Anda di halaman 1dari 86

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pemeriksaan Kualitas Daging dan Produk Olahannya


2.1.1 Pengertian Daging
Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua hasil
pengolahan jaringan-jaringan tersebut sesuai untuk dimakan serta tidak
menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang mengkonsumsinya. Organ-organ
misalnya hati, ginjal, otak, paru-paru, jantung, limpa, pankreas, dan jaringan
otot termasuk dalam definisi ini. Secara umum daging mengandung sekitar
75% air (68-80%), protein sekitar 19% (16-22%), mineral 1% serta lemak
sekitar 2.5% (1.5-13.0%). Istilah daging dibedakan dengan karkas, daging
adalah bagian yang sudah tidak mengandung tulang, sedangkan karkas berupa
daging yang belum dipisahkan dari tulang atau kerangkanya. Daging
merupakan salah satu sumber protein hewani yang tinggi nilai gizinya di
bandingkan dengan protein nabati, karena pada daging terdapat asam-asam
amino yang lengkap dan seimbang, disamping adanya lemak, mineral dan
vitamin yang dibutuhkan tubuh serta mempunyai daya cerna yang tinggi dan
mudah diserap (Soeparno, 1992).
Daging yang disimpan pada suhu kamar pada waktu tertentu akan
mengalami kerusakan. Kerusakan daging oleh mikroorganisme
mengakibatkan penurunan mutu daging. Jumlah dan jenis mikroorganisme
ditentukan oleh penanganan sebelum penyembelihan ternak dan tingkat
pengendalian hiegines dan sistem sanitasi yang baik selama penanganan
hingga dikonsumsi (Soeparno, 1992). Penanganan pascapanen daging segar
dimulai dari setelah pemotongan ternak hingga dikonsumsi. Tahapan ini
sangat penting karena sangat berpotensi terjadinya pencemaran dan
perkembangan yang meyebabkan penurunan mutu dan keamanan pangan.

7
2.1.2 Daging Segar
Daging segar adalah daging yang baru disembelih tanpa perlakuan
apapun (SNI, 1999). Ciri-ciri daging segar yang baik antara lain: (1) warna
merah cerah dan mengkilat, daging yang mulai rusak berwarna coklat
kehijauan, kuning dan akhirnya tidak berwarna. (2) bau khas daging segar
tidak masam/busuk. (3) tekstur kenyal, padat dan tidak kaku, bila ditekan
dengan tangan maka bekas pijatan cepat kembali ke posisi semula. (4)
penampakaannya tidak berlendir, tidak terasa lengket ditangan dan terasa
kebasahannya.
2.1.3 Penanganan Daging Postmortem
Selama postmortem kerusakan dapat terjadi karena adanya
kontaminasi oleh mikroorganisme serta kerusakan kimiawi, biologis dan fisik.
Awal kontaminasi mikroorganisme pada daging berasal dari lingkungan
sekitarnya dan terjadi pada saat pemotongan, hingga dikonsumsi. Pada
umumnya sanitasi yang terdapat di rumah-rumah potong belum memenuhi
persyaratan kesehatan daging sesuai standar yang telah ditetapkan. Keadaan
ini menyebabkan mikroorganisme awal pada daging sudah tinggi. Selain itu
penyimpanan daging di rumah potong dan di pasar-pasar umumnya belum
menggunakan alat pendingin, di mana daging hanya dibiarkan terbuka tanpa
dikemas dalam temperatur kamar. Kondisi yang demikian dapat menyebabkan
perkembangbiakan mikroorganisme semakin meningkat yang mengakibatkan
kerusakan atau pembusukan daging dalam waktu singkat.
Hewan yang baru di potong, dagingnya lentur dan lunak, kemudian
terjadi perubahan-perubahan di mana jaringan otot menjadi keras, kaku dan
tidak mudah digerakkan. Soeparno (1992) menjelaskan bahwa segera setelah
ternak dipotong, terjadi kontraksi dan pengerasan otot yang dikenal dengan
rigormotis. Pada sapi diperlukan 6 – 12 jam untuk terjadi rigormotis. Menurut
Suparno (2005) selama konversi otot menjadi daging terjadi proses kekakuan
otot. Kekakuan otot setelah kematian dan otot menjadi tidak dapat
direnggangkan. Pada periode postmortem 24 jam pertama terjadi perubahan

8
struktural dan biokimia pada otot diubah menjadi daging. Periode ini sangat
mempengaruhi keempukan daging dan warna otot terhadap kualitas daging.
2.1.4 Parameter Spesifik Kualitas Daging
Karakteristik kualitas daging merupakan karakteristikyang dinilai oleh
konsumen dalam memenuhi palatabilitasnya, berkaitan dengan penilaian
sensorik, atau organoleptik. Kualitas daging atau bahan pangan pada
umumnya, dinilai oleh konsumen pada awalnya melalui pendekatan organ-
organ pancar indera. Sehingga karakteristik kualitas pada daging yang
menyangkut warna, keempukan, citarasa (flavour), dan kebasahan (juiciness).
Secara organoleptik (sensorik), warna dinilai oleh organ penglihatan,
keempukan dinilai melalui perabaan dan pencicipan (gigi, tangan, dan lidah),
citarasa dinilai melalui pencicipan dan penciuman (lidah dan hidung), dan
kebasahan dinilai oleh pencicipan (lidah). Karakteristik kualitas Indo sering
pula disebut sebagai eating quality (kualitas makan). Penilaian kualitas ini
yang ada pada awalnya dinilai oleh konsumen secara organoleptik,
berkembang menjadi penilaian dengan menggunakan peralatan untuk
menghindari subyektifitas (Abustam, 2012).
Kualitas daging dapat ditinjau dari dua faktor, yaitu kualitas fisik dan
kimia daging. Kualitas fisik daging antara lain nilai pH, daya ikat air, susut
masak dan tekstur (Rasyad et al., 2012) sedangkan kualitas kimia daging
dapat ditentukan berdasarkan perubahan komponen-komponen kimianya
seperti kadar air, protein dan lemak (Setiawan et al., 2017). Evaluasi terhadap
kualitas dan kesehatan daging dapat dilakukan secara subjektif dan objektif.
Penilaian secara subjektif meliputi penilaian terhadap warna, bau, konsistensi
dan tekstur. sedangkan penilaian objektif dapat dilakukan dengan bantuan
alat-alat laboratoris atau dengan standar perbandingan penilaian objektif
meliputi penilaian terhadap pH, daya ikat air/water holding capacity (WHC),
kadar air, dan jumlah mikroba.

9
a. Pemeriksaan Subjektif Daging
 Warna
Warna daging merupakan sifat kualitas yang penting tidak hanya bagi
industri daging tetapi juga bagi konsumen rumah tangga. Bagi industri daging
bahwa penampilan fisik daging yang diterima oleh konsumen pada tingkat
eceran memberikan tingkat penerimaan yang tinggi (Cross et al., 1986). Bagi
konsumen persepsi paling awal pada saat akan membeli daging dan menjadi
pertimbangan utama adalah warna. Cross et al., (1986) menyatakan bahwa
ketika mempertimbangkan gambaran spesifik dari penampilan spesifik ari
penampilan fisik daging, penalti menunjukkan bahwa warna daging
merupakan faktor kualitas yang lebih berpengaruh bagi pemilihan konsumen.
Konsumen mengaitkan antara warna dan kesegaran daging (Adams dan
Huffman, 1972), dimana melalui pembelajaran lewat penelitian dinyatakan
bahwa warna daging segar adalah merah cerah (bright red) dan penyimpangan
dari warna ini menjadikan daging tersebut tidak diterima oleh konsumen.
Beberapa ternak memberikan karakteristik khusus warna seperti daging
sapi berwarna merah terang, ikan berwarna putih abu-abu sampai merah
gelap, kuda berwarna merah gelap, babi berwarna pink kelabu dan unggas
berwarna putih abu-abu sampai merah (Suardana dan Swacita, 2009). Pigmen
prinsipal pada jaringan otot yang berhubungan dengan warna adalah pigmen
darah hemoglobin, terutama dalam aliran darah, dan mioglobin yang terdapat
dalam jaringan. Kondisi myoglobin sangat menentukan warna daging. Dalam
hal ini 80 – 90% dari seluruh pigmen daging ditentukan oleh myoglobin (pada
hewan yang dipotong secara sempurna dimana darahnya keluar dengan
tuntas).
 Bau
Bau/aroma daging disebabkan oleh adanya fraksi yang mudah menguap
berupa inosin-5-monofosfat (merupakan hasil konversi dari adenosine-5-
trifosfat pada jaringan otot hewan semasa hidup) yang mengandung hidrogen
sulfida dan metil merkaptan. Daging yang masih segar berbau seperti darah

10
segar. Daging yang telah mengalami pembusukan khususnya pada daging
merah akan berbau busuk, bau daging merupakan pengaruh campuran dari
aktivitas enzim lipolitik triasilgliserol, ketengikan oksidatif asam lemak tak
jenuh serta produk degradasi protein yang terakumulasi dalam jaringan lemak.
Produk degradasi protein daging dapat diketahui dari pelepasan gas-gas
amonia (NH3), dan hidrogen sulfida (H2S) serta metil merkaptan yang berbau
busuk. Pelepasan gas-gas ini bersumber dari asam-asam amino penyusun
protein daging yang mengandung gugus NH, gugus S dan gugus NH 3 dalam
kombinasi dengan senyawa lain. Pada daging sapi bali lebih dominan berbau
darah segar (Suardana dan Swacita, 2009).
 Konsistensi dan Tekstur
Keempukan dan tekstur merupakan faktor yang penting terhadap
kualitas daging. Ada dua tekstur otot yaitu tekstur kasar dengan ikatan - ikatan
serabut yang besar, dan tekstur halus dengan ikatan - ikatan serabut yang
kecil. Ada dua faktor yang penting, yaitu antemortem (genetik, fisiologis,
umur, manajemen, jenis kelamin, dan stres) sedangkan faktor postmortem
adalah chilling, refrigerasi, pelayuan, pembekuan lama dan suhu
penyimpanan, termasuk pemasakan, dan pengempukan. Penentu keempukan
daging meliputi 3 komponen yaitu :
a. Status miofibril dan status kontraksi
b. Kandungan jaringan ikat dan tingkat ikatan silang
c. Daya ikat air dan jus daging
Konsistensi daging biasanya dinyatakan dengan liat (firmness), lembek
(softness), berair (juicness). Daging segar terasa liat sedangkan daging yang
mulai membusuk akan berair. Dilihat dari teksturnya daging segar mempunyai
tekstur yang halus dan daging yang mulai membusuk memiliki tekstur yang
kasar (Suardana dan Swacita, 2009).

11
b. Pemeriksaan Objektif Daging
 pH (Power of Hydrogen)
Penurunan nilai pH pada otot hewan yang sehat dan ditangani dengan
baik sebelum pemotongan akan berjalan secara bertahap, yaitu mulai dari 7,0
dan akan mencapai nilai pH (ultimate pH value) akhir sekitar 5,4-5,8
(Setiawan et al., 2017). Hal ini disebabkan terbentuknya asam laktat, sebagai
akibat proses terjadinya glikolisis dalam daging, yaitu proses pemecahan
molekul glikogen menjadi asam laktat. Daging dengan pH tinggi mempunyai
keempukan yang lebih tinggi daripada daging dengan pH rendah. Kealotan
atau keempukan serabut otot pada kisaran pH 5,4 sampai 6,0. pH daging
berhubungan dengan DIA (Daya Ikat Air/ WHC/Water Holding Capacity), jus
daging,keempukan dan susut masak, juga bisa berhubungan dengan warna dan
sifat mekanik daging. Secara umum pH daging dipengaruhi oleh laju glikolisis
post-mortem, stress sebelum disembelih, cadangan glikogen otot, jenis otot
dan aktifitas enzim (Suardana dan Swacita, 2009).
 Kadar Air
Penentuan kadar air dari suatu bahan pangan digunakan untuk
menentukan banyaknya zat gizi yangdikandung oleh bahan pamgan tersebut.
Dengan memanaskan suatu bahan pangandengan suhu tertentu maka air dalam
bahan pangan tersebut akan menguap danberat pangan tersebut akan konstan.
Berkurangnya berat bahan pangan tersebutberarti banyak air yang terkandung
dalam bahan pangan tersebut.
Kandungan air dalam bahan makanan mempenaruhi daya tahan bahan
makanan terhadap serangan mikroba yang dinyatakan dengan AW yaitu
jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk
pertumbuhannya (Winarno dan Koswara, 2002). Penetapan kandungan air
dapat dilakukan dengan beberapa cara. Hal ini tergantung pada sifat bahannya.
Pada umumnya penentuan kadar air dilakukan dengan mengeringkan bahan
dalam oven pada suhu 110 – 205ºC selama 3 jam atau sampai didapat berat
yang konstan. Menurut Sudarmadji et al., (1997) prinsip penentuan kadar air

12
dengan pengeringan adalah menguapkan air yang dalam bahan dengan
pemanasan. Kemudian menimbang bahan sampai berat konstan yang berarti
semua air sudah diuapkan. Cara ini relatif lebih murah dan mudah. Suatu
bahan yang telah mengalami pengeringan ternyata lebih bersifat higroskopis
daripada bahan asalnya. Oleh karena itu, selama pendinginan sebelum
penimbangan, bahan selalu ditempatkan dalam ruang tertutup yang kering,
misalnya desikator.
 Daya Ikat Air / Water Holding Capacity (WHC)
Daya ikat air atau yang dapat juga disebut Water Holding Capaity (WHC)
adalah kemampuan daging untuk mengikat airnyaatau air yang ditambahkan
selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya pemotongan daging,
pemanasan, pendinginan dan tekanan (Soeparno, 1992). Nilai WHC daging
dipengaruhi oleh susunan jarak molekul dari protein myofibril terutama
miosin dan serabut-serabut (filament – filament). Jika kekuatan tarik menarik
antara molekul-molekul yang berdekatan menurun, disebabkan kenaikan
muatan netto negative diantar muatan protein atau melemahnya ikatan
hidrogen maka jaringan protein akan membesar, pembengkakan meningkat
dan lebih banyak air yang terikat oleh protein, sehingga akan terjadi
peningkatan WHC. Jika kekuatan tarik menarik ini mengalami penurunan
terus menerus maka jaringan protein akan mengalami kerusakan dan gel akan
menjadi larutan koloid. Jika kekuatan tarik menarik antara molekul yang
berdekatan naik, maka air yang terikat akan dilepaskan kembali sehingga nilai
WHC turun.
Daya ikat air oleh protein daging mempunyai efek langsung terhadap
penyusutan daging selama penyimpanan. Jika daya ikat air rendah maka akan
terjadi penurunan kadar air daging yang megakibatkan kehilangan berat yang
diikuti dengan penurunan nilai nutrisi selama penyimpanan. Beberapa faktor
yang mempengaruhi daya ikat air antara lain nutrisi ternak, pH daging, ikatan
aktomiosin, penyimpanan dan pengawetan, macam otot, kadar lemak, dan
protein daging (Suardana dan Swacita, 2009).

13
 Mikrobiologis Daging
Daging dapat mengalami pembusukan seperti yang disebabkan oleh
aktivitas enzim-enzim dalam daging (autolisis), kimiawi (oksidasi) dan
mikroorganisme. Mekanisme pembusukan ini sangat kompleks. Faktor-faktor
yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme pada daging adalah: jenis
dan jumlah mikroorganisme awal (pencemar) serta penyebarannya, sifat fisik
daging, sifat kimiawi daging, ketersediaan oksigen, serta suhu. Konsentrasi
komponen tersebut dalam daging dan penggunaannya oleh jenis mikroba
tertentu yang akan menentukan waktu terjadinya (onset) dan jenis
pembusukan.
Untuk menilai kualitas daging segar adalah standar cemaran bakteri yaitu
Angka Lempeng Total Bakteri (ALTB) tidak lebih dari 106 per gram
sampel, Most Probable Number (MPN) Coliform tidak lebih dari 102 per
gram sampel.Jumlah kuman yang masih dikatagorikan memenuhi syarat untuk
babi tidak antara 0,9 juta - 1,4 juta per gram, kuman coliform agak tinggi,
yaitu 38000 - 710000 per gram daging. Adanya bakteri pada daging dapat
mempercepat proses pembusukan daging dan adanya bakteri patogen
menyebabkan penyakit keracunan makanan bila tertelan oleh konsumen (Arka
et al, 1998).
2.1.5 Produk Olahan Daging
Pangan asal hewan mudah rusak, hal tersebut dikarenakan kandungan air
yang terdapat pada daging, untuk itu dilakukan upaya untuk menahan laju
pertumbuhan mikroorganisme tersebut dengan melalukan pengelolahan
terhadap daging. Banyak faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
mikroorganisme di dalam daging seperti : temperatur, kadar air/kelembaban,
oksigen, tingkat keasaman dan kebasaan (pH), dan kandungan gizi daging.
Sebagaimana bahan mentah hasil panen lainnya, daging kalau dibiarkan
begitu saja lama kelamaan akan mengalami perubahan akibat pengaruh-
pengaruh fisiologik, mekanik, fisik,kimiawi atau mikrobiologik.

14
Pemakaian bahan kimia untuk pengawetan sudah umum dilakukan pada
pabrik pengolahan daging seperti abon, nugget dendeng, sosis, corned beef,
lidan asin, ham dan bakso. Bahan kimia digunakan dalam takaran sesuai
tujuan pengawetan dan menggunakan garam, gula, asam sendawa, nitrat/nitrit.
Pemakaian bahan kimia tersebut mempunyai keuntungan yaitu daging dapat
disimpan pada temperatur kamar dan tidak diperlukan sterilisasi atau
pasteurisasi.
Pengolahan daging bertujuan untuk menambah keragaman pangan,
sedangkan pengawetan daging bertujuan untuk memperpanjang masa simpan
bahan pangan tersebut. Proses pembuatan produk olahan daging ini
menggunakan teknologi tradisional dan teknologi modern. Menurut Suardana
dan Swacita (2009) dalam pengolahan dan pengawetan daging, perlu
diperhatikan hal-hal sebagai berikut yaitu pengaruh metode pengolahan dan
pengawetan terhadap mutu produk, adanya bahan kesehatan baik bagi
pengolah maupun konsumen, kemungkinan salah penerapan dari metode
pengolahan dan pengawetan, masalah distribusi dan pemasaran, evaluasi
teknis dan ekonomis dari metode pengolahan dan pengawetan yang
dipergunakan.

