PENDAHULUAN
1.1. Tujuan
1.1.1. Umum
Memahami sifat-sifat kimiawi daging, karkas, dan ikan
1.1.2. Khusus
1. Menentukan persentase jaringan-jaringan penyusun daging, karkas, dan
ikan
2. Menentukan tingkat kualitas kesegaran ikan
3. Menentukan karakteristik dari daging, karkas, dan ikan: pH, juiciness,
keempukan.
1.2.1. Karkas
1.2.2 Ikan
Ikan merupakan hewan yang hidup di air yang dapat dimanfaatkan
sebagai bahan pangan. Ikan sendiri terbagi menjadi ikan air tawar dan ikan
air asin. Komposisi kimia ikan sangat bervariasi bergantung pada spesies,
umur, musim, dan jenis kelamin. Ikan mengandung air sekitar 70%,
protein 20%, lemak 0.1-20%, karbohidrat 1%, dan mineral 1 %.Daging
ikan merupakan sumber protein yang tinggi sehingga rawan kerusakan
akibat faktor fisik maupun biologis seperti aktivitas bakteri mengingat Aw
ikan juga tinggi Morfologi ikan terdiri atas bagian kepala, daging, kulit,
tulang, ekor, sirip, dan organ-organ dalam. Ada 2 jenis ikan berdasarkan
warna daging nya yakni daging warna putih dan daging warna merah.
Perbedaan utama warna pada daging ikan adalah kandungan pigmen
mioglobin.Tubuh ikan biasanya memiliki bentuk dan ukuran yang simetris
bila dipotong menjadi 2 dari kepala ke ekor. Organ khas pada ikan yakni
insang yang terdapat pada daerah sekitar kepala. Ikan segar lebih cepat
mengalami kebusukan dibandingkan daging unggas dan mamalia.
Kebusukan langsung terjadi dengan pesat setelah rigor mortis selesai.
Menurut Moselio Schaechter (2009), hal ini terjadi karena 2 faktor yakni
karena daging ikan mempunyai jumlah komponen protein dan non protein
nitrogen yang tinggi (terutama komponen non protein nitrogennya yang
sangat mudah dimanfaatkan oleh mikroba). Faktor lainnya ialah karena
tidak adanya kandungan karbohidrat pada daging ikan sehingga tidak ada
produksi asam laktat hasil glikolisis yang menyebabkan pH asam yang
akan menghambat aktivitas bakteri (pH ikan normal 7). Pembusukan ini
menyebabkan kualitas bahan pangan menurun hingga mencapai titik tidak
layak dikonsumsi. Pembusukan ini akan mempengaruhi sifat sensori
(warna, tekstur, bau, dan rasa) hingga terjadi penyimpangan.
Tabel 1.2.2.1 Kriteria Penilaian Kesegaran Ikan
Mutu 1 2 3 4
1.2.2. Keempukan
Keempukan merupakan faktor penting daging sebagai bahan
pangan disamping faktor rasa dan aroma. Ketiga faktor ini tergolong
sensori yang sering ditentukan secara subyektif. Meskipun demikian
keempukan daging juga dapat ditentukan secara obyektif. Faktor-faktor
yang mempengaruhi faktor keempukan daging antara lain jenis/galur dan
umur ternak, jenis daging, perlakuan yang diberikan (pemanasan,
pemberian enzim) dan kondisi daging (prerigor, rigor mortis, dan pasca
rigor). Daging yang dihasilkan dari ternak tua biasanya cenderung keras
(tidak empuk). Daging bagian perut/pinggang lebih empuk dibandingkan
daging bagian leher. Pemberian enzim proteolitik atau pemanasan dapat
mengempukan daging. Daging yang berada pada fase rigor mortis lebih
keras dibandingkan pre rigor atau pasca rigor. Dari bahan daging sapi
(round, sirloin, chuck dan fore shank) dan daging kambing (loin, shoulder
dan fore shank), daging pre-rigor, daging rigor mortis, daging pasca rigor
dengan alat penetrometer dapat ditentukan pengukuran subyektif
(keempukan daging diukur secara relatif (diberi tanda +) dengan cara
dipijit) dan pengukuran obyektif (daging dipotong berbentuk kubus
dengan ukuran 10 x 10 x 10 cm dan diletakkan pada alat penetrometer).
