Oleh :
Ken Ranisa Kusuma, S.KH
NIM. 130130100111015
ii
BAB I PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1
Untuk mengetahui mutu dan kualitas tepung kuning telur yang beredar
di masyarakat saat ini.
1.4 Manfaat
Dapat mengetahui mutu dan kualitas tepung kuning telur yang beredar
di masyarakat saat ini
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Telur
Definisi telur menurut SNI 3926-2008 adalah telur yang belum
mengalami proses fortifiksi, pendinginan, pengawetan dan proses
pengeraman. Telur merupakan salah ssatu sumber protein hewani yang
memeiliki rasa lezat dan bernilai gizi tinggi. Nilai protein tertinggi pada telur
terdapat pada bagian kuning telurnya. Kuning telur mengandung air sekitar
48% dan lemak 33%. Kuning telur selain itu juga mengandung asam amino
esensial serta mineral seperti besi, fosfor, sedikit kalsium dan vitamin B
kompleks. Telur utuh terdiri atas beberapa komponen, yaitu air 66% dan
bahan kering 34% yang tersusun ats protein 12%, lemak 10%, karbohidrat
1% dan abu 11% (Winarno, 2004).
Kualitas telur ditentukan oleh : 1) kualitas bagian dalam (kekentalan
putih dan kuning telur, posisi kuning telur, dan ada tidaknya noda atau bintik
darah pada putih atau kuning telur) dan 2) kualitas bagian luar (bentuk dan
warna kulit, permukaan telur, keutuhan, dan kebersihan kulit telur). Masa
simpan telur ayam konsumsi kurang dari 2 minggu, oleh karenanya usaha
pengawetan sangat penting untuk mempertahankan kualitas dan kandungan
gizi telur. Syarat mutu telur konsumsi dapat dilihat pada tabel 2.1
Tabel 1. Indikator kimia dan fisik Produk Telur (UNECE STANDARD EGG
PRODUCT, 2010)
3
2.2 Tepung Kuning telur
Tepung telur adalah merupakan salah satu bentuk awetan telur yang
diproses menjadi bubuk (egg powder). Menurut UNECE STANDARD EGG
PRODUCT (2010) Tepung kuning telur adalah produk hasil olahan telur yang
didapatkan dari kuning telur yang kandungan airnya telah dihilangnkan untuk
memberikan bentuk serbuk halus maupun serbuk granul sebagai hasilnya.
Adapun tahap pembuatannya melalui proses pengeringan dan penepungan
yang dimaksudkan agar lebih tahan lama dan dapat memperkecil tempat
penyimpanan dan sekaligus biaya pengangkutan sehingga menjadi hemat.
Dan dapat pula dijadikan solusi untuk mengurangi resiko pecah dalam proses
pengiriman. Suprapti (2002) menerangkan bahwa tepung telur disebut juga
telur kering yang merupakan salah satu bentuk awetan telur melalui proses
pengeringan dan penepungan. Disamping lebih awet, keuntungan lain dari
tepung telur ialah volume bahan menjadi jauh lebih kecil sehingga
menghemat ruang penyimpanan dan biaya pengangkutan. Tepung telur juga
memungkinkan jangkauan pemasaran yang lebih luas dan penggunaan lebih
beragam dibandingkan telur segar.
Kandungan air sangat berpengaruh terhadap daya tahan tepung telur,
bahan kering harus memiliki kandungan air sangat kecil. Kandungan air pada
tepung telur harus kurang dari 5 %. Kadar air ini akan meningkat menjadi 9
sampai 10 % setelah disimpan. Mutu terbaik akan diperoleh jika pada saat
disimpan kadar air maksimal 1 % .
4
BAB III METODE KEGIATAN
5
a. Sebanyak 1g hingga 3g sampel dimasukkan kedalam cawan petri dan
tutup lalu ditimbang
b. Cawan petri dimasukkan ke dalam oven, dipanaskan dengan suhu
1020C selama 3 jam
c. Cawan petri didinginkan kemudian ditimbang dn dihitung sesuai rumus
w−wi
Perhitungan : Kadar air = x 100 %
w
Keterangan : W : bobot sebelum di oven, dalam gram
Wi : bobot setelah di oven, dalam gram
6
3.5.4 Uji Cemaran Yeast dan Mold (SNI 01-2342-1991)
Prinsip pada uji ini adalah cemaran yeast dan mold akan nampak pada
media selektif Saboraud’s Dextrose Agar (SDA) selama 3 hari. Adapun alat
dan bahan yang dipergunakan ialah timbangan, cawan petri, media
Saboraud’s Dextrose Agar (SDA), dan sampel Custard.