2.2 Pemeriksaan Kualitas Susu


2.2.1 Definisi Susu
Susu merupakan salah satu sumber protein hewani yang dibutuhkan
untuk kesehatan dan pertumbuhan manusia, karena susu mengandung nilai
gizi berkualitas tinggi. Hampir semua zat yang dibutuhkan manusia ada di
dalamnya yaitu protein, lemak, karbohidrat, mineral dan vitamin. Semua
zat-zat tersebut dapat dicerna dan diabsorbsi secara sempurna oleh tubuh.
Selain itu susu mengandung semua zat yang dibutuhkan oleh tubuh, semua
zat makanan yang terkandung di dalam susu mudah dicerna dan
dimanfaatkan oleh tubuh (Ressang dan Nasution, 1982). Susu termasuk
jenis bahan pangan asal hewan, berupa cairan putih yang dihasilkan oleh

15
hewan ternak mamalia dan diperoleh dengan cara pemerahan (Hadiwiyoto,
1983).
Susu murni yang dapat beredar di pasaran harus memenuhi standar
kualitas dari Direktorat Jendral Peternakan tahun 1983, yaitu: warna, bau,
rasa, dan kekentalan tidak mengalami perubahan. Berat jenis (pada suhu
27,5oC) sekurang-kurangnya 1.028, kadar lemak sekurang-kurangnya 2,8%,
kadar bahan kering tanpa lemak (BKTL) sekurang-kurangnya 8,0%, derajat
asam 4,5-7oSH, uji alkohol 70% negatif, uji didih negatif, titik beku: -0,520
sampai -5,60o C, kadar protein sekurang-kurangnya 2,7%, angka reduktase
2-5 jam, dan jumlah kuman yang dapat dibiakkan tiap ml setinggi-tingginya
3 juta (Suardana dan Swacita, 2009).
Produksi air susu dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan fisiologis.
Faktor lingkungan antara lain adalah pakan, suhu lingkungan, musim,
penyakit dan obat-obatan. Faktor fisiologis dibedakan menjadi dua yaitu
faktor genetik dan non genetik meliputi berat badan, umur, tingkat laktasi
serta masa birahi dan kebuntingan. Faktor-faktor yang mempengaruhi
kualitas dan kuantitas dari air susu antara lain berasal dari faktor ternaknya
sendiri dan faktor dari luar. Dari faktor ternak sendiri adalah berat badan,
umur, pemberian pakan, kesehatan dan kondisi sapi waktu beranak. Waktu
birahi dan selang beranak juga sangat menentukan hasil dari susu perahan.
Sedangkan faktor dari luar adalah musim, cuaca dan kondisi lingakungan.
Selain itu faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan kualitas air susu
antara lain: pertumbuhan aktivitas mikroba, aktivitas enzim-enzim di dalam
bahan pangan, suhu udara (ruang penyimpanan, kamar susu, suhu, waktu
proses) dan jangka waktu penyimpanan serta sanitasi peralatan maupun
ternak.
Susu sangat penting dalam menu sehari-hari karena adanya tiga
komponen penting susu yaitu protein, kalsium, dan riboflavin (Vitamin B2).
Yang paling penting adalah kandungan proteinnya yang kaya akan asam
amino ini essensial yang mana asam amino ini biasanya terdapat dalam

16
jumlah yang kurang pada biji-bijian yang biasa digunakan sebagai bahan
makanan pokok manusia. Jumlah konsumsi susu yang disarankan adalah 1
quart (0,946 liter) susu per hari (Suardana dan Swacita, 2009).
2.2.2 Parameter Kualitas Susu
a. Uji Warna
Susu yang baik berwarna putih dan sedikit kekuning-kuningan serta
tidak akan tembus oleh cahaya. Warna putih dari susu merupakan hasil
dispersi dari refleksi cahaya oleh globula lemak dan partikel koloidal dari
kasein dan kalsium phospat. Warna ini tergantung pada bangsa, pakan
yang diberikan, lemak dalam susu, dan juga bahan padat. Apabila
diberikan pakan hijauan segar yang lebih banyak, maka lemak dalam susu
menjadi tinggi karena kandungan karoten lebih banyak sehingga warna
susu akan lebih kuning, namun bila lemak dari susu diambil maka susu
akan berwana biru. Susu yang berwarna kemerahan tidak normal,
kemungkinan berasal dari sapi yang sakit (Suardana dan Swacita, 2009).
Warna air susu yang agak kemerahan memberi dugaan bahwa air susu
tersebut berasal dari sapi yang menderita mastitis. Warna air susu yang
kebiruan menunjukkan bahwa air susu telah dicampur air terlalu banyak,
sedangkan air susu yang berlendir, bergumpal, menandakan bahwa air
susu tersebut sudah rusak (asam).
b. Uji Bau dan Uji Rasa
Air susu yang berbau asam menunjukkan bahwa air susu tersebut
sudah basi karena terlalu lama disimpan tanpa penanganan sebagaimana
mestinya. Bau asam pada susu disebabkan hidrolisa dari gliserida dan
pelepasan asam lemak seperti butirat yang mempunyai bau yang khas dan
tidak enak. Bau susu yang baik adalah berbau khas susu segar, sedikit bau
sapi, bebas dari bau asing lainnya seperti bau obat-obatan. Bau dan rasa
ini mudah sekali dipengaruhi dari luar sehingga kerusakan susu pada bau
dan rasa dapat dipengaruhi oleh sapi itu sendiri, pakan, bau disekeliling,

17
dekomposisi kandungan susu, material asing, dan perubahan reaksi kimia
(Suardana dan Swacita, 2009).
Air susu terasa sedikit manis disebabkan oleh laktosa, sedangkan rasa
asin berasal dari klorida, sitrat dan garam-garam mineral lainnya. Susu
yang murni mempunyai rasa sedikit manis atau gurih. Tidak ada rasa asing
misalnya pahit, terlalu manis, dan lain sebagainya (Saleh, 2004). Rasa
susu pahit disebabkan karena adanya sampah yang membusuk atau karena
tumbuhnya beberapa mikroba. Air susu yang berasa asin biasanya berasal
dari air susu hewan yang sudah tua, atau yang diambil dari hewan yang
terkena infeksi. Diantara rasa aneh lainnya pada susu ada rasa lemak, rasa
basi, dan rasa asin.
c. Uji Kekentalan
Susu yang baik memiliki konsistensi yang normal, tidak encer, tetapi
juga tidak pekat, dan tidak ada pemisahan bentuk apapun. Susu yang agak
berlendir, bergumpal-gumpal menunjukkan susu sudah busuk (Suardana
dan Swacita, 2009).
d. Uji Kebersihan
Kebersihan susu dapat diamati dengan mata, mikroskop, atau
menggunakan kaca pembesar. Pengamatan dengan mata untuk mengetahui
adanya kotoran atau benda asing terutama benda mengambang seperti
insekta, rumput, dan lain sebagainya. Kotoran yang sering ada pada susu
biasanya berupa dedak, ampas kelapa, kotoran kandang, bulu, pasir, dan
lain sebagainya. Susu yang baik harus tidak mengandung benda asing baik
yang mengambang, melayang, maupun mengendap. Penentuan kebersihan
atau derajat kebersihan dilihat sebagai: bersih sekali, bersih, sedang, kotor,
dan kotor sekali (Suardana dan Swacita, 2009).
e. Uji Didih
Prinsip pada uji didih yaitu, susu yang memiliki kualitas yang tidak
bagus akan pecah ataupun menggumpal bila melalui proses didih. Bila
susu dalam keadaan asam menjadikan kestabilan kasein menurun,

18
koagulasi kasein ini yang akan mengakibatkan pecahnya susu, tetapi
apabila susu dalam keadaan baik maka hasil yang dapat dilihat dari uji
didih adalah susu masih dalam keadaan homogen atau tidak pecah
(Dwitania dan Swacita 2013).
Susu segar (sampel kandang dan sampel individu) setelah dipanaskan
tidak pecah, hal ini disebabkan oleh kaseinnya yang stabil pada
pemanasan suhu tinggi. Dan susu kemasan pada sampel pemeriksaan tidak
menunjukkan adanya penggumpalan atau pemecahan. Susu yang pecah
saat dilakukan pemanasan kemungkinan dikarenakan keadaan fisiologis
hewan tersebut tidak normal, tidak stabilnya kasein serta terjadinya
kontaminasi oleh mikroba saat penanganan. Kasein merupakan protein
utama susu yang jumlahnya mencapai kira-kira 80% dari total protein.
Kasein terdapat dalam bentuk kasein kalsium. Senyawa kompleks dari
kalsium fosfat yang terdapat dalam bentuk partikel-partikel kompleks
koloid yang disebut micelles. Apabila kasein protein susu ini berkoagulasi
menimbulkan air susu menjadi pecah. Pemecahan protein, terutama kasein
menyebabkan pembentukan curd yang diinginkan dan mengakibatkan
protein menjadi lebih mudah dicerna dikarenakan keasaman dan
temperatur yang lebih tinggi saat pemanasan. Hasil pemecahan protein
bersama-sama dengan hasil pemecahan laktosa dan lipid ini menyebabkan
pembentukkan cita rasa spesifik pada produk.
f. Uji Alkohol
Uji alkohol dilakukan untuk mengetahui keadaan susu apakah dalam
keadaan baik atau sudah rusak. Cara menentukan uji alkohol adalah
dengan menggunakan alkohol 70%. Pemeriksaan alkohol ini dilakukan
untuk melihat kestabilan sifat koloid protein susu terutama kasein.
Kestabilan sifat koloid susu tergantung pada selubung air yang meliputi
butiran-butiran protein terutama kasein yang merupakan 80% dari protein
susu. Penambahan alkohol yang tinggi ke dalam susu menyebabkan susu
pecah, karena alkohol memliki daya dehidrasi dan berkoagulasi dengan

19
kasein, sehingga susu pecah. Pengasaman dapat memisahkan kasein
dengan whey protein. Selain itu, sentrifugasi atau pemusingan pada susu
dapat pula digunakan untuk memisahkan kasein. Setelah kasein
dikeluarkan, maka protein lain yang tersisa dalam susu disebut whey
protein yang merupakan protein butiran Bethalactoglobulin, Alpha-
lactalbumin, Immunoglobulin (Ig), dan Bovine Serum Albumin (BSA)
adalah contoh dari whey protein. Alpha-lactalbumin merupakan protein
penting dalam sintesis laktosa dan keberadaannya juga merupakan pokok
dalam sintesis susu. Dalam Whey protein terkandung pula beberapa
enzim, hormon, antibodi, faktor pertumbuhan dan pembawa zat gizi.
Sebagian besar Whey protein kurang tercerna dalam usus ketika Whey
protein tidak tercerna secara lengkap dalam usus, maka beberapa protein
utuh dapat menstimulasi reaksi kekebalan sistemik. Peristiwa ini dikenal
dengan alergi protein susu.
g. Uji Derajat Asam (Titrasi)
Derajat keasaman adalah angka yang menunjukkan jumlah milliliter
larutan NaOH 0,25N yang dibutuhkan untuk menetralkan 100 mL susu
dengan 2 mL phenopthaline (pp) sebagai indikator. Dearajat keasaman
susu menurut Dirjen Peternakan tahun 1983 adalah sebesar 4,5-7oSH.
h. Uji pH
Uji tingkat keasaman dilakukan untuk menentukan keasaman susu
dengan menghitung log konsentrasi ion hidrogen (asam) dalam susu. Susu
segar memiliki pH 6,3-6,8 (SNI, 2011). Sebagian besar asam yang
terdapat dalam susu adalah asam laktat, meskipun demikian keasaman
susu dapat disebabkan oleh berbagai senyawa yang bersifat asam seperti
senyawa-senyawa pospat komplek, asam nitrat, asam-asam amino dan
karbondioksida yang larut dalam susu. Bila nilai pH susu lebih tinggi dari
6,7 biasanya diartikan terkena mastitis dan bila pH dibawah 6.5
menunjukan adanya kolostrum ataupun pemburukan bakteri (Saleh, 2004).

20
i. Uji Reduktase
Waktu reduktase merupakan salah satu pemeriksaan terhadap
keadaan susu yang berguna untuk menentukan adanya kuman-kuman pada
susu (Hadiwiyoto, 1994). Enzyme reductase di dalam susu dibentuk oleh
kuman-kuman, yang dapat mereduktase zat warna biru metilen menjadi
tidak berwarna, semakin cepat biru metilen hilang, menunjukkan susu
tersebut semakin banyak mengandung kuman. Menurut SK Dirjenak
No.17/Kpts/DJP/Deptan/1983, susu yang baik waktu reduktasenya
berkisar antara 2 – 5 jam, dengan perkiraan jumlah kuman antara 1 juta –
4,2 juta/ml. waktu untuk pembelahan sel bagi bakteri berkisar antara 10
sampai 60 menit (Buckle, dkk., 1987), sehingga factor waktu sangat
mempengaruhi kualitas pada susu, karena terjadi peningkatan jumlah
bakteri di dalam susu.
Tabel 1. Kualitas Susu Berdasarkan Waktu Reduktase dan Jumlah Bakteri
Perkiraan Jumlah
Kualitas Susu Waktu Reduktase Bakteri
(per ml susu)
Sangan baik > 5jam 500.000
Baik > 2-5 jam 500.000-4 juta
Sedang 20 menit – 2 jam 4-20 juta
Jelek < 20 menit > 20 juta

j. Uji Katalase
Untuk angka katalase susu selama penyimpanan erat kaitannya
dengan jumlah bakteri yang terkandung dalam air susu. Faktor yang
berpengaruh terhadap angka katalase susu adalah susu dan waktuyang
terkait dengan kecepatan pertumbuhan bakteri dalam susu (Sari, 2013)
Semakin tinggi kandungan air susu, angka katalase yag terbentuk semakin
tinggi, demikian sebaliknya semakin rendah jumlah bakteri angka katalase
semakin rendah (Saragih, 2013). Susu selama penyimpanan, bakteri yag
ada didalamnya dapat membentuk enzim katalase sehingga semakin cepat

21
proses reduksi hidrogen peroksida menjadi air dan membebaskan gas
oksigen selama penyimpanan.
k. Uji BJ Susu
Susu lebih berat dari air karena susu merupakan suatu sistem kolodial
kompleks, yaitu air sebagi medium dispersi antara lain mengandung
garam-garam dan gula dalam larutan. Berat jenis atau gravitas spesifik
susu rata-rata adalah 1,028 dengan kisaran 1,027-1,035. Berat jenis susu
biasanya ditentukan pada temperatur 600F (15,50C) atau dikoreksi
terhadap titik ini. Gravitas spesifik susu dipengaruhi oleh komponennya
yang masing-masing mempunyai gravitas spesifik yang berbeda, misalnya
lemak 0,930, laktosa 1,666, protein 1,346, kasein 1,310 dan garam-
garaman 4,120. Rata-rata gravitas spesifik padatan susu tanpa lemak
bervariasai antara 1,6007-1,6380 (Harjadi, 1996).
l. Uji ALTB
Syarat kualitas air susu segar di Indonesia telah dibakukan dalam
Standart Nasional Indonesia (SNI 01-3141-1997), dimana pemeriksaan
cemaran mikroba dalam air susu segar meliputi uji pemeriksaan dengan
angka lempeng total (batas maksimum mikroba 3,0 × 106 CFU/ml), E.
coli (maksimum 10/ml), Salmonella (tidak ada), Staphylococcus aureus
(maksimum 10² CFU/ml).

2.3 Pemeriksaan Kualitas Telur


2.3.1 Definisi Telur
Telur dalam pengertian sehari-hari mempunyai dua kriteria yaitu
sebagai bahan biologi dan sebagai bahan pangan. Sebagai bahan biologi,
telur merupakan sumber nutrien kompleks yang lengkap bagi
pertumbuhan sel yang dibuahi. Sedangkan sebagai bahan pangan, telur
merupakan salah satu sumber protein hewani kedua yang mudah
dijangkau setelah ikan. Beberapa kelebihan yang dimiliki telur, yaitu :

22
a. mengandung zat-zat makanan yang penting bagi tubuh yakni
sumber protein, lemak, vitamin, dan mineral yang cukup
lengkap, sehingga bisa membantu memperlancar proses-proses
metabolisme dalam tubuh;
b. kandungan proteinnya secara nyata menyumbang gizi yang
diperlukan pada fase pertumbuhan;
c. gizi yang terkandung dalam telur mudah dicerna dan diabsorbsi
oleh tubuh secara sempurna. Contohnya lemak dalam telur
yang sudah dalam keadaan teremulsi sehingga mudah dicerna
tubuh
Telur termasuk bahan pangan yang mempunyai daya pengawet
alamiah paling baik, karena telur memiliki suatu pelindung ilmiah baik
fisik dan kimia terhadap infeksi mikroba. Kerabang telur, kutikula, selaput
serta kekenyalan putih telur sebagai pertahanan fisik. Sedangkan
mekanisme pertahanan kimia dapat berupa faktor antimikroba alamiah
yaitu albumin. Keawetan telur tergantung pada keadaan-keadaan
pembungkus alamiah yaitu kerabang/kulit telur. Disamping itu semua
telur akan mudah rusak apabila terkontaminasi oleh mikroorganisme
karena penanganan terhadap telur yang tidak benar, baik dalam distribusi
maupun pengolahannya (Winarno, 2002).
2.3.2 Struktur Telur
Struktur penyusun telur terdiri dari beberapa bagian seperti kerabang
telur, selaput kerabang luar dan dalam, albumin (putih telur), dan kuning
telur (yolk). Adapun pengertian dan fungsi dari masing-masing struktur
yaitu :
a. Kerabang telur merupakan pembungkus telur yang paling tebal,
bersifat keras dan kaku. Kerabang telur atau eggshell mempunyai
dua lapisan yaitu spongylayer dan mamilarylayer yang terbungkus
oleh lapisan lender berupa kutikula (Stadellman, 1995). Lapisan
luar terbentuk dari kalsium, phospor dan vitamin D yang

23
merupakan lapisan paling keras yang berfungsi melindungi semua
bagian telur. Pada kerabang terdapat pori-pori yang berfungsi untuk
pertukaran gas. Pada permukaan luar kerabang terdapat lapisan
kutikula yang merupakan pembungkus telur paling luar. Cangkang
telur berfungi sebagai pelindung utama telur.
b. Selaput kerabang luar dan dalam. Selaput kerabang dalam lebih
tipis dari selaput kerabang luar dan keduanya mempunyai ketebalan
0.01-0.02 mm. Pada ujung telur yang tumpul, kedua selaput
terpisah dan membuat rongga/kantong udara. Rongga udara
berfungsi sebagai sumber oksigen bagi embrio.
c. Putih telur albumin mempunyai proporsi yang tinggi dalam
komposisi telur mencapai 60% dari total berat telur. Putih telur
(albumin) berfungsi sebagai pelindung embrio dari goncangan dan
sebagai cadangan makanan dan air. Kekenyalan albumin (putih
telur) berfungsi sebagai pertahanan alamiah terhadap kontaminasi
dari luar. Putih telur terdiri atas protein terutama lisozim yang
memiliki kemampuan anti bakteri untuk membantu mengurangi
kerusakan telur.
d. Kuning telur (yolk) adalah cadangan makanan bagi embrio. Kalaza
(tali kuning telur) berfungsi untuk menahan kuning telur agar tetap
pada tempatnya dan menjaga embrio agar tetap berada di bagian
atas kuning telur.
2.3.3 Komposisi dan Nilai Gizi Telur
Telur merupakan salah satu produk peternakan yang memberikan
sumbangan besar bagi tercapainya kebutuhan gizi masyarakat. Selain
mudah didapat, harga telur relatif terjangkau dan dapat diolah menjadi
hidangan yang lezat. Dari sebutir telur akan diperoleh gizi yang cukup
sempurna karena mengandung zat-zat gizi yang cukup lengkap dan
bersifat mudah dicerna. Pada umumnya, telur mengandung komponen
utama yang terdiri atas air, protein, lemak, karbohidrat, dan mineral.

24
Perbedaan komposisi kimia antarspesies, terutama terletak pada jumlah
dan proporsi zat-zat yang dikandungnya, yang umumnya dipengaruhi
oleh keturunan, makanan, dan lingkungan (Suardana dan Swacita, 2009).

Tabel 2. Komposisi Kimia Telur


Komponen Telur utuh (%) Putih telur (%) Kuning Telur(%)
Air 37.0 87.6 51.1
Protein 12.9 10.9 16.0
Lemak 11.5 - 30.0
Karbohidrat 1.1 1.1 1.1
Karbohidrat bebas 0.3 0.4 0.2
Abu 1.0 0.7 1.7

2.3.4 Mutu Telur


Berdasarkan SNI 01-3926-1995, standar telur ayam konsumsi dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Berdasarkan jenisnya, dibedakan menjadi:
- Telur ayam ras
- Telur ayam buras (bukan ras)
b. Berdasarkan warna kerabang (kulit telur), dibedakan menjadi :
- Warna putih
- Warna coklat
c. Berdasarkan berat (telur ayam ras) dibedakan menjadi :
- Telur ekstra besar (jumbo) : berat > 60 gram
- Telur besar : berat 56 - 60 gram
- Telur sedang : berat 51 - 55 gram
- Telur kecil : berat 46 - 50 gram
- Untuk telur ayam buras digolongkan sebagai telur ekstra kecil.
d. Berdasarkan mutu, dibedakan menjadi :
- Mutu kelas I
- Mutu kelas II
- Mutu kelas II

25
Persyaratan mutu telur menurut SNI 01-3926-1995 seperti pada tabel dibawah ini :
Tabel 3. Persyaratan Tingkat Mutu Telur
No Faktor Mutu Tingkatan Mutu
Mutu I Mutu II Mutu III
1 Kerabang (kulit)
a. keutuhan Utuh Utuh Utuh
b. bentuk Normal Normal Boleh abnormal
c. kelicinan Licin (halus) Boleh ada Boleh kasar
bagian-bagian
yang kasar Bersih bebas
d. kebersihan Bersih bebas dari Bersih bebas dari dari kotoran
kotoran yang kotoran yang yang menempel,
menempel menempel, boleh boleh ada noda.
maupun noda. ada sedikit noda
2 Kantong udara (dilihat
dengan peneropongan)
a. kedalaman
Kurang dari 0.5 0.5-0.9 cm 1 cm atau lebih
b.kebebasan bergerak cm
Tetap ditempat Bebas bergerak Bebas bergerak
dan mungkin
seperti busa
3 Keadaan putih telur
(dilihat dengan
peneropongan)
a. kebersihan Bebas dari noda Bebas dari noda Boleh ada
(darah, daging (darah, daging sedikit noda
atau benda– atau benda– tetapi tidak
benda asing benda asing boleh ada benda
lainnya lainnya asing lainnya
b. kekentalan Kental Sedikit encer Encer tetapi
kuning telur
boleh tercampur
putih telur
4 Keadaan kuning telur
(dilihat dengan
peneropongan)
a. bentuk Bulat Agak gepeng Gepeng
b. posisi Ditengah Ditengah Agak kepinggir
c.bayangan batas-batas Tidak jelas Agak jelas Jelas
d. kebersihan Bersih Bersih Boleh kurang
bersih
5 Bau Khas Khas Khas

26
2.4 Pemeriksaan Limbah Rumah Potong Hewan Pesanggaran
2.4.1 Air Limbah Rumah Potong Hewan
Rumah Pemotongan Hewan (RPH) sebagai tempat terakhir sebelum
ternak tersebut berubah manjadi karkas atau daging, bertugas untuk
mengadakan pemeriksaan ulang terhadap setiap hewan besar betina yang
datang atau masuk di RPH. Pemeriksaan yang dimaksud meliputi
kelengkapan terhadap surat – surat, status cap “S” yang didasarkan dari
hasil eksplorasi rektal dan pemberian laporan kepada Dinas Peternakan
dan Kesehatan Hewan atas pemotongan ternak betina yang dilakukan.
Rumah Pemotongan Hewan Pesanggaran sebagai satu satunya RPH
terbesar di Bali, yang dikatagorikan sebagai RPH tipe A dengan rata –
rata jumlah pemotongan setiap harinya 50-60 ekor (Suardana et al.,
2013). Tingginya aktivitas pemotongan ternak di RPH Pesanggaran
membuat jumlah limbah yang dihasilkan cukup banyak, baik limbah cair
maupun limbah padat.
Kegiatan RPH akan menghasilkan limbah dengan kandungan bahan
organik tinggi disertai konsentrasi bahan padat dan lemak yang relatif
tinggi. Limbah utama dari RPH berasal dari penyembelihan,
pemindahan, pembersihan bulu, pengaturan, pemerosesan dan
pembersihan (Sanjaya et al., 1996). Distribusi bahan makanan asal
hewan, yang beredar dalam masyarakat dimulai dari Rumah Pemotongan
Hewan (RPH) yang berfungsi sebagai pintu gerbang penyediaan daging.
Selain menghasilkan daging, RPH juga menghasilkan produk samping
yang masih bisa dimanfaatkan. Limbah RPH adalah buangan dari proses
pemotongan hewan potong dan hasil ikutan yang tidak dimanfaatkan.
Sebagian besar dari limbah tersebut merupakan limbah organik berupa
darah, lemak, tinja, usus, dan isi rumen.
Menurut Kusnoputranto (1995) limbah akan berdampak pada kualitas
fisik air yaitu warna dan pH disamping itu total padatan terlarut, padatan
tersuspensi, kandungan lemak, BOD, ammonium, nitrogen, fosfor akan

27
mengalami peningkatan. Sedangkan Tjiptadi (1990) mengatakan bahwa
limbah terbesar berasal dari darah dan isi perut (rumen) dan usus akan
meningkatkan jumlah padatan. Limbah cair RPH dapat bertindak sebagai
media pertumbuhan dan perkembangan mikroba sehingga limbah tersebut
mudah mengalami proses dekomposi atau pembusukan. Proses
pembusukannya di dalam air menimbulkan bau yang tidak sedap yang
dapat mengakibatkan gangguan pada saluran pernapasan manusia yang
ditandai dengan reaksi fisiologik tubuh berupa rasa mual dan kehilangan
selera makan. Selain menimbulkan gas berbau busuk, penggunaan
oksigen terlarut yang berlebihan oleh mikroba dapat mengakibatkan
kekurangan oksigen bagi biota air (meningkatkan BOD).
Limbah cair Rumah Pemotongan Hewan (RPH) mengandung bahan
organik dengan konsentrasi tinggi, padatan tersuspensi, serta bahan
koloid seperti lemak, protein, dan selulosa. Bahan organik ini dapat
menimbulkan permasalahan lingkungan bila dibuang langsung ke
lingkungan (Roihatin, 2006). Limbah cair RPH mengandung larutan
darah, protein, lemak dan padatan tersuspensi yang menyebabkan
tingginya bahan organik dan nutrisi, tingginya variasi jenis dan residu
yang terlarut ini akan memberikan efek mencemari sungai dan badan air
(Kundu et al., 2013). Limbah cair yang dikeluarkan oleh RPH harus
dilakukan pengolahan sebelum dibuang ke lingkungan agar cemaran tidak
melebihi baku mutu air limbah. Baku mutu air limbah bagi usaha dan atau
kegiatan RPH berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 5
Tahun 2014 di antaranya limbah cair memiliki kadar paling tinggi untuk
BOD 100 mg/l, COD 200 mg/l, TSS 100 mg/l, minyak dan lemak 15mg/l,
NH3-N 25 mg/l dan pH 6 – 9 (Kementerian Lingkungan Hidup, 2014).
Menurut Kusnoputranto (1985) berdasarkan karakteristiknya, air
limbah RPH dapat digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu :
1. Karakteristik fisik, terdiri dari 99,9% air serta sejumlah kecil
bahan-bahan padattersuspensi.Air buangan rumah tangga biasanya

28
sedikit berbau sabun atau minyak dan bewarna suram seperti
larutan sabun, biasanya terdapat sisa-sisa kertas, sabun serta
bagian-bagian dari tinja;
2. Karakteristik kimia, air buangan mengandung campuran zat-zat
kimia anorganik yang berasal dari air bersih serta bermacam-
macam zat organik yang berasal dari bahan-bahan buangan dari
proses produksi. Biasanya bersifat basa pada saat limbah baru
dibuang dan cenderung bersifat asam apabila limbah sudah mulai
membusuk. Substansi organik dalam air buangan dapat
digolongkan menjadi dua gabungan. Kedua substansi tersebut
adalah gabungan yang mengandung nitrogen, yang terdiri dari
urea, protein, dan asam amino, serta gabungan yang tidak
mengandung nitrogen, yang terdiri dari lemak, sabun dan
karbohidrat jenis sellulosa;
3. Karakteristik biologis, kandungan bakteri patogen serta organisme
golongan coli juga terdapat dalam air limbah tergantung darimana
sumbernya, namun keduanya tidak berperan dalam proses
pengolahan air limbah industri. Untuk mencegah atau mengurangi
dampak negatif tersebut, perlu diperhatikan kondisi sistem
pembuangan air limbah yang memenuhi syarat sehingga air limbah
tersebut tidak mengkontaminasi sumber air minum, tidak
mengakibatkan pencemaran permukaan tanah, tidak menyebabkan
pencemaran air untuk mandi, perikanan, air sungai, atau tempat-
tempat rekreasi, tidak dapat dihinggapi serangga dan tikus dan
tidak menjadi tempat berkembangbiaknya berbagai bibit penyakit
dan vektor; baunya tidak mengganggu masyarakat setempat.

29
2.4.2 Dampak negatif air limbah rumah potong hewan
Secara umum dampak negatif yang ditimbulkan dari limbah RPH
dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Terhadap badan air
Kandungan senyawa organik dalam badan air penerima akan
meningkat, bila terjadi kadar parameter menyimpang dari standar,
maka akan terjadi penguraian yang tidak seimbang dan akan
menimbulkan kondisi septik (suatu keadaan dimana kadar oksigen
terlarut nol) dan timbul bau busuk (H2S). Kenaikan temperatur,
kenaikan/penurunan pH akan mengganggu kehidupan air,
misalnya tumbuhan dan hewan akan punah. Bila air tersebut
mempunyai kesadahan tinggi atau partikel yang mengendap cukup
banyak, hal ini akan mengakibatkan pendangkalan, sehingga dapat
menimbulkan banjir di musim hujan. Selain itu, senyawa
beracun/logam berat sangat membahayakan bagi masyarakat yang
mempergunakan air sungai sebagai badan air penerima yang
dipergunakan sebagai sumber penyediaan air bersih.
2. Terhadap Kesehatan Manusia
Air berperan dalam kelangsungan kehidupan.Air mengandung
zat-zat organik dan anorganik dalam batas-batas tertentu, oleh
sebab itu, ada dua peranan air limbah dalam kehidupan yakni
peranan positif dan negatif. Peran positif apabila air limbah
dengan kualitas parameter yang dikandungnya sesuai dengan
peruntukkannya antara lain untuk irigasi, perikanan, perkebunan,
perindustrian, rumah tangga, rekreasi dan sebagainya. Peranan
negatif air limbah secara umum dikatakan lebih banyak karena
manusia tidak merasa berkepentingan akan mengelola air limbah
tersebut.
Air limbah dianggap air yang tidak berguna lagi, oleh karena
itu, air limbah dibuang sembarangan tanpa mempertimbangkan

30
dampak negatif yang akan terjadi baik terhadap sumber alam
hayati dan non hayati yang berguna bagi kelangsungan kehidupan.
Peranan negatif tersebut termasuk pengaruhnya terhadap kesehatan
manusia dan lingkungannya baik secara langsung maupun tidak
langsung. Badan air penerima air limbah mempunyai potensi
untuk mengganggu kesehatan antara lain gangguan saluran
pencernaan, keracunan makanan, penyakit kulit dan sebagainya.
Adapun beberapa penyakit yang dapat ditularkan melalui air
limbah antara lain penyakit amoebiasis, kecacingan, muntaber,
leptospirosis, shigellosis, tetanus dan typus.
2.4.3 Jenis pengolahan air limbah RPH
Di Indonesia sistem pengolahan air limbah termasuk limbah rumah
potong hewan sudah berkembang dan telah banyak mengadopsi cara –
cara yang lebih efisien dan cepat. Di bawah ini akan dibahas metode
pengolahan air limbah yang umum digunakan pada rumah potong hewan
maupun limbah dari industri lainnya yang ada di Indonesia.
a. Pengenceran (dilution)
Pengenceran (dilution) air buangan dilakukan dengan
menggunakan air jernih untuk mengencerkan sehingga
konsentrasi polutan pada air limbah menjadi cukup rendah untuk
bisa dibuang ke badan-badan air. Pada keadaan-keadaan tertentu
pengenceran didahului dengan proses pengendapan dan
penyaringan. Kekurangan yang perlu diperhatikan dalam cara ini
adalah penggunaaan jumlah air yang banyak, kontaminasi pada
badan-badan air, danpendangkalan saluran air akibat adanya
pengendapan.
b. Irigasi luas
Irigasi luas umumnya digunakan di daerah luar kota atau di
pedesaan karena memerlukan tanah yang cukup luas yang jauh dari
pemukiman penduduk. Air limbah dialirkan ke dalam parit-parit

31
terbuka yang digali dan merembes masuk ke dalam tanah
permukaan melalui dasar dan dinding parit-parit tersebut. Air
limbah RPH yang banyak mengandung ammonia atau bahan
pupuk dapat dialirkan ke lahan pertanian karena berfungsi untuk
pemupukan.
c. Kolam oksidasi (Oxidation Ponds)
Empat unsur penting dalam proses pembersihan alamiah di
kolam oksidasi adalah sinar matahari, ganggang, bakteri dan
oksigen. Ganggang dengan butir chlorophylnya dalam air
buangan mampu melakukan proses fotosintesis dengan bantuan
sinar matahari sehingga tumbuh dengan subur. Pada proses sintesis
dibawah pengaruh sinar matahari terbentuk O2 (oksigen). Oksigen
ini digunakan oleh bakteri aerobik untuk melakukan dekomposisi
zat-zat organik yang terdapat dalam air buangan.Disamping itu
terjadi pula penguraian dan flokulasi zat-zat padat sehingga terjadi
pengendapan. Pada gilirannya kadar BOD dan TSS dari air buangan
akan berkurang sampai pada tingkat yang relatif aman bila akan
dibuang ke dalam badan-badan air.
d. Instalasi pengolahan primer dan sekunder (primary and secondary
treatment plant)
Instalasi ini biasanya merupakan fasilitas lengkap
pengolahan air limbah yang besar bagi sebuah kawasan
pemukiman kota dan industri yang menghasilkan air limbah.
Pengolahan primer biasanya mencakup proses mekanis untuk
menghilangkan material padatan tersuspensi. Sedangkan proses
selanjutnya yaitu pengolahan sekunder biasanya meliputi proses
biologiuntuk mengurangi BOD di dalam air.
e. Elektrokoagulasi Aliran Kontinyu
Elektrokoagulasi merupakan proses destabilisasi suspensi,
emulsi dan larutan yang mengandung kontaminan dengan cara

32
mengalirkan arus listrik melalui air, menyebabkan terbentuknya
gumpalan yang mudah dipisahkan. Namun pengolahan dengan cara
elektrokoagulasi seperti ini masih jarang diterapkan pada industri
maupun rumah potong hewan, karena masih dalam tahap penelitian
lebih lanjut.
Berdasarkan penelitan yang telah dilakukan oleh Roihatin A.,
dan Rizky,A.K (2009) menunjukkan bahwa tegangan elektrolosis,
waktu elektrokoagulasi, dan susunan elektroda sangat berpengaruh
terhadap penurunan kadar COD, TDS, TSS dan turbiditas pada
limbah. Penambahan waktu elektrokoagulasi dan rapat arus
cenderung menurunkan kadar COD, TDS, TSS dan turbiditas
limbah serta pH setelah proses elektrokoagulasi cenderung
mendekati netral.
f. Pemanfaatan Tumbuhan Eceng Gondok.
Salah satu cara pengolahan limbah rumah potong hewan secara
biologis adalah dengan menggunakan tumbuhan air, yaitu enceng
gondok (Eichhornia crasspes (Mart) Solm) sebagai teknologi
sederhana, murah, ramah lingkungan, serta sangat mudah dalam
penggunaannya, sehingga biaya sabagai salah satu kendala utama
dalam penanganan air limbah RPH dapat diatasi.Hasil penelitian
menunjukkan bahwa eceng gondok dapat berperan sebagai metode
pemulihan lingkungan secara biologis, yang dibuktikan dari hasil
penelitian bahwa eceng gondok mampu menurunkan kadar pH,
BOD, dan COD dari air limbah rumah potong hewan.
2.4.4 Parameter Air Limbah Rumah Potong Hewan
Paramater air limbah yang ditetapkan di Permenlh Nomor 02 Tahun
2006 meliputi:
 BOD (Biological Oxygen Demand)
BOD (Biological Oxygen Demand) adalah jumlah oksigen yang
dibutuhkan oleh tumbuhan dan hewan air untuk dapat bertahan hidup di

33
dalam air. Semakin banyak polutan organik di dalam air maka akan
semakin banyak oksigen yang dibutuhkan oleh organisme hidup akuatik.
Kadar BOD maksimum yang diperbolehkan bagi kegiatan rumah potong
hewan adalah 100 mg/l.
 COD (Chemical Oxygen Demand)
COD (Chemical Oxygen Demand) adalah jumlah oksigen yang
diperlukan untuk mengurai seluruh bahan organik yang terkandung dalam
air. Angka COD merupakan ukuran pencemaran oleh zat-zat organik
yang secara alamiah dapat dioksidasi melalui proses mikrobiologi dan
mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut di dalam air. Kadar COD
maksimum yang diperbolehkan bagi kegiatan rumah potong hewan
adalah 200 mg/l.
 TSS (Total Suspended Solid)
TSS (Total Suspended Solid) adalah padatan yang tidak larut dan
tidak dapat mengendap langsung yang menyebabkan kekeruhan air
(turbiditi). Padatan tersuspensi biasanya terdiri dari partikel-partikel halus
ataupun floks (lempung dan lanau) yang ukuran maupun berat partikelnya
lebih rendah dari sedimen pasir.Bahan-bahan kimia toksik dapat melekat
pada padatan tersuspensi ini.Kadar TSS maksimum yang diperbolehkan
bagi kegiatan rumah potong hewan adalah 100 mg/l.
 Minyak dan Lemak
Minyak dan lemak yang mencemari air sering dimasukkan ke dalam
kelompok padatan yang mengapung di atas permukaan air.Pencemaran
air oleh minyak sangat merugikan karena dapat mereduksi penetrasi sinar
matahari, menghambat pengambilan oksigen dari atmosfir, dan
mengganggu kehidupan tanaman dan satwa air.Komponen-komponen
hidrokarbon jenuh yang menyusun minyak yang mempunyai titik didih
rendah diketahui dapat menyebabkan anestesi dan narkosis pada berbagai
hewan tingkat rendah dan jika terdapat pada konsentrasi tinggi dapat

34
mengakibatkan kematian.Kadar minyak dan lemak maksimum yang
diperbolehkan bagi kegiatan rumah potong hewan adalah 15 mg/l.
 NH3 (Ammonia)
NH3 biasanya muncul sebagai akibat dari pembusukan jaringan
tanaman dan dekomposisi kotoran hewan. Ammonia kaya akan nitrogen
dan merupakan bahan pupuk yang baik. Adanya ammonia dalam air
limbah dapat menjadi indikasi adanya pencemaran senyawa organik yang
mengandung nitrogen.Kadar NH3 maksimum yang diperbolehkan bagi
kegiatan rumah potong hewan adalah 25 mg/l.
 pH (Derajat Keasaman)
Pengukuran pH yang berkaitan dengan proses pengolahan biologis
karena pH yang kecil akan lebih menyulitkan disamping akan
mengganggu kehidupan dalam air bila dibuang ke perairan terbuka. Kadar
pH maksimum yang diperbolehkan bagi kegiatan rumah potong hewan
adalah 6-9.

2.5 Koasistensi Dinas Pertanian Kabupaten Tabanan


2.5.1 Profil Dinas Pertanian Kabupaten Tabanan
Dinas Pertanian Kabupaten Tabanan menjadi bidang pemerintahan
yang menangani permasalahan di sektor pertanian dan peternakan yang
terdiri dari tenaga tenaga ahli di wilayah Tabanan. Melalui inilah bantuan
pemerintah dalam bidang pertanian dan peternakan disalurkan, seperti
meningkatkan basis produksi secara berkelanjuran, penguatan dan
kelembagaan perbenihan, pengembangan kawasan pertanian dan
perkebunan, meningkatkan kapasitas dan pemberdayaan SDM pertanian,
Perlindungan tanaman dengan tetap memperhatikan prinsip ramah
lingkungan, meningkatkan promosi dan pengembangan kualitas
komuditas unggulan, sosialisasi bahaya penyakit hewan menular dan
zoonosis, peningkatan dukungan aparatur dinas melalui perbaikan
manajemen, melibatkan peran serta masyarakat dalam penanggulangan

35
penyakit zoonosis, serta serta pelayanan kesehatan hewan di Kabupaten
Tabanan. Dinas Pertanian Kabupaten Tabanan mempunyai tugas adalah
menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang pertanian, serta
menjalankan tugas yang diberikan oleh pemerintah daerah atau
pemerintah Provinsi Bali di bidang pertanian. Dengan demikian Dinas ini
memiliki tanggung jawab yang besar dalam menangani masalah pertanian
di Kabupaten Tabanan (Dinas Pertanian Kabupaten Tabanan, 2016).
2.5.2 Visi dan Misi
Dinas Pertanian Kabupaten Tabanan tahun 2016-2021 mendukung
Visi dan Misi Pemerintah Kabupaten Tabanan tahun 2016-2021. Visi
dari Pemerintah Kabupaten Tabanan tahun 2016-2021 adalah
“TABANAN SERASI” yaitu Tabanan menuju Sejahtera, Aman dan
Berprestasi. Untuk mewujudkan visi “TABANAN SERASI” di atas
ditempuh melalui beberapa misi yaitu :
1. Membangun SDM yang berkualitas, berbudaya dan berkeadilan
sosial. Misi ini bertujuan untuk meningkatkan mutu pelayanan
pendidikan, meningkatkan akses pendidikan formal dan non
formal, mengembangkan pendidikan karakter dan kearifan budaya
local dan membangun kepedulian pada PMKS serta menjaga
keharmonisan hubungan antar kelompok.
2. Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui peningkatan
akses dan pelayanan prima. Misi ini bertujuan untuk
meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan dan
meningkatkan upaya preventif dan promotif kesehatan.
3. Menggerakan Ekonomi kerakyatan melalui pemberdayaan
masyarakat berbasis pertanian dan pariwisata. Misi ini bertujuan
untuk meningkatkan kemandirian petani dan kedaulatan pangan,
meningkatkan keterkaitan hulu hilir UMKM dan mengembangkan
pariwisata berbasis masyarakat.

