Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNOLOGI PANGAN

FRIYING KERUPUK

Kelompok 5:

Adinda Supma (5193540029) (Gizi A 2019)

Qhonita Adi Parawangsa (5193540020) (Gizi B 2019)

Livia Ayu Nila (5193540021) (Gizi B 2019)

Dengsi Marinda Simanjuntak (5193540041) (Gizi C 2019)

Dosen Pengampu:

Dra. Adihkahriani, M.Si


Risti Rosmiati, S.Gz, M.Si
Caca Pratiwi STp, M.Si

PROGRAM STUDI GIZI


JURUSAN PENDIDIKAN KESEJAHTERAAN KELUARGA
FAKULTAS TEKNIK –
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan kami rahmat dan karunianya sehingga kami masih diberikan
kesehatan dan kesempatan untuk menyelesaikan tugas laporan Praktikum
dengan judul “ Frying Kerupuk Tempe”. Adapun tugas ini dibuat untuk memenuhi
tugas dalam mata kuliah Teknologi Pangan. Kami mengucapkan terimakasih
kepada dosen pengampu yang telah membimbing kami dalam praktikum ini.

Kami menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kata sempurna karena
masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami mohon maaf dan mengharapkan
kritik serta saran yang membangun guna perbaikan dan penyempurnaan ke
depannya. Akhir kata kami mengucapkan terimakasih.

Medan, 16 Desember 2021

Kelompok 5

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................. ii
DAFTAR ISI .............................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN

1.1 LatarBelakang Masalah ............................................................................. 1


1.2 TujuanPenelitian ........................................................................................ 2
1.3 ManfaatPenelitian ...................................................................................... 3

BAB II DASAR TEORI ............................................................................................... 4


BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Alat yang digunakan ............................................................................... 7


3.2 Bahan yang digunakan ........................................................................... 7
3.3 Prosedur Penelitian ................................................................................ 8
BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Uji Organoleptik ....................................................................................... 9


4.2 Uji Kadar Lemak .................................................................................... 16
4.3 Uji Kadar Air ......................................................................................... 18
BAB V KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan........................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................

LAMPIRAN

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penggorengan dapat didefinisikan sebagai proses pemasakan dan pengeringan


produk dengan media panas berupa minyak sebahai media pindah panas. Metode
penggorengan ada dua yaitu pan frying dan deep frying. Pan frying merupakan proses
penggorengan dengan menggunakan sedikit minyak goreng sehingga proses
penggorengan terjadi pada minyak yang dangkal. Metode pan frying cocok produk
pangan yang memiliki luas permukaan yang besar. Deep frying merupakan metode
penggorengan dengan menggunakan minyak goreng yang banyak sehingga bahan
pangan yang digoreng akan terendam seluruhnya ke dalam minyak tersebut
(Pudjihastuti dkk, 2019).

Tempe adalah salah satu makanan tradisional yang berasal dari Indonesia, tempe
terbuat dari kacang kedelai yang telah mengalami fermentasi. Tempe memiliki rasa
yang lezat dan disukai oleh banyak golongan masyarakat. Selain itu, tempe juga
memiliki harga yang relatif murah sehingga mudah dijangkau oleh masyarakat ekonomi
lemah. Menurut (Muchtadi, 2010), tempe merupakan olahan kedelai yang paling
banyak dikonsumsi di Indonesia, jumlahnya sekitar 6,45 kg per orang per tahun.
Tempe memiliki kandungan gizi yang tinggi, terutama kandungan proteinnya. Protein
dalam tempe sebanding dengan protein dalam daging. Dalam 100 gram tempe
terdapat protein sebesar 18,3 gram yang sebanding dalam 100 gram daging ayam
yaitu sebesar 18,2 gram (Sarwono, 2008).

Tempe juga memiliki kandungan asam amino esensial yang cukup lengkap, seperti
isoleusin, leusin, lisin, metionin, fenilalanin, dll. Asam amino esensial yaitu asam amino
yang tidak dapat disintesis oleh tubuh. Menurut (Muchtadi, 2010), agar sintesis protein
didalam tubuh dapat berjalan lancar (misalnya untuk menjamin pertumbuhan pada
anak-anak) atau untuk mempertahankan keseimbangan nitrogen dalam tubuh orang
dewasa, asam amino esensial harus terdapat dalam makanan. Pada olahan kacang-
kacangan seperti tempe, salah satu asam amino esensial yang cukup berperan yaitu

1
lisin. Lisin adalah salah satu asam amino yang sangat reaktif, karena mengandung grup
amino bebas yang dapat berikatan dengan senyawa-senyawa lain. Reaksi lisin dengan
senyawa lain dapat mengakibatkan lisin tersebut tidak dapat diserap dan digunakan
oleh tubuh. Hal ini dianggap merugikan, karena lisin merupakan salah satu asam
amino esensial, dan lisin juga seringkali menjadi asam amino pembatas protein nabati,
terutama serealia dan kacang-kacangan (Muchtadi, 2010). Semakin tinggi kandungan
protein dalam makanan maka akan semakin meningkatkan asupan protein dalam
tubuh. Tempe biasanya dijadikan sebagai lauk dan tidak jarang juga dimakan sebagai
cemilan.