Angka yang ditunjukkan jarum skala dicatat dan keempukarn daging
dinyatakan dalam mm/10 detik/50 gr (Muchtiadi dkk., 2016) .
1.2.3. pH
Nilai pH postmortem hewan ternak sangatlah dipengaruhi pada
kondisi bagaimana hewan ternak tersebut disembelih. Ternak yang
mengalami stress sebelum proses penyembelihan hanya memiliki sedikit
energi sehingga daging akan memanfaatkan ATP dari hasil pemecahan
glikogen. Ketika hewan mati dipotong, maka sirkulasi darah yang
berperan sebagai pembawa oksigen pada daging akan terhenti sehingga
menyebabkan respirasi pada daging terhenti dan terjadi proses glikolisis
anaerob, dimana pada proses glikolisis anaerob ini terjadi pemecahan
glikogen menjadi ATP dan asam laktat. Asam laktat ini lah yang
menyebabkan penurunan pH pada daging karena memang pada dasarnya
pH asam laktat tergolong asam. Proses glikolisis setelah ternak dipotong
ini berpengaruh pada nilai pH. Semakin lama waktu postmortem maka
akan terjadi penurunan pH yang semakin rendah akibat proses konversi
otot menjadi daging. Standar pH daging hewan yang sehat dan cukup
istirahat yang baru dipotong adalah 7-7,2 dan Nilai pH ultimat daging
yang normal berkisar antara 5,4-5,8 pada 6 jam postmortem dan warna
daging akan menjdi merah cerah (Komariah, 2009 dalam Aberle, et al.,
2001).
BAB II
METODE
Penimbangan
Penghalusan
2.2.4. Pengukuran pH
Penghalusan daging sapi segar, daging sapi beku, dan daging ikan masing-
masing sebanyak 1g
Pengadukan
Jaringan
ikat 17.5 1.06%
Jaringan
lemak 10.62 0.65%
Untuk mendapatkan persentase bagian dapat dimakan dari karkas ayam adalah
1. Daging Beku 36
2. Daging Segar 48
3. Dada Ayam 38
4. Paha Ayam 46
5. Ikan I 52
6. Ikan II 36
Daya ikat air atau Water Holding Capacity (WHC) adalah kemampuan
protein daging untuk mengikat atau menahan kandungan air selama mengalami
perlakuan dari luar seperti pemotongan, penggilingan, dan pengolahan (Afrila,
2011). Pada praktikum ini, percobaan WHC menggunakan 5 sampel, yaitu daging
sapi beku, daging sapi segar, paha ayam, dada ayam, dan ikan.
Daya ikat air dipengaruhi oleh faktor pH yang tergantung pada spesies,
umur, dan fungsi otot (Soeparno, 1994 dalam Winarso, 2003). Daya ikat air akan
meningkat jika nilai pH daging meningkat. Hal ini dapat terjadi karena pada saat
pH daging rendah, mengakibatkan struktur daging terbuka sehingga menurunkan
daya ikat air (Buckle et al., 1985 dalam Prayitno, dkk., 2010). Pada pH yang
rendah, artinya terdapat banyak asam laktat yang dihasilkan dari proses glikolisis
sehingga asam yang terbentuk alan merusak myofibril, myofibril yang rusak akan
kehilangan kemampuannya mengikat air sehingga WHC turun dan banyak air
yang terlepaskan.
Data yang didapat dari praktikum sesuai dengan teori diatas. Bersadarkan
tabel 3.2.1., WHC dada ayam adalah 38% dengan pH rata - rata 5,70. Sedangkan
WHC paha ayam adalah 46% dengan pH rata - rata 6,07. Hal ini sesuai dengan
teori yaitu semakin tinggi pH, WHC juga semakin tinggi. Berdasarkan Bintoro
(2006), bila nilai pH lebih tinggi atau lebih rendah dari titik isoelektrik protein-
protein daging (5,0–5,1), maka daya ikat air meningkat. Hal ini karena pH yang
lebih rendah atau lebih tinggi dari titik isoelektris protein daging, terdapat ekses
muatan positif yang mengakibatkan penolakan miofilamen dan memberi lebih
banyak ruang untuk molekul air.