36
4. Mempercepat pengembangan pusat-pusat pertumbuhan wilayah
melalui peningkatan infrastruktur. Misi ini bertujuan
meningkatkan kualitas infrastruktur, mewujudkan konsistensi
perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang
dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup.
5. Memperkuat birokrasi yang berorientasi kinerja, transparan dan
berdaya saing berbasis teknologi informasi. Misi ini bertujuan
untuk meningkatkan kualitas birokrasi dan tata kelola pemerintah
serta meningkatkan kualitas manajemen pemerintahan desa.
Dari kelima misi tersebut, misi ketiga sangat berkaitan dengan
tugas pokok dan fungsi Dinas Pertanian Kabupaten Tabanan, maka
Dinas Pertanian Kabupaten Tabanan ikut berperan secara langsung
dan tidak langsung dalam upaya mewujudkan misi ketiga tersebut
(Dinas Pertanian Kabupaten Tabanan, 2016).
2.5.3 Fungsi dan Tugas Pokok
Sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten Tabanan Nomor 13 tahun
2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah, Dinas
Pertanian Kabupaten Tabanan mempunyai tugas adalah
menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang pertanian. Didasarkan
atas Peraturan Bupati Nomor 52 tahun 2016 tentang Kedudukan, Susunan
Organisasi, Tugas dan Fungsi serta Tata Kerja Perangkat Daerah
Kabupaten Tabanan, Dinas Pertanian Kabupaten Tabanan mempunyai
fungsi sebagai :
1. Perumus kebijakan di bidang pertanian;
2. Pelaksanaan kebijakan di bidang pertanian;
3. Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan di bidang pertanian;
4. Pelaksanaan administrasi dinas di bidang pertanian;
5. Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Bupati terkait dengan
tugas dan fungsinya.

37
2.5.4 Struktur Organisasi
Dinas Pertanian Kabupaten Tabanan memiliki struktur organisasi yang
terdiri dari 1 Kepala Dinas, 1 Sekretaris Dinas, dengan 2 Sub. Bagian dan
5 bidang dengan 15 Seksi, Unit Pelaksana Teknis Dinas dan Kelompok
Jabatan Fungsional, dengan sebagai berikut (Gambar 1) :

Gambar 1. Struktur Organisasi Dinas Pertanian Kabupaten Tabanan


Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Tabanan (2016).
2.5.5 Potensi Bidang Peternakan
Potensi unggulan peternakan Kabupaten Tabanan diantaranya sapi,
kerbau, kuda, kambing, babi, ayam buras, ayam petelor, ayam pedaging,
dan itik. Jumlah populasi ternak di Kabupaten Tabanan pada tahun 2013-
2017 disajikan dalam tabel dibawah:

38
Tabel 4. Populasi ternak di Kabupaten Tabanan (ekor), 2013-2017
No. Ternak Populasi Ternak (ekor)
2013 2014 2015 2016 2017
1. Sapi 53.800 51.567 51.567 50.908 45.268
2. Kerbau 325 216 216 251 382
3. Kuda - 7 7 19 46
4. Babi 91.770 99.378 99.378 2.912 2.568
5. Kambing,Domba 4.249 4.823 4.823 2.586 2.478
6. Ayam 4.086.486 5.273.862 5.273.862 5.074.610 5.213.721
7. Itik 95.601 111.287 111.297 82.910 74.255

2.5.6 Wilayah Kerja


Wilayah kerja Dinas Pertanian Kabupaten Tabanan yang meliputi 10
Kecamatan, 132 Desa/Kelurahan (Tabel 5).

Tabel 5. Wilayah Kerja Dinas Pertanian Kabupaten Tabanan


No Kecamatan Jml Desa Dinas
1 Selemadeg 10
2 Selemadeg Timur 10
3 Selemadeg Barat 11
4 Kerambitan 15
5 Tabanan 12
6 Kediri 15
7 Marga 16
8 Baturiti 12
9 Penebel 18
10 Pupuan 14
Total 133
Sumber: BPS Kabupaten Tabanan (2015).
2.5.7 Tujuan dan Sasaran
Tujuan merupakan sesuatu yang ingin dicapai dari setiap misi, yang
dirumuskan bersifat spesifik, realistis, dilengkapi dengan sasaran yang
terukur dan dapat dicapai dalam periode yang direncanakan. Sejalan
dengan Pola Dasar Pembangunan Provinsi Bali, maka ditetapkan Visi
Dinas Peternakan Provinsi Bali yaitu “Terwujudnya Peternakan Yang
Maju, Tangguh, Berwawasan Agribisnsis Berbasis Sumber Daya Lokal
Menuju Bali Mandara Jilid II”. Melalui visi tersebut, diharapkan Bali

39
mampu menyediakan produk primer peternakan dan olahan yang sehat
dan berkesinambungan dan terjangkau oleh daya beli masyarakat dengan
memperhahatikan efisiensi dan kelangsungan usaha mulai dari
penyediaan sarana produksi, budidaya, sampai kepada pengolahan harus
ramah lingkungan, yang dilandasi kesinambungan, keselarasan,
kelestarian dan optimalisasi penggunaan lahan pemanfaatan limbah
peternakan serta pengendalian organisme pengganggu bagi kesehatan
hewan maupun kesehatan manusia (Pemerintah Provinsi Bali Dinas
Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2015).
2.5.8 Kebijakan Dinas Pertanian Kabupaten Tabanan
Dalam Misi III Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah
(RPJMD) Provinsi Bali yaitu mewujudkan Bali yang sejahtera dan
sukerta lahir bhatin, maka berdasarkan misi tersebut serta untuk
mewujudkan visi, ditetapkan misi Dinas Peternakan dan Kesehatan
Hewan Provinsi Bali yaitu :
1. Meningkatkan dan mempertahankan status kesehatan hewan
2. Meningkatkan populasi ternak dan produksi peternakan
3. Meningkatkan penumbuhan kelembagaan kelompok usaha
pengolahan dan pemasaran hasil perternakan serta jaminan
keamanan pangan hewani yang ASUH (Aman, Sehat, Utuh, Halal).
2.5.9 Data Penyakit Hewan di Tabanan
Berikut merupakan data penyakit-penyakit yang menyerang ternak di
Kabupaten Tabanan (Tabel 6)

40
Tabel 6. Data Penyakit Hewan di Tabanan
No. Jenis Penyakit Ternak Yang Diserang
1. Bovine Ephemeral Fever (BEF) Sapi
2. Coccidiosis (COC) Sapi
3. Bovine Viral Diarrhea (BVD) Sapi
4. Jembrana Disease (JD) Sapi
5. Septicemia epizootica (SE) Sapi
6. Hog Cholera (HC) Babi
7. Colibacillosis (CB) Babi
8. Streptococcosis (STC) Sapi, Babi
9. Bali Ziekte (BZ) Sapi
10. Avian Influenza (AI) Ayam
11. Newcastle Disease (ND) Ayam
12. Rabies (RB) Anjing
13. Scabiosis (SC) Sapi, Babi, Kambing, Anjing
Sumber: Pemerintahan Kabupaten Tabanan Dinas Peternakan Kabupaten
Tabanan, 2017.
2.5.10 Data Penyakit Hewan Menular Strategis di Tabanan
Beberapa penyakit hewan strategis dan kasus-kasus penyakit yang
berdampak ekonomis di Kabupaten Tabanan yang disebabkan oleh virus,
bakteri dan parasit (endoparasit dan ektoparasit). Adapun jenis-jenis penyakit
tersebut disajikan pada tabel berikut (Tabel 7):
Tabel 7. Data Penyakit Hewan Menular Strategis di Tabanan
No. Penyakit Strategis Jumlah Kejadian pada Tahun-
2013 2014 2015 2016 2017
1. Bovine Ephemeral Fever (BEF) 421 580 694 514 570
2. Coccidiosis (COC) 345 641 453 379 267
3. Bovine Viral Diarrhea (BVD) - - - - -
4. Jembrana Disease (JD) - - - - -
5. Septicemia epizootica (SE) - - - - -
6. Hog Cholera (HC) - - - - -
7. Colibacillosis (CB) 4.204 3.970 4.794 4.020 4.747
8. Streptococcosis (STC) 679 599 804 908 774
9. Scabiosis (SC) 2.340 2.510 3.225 3.060 3.104
10. Bali Ziekte (BZ) - - - - -
11. Avian Influenza (AI) - - - - -

41
12. Newcastle Disease (ND) - - - - -
13. Rabies (RB) - 9 55 29 5
Sumber: Pemerintahan Kabupaten Tabanan Dinas Peternakan Kabupaten
Tabanan, 2017.
1. Penyakit Viral
a. Penyakit Jembrana.
Merupakan penyakit menular strategis yang bersifat endemis di
Kabupaten Badung. Penyakit ini disebabkan oleh retrovirus dan
menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup berarti apabila tidak
ditanggulangi. Sampai saat ini, hanya ras sapi Bali yang diketahui
peka terhadap penyakit Jembrana. Selama tahun 2013 sampai tahun
2017 tidak ada laporan penyakit Jembrana di Kabupaten Tabanan.
b. Penyakit Bovine Ephemeral Fever (BEF)
Penyakit ini menyerang ternak sapi yang ditularkan melalui gigitan
serangga. Penyakit ini disebabkan oleh virus dari kelompok
arbovirus dan tidak menular melalui kontak langsung. Dari tabel
diatas dapat dilihat bahwa jumlah kasus penyakit BEF pada tahun
2013 di Kabupaten Tabanan sebanyak 421 kasus. Pada tahun 2014
kasus mengalami peningkatan kasus menjadi 580. Pada tahun 2015
kasus menjadi 694 , pada tahun 2016 menjadi 514 dan Jumlah kasus
mengalami penurunan ditahun 2017 menjadi 570.
c. Penyakit BVD.
Penyakit BVD merupakan penyakit yang menyerang sapi pada
semua umur. Dari tabel dapat dilihat bahwa kasus penyakit BVD di
Kabupaten Tabanan dari tahun 2013-2017 tidak ada laporan kasus.
d. Hog Cholera.
Hog Cholera merupakan penyakit yang menyerang Babi
dengan morbilitas dan mortalitas yang cukup tinggi dan bersifat
endemis. Dari tabel dapat dilihat bahwa kasus penyakit Hog

42
Cholera di Kabupaten Tabanan dari tahun 2013-2017 tidak ada
laporan kasus.
e. Penyakit ND (Tetelo).
Newcastle Disease (ND) adalah penyakit menular pada unggas
yang disebabkan oleh paramyxovirus-1, bersifat endemis dengan
angka morbilitas dan mortalitas yang tinggi serta menyerang semua
jenis umur. Pada tahun 2013-2017 tidak dilaporkan adanya kasus
ND.
f. Avian Influenza (AI).
Avian Influenza (AI) adalah penyakit hewan menular yang
menyerang unggas, disebabkan oleh virus influenza tipe A, famili
Orthomyxoviridae. Berbagai spesies unggas rentan terhadap infeksi
virus AI, khususnya subtipe H5N1. Virus AI menyerang juga
berbagai jenis mamalia termasuk manusia. Sejak tahun 2013 hingga
2017 tidak terdapat kasus AI yang dilaporkan di Kabupaten
Tabanan.
g. Penyakit Rabies
Rabies merupakan penyakit hewan menular, yang disebabkan
oleh virus kelompok Rabdovirus dan bersifat akut serta menyerang
susunan saraf pusat hewan berdarah panas maupun manusia.
Kejadian penyakit rabies di Kabupaten Tabanan tahun 2013 tidak
ada lapora kasus , pada tahun 2014 meningkat menjadi 9 kasus.
Pada tahun 2015 kasus meningkat menjadi 55 kasus. Pada tahun
2016 menurun menjadi 29 kasus . Pada tahun 2017 menurun
menjadi 5 kasus.
2. Penyakit Bakterial
a. Streptococcosis
Streptococcosis penyakit yang disebabkan oleh Streptococcus sp.
Yang ditandai dengan adanya poliartrhitis, septikemia, dan
meningitis. Penyakit ini memiliki angkat morbiditas dan mortalitas

43
yang tinggi serta bersifat zoonotik. Pada tahun 2013 dilaporkan 679
kasus, pada tahun 2014 dilaporkan terdapat 599 kasus dan pada
tahun 2015 dilaporkan terdapat 804 kasus. Pada tahun 2016
dilaporkan 908 kasus. Pada tahun 2017 tejadi penurunan menjadi
774 kasus.
b. Penyakit Septicaemia Epizootica (SE)
Penyakit SE atau yang sering juga disebut sebagai penyakit ngorok
disebabkan oleh kuman Pasteurella multosida merupakan penyakit
hewan menular yang bersifat sub akut sampai kronis, penyakit ini
terutama menyerang ternak sapi dan kerbau pada semua umur. Di
Kabupaten Tabanan dari tahun 2013 sampai tahun 2017 kejadian
penyakit SE belum pernah dilaporkan.
c. Colibacillosis
Colibacillosis adalah penyakit hewan menular yang disebabkan
oleh kuman Escherichia colli, yang biasanya menyerang ternak babi
terutama anak babi. Pada tahun 2013 dilaporkan 4.204 kasus, pada
tahun 2014 terdapat 3.970 kasus. Pada tahun 2015 dilaporkan 4.794
kasus. Pada tahun 2016 dilaporkan 4.020 kasus. Pada tahun 2017
dilaporkan 4.747 kasus. Semua terjadi pada sapi dan babi.
3. Penyakit Parasiter
a. Scabiosis
Scabiosis merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh spesies
Sarcoptes scabii. Penyakit ini biasanya cepat menular dengan angka
morbilitas yang tinggi, tetapi kematian hampir tidak ada. Pada tahun
2013 dilaporkan 2.340 kasus. Pada tahun 2014 dilaporkan 2.510.
Pada tahun 2015 dilaporkan 3.225 kasus. Pada tahun 2016
dilaporkan 3.060 kasus. Pada tahun 2017 dilaporkan 3.104 kasus.
Terjadi pada sapi babi dan kambing.
b. Coccidiosis

44
Koksidiosis adalah penyakit parasitik pada saluran usus yang
disebabkan genus Eimeria sp. yang menyebabkan kerusakan
jaringan sehingga menghambat pertumbuhan ternak . Dari tabel
diatas dapat dilihat bahwa jumlah kasus penyakit Coccidiosis pada
tahun 2013 di Kabupaten Tabanan sebanyak 345 kasus. Pada tahun
2014 kasus mengalami peningkatan kasus menjadi 641. Pada tahun
2015 kasus terdapat kasus 453 , pada tahun 2015 menjadi 379 dan
Jumlah kasus mengalami penurunan ditahun 2016 menjadi 267.
4. Bali Ziekte
Bali Ziekte merupakan penyakit kulit yang sampai saat ini diketahui
hanya menyerang sapi bali. Beberapa peneliti menyatakan bahwa
penyakit ini disebabkan karena terjadinya peningkatan kepekaan
individu terhadap fotosensitisasi pada ternak yang memakan tanaman
Lantana camara. Bali Ziekte pada tahun 2012 dan 2016 tidak ada
laporan.

2.6 Koasistensi Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali


2.6.1 Geografis
Provinsi Bali dengan luas wilayah 5.636,66 km² merupakan daerah
yang pertaniannya sangat intensif, dimana petani juga sebagai peternak.
Disamping itu di Bali juga sudah ada perusahaan bidang peternakan baik
itu budidaya maupun industry peternakan. Provinsi Bali yang terdiri dari
8 (delapan) kabupaten dan satu kota dengan 57 kecamatan berpenduduk
tahun 2015: 4.104.900 jiwa.
Berdasarkan Bali dalam angka tahun 2015 penggunaan tanah didaerah
Bali adalah sebagai berikut, lahan pertanian 354. 406 Ha, atau telah
terjadi peningkatan 0,04% dari tahun sebelumnya 355.271 Ha, sedangkan
bukan lahan pertanian mencapai 209.260 Ha atau terjadi penurunan
0,06% dari tahun sebelumnya 208.395 Ha. Walaupun Provinsi Bali tidak
begitu luas dengan pulau-pulau diwilayah nusantara ini namun daerah

45
Bali mempunyai potensi yang cukup besar dalam mengembangkan
peternakan disamping itu bidang peternakan merupakan salah satu
penunjang sektor periwisata yang merupakan sektor andalan dalam
pemasukan devisa daerah Bali.

Gambar 2. Letak geografis Provinsi Bali

Ternak merupakan salah satu komoditas pertanian yang memiliki


fungsi sosial budaya dan ekonomi yang cukup penting bagi masyarakat
Bali. Ternak dan hasil ternak dibutuhkan hampir setiap hari dalam
penyelenggaraan kehidupan ekonomi dan sosial buadaya masyarakat
Bali. Berdasarkan Data

Gambar 3. Peternakan Sapi Bali di Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

46
Peternakan tahun 2017 populasi ternak di Provinsi Bali adalah sebagai
berikut; sapi potong (Bali) 544.372 ekor, sapi perah 0 ekor, kuda 108
ekor, kerbau 1.863 ekor, babi 802.007 ekor, kambing 62.697 ekor, domba
0 ekor, ayam buras 3.933.578 ekor, ayam ras petelor 5.517.072 ekor,
ayam ras pedaging 9.064.314 ekor itik 633.411 ekor, kelinci 6.754 ekor,
puyuh 17.238 ekor, merpati 114.536 ekor, angsa 3.739. pada tahun yang
sama tercatat total produksi daging terdiri dari daging sapi 7,304.48 ton,
daging kerbau 22,57 ton, daging ayam buras 5.851,55 ton,daging ayam
petelur 1.903,59 ton, daging ayam pedaging 88.519,59 ton dan daging itik
361,52 ton serta produksi telur 53.341,92 ton dan susu 0 ton (Dinas
Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali, 2017).
2.6.2 Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali
Seperti halnya ditingkat pusat, di daerah pun terjadi perkembangan
organisasi baik struktur maupun fungsi dan tata-kerjanya. Berdasarkan
Undang-undang No. 64 tahun 1958 terbentuklah Propinsi Daerah Tingkat
I Bali, NTT dan NTB. Sebelum tahun 1971 organisasi yang menangani
Peternakan di Daerah Propinsi Tingkat I, disebut Jawatan Kehewanan
Propinsi, kemudian diadakan reorganisasi mengikuti perkembangan
pusat, sehingga namanya menjadi Dinas Peternakan Propinsi Daerah
Tingkat I Bali yang bernaung dibawah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I
Bali. Semenjak diberlakukannya Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4
Tahun 2011 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah Psl 96,
maka Dinas Peternakan Provinsi Bali berubah nama menjadi Dinas
Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali (Dinas Peternakan dan
Kesehatan Hewan Provinsi Bali, 2017).

47
Gambar 4. Lobi depan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali

Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali beralamat di


Jalan WR. Supratman No.71, Denpasar Timur. Lembaga ini menjadi
bidang pemerintahan yang menangani permasalahan di bidang peternakan
dan kesehatan hewan, yang terdiri dari tenaga tenaga ahli di wilayah
Provinsi Bali. Menurut peraturan Gubernur Bali No. 104 Tahun 2016,
melalui Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali inilah
bantuan pemerintah dalam bidang peternakan dan kesehatan hewan
disalurkan, seperti sarana dan prasarana serta penyuluhan ternak, pakan,
dan pembiayaan; pembibitan dan produksi ternak baik ternak perbibitan,
ruminansia maupun non ruminansia. Juga melakukan sosialisasi bahaya
penyakit hewan menular dan zoonosis, peningkatan dukungan aparatur
dinas melalui perbaikan manajemen, melibatkan peran serta masyarakat
dalam penanggulangan penyakit zoonosis, serta serta pelayanan
kesehatan hewan di seluruh wilayah Provinsi Bali.
2.6.3 Visi Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali memiliki visi
yaitu:“Terwujudnya peternakan yang maju, tangguh, berwawasan
agribisnis berbasis sumber daya lokal menuju Bali Mandara Jilid II”.
Visi tersebut mengandung makna bahwa seluruh aktivitas subsektor
ini secara terpadu dan berkelanjutan selalu mengacu terhadap upaya

48
mewujudkan suatu peternakan yang maju dan tangguh dengan
memberdayakan sumber daya lokal seiring visi Pemerintah Provinsi Bali
yakni Bali yang Aman, Maju, Damai dan Sejahtera atau Bali Mandara
(Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali, 2017).
2.6.4 Misi Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali
Untuk mewujudkan visi, ditetapkan misi Dinas Peternakan dan
Kesehatan Hewan Provinsi Bali, yaitu:
1. Meningkatkan populasi ternak dan produksi peternakan
2. Meningkatkan kuantitas dan kualitas sumber daya genetik bibit
ternak
3. Meningkatkan dan mempertahanan status kesehatan hewan
4. Meningkatkan jaminan pangan hewani yang ASUH (Aman, Sehat,
Utuh dan Halal)
5. Menciptakan lapangan pekerjaan dan kesempatan kerja
6. Memberdayakan SDM peternakan dan mengembangkan teknologi,
bioteknologi tepat guna
7. Meningkatkan pelayanan pada masyarakat
8. Memanfaatkan dan melestarikan sumber daya alam pendukung
peternakan
9. Meningkatkan ketersediaan dan konsumsi pangan asal hewan
(Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali, 2017).
2.6.5 Fungsi dan Tugas Pokok
Dalam buku laporan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi
Bali tahun 2017, disebutkan fungsi dan tugas pokok nya meliputi:
1. Tugas Pokok
Merumuskan kebijakan oprasional dibidang peternakan yang
merupakan sebagian kewenangan yang dilimpahkan kepada Gubernur
berdasarkan azas dekonsentrasi dan tufas pembantuan.

49
2. Fungsi
Fungsi nya meliputi : a) Perumusan kebijakan teknis di bidang
peternakan dan kesehatan hewan; b) Pengelolaan dan fasilitasi
dibidang peternakan dan kesehatan hewan; c) Pelaksaan pelayanan
umum dan pemberian rekomendasi di bidang peternakan dan
kesehatan hewan; d) Pembinaan pelaksaan tugas bidang peternakan
dan kesehatan hewan; e) Pelaksaan urusan tata usaha dan; f)
Pelaksanaan tugas lainnya yang diberikan oleh Kepala Daerah
2.6.6 Struktur Organisasi

Gambar 5. Struktur Organisasi Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali

2.6.7 Potensi Bidang Peternakan


Penggunaan lahan di Provinsi Bali terdiri dari lahan sawah 80.542 Ha
dan tanah bukan sawah 273.864 Ha. Terdiri dari: tegal/kebun 123.771
Ha, Ladang 0 Ha, Perkebunan 122.219 Ha, hutan rakyat 23.909 Ha,
Tambak/kolam 3.556 Ha, padang pengembalaan 0 Ha. Dari luas lahan
tersebut yang dapat dimaanfatkan paling besar untuk pengembangan

50
usaha peternakan adalah sebgai tanah kering dan perkebunan. Potensi
sumber daya peternakan di Provinsi Bali cukup besar, namun
pemanfaatannya masih sangat terbatas.
2.6.8 Wilayah Kerja
Jumlah penduduk Provinsi Bali pada tahun 2012 sebesar 4.035.000
jiwa secara rinci jumlah penduduk per Kabupaten/Kota adalah sebagai
berikut:
 Kota Denpasar : 833.900 Jiwa
 Kabupaten Badung : 579.200 Jiwa
 Kabupaten Gianyar : 484.600 Jiwa
 Kabupaten Klungkung : 174.400 Jiwa
 Kabupaten Bangli : 220.200 Jiwa
 Kabupaten Karangasem : 408.100 Jiwa
 Kabupaten Jembrana : 268.000 Jiwa
 Kabupaten Tabanan : 430.900 Jiwa
 KabupatenBuleleng : 638.700 jiwa
2.6.9 Tujuan dan Sasaran
a. Tujuan
1. Terwujudnya peningkatan populasi ternak,
2. Terwujudnya penurunan tingkat kesakitan ternak dan hewan serta
penurunan pemotongan sapi betina produktif dan penumbuhan unit
usaha /kelompok usaha pengolahan dan pemasaran hasil peternakan.
3. Peningkatan sarana dan prasarana peternakan dan peningkatan kelas
kemampuan kelompok serta jumlah kelompok pengolah pakan
ternak,
b. Sasaran
1. Meningkatnya populasi ternak
2. Meningkatnya ketersediaan dan pemanfaatan sarana prasarana
peternakan dan kelas kemampuan kelompok sertajumlah kelompok
pengolah pakan ternak.

51
3. Menurunnya tingkat kesakitan ternak dan hewan, menurunnya
pemotongan sapi betina produktif serta penumbuhan unit usaha/
kelompok pengolahan dan pemasaran hasil peternakan
2.6.10 Kebijakan Dinas
b. Strategi
Untuk meraih visi dan melaksanakan misi serta mencapai tujuan dan
sasaran maka pilihan strategi pembangunan peternakan adalah:
a. Optimalisasi pemanfaatan dan pengembangan serta perlindungan
sumber daya alami lokal
b. Pengembangan wilayah berdasarkan komoditas ternak unggulan
c. Pengembangan kelembangaan petani ternak
d. Pengembangan teknologi tepat guna yang ramah lingkungan
e. Pengembangan kemitraan yang lebih luas dan saling
menguntungkan
f. Peningkatan kualitas SDM petugas dan petani ternak
g. Sosialisasi dan promosi peternakan
h. Participate planning (perencanaan pembangunan yang
mengikutsertakan partisipasi stake holder)
c. Arah Kebijakan
A. Kebijakan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali
1. Kebijakan Umum
Memberdayakan kegiatan di hulu, memperkuat dihilir guna
menciptakan nilai tambah dan daya saing usaha peternakan yaitu:
(1) Pengembangan Produksi Berupa Daging dan Telur melalui:
 Konsolidasi dan peningkatan usaha peternakan rakyat kearah
usaha tani komersial, orientasi pasar, berwawasan lingkungan
melalui pendekatan agribisnis.
 Pemantapan agribisnis dan agro industry melalui pengembangan
kawasan usaha peternakan dengan penerapan pola kemitraan yang
rasional.

52
(2) Pasca Panen dan Pemasaran dilaksanakan dengan perbaikan Tata
Niaga dan Pemasaran melalui:
 Perbaikan sarana dan prasarana
 Pemantapan dan peningkatan aktifitas seta peran kelembagaan
(peternakan dan koperasi) dalam pemasaran
 Mengembangkan berbagai pola kemitraan
(3) Pelestarian dan Pengembangan Sumber Daya Genetik
 Pengembangan mutu sapi Bali melalui kegiatan IB
 Introduksi jenis ternak unggul (selain sapi) untuk peningkatan
mutu genetik ternak yang sudah ada maupun sebagai ternak yang
akan dikembangkan
(4) Pengembanga Sumber Daya Manusia diarahkan pada peningkatan
kemampuan penguasaan IPTEK dan memejemen usaha tani
(5) Pengembangan teknologi diarahkan pada rekayasa teknologi tepat
guna terapan baik yang merupakan hasil temuan ilmuan maupun
ciptaan peternak
(6) Pengembangan kelembagaan dilaksanakan melalui:
 Pengembangan kemampuan dan peran kelompok tani ternak yng
ada
 Menciptakan wadah kerja sama antar kelompok tani komoditas
sejenis dalam wadah koperasi
(7) Pengembangan wilayah diarahkan untuk:
 Mengatasi kesenjangan pembangunan antar wilayah
 Mengatasi kesenjangan anter golongan
 Mengatasi kemiskinan
 Menciptakan usaha iklim yang sehat
 Pengembangan wilayah dilakukan dengan mengoptimalkan
pengembangan wilayah sesuai dengan potensi yang ada

53
(8) Keterpaduan sub sector, program dan wilayah dengan mengupayakan
koordinasi dan keterpaduan antar subsektor dan sektor dalam
merencanakan dan melaksanakan kegiatan serta perpaduan antar
“button up” dan “top down” planning
(9) Pengembangan peran swasta dan swadaya masyarakat
(10) Pengembangan permodalan dan investasi diarahkan pada
pemupukan modal sendiri, kredit dan kemitraan
(11) Pengembangan sistem informasi dan investasi diarahkan untuk
mendukung penetapan kebijakan lebih lanjut dan merangasng
investasi
(12) peningkatan sarana dan rasarana kerja khususnya untuk pelaksanaan
di lapangan

2. Kebijakan Teknis
Untuk menjabarkan kebijakan tersebut dalam bentuk
operasional teknis dilapangan, maka perlu ditetapkan kebijakan teknis
yang meliputi:
(1) Pengembangan Sistem Pembinaan Bibit
 Perbibitan pedesaan
 Perbibitan swasta dengan dorongan investasi dan pembinaan
teknis
(2) Peningkatan Pelayanan Kesehata Hewan
 Pencegahan, pengamatan dan penyidikan, pemberantasan dan
pengobatan serta pembinaan dan pengawasan
(3) Pembinaan Produksi dan Budidaya Ternak
 Intensifikasi, diverifikasi dan rehabilitasi
 Pengembangan peran catur sarana pembinaan (kelompok tani,
KUD, penjualan sarana produksi dan industri pasca panen)
 Penyuluhan dan pelatihan ternak
 Pengendalian pengeluaran dan pemasukan ternak

54
2.6.11 Data Penyakit Hewan Provinsi Bali
Data penyakit-penyakit hewan yang menyerang ternak di Provinsi Bali
dimuat dalam Tabel 8.
Tabel 8. Data Penyakit Hewan Provinsi Bali
No Jenis Penyakit Ternak Yang Diserang
1 Septicemia Epizootica (SE) Sapi, Kerbau dan Babi
2 Diare Ganas Sapi (DGS) Sapi Bali
3 Hog cholera (HC) Babi
4 Streptococcus (STC) Babi
5 New Castle Disease (ND) Ayam
6 Avian Influenza (AI) Semua Unggas
7 Bovine Ephemeral Fever (BEF) Sapi
8 Scabies (SC) Babi, Kambing, Kelinci dan Anjing
9 Colibasilosis (CB) Sapi, Kerbau dan Babi
10 Coccidiosis (COC) Sapi, Kambing, Kelinci dan Ayam
11 Bali Ziekta (BZ) Sapi Bali
12 Rabies (RA) Anjing, Kucing dan Kera
13 Jembrana (JA) Sapi Bali
14 Individual (IND)
15 Helminthiasis (HLT) Sapi dan Kerbau
Sumber: Dinas Peternakan Dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali Tahun 2017
I. Penyakit Viral
a. Penyakit Jembrana
Merupakan penyakit menular strategis yang bersifat endemis di
Kabupaten Badung. Penyakit ini disebabkan oleh retrovirus dan
menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup berarti apabila tidak
ditanggulangi. Sampai saat ini, hanya ras sapi Bali yang diketahui
peka terhadap penyakit Jembrana. Selama tahun 2015 sampai tahun
2017 tidak ada laporan penyakit Jembrana di Kabupaten Tabanan.

55
b. Penyakit Bovine Ephemeral Fever (BEF)
Penyakit ini menyerang ternak sapi yang ditularkan melalui gigitan
serangga. Penyakit ini disebabkan oleh virus dari kelompok arbovirus
dan tidak menular melalui kontak langsung. Dari tabel diatas dapat
dilihat bahwa jumlah kasus penyakit BEF pada tahun 2015 di
Kabupaten Tabanan sebanyak 586 kasus. Pada tahun 2016 kasus BEF
mengalami penurunan kasus menjadi 354. Jumlah kasus meningkat
ditahun 2017 menjadi 570.
d. Penyakit BVD.
Penyakit BVD merupakan penyakit yang menyerang sapi pada
semua umur. Dari tabel dapat dilihat bahwa kasus penyakit BVD di
Kabupaten Tabanan dari tahun 2015-2017 tidak ada laporan kasus.
e. Hog Cholera.
Hog Cholera merupakan penyakit yang menyerang Babi dengan
morbilitas dan mortalitas yang cukup tinggi dan bersifat endemis. Dari
tabel dapat dilihat bahwa kasus penyakit Hog Cholera di Kabupaten
Tabanan dari tahun 2015-2017 tidak ada laporan kasus.
f. Penyakit ND (Tetelo).
Newcastle Disease (ND) adalah penyakit menular pada unggas
yang disebabkan oleh paramyxovirus-1, bersifat endemis dengan
angka morbilitas dan mortalitas yang tinggi serta menyerang semua
jenis umur. Pada tahun 2015-2017 tidak dilaporkan adanya kasus ND.
g. Avian Influenza (AI).
Avian Influenza (AI) adalah penyakit hewan menular yang
menyerang unggas, disebabkan oleh virus influenza tipe A, famili
Orthomyxoviridae. Berbagai spesies unggas rentan terhadap infeksi
virus AI, khususnya subtipe H5N1. Virus AI menyerang juga berbagai
jenis mamalia termasuk manusia. Sejak tahun 2015 hingga 2017 tidak
terdapat kasus AI yang dilaporkan di Kabupaten Tabanan.

56
h. Penyakit Rabies
Rabies merupakan penyakit hewan menular, yang disebabkan
oleh virus kelompok Rabdovirus dan bersifat akut serta menyerang
susunan saraf pusat hewan berdarah panas maupun manusia. Kejadian
penyakit rabies di Kabupaten Tabanan tahun 2015 dilaporkan
sebanyak 39 kasus dan tahun 2016 menurun menjadi 16 kasus dan
pada tahun 2017 menurun menjadi 5 kasus.
II. Penyakit Bakterial
a. Streptococcosis
Streptococcosis penyakit yang disebabkan oleh Streptococcus
sp. Yang ditandai dengan adanya poliartrhitis, septikemia, dan
meningitis. Penyakkit ini memiliki angkat morbiditas dan mortalitas
yang tinggi serta bersifat zoonotik. Pada tahun 2015 dilaporkan
terdapat 649, pada tahun 2016 dilaporkan terdapat 547 kasus dan pada
tahun 2017 dilaporkan terdapat 774.
b. Penyakit Septicaemia Epizootica (SE)
Penyakit SE atau yang sering juga disebut sebagai penyakit
ngorok disebabkan oleh kuman Pasteurella multosida merupakan
penyakit hewan menular yang bersifat sub akut sampai kronis,
penyakit ini terutama menyerang ternak sapi dan kerbau pada semua
umur. Di Kabupaten Tabanan dari tahun 2015 sampai tahun 2017
kejadian penyakit SE belum pernah dilaporkan.
c. Colibacillosis
Colibacillosis adalah penyakit hewan menular yang disebabkan
oleh kuman Escherichia colli, yang biasanya menyerang ternak babi
terutama anak babi. Pada tahun 2015 tidak dilaporkan adanya kasus,
sedangkan pada tahun 2016 terdapat 2.003 kasus yang terdiri dari 6
kasus pada sapi dan 2.699 kasus pada babi. Pada tahun 2017
dilaporkan terdapat 4.747 kasus.

57
III. Penyakit Parasiter
a. Scabiosis
Scabiosis merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh spesies
Sarcoptes scabii. Penyakit ini biasanya cepat menular dengan angka
morbilitas yang tinggi, tetapi kematian hampir tidak ada. Pada tahun
2015 dilaporkan ada 3.898 kasus yang terdiri dari 128 kasus pada sapi,
2.019 kasus pada babi dan 279 kasus pada kambing. Pada tahun 2016
dilaporkan terdapat 2.436 kasus yang terdiri dari 42 kasus pada sapi,
2.102 pada babi, 124 kasus pada kambing dan 168 kasus pada anjing.
Pada tahun 2017 terdapat 2.504 kasus yang terdiri dari 61 kasus pada
sapi, 2.109 kasus pada babi dan 334 kasus pada kambing.
b. Coccidiosis
Kejadian penyakit ini disebabkan oleh Eimeria Sp protozoa
saluran pencernaan yang umumnya menyerang hewan-hewan mda
terutama sapi. Pada tahun 2017 terjadi 2.616 kasus pasa sapi, tidak ada
laporan kematian.
c. Helmintiasis
Diantara beberapa penyakit parasiter yang menyerang hewan
ruminansia terutama sapi, penyakit akibat cacing merupakan yang
paling banyak mendapat perhatian. Walaupun penyakit cacingan tidak
langsung menyebabkan kematian, akan tetapi kerugian dari segi
ekonomi yang diakibatkan sangat besar, sehingga penyakit parasit
cacing disebut sebagai penyakit ekonomi. Kerugian-kerugian akibat
penyakit cacing, antara lain: penurunan berat badan, penurunan
kualitas daging, kulit, dan jerohan, penurunan produktivitas ternak
sebagai tenaga kerja pada ternak potong dan kerja, penurunan produksi
susu pada ternak perah dan bahaya penularan pada manusia. Bahkan
pada kasus tertentu dapat mengakibatkan kematian pada hewan muda.
Ada beberapa jenis cacing yang sering menyerang ternak sapi dan

58
menimbulkan gangguan kesehatan antara lain adalah Trematoda,
Cestoda dan Nematoda.
IV. Bali Ziekte
Bali Ziekte merupakan penyakit kulit yang sampai saat ini
diketahui hanya menyerang sapi bali. Beberapa peneliti menyatakan
bahwa penyakit ini disebabkan karena terjadinya peningkatan
kepekaan individu terhadap fotosensitisasi pada ternak yang memakan
tanaman Lantana camara. Bali Ziekte pada tahun 2015 dilporkan
terdapat 9 kasus, sedangkan pada tahun 2016 dan 2017 tidak ada
laporan.

2.6.12. Data Penyakit Hewan Menular Strategis Provinsi Bali


Beberapa jenis penyakit hewan menular strategis di Provinsi Bali yang
berdampak ekonomis, yang disebabkan oleh virus, bakteri dan parasit
(endoparasit dan ektoparasit). Adapun jenis-jenis penyakit tersebut
dimuat dalam Tabel 9.
Tabel 9. Data Penyakit Hewan Menular Strategis Provinsi Bali
No Penyakit Strategis Jumlah Kejadian pada Tahun
2013 2014 2015 2016 2017
1 Septicemia Epizootica (SE) 48 124 139 81 203
2 Diare Ganas Sapi (DGS) 89 74 126 33 99
3 Hog cholera (HC) 397 304 375 304 102
4 Streptococcus (STC) 2.789 2.490 2.664 5.138 5.516
5 New Castle Disease (ND) 1.128 3.003 2.955 1.110 214
6 Avian influsnza (AI) 36 4 5 2 4
7 Bovine Ephemeral Fever 2.882 2.258 3.255 5.897 3.648
(BEF)
8 Scabies (SC) 5.869 8.611 7.338 21.639 14.788
9 Colibasilosis (CB) 21.670 14.300 14.577 32.459 30.050

59
10 Coccidiosis (COC) 6.173 2.015 1.040 5.005 2.755
11 Bali Ziekta (BZ) 345 196 199 350 358
12 Rabies (RA) 44 132 529 206 91
13 Jembrana (JA) - - - - -
14 Individual (IND) - - - 3.866 5.850
15 Helminthiasis (HLT) - - 346 6.019 6.308
Sumber: Dinas Peternakan Dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali Tahun 2017.