Kandungan nutrisi yang tinggi pada tempe merupakan media yang baik bagi
pertumbuhan mikroorganisme yang dapat menyebabkan kerusakan pada tempe.
Olahan berbahan dasar tempe yang sering ditemui, yaitu seperti tempe goreng, tempe
mendoan, tempe bacem, tumis tempe, martabak tempe, dan juga keripik tempe.
Berbagai olahan tersebut menggunakan teknik pemasakan yang berbeda-beda. Hal ini
tentu saja akan berpengaruh terhadap nilai gizi dalam tempe (Muchtadi, 2010). Keripik
adalah makan ringan yang bersifat kering dan renyah. Renyah adalah keras dan
mudah patah. Sifat renyah, tahan lama, praktis, mudah dibawa dan disimpan
merupakan kelebihan yang dimiliki oleh keripik (Sulistyowati, 1999). Keripik Tempe
adalah salah satu jenis makanan ringan hasil olahan tempe dengan kadar protein yang
cukup tinggi yaitu berkisar antara 23%-25% . Sama seperti tempe, keripik tempe juga
bisa digunakan sebagai lauk ataupun sebagai cemilan. Keripik tempe terbuat dari irisan
tempe yang telah dibumbui kemudian melalui tahap penggorengan.

1.2 Tujuan Praktikum


 Tujuan dari praktikum ini adalah mahasiswa dapat mengetahui dan
melakukan pengolahan denan metode penggorengan (frying).
 Mengetahui pengaruh perbedaan teknik penggorengan terhadap kadar
protein terlarut dan daya terima kripik tempe.
 Mengetahui kadar protein terlarut dalam kripik tempe yang digoreng
menggunakan teknik yang berbeda

2
 Mengetahui daya terima keripik tempe yang digoreng menggunakan teknik
yang berbeda.
 Menganalisis perbedaan teknik penggorengan terhadap kadar protein
terlarut dan daya terima keripik tempe
1.3 Manfaat Penelitian
 Memperkenalkan metode penggorengan keripik tempe
 Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai teknik penggorengan
yang paling tepat untuk menjaga mutu dan nilai gizi keripik tempe.
 Dapat dipakai sebagai referensi apabila ingin melakukan penelitian sejenis.

3
BAB II

DASAR TEORI

Penggorengan merupakan proses pemasakan dan pengeringan produk dengan


menggunakan media panas berupa minyak sebagai media pindah panas. Ketika bahan
pangan digoreng menggunakan minyak panas maka akan banyak reaksi kompleks
terjadi di dalam minyak dan pada saat ini minyak mengalami kerusakan. Konsumsi
minyak goreng di Indonesia semakin meningkat tiap tahunnya hampir seluruh masakan
sehari-hari menggunakan minyak goring dalam jumlah cukup banyak. Terdapat dua
metode penggorengan yaitu deep frying dan pan frying. Berdasarkan kondisi
prosesnya, penggorengan dapat dilakukan pada kondisi tekanan atmosfir, bertekanan
lebih tinggi dari tekanan atmosfir, dan pada kondisi vakum. Deep-frying merupakan
metode menggoreng dengan menggunakan minyak berjumlah banyak sehingga semua
bagian makanan yang digoreng terendam di dalam minyak panas. Deep frying
diklasifikasikan ke dalam metode memasak kering sebab tidak ada air yang digunakan
dalam proses memasak tersebut, sedangkan Pan frying termasuk teknik memasak
dengan menggunakan minyak goreng, tetapi minyak yang digunakan lebih sedikit
daripada deep frying. Istilah pan frying lebih tepat diterapkan pada teknik menggoreng
yang menggunakan pan (pan penggoreng).

Menurut Bengston 2006, Perbedaan metode dan kondisi proses penggorengan


akan berpengaruh terhadap kualitas produk akhir yang dihasilkan. Berdasarkan
penelitian Ballard,T.S.and Maallikarjunan 2006, menyatakan bahwa untuk menggoreng
dengan metode deep frying with pressure dibutuhkan waktu yang lebih singkat jika
dibandingkan dengan kondisi atmosfir, sedangkan menurut Pinthus et al (1993) ;
Akdenz et al (2006), pada penggorengan bertekanan atmosfir terjadi penyerapan
minyak pada makanan sekitar 0,2-14% bahkan mencapai 40%.Panas yang cukup tinggi
selama penggorengan berlangsung menyebabkan pori-pori produk terbuka dan minyak
dapat masuk hingga ke bagian dalam produk. Saat ditiriskan , minyak terhambat oleh
adanya gelatinisasi tepung terigu dan ikatan pada jaringan makanan yang solid
mengakibatkan minyak tidak tertiris sempurna dan terperangkap di dalam produk.

4
Minyak goreng biasanya bisa digunakan 3 -4 kali penggorengan. Jika digunakan
berulang kali, minyak akan berubah warna saat penggorengan dilakukan, ikatan
rangkap yang terdapat pada asam lemak tak jenuh akan putus membentuk asam
lemakjenuh. Minyak yang baik adalah minyak yang mengandung asam lemak tak jenuh
yang lebih banyak dibandingkan dengan kandungan asam lemak jenuhnya. Asam
lemak tidak jenuhdalam minyak goreng mengandung asam oleat dan asam linoleat
(Simson, 2007).

Minyak nabati dengan kadar asam lemak jenuh yang tinggi akan mengakibatkan
makanan yang digoreng menjadi berbahaya bagi kesehatan. Selain karena
penggorengan berkali-kali, minyak dapat menjadi rusak karena penyimpanan yang
salah dalam jangka waktu tertentu, sehingga ikatan trigliserida pecah menjadi gliserol
dan asam lemak bebas.Standar mutu merupakan hal yang penting untuk menentukan
minyak yang bermutu baik. Ada beberapa faktor yang menentukan standar mutu yaitu
kandunagn air dan kotoran dalam minyak, kandungan asam lemak bebas, warna dan
bilangan peroksida (Ketaren, 2008).