3.2.3. Ikan
6. Ikan gurame 2
Pada uji tekstur ini digunakan beberapa sampel yaitu daging rebus dan
mentah, ayam dada, ayam paha dan ikan. Dari hasil pengamatan tekstur secara
obyektif yang didapatkan berikut adalah urutan dari yang paling keras yaitu
daging beku rebus, daging segar rebus, daging beku mentah, daging segar mentah,
paha ayam, dada ayam, dan ikan. Daging beku dapat membentuk kristal es yang
dapat menyebabkan penurunan “juicy” daging pada saat proses thawing sehingga
dapat menyebabkan daging memiliki tekstur yang keras (Usmiati,2017). Selain itu
daging yang direbus dengan suhu tinggi dapat merusak kandungan protein
miofibril yang terkandung dalam daging sehingga dapat menyebabkan daging
menjadi keras. Daging segar memiliki tekstur yang lebih lunak daripada daging
beku karena WHC nya lebih tinggi sehingga daging lebih “juicy” dibandingkan
dengan daging beku.
Pada daging ayam menggunakan bagian paha dan dada. Dilihat dari data,
paha ayam memiliki tekstur yang lebih keras (0,25 mm/5 second) daripada dada
ayam (0,28 mm/ 5 second) hal ini disebabkan karena paha merupakan alat gerak
pada ayam sehingga paha mengandung jaringan ikat yang lebih tinggi
dibandingkan dengan dada ayam yang hanya digunakan untuk respirasi sehingga
dapat mempengaruhi kekerasan pada dua bagian tersebut dimana paha ayam lebih
keras daripada dada ayam.(Murtidjo, 2003)
Ikan memiliki tekstur yang paling lunak diantara sampel lainnya karena
bagian yang digunakan ikan untuk berenang adalah sirip serta ekornya. Bagian
badannya jarang digunakan sehingga hal tersebut menyebabkan ikan memiliki
tekstur yang sangat lunak dibandingkan dengan dada ayam
3.4. Pengukuran pH
Sampel pH
Dari data yang kami dapatkan (tabel 3.4.1.), dapat dilihat kelima sampel
yang diuji memiliki pH kurang dari 7 (pH standar). Hal ini terjadi karena setelah
hewan mati, hewan tidak lagi mendapat suplai oksigen sehingga terjadi proses
glikolisis secara anaerob yang menghasilkan ATP dan asam laktat dari glikogen.
Terbentuknya asam laktat ini yang menyebabkan penurunan pH daging.
Penurunan pH pada daging ini dikarenakan adanya jeda antara waktu pemotongan
daging dan pengujian pH sehingga dalam selisih waktu tersebut daging telah
memproduksi asam laktat dan ATP. Tabel 1 menunjukan bahwa pH daging
tertinggi yaitu pH ikan karena jarak antara waktu pemotongan dan pengujian
pHnya paling pendek jika dibandingkan dengan sampel lainnya.
Daging sapi beku yang digunakan pada praktikum ini dibeli pada tanggal
27 Agustus 2019 dan daging sapi segar yang digunakan dibeli pada tanggal 28
Agustus 2019. Jika dilihat dari hasil pengukuran pH daging beku dengan daging
segar (tabel 3.4.1.) keduanya memiliki pH yang tidak terlalu jauh selisihnya, yaitu
5,86 untuk daging beku dan 6,02 untuk daging segar. Hal ini dikarenakan saat
proses pembekuan terjadi perlakuan penurunan temperatur yang menyebabkan
kadar air bebas berkurang. Dengan berkurangnya kadar air bebas, maka aktivitas
mikroba pada daging juga menjadi terhambat, karena pada dasarnya aktivitas
mikroba pada daging sangat memanfaatkan adanya air bebas. Selain kadar air
bebas, mikroba-mikroba dalam daging memiliki enzim yang aktif pada suhu
tertentu dan kebanyakan enzim pada mikroba aktif pada suhu 37°C. Suhu pada
pembekuan ini berkisar di bawah 0°C sehingga enzim pada mikroba berada pada
fase inaktif.
