Anda di halaman 1dari 14

ARTIKEL

TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN LOKAL

TEPUNG TELUR

Disusun Oleh : Kelompok 4 / THP C

Debby Ulfa Anggraeni 171710101023


Rofiatul Hikmah 171710101053
Aang Dwi Atma Nugraha 171710101054
Puja Dwi Jayanti 171710101110

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019
BAB 1. PENDAHULUAN

Telur merupakan sumber bahan pangan yang memiliki kandungan protein


yang cukup tinggi. Apabila mengingat sifat telur yang mudah rusak, maka
dibutuhkan suatu teknologi tertentu untuk mengolah dan mengawetkan telur
sehingga daya simpannya (self life) dapat diperpanjang, mudah dalam hal
penanganan, hemat ruang penyimpanan tanpa menghilangkan nilai gizi serta
sifat-sifat fungsionalnya.
Daya simpannya (self life) dari telur tersebut telah menjadi permasalahan
utama yang dihadapi oleh masyarakat, peternak maupun distributor saat ini. Saat
terjadi kelebihan stok, maka telur tersebut dengan sangat terpaksa harus disimpan
untuk waktu yang tidak tentu sebagai upaya mengantisipasi kerugian akibat
kerusakan yang terjadi. Permasalahan lain yang dihadapi adalah besarnya volume
ruang yang harus ditempati pada saat penyimpanan dan tingginya kerusakan telur
(pecah) selama proses trasportasi menjadi suatu hal yang sangat mendesak untuk
dicari solusinya.
Salah satu terobosan baru dalam teknologi pengolahan telur adalah dengan
memproses telur mentah menjadi produk tepung telur (egg powder) yang siap
konsumsi (ready to eat). Pengolahan menjadi tepung telur mampu
memperpajang umur simpan (sampai dengan 1 tahun), mudah dalam transportasi,
hemat dalam penggunaan ruang serta kandungan gizi dan sifat fungsionalnya yang
tetap terjamin.
Pembuatan tepung telur dapat meningkatkan daya simpan (shelf life) tanpa
mengurangi nilai gizi, volume bahan menjadi lebih kecil, sehingga lebih hemat
ruang dan biaya penyimpanan, tepung telur juga memungkinkan jangkauan
pemasaran yang lebih luas dan penggunaannya lebih beragam dibandingkan telur
segar (Winarno ,2002).
Pembuatan tepung telur dapat dilakukan dengan pengeringan. Pengeringan
merupakan suatu metode pengawetan dengan cara menghilangkan kadar air bahan
pangan. Proses pengeringan telur terdiri dari beberapa metode diantaranya adalah
metode pan drying. Pan drying atau pengeringan lapis tipis merupakan suatu
metode pengeringan dengan menggunakan oven yang dilakukan secara sederhana.
Kelemahan yang dapat timbul pada proses pengeringan adalah akan menyebabkan
terjadinya reaksi Maillard.
Reaksi Maillard dalam pembuatan tepung telur dapat dicegah dengan
terlebih dahulu menghilangkan gugus aldehid dari karbohidrat dalam komponen
telur melalui teknik fermentasi. Proses fermentasi akan memecah komponen gula
dalam telur menjadi senyawa yang lebih sederhana (Chotimah, 1999). Proses
fermentasi dapat menyebabkan terjadinya perubahan sifat fisik dan fungsional
akibat adanya pemecahan glukosa yang terdapat di dalam telur khususnya putih
telur sehingga dapat mencegah terjadinya reaksi maillard yang dapat
memmpengaruhi sifat fisik tepung telur.
Berdasarkan penjelasan diatas artikel ini bertujuan untuk mengetahui
tentang tepung telur, teknologi pembuatannya dan teknik fermentasi yang
terkontrol dalam pembuatan tepung telur.
BAB 2. ISI