Lemak dan minyak merupakan sumber energi yang paling efektif dibandingkan
dengan protein dan karbohidrat, 1 gram lemak akan menghasilkan 9 kkal sedangkan
protein dan karbohidrat hanya menghasilkan kalori kurang lebih 4 kkal saja (Muchtadi,
et.al.,1992). Lemak dan minyak juga merupakan zat yang sangat penting untuk
menjaga kesehatan tubuh manusia (Hermanto, Muawanah, & Wardhani, 2010).Lemak
dan minyak terdapat pada hampir semua jenis bahan pangan dan masing-masing
mempunyai jumlah kandungan yang berbeda-beda. Oleh karena itu analisis kadar
lemak suatu bahan pangan sangat penting dilakukan agar kebutuhan kalori suatu
bahan makanan bisa diperhitungkan dengan baik.

Penentuan kandungan lemak menggunakan pelarut, selain lemak komponen-


komponen lain seperti fosfolipida, sterol, asam lemak bebas, karotenoid, dan pigmen
lain akan ikut terlarut maka kadar lemak disebur lemak kasar (“crude fat”). Cara analisis
kadar lemak kasar secara garis besar dibagi menjadi dua yaitu cara kering dan cara
basah. Salah satu cara analisis lemak dengan cara kering yaitu menggunakan metode
Ekstraksi Soxhlet (Slamet Sudarmadji, Bambang Haryono, 2007).

5
Penelitian ini dilakukan untuk menghitung dan melihat apakah proses
pemasakan menggunakan panas dengan cara menggoreng menurunkan kandungan
zat gizi dari bahan pangan untuk meng analisis kadar lemak dan kadar air serta uji
organoleptik dalam bahan pangan. Pengukur kadar air pada dasarnya dapat dilakukan
mengunakan alat ukur dan pengukuran dengan menggunakan metode oven.
Pengukuran dengan metode oven atau pengeringan merupakan salah satu cara yang
digunakan untuk mengukur kadar air dalam suatu pangan dengan prinsip yaitu bahwa
air yang terkandung dalam suatu bahan akan menguap bila bahan tersebut dipanaskan
pada suhu 105o C selama waktu tertentu serta perbedaan antara berat sebelum dan
sesudah dipanaskan adalah kadar air bahan tersebut.

6
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Alat Yang Digunakan

Alat yang digunakan:

 Wajan
 Timbangan,
 Gelas ukur
 Piring kecil
 Kompor

3.2 Bahan Yang Digunakan

Bahan yang digunakan:

 100 gr tempe
 200 mL minyak goreng
3.3 Prosedur Percobaan

Prosedur Kerja

1. Potong dan timbang bahan makanan yang akan diuji


2. Amati bahan tersebut meliputi berat, tekstur, warna, rasa, aroma, dan bentuk
bahan makanan sebelum di goreng
3. Goreng bahan; Untuk pan frying, tuang minyak sebanyak 15 mL ke dalam
wajan, goreng bahan makanan hingga matang, angkat bahan makanan yang
telah digoreng.
4. Untuk deep frying: tuang minyak 100 mL ke dalam wajan, goreng bahan
makanan hingga matang, angkat bahan makanan yang telah digoreng.
5. Amati perubahan yang terjadi pada kedua sampel tersebut dengan cara
menimbang berat bahan makanan setelah digoreng dan dibandingkan dengan
berat bahan sebelum digoreng.

7
6. Amati jumlah minyak yang diserap dengan cara menghitung volume minyak
sisa yang telah dipakai untuk menggoreng lalu dibandingkan dengan volume
yang dipakai sebelum menggoreng. Identifikasi berat, tekstur, warna, rasa,
aroma, dan bentuk.
 Analisis Kadar Lemak

Labu soxhlet dikeringkan dalam oven dengan suhu 105 °c selama 15 menit. Labu
soxhlet dimasukkan ke dalam desikator selama 15 menit, kemudian ditimbang dengan
timbangan analitik. Sampel ditimbang sebanyak 3 gram dan dibungkus dengan kertas
saring dan kapas kemudian diikat dengan benang dan dimasukkan kedalam konektor
soxhlet. Konektot soxhlet dipasang pada rangkaian soxhlet. Pelarut PE dimasukkan
sehingga volumenya sejajar dengan tinggi konektor soxhlet. Pemanas rangkaian
soxhlet dinyalakan dan dilakukan selama 5 jam. Labu yang berisi lemak dioven pada
suhu 105 °c selama 12 jam lalu dimasukkan dalam desikator selama 15 menit,
kemudian ditimbang.

 Analisis Kadar Air

Cawan aluminium dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 105°C sekitar 12 jam
lalu dimasukkan ke dalam desikator selama 15 menit. Cawan ditimbang dengan
menggunakan timbangan analitik. Sampel ditimbang sebanyak sita 2 gram dan
dimasukkan ke dalam cawan aluminium kemudian dawan berisi sampel dimasukkan ke
dalam oven dengan suhu 105°C selama 5 jam. Cawan dimasukkan ke dalam desikator
selama 15 menit kemudian ditimbang dengan timbangan analitik. Lakukan langkah
yang sama hingga berat cawan konstan atau atau memiliki selisih tidak boleh lebih dari
0,02 gram.

Data pengamatan yang diperlukan:

• Berat bahan sebelum di goreng (g)


• Berat bahan setelah digoreng (g)
• Volume minyak sebelum proses penggorengan (mL)
• Volume minyak setelah proses penggorengan (mL)

8
BAB IV

ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Uji Organoleptik


4.1.1 Uji Organoleptik pada Tempe Kedelai

Berat Tempe 100 gr


4.1.1 Uji Organoleptik pada Tempe Kedelai

Nama Kriteria
Tekstur Warna Rasa Aroma Bentuk
Adinda 3 3 2 5 4
Livia 4 3 2 4 5
Qhonita 3 4 2 5 5
Dengsi 3 4 3 5 4
Data ini diolah menggunakan uji Hedonik sebagai berikut

a. Tektur

Penginderaan tekstur yang berasal dari sentuhan dapat ditangkap oleh


seluruh permukaan kulit. Biasanya jika orang ingin menilai tekstur bahan
digunakan ujung jari tangan. Macam – macam penginderaan tekstur yang dapat
dinilai dengan ujung jari meliputi kebasahan, kering, keras, halus, kasar dan berminyak
(Soewarno, 1985).

