Anda di halaman 1dari 7

2.

3 Pemeriksaan Kualitas Daging

Kualitas daging dapat ditinjau dari dua faktor, yaitu kualitas fisik dan kimia daging.
Kualitas fisik daging antara lain nilai pH, daya ikat air, susut masak dan tekstur (Rasyad et al.,
2012) sedangkan kualitas kimia daging dapat ditentukan berdasarkan perubahan komponen-
komponen kimianya seperti kadar air, protein dan lemak (Setiawan et al., 2017). Evaluasi terhadap
kualitas dan kesehatan daging dapat dilakukan secara subjektif dan objektif. Penilaian secara
subjektif meliputi penilaian terhadap warna, bau, konsistensi dan tekstur. sedangkan penilaian
objektif dapat dilakukan dengan bantuan alat-alat laboratoris atau dengan standar perbandingan
penilaian objektif meliputi penilaian terhadap pH, daya ikat air/water holding capacity (WHC),
kadar air, dan jumlah mikroba.
1. Pemeriksaan Subjektif
 Warna
Penampilan warna daging sering dihubungkan dengan kondisi kesegarannya.
Warna merupakan salah satu indikator kualitas daging meskipun warna tidak
mempengaruhi nilai gizi. Banyak faktor yang mempengaruhi warna daging termasuk
pakan, spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, stres (tingkat aktivitas dan tipe otot), pH dan
oksigen (Soeparno, 1992). Beberapa ternak memberikan karakteristik khusus warna seperti
daging sapi berwarna merah terang, ikan berwarna putih abu-abu sampai merah gelap,
kuda berwarna merah gelap, babi berwarna pink kelabu dan unggas berwarna putih abu-abu
sampai merah (Suardana dan Swacita, 2009).
Pigmen merupakan faktor terpenting dalam pembentukan warna daging. Pigmen
tersebut adalah haemoglobin (pigmen darah) dan mioglobin (pigmen jaringan), namun 80-
90 % seluruh pigmen daging ditentukan oleh mioglobin. Apabila daging kontak langsung
dengan udara luar dan berlangsung lama akan menyebabkan perubahan oksimyoglobin
menjadi metmyoglobin (MMb) sehingga menyebabkan warna daging berubah menjadi
coklat. Dan apabila metmyoglobin terkontaminasi dengan bakteri, maka daging akan
berubah warna menjadi hijau hal tersebut terjadi karena terbentuknya sulfmyoglobin dan
cholemyoglobin, akibat oksidasi dan denaturasi dengan cepat berubah menjadi porpirrin
dengan warna kuning sampai coklat atau tidak berwarna (Arka et al, 1998).
 Bau
Bau/aroma daging disebabkan oleh adanya fraksi yang mudah menguap berupa
inosin-5-monofosfat (merupakan hasil konversi dari adenosine-5-trifosfat pada jaringan
otot hewan semasa hidup) yang mengandung hidrogen sulfida dan metil merkaptan.
Daging yang masih segar berbau seperti darah segar. Daging yang telah mengalami
pembusukan khususnya pada daging merah akan berbau busuk, bau daging merupakan
pengaruh campuran dari aktivitas enzim lipolitik triasilgliserol, ketengikan oksidatif asam
lemak tak jenuh serta produk degradasi protein yang terakumulasi dalam jaringan lemak.
Produk degradasi protein daging dapat diketahui dari pelepasan gas-gas amonia
(NH3), dan hidrogen sulfida (H2S) serta metil merkaptan yang berbau busuk. Pelepasan
gas-gas ini bersumber dari asam-asam amino penyusun protein daging yang mengandung
gugus NH, gugus S dan gugus NH3 dalam kombinasi dengan senyawa lain. Pada daging
sapi bali lebih dominan berbau darah segar (Suardana dan Swacita, 2009).
 Konsistensi dan Tekstur
Keempukan dan tekstur merupakan faktor yang penting terhadap kualitas daging.
Ada dua tekstur otot yaitu tekstur kasar dengan ikatan - ikatan serabut yang besar, dan
tekstur halus dengan ikatan - ikatan serabut yang kecil. Ada dua faktor yang penting, yaitu
antemortem (genetik, fisiologis, umur, manajemen, jenis kelamin, dan stres) sedangkan
faktor postmortem adalah chilling, refrigerasi, pelayuan, pembekuan lama dan suhu
penyimpanan, termasuk pemasakan, dan pengempukan. Penentu keempukan daging
meliputi 3 komponen yaitu:
a. Status miofibril dan status kontraksi
b. Kandungan jaringan ikat dan tingkat ikatan silang
c. Daya ikat air dan jus daging
Konsistensi daging biasanya dinyatakan dengan liat (firmness), lembek (softness),
berair (juicness). Daging segar terasa liat sedangkan daging yang mulai membusuk akan
berair. Dilihat dari teksturnya daging segar mempunyai tekstur yang halus dan daging yang
mulai membusuk memiliki tekstur yang kasar (Suardana dan Swacita, 2009).
2. Pemeriksaan Obyektif
 pH (Power of Hydrogen)

Nilai pH merupakan salah satu kriteria dalam penentuan kualitas daging.


