Anda di halaman 1dari 14

ANALISIS PANGAN

METODE ANALISIS PANGAN PADA PRODUK MI INSTAN

DISUSUN OLEH

MAIZANOV RAHMATIKA SURUR F24190034


PERMATA ADINDA PUTRI F24190054
RIVANDI F24190131
LABIB MUTTAQILLAH F24190133

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
IPB UNIVERSITY
BOGOR
2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ......................................................................................................... 2

LATAR BELAKANG ........................................................................................... 3

METODE .............................................................................................................. 3

PEMBAHASAN

Bahan Baku Produk dan Analisis Bahan Baku .......................................... 4

Alur Proses Produksi Produk ..................................................................... 6

Analisis pada Tahapan Proses Produksi ..................................................... 6

Standar Mutu Produk .................................................................................. 7

Parameter Analisis Kimia, Fisik, dan Mikrobiologi pada Produk .............. 7

Metode Analisis Kimia, Fisik, dan Mikrobiologi pada Produk .................. 8

Faktor yang Mempengaruhi Kevalidan / Kesahihan Data Analisis ......... 11

KESIMPULAN ................................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 13

2
LATAR BELAKANG
Mi instan didefinisikan sebagai produk makanan kering yang dibuat dari tepung
terigu dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan makanan yang
diizinkan, berbentuk khas mi dan siap dihidangkan setelah dimasak atau diseduh dengan
air mendidih paling lama 4 menit (Astawan 2003). Produk hasil olahan tepung terigu ini
dilengkapi dengan bahan tambahan pangan dan proses tertentu untuk menghasilkan
tekstur dan rasa yang sesuai dengan keinginan. Karbohidrat, protein dan lemak produk
mi instan terkandung di dalam bahan dasar tepung gandum dengan kandungan protein
yang terdiri atas gliadin dan glutenin. Untuk tepung gandum yang memiliki kadar
protein yang tinggi akan memiliki kandungan gluten yang lebih banyak daripada
kandungan gliadinnya.
Mi instan menjadi salah satu produk pangan yang populer di kalangan
masyarakat Indonesia yang sering kali berfungsi sebagai makanan pokok pengganti
beras. Selain kaya akan cita rasa, jenis mi instan juga sangat beragam sehingga menarik
konsumen dari berbagai kalangan apalagi ditambah dengan faktor ekonomis, mudah
untuk diolah serta divariasikan dengan produk pangan lainnya (Utomo dan Yulifianti
2011). Kepopuleran produk pangan ini tercatat sebesar 92 persen atau sekitar 248,7 juta
masyarakat Indonesia merupakan konsumen mi instan (Susenas 2020). Hal ini
membuktikan bahwa tidak hanya pada tingkat produksi dan konsumsi, distribusi produk
ini juga telah meluas di seluruh Indonesia.
Melihat skala produksinya yang sangat besar dan digemari oleh masyarakat,
pemerintah perlu menetapkan suatu standar agar produk mi instan yang diproduksi dan
dijual memiliki kualitas tinggi dan seragam. Fungsi lain dari analisis mi instan yaitu
menentukan suatu komponen bahan dan kualitas bahan, mendeteksi senyawa atau
mikroba yang tidak diinginkan, dan mencegah efek yang merugikan saat produk
dikonsumsi. Oleh karena itu, metode analisis dan pengujian penting ditetapkan pada
skala industri juga rumahan untuk memastikan bahwa produk mi instan yang
diperjualbelikan aman dan tentunya layak untuk dikonsumsi. Analisis produk mi instan
meliputi analisis kimia, fisik, dan mikrobiologi yang diujikan terhadap bahan baku,
produk intermediet (adonan), dan produk akhirnya.
Penulisan makalah ini bertujuan mengidentifikasi bahan baku utama dalam
pembuatan produk mi instan, alur produksinya, standar-standar mutu yang ditetapkan
oleh pemerintah, parameter uji analisis, dan metodenya baik pada bahan baku, produk
intermediet, serta produk akhir. Selain itu diharapkan faktor-faktor yang mempengaruhi
kevalidan data dapat dijelaskan dan dikaji lebih lanjut yang diperoleh dari setiap
prosedur analisis.

METODE
Metode dalam mengumpulkan data makalah ini menggunakan studi literatur dari
berbagai sumber seperti jurnal, skripsi, tesis, ataupun dokumen-dokumen legal standar
indonesia seperti SNI, Peraturan Kepala Badan POM dan ISO. Selain itu, penyatuan,
penyusunan, dan penjelasan pada analisis yang digunakan secara keseluruhan melalui
tahap diskusi kelompok (Focus Discussion Group).