Cara kerja pengujian:
a. Sampel diinokulasikan di atas media.
b. Media SDA berisi sampel diletakkan pada suhu ruang.
c. Diperiksa adanya pertumbuhan kapang setelah 3 hari.
7
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.2 Pembahasan
Hasil pemeriksaan organoleptik pada sampel tepung kuning telur
curah yang di dapatkan dari toko avia menunjukkan bahwa sampel tidak
berbau, berwarna kuning seperti warna kuning telur segar, memiliki rasa
hambar, serta konsistensinya berupa serbuk halus dan terasa lembab. Hasil
uji kadar air menunjukkan kadar air sampel sebesar 1%. Kadar air dalam
8
bahan pangan yang tinggi memiliki potensi untuk tercemar lebih tinggi dari
bahan pangan yang memiliki kadar air yang rendah (sitasi). Uji kadar air yang
dilakukan menggunakan metode oven, yaitu dengan memasukkan sampel
kedalam oven dengan suhu 102 0C selama 3 jam, kemudian berat sebelum
dan sesudah dimaasukan dalam oven dihitung. Kadar air tepung kuning telur
yang rendah tersebut menurut Muchtadi (1989) dapat membantu
memperpanjang umur simpan produk, karena pada kadar air yang rendah
tersebut mampu mengurangi kerusakan mikrobiologis maupun kimiawi.
Uji MPN yang didapat menunjukkan hasil negatif. Uji MPN merupakan
uji yang berfungsi untuk mendeteksi adanya bakteri koliform pada suatu
sampel makanan. Hasil negatif menunjukkan bahwa pada sampel tepung
kuning telur tidak terdapat bakteri koliform. Hasil uji positif ditunjukkan
dengan adanya gelembung gas pada semua tabung durham. Gelembung gas
pada tabung durham merupakan hasil metabolisme mikroba dalam tabung
durham yang berbentuk CO2 (Sarwono, 1994). Hasil negatif pada hasil uji
MPN terhadap tepung kuning telur ini menunjukkan bahwa produk olahan
tepung kuning telur curah ini bebas dari cemaran dan kontaminasi bakteri
koliform.
Gambar 2. HAsil uji SSA, EMBA dan yeast dan mold Pada Tepung Kuning
Telur Curah
Hasil uji cemaran EMBA pada tepung kuning telur menunjukkan nilai
negatif. Hal ini menunjukkan bahwa pada sampel kuning telur tidak terdapat
kontaminasi bakteri Eschericia colli maupun bakteri koliform lainnya. Namun
pada uji cemaran bakteri Salmonella dengan menggunakan media selektif
Salmonella Shigella Agar, didapatkan pertumbuhan koloni berwarna
transparan, berukuran sangat kecil, berbentuk bundar dengan tepian halus. .
Pada hasil uji cemaran yeast dan mold, menunjukkan hasil negatif. Menurut
Rose dan Kolodny (1942) bentukan koloni berwarna transparan yang tumbuh
pada media SSA merupakan karakteristik dari bakteri Shigella sp. khususnya
Shigella flexnery. Bakteri shigella sp. merupakan jenis bakteri yang tidak
memfermentasikan laktosa, sehingga pada media dengan pertumbuhan
bakteri ini tidak terlihat adanya perubahan warna media dari merah menjadi
bening. Perubahan warna media dari merah menjadi bening atau kekuningan
terjadi apabila pada media SSA tumbuh bakteri enterobacter (Isenberg,
1992). Shigella merupakan bakteri penyebab terjadinya shigellosis. Penyakit
tersebut ditandai dengan adanya keradangan pada instestinal dengan gejala
9
sakit perut, demam dan diare cair. Shigellosis biasanya ditularkan melalui
makanan atau minuman yang telah tercemar oleh bakteri jenis ini.
