Dosen Pengampu :
Disusun Oleh :
KELOMPOK 12
UNIVERSITAS JAMBI
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah swt yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada
penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah ini berisikan informasi tentang
“Bahan Tambahan Pangan”. Diharapkan Makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita
semua.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Fitry Tafzi, S.TP., M.Si., selaku
dosen pengajar mata kuliah Bahan Tambahan Pangan Universitas Jambi yang telah membimbing
penulis dapat menyelesaikan ini dengan baik.
Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca, serta penulis juga
menyadari bahwa makalah ini sendiri jauh dari kata kesempurnaan, untuk itu penulis meminta
maaf dan menerima saran serta kritik yang bersifat membangun demi kebaikan penulis sendiri.
Akhir kata, penulis mengucapakan terima kasih.
Penulis sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga kritik dan
saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi sempurnanya makalah ini.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii
BAB I.........................................................................................................................................1
PENDAHULUAN......................................................................................................................1
1. 1 Latar Belakang.............................................................................................................1
1. 2 Rumusan Masalah.......................................................................................................2
1. 3 Tujuan..........................................................................................................................2
BAB II........................................................................................................................................3
PEMBAHASAN........................................................................................................................3
2. 1 Pengertian Bahan Tambahan Pangan..........................................................................3
2. 2 Pengertian Crackers.....................................................................................................5
2. 3 Komposisi Crackers Unibis dan Crackers Hatari........................................................7
2. 4 Jenis Bahan Tambahan Pangan...................................................................................7
2.4.1 Crackers Unibis....................................................................................................7
2.4.2 Crackers Hatari...................................................................................................12
2. 5 Fungsi Bahan Tambahan Pangan..............................................................................15
2.5.1 Crackers Unibis..................................................................................................15
2.5.2 Crackers Hatari...................................................................................................20
2. 6 Regulasi atau Keamanan Bahan Tambahan Pangan.................................................24
2.6.1 Crackers Unibis..................................................................................................24
2.6.2 Crackers Hatari...................................................................................................28
2. 7 Metabolisme Bahan Tambahan Pangan Pada Tubuh................................................30
2.7.1 Crackers Unibis..................................................................................................30
2.7.2 Crackers Hatari..................................................................................................32
BAB III....................................................................................................................................35
PENUTUP................................................................................................................................35
3. 1 Kesimpulan................................................................................................................35
3. 2 Saran..........................................................................................................................35
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................36
BAB I
PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
Bahan tambahan pangan secara umum adalah bahan yang biasanya tidak digunakan
sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komponen khas makanan, mempunyai atau
tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahkan kedalam makanan untuk
teknologi pada pembuatan, pengolahan penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, dan
penyimpanan (Cahyadi, 2006).
Bahan Tambahan Pangan (BTP) menurut Permenkes 722, 1988 adalah bahan yang
biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan ingredien khas
makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahkan ke
dalam makanan untuk maksud teknologi (termasuk organoleptik) pada pembuatan, pengolahan,
penyiapan, perlakuan, pegepakan, pengemasan, penyimpanan, atau pengangkutan makanan
untuk menghasilkan atau diharapkan menghasilkan (langsung atau tidak langsung) suatu
komponen atau mempengaruhi sifat khas makanan tersebut (Viana, 2012)
Menurut Cahyadi (2009), tujuan penggunaan BTP adalah dapat meningkatkan atau
mempertahankan daya simpan, meningkatkan kualitas pangan, membuat makanan menjadi lebih
baik dan menarik. Pada umumnya bahan tambahan pangan dapat dibagi menjadi dua golongan
besar yaitu sebagai berikut.
Bahan Tambahan Makanan atau Bahan Tambahan Pangan adalah bahan yang
ditambahkan ke dalam makanan untuk mempengaruhi sifat ataupun bentuk makanan. Bahan
tambahan makanan itu bisa memiliki nilai gizi tetapi dapat juga tidak memiliki nilai gizi.
Menurut ketentuan yang telah ditetapkan ada beberapa kategori bahan tambahan makanan, (1)
Bahan tambahan makanan yang bersifat aman dengan dosis yang tidak dibatasi, misalnya pati.
(2) Bahan tambahan makanan yang digunakan dengan dosis tertentu dan dengan dosis
maksimum penggunaannya juga telah ditetapkan. (3) Bahan tambahan yang aman dan dalam
dosis yang tepat serta telah mendapatkan izin beredar dari instansi yang berwenang
(Widyaningsih, 2006).
2.2 Pengertian Crackers
Crackers merupakan salah satu biskuit yang terbuat dari tepung, lemak dan garam, yang
difermentasi dengan yeast, dan adonan dibuat berlapis-lapis, kemudian dipotong dan dipanggang
(Manley,1983)
Crackers hampir sama dengan biskuit yang lainya, hanya saja crackers tidak
menggunakan gula yang terlalu banyak (bahkan untuk jenis crackers tertentu tidak menggunakan
gula) dan tanpa susu maupun telur sama sekali. Ada beberapa jenis modifikasi crackers,
misalnya Sandwich Crackers, Rich Crackers, Cheese Crackers, Cream Crackers dan lain-lain
(Manley, 1983).
Crackers adalah salah satu produk makanan yang terbuat dari tepung terigu. Crackers
banyak ditemukan di pasar dalam bermacam-macam bentuk dan rasa. Seperti halnya biskuit
sebagian crackers yang ada di pasar menggunakan bahan baku terigu dari gandum. Akan tetapi
crackers dan biskuit memiliki beberapa perbedaan yaitu crackers tidak menggunakan telur
sedangkan biskuit menggunakan telur sebagai bahan tambahan dan sebelum dicetak adonan
crackersdifermentasi sedangkan biskuit tidak difermentasi (Ferazuma, dkk. 2011).
Crackers merupakan produk yang tidak membutuhkan pengembangan, maka tepung yang
digunakan adalah tepung protein rendah. Tujuannya agar produk yang dihasilkan renyah dan
tidak keras (Matz, 1992). Kualitas crackers dapat diukur melalui sifat kimia yang menentukan
zat gizi, sifat fisik meliputi tekstur dan warna, serta sifat organoleptik yang menentukan
penerimaan crackers terhadap konsumen (Fridata, dkk., 2014).
Menurut Manley (1983) bahan-bahan pembuat crackersterdiri atas 1) Bahan yang
berfungsi sebagai bahan pembuat adonan yang kompak yaitu tepung, air dan garam; 2) Bahan-
bahan yang berfungsi sebagai pelembut tekstur yaitu gula dan lemak; dan 3) bahan yang
berfungsi sebagai agen pengembang (leaving agent) seperti baking soda. Selanjutnya bahwa
crackers dibuat dari campuran tepung dengan lemak yang cukup tetapi sedikit air dan gula
bahkan kadang ladang tanpa penambahan gula.
Dalam SNI. 01.2973.1992 biscuit adalah produk makanan kering yang dibuat dengan
memanggang adonan yang mengandung bahan dasar terigu, lemak, dan bahan pengembang
dengan atau tanpa penambahan bahan makanan tambahan lain yang di ijinkan. Biscuit dapat
dikelompokkan menjadi beberapa yaitu:
a. Biscuit Keras
Biscuit keras adalah jenis biscuit yang dibuat dari adonan keras,berbentuk pipih, bila dipatahkan
penampang potongannya bertekstur padat, dan dapat berkadar lemak tinggi atau rendah.
b. Biscuit crackers
Crackers adalah jenis biscuit yang dibuat dari adonan keras, melalui proses fermentasi atau
pemeraman, berbentuk pipih yang rasanya mengarah ke asin dan renyah, dan serta bila
dipatahkan penampang potongannya berlapis-lapis.
c. Cookies
Cookies adalah jenis biscuit yang dibuat dari adonan lunak,berkadar lemak tinggi, dan bila
dipatahkan penampang potongannyabertekstur kurang padat.
d. Wafer
Wafer adalah jenis biscuit yang dibuat dari adonan cair, berpori - pori kasar, renyah, dan bila
dipatahkan penampang potongannya berongga-rongga.
Biskuit crackers adalah produk makanan kering yang dibuat dengan cara memnggang
adonan yang mengandung bahan dasar tepung terigu, lemak dan bahan pengembang dengan atau
tanpa penambahan bahan tambahan lain yang diizinkan Crackers memiliki ciri utama berupa
teksturnya yang renyah Kerenyahan dipengaruhi oleh adanya sejumlah air terikat pada matriks
karbohidrat yang mempengaruhi pergerakan relatif dari daerah kristalin dan amorf (Friska,
2002).
2.3 Komposisi Crackers Unibis dan Crackers Hatari
A. Ingredients
Tepung Terigu, Gula, Lemak Nabati, Tepung Tapioka, Susu bubuk, Garam, Pengembang
(Amonium, Natrium Bikarbonat), Ragi (Sorbitan Monostearate, Asam Askorbat), dan Minyak
Nabati (Antioksidan BHA).
1. Tepung Terigu
Tepung terigu merupakan tepung yang diperoleh dari biji gandum (Triticum vulgare)
yang digiling. Keistimewaan tepung terigu jika dibanding dengan serealia lainnya adalah
kemampuannya dalam membentuk gluten pada adonan ini menyebabkan elastis atau tidak
mudah hancur pada proses pencetakan dan pemasakan. Mutu terigu yang dikehendaki adalah
terigu yang mempunyai kandungan air 14%; kadar protein 8-12%; kadar abu 0,25-1,60%; dan
gluten basah 24-36%. Adanya kandungan tepung terigu tersebut maka fungsi tepung terigu
membentuk jaringan dan kerangka dari roti sebagai akibat dari pembentukan gluten. Protein
yang ada didalam tepung terigu yang tidak larut dalam air akan menyerap air dan ketika
diaduk/diulen akan membentuk gluten yang akan menahan gas CO2 hasil reaksi ragi dengan pati
didalam tepung.
2. Gula
Gula atau sukrosa adalah senyawa organik terutama golongan karbohidrat. Sukrosa juga
termasuk disakarida yang didalamnya terdiri dari komponen- komponen D-glukosa dan D-
fruktosa. Rumus molekul sukrosa adalah C22H22O11 Gula dengan berat molekul 342 g/mol
dapat berupa kristal-kristal bebas air dengan berat jenis I ,6 g/ml dan titik leleh 160°C. Sukrosa
ini kristalnya berbentuk prisma monoklin dan berwama putih jemih. Wama tersebut sangat
tergantung pada kemumiannya. Bentuk kristal mumi dapat tahan lama bila disimpan dalam
gudang yang baik. Gula dalam bentuk larutan yang baik ketika masih berada dalam batang tebu
maupun ketika masih berada dalam larutan. Bentuk gula selama proses dalam pabrik tak tahan
lama dan akan cepat rusak karena terjadi hidrolisis/inversi/penguraian. Inversi adalah peristiwa
pecahnya sukrosa menjadi gula-gula reduksi (glukosa, fruktosa,dan sebagainya).
3. Lemak Nabati
Lemak nabati adalah lemak baik yang berasal dari tumbuhan. Ada berbagai manfaat
lemak nabati untuk menjaga kesehatan tubuh, termasuk menurunkan kadar kolesterol dan
mencegah penyakit jantung. Lemak nabati berbeda dengan lemak jenuh dan lemak trans yang
justru dapat berkontribusi meningkatkan jumlah kolesterol jahat (low density lipoprotein/LDL)
dalam darah dan memicu munculnya berbagai penyakit dalam tubuh.
4. Garam
Garam merupakan salah satu komoditi strategis karena selain merupakan suatu kebutuhan
pokok manusia, juga digunakan sebagai bahan baku industri. Untuk kebutuhan garam konsumsi
manusia, garam lebih dijadikan sarana fortifikasi zat iodium, menjadi garam konsumsi beriodium
dalam rangka penanggulangan GAKI. Garam merupakan salah satu sumber sodium dan klorida
dimana kedua unsur tersebut diperlukan untuk metabolisme tubuh. Penggunaan garam secara
garis besar dibagi dalam 3 (tiga) kelompok yaitu: 1.Garam untuk konsumsi manusia. 2.Garam
untuk pengasinan dan aneka pangan. 3.Garam untuk industri.
5. Tepung Tapioka
Tepung tapioka merupakan suatu jenis bahan pangan yang dibuat dari ubi kayu. Bahan
pangan tersebut merupakan pati yang diekstrak dengan air dari umbi singkong (ketela pohon),
kemudian disaring, cairan hasil saringan kemudian diendapkan. Bagian yang mengendap tersebut
selanjutnya dikeringkan dan digiling hingga diperoleh butiran-butiran pati halus berwarna putih,
yang disebut tapioka.
6. Susu Bubuk
Susu bubuk merupakan sumber protein yang sangat baik dan penting, mudah disusun
kembali/rekonstruksi menjadi susu cair serta dapat menjadi bahan- bahan unsur produk lainnya.
Secara luas susu bubuk dapat digunakan untuk produksi roti, biskuit, kue-kue, kopi krimer, sop,
keju, susu coklat, es krim, susu formula, nutrisi tambahan, rekombinan produk susu seperti susu
pasteurisasi, susu evaporasi, susu kental manis, keju lunak dan keju keras, krem, whipping
cream, yoghurt,dan produk fermentasi lainnya. Susu bubuk merupakan bentuk olahan dari susu
segar yang dibuat dengan cara memanaskan susu pada suhu 80 °C selama 30 detik, kemudian
dilakukan proses pengolahan dengan beberapa tahapan yaitu evaporasi, homogenisasi, dan
pengeringan yang dilakukan dengan menggunakan spray dryer atau roller dryer. Produk ini
mengandung 2-4% air.
1. Pengembang (Amonium)
Senyawa ini memiliki nama IUPAC adalah Sodium bicarbonate atau sodium hydrogen
carbonate, natrium bikarbonat atau natrium hidrogen karbonat. Dengan nama trivial backing
soda atau soda kue. NaHCO3 berbentuk Kristal padatan/solid yang berwarna putih. Senyawa ini
memiliki bilangan atom 72. Merupakan ikatan ionik. Natrium bikarbonat (NaHCO3 ) adalah
bahan tambahan dalam pembuatan roti. Senyawa ini larut dalam air dan menghasilkan gas CO2
jika ditambahkan dalam pembuatan roti (Paghal et al. 2011; Rosentrater dan Evers
2018).Natrium bikarbonat merupakan sumber utama penghasil karbondioksida dalam sistem
effervescent. Natrium bikarbonat larut sempurna dalam air, nonhigroskopis dan harganya murah.
Natrium bikarbonat sering juga digunakan sebagai soda kue atau baking soda (Lachman et.al.,
1986).
Natrium bikarbonat dan Sodium bikarbonat berbentuk kristal putih dengan sedikit rasa
alkalin. Menurut Winarno (1988), sodium bikarbonat merupakan bahan pengembang yang umum
digunakan dan bila dipanaskan membebaskan karbondioksida, uap air, serta residu sodium
bikarbonat. Mudah larut dalam air dan terlarot dalam adonan pada saat pencampuran merupakan
salah satu sifat dari sodium bikarbonat.
Natrium Bikarbonat atau Sodium bikarbonat pada produk crackers unibis berfungsi
sebagai pengembang Menurut Winarno (1988), sodium bikarbonat merupakan bahan
pengembang yang umum digunakan dan bila dipanaskan membebaskan karbondioksida, uap air,
serta residu sodium bikarbonat. Mudah larut dalam air dan terlarot dalam adonan pada saat
pencampuran merupakan salah satu sifat dari sodium bikarbonat.
BHA adalah antioksidan yang merupakan gabungan dari 2 senyawa fenol isomerik, yaitu
2-tert-butyl-4-hydro- xyanisole dan 3-tert-butyl-4-hydroxy-ani-sole. Senyawa ini mempunyai
sifat tidak dapat larut dalam air, tetapi larut dalam methanol dan ethanol (Buck, 1990). BHA juga
sering digunakan sebagai aditif pada makanan dan kosmetik karena sifatnya sebagai
antioksidan(Kochlar SP,2010). BHA mulai digunakan sejak tahun 1947 sebagai bahan tambahan
dalam produk makanan yang mengandung minyak untuk mencegah makanan menjadi basi.
2.4.2 Crackers Hatari
A. Ingredients
Tepung Terigu, Gula, Tepung Tapioka, Sirup Glukosa, Garam, Pengembang (Amonium
Bikarbonat), Ragi (Sorbitan Monostearate, Asam Askorbat), dan Minyak Nabati (Antioksidan
BHA).