Berdasarkan uji organoleptik dari tekstur tempe utuh dari 2 perlakuan dapat di lihat
pada tabel 4.1.1. tabel diatas menunjukkan bahwa tingkat penerimaan panelis terhadap
parameter tekstur adalah rata rata berada di angka 3, itu dapat disimpulkan bahwa
panelis agak suka dengan tekstur pada tempe. Tektur pada tempe tersebut agak
keras.

b. Warna

Warna penting bagi makanan, baik bagi makanan yang tidak diproses
maupun yang diproduksi. Bersama – sama dengan aroma, tekstur, rasa dan
kekompakan, warna memegang peranan penting dalam penerimaan makanan. Selain

9
itu, warna dapat memberikan petunjuk mengenai perubahan kimia dalam makanan
seperti pencoklatan (De Man, 1997).

Berdasarkan uji organoleptik dari warna tempe utuh dari 2 perlakuan dapat di lihat
pada tabel 4.1.1. Tabel diatas menunjukkan bahwa tingkat penerimaan panelis
terhadap parameter warna adalah rata rata berada di angka 3,5 , berarti dapat
disimpulkan bahwa dari segi warna panelis suka dengan warna pada tempe. Warna
pada tempe tersebut putih bersih.

c. Rasa

Instrumen yang paling berperan mengetahui rasa suatu bahan pangan adalah
indera lidah. Dalam pengawasan mutu makanan, rasa termasuk komponen yang
sangat penting untuk menentukan penerimaan konsumen. Meskipun rasa dapat
dijadikan standar dalam penilaian mutu, disisi lain rasa adalah sesuatu yang
nilainya sangat relatif (Winarno, 1993).

Berdasarkan uji organoleptik dari rasa tempe utuh dari 2 perlakuan dapat di lihat
pada tabel 4.1.1. Tabel diatas menunjukkan bahwa tingkat penerimaan panelis
terhadap parameter rasa adalah rata rata berada di angka 2 , berarti dapat disimpulkan
bahwa dari segi rasa panelis tidak suka dengan rasa pada tempe. Rasa pada tempe
tersebut seperti kacang kedelai.

d. Aroma

Aroma berhubungan dengan indera pembauan yang berfungsi untuk menilai produk.
Cita rasa bahan pangan sesungguhnya terdiri dari komponen yaitu bau, rasa dan
rangsangan mulut. Bau makanan banyak menentukan kelezatan bahan makanan
(Winarno, 1993).

Berdasarkan uji organoleptik dari aroma tempe utuh dari 2 perlakuan dapat di lihat
pada tabel 4.1.1. Tabel diatas menunjukkan bahwa tingkat penerimaan panelis
terhadap parameter aroma adalah rata rata berada di angka 5, itu dapat disimpulkan
bahwa panelis sangat suka dengan aroma pada tempe.

10
e. Bentuk

Bentuk berhubungan dengan indera penglihatan yang berfungsi untuk menilai


produk. Berdasarkan uji organoleptik dari bentuk tempe utuh dari 2 perlakuan dapat di
lihat pada tabel 4.1.1. Tabel diatas menunjukkan bahwa tingkat penerimaan panelis
terhadap parameter bentuk adalah rata rata berada di angka 4,5 , berarti dapat
disimpulkan bahwa dari segi bentuk panelis suka dengan bentuk pada tempe.

4.1.2 Uji Organoleptik pada Deep Frying Tempe


Berat awal tempe = 50 gr
Berat setelah digoreng = 53 gr
Volume minyak sebelum tempe digoreng = 100 ml
Volume minyak setelah tempe digoreng =56 ml

Tabel 4.1.2 Uji Organoleptik pada Deep Frying Tempe (Perlakuan 1)

Nama Kriteria
Tekstur Warna Rasa Aroma Bentuk
Adinda 5 4 5 4 4
Livia 5 5 4 5 4
Qhonita 4 5 4 4 4
Dengsi 5 5 4 5 4
Ket : 1 : sangat tidak suka, 2: tidak suka, 3: Agak suka, 4: suka, 5: sangat suka

4.1.3 Uji Organoleptik pada Pan Frying Tempe


Berat awal tempe = 50 gr
Berat setelah digoreng = 52 gr
Volume minyak sebelum tempe digoreng = 20 ml
Volume minyak setelah tempe digoreng = 0 ml

Tabel 4.1.3 Uji Organoleptik pada Pan Frying Tempe (Perlakuan 2)

Nama Kriteria
Tekstur Warna Rasa Aroma Bentuk
Adinda 4 5 5 4 5
Livia 4 3 5 4 5
Qhonita 4 5 4 4 5
Dengsi 4 4 4 4 5
Ket : 1 : sangat tidak suka, 2: tidak suka, 3: Agak suka, 4: suka, 5: sangat suka

11
a) Rasa

Berdasarkan uji organoleptik dari rasa tempe dengan 2 perlakuan dapat dilihat
pada perlakuan 1 pada tabel 4.1.2 menunjukkan bahwa tingkat penerimaan panelis
terhadap parameter rasa adalah rata rata berada di angka 4,25 , berarti dapat
disimpulkan pada perlakuan 1 dari segi rasa panelis suka dengan rasa pada tempe
yang digoreng menggunakan metode deep frying menggunakan minyak 100 ml garing
saat di makan.