3
PEMBAHASAN
Bahan Baku Produk dan Analisis Bahan Baku
Bahan baku utama pembuatan mi instan adalah tepung terigu. Tepung terigu
merupakan ingredient yang berasal dari biji gandum yang digiling. Selama proses
pembuatan mi instan, tepung terigu berperan sebagai pembentuk struktur, serta sumber
nutrisi seperti protein, karbohidrat, dan beberapa mineral. Peran tepung terigu dalam
membentuk struktur mi dipengaruhi oleh kandungan glutennya. Gluten dibentuk dari
protein yang terdapat dalam biji gandum yaitu gliadin dan glutenin. Kedua protein
tersebut apabila bertemu dengan air akan menghasilkan tekstur mi yang elastis dan kuat
saat proses penarikan (Koswara 2009).
Tepung terigu yang akan digunakan dalam pembuatan mi instan telah memiliki
persyaratan yang telah ditetapkan pada SNI 3751:2009 mengenai Tepung Terigu sebagai
Bahan Makanan. Menurut SNI (2009), beberapa parameter yang perlu diuji dari tepung
terigu adalah kadar air, kadar abu, dan kadar protein. Parameter mikrobiologis tepung
terigu diatur dalam Perka BPOM No.13 tahun 2019, yang menyatakan batasan cemaran
tepung terigu yang diukur melalui metode angka lempeng total dan jumlah Escherichia
coli dengan metode APM.
Analisis kadar air pada tepung terigu dapat dilakukan menggunakan metode
oven drying. Prinsip pengukuran kadar air yang digunakan adalah menimbang bobot air
yang hilang setelah pemanasan. Suhu oven yang digunakan pada proses ini adalah
130oC dan proses dilakukan selama 1 jam. Langkah pertama yang dilakukan adalah
memanaskan botol timbang bersama tutupnya di dalam oven bersuhu 130oC selama satu
jam, kemudian didinginkan di dalam desikator selama 30 menit. Setelah itu, ditimbang
Selanjutnya timbang 2 gram tepung terigu lalu masukkan ke dalam botol timbang (W).
Panaskan botol timbang berisi terigu tersebut di dalam oven bersuhu 130oC selama 1
jam. Setelah selesai, botol timbang ditutup terlebih dahulu sebelum dikeluarkan dari
oven, lalu dimasukkan ke dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang kembali
(W1). Lakukan dua kali pengulangan, kemudian hitung kadar air dalam persen berat
basah (SNI 2009). Alasan pemilihan metode oven adalah karena tepung tidak memiliki
komponen volatil yang banyak, sehingga tetap efisien menggunakan oven. Kelebihan
metode ini adalah mudah dilakukan dan reproduksibilitasnya tinggi. Sedangkan
kekurangan dari metode ini adalah waktu operasinya yang lumayan lama serta konsumsi
energi yang tinggi.
Analisis kadar abu pada tepung terigu dilakukan dengan pengabuan kering
dalam tanur. Prinsip analisisnya adalah dengan menghilangkan komponen organik
menjadi CO2 dan air, sedangkan zat organik yang tertinggal dihitung sebagai kadar abu.
Cawan porselen dipanaskan diatas bunsen dengan nyala api kecil untuk menghilangkan
air yang menempel. Setelah itu pijarkan cawan di dalam tanur bersuhu 550oC selama
satu jam. Setelah selesai, dinginkan cawan di dalam desikator selama satu jam
kemudian ditimbang (W1). Sampel tepung terigu ditimbang sebanyak 3-5 gram (W),
lalu panaskan sebentar di atas bunsen dengan nyala api kecil. Setelah itu, pijarkan di
dalam tanur bersuhu 5500C sampai putih selama 5-8 jam. Apabila proses pengabuan
telah selesai, dinginkan sampel di dalam desikator selama 30 menit, lalu timbang.
Masukkan lagi sampel ke dalam tanur pada suhu yang sama lalu pijarkan selama satu
jam, dinginkan dalam desikator, kemudian timbang kembali. Ulangi proses tersebut
sampai bobot abu di dalam cawan konstan (W2). Lakukan dua kali pengulangan lalu
hitung kadar abu dalam basis basah (SNI 2009). Kelebihan metode analisis ini adalah

4
efisiensinya tinggi, murah, serta lebih aman. Sedangkan kekurangannya adalah
prosesnya lama, memerlukan energi tinggi, adanya kemungkinan kontaminasi, dan
hilangnya komponen volatil. Namun, tepung terigu tidak banyak memiliki komponen
volatil sehingga tetap bisa menggunakan metode ini.
Analisis kadar protein tepung terigu dapat dilakukan dengan metode Kjeldahl.
Menurut SNI (2009) prinsip pengujiannya adalah mengukur kadar nitrogen (crude
protein) yang terdapat dalam sampel dengan titrimetri. Proses pertama yang dilakukan
adalah destruksi. Sampel sebanyak 0,5- 1 gram ditimbang kemudian dimasukkan ke
dalam labu Kjeldahl. Tambahkan dengan asam sulfat agar membentuk amonium sulfat.
Reaksi tersebut juga dikatalis oleh penambahan selenium sebanyak 1 gram. Setelah itu,
panaskan campuran hingga mendidih dan terbentuk larutan yang jernih berwarna
kehijau-hijauan. Apabila larutan sudah jernih, dinginkan dan diencerkan dengan
menambah air suling. Proses selanjutnya adalah destilasi dengan NaOH 30%. Lakukan
proses selama 5-10 menit hingga larutan distilat telah mencapai 150 ml. Hasil destilasi
berupa gas NH3 akan ditangkap oleh 50 ml larutan asam borat 2% yang telah diberi
indikator BCG + MM. Dinginkan hasil distilasi sebentar lalu titrasi dengan HCl 0,05 N,
sehingga jumlah nitrogen diketahui. Kemudian, persen nitrogen tersebut dikalikan
dengan faktor koreksi tepung terigu yaitu 5,70 dan didapatkan kadar protein dalam
satuan persen. Alasan penggunaan metode ini adalah karena kadar protein tepung terigu
penting untuk menyusun adonan mi, sehingga diperlukan kadar crude protein-nya.
Kelebihan metode ini adalah umum dilakukan serta pemeliharaan alat yang mudah.
Sedangkan kekurangannya adalah metode ini hanya mengukur total nitrogen, sehingga
dimungkinkan adanya nitrogen yang bukan berasal dari protein juga ikut terhitung.
Berdasarkan PerKa BPOM No. 13 Tahun 2019, batas cemaran mikrobiologis
pada tepung terigu ditentukan berdasarkan total koloni dan E.coli. Standar yang
ditetapkan bagi total koloni dengan metode Angka Lempeng Total adalah dari lima
sampel yang diuji, diperbolehkan dua sampel yang memiliki jumlah koloni diantara 105
sampai 106 koloni/gram. Metode uji yang digunakan merujuk pada ISO 4833-1:2015.
Pertama, 10 gram sampel tepung terigu dimasukkan ke dalam Buffered Peptone Water
(BPW) sebanyak 90 ml, lalu dihomogenkan. Setelah itu, sampel diencerkan hingga
mencapai tingkat pengenceran minimal 10-3. Sebanyak 1 ml sampel diambil dari setiap
masing-masing pengenceran kemudian diinokulasikan ke dalam cawan petri, lakukan
dua kali ulangan (duplo). Setelah itu, tuangkan media Plate Count Agar (PCA) cair
bersuhu 44-47oC sebanyak 12-15 ml ke dalam cawan petri dan diamkan selama kurang
lebih 45 menit hingga agar memadat. Apabila agar sudah memadat, cawan petri dibalik
dan diinkubasi pada suhu 30 °C ± 1°C, selama 72 ± 3 jam. Cawan yang ditumbuhi
koloni dengan kisaran jumlah 10-300 koloni, dipilih dan dihitung dalam satuan CFU/g
(ISO 4833-1:2015; Nurkhoeriyati et al. 2017).
Pengujian E. coli dilakukan berdasarkan SNI ISO 7251 Tahun 2012, yaitu
dengan perhitungan angka paling mungkin (APM) setelah diinkubasi pada suhu 37oC
kemudian pada suhu 44oC. Deteksi dilakukan dengan menginokulasi media pengayaan
selektif cair dengan sejumlah suspensi awal contoh uji. Kemudian, tabung diinkubasi
pada suhu 37oC dengan waktu 48 jam. Pembentukan gas dalam tabung diperiksa setelah
24 jam dan 48 jam. Jika tabung memberikan peningkatan kekeruhan seperti berkabut
atau menghasilkan gas, maka disub-biakkan pada tabung yang berisi media selektif cair
(EC broth). Tabung sub-biakkan tersebut kemudian diinkubasi pada suhu 44oC selama
48 jam. Pembentukan gas dalam tabung juga diperiksa setelah 24 dan 48 jam. Jika
tabung menunjukkan pembentukkan gas, suspensi disub-biakkan pada tabung berisi