I. Penyakit Viral
a. Penyakit Jembrana
Adalah penyakit menular strategis yang bersifat endemis di Provinsi
Bali. Selama tahun 2013 s/d Bulan Nopember 2017 tidak terdapat laporan
penyakit jembrana di Provinsi Bali.
b. Penyakit Bovine Emphemeral Fever (BEF/ Demam Tiga Hari)
Penyakit ini menyerang ternak sapi dan ditularkan melalui gigitan
serangga. Penyakit ini disebabkan oleh virus dan kelompok arbovirus dan
bersifat tidak menular. Ternak yang terserang menunjukan gejala demam
secara mendadak, tiba-tiba pincang, namun biasanya sembuh dalam
beberapa hari. Jumlah kasus BEF pada tahun 2017 (s/d nopember 2017)
sebanyak 3.424 kasus
c. Penyakit Diarhea Ganas Sapi (Bovine Viral Diarhae)
Penyakit BVD adalah penyakit yang menyerang sapi pada semua
umur (dan anak sapi sampai dewasa). Kasus Dirhea Ganas Sapi di Provinsi
Bali tahun 2017 (s/d Nopember 2017), terjadi sebanyak 99 kasus.
d. Penyakit Hog Cholera (Clasical Swine Fever)
Merupakan penyakit yang menyerang babi dengan angka kesakitan dan
kematian yang tinggi, penyakit ini bersifat endemic, kejadian penyakit ini
pada tahun 2017 (s/d Nopember 2017) di Provinsi Bali dilaporkan terjai 102
kasus dan sebanyak 2 ekor kematian.

60
e. Penyakit ND (Tetelo)
ND adalah penyakit menular pada unggas yang disebabkan
paramyxovirus 1 dan bersifat endemis dengan angka kesakitan dan angka
kematian yang tinggi yang menyerang pada semua umur. Kasus penyakit ND
pada tahun 2017 (s/d Nopember 2017) sebanyak 108 kasus ND dan kematian
95 ekor.
f. Avian Influenza (flu unggas)
Avian Influenza adalah penyakit infeksius pada unggas yang
disebabkan oleh virus stain AI tipe A yang menyerang berbagai jenis unggas
termasuk kalkun, ayam mutiara, burung puyuh, angsa dan itik. Pada tahun
2017 (s/d Nopember 2017) di Provinsi Bali terjadi 4 kasus positif AI yaitu 3
kasus pada ayam dan 1 kasus pada itik dan ada 1 korban meninggal pada
manusia atas nama I Komang Pradita, laki-laki 4 tahun, alamat: Dusun
Dungkap, Desa Batukandik, Kec. Nusa Penida, Kab. Klungkung.
g. Penyakit Rabies
Rabies/penyakit ankj jing gila adalah penyakit hewan menular,
disebabkan oleh Virus kelompok Rabdovirus dan bersifat akut serta
menyerang susunan syaraf pusat hewan berdarah panas maupun manusia. Di
Provinsi Bali kejadian penyakit rabies muncul pertama kali pada bulan
Nope,ber tahun 2008, sampai saat ini (Nopember 2017) jumlah desa yang
terjangkit Rabies sebanyak 69, hail vaksinasi masal Rabis dan baksinasi
penyisiran tahun 2017 (s/d Nopember 2017) sebanyak 509.498 dosis/ekor
(cakupan vaksinasi sebesar 85,087% dari estimasi populasi 578.964 ekor).
Hasil Eutanasia/Eliminasi selektif dan tertarget tahun 2017 sebanyak 17.402
ekor. Jumlah sampel positif tahun 2017 adalah 91 menurun dibandingkan
jumlah sampel positif tahun 2016 sebanyak 206.
II. Penyakit Bakterial
a. Penyakit Septicemia Epizootica (SE)
Penyakit SE atau yang biasa sering disebut penyakit ngorok
disebabkan oleh kuman Pasturella multosida merupakan penyakit hewan

61
menular yang besifat sub acut sampai kronis, penyakit ini terutama menyerang
ternak sapi dan kerbau pada semua umur. Penyakit ini menimbulkan kerugian
ekonomi yang cukup tinggi karena angka mortalitasnya yang tinggi. Di
Provinsi Bali kasus SE pada tahun 2017 terjadi kasus 203 kasus dan kematian
sebanyak 2 ekor.
b. Penyakit colibacillosis (White Scour)
Colibacillosis adalah peyakit hewan menular yang disebabkan oleh
kuman Escherichia colli, yang biasanya menyerang ternak babi terutama anak
babi. Selama tahun 2017 kasus colibacillosis pada babi sebanyak 27.971
kasus, kematian sebanyak 521 ekor.
c. Streptococcosis
Penyakit ini di sebabkan oleh streptococcus sp. yang ditandai dengan
adanya poliarthitis, septicemia, dan meningitis. Penyakit ini memiliki angka
borbiditas dan mortalitas yang tinggi serta bersifat zoonotik. Penyakit
streptococcosis ini setiap tahunnya mengalami peningkatan yaitu pada tahun
2013 dilaporkan sebanyak 2.789 hingga pada tahun 2017 dilaporkan sebanyak
5.516.
III. Penyakit Parasiter
a. Helmintiasis
Heliminthiasis disebabkan oleh cacing yang dalam bahasa ilmiahnya,
dikenal dengan nama Helminthes, berasal dari bahasa Yunani Helmins atau
Helminthos, yang berarti organisme yang tubuhnya memanjang dan melunak
menyebabkan gangguan kesehatan kronis yang merupakan suatu faktor
ekonomis yang sangat penting. Pada tahun 2017 (sd Nopember 2017) terdapat
kasus 4.886.
 Trematoda
Pada umumnya yang banyak ditemukan di Indonesia adalah Fasciola
gigantic, Paramphistomum sp. Fasciolosis pada kerbau dan sapi biasanya
bersifat kronik, sedangkan pada domba dan kambing dapat bersifat akut
(Balai Besar Penelitian Veteriner, 2012).

62
 Nematoda
Nematodosis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing Nematoda
atau cacing gilig. Di dalam saluran pencernaan (gastro intestinalis),
cacing ini menghisap sari makanan yang dibutuhkan oleh induk semang,
menghisap darah/cairan tubuh atau bahkan memakan jaringan tubuh.
Sejumlah besar cacing Nematoda dalam usus bisa menyebabkan
sumbatan (obstruksi) usus serta menimbulkan berbagai macam reaksi
tubuh sebagai akibat toksin yang dihasilkan (Balai Besar Penelitian
Veteriner, 2012).
 Cestodosis
Cacing Moniezea merupakan cacing Cestoda yang sering menyerang
kambing. Cacing ini memiliki panjang tubuh bisa mencapai 600 cm dan
lebar 1–6 cm. Bentuk cacing pipih, bersegmen dan berwarna putih
kekuningan. Cacing ini jarang menimbulkan masalah, kecuali jika
menyerang anak kambing yang sangat muda dan dalam jumlah yang
besar. Tungau digunakan sebagai inang antara bagi cacing (Balai Besar
Penelitian Veteriner, 2012).
b. Ektoparasit
1) Scabies (SC)
Penyakit scabies merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh
kelompok parasite jenis tungau. Parasite luar (ecto parasit) yang sering
menimbulkan scabies adalah dari species Sarcoptes scabii. Penyakit yang
menginfestasi kulit ini biasanya cepat menular dengan angka morbilitas tinggi,
tetapi kematian hambir tidak ada. Pada tahun 2017 (sd Nopember 2017)
terdapat kasus 805 kasus pada sapi, 3 kasus pada kerbau, 535 kasus pada
anjing, 355 kasus pada kambing dan 13.090 pada babi.
2) Penyakit Bali Ziekte (BZ)
Bali Ziekte merupakan penyakit kulit yang sampai saat ini diketahui
hanya menyerang sapi bali. Beberapa peneliti menyatakan bahwa penyakit ini
disebabkan karena terjadinya peningkatan kepekaan individu terhadap

63
fotosensitisasi pada ternak yang mmakan tanaman lantana cemara (krasi).
Kasus Bali Ziekte pada tahun 2017 (sd Nopember 2017) sebanyak 314 kasus
dan tidak ada laporan kematian.
c. Endoprasit
1) Penyakit coccidiosis
Kejadian penyakit ini disebabkan oleh Eimeria sp. protozoa saluran
pencernaan yang umumnya menyerang hewan-hewan mda terutama sapi.
Pada tahun 2017 terjadi 2.616 kasus pasa sapi, tidak ada laporan kematian.

2.7 Pemeriksaan Antemortem dan Post Mortem


2.7.1 Pengertian Rumah Potong Hewan (RPH)
Menurut SK Menteri Lingkungan Hidup Nomor 23 tahun 2006,
Rumah Pemotongan Hewan yang selanjutnya disebut RPH adalah suatu
bangunan atau kompleks bangunan dengan desain dan konstruksi khusus
yang memenuhi persyaratan teknis dan higienis tertentu serta digunakan
sebagai tempat pemotongan hewan, usaha dan/atau kegiatan RPH
meliputi: pemotongan, pembersihan lantai tempat pemotongan,
pembersihan kandang penampung, pembersihan kandang isolasi, dan/atau
pembersihan isi perut dan air sisa perendaman. Sedangkan Menurut
Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor
13/Permentan/OT.140/1/2010 tentang Persyaratan Rumah Potong hewan
Ruminansia dan Unit Penanganan Daging (meat Cutting Plant) pada
Pasar 1 ayat 2 disebutkan Rumah Potong Hewan yang selanjutnya disebut
dengan RPH adalah suatu bangunan atau kompleks bangunan dengan
desain dan syarat tertentu yang digunakan sebagai tempat memotong
hewan bagi konsumsi masyarakat umum. Selanjutnya pada Pasal 4
disebutkan bahwa RPH merupakan unit pelayanan masyarakat dalam
penyediaan daging yang aman, sehat, utuh, dan halal, serta berfungsi
sebagai sarana untuk melaksanakan:

64
a. pemotongan hewan secara benar, (sesuai dengan persyaratan
kesehatan masyarakat veteriner, kesejahteraan hewan dan syariah
agama);
b. pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dipotong (ante-mortem
inspection) dan pemeriksaan karkas, dan jeroan (post-mortem
inspektion) untuk mencegah penularan penyakit zoonotik ke
manusia;
c. pemantauan dan surveilans penyakit hewan dan zoonosis yang
ditemukan pada pemeriksaan ante-mortem dan pemeriksaan post-
mortem guna pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan
penyakit hewan menular dan zoonosis di daerah asal hewan.

Untuk mendirikan rumah potong wajib memenuhi persyaratan


administratif dan persyaratan teknis. Persyaratan teknis meliputi:
1. Lokasi:
a. tidak berada di daerah rawan banjir, tercemar asap, bau, debu, dan
kontaminan lainnya;
b. tidak menimbulkan gangguan dan pencemaran lingkungan;
c. letaknya lebih rendah dari pemukiman;
d. memiliki akses air bersih yang cukup untuk pelaksanaan penanganan
daging dan kegiatan pembersihan serta desinfeksi;
e. tidak berada dekat industri logam dan kimia.
f. mempunyai lahan yang cukup untuk pengembangan RPH;
g. terpisah secara fisik dari lokasi kompleks RPH Babi atau dibatasi
dengan pagar tembok dengan tinggi minimal 3 (tiga) meter untuk
mencegah lalu lintas orang, alat dan produk antar rumah potong.
2. Sarana pendukung:
a. akses jalan yang baik menuju RPH yang dapat dilalui kendaraan
pengangkut hewan potong dan kendaraan daging;

65
b. sumber air yang memenuhi persyaratan baku mutu air bersih dalam
jumlah cukup, paling kurang 1.000 liter/ekor/hari;
c. sumber tenaga listrik yang cukup dan tersedia terus menerus;
d. fasilitas penanganan limbah padat dan cair.
3. Persyaratan Tata Letak, Disain, dan Konstruksi:
a. Kompleks RPH harus dipagar, dan harus memiliki pintu yang terpisah
untuk masuknya hewan potong dengan keluarnya karkas, dan daging;
b. Bangunan dan tata letak dalam kompleks RPH paling kurang meliputi:
- bangunan utama;
- area penurunan hewan (unloading sapi) dan kandang penampungan /
kandang istirahat hewan;
- kandang penampungan khusus ternak ruminansia betina produktif;
- kandang isolasi;
- ruang pelayuan berpendingin (chilling room);
- area pemuatan (loading) karkas/daging;
- kantor administrasi dan kantor Dokter Hewan;
- kantin dan mushola;
- ruang istirahat karyawan dan tempat penyimpanan barang pribadi
(locker)/ruang ganti pakaian;
- kamar mandi dan WC;
- fasilitas pemusnahan bangkai dan/atau produk yang tidak dapat
dimanfaatkan atau insinerator;
- sarana penanganan limbah;
- rumah jaga.
c. Dalam kompleks RPH yang menghasilkan produk akhir daging segar
dingin (chilled) atau beku (frozen) harus dilengkapi dengan:
- ruang pelepasan daging (deboning room) dan pemotongan daging
(cutting room);
- ruang pengemasan daging (wrapping and packing);
- fasilitas chiller;

66
- fasilitas freezer dan blast freezer;
- gudang dingin (cold storage).
d. RPH berorientasi ekspor dilengkapi dengan laboratorium sederhana.

Menurut Suardana dan Swacita (2009), secara garis besar, ada tiga
persyaratan umum yang harus dipenuhi jika akan mendirikan RPH.
1. Organisasi Dalam hal ini pendirian RPH harus memenuhi persyaratan
organisasi yaitu: Pemerintah Pusat, Departemen Pertanian, Direktorat
Jendral Bina Produksi Peternakan, Direktorat Kesehatan Masyarakat
Veteriner, Dinas Peternakan Provinsi / Kabupaten / Kota dan instansi
pemerintah terkait lainnya. Disamping itu, juga harus ada unsur pengawas,
penanggung jawab, pimpinan, dan staff yang berkaitan dengan
kepentingan dan kebutuhan RPH.
2. Sosial Pendirian RPH hendaknya juga mempertimbangkan adat kebiasaan
di wilayah dimana RPH didirikan, berdasarkan agama khususnya dalam
hal cara penyembelihan serta penanganan makanan yang tentunya tidak
sama dari satu daerah ke daerah lainnya.
3. Teknis Pendirian RPH hendaknya dapat menciptakan suatu metode yang
efektif untuk penyimpanan daging, transportasi, logistik, dan lain-lainnya,
serta memenuhi persyaratan teknis yang lain seperti: area pendirian,
persediaan air, pembuangan limbah dan lain-lain.
Produk sehat dan halal dapat dijamin dengan RPH yang memiliki
sarana untuk pemeriksaan kesehatan hewan potong, memiliki sarana menjaga
kebersihan, dan mematuhi kode etik dan tata cara pemotongan hewan secara
tepat. Produk peternakan asal hewan mempunyai sifat mudah rusak dan dapat
bertindak sebagai sumber penularan penyakit dari hewan ke manusia. Untuk
itu dalam merancang tata ruang RPH perlu diperhatikan untuk menghasilkan
daging yang sehat dan tidak membahayakan manusia bila dikonsumsi
sehingga harus memenuhi persyaratan kesehatan veteriner (Koswara, 1988).

67
2.7.2 Pemeriksaan Ante-Mortem
Pemeriksaan kesehatan ante mortem adalah pemeriksaan ternak dan
unggas potong sebelum disembelih. Adapun maksud pemeriksaan ante-
mortem adalah agar ternak yang akan disembelih hanyalah ternak yang
sehat, normal, dan memenuhi syarat. Memenuhi syarat artinya agar ternak
sapi yang akan dipotong tidak melanggar peraturan yang telah ditentukan
pemerintah (Suardana dan Swacita, 2009).
Pada pemeriksaan ante mortem dilakukan dengan mengamati dan
mencata ternak sapi sebelum dipotong yang meliputi jumlah hewan, jenis
kelamin, keadaan umum, serta kelainan yang tampak. Keadaan umum
ternak meliputi pernapasannya, bulu, kulit, selaput lendir, mata dan
telinga, diamati juga ternak dalam keadaan bergerak dan gejala – gejala
penyakit zoonosis dan penyakit menular lainnya (Arka et al., 1994).
Menurut Direktorat Kesmavet (2005), tujuan dari pemeriksaan ante-
mortem adalah:
1. mencegah pemotongan hewan yang secara nyata menunjukkan
gejala klinis penyakit hewan menular dan zoonosis atau tanda-tanda
yang menyimpang
2. mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya untuk keperluan
pemeriksaan postmortem dan penelusuran penyakit di daerah asal
ternak ;
3. mencegah kontaminasi dari hewan atau bagian dari hewan yang
menderita penyakit kepada petugas, peralatan RPH dan lingkungan
; dan
4. menentukan status hewan dapat dipotong, ditunda atau tidak boleh
dipotong, dan
5. mencegah pemotongan ternak betina bertanduk produktif.

Pelaksana pemeriksaan ante-mortem adalah dokter hewan berwenang


yang ditunjuk dan paramedis yang ditunjuk di bawah pengawasan dokter

68
hewan yang berwenang. Prosedur pemeriksaan kesehatan ante-mortem
adalah sebagai berikut:
- Pemeriksaan ante-mortem dilakukan maksimum 24 jam sebelum
hewan disembelih. Jika melebihi waktu tersebut, maka dilakukan
pemeriksaan ante-mortem ulang.
- Hewan harus diistirahatkan minimum 12 jam sebelum
penyembelihan.
- Pemeriksaan dilakukan dengan mengamati gejala klinis dan
patognomosis.
- Selanjutnya dilakukan pemeriksaan berupa status gizi dan keaktifan
hewa, pemeriksaan kulit dan keadaan bulu, pemeriksaan selaput
lender, dan pemeriksaan mata dan telinga.
- Amati gejala-gejala penyakit zoonosis dan penyakit menular lainnya.

Keputusan akhir dari pemeriksaan ante-mortem dapat dibedakan


menjadi 3 yaitu; kelompok pertama adalah ternak yang dapat dipotong
regular, yaitu kelompok ternak yang sehat, normal, dan memenuhi syarat
(tidak melanggar peraturan); kelompok kedua adalah ternak yang ditolak
untuk dipotong, yaitu kelompok ternak yang menderita penyakit,
abnormal, dan melanggar peraturan pemotongan; kelompok ketiga adalah
ternak yang menderita kelainan lkal seperti patah kaki/fraktur, luka,
memar, abses, neoplasma/tumor, dan kondisi kesehatan ternak tersebut
meragukan (suspected). Menurut direktorat kesmavet (2005), keputusan
pemeriksaan ante-mortem dikelompokkan menjadi hewan boleh
dipotong, ditunda, atau tidak boleh dipotong. Terhadap hewan yang boleh
dipotong segera diberikan stempel/cap “S” di daerah pinggul (Suardana
dan Swacita 2009).

69
2.7.3 Pemeriksaan Post-Mortem
Yang dimaksud dengan pemeriksaan kesehatan post-mortem adalah
pemeriksaan kesehatan ternak setelah disembelih. Tujuan pemeriksaan
post-mortem adalah : memberikan jaminan bahwa karkas, daging, dan
jeroan yang dihasilkan aman dan layak dikonsumsi; mencegah
beredarnya bagian/jaringan abnormal yang berasal dari pemotongan
hewan sakit; meberikan informasi untuk penulusuran penyakit di daerah
asal ternak. Pemeriksaan post-mortem meliputi inspeksi, palpasi, dan
insisi untuk lebih menegakkan diagnosa dan tindakan kesmavet yang
akan dilakukan.
Pemeriksaan kesehatan post-mortem dibagi dua yaitu; pemeriksaan
rutin yang dilaksanakan dengan intesitas normal setiap hari meliputi
pemeriksaan kesehatan kepala ternak, dan kelenjar getah bening
(limfoglandula), pemeriksaan limfoglandula prescapularis, limfoglandula
prefemoralis, limfoglandula visceralis, pemeriksaan organ-organ tubuh,
pemeriksaan permukaan karkas, pleura, dan potongan-potongan karkas;
pemeriksaan khusus meliputi pemeriksaan yang lebih seksama terhadap
karkas dn organ-organ tubuh dari ternak yang lebih dicurigai pada
pemeriksaan ante-mortem.
Pemeriksaan post-mortem pada sapi dilakukan dengan melakukan
inspeksi, palpasi dan incisi pada kepala serta beberapa organ seperti
jantung, hati, paru-paru, limpa, dan ginjal. Pada pemeriksaan kepala,
beberapa bagian yang diperhatikan adalah limfoglandula, mata, otot
masseter, dan lidah. Pemeriksaan limfoglandula yang berada di bagian
kepala dengan cara inspeksi, palpasi dan incise untuk mengetahui adanya
kebengkakan yang dapat menjadi indikator adanya infeksi. Adapun
limfogladula yang diperiksa adalah limfoglandula mandibularis dan
limfoglandula parotis limfoglandula maxillaris, limfoglandula
suprafaringealis, limfoglandula retrofaringealis. Pemeriksaan mata
dilakukan untuk melihat kemungkinan adanya cacing Thelazia sp. pada

70
mata. Pemeriksaan dengan cara inspeksi dan incisi pada otot masseter
bertujuan untuk mengetahui kemungkinan adanya cysticercosis.
Pemeriksaan pada lidah dilakukan dengan melakukan incisi berbentuk V
pada bagian rahang bawah sampai lidah dapat ditarik keluar. Lidah
diperiksa dengan cara inspeksi, palpasi dan pengerokan pada permukaan
lidah untuk mengetahui kerapuhan papilla lidah serta ada tidaknya infeksi
jamur.
Pemeriksaan post mortem pada paru-paru sapi dan babi dilakukan
dengan cara inspeksi. Kemudian lakukan palpasi dan incisi. Bila perlu
dilakukan auskultasi untuk mendengar suara-suara krepitasi. Menurut
Arka et al., (1994), organ paru-paru yang sehat pada pemeriksaan secara
langsung/inspeksi terlihat berwarna merah muda/pink, bentuk terdiri atas
lobus (multilobularis). Pada waktu dipalpasi sepeti spon atau bunga
karang karena pada bagian alveoli banyak terdapat udara. Untuk
memastikan apakah paru-paru tersebut benar-benar sehat, maka dilakukan
irisanpada limfoglandula bronchialis yang terletak pada bagian bronchus
kiri dan kanan dari paru-paru, dan limfoglandula mediastinalis yang
terdapat ditengah-tengah memanjang antara lobus kiri dan kanan dari
paru-paru, bentuknya pipih. Jika kedua limfoglandula ini tidak
menunjukkan adanya perubahan, maka ini menunjukkan bahwa paru
tersebut sehat/tidak mengalami infeksi. Irisan juga perlu dilakukan dari
dasar paru-paru sampai bagian ujung (apex) untuk melihat kemungkinan
adanya aspirasi, misalnya darah atau sisa makanan yang masuk ke dalam
paru-paru pada saat penyembelihan.
Pemeriksaan organ jantung dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi,
dan incisi (penyayatan). Inspeksi dan palpasi dilakukan untuk mengamati
kemungkinan adanya peradangan selaput jantung (pericarditis).
Penyayatan pericardium dilakukan untuk melihat adanya cairan
pericardium. Kemudian dilakukan juga penyayatan pada otot jantung
(myocardium) sejajar dengan sulcus coronaries (antara ventrikel kanan

71
dan ventrikel kiri) untuk melihat degenerasi, peradangan, dan infestasi
cacing (Echinococcus dan Cysticercus). Menurut Arka, et al. (1985)
dalam Suardana dan Swacita, (2009), pemeriksaan jantung dapat
dilakukan dengan pengamatan langsung, yaitu melihat warna dan bentuk
dari jantung tersebut. Jantung yang sehat berwarna coklat sampai sawo
matang, pada bagian apex-nya meruncing. Pada waktu dipegang dan
diremas-remas, konsistensi jantung terasa sangat kenyal/liat karena otot
jantung selalu berkontraksi, sehingga mengalami hipertrofi (ukuran
selnya bertambah besar) dan hiperplasia (jumlah selnya bertambah
banyak). Untuk memastikan apakah jantung tersebut benar-benar sehat,
maka dilakukan irisan dari dasar sampai ke ujung jantung dengan arah
tegak lurus terhadap bidang pemisah atrium dan ventrikel. Bekuan darah
yang ada pada jantung dikeluarkan karena merupakan media yang baik
untuk perkembangbiakan mikroba yang dapat memperpendek masa
simpan jantung. Pada bagian otot jantung (myocardium) diperiksa apakah
ada perdarahan berupa ptechiae atau echimosae, atau kelainan-kelainann
seperti ditemukannya cacing jenis Cysticercosis, Echinococcosis, atau
jenis lainnya. Myocardium yang lembek, biasanya akibat ternak
menderita sepsis.
Pemeriksaan organ limpa dilakukan dengan inspeksi dan palpasi pada
seluruh permukaan limpa untuk melihat warna, ukuran limpa, dan
konsistensi. Jika perlu dilakukan insisi. Dalam pemeriksaan,
kemungkinan perubahan yang ditemukan antara lain adalah adanya
pembengkakan, kerapuhan, adanya kista hidatid, dan anthrax. Menurut
Arka, et al. (1985) dalam Suardana dan Swacita, (2009), limpa yang sehat
(normal) berbentuk pipih, tipis, dan memanjang. Bila dipalpasi,
konsistensinya terasa lembut elastis. Tepi limpa tipis dan tajam, warnanya
abu-abu kebiruan atau kadang-kadang sawo matang. Parenkimnya
berwarna merah tua dengan konsistensi lembut elastis. Penyimpangan
yang mungkin terjadi pada limpa, antara lain: limpa

72
membesar/membengkak, konsistensinya keras, tepi-tepinya tumpul,
warnanya berubah, dan usapan pada parenkimnya rapuh. Irisan pada
limpa dibuat ditengah-tengah secara memanjang; pada limpa yang sehat,
bidang irisannya terlihat kering.
Pada pemeriksaan ginjal dilakukan dengan inspeksi dan palpasi untuk
mengetahui adanya pembengkakan, oedema dan peradangan. Jika perlu
dilaukan incise untuk menemuka kalkuli, kista dan tumor. Menurut Arka
(1994) ginjal yag sehat terlihat berwarna coklat, bentiknya menyerupai
kacang. Jika dipalpasi, kosistensinya terasa kenyal. Ginjal yang sehat
selaputnya mudah dikupas. Indicator adanya penyakit pada ginjal dapat
dilihat pada limfoglandula renalis. Limfoglandula ini dapat diiris untuk
melihat apakah ada peradangan atau kelainan lain.

2.8 Koasistensi Balai Besar Veteriner Denpasar


2.8.1 Balai Besar Veteriner Denpasar
Balai Besar Veteriner yang disebut BBVet adalah unit pelaksana
teknis dibidang peternakan dan kesehatan hewan, berada dibawah dan
bertanggung jawab kepada Direktur Jendral Peternakan dan Kesahatan
Hewan dan secara teknis dibina oleh Direktur Kesehatan Hewan dan
Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Pascapanen. Balai Besar
veteriner Denpasar mulai didirikan 1975 Departemen Pertanian c/q
Direktorat Jenderal Peternakan dan FAO mendirikan Laboratorium Type
A sebagai Pusat Penyidikan Penyakit Hewan (P3H) atau Disease
Investigation Center (DIC). 12 April 1975 P3H/DIC pertama dibangun di
Denpasar dengan wilayah kerja 4 propinsi yaitu Bali, NTB, NTT dan
Tim-Tim, kemudian P3H Maros dengan wilayah kerja Sulawesi, Maluku
dan Irian jaya. SK Mentan No 190/Kpts/Org/5/1975, tanggal 12 Mei
1975, lab type A dijadikan UPT yang berada dibawah Direktorat Jenderal
Peternakan, diresmikan pada tahun 1976.SK Mentan No.
135/Kpts/Org/5/1978, tanggal 25 Mei 1978, Susuanan Organisasi dan

73
Tata Kerja Balai Penydikan Penyakit Hewan (BPPH Wilayah VI)
disempurnakan dengan Eselon III B.SK Mentan No.
457/Kpts/Org/OT.210/8/20 01, tanggal 20 Agustus 2011, berubah
menjadi Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner (BPPV Regional VI)
dengan Eselon III. Permentan No. 42/Permentan/OT.140/9/2006, tanggal
12 September 2006, berubah menjadi Balai Besar Veteriner (BBVet
Denpasar) dengan Eselon II B.
2.8.2 Visi Balai Besar Veteriner Denpasar
Terwujudnya masyarakat sehat dan produktif melalui pelayanan
diagnosa penyakit hewan serta pengujian bahan asal hewan yang cepat,
tepat dan akurat.
2.8.3 Misi Balai Besar Veteriner Denpasar
Untuk merealisasikan Visi tersebut diatas, maka dijabarkan dalam
bentuk Misi sebagai berikut:
1. Mewujudkan pelayanan kesehatan hewan yang profesional
2. Menyediakan informasi tentang kesehatan hewan tingkat nasional
maupun internasional
3. Melindungi ternak dari penyakit hewan yang mengancam
kelestarian sumber daya hewan dan lingkungan dengan
memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
4. Mewujudkan status kesehatan hewan yang kondusif untuk
menjamin kestabilan usaha dibidang peternakan dan kesehatan
hewan yang lestari dan berdaya saing
5. Mewujudkan insfratruktur laboratorium yang aman bagi petugas,
masyarakat, hewan dan lingkungannya
6. Mewujudkan produk pangan hewani yang aman, sehat, utuh dan
halal serta berkualitas
7. Mewujudkan Bahan Asal Hewan yang aman, sehat dan utuh serta
berkualitas

74
2.8.4 Tugas Pokok Balai Besar Veteriner Denpasar
Melaksanakan pengamatan dan pengidentifikasian diagnosa, pengujian
veteriner dan produk hewan, serta pengembangan teknik dan metode
penyidikan, diagnosa, dan pengujian veteriner.
2.8.5 Fungsi Balai Besar Veteriner Denpasar
Penyusunan program, rencana kerja, dan anggaran, pelaksanaan kerja
sama, serta penyediaan evaluasi dan pelaporan.
1. Pelaksanaan penyidikan penyakit hewan.
2. Pelaksanaan penyidikan melalui pemeriksaan dan pengujian
produk hewan.
3. Pelaksanaan surveillans penyakit hewan, dan produk hewan.
4. Pemeriksaan kesehatan hewan, semen, embrio, dan pelaksanaan
diagnosa penyakit hewan.
5. Pembuatan peta penyakit hewan regional.
6. Pelaksanaan pelayanan laboratorium rujukan dan acuan diagnosa
penyakit hewan menular.
7. Pelaksanaan pengujian dan pemberian laporan dan atau setifikasi
hasil uji.
8. Pelaksanaan pengjian forensik veteriner
9. Pelaksanaan peningkatan kesadaran masyarakat (public
awareness).
10. Pelaksanaan kajian terbatas teknis veteriner.
11. Pelaksanaan pengujian toksikologi veteriner dan keamanan pakan.
12. Pemberian bimbingan teknis laboratorium veteriner, pusat
kesehatan hewan dan kesejahteraan hewan.
13. Pemberian rekomendasi hasil pemeriksaan dan pengujian
veteriner, serta bimbingan teknis penanggulangan penyakit hewan.
14. Pelaksanaan analisis resiko penyakit hewan dan keamanan produk
hewan di regional

75
15. Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pelayanan kesehatan hewan
dan kesehatan masyarakat veteriner.
16. Pengkajian batas maksimum residu obat hewan dan pencemaran
mikroba.
17. Pemberian pelayanan teknis penyidikan, pengujian veteriner dan
produk hewan, serta pengembangan teknik dan metode
penyidikan, diagnosa dan pengujian veteriner.
18. Pelaksanaan pengembangan dan desiminasi teknik dan metoda
penyidikan, diagnosa dan pengujian veteriner.
19. Pengembangan sistem dan desiminasi informasi veteriner.
20. Pengumpulan, pengolahan, dan analisis data pengamatan dan
pengidentifikasian diagnosa, pengujian veteriner dan produk
hewan.
21. Pengelolaan urusan tata usaha dan rumah tanggan Balai Besar
Veteriner Denpasar.
2.8.6 Wilayah Kerja Balai Besar Veteriner Denpasar
Tabel 10. Wilayah Kerja Provinsi Bali
No. Kabupaten/Kota Ibu kota
1 Kabupaten Badung Mangupura
2 Kabupaten Bangli Bangli
3 Kabupaten Buleleng Singaraja
4 Kabupaten Gianyar Gianyar
5 Kabupaten Jembrana Negara
6 Kabupaten Karangasem Karangasem
7 Kabupaten Klungkung Semarapura
8 Kabupaten Tabanan Tabanan
9 Kota Denpasar Denpasar

Tabel 11. Wilayah Kerja Provinsi Nusa Tenggara Barat


No. Kabupaten/Kota Ibu kota
1 Kabupaten Bima Raba
2 Kabupaten Dompu Dompu
3 Kabupaten Lombok Barat Mataram
4 Kabupaten Lombok Tengah Praya
5 Kabupaten Lombok Timur Selong

76
6 Kabupaten Lombok Utara Tanjung
7 Kabupaten Sumbawa Sumbawa Besar
8 Kabupaten Sumbawa Barat Taliwang
9 Kota Bima Bima
10 Kota Mataram Mataram

Tabel 12. Wilayah Kerja Provinsi Nusa Tenggara Timur


No. Kabupaten/Kota Ibu kota
1 Kabupaten Alor Kalabahi
2 Kabupaten Belu Atambua
3 Kabupaten Ende Ende
4 Kabupaten Flores Timur Larantuka
5 Kabupaten Kupang Kupang
6 Kabupaten Lembata Lewoleba
7 Kabupaten Manggarai Ruteng
8 Kabupaten Manggarai Barat Labuan Bajo
9 Kabupaten Manggarai Timur Borong
10 Kabupaten Ngada Bajawa
11 Kabupaten Nagekeo Mbay
12 Kabupaten Rote Ndao Baa
13 Kabupaten Sabu Raijua Seba
14 Kabupaten Sikka Maumere
15 Kabupaten Sumba Barat Waikabubak
16 Kabupaten Sumba Barat Daya Tambolaka
17 Kabupaten Sumba Tengah Waibakul
18 Kabupaten Sumba Timur Waingapu
19 Kabupaten Timor Tengah Selatan Soe
20 Kabupaten Timor Tengah Utara Kefamenanu
21 Kota Kupang Kupang

2.8.7 Mikroba Penting dalam Produk Daging dan Olahannya


a. Salmonella
Salmonella adalah penyebab utama dari penyakit yang disebarkan
melalui makanan (foodborne diseases). Pada umumnya, serotipe
Salmonella menyebabkan penyakit pada organ pencernaan. Penyakit
yang disebabkan oleh Salmonella disebut salmonellosis. Ciri-ciri orang
yang mengalami salmonellosis adalah diare, keram perut, dan demam
dalam waktu 8-72 jam setelah memakan makanan yang terkontaminasi
oleh Salmonella. Gejala lainnya adalah demam, sakit kepala, mual dan

77
muntah-muntah Tiga serotipe utama dari jenis S. enterica adalah S.
typhi, S. typhimurium, dan S. enteritidis. S. typhi menyebabkan penyakit
demam tifus (Typhoid fever), karena invasi bakteri ke dalam pembuluh
darah dan gastroenteritis, yang disebabkan oleh keracunan
makanan/intoksikasi. Gejala demam tifus meliputi demam, mual-mual,
muntah dan kematian.
b. Escherichia coli,
Escherichia coli, adalah salah satu jenis spesies utama bakteri gram
negatif. Pada umumnya, bakteri yang ditemukan oleh Theodor
Escherich ini dapat ditemukan dalam usus besar manusia. Kebanyakan E.
Coli tidak berbahaya, tetapi beberapa, seperti E. Coli tipe O157:H7, dapat
mengakibatkan keracunan makanan yang serius pada manusia
yaitu diare berdarah karena eksotoksin yang dihasilkan
bernama verotoksin. Toksin ini bekerja dengan cara menghilangkan satu
basa adenin dari unit 28S rRNA, sehingga menghentikan sintesis protein
(Levinson, 2008).
c. Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus (S. aureus) adalah bakteri gram positif yang
menghasilkan pigmen kuning, bersifat aerob fakultatif, tidak
menghasilkan spora dan tidak motil, umumnya tumbuh berpasangan
maupun berkelompok, dengan diameter sekitar 0,8-1,0 µm. S. aureus
tumbuh dengan optimum pada suhu 37oC dengan waktu pembelahan
0,47 jam. S. aureus merupakan mikroflora normal manusia. Bakteri ini
biasanya terdapat pada saluran pernapasan atas dan kulit. Keberadaan S.
aureus pada saluran pernapasan atas dan kulit pada individu jarang
menyebabkan penyakit, individu sehat biasanya hanya berperan sebagai
karier. Infeksi serius akan terjadi ketika resistensi inang melemah karena
adanya perubahan hormon; adanya penyakit, luka, atau perlakuan
menggunakan steroid atau obat lain yang memengaruhi imunitas
sehingga terjadi pelemahan inang.

78
Infeksi S. aureus diasosiasikan dengan beberapa kondisi patologi,
diantaranya bisul, jerawat, pneumonia, meningitis, dan arthritits.
Sebagian besar penyakit yang disebabkan oleh bakteri ini memproduksi
nanah, oleh karena itu bakteri ini disebut piogenik. S. aureus juga
menghasilkan katalase, yaitu enzim yang mengkonversi H2O2 menjadi
H2O dan O2, dan koagulase, enzim yang menyebabkan fibrin
berkoagulasi dan menggumpal. Koagulase diasosiasikan dengan
patogenitas karena penggumpalan fibrin yang disebabkan oleh enzim ini
terakumulasi di sekitar bakteri sehingga agen pelindung inang kesulitan
mencapai bakteri dan fagositosis terhambat (Madigan, 2008).
d. Resistansi antibiotic
Resistansi antibiotik adalah salah satu jenis dari resistansi obat-obatan
yang terjadi pada mikroorganisme, ketika mikroorganisme tersebut
berkemampuan untuk menahan efek antibiotk. Resistansi antibiotik
berevolusi via seleksi alam yang bekerja pada mutasi acak. Ia juga dapat
direkayasa dengan menerapkan tekanan evolusioner pada sebuah
populasi. Ketika gen resistansi tersebut muncul, bakteri dapat
mentransfer informasi genetik tersebut secara horizontal melalui
pertukaran plasmid. Jika sebuah bakteri membawa beberapa gen
resistansi, ia disebut sebagai bakteri multiresistan (Soulsby, 2005).

2.9 Koasistensi Balai Karantina Pertanian Kelas I Denpasar


2.9.1 Visi dan Misi
Visi dari Balai Karantina Pertanian Kelas I Denpasar adalah :
“Menjadi Instansi yang Tangguh dan Terpercaya Dalam Perlindungan
Kelestarian Sumberdaya Alam Hayati Hewan dan Tumbuhan,
Lingkungan dan Keanekaragaman Hayati serta Keamanan Pangan”.
Misi dari Balai Karantina Pertanian Kelas I Denpasar adalah : 1)
Melindungi kelestarian sumberdaya alam hayati hewan dan tumbuhan
dari tumbuhan dari serangan Hama dan Penyakit Hewan Karantina

79
(HPHK), dan Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina (OPTK)
Mendukung terwujudnya keamanan pangan, 2) Memfasilitasi
perdagangan dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan akses
pasar komoditas pertanian, 3) Memperkuat kemitraan perkarantinaan, 4)
Meningkatkan citra dan kualitas layanan publik.
2.9.2 Kedudukan, Tugas Pokok dan Fungsi
Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor
61/Permentan/Ot.140/10/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Pertanian menyatakan bahwa kedudukan, tugas pokok dan
fungsi badan karantina pertanian adalah :
A. Kedudukan
Badan Karantina Pertanian dipimpin oleh seorang kepala
badan yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada
Menteri Pertanian RI.
B. Tugas Pokok
1. Melaksanakan kegiatan operasional perkarantinaan hewan dan
tumbuhan dalam mencegah masuk dan tersebarnya hama penyakit
hewan karantina (HPHK) dan organisme pengganggu tanaman
karantina (OPTK) dari luar negeri dan antar area di dalam negeri
serta keluar dan tersebarnya HPHK dan OPTK tertentu yang
dipersyaratkan negara tujuan.
2. Melaksanakan kegiatan pengawasan keamanan hewani, hayati dan
keamanan pangan.
C. Fungsi
1. Pelaksanaan tindakan karantina meliputi 8P yaitu: Pemeriksaan,
Pengasingan, Pengamatan, Perlakuan, Penahanan, Penolakan,
Pemusnahan, Pembebasan terhadap media pembawa HPHK hewan,
produk hewan, OPTK tanaman pangan, hortikultura ataupun
tanaman perkebunan.