Pada perlakuan 2 dapat di dilihat pada tabel 4.1.3 menunjukkan bahwa tingkat
penerimaan panelis terhadap parameter rasa adalah rata-rata berada diangka 4,5
berarti dapat disimpulkan bahwa panelis suka dengan rasa pada tempe yang di goreng
dengan metode pan frying menggunakan minyak lebih sedikit.

Dapat disimpulkan bahwa dari perlakuan 1 tempe yang digoreng dengan


menggunakan deep frying dan perlakuan 2 tempe yang digoreng dengan menggunakan
pan frying bahwa dari segi rasa panelis menyukai kedua perlakuan tempe yang di
goreng dengan deep frying dan pan frying.

4
Series 2
2
Series 1
0
Deep Frying Pan Frying

Gambar 1 Tingkat kesukaan terhadap rasa pada tempe

b) Tekstur

Berdasarkan uji organoleptik dari tekstur tempe dengan 2 perlakuan dapat


dilihat pada perlakuan 1 pada tabel 4.1.2 menunjukkan bahwa tingkat penerimaan
panelis terhadap parameter tektur adalah rata rata berada di angka 4,8 berarti dapat
disimpulkan pada perlakuan 1 dari segi tekstur panelis sangat suka dengan tektur pada
tempe yang digoreng menggunakan metode deep frying karena tektur nya keras dan
garing.

12
Pada perlakuan 2 dapat di dilihat pada tabel 4.1.3 menunjukkan bahwa tingkat
penerimaan panelis terhadap parameter tekstur adalah rata-rata berada diangka 4
berarti dapat disimpulkan bahwa panelis suka dengan rasa pada tempe yang di goreng
dengan metode pan frying menggunakan minyak lebih sedikit.

Dapat disimpulkan bahwa dari perlakuan 1 tempe yang digoreng dengan


menggunakan deep frying dan perlakuan 2 tempe yang digoreng dengan menggunakan
pan frying bahwa dari segi tekstur panelis lebih menyukai tektur tempe yang digoreng
dengan menggunakan deep frying dari pada tempe yang di goreng menggunakan pan
frying. Hal ini dikarenakan pada perlakuan 1 tekstur tempe lebih garing dari pada
perlakuan 2.

4
Series 2
2
Series 1
0
Deep Frying Pan Frying

Gambar 2 Tingkat kesukaan terhadap tekstur pada tempe

c) Warna

Berdasarkan uji organoleptik dari warna tempe dengan 2 perlakuan dapat


dilihat pada perlakuan 1 pada tabel 4.1.2 menunjukkan bahwa tingkat penerimaan
panelis terhadap parameter warna adalah rata rata berada di angka 4,75 berarti dapat
disimpulkan pada perlakuan 1 dari segi warna panelis sangat suka dengan warna pada
tempe yang digoreng menggunakan metode deep frying menggunakan minyak 100 ml.

Pada perlakuan 2 dapat di dilihat pada tabel 4.1.3 menunjukkan bahwa tingkat
penerimaan panelis terhadap parameter warna adalah rata-rata berada diangka 4,25
berarti dapat disimpulkan bahwa panelis suka dengan warna pada tempe yang di
goreng dengan metode pan frying menggunakan minyak lebih sedikit.

Dapat disimpulkan bahwa dari perlakuan 1 tempe yang digoreng dengan


menggunakan deep frying dan perlakuan 2 tempe yang digoreng dengan menggunakan

13
pan frying bahwa dari segi warna panelis lebih menyukai perlakuan 1 dari pada
perlakuan 2. Hal ini disebabkan karena warna tempe yang digoreng pada deep frying
lebih merata warnanya atau seragam dibandingkan warna yang digoreng menggunakan
pan frying.

4
Series 2
2
Series 1
0
Deep Frying Pan Frying

Gambar 3 Tingkat kesukaan terhadap warna pada tempe

d) Aroma

Berdasarkan uji organoleptik dari aroma tempe dengan 2 perlakuan dapat


dilihat pada perlakuan 1 pada tabel 4.1.2 menunjukkan bahwa tingkat penerimaan
panelis terhadap parameter aroma adalah rata rata berada di angka 4,5 berarti dapat
disimpulkan pada perlakuan 1 dari segi rasa panelis suka dengan rasa pada tempe
yang digoreng menggunakan metode deep frying menggunakan minyak 100 ml garing
saat di makan.

Pada perlakuan 2 dapat di dilihat pada tabel 4.1.3 menunjukkan bahwa tingkat
penerimaan panelis terhadap parameter aroma adalah rata-rata berada diangka 4
berarti dapat disimpulkan bahwa panelis suka dengan rasa pada tempe yang di goreng
dengan metode pan frying menggunakan minyak lebih sedikit.

Dapat disimpulkan bahwa dari perlakuan 1 tempe yang digoreng dengan


menggunakan deep frying dan perlakuan 2 tempe yang digoreng dengan menggunakan
pan frying bahwa dari segi aroma panelis menyukai menyukai kedua perlakuan tempe
yang di goreng dengan deep frying dan pan frying.

14
6

4
Series 2
2
Series 1
0
Deep Frying Pan Frying

Gambar 4 Tingkat kesukaan terhadap aroma pada tempe

e) Bentuk

Berdasarkan uji organoleptik dari bentuk tempe dengan 2 perlakuan dapat


dilihat pada perlakuan 1 pada tabel 4.1.2 menunjukkan bahwa tingkat penerimaan
panelis terhadap parameter bentuk adalah rata rata berada di angka 4 berarti dapat
disimpulkan pada perlakuan 1 dari segi bentuk panelis suka dengan bentuk pada tempe
yang digoreng menggunakan metode deep frying menggunakan minyak 100 ml.