5
pepton water bebas indol. Tabung tersebut kemudian diinkubasi pada suhu 44oC selama
48 jam. Pengamatan dilakukan terhadap produksi indol dalam tabung, sebagai hasil
degradasi tryptophan yang terkandung dalam pepton. Tabung yang memperlihatkan
kekeruhan, berkabut, atau menghasilkan gas dalam media pengayaan selektif dan
menghasilkan gas pada EC broth serta indol dalam pepton water pada suhu 44oC
dipertimbangkan mengandung Escherichia coli terduga dalam x gram atau dalam x ml
produk yang ditentukan dengan nilai angka paling mungkin (APM), sesuai dengan tabel
APM (SNI 7251:2012).

Alur Proses Produksi Produk

Gambar 1. Alur Produksi mi Instan


Sumber: (Jumiati 2009)

Analisis pada Tahapan Proses Produksi


Setelah selesai memeriksa mutu tepung terigu sebagai bahan baku, maka proses
produksi dapat dilakukan. Selama proses produksi, terdapat beberapa titik alur yang
perlu dilakukan pengambilan sampel untuk dianalisis, diantaranya adalah pada saat
tahap pencampuran dan pendinginan. Saat proses pencampuran, adonan mi instan telah
terbentuk. Karakteristik adonan mi instan tentu akan mempengaruhi produk akhir yang
dihasilkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan beberapa analisis. Selain itu, titik alur yang
perlu dilakukan pengambilan sampel adalah saat proses pendinginan. Proses tersebut
merupakan proses terakhir sebelum produk dikemas dan dijual, sehingga titik alur
tersebut merupakan titik terakhir untuk menentukan bahwa produk sudah memenuhi
standar yang ditetapkan atau belum. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis agar
memastikan produk telah sesuai standar.
Analisis yang perlu dilakukan saat mi instan masih dalam bentuk adonan adalah
menguji melting transition dan pasting quality-nya. Kedua karakteristik tersebut
berhubungan dengan jumlah pati yang terdapat di dalam produk mi instan, sehingga
akan berpengaruh terhadap struktur dan tekstur pada produk akhirnya nanti. Melting
transition dapat dianalisis dengan menggunakan alat Differential Scanning Calorimetry

6
(DSC). Pati diekstrak terlebih dahulu dari adonan kemudian diambil sebanyak 3 mg.
Sampel pati tersebut lalu dimasukkan ke dalam DSC dan tambahkan air sebanyak 6 ml.
Analisis dilakukan pada suhu 30oC - 150oC dengan kecepatan 5oC/menit. Output data
yang dihasilkan berupa termogram dengan beberapa peak yang menunjukkan thermal
properties dari pati pada sampel (suhu retrogradasi, suhu gelatinisasi, dan transition
glass) (Chansri et al. 2006).
Parameter pasting quality pada mi instan dapat dianalisis menggunakan Rapid
Visco Analyzer (RVA). Sebelum dimasukkan ke dalam mesin RVA, sampel adonan mi
dan air (total: 28 gram) diaduk secara manual selama 20-30 detik hingga membentuk
slurry. Slurry kemudian ditempatkan dalam mesin RVA, lalu dianalisis. Suhu yang
digunakan selama analisis adalah; suhu awal slurry diatur pada 50°C selama 1 menit,
kemudian dipanaskan sampai 95°C selama 7.5 menit, setelah itu dipertahankan suhunya
selama 5 menit. Slurry kemudian didinginkan menjadi 50°C dan dipertahankan selama
7,5 menit. Selama proses tersebut, slurry terus diaduk dengan kecepatan 160 rpm.
Output yang dihasilkan berupa kurva RVA yang menunjukkan suhu gelatinisasi awal,
viskositas puncak, viskositas breakdown, viskositas akhir, nilai setback (Jarnsuwan dan
Thongngam 2012).
Analisis yang perlu dilakukan saat proses pendinginan adalah analisis kimia
seperti kadar air, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat, kadar tartrazine;
analisis fisik seperti warna, kekerasan, dan mikrostruktur dari mi; serta analisis
mikrobiologis. Selain pada mi instan itu sendiri, kadar MSG pada seasoning powder
juga perlu dianalisis.

Standar Mutu Produk


Persyaratan mutu dan keamanan mikrobiologi mi instan berdasarkan Perka
BPOM Nomor 13 Tahun 2019, pada kategori pangan 06.4.3 (pasta dan mi pra-masak
serta produk sejenis) adalah sebagai berikut:

Jenis Mikroba / n c m M
Parameter Uji Mikroba
ALT 5 2 105 koloni/g 106 koloni/g
Escherichia coli 5 0 3 APM/g NA
Salmonella 5 0 negatif/25 g NA
Kapang dan khamir 5 2 10 koloni/g 103 koloni/g
Keterangan :
n : jumlah sampel yang harus diambil dan dianalisis dari satu lot/batch pangan olahan
c : jumlah sampel hasil analisis dari n yang boleh melampaui m namun tidak boleh
melebihi M
m : batas mikroba yang dapat diterima
M : batas maksimal mikroba
NA : Not Applicable

Parameter Analisis Kimia, Fisik, dan Mikrobiologi pada Produk


Analisis fisik produk mi instan dapat dilakukan pada beberapa parameter seperti
sifat geometris dan termologis, warna, tekstur, dan sifat adonan. Sifat geometris dari mi
instan yang dapat dianalisis adalah mikrostruktur dan diameter, sedangkan untuk sifat

7
termologis yang dapat dianalisis adalah daya serap air, kehilangan padatan akibat
pemasakan (KPAP), dan melting transition. Tekstur dari mi instan yang dapat dianalisis
terdiri dari kekerasan, persen elongasi, dan kelengketan.
Parameter analisis mutu fisik mi instan tersebut mempengaruhi penerimaan
konsumen terhadap produk mi instan yang dikonsumsi. Daya serap air dan kehilangan
padatan akibat pemasakan akan berpengaruh terhadap kualitas mi instan karena akan
mempengaruhi tekstur mi instan setelah dimasak di dalam air. KPAP juga dapat
berpengaruh pada kekeruhan kuah dari mi instan tersebut.
Parameter analisis mutu mikrobiologi mi instan, sesuai dengan Perka BPOM
Nomor 13 Tahun 2019, terdiri dari Escherichia coli, Salmonella, dan kapang serta
khamir. Escherichia coli dikenal sebagai bakteri indikator sanitasi dan higiene karena
keberadaannya berkaitan dengan adanya kontaminasi yang berasal dari kotoran atau
feses (Rahayu et al. 2018). Bakteri Salmonella merupakan salah satu bakteri patogen
yang sering menginfeksi manusia melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi
(Aulia et al. 2015).

Metode Analisis Kimia, Fisik, dan Mikrobiologi pada Produk


Analisis yang dilakukan pada produk mi instan sesuai dengan aspek yang akan
diamati. Menurut SNI 01-3551-2000, analisis kadar air pada mi instan mengikuti acuan
pada SNI 01-2891-1992. Penentuan kandungan air dapat dilakukan dengan metode
oven. Penentuan kadar air dilakukan dengan mengeringkan 1-2 g cuplikan bahan dalam
oven pada suhu 105-110oC selama 3 jam atau sampai didapat berat yang konstan. Bobot
yang hilang dianggap sebagai kadar air yang terdapat pada contoh. Penentuan kadar air
juga dapat menggunakan metode destilasi dengan menggunakan 5-10 g cuplikan bahan
yang sudah ditambahkan pelarut organik berupa 300 ml xylol dalam labu didih.
Sambungkan dengan alat aufhauser dan didihkan selama 1 jam sehingga air akan
terpisah ke alat aufhauser dari pelarut organik.
Menurut SNI 01-3551-2000, analisis kadar protein pada mi instan mengikuti
acuan pada SNI 01-2891-1992, dengan menggunakan metode Kjeldahl. Prinsip dari
analisis ini adalah senyawa nitrogen diubah menjadi amonium sulfat oleh H2SO4 pekat.
Amonium sulfat yang terbentuk diuraikan dengan NaOH. Amonia yang dibebaskan
kemudian diikat dengan asam borat dan dititrasi dengan larutan baku asam. Penentuan
kadar protein dapat dilakukan dengan menimbang seksama 0,51 g cuplikan lalu
masukkan ke dalam labu kjeldahl 100 ml. Tambahkan 2 g campuran selen dan 25 ml
H2SO4 pekat. Panaskan di atas pemanas listrik atau api pembakar sampai mendidih dan
larutan menjadi jernih kehijau-hijauan (sekitar 2 jam). Biarkan dingin, kemudian
diencerkan dan dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml, tepatkan sampai tanda garis.
Pipet 5 ml larutan dan masukkan ke dalam alat penyuling tambahkan 5 ml NaOH 30 %
dan beberapa tetes indikator PP. Sulingkan selama lebih kurang 10 menit, sebagai
penampung gunakan 10 ml larutan asam borat 2 % yang telah dicampur indikator. Bilas
ujung pendingin dengan air suling kemudian titrasi dengan larutan HCl 0.01 N.
Analisis kadar lemak dilakukan dengan metode soxhlet yaitu dengan
mengekstraksi langsung menggunakan alat soxhlet. Prinsip dari analisis ini adalah
mengekstraksi lemak bebas dengan pelarut non polar. Pereaksi yang digunakan adalah
heksana atau pelarut lemak lainnya. Penentuan kadar lemak dapat dilakukan dengan
menimbang 1-2 gram contoh, kemudian masukkan ke dalam selongsong kertas yang
telah dialas dengan kapas. Sumbat selongsong kertas berisi contoh tersebut dengan