Setelah pemotongan hewan (hewan telah mati), maka terjadilah proses
biokimiawi yang sangat kompleks di dalam jaringan otot dan jaringan lainnya
sebagai konsekuen tidak adanya aliran darah ke jaringan tersebut, karena
terhentinya pompa jantung.  Salah satu proses yang terjadi dan merupakan proses
yang dominan dalam jaringan otot setelah kematian (36 jam pertama setelah
kematian atau postmortem) adalah proses glikolisis anaerob atau glikolisis
postmortem.  Dalam glikolisis anaerob ini, selain dihasilkan energi (ATP) maka
dihasilkan juga asam laktat.  Asam laktat tersebut akan terakumulasi di dalam
jaringan dan mengakibatkan penurunan nilai pH jaringan otot.

Nilai pH otot (otot bergaris melintang atau otot skeletal atau yang disebut
daging) saat hewan hidup sekitar 7,0-7,2 (pH netral).  Setelah hewan disembelih
(mati), nilai pH dalam otot (pH daging) akan menurun akibat adanya akumulasi
asam laktat.  Penurunan nilai pH pada otot hewan yang sehat dan ditangani
dengan baik sebelum pemotongan akan berjalan secara bertahap, yaitu mulai dari
7,0 dan akan mencapai nilai pH (ultimate pH value) akhir sekitar 5,4-5,8.
(Setiawan et al., 2017). Daging dengan pH tinggi mempunyai keempukan yang
lebih tinggi daripada daging dengan pH rendah. Kealotan atau keempukan serabut
otot pada kisaran pH 5,4 sampai 6,0. pH daging berhubungan dengan DIA (Daya
Ikat Air/ WHC/Water Holding Capacity), jus daging, keempukan dan susut
masak, juga bisa berhubungan dengan warna dan sifat mekanik daging. Secara
umum pH daging dipengaruhi oleh laju glikolisis post-mortem, stress sebelum
disembelih, cadangan glikogen otot, jenis otot dan aktifitas enzim (Suardana dan
Swacita, 2009).

 Water Holding Capacity (WHC) / Daya Ikat Air

Water Holding Capacity (WHC) dalam bahasa indonesia sering disebut


dengan daya ikat air (DIA) didefinisikan sebagai kemampuan daging untuk
menahan air yang terdapat dalam jaringan. Besar kecilnya WHC berpengaruh
terhadap warna, keempukan, kekenyalan, kesan jus dan tekstur daging
(Nurwantoro, 2003). Daging yang baik akan mengikat ketiga komponen air yang
terdapat pada daging, yaitu air bebas (free water), air terikat erat (tight water), dan
air yang tidak bergerak (immobilized water). Air bebas dapat dikeluarkan dari
dalam daging dengan perlakuan fisik, namun air yang terikat erat dan air tidak
bergerak akan tetap terkandung di daging. Mengukur daya ikat air dapat
dilakukan dengan Metode Penekanan (drip loss) (Honikel dan Hamm, 1994) dan
Metode Pemusingan (centrifuge). Faktor yang mempengaruhi daya ikat air pada
daging adalah pH daging (Alvarado dan McKee, 2007) dan protein otot, serta
faktor lainnya yaitu tingkat stres hewan, bangsa, rigormortis, temperatur,
kelembaban, umur, dan lemak intramuskuler (Soeparno, 2005).
 Kadar Air

Kadar air merupakan persentase air yang terdapat pada daging. Kadar air
daging mempengaruhi kualitas daging terutama terhadap kebasahan (juiciness),
keempukan, warna dan cita rasa (taste). Air juga merupakan medium mineral
dari reaksi-reaksi kimia, biokimia dan biologis, termasuk sebagai medium untuk
mentranspormasikan substrat-substrat diantara sistem vaskuler dan serabut otot.
Kadar air daging juga sangat erat hubungannya dengan proses kerusakan daging
selama penyimpanan yang diakibatkan oleh mikroba (Nurwantoro dan S.
Mulyani., 2003). Kandungan air dalam bahan makanan memengaruhi daya tahan
bahan makanan terhadap serangan mikroba. Kandungan air tersebut dinyatakan
dengan water activity, yaitu jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh
mikroorganisme untuk pertumbuhannya. Kelembaban dan kadar air biasanya
berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroorganisme. Menurut Fardiaz (1992),
semakin banyak bakteri yang tumbuh, maka jumlah air yang terlepas juga
semakin banyak. Winarno dan Fardiaz (1980), menyatakan bahwa kadar air
dalam daging berkisar antara 60-70% dan apabila daging mempunyai kadar air
yang tidak terlalu tinggi atau tidak terlalu rendah, maka daging tersebut dapat
tahan lama selama penyimpanan. Kadar air pada daging ditentukan oleh
kandungan lemak intramuskuler (Nurwantoro et al., 2012), umur ternak, dan
tekanan osmosis (Kuntoro et al., 2007).