80
2. Pemberian pelayanan teknis kegiatan operasional perkarantiaan
pertanian.
3. Pelaksananan pemantauan daerah sebar HPHK dan OPTK.
4. Pelaksanaan pembuatan koleksi HPHK hewan, produk hewan dan
OPTK tanaman pangan, hortikultura ataupun tanaman perkebunan.
5. Persiapan dan pengelolaan laboratorium hewan dan tumbuhan
meliputi tanaman pangan, hortikultura ataupun tanaman
perkebunan.
6. Pengelolaan data, informasi serta dokumentasi kegiatan opersional
perkarantiaan hewan dan tumbuhan meliputi tanaman pangan,
hortikultura ataupun tanaman perkebunan.
7. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga.
2.9.3 Struktur Organisasi

Gambar 6. Struktur Organisasi Balai Karantina Pertanian Kelas I Denpasar

2.9.4 Wilayah Kerja


Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No.
548/Kpts/Ot.140/9/ 2004, Balai Karantina Pertanian Kelas I Denpasar
terdiri dari 5 wilayah kerja, sebagai berikut:

81
 Bandar Udara Ngurah Rai Di Kabupaten Badung
 Pelabuhan Laut Benoa Di Kota Denpasar
 Pelabuhan Laut Celukan Bawang Di Kabupaten Buleleng
 Pelabuhan Laut Padang Bai Di Kabupaten Karangasem
 Pelabuhan Laut Gilimanuk Di Kabupaten Jembrana
2.9.5 Operasional
Dasar hukum pelaksanaan tindakan karantina hewan meliputi:
Undang-Undang No.16 Tahun 1992 Tentang Karantina Hewan, Ikan Dan
Tumbuhan; Peraturan Pemerintah No.82 Tahun 2000 Tentang Karantina
tumbuhan. Secara operasional beberapa ketentuan peraturan pemerintah
telah dijabarkan dalam sejumlah keputusan menteri pertanian, dan
beberapa diantaranya juga telah dilengkapi dengan petunjuk teknis. Dari
peraturan perundangan tersebut masih ada beberapa peraturan menteri
yang harus ada sesuai ketentuan UU No. 16 Tahun 1992 dan perlu
dilakukan harmonisasi antara peraturan pusat dan daerah (BKP Kelas I
Denpasar), seperti:
a. Prosedur Pemasukan Unggas Ke Provinsi Bali
Terdapat perbedaan persyaratan pemasukan unggas antara
Undang-Undang No. 16 Tahun 1992 tentang karantina hewan, ikan
dan tumbuhan, Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2000 tentang
karantina hewan, Peraturan Menteri Pertanian No. 37 Tahun 2014
tentang tindakan karantina hewan terhadap pemasukan dan
pengeluaran unggas, serta Surat Keputusan Kepala Badan
Karantina Pertanian No. 316a Tahun 2006 tentang petunjuk teknis
tindakan karantina hewan terhadap media pembawa HPAI dengan
peraturan Gubernur Bali No. 44 Tahun 2005 tentang penutupan
sementara pemasukan dan transit unggas dari luar Pulau Bali.
b. Prosedur pemasukan pemasukan ternak, hewan/satwa, bahan asal
hewan dan hasil bahan asal hewan dari provinsi tertular penyakit
anthrax ke Provinsi Bali.

82
Terdapat perbedaan persyaratan pemasukan ternak,
hewan/satwa, bahan asal hewan dan hasil bahan asal hewan dari
provinsi tertular penyakit anthrax ke Provinsi Bali antara UU No.
16 Tahun 1992 tentang karantina hewan, ikan dan tumbuhan,
Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2000 tentang karantina hewan,
serta Surat Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian
No.153/kpts/kh010/l/02/2014 tentang pedoman tindakan karantina
hewan terhadap ruminansia sebagai media pembawa anthrax
dengan Peraturan Gubenur Bali No. 12 tahun 2011 tentang
pelarangan sementara masuknya ternak, hewan/satwa, bahan asal
hewan dan hasil bahan asal hewan dari provinsi tertular penyakit
anthrax ke Provinsi Bali.
2.9.6 Persyaratan Karantina
Setiap media pembawa hama dan penyakit hewan karantina, hama dan
penyakit ikan karantina, atau organisme pengganggu tumbuhan karantina
yang dimasukkan ke dalam wilayah negara Republik Indonesia wajib :
a. dilengkapi sertifikat kesehatan dari negara asal dan negara transit
bagi hewan, bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan, ikan,
tumbuhan dan bagian-bagian tumbuhan, kecuali media pembawa
yang tergolong benda lain;
b. melalui tempat-tempat pemasukan yang telah ditetapkan;
c. dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina di tempat-
tempat pemasukan untuk keperluan tindakan karantina.
Setiap media pembawa hama dan penyakit hewan karantina, hama dan
penyakit ikan karantina, atau organisme pengganggu tumbuhan karantina
yang dibawa atau dikirim dari suatu area ke area lain di dalam wilayah
negara Republik Indonesia wajib :
a. dilengkapi sertifikat kesehatan dari area asal bagi hewan, bahan
asal hewan, hasil bahan asal hewan, ikan, tumbuhan dan bagian-

83
bagian tumbuhan, kecuali media pembawa yang tergolong benda
lain;
b. melalui tempat-tempat pemasukan dan pengeluaran yang telah
ditetapkan;
c. dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina di tempat-
tempat pemasukan dan pengeluaran untuk keperluan tindakan
karantina.
Setiap media pembawa hama dan penyakit hewan karantina yang akan
dikeluarkan dari wilayah negara Republik Indonesia wajib :
a. dilengkapi sertifikat kesehatan bagi hewan, bahan asal hewan,
dan hasil bahan asal hewan, keculai media pembawa yang
tergolong benda lain;
b. melalui tempat-tempat pengeluaran yang telah ditetapkan;
c. dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina di tempat-
tempat pengeluaran untuk keperluan tindakan karantina.
Persyaratan sebagaimana dimaksud berlaku juga bagi media pembawa
hama dan penyakit ikan dan media pembawa organisme pengganggu
tumbuhan yang akan dikeluarkan dari wilayah negara Republik Indonesia
apabila disyaratkan oleh negara tujuan.
2.9.7 Tindakan Karantina
Media pembawa hama dan penyakit hewan atau organisme
pengganggu tumbuhan adalah hewan, bahan asal hewan, hasil bahan asal
hewan, tumbuhan dan bagian-bagiannya dan/atau benda lain yang dapat
membawa hama dan penyakit hewan karantina (HPHK) atau organisme
pengganggu tumbuhan karantina (OPTK).
a. Setiap media pembawa hama dan penyakit hewan karantina yang
dimasukkan, dibawa atau dikirim dari suatu area ke area lain di
dalam, dan/atau dikeluarkan dari wilayah negara republik indonesia
dikenakan tindakan karantina.

84
b. Setiap media pembawa hama dan penyakit ikan karantina atau
organisme pengganggu tumbuhan karantina yang dimasukkan ke
dalam dan/atau dibawa atau dikirim dari suatu area ke area lain di
dalam wilayah negara republik indonesia dikenakan tindakan
karantina.
c. Media pembawa hama dan penyakit ikan karantina dan organisme
pengganggu tumbuhan karantina yang dikeluarkan dari wilayah
negara republik indonesia tidak dikenakan tindakan karantina,
kecuali disyaratkan oleh negara tujuan.
Tindakan karantina dilakukan oleh petugas karantina dikenal dengan
8P yaitu:
1. Pemeriksaan
Dilakukan untuk mengetahui kelengkapan isi dokumen dan
mendeteksi hama dan penyakit hewan karantina, status kesehatan
dan sanitasi media pembawa, atau kelayakan sarana prasarana
karantina, alat angkut. pemeriksaan kesehatan atau sanitasi media
pembawa dilakukan secara fisik dengan cara pemeriksaan klinis
pada hewan atau pemeriksaan kemurnian atau keutuhan secara
organoleptik pada bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan dan
benda lain.
2. Pengasingan
Dilakukan terhadap sebagian atau seluruhnya media
pembawa untuk diadakan pengamatan, pemeriksaan dan perlakukan
dengan tujuan untuk mencegah kemungkinan penularan hama
penyakit hewan karantinaselama waktu tertentu yang akan
dipergunakan sebagai dasar penetapan masa karantina.
3. Pengamatan
Mendeteksi lebih lanjut hama penyakit hewan karantina
dengan cara mengamati timbulnya gejala hama penyakit hewan

85
karantina pada media pembawa selama diasingkan dengan
mempergunakan system semua masuk – semua keluar.
4. Perlakuan
Merupakan tindakan untuk membebaskan dan
mensucihamakan media pembawa dari hama penyakit hewan
karantina, atau tindakan lain yang bersifat preventif, kuratif dan
promotif.
5. Penahanan
Dilakukan terhadap media pembawa yang belum memenuhi
persyaratan karantina atau dokumen yang dipersyaratkan oleh
menteri lain yang terkait atau dalam pemeriksaan masih diperlukan
konfirmasi lebih lanjut.
6. Penolakan
Dilakukan penolakan apabila media pembawa tersebut
berasal dari daerah/negara terlarang karena masih terdapat/tertular
atau sedang wabah penyakit hewan karantina golongan I, atau pada
waktu pemeriksaan ditemukan gejala adanya penyakit hewan
karantina golongan I, atau pada waktu pemeriksaan tidak dilengkapi
dengan dokumen karantina (sertifikat kesehatan).
7. Pemusnahan
Pemusnahan dilakukan apabila media pembawa yang ditahan
tersebut melewati batas waktu yang ditentukan dan
pemilik/kuasanya tidak dapat memenuhi persyaratan yang
diperlukan, atau terhadap media pembawa tersebut ditemukan
adanya hama dan penyakit hewan karantina golongan I atau
golongan II tetapi telah diobati ternyata tidak dapat disembuhkan,
atau hewan yang ditolak tidak segera di berangkatkan/tidak
mungkin dilakukan penolakan dan media pembawa tersebut berasal
dari daerah terlarang atau daerah yang tidak bebas dari penyakit
hewan karantina golongan II.

86
8. Pembebasan
Pembebasan dilakukan apabila semua kewajiban dan
persyaratan untuk memasukkan/mengeluarkan media pembawa
tersebut telah dipenuhi dan dalam pemeriksaan tidak ditemukan
adanya/dugaan adanya gejala hama dan penyakit hewan karantina,
atau selama pengasingan dan pengamatan tidak ditemukan adanya
hama dan penyakit hewan karantina. pembebasan untuk masuk
diberikan dengan sertifikat pelepasan/pembebasan sedang
pembebasan keluar diberikan dengan sertifikat kesehatan.
2.9.8 Kebijakan Karantina
Kebijakan karantina hewan dalam hal ini adalah :
1. Mempertahankan status bebasnya Indonesia dari beberapa penyakit
hewan menular utama (major epizootic disease) dari kemungkinan
masuk dan tersebarnya agen penyakit dari luar negeri.
2. Mengimplementasikan kebijakan pengamanan maksimum (maximum
security policy) dengan menerapkan kebijakan pelarangan atau
pelarangan sementara jika terjadi wabah penyakit hewan menular,
yang dalam pelaksanaannya memantau perkembangan situasi wabah
melalui berbagai informasi resmi baik dari OIE maupun dengan
mencermati pelaporan negara yang bersangkutan atau melalui
komunikasi langsung dengan negara tersebut.
3. Melakukan pengawasan dan pemeriksaan lalu lintas hewan dan
produknya dengan menerapkan CIA (controlling, inpection and
approval) untuk melindungi sumber daya alam hayati fauna dari
ancaman penyakit hewan berbahaya lainnya serta penyakit eksotik.
4. Melakukan minimum disease program yaitu program untuk
meminimalkan kasus penyakit hewan di suatu wilayah/daerah tertentu
di Indonesia melalui sistem pengendalian dan pengawasan lalu lintas
hewan dan produknya antar wilayah/antar pulau sehingga dapat
mencegah dan menangkal penyebarannya.

87
5. Mewujudkan pelayanan karantina hewan yang modern, mandiri dan
professional dalam menjalankan kebijakan karantina hewan yang
dilaksanakan oleh petugas karantina hewan di lapangan untuk
memastikan dan meyakinkan bahwa media pembawa tersebut tidak
mengandung atau tidak dapat lagi menularkan hama penyakit hewan
karantina, tidak lagi membahayakan kesehatan manusia dan menjaga
ketenteraman bathin masyarakat, mengangkat harkat dan martabat
hidup masyarakat melalui kecukupan pangan yang bermutu dan
bergizi, serta ikut menjaga kelestarian sumber daya alam dan
lingkungan hidup.
2.9.9 Operasional Karantina Hewan
Pemasukan dan pengeluaran komoditi strategis hasil pertanian telah
ditetapkan sebagai kebijakan umum berdasarkan ketentuan yang diatur
dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan,
Ikan, dan Tumbuhan, bahwa setiap pemasukan dan pengeluaran
komoditas hasil pertanian termasuk hewan, bahan asal hewan, dan hasil
bahan asal hewan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Disertai Sertifikat Kesehatan Hewan, Bahan asal hewan, atau Hasil
bahan asal hewan;
2. Melalui pintu masuk dan atau pintu keluar yang telah ditetapkan
pemerintah
3. Dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina ditempat
pemasukan dan pengeluaran untuk dilakukan tindakan karantina.
Disamping ketiga persyaratan tersebut diatas, lalu-lintas komoditi hasil
pertanian (hewan, bahan asal hewan, maupun hasil bahan asal hewan)
dapat pula diwajibkan memenuhi persyaratan teknis lainnya yang
ditetapkan pemerintah, sepanjang tidak bertentangan dengan perjanjian
SPS – WTO. Sebagaimana diketahui pelaksanaan tindakan karantina
didasarkan atas UU Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan,
Ikan, dan Tumbuhan dan sejalan dengan pelaksanaan perjanjian SPS –

88
WTO dengan tujuan untuk mencegah masuk, tersebar dan keluarnya
hama penyakit berbahaya yang dapat mengancam keamanan dan
kesehatan manusia, hewan, ikan, dan tumbuhan, serta kelestarian
lingkungan hidup.
2.9.10 Instansi yang Bekerja Sama dengan Karantina
Pengawasan lalu lintas hewan, bahan asal hewan, produk asal hewan,
karantina tidak bekerja sendiri tetapi juga dibantu oleh instansi lain
dengan tugasnya masing-masing. Instansi-instansi tersebut antara lain :
a. Kepolisian Republik Indonesia
Tugas dari pihak kepolisian adalah memberikan paying hukum
bagi karantina jika ada pihak pelaku lalu lintas ternak dan bahan
ikutannya yang mencoba melawan atau mengancam pegawai
karnatina khususnya di setiap wilayah kerja.
b. Dinas Peternakan
Tugas dari dinas peternakan adalah menerbitkan surat
rekomendasi dalam pemasukan dan pengiriman serta surat
keterangan sehat ternak.
c. Badan Penanaman Modal Dan Perizinan
Tugas dari BPMP adalah menerbitkan surat izin dalam
pemasukan dan pengiriman ternak berdasarkan rekomendasi dari
Dinas Peternakan.
d. Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA)
BKSD berperan dalam perlindungan/pelestarian satwa liar dan
menerbitkan Surat Ijin Angkut Satwa (SIAS).
e. Balai Besar Veteriner (BBVet)
Tugas dari BBVet adalah membantu karantina untuk
meneguhkan diagnosa terhadap hewan maupun bahan ikutan
lainya.
f. Bea dan Cukai

89
Tugas beacukai adalah untuk membantu pengawasan komoditi
wajib periksa karantina baik ekspor maupun impor.
g. Imigrasi
Bea cukai, imigrasi dan karantina merupakan tiga unsur yang
disebut dengan C.I.Q. (Custom, Imigration, Quarantine).
2.9.11 Komoditi Karantina Hewan
1. Hewan/ternak yaitu semua binatang/hewan yang hidup didarat baik
yang dipelihara maupun yang hidup secara liar.
2. Bahan asal hewan (BAH) yaitu bahan yang berasal dari hewan yang
dapat diolah lebih lanjut seperti : dendeng, kulit, tulang, telur, tanduk,
lemak, susu segar, madu, tepung tulang, tepung hati, dan lain-lain.
3. Hasil bahan asal hewan (HBAH) yaitu bahan asal hewan yang telah
diolah lebih lanjut seperti : daging kaleng, keju, cream, mentega,
sosis, daging olahan, dan lain-lain.
4. Benda lain adalah media pembawa yang bukan tergolong hewan,
BAH, dan HBAH, yang mempunyai potensi penyebaran hama
penyakit hewan karantina.
2.9.12 Formulir Penting di Karantina Hewan
Untuk dapat dilayani dan memenuhi persyaratan masuk atau keluarnya
hewan atau komoditi asal hewan maka pemilik atau pengusaha harus
mengisi dan memperoleh formulir KH dari Balai Karantina Pertanian
sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Pertanian Republik
Indonesia Nomor 17/permentan/KR.120/5/2017 tentang Dokumen
Karantina Hewan terdiri dari :
1) KH-1 : Berita acara serah terima media pembawa hama penyakit
hewan karantina dan dokumen karantina kepada petugas karantina
di tempat pemasukan dan/atau pengeluaran.
2) KH-2 : Surat penugasan melakukan tindakan karantina hewan.
3) KH-3 : Laporan pelaksanaan tindakan karantina hewan.
4) KH-4 : Penolakan bongkar.

90
5) KH-5 : Persetujuan bongkar.
6) KH-6 : Persetujuan muat.
7) KH-7 : Perintah masuk instalasi karantina hewan.
8) KH-8A : Surat perintah penahanan.
9) KH-8B : Berita acara penahanan.
10) KH-9A : Surat perintah penolakan.
11) KH-9B : Berita acara penolakan.
12) KH-10A : Surat perintah pemusnahan.
13) KH-10B : Berita acara pemusnahan.
14) KH-11 : Seritifikat kesehatan hewan.
15) KH-12 : Sertifikasi sanitasi produk hewan.
16) KH-13 : Surat keterangan untuk benda lain.
17) KH-14 : Sertifikat pelepasan karantina hewan.
18) KH-15 : Surat keterangan transit.
19) KH-16 : Berita acara serah terima media pembawa hama penyakit
hewan karantina dan pelaksanaan tindakan karantina antar dokter
hewan karantina.
20) KH-17 : Surat keterangan untuk barang yang bukan termasuk
media pembawa hama penyakit hewan karantina.
2.9.13 Ketentuan Pidana
Apabila terjadi pelanggaran terhadap persyaratan karantina, tindakan
karantina, jenis hama dan penyakit, organisme pengganggu dan media
pembawa, maka dalam Bab IX pasal 31 Undang-Undang No. 16 Tahun
1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan maka :
1) Barangsiapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6,
Pasal 7, Pasal 9, Pasal 21, dan Pasal 25, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.
150.000.000,- (sertus lima puluh juta rupiah).

91
2) Barangsiapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6,
Pasal 7, Pasal 9, Pasal 21 dan Pasal 25, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp.
50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
3) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), adalah
kejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
adalah pelanggaran.

92

Anda mungkin juga menyukai