8
kapas lalu keringkan di dalam oven pada suhu tidak lebih dari 80oC selama kurang lebih
satu jam, kemudian masukkan ke dalam alat soxhlet dengan labu lemak berisi batu didih
yang telah dikeringkan dan telah diketahui bobotnya. Ekstrak dengan heksana atau
pelarut lemak lainnya selama kurang lebih 6 jam. Sulingkan heksana dan keringkan
ekstrak lemak dalam oven pengering pada suhu 105oC. Dinginkan dan timbang lalu
ulangi pengeringan hingga mencapai bobot tetap.
Analisis karbohidrat dilakukan dengan metode Luff-Schoorl, prinsip dari metode
ini adalah penentuan Cu2O dalam larutan sebelum direaksikan dengan gula reduksi
(titrasi blanko) dan sesudah direaksikan dengan sampel (Kosworo et al. 2011). Tahapan
yang pertama dilakukan adalah membuat larutan Luff-Schrool dengan melarutkan
sebanyak 143,8 gram Na2CO3 anhidrat dalam 300 ml air suling. Kemudian tambahkan
50 gram asam sitrat yang telah dilarutkan dalam 50 ml air suling, sambil terus diaduk.
Tambahkan 25 gram CuSO4.5H2O yang sebelumnya sudah dilarutkan dengan air suling
100 ml. Kemudian, larutan tersebut dipindahkan ke dalam labu berukuran 1 liter dan
tepatkan volumenya dengan air suling hingga mencapai tanda garis, kemudian dikocok.
Setelah itu, dibiarkan semalaman. Sampel sebanyak 3,0069 gram dimasukkan ke dalam
erlenmeyer. Kemudian, ditambahkan 25 ml HCl, lalu 3 %, dididihkan selama 1,5 jam
dengan pendingin tegak. Tambahkan NaOH 3,25% untuk menetralkan beserta indikator
fenolftalein. Setelah itu, pindahkan ke dalam labu ukur berukuran 250 ml dan tepatkan
volumenya hingga 250 ml dengan menambahkan air suling. Kemudian larutan disaring
dan diambil filtratnya. Pipet filtrat sebanyak 10 ml lalu masukkan ke dalam erlenmeyer.
Masukkan reagen Luff sebanyak 25 ml dan 15 ml H2O. Didihkan larutan tersebut
selama 10 menit dengan pendingin tegak lalu dinginkan. Tambahkan KI 30% sebanyak
10 ml dan 25 ml H2SO4 25%. Titrasi larutan tersebut dengan natrium tiosulfat 0,1 N
yang telah terstandarisasi dengan indikator kanji. Setelah itu, bandingkan dengan
blangko.
Prinsip uji zat warna tartrazine adalah zat warna dalam mi instan diserap oleh
benang wol dalam suasana asam dengan pemanasan kemudian dilakukan kromatografi
kertas. Analisis ini dilakukan dengan menggiling sampel mi instan sebanyak 10-25
gram kemudian dimasukkan ke dalam gelas piala 100 ml. Selanjutnya ditambahkan
asam asetat 10% sebanyak 5 ml untuk mengasamkan sampel. Lalu, masukkan benang
wol ke dalam sampel, panaskan, dan diamkan sampai mendidih (kurang lebih 10 menit).
Setelah itu, benang wol diangkat, dicuci dengan air, lalu dibilas dengan air suling.
Tambahkan 25 ml amonia 10% ke benang wol yang telah dibilas tersebut lalu panaskan
sampai warna luntur. Apabila telah selesai, benang wol dibuang dan larutan diuapkan di
atas water bath sampai kering. Residu yang dihasilkan diberikan beberapa tetes metanol,
untuk diteteskan pada kertas kromatografi, kemudian dieluasi dalam bejana. Eluen yang
digunakan berupa etil metil keton, aseton, dan air dengan perbandingan 70:30:30
sebesar 15 ml. Apabila separasi warna telah terlihat, kertas kromatografi diangkat dan
dibiarkan mengering. Warna yang terbentuk diamati, kemudian membandingkan Rf
(Retardation factor) sampel dengan Rf standar.
Setiap komponen dari mi instan kecuali minyaknya, digiling di dalam mixer
penggiling. Sampel yang telah hancur diambil sebanyak 10 gram dimasukkan ke dalam
gelas beker dan ditimbang. Tambahkan 20-30 ml air lalu homogenisasikan sampel.
Sampel yang telah dihomogenisasi dipindahkan ke dalam labu takar berukuran 100 ml
dan volume tepat hingga mencapai garis. Labu takar kemudian dikocok dan disaring
menggunakan kertas filter. Filtrat yang diperoleh diambil sebanyak 10 ml dan
ditambahkan dengan 2 ml trikloroetilen, lalu dimasukkan ke dalam tabung sentrifugasi.

