Meat Mexico.
Goman, D. M., dan Shemingion, K. B.. 1994. Ilmu Pangan : Pengantar Ilmu Pangan,
Nutrisi dan Mikrobiologi. UGM Press. Yogyakarta.
Ismail, N.M.. 1997. Teknologi dan Pemanfaatan Daging. Media Pertanian DKI.
Jakarta.
Lawrie, R.A.. 1995. Ilmu Daging Edisi ke-5. Universitas Indonesia. Jakarta.