1. Tepung Terigu
Tepung terigu merupakan tepung yang diperoleh dari biji gandum (Triticum vulgare)
yang digiling. Keistimewaan tepung terigu jika dibanding dengan serealia lainnya adalah
kemampuannya dalam membentuk gluten pada adonan ini menyebabkan elastis atau tidak
mudah hancur pada proses pencetakan dan pemasakan. Mutu terigu yang dikehendaki adalah
terigu yang mempunyai kandungan air 14%; kadar protein 8-12%; kadar abu 0,25-1,60%; dan
gluten basah 24-36%. Adanya kandungan tepung terigu tersebut maka fungsi tepung terigu
membentuk jaringan dan kerangka dari roti sebagai akibat dari pembentukan gluten. Protein
yang ada didalam tepung terigu yang tidak larut dalam air akan menyerap air dan ketika
diaduk/diulen akan membentuk gluten yang akan menahan gas CO2 hasil reaksi ragi dengan pati
didalam tepung.
2. Gula
Gula adalah suatu karbohidrat sederhana yang menjadi sumber energi dankomoditi
perdagangan utama. Gula paling banyak diperdagangkan dalam bentuk kristal sukrosa padat.
Gula digunakan untuk mengubah rasa menjadi manis pada makanan atauminuman. Gula
sederhana, seperti glukosa (yang diproduksi dari sukrosa dengan enzim atau hidrolisis asam),
menyimpan energi yang akan digunakan oleh sel. Gula sebagai sukrosa diperoleh dari nira tebu,
bit gula, atau aren. Meskipun demikian, terdapat sumber-sumber gula minor lainnya, seperti
kelapa. Sumber-sumber pemanis lain, seperti umbi dahlia, anggir, atau jagung, juga
menghasilkan semacam gula/pemanis namun bukan tersusun dari sukrosa. Proses untuk
menghasilkan gula mencakup tahap ekstrasi (pemerasan) diikuti dengan pemurnian melalui
distilasi (penyulingan).
3. Tepung Tapioka
Tepung tapioka adalah tepung yang diperoleh dari umbi akar ketela pohon atau dalam
bahasa indonesia disebut singkong. Tepung tapioka dibuat dari hasil penggilingan ubi kayu yang
dibuang ampasnya.Ubi kayu tergolong polisakarida yang mengandung pati dengan kandungan
amilopektin yang tinggi tetapi lebih rendah daripada ketan yaitu amilopektin 83 % dan amilosa
17 %, sedangkan buah-buahan termasuk polisakarida yang mengandung selulosa dan pektin.
Tepung tapioka merupakan suatu jenis bahan pangan yang dibuat dari ubi kayu. Bahan pangan
tersebut merupakan pati yang diekstrak dengan air ubi kayu, kemudian disaring, hasil saringan
kemudian diendapkan. Bagian yang menggendap tersebut selanjutnya dikeringkan dan digiling
hingga diperoleh butir-butiran pati halus berwarna putih.
4. Garam
Garam merupakan salah satu komoditi strategis karena selain merupakan suatu kebutuhan
pokok manusia, juga digunakan sebagai bahan baku industri. Untuk kebutuhan garam konsumsi
manusia, garam lebih dijadikan sarana fortifikasi zat iodium, menjadi garam konsumsi beriodium
dalam rangka penanggulangan GAKI. Garam merupakan salah satu sumber sodium dan klorida
dimana kedua unsur tersebut diperlukan untuk metabolisme tubuh. Penggunaan garam secara
garis besar dibagi dalam 3 (tiga) kelompok yaitu: 1.Garam untuk konsumsi manusia. 2.Garam
untuk pengasinan dan aneka pangan. 3.Garam untuk industri.
5. Sirup Glukosa
Sirup glukosa adalah salah satu produk bahan pemanis makanan dan minuman yang
berbentuk cairan, tidak berbau dan tidak berwarna tetapi memiliki rasa manis yang tinggi. Sirup
glukosa atau gula cair mengandung D-glukosa,maltosa dan polimer D-glukosa melalui proses
hidrolisis. Perbedaan sirup glukosa dengan gula pasir atau sukrosa yaitu sukrosa merupakan gula
disakarida, terdiri atas ikatan glukosa dan fruktosa, sedangkansirup glukosa adalah
monosakarida, terdiri atas satu monomer yaitu glukosa. Sirup glukosa dapat dibuat dengan cara
hidrolisis asam atau dengan cara enzimatis. Perbedaan sirup glukosa dengan gula pasir atau
sukrosa yaitu sukrosa merupakan gula disakarida, terdiri atas ikatan glukosa dan fruktosa,
sedangkan sirup glukosa adalah monosakarida, terdiri atas satu monomer yaitu glukosa. Sirup
glukosa dapat dibuat dengan cara hidrolisis asam atau dengan cara enzimatis.
C. Bahan Tambahan Pangan
Asam lemak sorbitan pertama kali diperkenalkan secara komersial tahun 1938 oleh
Perusahaan Atlas Powder dengan nama dagang ‘Span’. Ester asam lemak sorbitan merupakan
turunan dari reaksi sorbitol dengan asam lemak. Span merupakan jenis emulsifier nonionik
lipofilik dengan nilai HLB rendah yang memiliki berat molekul rendah dan permukaan aktif
(Hasenhuettl, 1997).
3. Ragi (Asam Askorbat)
Vitamin C adalah vitamin yang larut dalam air, penting bagi kesehatan manusia.
Memberikan perlindungan antioksidan plasma lipid dan diperlukan untuk fungsi kekebalan tubuh
termasuk (leukosit, fagositosis dan kemotaksis), penekanan replikasi virus dan produksi
interferon (Mitmesser et al., 2016). Vitamin C telah diusulkan bermanfaat dalam mencegah dan
menyembuhkan flu biasa, mengurangi kejadian kelahiran prematur dan pre-eklampsia,
penurunan risiko kanker dan penyakit jantung, dan meningkatkan kualitas hidup dengan
menghambat kebutaan dan demensia (Duerbeck et al., 2016).
BHA adalah antioksidan yang merupakan gabungan dari 2 senyawa fenol isomerik, yaitu
2-tert-butyl-4-hydro- xyanisole dan 3-tert-butyl-4-hydroxy-ani-sole. Senyawa ini mempunyai
sifat tidak dapat larut dalam air, tetapi larut dalam methanol dan ethanol (Buck, 1990). BHA juga
sering digunakan sebagai aditif pada makanan dan kosmetik karena sifatnya sebagai
antioksidan(Kochlar SP,2010). BHA mulai digunakan sejak tahun 1947 sebagai bahan tambahan
dalam produk makanan yang mengandung minyak untuk mencegah makanan menjadi basi.
Bagian aktif dari BHA yang bertindak sebagai antioksidan adalah cincin aromatis
terkonjugasinya yang dapat bertindak sebagai stabilisator untuk radikal bebas, sehingga reaksi
radikal bebas selanjutnya dapat dihindari(Madhavi DL, 1996) Antioksidan sintetik seperti BHA
diketahui memiliki aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan vitamin E (Konchlar Sp,
2010).
A. Pengembang (Amonium)
Selain sebagai bahan pengembang roti, ternyata senyawa ini juga memiliki manfaat yang
baik untuk kesehatan tubuh manusia. Senyawa ini sering digunakan sebagai obat antasid
(penyakit maag atau tukak lambung). Karena bersifat alkaloid (basa), senyawa ini juga
digunakan sebagai obat penetral asam bagi penderita asidosis tubulus renalis (ATR) atau rhenal
tubular acidosis (RTA). Selain itu, natrium bikarbonat juga dapat dimanfaatkan untuk
menurunkan kadar asam urat.
B. Natrium Bikarbonat
Natrium bikarbonat (NaHCO3 ) berperan mengikat molekul air. Struktur molekul yang
dibentuk NaHCO3 mampu memerangkap air sehingga protein yang ada molekul air juga
terperangkap, hak tersebut menyebabkan protein dalam pangan dapat dipertahankan (Santoso et
al. 2011).
Natrium bikarbonat atau sodium bikarbonat berbentuk kristal putih dengan sedikit rasa
alkalin. Menurut Winarno (1988), sodium bikarbonat merupakan bahan pengembang yang umum
digunakan dan bila dipanaskan membebaskan karbondioksida, uap air, serta residu sodium
bikarbonat. Mudah larut dalam air dan terlarot dalam adonan pada saat pencampuran merupakan
salah satu sifat dari sodium bikarbonat.
Natrium Bikarbonat atau Sodium bikarbonat pada produk crackers unibis dan hatari
berfungsi sebagai pengembang Menurut Winarno (1988), sodium bikarbonat merupakan bahan
pengembang yang umum digunakan dan bila dipanaskan membebaskan karbondioksida, uap air,
serta residu sodium bikarbonat. Mudah larut dalam air dan terlarot dalam adonan pada saat
pencampuran merupakan salah satu sifat dari sodium bikarbonat.
Senyawa ini juga digunakan sebagai obat antasid (penyakit maag atau tukak lambung),
karena bersifat alkaloid (basa) (Pambudi dan Widjanarko, 2015). Natrium bikarbonat adalah obat
untuk mengatasi asidosis metabolik, urine yang terlalu asam, dan asam lambung berlebih. Obat
ini bekerja dengan cara mengurai natrium dan bikarbonat di dalam air untuk membentuk alkaline
yang menetralkan asam. Natrium bikarbonat adalah senyawa garam karbonat yang biasa
digunakan untuk menurunkan kadar asam dalam tubuh, seperti kelebihan asam lambung, pH
darah yang rendah (asidosis), dan mengontrol pH urin. Kemampuannya melepaskan ion
bikarbonat membuatnya menjadi salah satu senyawa pengalkali atau menaikkah pH yang baik.
Senyawa yang juga disebut sebagai sodium bikarbonat ini merupakan bahan aktif yang
terkandung dalam baking soda yang bisa ditemukan sehari-hari di dapur.
C. Sorbiton monostearate
Sorbitan monostearate adalah ester sintetik yang umum digunakan dalam pembuatan
produk makanan dan perawatan kesehatan sebagai surfaktan dengan sifat pengemulsi,
pendispersi, dan pembasahan. Ini digunakan dalam pembuatan ragi untuk melindungi ragi dari
pengeringan berlebih dan juga membantu merehidrasi sel ragi. Sebagian besar ragi roti yang
beredar di pasaran mengandung sorbitan monostearate. Sorbitan monostearate berfungsi sebagai
pengembang pada ragi.
D. Asam Askorbat
Oksidasi minyak merupakan reaksi utama terjadinya kerusakan pada beberapa jenis
pangan yang mengandung minyak. Proses ini dapat mengakibatkan penurunan kualitas dengan
menimbulkan perubahan seperti bau, rasa dan warna. Ketengikan pada minyak juga disebabkan
oleh reaksi oksidasi lipid melalui sederetan mekanisme reaksi. Yang pertama pembentukkan
awal radikal bebas (inisiasi), lalu perambatan atau terbentuknya radikal baru (propagasi), dan
tahap terakhir (terminasi) yaitu pemusnahan atau pengubahan menjadi radikal bebas stabil dan
tak reaktif.
Ascorbic acid (AsA) diketahui mempunyai potensi sebagai antioksidan atau sebagai agen
sinergistik antioksidan pada beberapa model dan makanan yang mengadung lipid (Yin et al.
1993). Ascorbic acid dapat juga mengakibatkan terpacunya oksidasi (pro-oksidan) pada minyak.
Nampaknya ion besi merupakan hal utama yang mengakibatkan AsA sebagai prooksidan (Yin et
al. 1993, Harel & Kanner 1985). Vitamin C-ester adalah bentuk derivat dari vitamin C (L-
ascorbic acid) yang larut dalam minyak. Bentuk senyawa ini menawarkan bentuk baru dari
antioksidan yang menepati bagian terpenting dari ingredient pada pangan dan kosmetik. Pada
awalnya lipophilik vitamin C-ester diindikasi efektif dalam mencegah peroxidasi pada
lipoprotein (Liu et al. 1992, Liu et. al. 1996), lebih lanjut penggunaan senyawa tersebut mulai
berkembang, diantaranya sebagai agensia untuk mencegah terjadinya oksidasi pada minyak,
shortening-sparing, pelunak pada roti (Koch et al. 2006) dan mencegah kerusakan pada kulit
akibat radiasi sinar violet (Jurkovic et al. 2003).
Menurut Padayatty (2003), setelah terbentuk, radikal askorbil (suatu senyawa dengan
elektron tidak berpasangan, serta asam dehidroaskorbat dapat tereduksi kembali menjadi asam
askorbat dengan bantuan enzim 4-hidroksifenilpiruvat dioksigenase. Tetapi, di dalam tubuh
manusia, reduksinya hanya terjadi secara parsial, sehingga asam askorbat yang terlah teroksidasi
tidak seluruhnya kembali. Vitamin C dapat dioksidasi oleh senyawa-senyawa lain yang
berpotensi pada penyakit. Jenis-jenis senyawa yang menerima elektron dan direduksi oleh
vitamin C, dapat dibagi dalam beberapa kelas, antara lain: senyawa dengan elektron (radikal)
yang tidak berpasangan, contohnya radikal-radikal oksigen (superoksida, radikal hidroksil,
radikal peroksil, radikal sulfur, dan radikal nitrogen-oksigen), senyawa-senyawa yang reaktif
tetapi tidak radikal, misalnya asam hipoklorit, nitrosamin, asam nitrat, dan ozon, senyawa-
senyawa yang dibentuk melalui reaksi senyawa pada kelas pertama atau kelas kedua dengan
vitamin C dan reaksi transisi yang diperantarai logam (misalnya ferrum atau cuprum) Vitamin C
dapat menjadi antioksidan untuk lipid, protein, dan DNA, dengan cara : (1) Untuk lipid, misalnya
Low-Density Lipoprotein (LDL), akan beraksi dengan oksigen sehingga menjadi lipid peroksida.
Reaksi berikutnya akan menghasilkan lipid hidroperoksida, yang akan menghasilkan proses
radikal bebas. Asam askorbat akan bereaksi dengan oksigen sehingga tidak terjadi interaksi
antara lipid dan oksigen, dan akan mencegah terjadinya pembentukan lipid hidroperoksida. (2)
Untuk protein, vitamin C mencegah reaksi oksigen dan asam amino pembentuk peptide, atau
reaksi oksigen dan peptida pembentuk protein. (3) Untuk DNA, reaksi DNA dengan oksigen
akan menyebabkan kerusakan pada DNA yang akhirnya menyebabkan mutasi (Padayatti, 2003).
Jika asam dehidroaskorbat tidak tereduksi kembali menjadi asam askorbat, maka asam
dehidroaskorbat akan dihidrolisis menjadi asam 2,3-diketoglukonat. Senyawa tersebut terbentuk
melalui rupture ireversibel dari cincin lakton yang merupakan bagian dari asam askorbat, radikal
askorbil, dan asam dehidroaskorbat. Asam 2,3-diketoglukonat akan dimetabolisme menjadi
xilosa, xilonat, liksonat, dan oksalat (Sharma, 2007).
Antioksidan BHA merupakan bahan tambahan pangan yang ditambahkan pada produk
disaat memasuki proses penggorengan atau pun juga proses pemanggangan. BHA dipergunakan
sebagai bahan antioksidan yang akan memperlambat ketengikan bahan yang mengandung
minyak dan lemak selain itu juga sebagai bahan pengawet pada produk crackers. Hal tersebut
didukung oleh pernyataan Kochhar dan Rossell, (1990) dalam arti khusus, antioksidan adalah zat
yang dapat menunda atau mencegah terjadinya reaksi antioksidasi radikal bebas dalam oksidasi
lipid.
A. Pengembang (Amonium)
Selain sebagai bahan pengembang roti, ternyata senyawa ini juga memiliki manfaat yang
baik untuk kesehatan tubuh manusia. Senyawa ini sering digunakan sebagai obat antasid
(penyakit maag atau tukak lambung). Karena bersifat alkaloid (basa), senyawa ini juga
digunakan sebagai obat penetral asam bagi penderita asidosis tubulus renalis (ATR) atau rhenal
tubular acidosis (RTA). Selain itu, natrium bikarbonat juga dapat dimanfaatkan untuk
menurunkan kadar asam urat.
B. Sorbiton monostearate
Sorbitan monostearate adalah ester sintetik yang umum digunakan dalam pembuatan
produk makanan dan perawatan kesehatan sebagai surfaktan dengan sifat pengemulsi,
pendispersi, dan pembasahan. Ini digunakan dalam pembuatan ragi untuk melindungi ragi dari
pengeringan berlebih dan juga membantu merehidrasi sel ragi. Sebagian besar ragi roti yang
beredar di pasaran mengandung sorbitan monostearate. Sorbitan monostearate berfungsi sebagai
pengembang pada ragi.