Pada perlakuan 2 dapat di dilihat pada tabel 4.1.3 menunjukkan bahwa tingkat
penerimaan panelis terhadap parameter bentuk adalah rata-rata berada diangka 5
berarti dapat disimpulkan bahwa panelis sangat suka dengan bentuk pada tempe yang
di goreng dengan metode pan frying menggunakan minyak lebih sedikit.

Dapat disimpulkan bahwa dari perlakuan 1 tempe yang digoreng dengan


menggunakan deep frying dan perlakuan 2 tempe yang digoreng dengan menggunakan
pan frying bahwa dari segi bentuk panelis lebih menyukai bentuk tempe yang digoreng
dengan pan frying.

4
Series 2
2 Series 1
0
Deep Frying Pan Frying

Gambar 5 Tingkat kesukaan terhadap bentuk pada tempe

15
4.2 Uji Kadar Lemak Metode Soxlet
Tabel 4.2.1 Hasil Uji Kadar Lemak Tempe Deep Frying dan Pan Frying

Kode Berat Berat labu Berat labu lemak dan Berat batu Hasil Analisa
sampel sampel kosong lemak didih
P1 2,3779 153,0034 157,5400 4,0029 53,42 %
D1 2,4555 153,0034 156.0618 - 124,5 %
Ket : P1 = Pan Frying, D1 = Deep Frying

Perhitungan :

Sampel P1 : % Lemak = W1 – W2- berat batu didih / W X 100%

= 157,5400 – 153,0034 – 4,0029/ 2,3779 X 100%

= 53,42%

Sampel D1 : % Lemak = W1 – W2 / W X 100%

= 156,0618 – 153,0034 / 2,4555 X 100%

= 124,5%

Pembahasan

Pada pratikum ini dilakukan penetapan kadar lemak pada 2 perlakuan


tempe goreng dengan menggunakan metode soxlet. Sampel yang digunakan pada
pengujian ini terdiri dari sampel tempe deep frying (D1) dan tempe pan frying (P1).
Ekstrasi soxhlet merupakan salah satu metode pemisahan yang dapat diandalkan
untuk memisahkan lemak yang terdapat pada tempe goreng .Prinsip dari metode
soxhlet ini pada dasarnya sama dengan metode ekstari lainnya, pada
pengujian ini pelarut yang digunakan adalah heksana dan air. Heksana
diletakan dalam labu alas bulat sedangkan air terdapat pada pendingin bola. Lemak
merupakan senyawa organik dan bersifat nonpolar, heksana juga merupakan suatu
pelarut organik dan bersifat nonpolar, karena kepolaran yang sama ini maka
lemak dapat terestrak ke dalam heksana.

16
Penetapan kadar lemak pada tempe goreng dengan metode soxhlet ini
dilakukan dengan cara mengeluarkan lemak dari tempe goreng dengan pelarut
lemak. Pelarut lemak merupakan pelarut yang benar benar bebas air. Hal tersebut
bertujuan supaya bahan bahan yang larut air tidak terekstrak dan terhitung sebagai
lemak serta keaktifkan pelarut tersebut tidak berkurang. Sampel ditimbang ±2
gram dan kemudian dibungkus atau di tempatkan dalam kertas saring (selongsong
tempat sampel), yang terbungkus rapi. Selanjutnya labu kosong diisi 12 butir batu
didih pada sampel P1, fungsi batu didih ialah untuk meratakan panas, setelah
dikeringkan dan didinginkan, labu diisi dengan pelarut lemak. Selongsong sampel
yang sudah terisi sampel dimasukan ke dalam soxhlet, soxhletdisambungkan dengan
labu dan di tempatkan pada alat pemanas listrik serta kondensor. Alat pendingin
disambungkan dengan soxhlet, air untuk pendingin dijalankan dan alat ekstresi
lemak mulai dipanaskan.

Ketika pelarut di didihkan, uapnya naik melewati soxhlet menuju ke pipa


pendingin. Air dingin yang dialirkan melewati bagian luar kondensor mengembunkan
uap pelarut sehingga kembali ke fase cair, kemudian menetes ke kertas saring. Pelarut
melarutkan lemak dalam kertas saring, larutan sari ini terkumpul dalam kertas
saring dan bila volumenya telah mencukupi, sari akan dialirkan lewat sifon
menuju labu. Proses dari pengembunan hingga pengaliran disebut sebagai
refluks. Proses ekstrasi lemak dilakukan selama 2,5 jam, setelah proses ekstrasi
selesai, pelarut dan lemak dipisahkan melalui proses penyulingan dan
dikeringkan di oven dlam suhu 1050C selama 15 menit dan didinginkan dalam
desikator, kemudian timbang, pemanasan dan penimbangan di lakukan
sebanyak 1 kali untuk mendapatkan hasil yang konstan (Darmasih, 1997).

Hasil yang diperoleh dari praktikum ini adalah kadar lemak dari sampel yang
di dapatkan melalui rumus. Kadar lemak diperoleh melalui selisih berat labu lemak
akhir dikurangi berat labu lemak awal dikurangi lagi dengan berat batu didih, dibagi
dengan berat sampel kemudian dikalikan 100%. Dari hasil pengujian kadar lemak
tempe pan frying dengan kode sampel P1 ini didapat bahwa persentase kadar lemak
nya adalah 54,42% per ±2 gram. Dapat kita analisis bahwa kadar lemak yang diperoleh

17
dari tempe yang digoreng menggunakan pan frying (P1) cukup banyak karena
Penyerapan minyak pada tempe menempel pada labu kosong mencapai 54,42%
dengan sampel ±2 gram. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Radiati dan Sumarto
(2016) kandungan lemak pada tempe kedelai yaitu sebesar 50% untuk 50 gram tempe
goreng.