 Mikrobiologis Daging

Daging dapat mengalami pembusukan seperti yang disebabkan oleh


aktivitas enzim-enzim dalam daging (autolisis), kimiawi (oksidasi) dan
mikroorganisme. Mekanisme pembusukan ini sangat kompleks. Faktor-faktor
yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme pada daging adalah: jenis dan
jumlah mikroorganisme awal (pencemar) serta penyebarannya, sifat fisik daging,
sifat kimiawi daging, ketersediaan oksigen, serta suhu. Konsentrasi komponen
tersebut dalam daging dan penggunaannya oleh jenis mikroba tertentu yang akan
menentukan waktu terjadinya (onset) dan jenis pembusukan. Untuk menilai
kualitas daging segar adalah standar cemaran bakteri yaitu Angka Lempeng Total
Bakteri (ALTB) tidak lebih dari 106 per gram sampel dan Most Probable Number
(MPN) Coliform tidak lebih dari 102 per gram sampel. Jumlah kuman yang masih
dikategorikan memenuhi syarat untuk daging babi antara 0,9 juta - 1,4 juta per
gram, kuman coliform agak tinggi, yaitu 38000 - 710000 per gram daging.
Adanya bakteri pada daging dapat mempercepat proses pembusukan daging dan
adanya bakteri patogen menyebabkan penyakit keracunan makanan bila tertelan
oleh konsumen (Arka et al., 1998).

DAFTAR PUSTAKA

Alvarado C dan McKee S. 2007. Marination to Improve Functional Properties and Safety
of Poultry Meat. Journal Appl Poultry Res. 16:113-120.

Arka IB, Wisna WB, Okarini IA, Swacita IBN, Suada K. 1998. Penunutun Praktikum
Ilmu Kesehatan daging. Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Udayana. Denpasar.

Fardiaz, S. 1992. Mil:robiologi Pengolahan Pangan Lanjut. Bogor: PAU Pangan dan Gizi
Institut Pertanian Bogor.

Honikel, K.O. dan R. Hamm. 1994. Measurememt of Water Holding Capacity and
Juiceness. Pada Quality Attributes and Their Measurement in Meat, Poultry and
Fish Products. Adv. Meat Res. 9 Ed. By Pearson, A.M. dan T.R. Dutson. Blackie
Academic & Professional Glasgow, UK

Kuntoro B, Mirdhayati T, dan Adelina. 2007. Penggunaan Ekstrak Daun Katuk


(Sauropus androgunus 1. Men) Sebagai Bahan Pengawet Alami Daging Sapi
Segar. Jurnal Petemakan 4(1): 6-12.

Nurwantoro VP, Bintoro AM, Legowo A, Purnomoadi LD, Ambara A, Prakoso, dan
Mulyani. 2012. Nilai pH, Kadar Air, dan Total Escherichia Coli Daging Sapi
Yang Dimarinasi Dalam Jus Bawang Putih. J Aplikasi Teknologi Pangan. 1:20-
22.

Nurwantoro. 2003. Buku ajar dasar teknologi hasil ternak. Semarang : Universitas
Diponegoro

Nurwantoro dan S. Mulyani. 2003. Buku Ajar Teknologi Hasil Ternak. Fakultas
Peternakan. Universitas Diponegoro. Semarang.

Rasyad, N.V.B., Rosyidi, D., Widati, A.S. 2012. Pengaruh lama pemanggangan dalam
microwave terhadap kualitas fisik steak daging ayam. J Ilmu dan Teknologi Hasil
Ternak. Vol 7(1): 6-11.
Setiawan, S.Y., Swacita, I.B.N., Suada, I.K. 2017. Kualitas Daging Sapi di Rumah
Potong Hewan Pesanggaran Ditinjau dari Uji pH dan Daya Ikat Air. Buletin
Veteriner Udayana. Vol 9 (1): 16-21

Suardana, I. W. dan Swacita, I. B. N. 2009. Higiene Makanan. Denpasar: Udayana


University Press

Winarno, FG dan Fardiaz S. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. PT. Gramedia. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai