Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH TEKNOLOGI DAN MODIFIKASI KARBOHIDRAT

“Aplikasi Kitosan Cangkang Bekicot (Achatina fulica F) Pada Tahu Putih


Terhadap Organoleptik, Bobot Susut, Dan Lama Simpan”

DISUSUN OLEH KELOMPOK II

VERONIKA PATO (G30119045) AHMAD HASBI (G30119006)


SHARA AULIA RAMADANI (G30119039) MUTIARA ZALFA RISKI (G30119016)
YUNIANTY INDAR SARI (G30119011) NURHIDAYAT (G30119020)
AZIS SUCIPTO (G30119028) ANGGI MARSELA (G30119022)
RAHMATIA PUTRI (G30119064) INTAN FELICIA (G30119024)
NUR HAFIDZAH (G30119021) FEBRIANTI SIAMO (G30119032)
SRI YANTI SY. LABOKO (G30119062) RESTI CANTIKA (G30119043)
ABDUL THALIB (G30119033) LILIS PERMATA SARI (G30119053)
AAN TRI SURYA RAHMAN (G30119068)

PROGRAM STUDI KIMIA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU

2021

i
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat serta karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “Aplikasi Kitosan Cangkang Bekicot (Achatina fulica F) Pada Tahu
Putih Terhadap Organoleptik, Bobot Susut, Dan Lama Simpan” dengan sebaik-
baiknya.Makalah ini kami buat untuk memenuhi tugas mata kuliah Teknologi dan
Modifikasi Karbohidrat.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, maka dari itu
kami berharap agar para pembaca memberikan saran dan kritik yang sifatnya
membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih dan mohon maaf apabila dalam
penulisan masih terdapat kalimat-kalimat yang kurang dapat dipahami agar menjadi
maklum dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh kalangan yang
membutuhkan terutama kepada para Mahasiswa.

Palu, Maret 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL............................................................................... i
KATA PENGANTAR................................................................................ ii
DAFTAR ISI............................................................................................... iii
BAB I. PENDAHULUAN........................................................................ 1
1.1 Latar Belakang........................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................... 2
1.3 Tujuan..................................................................................... 2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA............................................................... 3
2.1 Tahu........................................................................................ 3
2.2 Bekicot.................................................................................... 3
2.3 Kitosan.................................................................................... 5
2.4 Pemanfaatan Kitosan dari Cangkang Bekicot........................ 5
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN............................................... 7
3.1 Alat.......................................................................................... 7
3.2 Bahan...................................................................................... 7
3.3 Metode.................................................................................... 7
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.................................................. 9
4.1 Hasil......................................................................................... 9
4.2 Pembahasan ............................................................................ 10
BAB V. PENUTUP..................................................................................... 11
5.1 Kesimpulan.............................................................................. 11
5.2 Saran........................................................................................ 11
DAFTAR PUSTAKA

iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Tahu merupakan salah satu produk olahan kedelai yang paling disukai.
Tahu diperoleh dengan jalan memekatkan protein kedelai dan mencetaknya
melalui proses pengendapan protein dengan atau tanpa penambahan unsur-
unsur lain yang diijinkan. Produk tahu biasanya berbentuk kotak dan kenyal
dalam keadaan basah.Tahu adalah makanan yang sering ditemui di Indonesia..
Berdasarkan data BPS tahun 2015 rata-rata konsumsi tahu perkapita dalam
seminggu sebanyak 0,144 kg, dan tempe 0,134 kg. Data tersebut menunjukkan
tahu lebih diminati dibandingkan dengan tempe. Sehingga konsumen akan lebih
mudah untuk memperoleh tahu. Tahu memiliki kadar air sebesar 86-89% yang
tinggi sehingga cepat mengalami kerusakan dan umur simpan yang pendek.
Terkait daya simpan tahu yang terbatas, terdapat oknum yang menggunakan
formalin atau boraks untuk mengawetkan tahu.Penggunaan formalin bertujuan
agar tahu kenyal, awet tidak mudah membusuk dan mampu bertahan sampai
kurang lebih 7 hari sehingga tahan terhadap mikroba pembusuk (Saptarini et al,
2011).Bahan tersebut tidak tepat jika digunakan sebagai pengawet pada tahu
apalagi jika dikonsumsi berlebihan bisa mengakibatkan dampak serius bagi
kesehatan.Apalagi bahan tersebut banyak oknum yang memanfaatkan untuk
dijadikan pengawet pada tahu, mie, dan ikan asin (Saptarini et al, 2011).
Pemerintah indonesia serta badan pengawas obat dan makanan (POM)
melarang keras untuk penggunaan bahan formalin ke dalam makanan dan obat.
Namun konsumen sulit untuk membedakan tahu yang diberi formalin maupun
yang tidak diberi formalin.Cirinya mudah menurut Wahyono (2017) tahu tanpa
pengawet memiliki morfologi cepat rusak, dan mampu bertahan selama 1-2 hari
saja. Namun tahu yang diberi formalin produsen tanpa menyadari akan bahaya
tahu tersebut bagi kesehatan dan konsumen membeli tahu dengan harga