Sedangkan pada deep frying dengan kode sampel D1 dapat kita analisis
berdasarkan persentase kadar lemak yang diperoleh dari tempe yang digoreng
menggunakan deep frying ini melebihi batas 100%. Persentase kadar lemak yang
didapat dari pengujian ini adalah 124,5 %. Apabila kita analisis bahwa sampel yang
dilakukan pengujian jumlah kadar lemaknya melebihi batas 100% hal itu disebabkan
oleh beberapa faktor, yaitu tipe persiapan sampel, waktu ekstraksi, kuantitas pelarut,
suhu pelarut, dan tipe pelarut (Muaris 2007). Oleh karena itu perbedaan hasil praktikum
dengan literatur disebabkan karena beberapa kesalahan. Kesalahan tersebut berupa
jumlah sampel yang tidak tepat, waktu pengekstraksian yang tidak tepat dan waktu
pendinginan yang tidak tepat, serta kemungkinan ada beberapa zat lain yang masih
belum terekstraksi sebagai lemak sehingga kadar lemak yang diperoleh jauh lebih
sedikit dibandingkan dengan literatur yang ada.
4.3 Uji Kadar Air menggunakan Metode Oven

Kadar air pada tempe merupakan bagian penting yang harus diperhatikan
karena kadar air dalam suatu bahan pangan mempengaruhi mutu dan kualitas bahan
pangan tersebut. Begitu juga halnya dengan tempe yang mempunyai aturan kadar air
maksimal. Pengukuran kadar air dilakukan sebanyak 4 sampel untuk setiap tempe dan
diperoleh hasil seperti yang terdapat pada tabel 4.3.1

Tabel 4.3.1 Nilai berat cawan dan berat sampel

Berat cawan Berat sampel Berat cawan &


Berat sampel setelah di
oven
Deep frying I 3,5886 Gr 3,2560 Gr 5,4284 Gr
Deep frying II 3,5809 Gr 3,0533 Gr 5,4455 Gr
Pan frying I 3,5600 Gr 3,2560 Gr 5,6376 Gr
Pan frying II 3,6121 Gr 3,3402 Gr 5,5941 Gr

18
Berdasarkan Tabel 4.3.1 diketahui bahwa perlakuan perbedaan jenis teknik
penggorengan yang menggunakan deep frying dan pan frying berpengaruh signifikan
terhadap kadar air pada tempe goreng. Sesuai dengan jenis penggorengannya data
pada tabel, dari semua sampel yang memiliki nilai paling berat terdapat pada pan frying
I, yaitu dengan nilai 5,6376 Gr, namun untuk melihat persentase kadar air dalam
sampel dapat menggunakan rumus :

(𝐵𝑆+𝐵𝐶)−𝐵𝐾
Kadar Air = X 100%
𝐵𝑆

Ket: BS = Berat Sampel

BC= Berat Cawan

BK= Berat Keduanya


(3,2560+3,5886)−5,4284
 Deep frying I = X 100%
3,2560
= 43,49 %

(3,0533 +3,5809)−5,4455
 Deep frying II = X 100%
3,0533
= 39,94 %

(3,2560+3,5600 )−5,6376
 Pan frying I = X 100%
3,2560

= 36,19 %

(3,3402 +3,6121 )−5,5941


 Pan frying II = X 100%
3,3402

= 40,66 %

Tabel 4.3.2 Hasil Analisis Kadar Air

Sampel Berat sebelum Berat sesudah (%) kadar air


dikeringkan dikeringkan
Deep frying I 3,2560 Gr 5,4284 Gr 43,49 %
Deep frying II 3,0533 Gr 5,4455 Gr 39,94 %
Pan frying I 3,2560 Gr 5,6376 Gr 36,19 %
Pan frying II 3,3402 Gr 5,5941 Gr 40,66 %

19
Tabel di atas memperlihatkan data bahwa kadar air dalam tempe di bawah 60%.
Nilai ini memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) 3114: 2009 tentang tempe, yakni
maksimal 65%. Kadar air yang relatif tinggi tersebut menjadikan tempe sebagai salah
satu jenis pangan yang cukup rawan ditumbuhi mikroorganisme lain, seperti bakteri
yang dapat menimbulkan kerusakan pangan. (Radiati, 2016)

Dari data perhitungan diatas maka didapatkan nilai persentase kandungan air
tertinggi terdapat pada sampel deep frying I dengan nilai persentase mencapai 43,49%.
Menurut Suarni dan Firmansyah (2005), kadar air kedelai sebesar 13 % dan kadar air
jagung sebesar 10,2%. Begitu pula dengan kedelai yang akan mengalami hidrasi
terutama pada saat perendaman dan perebusan sehingga berat kedelai dapat
meningkat karena air akan mudah berdifusi ke dalam dinding sel kedelai. Hal tersebut
menyebabkan perbedaan antara kadar air awal dan kadar air akhir pada masing-
masing bahan.

Persyaratan kadar air tidak dapat dipenuhi oleh sampel dikarenakan sampel
mempunyai kadar air yang lebih tinggi dari persyaratan dalam standar. Hal ini
dimungkinkan dikarenakan kelembaban udara pada saat fermentasi terlalu tinggi atau
dapat juga dikarenakan proses perebusan kedelai yang terlalu lama. Akibat dari hal ini
adalah tempe akan cepat rusak. Oleh karena itu, pengaturan suhu udara dan lamanya
waktu perebusan sangat diperlukan untuk mengatur nilai kadar air dari tempe yang
dihasilkan. Pengaturan suhu dan kelembaban ini dengan alat ukur suhu (thermometer)
dan kelembaban (hygrometer) yang diletakkan di ruangan fermentasi sehingga
temperatur dan kelembaban udara dapat terpantau dengan baik.

20
BAB V

KESIMPULAN

Berdasarkan dari hasil praktikum frying tempe yang sudah dilakukan, dapat
disimpulkan bahwa dalam pengujian organoleptik dengan menggunakan uji hedonik
dari segi tekstur panelis agak suka dengan tekstur pada tempe. Tektur pada tempe
tersebut agak keras. dari segi warna panelis suka dengan warna pada tempe. Warna
pada tempe tersebut putih bersih, sedangkan dari segi aroma panelis sangat suka
dengan aroma pada tempe, dan dari segi bentuk panelis suka dengan bentuk pada
tempe.

Dari hasil pengujian kadar lemak tempe pan frying dengan kode sampel P1 ini
didapat bahwa persentase kadar lemak nya adalah 54,42% per ±2 gram. Dapat kita
analisis bahwa kadar lemak yang diperoleh dari tempe yang digoreng menggunakan
pan frying (P1) cukup banyak karena Penyerapan minyak pada tempe menempel pada
labu kosong mencapai 54,42% dengan sampel ±2 gram, Sedangkan pada deep frying
dengan kode sampel D1 dapat kita analisis berdasarkan persentase kadar lemak yang
diperoleh dari tempe yang digoreng menggunakan deep frying ini melebihi batas 100%.
Persentase kadar lemak yang didapat dari pengujian ini adalah 124,5 %.

Perlakuan perbedaan jenis teknik penggorengan yang menggunakan deep frying


dan pan frying berpengaruh signifikan terhadap kadar air pada tempe goreng. Kadar air
dalam tempe di bawah 60%. Nilai ini memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI)
3114: 2009 tentang tempe, yakni maksimal 65%. Nilai persentase kandungan air
tertinggi terdapat pada sampel deep frying I dengan nilai persentase mencapai 43,49%.
Menurut Suarni dan Firmansyah (2005), kadar air kedelai sebesar 13 % dan kadar air
jagung sebesar 10,2%.

21
DAFTAR PUSTAKA

Kurniawan, N. D. (2019). Kadar Lemak , Kadar Air , Kadar Protein , Dan Antioksidan
Tempe Edamame (Glycine max (L) Merrill) Dengan Jenis Pengemas Yang
Berbeda. Jurnal Teknologi Pangan, 3(2), 2009–2012.

Laksono, A. S., Marniza, & Rosalina, Y. (2019). Karakteristik Mutu Tempe Kedelai Lokal
Varietas Anjasmoro Dengan Variasi Lama Perebusan Dan Penggunaan Jenis
Pengemas. Jurnal Agroindustri, 9(1), 8–18.

Marlina, O. (2014). Laporan praktikum analisis pangan uji kadar air bahan pangan.

Pargiyanti, P. (2019). Optimasi Waktu Ekstraksi Lemak dengan Metode Soxhlet


Menggunakan Perangkat Alat Mikro Soxhlet. Indonesian Journal of Laboratory,
1(2), 29. https://doi.org/10.22146/ijl.v1i2.44745

Pertanian, S. T., Hasil, J. T., Teknologi, P. F., & Brawijaya, P. U. (n.d.). KORELASI
KADAR PROTEIN DAN LEMAK TERHADAP CITA RASA TEMPE KEDELAI (
Glycine max L .) GORENG YANG BEREDAR DI KOTA MALANG CORRELATION
OF PROTEIN AND FAT LEVELS ON FLAVOR OF FRIED SOYBEAN TEMPEH (
GLYCINE MAX L .) CIRCULATING IN MALANG CITY.

Rahim, J. M., Barat, D. P., & Botupingge, K. (2021). Journal of Agritech Science, Vol 5
No 1, Mei 2021 TINGKAT PENERIMAAN ORGANOLEPTIK DAN DAYA MEKAR
KERUPUK JAMUR TIRAM PUTIH DENGAN PENAMBAHAN TEMPE (. 5(1), 36–
40.

Resnyanskaya, E. V., Tverdokhlebov, A. V., Tolmachev, A. A., & Volovenko, Y. M.


(2005). Synthesis of 5-amino-4-(4-aryl-2-thiazolyl)-2,3-dihydro-2-pyrrolones.
Russian Journal of Organic Chemistry, 41(2), 257–260.
https://doi.org/10.1007/s11178-005-0153-7

Kristiningrum, E., & Susanto, A. (2015). 3144 : 2009 Soybean Tempeh Producers
Capability in Implementing SNI 3144 : 2009. Jurnal Standardisasi, 16(2), 99–108.
Snacks, V. H., Pudjihastuti, I., Sumardiono, S., Nurhayati, O. D., Yudanto, Y. A.,
Rekayasa, T., Industri, K., Vokasi, S., Diponegoro, U., Teknik, J., Fakultas, K.,
Diponegoro, U., Sistem, J., Fakultas, K., Universitas, T., Rekayasa, T., Industri, K.,
Vokasi, S., & Diponegoro, U. (n.d.). Pengaruh Perbedaan Metode Penggorengan
Terhadap Kualitas Fisik dan Organoleptik Aneka Camilan Sehat. 450–454.

22
LAMPIRAN

(Uji Organoleptik)

23
(Uji Kadar Air)

24
(Uji Kadar Lemak)

25
LAMPIRAN

1. UJI ORGANOLEPTIK

26
2. UJI KADAR AIR

27
3. UJI KADAR AIR

28

Anda mungkin juga menyukai