2.1 Definisi Tepung Telur


Tepung telur atau disebut juga telur kering merupakan salah satu bentuk
pengawetan telur melalui proses pengeringan. Pembuatan tepung telur dapat
meningkatkan daya simpan (shelf life) tanpa mengurangi nilai gizi, volume
bahan menjadi lebih kecil, sehingga lebih hemat ruang dan biaya penyimpanan,
tepung telur juga memungkinkan jangkauan pemasaran yang lebih luas dan
penggunaannya lebih beragam dibandingkan telur segar (Winarno dan
Koswara, 2002). Pembuatan tepung telur dapat dilakukan dengan pengeringan.
Pengeringan merupakan suatu metode pengawetan dengan cara menghilangkan
kadar air bahan pangan. Proses pengeringan telur terdiri dari beberapa metode
diantaranya adalah metode spray drying.
Jenis tepung yang dapat diproduksi adalah tepung putih telur, tepung
kuning telur dan tepung telur utuh (campuran putih dan kuning telur). Tepung
telur utuh terbuat dari campuran putih dan kuning telur dengan proporsi alamiah
telur segar. Tepung ini memiliki sifat yang hampir sama dengan tepung kuning
telur tetapi mengandung putih telur lebih banyak. Tepung telur yang dihasilkan
harus memiliki sifat fungsional dan sifat fisikokimia seperti telur segar. Sifat
fungsional sangat penting untuk dipertahankan karena akan menentukan
kemampuan tepung telur untuk digunakan dalam pembuatan produk olahan. Sifat-
sifat yang harus dipertahankan antara lain daya busa, sifat emulsi, sifat koagulasi
(kemampuan menggumpal dan membentuk gel) dan warna.
Tepung telur umumnya memiliki daya busa yang lebih rendah
dibandingkan dengan telur segarnya. Sedangkan daya emulsi, daya koagulasi dan
warna tepung telur umumnya tidak banyak berbeda dibandingkan dengan telur
segarnya. Tetapi jika kandungan gula pereduksi lebih dari 0,1%, warna telur akan
berubah kecoklatan selama penyimpanan. Keadaan ini dapat diatasi dengan cara
mengurangi kandungan glukosa dalam cairan telur sebelum dikeringkan yaitu
dengan fermentasi (Chotimah, 1999).
2.2 Metode Pembuatan Tepung Telur
Pada pembuatan produk tepung telur bahan utama yang digunakan yaitu
telur ayam segar, air hangat, mikroba dan asam sitrat jika diperlukan. Alat-alat
yang digunakan yaitu spray dryer, neraca analitik, label, alat pencampur, pH
meter, pengaduk, mesin pengayak, dan alat pengemas vakum. Metode analisis
yang dilakukan oleh Romantica (2013) yaitu percobaan dengan menggunakan
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan yaitu lama fermentasi
dengan waktu 0 menit (P0); 30 menit (P1); 60 menit (P2) dan 90 menit (P3)
dengan masing-masing perlakuan dilakukan 4 ulangan. Data yang diperoleh dari
penelitian ditabulasi dan dianalisis menggunakan analisis ragam (ANOVA)
dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Apabila ada perbedaan pengaruh antar
perlakuan, maka data dilanjutkan dengan Beda Nyata Terkecil (BNT).
Selanjutnya pada penelitian Said, et al (2008) menggunakan dasar Rancangan
Acak Lengkap Pola Faktorial 3 x 4 dengan 3 kali ulangan. Faktor I adalah 3
level bahan fermentasi (0,20% ; 0,40%; 0,60%) (w/w). Faktor II terdiri atas 4
lama waktu fermentasi (0, 2, 4 dan 6 jam). Pada penelitian Nahariah et al, (2018)
metode penelitian yang digunakan menggunakan Rancangan Acak Lengkap
faktorial 3 x 3 dengan 4 ulangan menggunakan faktor suhu pengeringan dan
waktu pengeringan. Analisis yang dilakukuan pada proses pembuatan tepung
telur meliputi rendemen, kelarutan daya buih, stabilitas buih, waktu koagulasi,
pH, dan warna.
Proses pembuatan tepung telur menurut Said, et al (2008) disajikan dalam
diagram alir berikut:

Telur segar

Air Pencucian

Pemecahan kulit

Pencampuran

Pengukuran pH

Pasteurisasi

Fementasi

Pengeringan

Pengayakan

Pengemasan

Pengujian
Gambar 2.1 Diagram Alir Pembuatan Tepung Telur

Proses pembuatan tepung telur terdiri dari beberapa tahapan, yaitu:


1. Telur yang digunakan untuk proses pembuatan tepung telur yaitu telur ayam
segar. Telur ayam yang digunakan yaitu telur ayam yang bersih, tidak retak
atau pecah dan memiliki kualitas atau mutu yang baik agar tidak
mempengaruhi kualitas dari tepung telur yang dihasilkan.
2. Proses pencucian telur dengan menggunakan air hangat. Pencucian dilakukan
dengan menyemprotkan air hangat pada telur. Air hangat yang digunakan
berfungsi sebagai desinfektan yang berfungsi untuk membunuh bakteri yang
dapat mengkontaminasi proses pembuatan tepung telur.
3. Setelah telur kering, tahap berikutnya yaitu pemecahan kulit telur. Pemecahan
kulit telur dilakukan dengan memecah telur secara manual atau menggunakan
mesin khusu. Kulit telur dipisahkan kemudian dibuang.
4. Proses pencampuran telur dilakukan dengan menggunakan mixer hingga
homogen.
5. Pengukuran pH telur. Jika pH telur kurang dari 7.0 maka ditambahkan asam
sistrat atau asam laktat sampai pH mencapai 7.0.
6. Proses pasteurisasi telur dengan suhu antara 64-65°C kurang lebih 3 menit.
Proses pasteurisasi bertujuan untuk membunuh bakteri patogen yang
terkandung dalam telur.
7. Tahap berikutnya adalah fermentasi. Fermentasi dilakukan dengan
menambahkan mikroba ke dalam adonan sambil diaduk agar merata.
Selanjutnya dilakukan pendiaman hingga 2-3 jam pada suhu ruang (30°C).
Proses fermentasi bertujuan untuk mencegah terjadinya reaksi Maillard selama
pengeringan yaitu reaksi antara gugus aldehide dari karbohidrat dengan gugus
amino dari protein penyusun telur. Reaksi tersebut dapat dicegah dengan
menghilangkan gugus aldehide pada telur melalui proses fermentasi. Mikroba
yang ditambahkan pada proses fermentasi bertujuan untuk memecah komponen
gula pada telur sehingga pada saat pengeringan, tepung telur yang dihasilkan
tidak berwarna kecoklatan.
8. Proses selanjutnya yaitu pengeringan dengan menggunakan pengeringan
semprot (spray drying). Pengeringan semprot merupakan metode yang
paling sering digunakan untuk memproduksi tepung telur. Prinsip metode ini
adalah menyemprotkan cairan telur ke dalam aliran udara panas, sehingga
permukaan cairan telur menjadi sangat luas dan pengeringan berlangsung
dengan cepat. Pada pengeringan ini, suhu udara masuk 160ºC-1700ºC, suhu
udara keluar85ºC-1000ºC dan tekanan penyemprotan 3,52psi. Tepung telur
yang didapatkan setelah pengeringan memiliki kadar air 2,5-4%.
9. Proses pengayakan dilakukan dengan mesin pengayak untuk menghasilkan
tepung telur yang memiliki ukuran partikel seragam.
10. Proses pengemasan tepung telur menggunakan kantung plastik atau wadah
kedap udara. Metode pengemasan yang dilakukan harus tepat agar tidak terjadi
penyerapan uap air yang akan menurunkan kualitas tepung telur. Pengemasan
dilakukan dengan alat pengemas vakum.
11. Hasil akhir dari tepung telur dilakukan pengujian kualitas.