1
yangmurah tanpa melihat kualitas tahu.Oleh karena itu, perlu adanya teknologi
pemanfaatan biomaterial alam yaitu kitosan cangkang bekicot.
Kitosan cangkang bekicot mulai dilirik oleh peneliti salah satunya di
Indonesia.Penelitian Umarudin et al (2019) kitosan asal cangkang bekicot
sebagai antibakteri. Umarudin et al (2020) kitosan cangkang bekicot pada
kosentrasi 700 ppm dapat mengawetkan cabai merah selama 33 hari lebih awet
jika dibandingkan dengan kontrol tanpa kitosan cangkang bekicot.Pada
umumnya kitosan memiliki morfologi berbentuk padatan, warna putih, tidak
toksik, ada aroma khas, dan memiliki sifat antibakteri (Paul et al., 2014;
Umarudin et al., 2019).Selain itu juga pemanfaatan kitosan juga berguna baik
untuk industri tekstil, pengobatan, makanan, dan degradasi limbah logam berat
(Pujari & Pandharipande., 2016; Uthairatanakij, et al., 2007).Penelitian
Damayanti et al (2016) bahwa kemampuan kitosan dapat memperlama umur
simpan fillet ikan patin selama 11 hari.
Melihat potensi yang dimiliki oleh kitosan maka hal yang melatar
belakangi penelitian ini yaitu dengan memanfaatkan potensi kitosan cangkang
bekicot yang diaplikasikan pada tahu putih terhadap organoleptik, bobot susut,
dan lama simpan.

1.2 RumusanMasalah
Adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimana cara
pengaplikasian kitosan cangkang bekicot (Achanita fulica) pada tahu putih
terhadap organoleptik, bobot susut, dan lama simpan?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengaplikasikan kitosan
cangkang bekicot (Achatina fulica) pada tahu putih terhadap organoleptik,
bobot susut dan lama simpan.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tahu
Tahu adalah makanan dari kedelai putih yang digiling halus, direbus dan
dicetak.Tahu merupakansalah satu makanan sumber protein yang banyak
dikonsumsi oleh masyarakat.Kandungan protein nabati yang tinggi pada
tahudianggap dapat menggantikan protein hewani.Tahu merupakan produk
makanan yang rentan rusak karena mengandung kadar air tinggi mencapai 85%.
Pada umumnya, tahu diproduksi dalam jumlah banyak.Akan tetapi, dalam
penjualan tahu tersebut belum tentu habis seluruhnya.Tahu bersifat mudah
rusak.Pada kondisi normal (suhu kamar), daya tahan tahu selama 1 hari saja.
Setelah lebih dari sehari, rasa tahu akan menjadi asam dan terjadi perubahan
warna, aroma dan tekstur sehingga tidak layak untuk dikonsumsi (Brandanda,
2013). Terkait daya simpan tahu yang terbatas, terdapat oknum yang
menggunakan formalin atau boraks untuk mengawetkan tahu.Oleh karena itu,
perlu adanya teknologi pemanfaatan biomaterial alam yaitu kitosan cangkang
bekicot sebagai pengganti bahan formalin.
Tahu mengandung air 86 %, protein 8-12%, lemak 4-6% dan karbohidrat
1-6%. Tahu juga mengandung berbagai mineral seperti kalsium, zat besi, fosfat,
kalium, natrium serta vitamin seperti kolin, vitamin B dan vitamin E.
Kandungan asam lemak jenuhnya rendah dan bebas kolesterol (Santoso, 2005).