9
Larutan sampel diaduk dan disentrifugasi pada kecepatan 3000 rpm selama 15 menit.
Setelah itu, fase cairnya diambil dan dipindahkan ke tabung reaksi untuk diatur pH-nya
menjadi 7,5-8,0 dengan menambah sodium bikarbonat 5% b/v.
Agen derivatisasi yang digunakan adalah 2,4-DNFB. Sebanyak masing-masing
0,5 ml dari larutan standar dan sampel dipindahkan ke dalam tabung sentrifugal dan
tambahkan 10μL DNFB. Campuran dikocok pada suhu 400oC selama 3 jam. Selama
proses tersebut, warna kedua larutan akan berubah menjadi kuning akibat terjadinya
perubahan asam glutamat menjadi asam dinitrofenil yang merupakan turunan asam
glutamat, sehingga akan memiliki absorbansi maksimum pada 254 nm. Sisa DNFB
berlebih akan dibuang dengan mengekstraksi dengan 0,5-1 ml diethyl ether. Eter pada
ekstrak akan diuapkan dengan waterbath lalu residu yang tersisa dilarutkan dalam
500µL methanol, lalu di vortex, dan disaring dengan syringe filter membrane 0,45µm.
Kemudian, kedua filtrat ditransfer ke sistem HPLC-UV.
Setelah sampel dimasukkan ke dalam HPLC, kromatogram akan terbentuk.
Puncak yang muncul pada kromatogram kemudian dapat digunakan untuk menentukan
konsentrasi L-asam glutamat pada sampel. Setelah itu, konsentrasi MSG dapat diketahui
dengan mengalikan konsentrasi L-asam glutamat dengan 1,15.
Rumus: %MSG = 1,15 x % L-asam glutamat
(Shrestha et al. 2016)
Selanjutnya adalah analisis parameter fisik, yaitu sifat mikrostruktur dan
diameter; warna, kekerasan; daya serap air, kelengketan, dan kehilangan padatan akibat
pemasakan. Mikrostruktur mi instan dapat diukur saat mentah dan matang. Sampel mi
instan dipotong sepanjang 3 cm kemudian dibekukan pada suhu -80oC. Setelah itu
sampel di-freeze drying dan dipotong melintang (cross section). Kemudian sampel mi
ditempatkan pada specimen holder dan mikrostruktur dianalisis menggunakan Scanning
Electron Microscope (SEM) pada tegangan 22 kV serta perbesaran 250x dan 1000x
(Sun et al. 2019). Diameter mi instan diukur menggunakan jangka sorong. Mi instan
direbus terlebih dahulu, kemudian diameternya diukur sebanyak 10 kali dan hasilnya
dirata-ratakan (Chansri et al. 2006).
Analisis warna pada mi instan dapat diukur dengan metode kolorimetri. Sampel
mi instan ditempatkan dalam chamber spesimen reflektansi kemudian diukur dengan
kolorimeter di dalam triplicate. Pelat kalibrasi putih dan kalibrasi nol digunakan untuk
pengukuran reflektansi dari masing-masing sampel. Hasil yang diperoleh
dikomputerisasi menggunakan software seperti Spectra Magic software version 2.11,
agar menghasilkan output berupa nilai L*, a*, dan b*. Nilai L* menunjukkan tingkat
kecerahan dari sampel, yaitu saat nilai L* semakin besar maka sampel memiliki warna
yang semakin cerah. Nilai a* dan b* menunjukkan kromatisitasnya. Nilai a* positif
menunjukkan warna merah, sedangkan a* negatif menunjukkan warna hijau. Nilai b*
positif menunjukkan warna kuning dan b* negatif menunjukkan warna biru (Nouri et al.
2015).
Kekerasan tekstur mi instan dilakukan menggunakan uji kompresi. Kecepatan
yang digunakan adalah 2 mm/s dengan strain 75%. Lima untaian mi instan sepanjang 4
cm diletakkan berdampingan dan saling menempel, dan tegak lurus terhadap silinder
kompresi setebal 35mm pada base aluminium datar. Silinder probe diatur jarak 15mm
dari pelat bawah pada awal uji kompresi, kemudian silinder probe bergerak turun

10
dengan kecepatan 2 mm/s sampai menyentuh base aluminium datar dan menekan 75%
dari ketebalan sampel mi, lalu silinder probe diangkat kembali. Gaya yang diperlukan
untuk deformasi diukur. Hasilnya berupa kurva yang menunjukkan hubungan antara
gaya untuk mendeformasi dan waktu. Nilai kekerasan ditunjukkan dengan absolute (+)
peak dari kurva yaitu gaya maksimal (Charles et al. 2007).
Penentuan daya serap air dilakukan dengan merebus 5 g mi dalam 150 ml air
mendidih. Setelah mencapai waktu optimum perebusan, mi direndam air dingin dan
ditiriskan. Mi kemudian ditimbang dan dikeringkan pada suhu 100°C sampai beratnya
konstan, lalu ditimbang kembali. Daya serap air dihitung sebagai persentase berat air
yang terserap saat perebusan per berat kering sampel. (Putra et al. 2019)
Penentuan kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) dilakukan dengan cara
merebus 5 g mi dalam 150 ml air mendidih. Setelah mencapai waktu pemasakan
optimum, mi ditiriskan. Mi kemudian ditimbang dan dikeringkan pada suhu 100°C
sampai beratnya konstan, lalu ditimbang kembali. KPAP dihitung sebagai berat kering
padatan yang hilang (terlarut dalam cairan perebus) per 100 g sampel. (Putra et al.
2019).
Analisis mikrobiologi menggunakan metode Angka Lempeng Total (ALT) /
Total Plate Count (TPC). Berdasarkan PerKa BPOM No. 13 Tahun 2019, total mikroba
dalam mi instan ditunjukkan dalam Angka Lempeng Total (ALT) yang dihitung dengan
prinsip dari ISO 4833-1. Pertama, sampel mi instan sebanyak 10 gram dimasukkan ke
dalam Buffered Peptone Water (BPW) sebanyak 90 ml, setelah itu dihomogenkan.
Setelah itu, sampel diencerkan hingga mencapai tingkat pengenceran minimal 10-3.
Sebanyak 1 ml sampel diambil dari setiap masing-masing pengenceran kemudian
diinokulasikan ke dalam cawan petri, lakukan dua kali ulangan (duplo). Setelah itu,
tuangkan media Plate Count Agar (PCA) cair bersuhu 44-47oC sebanyak 12-15 ml ke
dalam cawan petri dan diamkan selama kurang lebih 45 menit hingga agar memadat.
Apabila agar sudah memadat, cawan petri dibalik dan diinkubasi pada suhu 30 °C ±
1°C, selama 72 ± 3 jam. Cawan yang ditumbuhi koloni dengan kisaran jumlah 10-300
koloni, dipilih dan dihitung dalam satuan CFU/g (ISO 4833-1:2015; Nurkhoeriyati et al.
2017).
Deteksi E. Coli menggunakan metode yang berbeda yaitu dengan perhitungan
angka paling mungkin (APM) setelah diinkubasi pada suhu 37oC kemudian pada suhu
44oC merujuk pada ISO 7251, metode MPN dalam kondisi aseptik sesuai dengan
metode tiga tabung merujuk pada ISO 16649-3, dan metode metode angka lempeng
total (ALT) yang merujuk pada ISO 7218. Sedangkan deteksi mikroba Salmonella
dihitung berdasarkan prinsip Angka Paling Mungkin (APM) atau MPN (ISO
6579:2002; Pavic et al. 2010). Kemudian total kapang-khamir dikuantifikasi
berdasarkan ISO 21527-2. Metode ALT dipilih karena sensitif untuk menghitung jumlah
mikroba dan metode MPN dipilih karena mudah untuk dilakukan dan dapat
menentukan jumlah spesifik mikroba tertentu dengan menggunakan media yang sesuai.