Hasil uji cemaran jamur yeast dan mold menunjukkan hasil negatif. Hal
ini menunjukkan bahwa sampel tepung kuning telur bebas dari cemaran
jamur yang mungkin mengkontaminasi.
BAB V PENUTUP
10
5.1 Kesimpulan
Secara keseluruhan tepung kuning telur curah yang di jual di Avia
memiliki kualitas yang bagus, baik dari segi organoleptik, kadar air dan hasil
uji bakteri koliform dan salmonella negatif, sesuai dengan SNI 7388:2009
mengenai batas maksimum cemaran mikroba pada bahan pangan. Namun,
pada uji SSA didapati hasil produk positif terhadap Shigella sehingga,
sebaiknya konsumen waspada dalam pemakaian dan pengolahan roduk
tepung kuning telur curah avia.
5.2 Saran
Perlu dilakukan pengujian BTM pengawet, pewarna makanan, serta
pengujian protein, glukosa, lemak dan karbohidrat guna mengetahui
komposisi lainnya pada tepung kuning telur curah avia.
DAFTAR PUSTAKA
11
[SNI] Standar Nasional Indonesia. 1991. Makanan, Perhitungan Ragi (Yeast)
dan Kapang (Mold). SNI 01-2342-1991. Jakarta: Badan Standardisasi
[SNI] Standar Nasional Indonesia. 1992. Cara Uji Makanan dan Minuman.
SNI 01-2891-1992. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional
[SNI] Standar Nasional Indonesia. 2000. Batas Maksimum Cemaran Mikroba
dan Batas Maksimum Residu Dalam Bahan /makanan Asal Hewan.
SNI 01-6366-2000. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.
[SNI] Standar Nasional Indonesia. 2008. Metode Pengujian Cemaran
Mikroba Dalam Daging, Telur, Dan Susu, Serta Hasil Olahannya. SNI
2897:2008. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional
[SNI] Standar Nasional Indonesia. 2009. Batas Maksimum Cemaran Mikroba
dalam Pangan. SNI 7388:2009. Jakarta: Badan Standardisasi
Nasional.
AOAC. 1995. Official Method of Analysis. Assoation of Official Analytical
Chemist, Washington D.C.
Bachir, Mahfouz Al dan Ruba Zenou. 2006. Effect of Gamma Irradiation on
Some Characteristic of Shell Eggs and Mayonnaise Prepared from
Irradiated Eggs. Journal of Food Safety 26 (2006). Radiation
Technology. Department Syrian Atomic Energy Commision, Damascus
: Syria. p: 348-360.
Gisslen, W. 2007. Professional Cooking.John Wiley & Sons, Inc. ISBN 978-0-
471-66376-8.
Irmansyah, J., dan Kusnadi. 2009. Sifat Listrik Telur Ayam Kampung Selama
Penyimpanan. Media Peternakan 32 (1) : 22-30
Isenberg, H. D. 1992. Interpretation of aerobic bacterial growth on primary
culture media, Clinical microbiology procedures handbook, vol. 1 p.
1.61 -1.67. American Society for Microbiology, Washington, D.C.
Lukman DW dan Purnawarman T. 2008. Penuntun Praktikum Higiene
Pangan. Bagian Kesmavet Fkh IPB. Bogor.
Muchtadi, D. 1989. Petunjuk Laboratorium Evaluasi Nilai Gizi Pangan.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal
PendidikanTinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Bogor:
Institut Pertanian Bogor
Prawesthirini, S. 2006. Analisa Kualitas Susu, Daging dan Telur cetakan ke-
6. Universitas Airlanga. Surabaya.
Rose, H. M., and M. H. Kolodny. 1942. The use of SS (Shigella-Salmonella)
Agar for the isolation of Flexner Dysentery bacilli from the feces. J.
Lab. Clin. Med. 27 :1081-1083
UNECE. 2010. Unece Standard Egg-2. Newyork and Geneva: United Nations
Winarno, F. G. dan S. Koswara. 2004. Telur: Komposisi, Penanganan dan
Pengolahannya. Bogor: M-Brio Press.
12