2.3 Analisis Hasil Produk


Analisis yang dilakukan pada pembuatan tepung telur meliputi rendemen,
kelarutan, daya buih, stabilitas buih, waktu koagulasi, pH, warna, dan gula reduksi.
Nilai rendemen merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk
menentukan efektifitas dan efesiensi suatu proses yang dilakukan terhadap bahan
baku. Semakin tinggi nilai rendemen dari suatu perlakuan maka proses yang
dilakukan semakin efektif dan efisien. Pada penelitian yang dilakukan Said dkk
(2013) didapatkan hasil nilai rendemen yaitu semakin tinggi level ragi tape yang
diberikan dan semakin lama fermentasi maka nilai rendemen yang dihasilkan
semakin menurun. Hal ini disebabkan karena pada proses fermentasi komponen
glukosa dirombak oleh ragi yang mengakibatkan hilangnya glukosa sehingga berat
tepung telur berkurang dan semakin lama fermentasi maka glukosa yang dirombak
menjadi karbondioksida dan air akan semakin banyak sehingga pada proses
pengeringan karbondioksida dan air akan menguap yang mengakibatkan presentase
rendemen berkurang. Hasil nilai rendemen yang didapat pada penelitian Said dkk
(2013) berbeda dengan hasil nilai rendemen yang didapat pada penelitian Romantica
dkk (2013). Pada penelitian Romantica dkk (2013) didapatkan hasil nilai rendemen
yaitu semakin lama fermentasi maka semakin tinggi nilai rendemen yang dihasilkan.
Nilai rendemen akan semakin meningkat apabila air yang ditahan oleh protein
semakin banyak sehingga air yang keluar akan semakin sedikit. Nilai rendemen
dipengaruhi oleh protein yang dapat mengikat air. Perbedaan hasil yang didapatkan
ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan perlakuan yang berbeda pada setiap
penelitian.
Kelarutan merupakan kemampuan tepung telur untuk larut apabila
direkonstitusi kembali. Pada penelitian yang dilakukan Said dkk (2013) didapatkan
hasil nilai rata-rata kelarutan yang disebabkan perbedaan level pemberian ragi dan
lama fermentasi memiliki hasil yang bervariasi yaitu dalam kisaran 52,17-62,38.
Perbedaan level pemberian ragi dan lama fermentasi serta interakisnya tidak
menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap kelarutan tepung telur. Pada
penelitian Nahariah dkk (2018) didapatkan hasil nilai rata-rata kelarutan yang
disebabkan karena perbedaan suhu dan lama pengeringan memiliki hasil yaitu
semakin tinggi suhu yang digunakan saat pengeringan maka kelarutan tepung telur
semakin tinggi juga. Hal ini disebabkan karena kandungan protein yang ada pada
tepung telur tidak mengalami kerusakan sehingga tepung telur dapat larut dengan
baik. Kelarutan tepung telur menurun secara signifikan dengan meningkatnya waktu
pengeringan. Waktu pengeringan yang lama dapat menyebabkan denaturasi protein
dan terjadinya koagulasi protein yang dapat mengurangi kelarutan tepung telur.
Pada penelitian yang dilakukan Said dkk (2013) analisis yang dilakukan pada
tepung telur yaitu pH, warna, dan gula reduksi. Nilai pH merupakan sifat fisik yang
menetukan kadar keasaman dari suatu produk. Semakin rendah nilai pH maka produk
tersebut memiliki tingkat keasaman yang tinggi. Perbedaan level pemberian ragi tape
dan lama fermentasi serta interaksinya tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan
terhadap nilai pH tepung telur. Nilai rata-rata pH tepung telur yaitu dalam kisaran
5,77-5,95 yang menunjukkan bahwa pH tepung telur rendah atau dalam keadaan
asam. Pada proses fermentasi, ragi tape merombak karbohidrat atau gula dalam
tepung telur menjadi karbondioksida dan air. Kedua komponen tersebut akan segera
larut membentuk senyawa asam karbonat bila kedua komponen terdapat dalam suatu
larutan secara bersama-sama. Asam karbonat akan menguraikan ion H+ dalam larutan
yang membawa pengaruh sifat keasaman (Kusnandhi, 2003). Warna tepung telur
ditentukan dengan metode uji organoleptik dengan sistem skala yaitu skala 1 (putih)
dan skala 10 (cokelat) serta 1-5 (warna yang diinginkan) dan 1-6 (warna yang tidak
diinginkan). Perbedaan level pemberian ragi tape dan lama fermentasi serta
interaksinya tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap penilaian warna
tepung telur. Hasil nilai rata-rata penilaian warna oleh panelis yaitu dalam kisaran
4,94-5,58. Hal ini menunjukkan bahwa warna yang diinginkan panelis yaitu
kekuningan atau warna yang sama dengan warna isi telur sebenarnya. Pigmen
xanthofil, lutein, dan zeaxantin dalam jumlah besar serta karoten dalam telur
menyebabkan terbentuknya warna kuning pada kuning telur. Gula reduksi merupakan
salah satu indikator untuk mengetahui besarnya glukosa yang terekduksi pada saat
fermentasi berlangsung dengan penambahan ragi tape. Hasil nilai rata-rata gula
reduksi yaitu dalam kisaran 0,06-0,10. Berdasarkan nilai rata-rata menunjukkan
bahwa semakin tinggi level ragi tape yang diberikan maka kandungan gula reduksi
yang dihasilkan semakin menurun. Hal ini disebabkan karena gugus gula yang
tereduksi semakin banyak akibat pemberian ragi yang meningkat. Penurunana
kandungan gula reduksi menunjukkan bahwa proses fermentasi berjalan dengan baik
dan normal dengan penambahan ragi tape.
Daya busa merupakan peubah yang menunjukkan pertambahan busa atau buih
yang terbentuk setelah dilakukan pengocokan dan merupakan dispersi koloid dari
fase gas dalam fase cair. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Romantica dkk
(2013) hasil analisis daya busa menunjukan bahwa semakin lama waktu fermentasi
maka daya buih dari tepung telur akan semakin menurun. Penurunan daya buih
tersebut disebabkan karena semakin lama waktu fermentasi maka kadar air yang
dihasilkan akan semakin banyak. Kadar air yang tinggi dapat menyebabkan nilai pH
akan meningkat sehingga menyebabkan daya buih yang dihasilkan akan semakin
rendah. Pada penelitian Said dkk (2013) semakin lama proses fermentasi maka
kandungan airnya akan semakin banyak dan kandungan air yang tinggi akan
menyebabkan sulitnya pembentukan busa. Pada penilitian Said (2013) analisi data
menunjukan bahwa jumlah ragi yang di tambahkan memberikan pengaruh yang
berbeda nyata pada (P>0,05). semakin banyak pemberian ragi tape yang diberikan
maka persentase daya busa akan semakin menurun. Hal tersebut disebabkan busa
tersebut dapat terjadi karena disebabkan pada saat proses fermentasi terjadi
perombakan glukosa menjadi karbondioksida (CO2) dan air (H2O) sehingga akan
meningkatkan kadar air pada bahan kering sehingga mempengaruhi daya buih tepung
telur, sedangkan kandungan glukosa pada tepung telur merupakan zat yang
bertanggung jawab untuk memperbaiki daya busa.
Pada penelitian yang dilakukan Romantica dkk (2013) analisis yang dilakukan
pada stabilitas buih pada tepung telur menunjukan bahwa lama fermentasi
menyebabkan penurunan stabilitas buih tepung telur. Penurunan stabilitas buih
tersebut disebabkan karena kadar air yang meningkat akan menghambat proses
pembentukan buih. Pada penelitian Nahariah dkk (2018) menguji pengaruh lama
fermentasi dan pemberian suhu tinggi didapatkan hasil hasil bahwa semakin lama dan
semakin tinggi suhu yang di berikan maka stabilitas dari busa juga akan semakin
menurun. Stabilitas dari buih tepung telur dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
lamanya telur disimpan, suhu telur, pH telur, lama pengocokan, perlakuan
pendahuluan dan penambahan bahan bahan kimia atau stabilisator. Pengocokan serta
pemanasan suhu tinggi pada telur akan menyebabkan viskositas dari telur akan
berubah, karena terjadi denaturasi protein yang berperan dalam pembentukan
kestabilan buih.
Berdasarkan data penelitian Said (2013) analisis dilakukan pada waktu koagulasi.
Hasil analisis ragam menunjukan bahwa semakin banyak pemberian ragi pada telur
maka waktu koagulasi dari tepung telur akan semakin menurun. Sedangkan pada
penelitian Nahariah dkk (2018) menunujukan bahwa semakin semakin tinggi suhu
yang digunakan pada saat pengeringan maka waktu koagulasi yang dibutuhkan juga
semakin tinggi. Hal tersebut dapat terjadi kemungkinan disebabkan karena terjadinya
proses pengurangan glukosa dalam proses fermentasi produk tepung telur yang dapat
menyebabkan suspensi mudah larut sehingga penyebaran panas lebih cepat dan
homogen hingga akhirnya berdampak pada waktu koagulasi yang lebih cepatPada
peneliatian Koagulasi merupakan proses perubahan struktur molekul protein telur
yang mengakibatkan terjadinya pengentalan dan hilangnya kelarutan atau berubah
bentuk dari fase cair (sol) menjadi bentuk padat atau semi padat (gel).
BAB 3. KESIMPULAN

Tepung telur merupakan produk inovasi yang dilakukan untuk


memperpanjang umur simpan telur tanpa mengurangi kandungan gizi yang ada pada
telur. Proses pengolahan tepung telur dilakukan dengan proses fermentasi sebelum
proses pengeringan. Ragi yang digunakan dan lama fermentasi serta suhu dan waktu
pengeringan sangat berpengaruh terhadap rendemen, kelarutan, daya buih, stabilitas
buih, waktu koagulasi, pH, warna, dan gula reduksi. Peningkatan level ragi tape yang
diberikan, akan menurunkan nilai rendemen, waktu koagulasi, daya busa, pH, warna
dan gula reduksi sedangkan proses fermentasi yang semakin lama akan menurunkan
nilai rendemen dan kandungan gula reduksi. Peningkatan suhu dengan waktu
pengeringan yang singkat dan penurunan suhu dengan waktu pengeringan yang lama
dapat meningkatkan stabilitas busa, daya busa, kelarutan, dan waktu koagulasi tepung
telur yang difermentasi.
DAFTAR PUSTAKA

Chotimah, S.C. 1999. Pengaruh Jenis dan Aras Saccharomyces cerevisiae pada
Fermentasi Albumen Terhadap Kualitas Tepung Putih Telur Spray Dried.
Laporan Hasil Penelitian. Program Studi Ilmu Peternakan Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta.

Nahariah, N., Legowo, A.M., Abustam, E., Hintono, A., dan Hikmah, H. 2018.
Karakteristik Fungsional dari Fermentasi Tepung Putih Telur dengan
Perbedaan Suhu dan Waktu Pengeringan. Artikel Penelitian. Fakultas
Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar.

Romantica, E., Thohari, I., dan Radiati, L.K. 2013. Pengaruh Lama Fermentasi
yang Berbeda pada Pembuatan Tepung Telur Pan Drying terhadap dari Kadar
Air, Rendemen, Daya Buih dan Kestabilan Buih Jurnal Penelitia. Malang:
Repository UB.

Said, M. I., Lidkadja, J.C., dan Asteria. 2008. Karakteristik Tepung Telur Ayam Ras
yang Difermentasi dengan Ragi Tape secara Aerob. Jurnal Penelitian. Program
Studi Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin,
Makassar.

Winarno, F. G. dan S. Koswara. 2002. Telur, Penanganan dan Pengolahannya.


Bogor: M-BRIO Press.

Anda mungkin juga menyukai