Faktor yang Mempengaruhi Kevalidan / Kesahihan Data Analisis


Analisis pangan menghasilkan data-data yang sangat dibutuhkan untuk
mendukung suatu keputusan dalam menentukan mutu pangan ataupun tingkat
keamanannya. Oleh karena itu, faktor-faktor kesalahan selama proses analisis harus
diminimalisir semaksimal mungkin agar data yang diperoleh mempunyai ketepatan dan
ketelitian yang tinggi serta dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Selain itu

11
data-data yang diperoleh harus dilaporkan sesuai dengan kaidah yang ada agar tidak
menimbulkan kesalahan dalam menginterpretasikannya.
Faktor pertama diperhatikan berasal dari praktikan atau analis, dimulai dari
penyiapan segala sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan analisisnya secara
sistematik dan tercatat sehingga jika terjadi kesalahan kesalahan yang tidak diinginkan
dapat segera memperbaikinya sampai pada menyimpulkan. Kebenaran dalam
menyimpulkan suatu data yang diperoleh di laboratorium sangat ditentukan di antaranya
oleh metode penarikan dan persiapan sampel yang dilakukan sebelum sampel tersebut
dianalisis. Diselaraskan dengan penarikan sampel sebagai sumber kesalahan utama yang
sering dilakukan dalam pengujian mutu di laboratorium. Kedua adalah faktor kesalahan
yang bersumber dari instrumen (alat dan bahan) yang berpengaruh terhadap
pengumpulan data selama pengujian, mengingat instrumen mempunyai karakteristik
dan kepekaan sendiri. Di samping itu, kalibrasi yang seharusnya dilakukan secara rutin
terhadap instrumen sangat menentukan kebenaran data yang diberikannya. Kondisi
analisis yang dapat mempengaruhi performa peralatan/ instrumen maupun kenyamanan
analis dalam melakukan pekerjaan merupakan faktor-faktor lainnya yang tidak langsung
berpengaruh terhadap data yang dikumpulkan di laboratorium. Terakhir yang dapat
menjadi sumber kesalahan adalah lingkungan tercemar, baik air maupun udara sering
mengganggu data yang didapat di laboratorium. Lebih-lebih lagi jika pengujian itu
berhubungan dengan pengujian mutu mikrobiologi yang selayaknya dilakukan di dalam
lingkungan yang bersih. Demikian pula, kemurnian bahan kimia serta bahan lainnya
serta standar kalibrasi sering berpengaruh terhadap data laboratorium.
Analisis mi instan yang digunakan mencangkup aspek mikrobiologi, fisik, dan
kimia yang tentunya memerlukan tingkat ketelitian yang tinggi. Pengambilan sampel
contoh atau sampel yang mewakili produk berpengaruh terhadap keseluruhan analisis.
Cemaran dari berbagai sumber harus dihindari dengan memperhatikan higienitas dan
sanitasi analis dan instrumen yang digunakan. Selanjutnya proses penyelarasan dengan
standar yang digunakan juga harus sesuai dengan perkembangan yaitu harus
menggunakan standar yang terbaru berdasarkan peraturan yang berlaku di Indonesia.

KESIMPULAN
Analisis pada produk mi instan dapat dilakukan berdasarkan karakteristik kimia,
fisik, dan mikrobiologinya. Analisis dapat dilakukan pada bahan baku, produk akhir,
atau pada berbagai tahapan proses pengolahan produk. Analisis kimia yang dapat
dilakukan pada produk mi instan yaitu kadar protein dengan menggunakan metode
Kjeldahl, kadar lemak dengan metode soxhlet, dan kadar karbohidrat dengan metode
Luff-Schoorl. Analisis mikrobiologi pada mi instan dilakukan dengan metode angka
lempeng total untuk total mikroba, dan angka paling mungkin untuk bakteri Escherichia
coli dan Salmonella. Analisis fisik menggunakan parameter mikrostruktur dan diameter,
warna, kekerasan, daya serap air, kelengketan, dan kehilangan padatan akibat
pemasakan yang diukur dengan masing-masing instrumennya. Faktor-faktor kesalahan
selama proses analisis harus diminimalisir semaksimal mungkin agar data yang
diperoleh mempunyai ketepatan dan ketelitian yang tinggi serta dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya. Standar yang digunakan merujuk pada ISO dan
SNI tentunya yang mengatur metode dan kadar atau kandungan mi instan.

12
DAFTAR PUSTAKA
Astawan M. 2006. Membuat Mie Bihun. Bogor (ID): Penebar Swadaya.
Aulia R, Handayani T, Yennie Y. 2015. Isolasi, identifikasi dan enumerasi bakteri
Salmonella spp. pada hasil perikanan serta resistensinya terhadap antibiotik.
Bioma. 11(1): 15-33. ISSN: 0126-3552.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2009. SNI 3751:2009 Tentang Standar Nasional
Indonesia Tepung Terigu sebagai Bahan Makanan. Jakarta (ID): Badan
Standardisasi Nasional.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2015. SNI ISO 4833-1:2015 Tentang Standar
Nasional Indonesia Mikrobiologi Bahan Pangan dan Pakan 一 Metode
Horizontal untuk Enumerasi Mikroorganisme 一 Bagian 1: Perhitungan Koloni
pada Suhu 30oC dengan Teknik Cawan Tuang. Jakarta (ID): Badan Standardisasi
Nasional.
Chansri R, Puttanlek C, Rungsadthong V, Uttapap D. 2006. Characteristic of clear
noodles prepared from edible canna starches. Journal of Food Science. 70(5):
1-6. Doi: 10.111/j.1365-2621.2005.tb09988.x
Charles AL, Huang TC, Lai PY, Chen CC, Lee PP, Chang YH. 2007. Study of wheat
flour–cassava starch composite mix and the function of cassava mucilage in
Chinese noodles. Food Hydrocolloids. 21(1) :368–378.
[ISO] International Organization for Standardization. 2002. ISO 6579:2002
Microbiology of Food and Animal Feeding Stuffs – Horizontal Method for the
Detection of Salmonella spp. Geneva (CH): International Standards
Organization.
Jarnsuwan S, Thongngam M. 2012. Effect of hydrocolloids on microstructure and
textural characteristics of instant noodles. Asian Journal of Food and
Agro-Industry. 5(6): 485-492.
Jumiati T. 2009. Laporan magang di PT. Indofood Sukses Makmur Tbk Semarang ­
Jawa Tengah (pengendalian mutu mi instan) [skripsi]. Surakarta (ID):
Universitas Negeri Sebelas Maret.
Koswara S. 2009. Teknologi Pengolahan Mie. Bogor (ID): Unimus.
Nurkhoeriyati T, Yusuf D, Iswaldi I, Christia A, Gisella V. 2017. Diversifikasi kefir
berbasis kedelai dengan variasi konsentrasi susu skim dan inokulum. Jurnal
Teknologi dan Industri Pangan. 28(2): 111-121. DOI:
https://doi.org/10.6066/jtip.2017.28.2.111
Nouri L, Nafchi AA, Karim AA. 2015. Mechanical and sensory evaluation of noodles
incorporated with betel leaf extract. International Journal of Food Engineering.
11(2): 221-227.
Pavic A, Groves PJ, Bailey G, Cox JM. 2010. A validated miniaturized MPN method
based on ISO 6579:2002 for the enumeration of salmonella from poultry
matrices. Journal of Applied Microbiology. 109(1): 25-34.
https://doi.org/10.1111/j.1365-2672.2009.04649.x.
Putra INK, Suparthana IP, Wiadnyani AAIS. 2019. Sifat fisik, kimia, dan sensori mi
instan yang dibuat dari komposit terigu - pati kimpul modifikasi. Jurnal Aplikasi
Teknologi Pangan. 8(4): 161-167. DOI: 10.17728/jatp.5161.
Rahayu WP, Nurjanah S, Komalasari E. 2018. Escherichia coli: Patogenitas, Analisis,
dan Kajian Resiko. Bogor (ID): IPB Press.

13
Shrestha S, Chaudhary N, Miya TM, Pokhrel P, Chapagain D, Rai KP. 2016.
Quantitative analysis of monosodium glutamate (MSG) in instant noodle by
HPLC-UV with pre-column derivatization [internet]. diunduh pada 2021 Sep 18.
Tersedia pada: https://www.researchgate.net/publication/338546794_QUANTIT
ATIVE_ANALYSIS_OF_MONOSODIUM_GLUTAMATE_MSG_IN_INSTANT_NOODL
ES_BY_HPLC-UV_WITH_PRE-COLUMN_DERIVATIZATION/comments
[SNI] Standar Nasional Indonesia. 2012. SNI 7251:2012 Mikrobiologi Bahan Pangan
dan Pakan-Metode Horizontal untuk Deteksi dan Enumerasi Escherichia coli
Terduga-Teknik Angka Paling Mungkin (APM). Jakarta (ID): Badan
Standardisasi Nasional.
Sun KN, Liao AM, Zhang F, Thakur K, Zhang JG, Huang JH, Wei ZJ. 2019.
Microstructural, textural, sensory properties, and quality of wheat-yam
composite flour noodles. Foods. 8(10): 1-13. doi:10.3390/foods8100519
[Susenas] Survei Sosial Ekonomi Nasional. 2020. Konsumsi Mie Instan di Nusantara.
Jakarta: Susenas.
Utomo JS, Yulifianti R. 2011. Karakteristik mie berbahan baku terigu lokal dan ubi jalar
ungu. Di dalam: Widjono A, Hermanto, Nugraheni N, Rahmianna AA,
Suharsono, Rozi F, Ginting E, Taufiq A, Harsono A, Prayogo Y, Yusnawan E,
editor. Inovasi Teknologi dan Kajian Ekonomi Komoditas Aneka Kacang dan
Umbi Mendukung Empat Sukses Kementerian Pertanian. Prosiding Seminar
Nasional Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi; 2011 Nov 15;
Bogor, Indonesia. Bogor: Balitkabi. hlm 768-775.

14

Anda mungkin juga menyukai