C. Asam Askorbat
Oksidasi minyak merupakan reaksi utama terjadinya kerusakan pada beberapa jenis
pangan yang mengandung minyak. Proses ini dapat mengakibatkan penurunan kualitas dengan
menimbulkan perubahan seperti bau, rasa dan warna. Ketengikan pada minyak juga disebabkan
oleh reaksi oksidasi lipid melalui sederetan mekanisme reaksi. Yang pertama pembentukkan
awal radikal bebas (inisiasi), lalu perambatan atau terbentuknya radikal baru (propagasi), dan
tahap terakhir (terminasi) yaitu pemusnahan atau pengubahan menjadi radikal bebas stabil dan
tak reaktif.
Ascorbic acid (AsA) diketahui mempunyai potensi sebagai antioksidan atau sebagai agen
sinergistik antioksidan pada beberapa model dan makanan yang mengadung lipid (Yin et al.
1993). Ascorbic acid dapat juga mengakibatkan terpacunya oksidasi (pro-oksidan) pada minyak.
Nampaknya ion besi merupakan hal utama yang mengakibatkan AsA sebagai prooksidan (Yin et
al. 1993, Harel & Kanner 1985). Vitamin C-ester adalah bentuk derivat dari vitamin C (L-
ascorbic acid) yang larut dalam minyak. Bentuk senyawa ini menawarkan bentuk baru dari
antioksidan yang menepati bagian terpenting dari ingredient pada pangan dan kosmetik. Pada
awalnya lipophilik vitamin C-ester diindikasi efektif dalam mencegah peroxidasi pada
lipoprotein (Liu et al. 1992, Liu et. al. 1996), lebih lanjut penggunaan senyawa tersebut mulai
berkembang, diantaranya sebagai agensia untuk mencegah terjadinya oksidasi pada minyak,
shortening-sparing, pelunak pada roti (Koch et al. 2006) dan mencegah kerusakan pada kulit
akibat radiasi sinar violet (Jurkovic et al. 2003).
Menurut Padayatty (2003), setelah terbentuk, radikal askorbil (suatu senyawa dengan
elektron tidak berpasangan, serta asam dehidroaskorbat dapat tereduksi kembali menjadi asam
askorbat dengan bantuan enzim 4-hidroksifenilpiruvat dioksigenase. Tetapi, di dalam tubuh
manusia, reduksinya hanya terjadi secara parsial, sehingga asam askorbat yang terlah teroksidasi
tidak seluruhnya kembali. Vitamin C dapat dioksidasi oleh senyawa-senyawa lain yang
berpotensi pada penyakit. Jenis-jenis senyawa yang menerima elektron dan direduksi oleh
vitamin C, dapat dibagi dalam beberapa kelas, antara lain: senyawa dengan elektron (radikal)
yang tidak berpasangan, contohnya radikal-radikal oksigen (superoksida, radikal hidroksil,
radikal peroksil, radikal sulfur, dan radikal nitrogen-oksigen), senyawa-senyawa yang reaktif
tetapi tidak radikal, misalnya asam hipoklorit, nitrosamin, asam nitrat, dan ozon, senyawa-
senyawa yang dibentuk melalui reaksi senyawa pada kelas pertama atau kelas kedua dengan
vitamin C dan reaksi transisi yang diperantarai logam (misalnya ferrum atau cuprum) Vitamin C
dapat menjadi antioksidan untuk lipid, protein, dan DNA, dengan cara : (1) Untuk lipid, misalnya
Low-Density Lipoprotein (LDL), akan beraksi dengan oksigen sehingga menjadi lipid peroksida.
Reaksi berikutnya akan menghasilkan lipid hidroperoksida, yang akan menghasilkan proses
radikal bebas. Asam askorbat akan bereaksi dengan oksigen sehingga tidak terjadi interaksi
antara lipid dan oksigen, dan akan mencegah terjadinya pembentukan lipid hidroperoksida. (2)
Untuk protein, vitamin C mencegah reaksi oksigen dan asam amino pembentuk peptide, atau
reaksi oksigen dan peptida pembentuk protein. (3) Untuk DNA, reaksi DNA dengan oksigen
akan menyebabkan kerusakan pada DNA yang akhirnya menyebabkan mutasi (Padayatti, 2003).
Jika asam dehidroaskorbat tidak tereduksi kembali menjadi asam askorbat, maka asam
dehidroaskorbat akan dihidrolisis menjadi asam 2,3-diketoglukonat. Senyawa tersebut terbentuk
melalui rupture ireversibel dari cincin lakton yang merupakan bagian dari asam askorbat, radikal
askorbil, dan asam dehidroaskorbat. Asam 2,3-diketoglukonat akan dimetabolisme menjadi
xilosa, xilonat, liksonat, dan oksalat (Sharma, 2007).
Antioksidan BHA merupakan bahan tambahan pangan yang ditambahkan pada produk
disaat memasuki proses penggorengan atau pun juga proses pemanggangan. BHA dipergunakan
sebagai bahan antioksidan yang akan memperlambat ketengikan bahan yang mengandung
minyak dan lemak selain itu juga sebagai bahan pengawet pada produk crackers. Hal tersebut
didukung oleh pernyataan Kochhar dan Rossell, (1990) dalam arti khusus, antioksidan adalah zat
yang dapat menunda atau mencegah terjadinya reaksi antioksidasi radikal bebas dalam oksidasi
lipid.
2.6 Regulasi atau Keamanan BTP ( nilai ADI dan jumlah maksimum)
2.6.1 Crackers Unibis
1. Amonium Bikarbonat
Peraturan kepala badan pengawasan obat dan makanan Republik Indonesia No.11 Tahun
2013 pasal 4. Batas maksimum penggunaan BTP pengembang sebagaimana dimaksud dalam
pasal 3 untuk setiap kategori pangan :
INS.503(ii)
Peraturan kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia No.11
Tahun 2013 pasal 4 . Batas Maksimum penggunaan BTP Pengembang sebagaimana dimaksud
dalam dalam Pasal 3 untuk setiap Kategori Pangan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I.
Batas maksimum penggunaan BTP untuk setiap kategori pangan :
Sehingga dari tabel diatas dapat diketahui bahwa batas maksimun penggunaan BTP
pengembang natrium bikarbonat atau natrium hidrogen karbonat pada produk unibis terdapat
pada kategori pangan makanan ringan siap santap yaitu CPPB (Cara Produksi Pangan Yang
Baik). CPPB adalah jumlah BTP yang diizinkan terdapat pada pangan dalam jumlah secukupnya
yang diperlukan untuk menghasilkan efek yang diinginkan dengan kata lain boleh ditambahkan
pada produk dengan kadar secukupnya.
3. Sorbitan Monostearat
Menurut Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI No. 20
Tahun 2013, batas maksimum penggunaan Sorbitan Monostearat adalah 15000 dengan syarat
maksimum residu dalam roti dan adonan produk bakeri adalah 5000 mg/kg. Menurut FDA “The
food additive sorbitan monostearate, which is a mixture of partial stearic and palmitic acid esters
of sorbitol anhydrides, may be safely used in or on food in accordance with the following
prescribed conditions: When used alone, the maximum amount of sorbitan monostearate shall
not exceed 0.61 percent of the cake or cake mix, on a dry-weight basis.” artinya Zat Aditif
makanan sorbitan monostearate yang merupakan campuran ester asam stearat dan palmitat
parsial dari anhidrida sorbitol dapat digunakan dengan aman di dalam atau pada makanan sesuai
dengan kondisi yang ditentukan berikut yaitu Jika digunakan sendiri, jumlah maksimum sorbitan
monostearat tidak boleh melebihi 0,61 persen dari kue atau campuran kue berdasarkan berat
keringnya. Sorbitan Monostearat memiliki nilai ADI sebesar 0 – 25 mg/kg berat badan per hari.
4. Asam Askorbat
Menurut peraturan kepala BPOM RI No. 38 tahun 2013 tentang batas maksimum
penggunaan bahan tambahan pangan Antioksidan asam askorbat (ascorbic acid) tidak dinyatakan
(not specified), dan batas maksimum penggunaan untuk produk ragi dan sejenisnya yaitu CPPB
(Cara Produksi Pangan Yang Baik) maksudnyo boleh ditambahkan pada produk dengan kadar
secukupnya. US FDA juga menyatakan asam askorbat sebagai Generally Recognized as Safe
(GRAS), yang artinya aman untuk dikonsumsi.