2.2 Bekicot
Bekicot merupakan hewan lunak (mollusca) dari kelas gastropoda.Bekicot
menurut jenisnya dapat dibedakan menjadi empat yaitu Achatina variegata,
Achatina fulica, Helix pomatia dan Helix aspersa sedangkan di Indonesia hanya
terdapat jenis Achatina variegata dan Achatina fulica.Bekicot di Indonesia telah
dibudidayakan sebagai sumber protein dan menjadi komoditas ekspor.Ekspor

3
bekicot ke Perancis pada tahun 1986 baru mencapai 1.212 ton, sedangkan pada
tahun 1990 naik menjadi 11.000 ton (Koswara, 2002). Besarnya pertumbuhan
perdagangan ini menyebabkan timbulnya limbah cangkang bekicot dalam
jumlah yang cukup besar.
Bekicot banyak dimanfaatkan untuk makanan manusia sebagai sumber
protein (dikenal sebagai Escargot) di Eropa, Asia dan Afrika karena
mempunyai banyak daging dan mengandung banyak asam amino
esensial.Selain dapat dimanfaatkan untuk makanan tambahan bagi ternak
seperti itik dan ayam, bekicot juga banyak dipakai untuk obat
tradisional.Daging dan lendirnya mujarab untuk pengobatan abortus, sakit saat
menstruasi, gatal-gatal, jantung, sakit gigi, dan radang selaput mata.Sedangkan
cangkangnya mujarab untuk obat tumor.Maulie, adalah obat dari cangkang
bekicot untuk mengobati kekejangan, jantung berdebar, insomania, keputihan
dan leher bengkak (Prihatman, 2000). Cangkang bekicot banyak mengandung
senyawa-senyawa antara lain protein, lemak, air, kitin dan mineral-mineral
seperti kalsium, kalium, magnesium, besi, seng dan mangan (Aboua, F., 1990).
Bekicot (Achatina fulica) termasuk keong darat yang pada umumnya
mempunyai kebiasaan hidup di tempat lembab dan aktif di malam hari
(nocturnal). Hewan ini memakan berbagai tanaman budidaya, oleh karena itu
bekicot termasuk salah satu hama bagi tanaman (Prahasta, 2013). Banyaknya
tanaman yang mati menyebabkan petani menggunakan pestisida untuk
membasmi hama ini, sehingga hewan ini mati dan meninggal kan cangkangnya
Menurut Prihatman, 2000 Pemanfaatan limbah cangkang bekicot di Indonesia
belum optimal, biasanya hanya dipakai sebagai bahan campuran makanan
ternak, seperti itik dan ayam. Bekicot mengeluarkan zat seperti lendir untuk
memudahkan mereka bergerak secara lebih halus dan aman dari berbagai
bentuk permukaan (terutama permukaan kasar dan tajam) (Hoffman dkk.,
2014). Bekicot adalah hewan nokturnal serta memiliki 2 pasang tentakel pada
kepalanya (sepasang tentakel atas yang memiliki mata dan sepasang tentakel
bawah yang memiliki organ penciuman) (Nurhadi dan Ferbi, 2018). Bekicot

4
adalah hewan herbivora (utamanya folivore dan frugivore) yang memakan
hampirsemua bagian tanaman, yaitu daun, kulit kayu, biji, batang,
kacangbunga, lumut ganggang dan jamur jamuran (Hoffman dkk., 2014).
Cangkang bekicot keras, berbentuk kerucut, bewarna kuning kecoklatan
dengan garis-garis memanjang coklat tua ataupun coklat kehitaman.Bekicot
berdaging lunak dengan warna coklat kehitaman dan terdapat antena pada
kepalanya (Pitojo, 2006).

2.3 Kitosan
Menurut Balley, et al, (1997), kitosan merupakan senyawa dengan rumus
kimia poli(2-amino-2-dioksi-β-D-Glukosa) yang dapat dihasilkan dengan
proses hidrolisis kitin menggunakanbasa kuat. Saat ini terdapat lebih dari 200
aplikasi darikitin dan kitosan serta turunannya di industri makanan,pemrosesan
makanan, bioteknologi, pertanian, farmasi,kesehatan dan lingkungan.

Kitosan adalah suatu polisakarida berbentuk linier yang terdiri dari


monomer N-asetilglukosamin (GlcNAc) dan D-glukosamin (GlcN). Bentukan
derivatif deasetilasi dari polimer ini adalah kitin. Kitin adalah jenis polisakarida
terbanyak ke dua di bumi setelah selulosa dan dapat ditemukan pada
eksoskeleton invertebrata dan beberapa fungi pada dinding selnya. Kitosan
memiliki bentuk yang unik dan memiliki manfaat yang banyak bagi pangan,
agrikultur, dan medis. Namun, untuk melarutkan kitosan ini cukup sulit karena
kitosan dapat larut apabila dilarutkan pada asam dan viskositas yang tinggi.
(Shahidi et al, 1999).Kitosan memiliki sifat dan kegunanaan diantaranya secara

5
kimiawi, merupakan polimer poliamin berbentuk linear. Mempunyai 3 gugus
fungsional yaitu gugus amino, gugus hidroksil primer, gugus hidroksil sekunder
(dalam ProdukSuper-ChitoFarm & Super-ChitoFood gugusan ini bekerja
dengan fungsinya masing-masing sebagai anti bakteri dan jamur, penarik unsur
hara makro dan mikro, biokatalis fotosintesis, dll). Mempunyai kemampuan
mengkhelat beberapa logam. Secara biologis bersifat biokompatibel artinya
sebagai polimer alami yang sifatnya tidak mempunyai efek samping, tidak
beracun, tidak dapat dicerna, mudah diuraikan oleh mikroba (Super-ChitoFarm
& Super-ChitoFood)Dapat berikatan dengan sel mamalia dan mikroba secara
aktif. Bersifat hemostatik, fungistatik, spermisidal, antitumor, antikolesterol.
Bersifat sebagai depresan pada system saraf pusat. Mampu meningkatkan
pembentukan tulang dan sendi (glukosamin kitosan). Kitosan merupakan bahan
kimia alami yang multiguna berbentuk lembaran tipis, tidak berbau, tidak
berasa, berwarna putih sampai agak kuning (Widodo, 2005).
Kitosan mempunyai sifat antimikrobia melawan jamur lebih kuat dari kitin.
Jika kitosan ditambahkan pada tanah, maka akan menstimulir pertumbuhan
mikrobia mikrobia yang dapat mengurai jamur. Selain itu kitosan juga dapat
disemprotkan langsung pada tanaman.Sifat kitin dan kitosan dapat mengikat air
dan lemak. Karena sifatnya yang dapat bereaksi dengan asam-asam seperti
polifenol, maka kitosan sangat cocok untuk menurunkan kadar asam pada buah-
buahan, sayuran dan ekstrak kopi. Kitosan mempunyai sifat polikationik,
sehingga dapat dimanfaatkan sebagai agensia penggumpal. Menurut Widodo
(2005) perbedaan antara kitin dan kitosan didasarkan pada kandungan
nitrogennya. Bila nitrogen kurang dari 7%, maka polimer disebut kitin dan
apabila kandungan total nitrogennya lebih dari 7% maka disebut kitosan.

2.4 Pemanfaatan Kitosan dari Cangkang Bekicot


Kitosan cangkang bekicot dapat diaplikasikan pengganti bahan formalin,
karena kitosan memiliki sifat sebagai bakterisidal dan sekaligus melapisi
produk yang diawetkan sehingga produk yang diawetkan dapat memperlama

6
umur simpan (Hardjito, 2006).Kitosan merupakan turunan dari kitin.Kitin
cangkang bekicot sebesar 20-50% (Victor et al, 2016).Kitin merupakan urutan
ke 2 setelah selulosa (Cauchie, 2002).Kitin yang terdapat pada cangkang.
Cangkang bekicot selama ini belum diolah sama sekali tidak termanfaatkan.
Padahal didalam cangkang tersebut terdapat kandungan kitosan (Victor et al,
2016).
Cangkang bekicot yang mempunyai kandungan kitin tersebut dapat
diproses lebih lanjut menghasilkan kitosan yang mempunyai banyak manfaat di
bidang industri. Kitosan merupakan biopolimer yang banyak digunakan di
berbagai industri kimia, antara lain dipakai sebagai koagulan dalam pengolahan
limbah air, bahan pelembab, pelapis benih yang akan ditanam, adsorben ion
logam, anti kanker/ anti tumor, anti kolesterol, komponen tambahan pakan
ternak, sebagai lensa kontak, pelarut lemak, dan pengawet makanan (Mekawati
2000; Hargono dan Djaeni 2003).

7
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Alat
Adapun alat yang diperlukan untuk penelitian ini adalah timbangan
analitik (acis), beaker glass (Iwaki), pengaduk kaca (lokal), termometer,
magnetic stirrer, hotplate (Thermo Scientific), gelas ukur (Iwaki), erlenmeyer
(Pyrex), gelas arloji (Supertek), refluks (Iwaki), soxhlet dan desikator.

3.2 Bahan
Adapun bahan penelitian yang digunakan adalah aquades (SIP) 5 liter,
cangkang bekicot (Achatina fulica F.), tahu putih 2 kg, NaOH (SAP) 1 M 3
liter, NaOH (Tjiwi) 98% 250 gram, HCL (Lipi) 500 ml, H2O2 3% 200 ml dan
larutan Asam Asetat 40%.

3.3 Metode
Adapun metode penelitian yang digunakan yaitu, tahap pertama isolasi
kitosan cangkang bekicot dilakukan dengan 4 tahapan.Tahapan pertama yaitu
deproteinasi yang direaksikan dengan NaOH 1 M, tahap kedua demineralisasi
yang direaksikan dengan HCl 1 N, tahap ketiga depigmentasi yang direaksikan
dengan H2O2 3%, dan tahap keempat deasetilasi yang direaksikan dengan
NaOH 60 % (Umarudin et al 2020).Kitosan yang telah diperoleh dilakukan uji
mutu kitosan selanjutnya dibuat seri pengenceran 1%, 1,5%, dan 2%.Tahap
kedua mencelupkan tahu putih dengan penambahan konsentrasi kitosan
sebanyak 1 %, 1,5 %, 2 %, aquadest, dan kontrol asam asetat 1% dan di angin-
anginkan setelah itu pengamatan nilai organoleptik, bobot susut, dan lama
simpan. Adapun prosedur nilai organoleptik terlihat dibawah ini. Penilain
organoleptik tahu putih yang diamati adalah warna dan tekstur dengan dengan
uji hedonik. Uji hedonik dilakukan oleh 15 panelis secara random dengan

8
usiadiatas 17 tahun dan tidak buta warna dengan tujuan untuk memberikan
penilaian mengenai kesukaan atau ketidaksukaan pada tahu putih yang telah
diberi perlakuan. Skala yang digunakan pada penelitian ini terdapat 4, yakni
skala 1 (sangat tidak diterima), 2 (tidak diterima), 3 (diterima), dan 4 (sangat
diterima).Berikut formulir uji hedonik dapat dilihat pada gambar 2.

Uji Rating Hedonik


Nama : Tanggal :
Produk : Tahu Putih Atribut : Warna/Tekstur
Intruksi
Di hadapan Anda terdapat 4 konsentrasi pengawetan tahu putih. Amatilah
warna dan tekstur masing-masing sampel secara berurutan dari kiri ke
kanan. Setelah mengamati semua sampel, anda boleh mengulang mengamati
yang anda perlukan. Kemudian berilah skor yang sesuai untuk masing-
masing sampel.
Keterangan Rating (boleh diulang) :
1 = sangat tidak diterima
2 = tidak diterima
3 = diterima
4 = sangat diterima

Kode sampel Rating


Warna Testur
Kontrol As.Asetat
Aquadest
Kitosan 1%
Kitosan 1,5 %
Kitosan 2 %

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

9
4.1 Hasil

Hari Kontrol Aquadest Kitosan Kitosan Kitosan


Asam
1% 5% 2%
Asetat
1 4 4 4 4 4
2 3,3 3,1 3,5 3,6 3,8
3 2,2 1,9 2,5 3 3,2
4 0 0 0 2,1 2,3

4.2 Pembahasan
Tahu adalah makanan yang dibuat dari kacang kedelai. Menurut Suprapti
(2005), tahu dibuat dari kacang kedelai dan dilakukan proses penggumpalan
(pengendapan). Kualitas tahu sangat bervariasi karena perbedaan bahan
penggumpalan dan perbedaan proses pembuatan. Tahu memiliki kadar air sebesar 86-
89% yang tinggi sehingga cepat mengalami kerusakan dan umur simpan yang
pendek. (Cahyadi, 2008; Waryati et al, 2019).

Pada penelitian yang telah dilakukan digunakan tahu putih, tahu putih yang
diberi kitosan 1,5% dan 2% memiliki bobot susut yang lebih jika dibandingkan
dengan control asam asetat dikarenakan kitosan mampu memberikan perlindungan

10
pada lapisan luar dinding tahu putih sehingga mampu mengurangi ranspirasi salah
satu factor yang mengurangi tingkat kebusukan tahu. (Umarudin et all, 2020).
Didukung oleh penelitian Damayanti et all (2016) dapat mengurangi kadar oksigen
dan karbon dioksida yang bisa ditekan sehingga bakteri pembusuk pada makanan
dapat ditekan secara stabil yang beerakibat bobot susut berkurang sedikit seperti
konsentrasi 2%.
Tahu digunakan karena mempunyai manfaat, yaitu tahu sarat dengan
kandungan asam folat yang bermanfaat mencegah penyakit jantung, stroke,
alzehaeimer (pikun) dan pembentukan sel darah merah. Tahu kaya akan kandungan
protein dan asam amino. Kedua zat gizi ini sangat baik untuk pembentukan,
pemeliharaan, dan perbaikan sel-sel tubuh, pembentukan anti body, dan
meningkatkan kecerdasan otak anak. Tahu juga mengandung semua asam amino
esensial dan kaya akan mineral, seperti magnesium, kalsium, dan zat besi. Zat-zat gizi
ini sangat penting untuk kesehatan syaraf, perkembangan otak dan pertumbuhan
(Anggraini dan surbakti, 2008).
Umur tahu tidak lebih dari 2 hari dikarenakan kandungan protein dan air yang
cocok untuk media pertumbuhan mikroorganisme, apabila umur tahu lebih dari itu
maka rasa tahu masam dan semakin lama akan basi yang tidak layak untuk
dikonsumsi (Annisa et al, 2017). Oleh karena itu alternatif untuk mengawetkan tahu
salah satunya menggunakan kitosan cangkak bekicot karena mengandung kitosan.
Pada umumnya kitosan memiliki morfologi berbentuk padatan, warna putih, tidak
toksik, ada aroma khas, dan memiliki sifat antibakteri sehingga dapat memperlama
masa simpan produk
Dalam ini penelitian dilakukan dengan metode rating hedonik.Rating hedonic
merupakan sebuah pengujin dalam analisa sensori organoleptic untuk mengetahui
besarnya perbedaan kualitas dengan memberikan penilaian atau skor untuk
mengetahui tingkat kesukaan dari suatu produk (Tarwendah, 2017).
Pada Tabel 1 menunjukan bahwa bobot susut tahu putih yang menunjukkan
penurunan bobot susut paling menurun pada asam asetat 1% dengan persentase
sebesar 37,25%, dan aquadest dengan persentase sebesar 32,07%, sedangkan tahu

11
yang diberi kitosan 1% persentase sebesar 29,23%, kitosan 1,5% persentase sebesar
48,44% dan kitosan 2% selama 4 persentase sebesar 44,74%. Sehingga dapat
dikatakan bahwa tahu yang diberi kitosan 2% memiliki bobot susut lebih kecil jika
dibandingkan dengan kitosan 1%, kitosan 1,5% dan kontrol asam asetat pada tahu
putih. Tahu putih kontrol asam asetat dengan nilai simpangan baku 17,64, tahu putih
yang diberi aquadest nilai simpangan baku 15,11, tahu putih yang diberi kosentrasi
kitosan cangkang bekicot 1% dengan simpangan baku 13,79%, kosentrasi 1,5%
simpangan baku 22,22, kosentrasi kitosan 2% simpangan baku 20,47. Perlakuan pada
kosentrasi 2% bobot susut lebih kecil sesuai dengan penelitian Damayanti et al
(2016).
Pada Tabel 2 menunjukkan bahwa nilai organoleptik warna kitosan 2% pada hari ke 4
tidak diterima oleh panelis dengan skor 2,3 (2 = Putih hingga putih gelap), kitosan 1,5 %
pada hari ke 4 tidak diterima oleh panelis dengan skor 2,1 (2 = Putih hingga putih gelap),
kitosan 1 % pada hari ke 3 tidak diterima oleh panelis dengan skor 2,5 (2 = Putih hingga
putih gelap), aquadest pada hari ke 3 tidak diterima oleh panelis dengan skor 1,9 (1 = Putih
kehitaman, timbul jamur), sedangkan kontrol asam asetat pada hari ke 3 tidak diterima oleh
panelis dengan skor 2,2 (2 = Putih hingga putih gelap). Hal ini menunjukkan kitosan yang
paling disukai oleh panelis adalah tahu yang diberi kitosan 1,5 % dan 2%. Berikut Gambar 3
nilai organoleptik warna.

BAB V
PENUTUP

12
3.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah, tahu putih merupakan salah
satu produk olahan yang menggunakan kedelai sebagai bahan baku utama.
Bahan baku yang dapat digunakan adalah kedelai putih yang digiling, di rebus,
dan di cetak. Tahu putih memiliki kandungan protein nabati yang tinggi, di
anggap dapat menggantikan protein hewani.akan tetapi tahu dapat rentang rusak
karena mengadung kadar air sangat tinggi mencapai 85% . Selain itu Pada
kondisi normal (suhu kamar), daya tahan tahu selama 1 hari saja. Setelah lebih
dari sehari, rasa tahu akan menjadi asam dan terjadi perubahan warna, aroma,
dan tekstur sehingga tidak layak untuk dikonsumsi. Di butuhkan bahan
tambahan lain yang dapat memperlamaumur simpan tahu putih pada suhu
ruang. Penggunaan Kitosan cangkang bekicotdapat berperan
sebagaibakterisidal dan sekaligus melapisi produk yang diawetkan sehingga
produk yangdiawetkan dapat memperlama umur simpan.Oleh karena itu, perlu
adanya teknologi pemanfaatan biomaterial alam yaitu kitosan cangkang bekicot
sebagai pengganti bahan formalin.

3.2 Saran
Adapun saran dari makalah ini ditinjau kembali dari jurnal yang kita pilih,
dimana pada jurnal tersebut masih belum mengembangkan kualitas keawetan
dari produk yang dihasilkan. Untuk kedepannya penulis mengharapkan
kemajuan dan perkembangan penelitian tersebut agar kedepannya bias ditinjau
kembali dan menyempurnakan isi dari makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Aboua, F. 1990. Tropicultura 8 (3): p121-122. http://tropical-


horticulture.org/000/052/000052821.html.

13
Balley, J.E., and Ollis, D.F. 1977. Biochemical Engineering Fundamental. Mc. Graw
Hill Kogakusha, ltd., Tokyo.

Brandanda, H.P, Terip, K, dan Herla, R., 2013, Pengaruh Konsentrasi Larutan


Kitosan Jeruk Nipis dan Lama Penyimpanan Terhadap Mutu Tahu Segar, J.Sains
USU Medan, 1: 1-7

Cahyadi, W. 2008. Analisis & Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan, Edisi 
Kedua, Sinar Grafika Offset. Jakarta : Bumi Aksara.

Damayanti, W., Rochima, E., Hasan, Z. 2016. Application of Chitosan as 


Antibacterial for Pangasius Fillet at Low Temperature Storage. Jurnal IPB. 19 
(2): 321-328.

Gempur, Santoso. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. Jakarta: 


Prestasi Pustaka

Hardjito. 2006. Aplikasi Kitosan Sebagai Bahan Tambahan Makanan dan Pengawet.


Di dalam Prosiding Seminar Nasional Kitin Kitosan. Bogor: Departemen Hasil
Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Hargono dan Djaeni, M. 2003. Khitosan dari Kulit Udang sebagai Pelarut /HPDNY.
Prosiding Teknik Kimia Indonesia. Yogyakarta. hal. MB 11.1.- MB 
11.5. Kacaribu, K. 2008.

Mekawati, Fachriyah, E. dan Sumardjo, D., 2000.  Limbah Udang (Penaeus


merguiensis). Jurnal  Sains and Matematika. FMIPA Undip. Semarang. Vol.
8(2).hal. 51-54.

Paul, S., Jayan, A., Sasikumar, S. C., Cherian, M. S. 2014. Extraction and 
Purification Of Chitosan From Chitin Isolated From Sea Prawn  (Fenneropenaeus
Indicus). Department of Biotechnology. University,  Coimbatore Tamil Nadu, India.
7 (4): 201-204

Pitojo S. 2006. Penangkaran Benih Kacang Panjang. Yogyakarta: Kanisius.

Pujari, N dan Pandharipande. S.L, 2016. International Journal Of Engineering 


Sciences & Research Technology. International Journal of Engineering 
Sciences & Research Technology. 5 (10): 334-344.

Rudolph A., Hoffman., et al. Buku Ajar Pediatri Rudolph. Jakarta :  EGC.2014: 740-
74.

14
Saptarini, N.M., Yulia,W, Usep, S. 2011. Deteksi Formalin dalam Tahu di Pasar 
Tradisional Purwakarta. Jurnal Penelitian Sains dan Teknologi. 12 (1): 37 –44.

Shahidi F, Arachchi J, Jeon YJ. 1999. Food applications of chitin and chitosans.


Trends Food Sci Technol 10:37-51

Srijanto, B. 2003. Kajian Pengembangan Teknologi Proses Produksi Kitin dan


Kitosan secara Kimiawi. Prosiding Semnas Teknik Kimia Indonesia(1): 1-5

Sugita, P., Wukirsari, T., Sjahriza, A., Wahyono, D.,(2009). Kitosan, Sumber
Biomaterial Masa Depan. Institut Teknologi Bandung Press, Bandung. Hal. 30

Umarudin, Surahmaida, Alta, R, Nigrum, S, N. 2019. Preparation, Characterization, 


And Antibacterial Of Staphylococcus aureus Activity Of Chitosan From Shell 
Of Snail (Achatina fulica F). Biota. Vol. 10 (2): 114-126.

Umarudin, Surahmaida, Irawan,. M. S. A., Amalia, A. R. 2020. Coating Using 


Gastropod (Achatina fulica F.) Shell Chitosan Of Red Chil (Capsicum annum
L.) On Length Of Shelf Life. Gorontalo Agriculture Tecnology Jurnal. 3 (1); 1- 12.

Uthairatanakij, A., Jaime, A., Silva, D. T., Obsuwan, K. 2007. Chitosan For 
Improving Orchid Production and Quality. Orchid Science and Biotechnology. 1
(1): 1-5.

Waryati, Sudolar, N.R, Miskiyah., Juniawati. 2019. Aplikasi Vinegar sebagai 


Pengawet Alami untuk Meningkatkan Umur Simpan Tahu. Jurnal Ilmiah 
Respati. 10 (1): 41-48.

Prihatman, K.(2000). Budidaya Bekicot (Achatina spp.), Jakarta; TTG BEh ganti
disitu 2002 ubah jdi 2000

Wahyono, B.A., Hersoelistyorini, W., Suyanto, A. 2017. Identification of Formalin


Use  on White Tofu in Kedungmundu and Randusari Market of Semarang. Artikel 
Ilmiah. 1(1): 1-11.

Widodo, A. 2005. Potensi Kitosan dari Sisa Udang sebagai Koagulan Logam Berat 
Limbah Cair Industri Tekstil. Jurusan Teknik Kimia Institut Teknologi Sepuluh
November, Surabaya. 76 hlm.

15
16
17

Anda mungkin juga menyukai