5. Antioksidan BHA
The Select Committee on GRAS (Gene- rally Regarded as Safe) Substances dari U.S. Food
and Drug Administration (FDA) melaporkan bahwa pada tahun 1980 tidak ada bukti nyata
bahwaBHA merupakan senyawa yang membahayakan. Tetapi, tetap diinformasikan
kemungkinan adanya resiko pada penggunaannya oleh manusia. Saat ini FDA telah membatasi
konsentrasi BHA dalam penggunaannya pada makanan komersial, yaitu sebesar 0,02% pada
produk yang mengandung minyak dan lemak. The Joint FAO/WHO Expert Committee on Food
Additives (JECFA) telah menentukan bahwa Asupan Harian yang Diijinkan (Acceptable Daily
Intake/ ADI) untuk BHA adalah 0,05-0,2 mg/kg bb (Madhavi, 1996) Sebaliknya, beberapa ahli
saat ini telah melarang penggunaan BHA dalam makanan dan menganjurkan untuk memilih
penggunaan antioksidan alami yang lebih aman(Pourmorad F,2006). Sebuah penelitian
menunjukkan bahwa konsentrasi curcumin yang dibutuhkan untuk menetralkan sekitar 80%
reaksi per-oksidasi adalah sebesar 4 μM, sedangkan antioksidan sintetik seperti BHA pada
konsentrasi yang sama hanya memberikan sekitar 53- 59% penghambatan (Buck DF,1991).
BHA sebagai anti- oksidan sintetik juga menunjukkan solubilitas yang rendah dan aktivitas anti-
oksidan yangsedang(Buck DF,1991).
Peraturan kepala badan pengawasan obat dan makanan Republik Indonesia No.11 Tahun
2013 pasal 4. Batas maksimum penggunaan BTP pengembang sebagaimana dimaksud dalam
pasal 3 untuk setiap kategori pangan :
2. Sorbitan Monostearat
Menurut Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI No. 20
Tahun 2013, batas maksimum penggunaan Sorbitan Monostearat adalah 15000 dengan syarat
maksimum residu dalam roti dan adonan produk bakeri adalah 5000 mg/kg. Menurut FDA “The
food additive sorbitan monostearate, which is a mixture of partial stearic and palmitic acid esters
of sorbitol anhydrides, may be safely used in or on food in accordance with the following
prescribed conditions: When used alone, the maximum amount of sorbitan monostearate shall
not exceed 0.61 percent of the cake or cake mix, on a dry-weight basis.” artinya Zat Aditif
3. Asam Askorbat
Menurut peraturan kepala BPOM RI No. 38 tahun 2013 tentang batas maksimum
penggunaan bahan tambahan pangan Antioksidan asam askorbat (ascorbic acid) tidak dinyatakan
(not specified), dan batas maksimum penggunaan untuk produk ragi dan sejenisnya yaitu CPPB
(Cara Produksi Pangan Yang Baik) maksudnyo boleh ditambahkan pada produk dengan kadar
secukupnya. US FDA juga menyatakan asam askorbat sebagai Generally Recognized as Safe
(GRAS), yang artinya aman untuk dikonsumsi.
4. Antioksidan BHA
The Select Committee on GRAS (Gene- rally Regarded as Safe) Substances dari U.S.
Food and Drug Administration (FDA) melaporkan bahwa pada tahun 1980 tidak ada bukti nyata
bahwaBHA merupakan senyawa yang membahayakan. Tetapi, tetap diinformasikan
kemungkinan adanya resiko pada penggunaannya oleh manusia. Saat ini FDA telah membatasi
konsentrasi BHA dalam penggunaannya pada makanan komersial, yaitu sebesar 0,02% pada
produk yang mengandung minyak dan lemak. The Joint FAO/WHO Expert Committee on Food
Additives (JECFA) telah menentukan bahwa Asupan Harian yang Diijinkan (Acceptable Daily
Intake/ ADI) untuk BHA adalah 0,05-0,2 mg/kg bb (Madhavi, 1996) Sebaliknya, beberapa ahli
saat ini telah melarang penggunaan BHA dalam makanan dan menganjurkan untuk memilih
penggunaan antioksidan alami yang lebih aman(Pourmorad F,2006). Sebuah penelitian
menunjukkan bahwa konsentrasi curcumin yang dibutuhkan untuk menetralkan sekitar 80%
reaksi per-oksidasi adalah sebesar 4 μM, sedangkan antioksidan sintetik seperti BHA pada
konsentrasi yang sama hanya memberikan sekitar 53- 59% penghambatan (Buck DF,1991).
BHA sebagai anti- oksidan sintetik juga menunjukkan solubilitas yang rendah dan aktivitas anti-
oksidan yangsedang(Buck DF,1991).
1. Amonium Bikarbonat
2. Natrium Bikarbonat
Natrium Bikarbonat tidak mengalami Metabolisme
3. Sorbitan Monostearate
Pada tahun 1982, JECFA melaporkan studi toksisitas berikut : Kelompok 10 tikus
muda diberi pakan selama 6 minggu yang mengandung 1% atau 4% sorbitan
monostearate. Tidak ada efek pada penambahan berat badan, juga tidak ada yang
signifikan, tidak berubah secara histopatologis di hati, ginjal, usus dan kandung kemih
(Krantz, 1946).
Sorbitan monostearate ditambahkan ke makanan yang dirancang untuk
menginduksi nekrosis hati pada tikus. Kadar hingga 10% cenderung memperpanjang
waktu kelangsungan hidup dan tidak dapat mempengaruhi perubahan hati selama periode
hingga 120 hari (Gyorgy dkk, 1958).
Dua rhesus monyet diberi makan setiap hari dengan 0,7 - 0,8 g / kg bb sorbitan
monostearate selama 5 minggu. Tidak ada kerusakan pada hati atau ginjal yang terlihat
pada pemeriksaan mayat ( tidak ada rincian lebih lanjut).
Lalu empat anjing (dua jantan dan dua betina) diberi 0% atau 5% sorbitan
monostearate dalam makanan selama 19 - 20 bulan. Tingkat dosis sesuai dengan 490
- 780 mg / kg bb per hari. Tidak ada perbedaan yang jelas antara anjing uji dan kontrol
dalam hal asupan makanan, berat badan, umur panjang, fi temuan di nekropsi atau
histopatologi rinci (Fitzhugh et al., 1959).
4. Asam Askorbat
Vitamin C mudah diabsorpsi secara aktif dan mungkin pula secara difusi
pada bagian atas usus halus lalu masuk ke peredaran darah melalui vena porta. Rata-
rata absorpsi adalah 90% untuk konsumsi diantara 20 dan 120 mg sehari. Konsumsi
tinggi sampai 12 gram (sebagai pil) hanya diabsorpsi sebanyak 16%. Vitamin C
kemudian dibawa ke semua jaringan. Konsentrasi tertinggi adalah jaringan adrenal,
pituitary, dan retina.
Tubuh dapat menyimpan hingga 1500 mg vitamin C bila konsumsi mencapai 100
mg sehari. Jumlah ini dapat mencegah terjadinya skorbut selama tiga bulan. Tanda-tanda
skorbut akan terjadi bila persediaan tinggal 300 mg. Konsumsi melebihi taraf kejenuhan
berbagai jaringan dikeluarkan melalui urine dalam bentuk asam oksalat. Pada konsumsi
melebihi 100 mg sehari kelebihan akan dikeluarkan sebagai asam askorbat atau sebagai
karbondioksida melalui pernapasan. Walaupun tubuhmengandung sedikit vitamin C,
sebagian tetap akan dikeluarkan. Makanan yang tinggi dalam seng atau pectin dapat
mengurangi absorpsi sedangkan zat-zat di dalam ekstrak apel dapat meningkatkan
absorpsi. Status vitamin C tubuh ditetapkan melalui tanda-tanda klinik dan
pengukuran kadar vitamin C di dalam darah. Tanda-tanda klinik antara lain, perdarahan
kapiler dibawah kulit. Tanda dini kekurangan vitamin C dapat diketahui bila kadar
vitamin C darah dibawah 0,20 mg/dl (Almatsier s, 2005).
5. Antioksidan BHA
Absorpsi, metabolisme dan ekskresi Absorpsi dan metabolisme BHA telah diteliti
pada tikus, kelinci, anjing, kera, dan manusia. BHA dapat secara cepat diabsorpsi dari
saluran gastrointestinal pada tikus, kelinci, anjing dan manusia.BHA dapat di
metabolisme secara cepat, dan diekskresikan secara utuh.
Metabolit utama dari BHA adalah glukoronida, eter sulfat, dan Tert-Butil
Hidroksi Quinon (TBHQ) yang merupakan senyawa fenol bebas(Abiko Y, 2011).
Metabolit-metabolit ini diekskresikan di urin, sedangkan BHA yang belum mengalami
perubahan akan dieliminasi melalui feses.
Proporsi dari metabolit-metabolit ini beragam tergantung pada spesies dan level
dosis yang diberikan. Sebesar 86% diekskresikan melalui urin dalam waktu 24 jam dan
91% dalam waktu 4 hari. Pada manusia, 22-72% pemberian dosis oral pada level 0,5-0,7
mg/kg bb didapatkan kembali sebagai glukoronida dalam waktu 24 jam, dan kurang dari
1% dalam bentuk BHA bebas. Ditemukan juga eter sulfat dalam jumlah sangat
keci(Madhavi DL,1996).
Retensi BHA dalam jaringan lebih besar pada manusia dibandingkan pada tikus.
Artinya, dibutuhkan dosis BHA yang lebih kecil untuk memproduksi level dalam plasma
tertentu pada manusia dari padatikus (Madhavi DL, 1996).
Penelitian jangka pendek telah dilakukan terhadap beberapa jenis spesies,
termasuk tikus, kelinci, dan anjing. Pem- berian 0,25 dan 0,75% BHA pada mencit betina
diketahui dapat melindungi dari keracunan akut monokrotalin, suatu alkaloid pirolizidin
yang beracun yang terdapat pada tanaman genus Crotalaria.Pada kelinci, dosis besar
BHA (1 g/hari) di- berikan dengan stomach tube selama 56 hari telah menyebabkan
peningkatan pada ekskresi sodium 10 kali lipat dan 20% peningkatan pada ekskresi
potasium di urin. Tidak ada efek samping yang ditemukan pada pemberian BHA 0,3; 30;
atau 100 mg/kg bb pada anjing selama 1 tahun(Madhavi DL,1996).
1. Amonium Bikarbonat
2. Sorbitan Monostearate
Pada tahun 1982, JECFA melaporkan studi toksisitas berikut : Kelompok 10 tikus
muda diberi pakan selama 6 minggu yang mengandung 1% atau 4% sorbitan
monostearate. Tidak ada efek pada penambahan berat badan, juga tidak ada yang
signifikan, tidak berubah secara histopatologis di hati, ginjal, usus dan kandung kemih
(Krantz, 1946).
Dua rhesus monyet diberi makan setiap hari dengan 0,7 - 0,8 g / kg bb sorbitan
monostearate selama 5 minggu. Tidak ada kerusakan pada hati atau ginjal yang terlihat
pada pemeriksaan mayat ( tidak ada rincian lebih lanjut).
Lalu empat anjing (dua jantan dan dua betina) diberi 0% atau 5% sorbitan
monostearate dalam makanan selama 19 - 20 bulan. Tingkat dosis sesuai dengan 490
- 780 mg / kg bb per hari. Tidak ada perbedaan yang jelas antara anjing uji dan kontrol
dalam hal asupan makanan, berat badan, umur panjang, fi temuan di nekropsi atau
histopatologi rinci (Fitzhugh et al., 1959).
3. Asam Askorbat
Vitamin C mudah diabsorpsi secara aktif dan mungkin pula secara difusi
pada bagian atas usus halus lalu masuk ke peredaran darah melalui vena porta. Rata-
rata absorpsi adalah 90% untuk konsumsi diantara 20 dan 120 mg sehari. Konsumsi
tinggi sampai 12 gram (sebagai pil) hanya diabsorpsi sebanyak 16%. Vitamin C
kemudian dibawa ke semua jaringan. Konsentrasi tertinggi adalah jaringan adrenal,
pituitary, dan retina.
Tubuh dapat menyimpan hingga 1500 mg vitamin C bila konsumsi mencapai 100
mg sehari. Jumlah ini dapat mencegah terjadinya skorbut selama tiga bulan. Tanda-tanda
skorbut akan terjadi bila persediaan tinggal 300 mg. Konsumsi melebihi taraf kejenuhan
berbagai jaringan dikeluarkan melalui urine dalam bentuk asam oksalat. Pada konsumsi
melebihi 100 mg sehari kelebihan akan dikeluarkan sebagai asam askorbat atau sebagai
karbondioksida melalui pernapasan. Walaupun tubuhmengandung sedikit vitamin C,
sebagian tetap akan dikeluarkan. Makanan yang tinggi dalam seng atau pectin dapat
mengurangi absorpsi sedangkan zat-zat di dalam ekstrak apel dapat meningkatkan
absorpsi. Status vitamin C tubuh ditetapkan melalui tanda-tanda klinik dan
pengukuran kadar vitamin C di dalam darah. Tanda-tanda klinik antara lain, perdarahan
kapiler dibawah kulit. Tanda dini kekurangan vitamin C dapat diketahui bila kadar
vitamin C darah dibawah 0,20 mg/dl (Almatsier s, 2005).
4. Antioksidan BHA
Absorpsi, metabolisme dan ekskresi Absorpsi dan metabolisme BHA telah diteliti
pada tikus, kelinci, anjing, kera, dan manusia. BHA dapat secara cepat diabsorpsi dari
saluran gastrointestinal pada tikus, kelinci, anjing dan manusia.BHA dapat di
metabolisme secara cepat, dan diekskresikan secara utuh.
Metabolit utama dari BHA adalah glukoronida, eter sulfat, dan Tert-Butil
Hidroksi Quinon (TBHQ) yang merupakan senyawa fenol bebas(Abiko Y, 2011).
Metabolit-metabolit ini diekskresikan di urin, sedangkan BHA yang belum mengalami
perubahan akan dieliminasi melalui feses.
Proporsi dari metabolit-metabolit ini beragam tergantung pada spesies dan level
dosis yang diberikan. Sebesar 86% diekskresikan melalui urin dalam waktu 24 jam dan
91% dalam waktu 4 hari. Pada manusia, 22-72% pemberian dosis oral pada level 0,5-0,7
mg/kg bb didapatkan kembali sebagai glukoronida dalam waktu 24 jam, dan kurang dari
1% dalam bentuk BHA bebas. Ditemukan juga eter sulfat dalam jumlah sangat
keci(Madhavi DL,1996).
Retensi BHA dalam jaringan lebih besar pada manusia dibandingkan pada tikus.
Artinya, dibutuhkan dosis BHA yang lebih kecil untuk memproduksi level dalam plasma
tertentu pada manusia dari padatikus (Madhavi DL, 1996).
Penelitian jangka pendek telah dilakukan terhadap beberapa jenis spesies,
termasuk tikus, kelinci, dan anjing. Pem- berian 0,25 dan 0,75% BHA pada mencit betina
diketahui dapat melindungi dari keracunan akut monokrotalin, suatu alkaloid pirolizidin
yang beracun yang terdapat pada tanaman genus Crotalaria.Pada kelinci, dosis besar
BHA (1 g/hari) di- berikan dengan stomach tube selama 56 hari telah menyebabkan
peningkatan pada ekskresi sodium 10 kali lipat dan 20% peningkatan pada ekskresi
potasium di urin. Tidak ada efek samping yang ditemukan pada pemberian BHA 0,3; 30;
atau 100 mg/kg bb pada anjing selama 1 tahun(Madhavi DL,1996).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Masa modern tidak lepas dari penggunaan bahan tambahan pangan, oleh karena itu
bijaklah sebagai konsumen dalam memilih suatu produk agar tidak terjadi toksisitas di dalam
tubuh
DAFTAR PUSTAKA
Abiko, Y, Miura T, Phuc, BH., Shinkai Y, Kumagai Y. Participation of covalent modi- fication
of Keap1 in the activation of Nrf2 by tert-butylbenzoquinone, an electrophilic meta-
bolite of butylated hydroxyanisole. Toxicology and Applied Pharmacology. 2011.
255(1):32-39.
Almatsier, S. 2005. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Baliwati, Y. F. (2004). Pengantar Pangan dan Gizi, Cetakan I. Jakarta: Penerbit Swadaya. Hal.
89.
Botterweck, AAM, Vergaen H, GoldBohm RA, KleinJans J, and van den Brant PA. Intake of
butylated hydroxyanisole and butylated hydroxytoluene and stomach cancer risk: results
from analyses in the Netherlands cohort study. Food and Chemical Toxicology. 2007.
38 (7):599–605.
BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan). 2013. ISO Indonesia Volume 48. Jakarta: PT.
ISFI. Penerbitan Jakarta.
Cahyadi,W. 2006. Analisis dan aspek kesehatan bahan tambahan pangan. Edisi kedua. Jakarta:
Bumi Aksara.
Clegg DJ. Absence of teratogenic effect of butylated hydroxyanisole (BHA) and butylated
hydroxytoluene (BHT) in rats and mice. Food and cosmetics toxicology. 1965; 3:387-
403.
Conning, DM., Phillips, JC. Comparative me- tabolism of BHA, BHT and other phenolic
antioxidants and its toxicological relevance. Food Chem Toxicol. 1986. 24(10-11):
1145-8.
Dewan Standardisasi Nasional. 1992. SNI 01-2973-1992; Biskuit. Dewan Standardisasi
Nasional.
Dewoto, H.R., 2007, Pengembangan Obat Tradisional Indonesia menjadi Fitofarmaka, Majalah
kedokteran indonesia, 57(7): 205-211.
Duerbeck, N.B., Dowling, D.D., Duerbeck, J.M., 2016. Vitamin C: Promises Not. Kept. Obstet.
Gynecol. Surv. 71, 187–193.
Ferazuma, H., Marliyati, S., dan Amalia, L. 2011. Substitusi Tepung Kepala Ikan Lele Dumbo
(Clarias gariepinus sp) untuk Meningkatkan Kandungan Kalsium Crackers. Jurnal Gizi
dan Pangan. 6(1) : 18
Fitzhugh OG, Bourke AR, Nelson AA and Frawley JP,. 1959. Chronic oral toxicities of four
stearic acid emulsifiers. Toxicology and Applied Pharmacology, 1, 315–331.
Fridata, I. G. 2014. Kualitas Biskuit Keras Dengan Kombinasi Tepung Ampas Tahu dan Bekatul
Beras Merah.Naskah Skripsi S-1. Fakultas Teknobiologi, Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, Yogyakarta.
Friska.T. 2002. Penambahan Sayur Bayam (Amaranthus tricolor L.), Sawi (Brassica juncea L.),
Dan Wortel (Daucus carota L.) Pada Pembuatan Crackers Tinggi Serat Makanan.Skripsi
jurusan Gizi Masyarakat Dan Sumber Daya Keluarga Fakultas Pertanian Institut
Pertanian Bogor
Gyorgy P, Forbes M and Goldblatt H,. 1958. Effect of non-ionic emulsifiers on experimental
dietary injury of the liver in rats. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 6, 139–
142.
Han SS, Lo SC, Choi YW, Kim JH, Beck SH. Antioxidant activity of crude extract and pure
compounds of Acerginnala max. Bull. Ko- rean. Chem Soc. 2004; 25(3): 389-391.
Hasenhuttl, G.L. 1997. Emulsifier Trends For The Future di dalam Food Emulsifiers and Their
Application, Chapman & Hall., p. : 1-9 ; 211-216.
Hui, F H. 1992. Encyclopedia of Food Science and Technology. John Willy and Sons, Inc. USA
Hui, Y.H. 1992. Encyclopedia of Food Science and Technology. Vol 2. New York: John Willey
and Sons, Inc.
Jurkovic P, Sentjurc M, Gasperlin M, Kristl J, Pecar S. 2003. Skin protection against ultraviolet
induced free radicals with ascorbyl palmitate in microemulsions. European journal of
pharmaceutics and biopharmaceutics. 56: 59-66.
Kochhar SP, Rossel JB, Hudson BJF. (editor). Food antioxidants. 1990. Elsevier Science.
Koch RL, Paul AS, Hoseney FTC. 2006. Incorporating L-Ascorbyl 6-Palmitate in bread and its
shortening-sparing and anti-firming effects. Journal of Food Science. 52: 954-957.
Krantz JC Jr, 1946. Unpublished report No. WER-149-102 to the Atlas Chemical Co, as referred
to by JECFA (1982a).
Kumalaningsih, S . 2006. Antioksidan Alami Penangkal Radikal Bebas, Sumber manfaat ,Cara
penyediaan, dan Pengolahan. Surabaya : Trubus. Agrisarana.
Lachman, L., Lieberman, H.A., and Kanig, J.L. 1986. Teori dan Praktek Farmasi Industri.
Diterjemahkan oleh Siti, S., Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Lam LK, Pai RP. Wattenberg, LW. Synthesis and chemical carcinogen inhibitory activity of 2-
tert-butyl-4-hydroxyanisole. J Med Chem. 1979; 22 (5): 569–71.
Liu GT, Zhang TM, Wang BE, Wang YW. 1992. Protective action of seven natural phenolic
coumpounds againts peroxidative damage to biomembranes. Biochem. Pharmcol. 43:
147-152.
Liu ZQ, Ma LP, Liu ZL. 1996. Making vitamin C lipophilic enhances its protective effect against
free radical induced peroxidation of low density lipoprotein. Chem. Phys. Lipids.
95:49–57.
Madhavi DL, Deshpande SS, Salunkhe DK. 1996. Butylated hydroxyanisole (BHA; tert-butyl-4-
hydroxyanisole)and butylated hydroxytoluene (BHT; 2,6-di-tert-butyl-p- cresol) in food
anti-oxidants: Technological, Toxicological, and healthperspectives.
Manley, D.J.R. 1983. Technology of Biscuits, Crackers and Cookies Ellies Harwood Limited.
England
Nandhani SD, Yunianta. 2015. Pengaruh tepung labu kuning, tepung lele dumbo, natrium
bikarbonat terhadap sifat fisiko, kimia, organoleptik cookies. Jurnal Pangan dan
Agroindustri. 3(3): 918-927.
Padayaty S.J., Katz A., Wang Y., Eck P., Kwon O., Lee J.H., Chen S., Corpe C., Dutta A., Dutta
S.K., Levine M. 2003. Vitamin C as an antioxidant: evaluation of its role in disease
prevention. J Am Coll Nutr. 22(1):18-35.
Paghal A, Navridhi, Chhokar V, Khatkar BS. 2011. Effects of minor ingredients on quality of
cookies. Annals of Agri-Bio Research. 16(1): 79-84.
Putranto AW, Argo BD, Komar N. 2013. Pengaruh perendaman natrium bikarbonat (NaHCO3 )
dan suhu penggorengan terhadap nilai kekerasan keripik kimpul (Xanthosoma
sagittifolium). Jurnal Teknologi Pertanian. 14(2): 105-114.
Rosentrater KA, Evers AD. 2018. Bread Baking Technology Fifth Edition. Amsterdam (NL):
Elsivier Ltd.
Rowe, R.C., Sheskey, P.J. dan Quinn M.E. 2009. Handbook of Pharmaceutical Excipients 6th
Edition, Minneapolis, Pharmaceutical Press.
Salimath B.P, Sundaresh C.S, Srinivas L. Dietary components inhibit lipid peroxidation in
erythrocyte membrane. Nutrition Research. 1986. 6 (10): 1171-1178.
Sharma S.R., Poddar R., Sen P., Andrews J.T. 2007. Effect of vitamin C on collagen
biosynthesis and degree of birefringence in polarization sensitive optical coherence
tomography (PS-OCT). J Am Coll Nutr. 7(12):2049–2054.
Veradila PEW. 2005. Pengaruh penambahan natrium bikarbonat (NaHCO3 ) dan kuning telur
terhadap sifat fisik, kimia, dan organoleptik biskuit ambon. [Skripsi]. Malang (ID):
Universitas Brawijaya.
Williams GM, Iatropoulos MJ, Whysner J. Safety assessment of butylated hydroxyanisole and
butylated hydroxytoluene as antioxidant food additives. Food Chem Toxicol. 1999.
37(9-10):1027-1038.
Winamo, F.G. 1988. Flavor bagi Industri Pang an. BogOf! M-Bflo Press:pp.l.15-45,84-115.
Yin MC, Faustman C, Rıesen JW, Wıllıams SN. 1993. α-Tocopherol and ascorbate delay
oxymyoglobin and phospholipid oxidation in vitro. J. Food Sci. 58: 1273-1276, 1281.
Youngson R, 2005. Antioksidant. Manfaat Vitamin C dan E bagi kesehatan Jakarta. Arcan.