Perbedaan pH pada ayam bagian dada dan paha ini berkaitan dengan
kandungan glikogen yang terkandung pada masing-masing bagian. Kandungan
glikogen pada daging akan meningkat apabila hewan mengalami stress, kelelahan
dan gelisah. Dada ayam sebagian besar tersusun atas serabut putih yang
berkontraksi cepat namun berlangsung singkat dengan metabolisme oksidatif yang
rendah dan metabolisme glikolitik yang tinggi sehingga kandungan glikogennya
cukup tinggi. Paha ayam memiliki kandungan glikogen yang lebih sedikit
dibandingkan dengan dada ayam karena paha ayam lebih banyak beraktivitas
dibandingkan dengan dada ayam dan hal ini menyebabkan paha ayam lebih
membutuhkan banyak ATP dibandingkan dengan dada ayam (kadar glikogen lebih
sedikit karena sudah dipecah menjadi ATP dan asam laktat). Hal ini lah yang
menyebabkan pH paha ayam lebih rendah dibandingkan pH dada ayam.
3.5. Pengujian Sifat Fisik dan Kimia Ikan Gurami
tekstur, sisik, insang, dan aroma. Dari hasil pengamatan, ikan gurami 1 dan
2 tersebut memiliki tingkat kesegaran yang baik yakni pada tingkat mutu 1.
Aroma segar menandakan aktivitas mikroba yang belum terjadi dengan pesat
dalam tubuh ikan yang mengindikasikan kualitas yang baik.
Komponen Berat (g) (ikan Persentase (ikan Berat (g) (ikan Persentase (ikan
1) 1) 2) 2)
Berat utuh 402 100% 366,49 100%
Kulit 52,27 13% 27,80 7,59%
Daging 29,13 7,25% 132,54 36,16%
Kepala 74,25 18,47% 76,19 20,79%
Ekor dan 33,58 8,35% 9,82 2,41%
sirip 39,75 9,89% 31,37 8,56%
Organ dalam 29,45 7,32% 34,43 9,39%
Tulang
1. Kulit: Persentase =
2. Daging: Persentase =
3. Kepala: Persentase =
6. Tulang: Persentase =
Ikan gurami 2:
1. Kulit: Persentase =
2. Daging: Persentase =
3. Kepala: Persentase =
6. Tulang: Persentase =
Pada pengujian fisik ikan 1 dan 2 dilakukan juga dengan penimbangan per
bagian tubuh untuk mengetahui persentase tiap-tiap bagian ikan per berat utuh nya
melalui metode dressing. Persentase tiap bagian tubuh ikan tercantum pada tabel
3.5.2. Pada tabel nampak komponen ikan 1 dengan persentase terbesar yakni
kepala utuh karena pada pemotongan kepala tidak ada bagian dari kepala yang
terburai. Melihat jumlah berat komponen yang tidak menyamai berat utuh (hanya
64,28% saja) dikarenakan selama dressing banyak komponen air yang keluar dan
komponen daging yang masih melekat pada wadah dan telenan. Mengingat
jumlah daging sangat sedikit yakni 29,13 gram saja dikarenakan selama dressing
masih banyak daging yang melekat pada kulit, ekor, sirip, dan kulit. Pada
pengulangan dressing ikan 2 tampak komponen dengan berat dominan yakni
daging karena pada ikan 2 proses fillet berlangsung dengan baik sehingga daging
dapat dipisahkan dengan sempurna dari tulang dan komponen lainnya
BAB IV
KESIMPULAN
4.1. Persentase jaringan penyusun daging, karkas, dan ikan dipengaruhi oleh
spesies dan berat jaringan.
4.2. Ikan gurami 1 dan 2 memiliki tingkat kesegaran yang baik yakni pada tingkat
mutu 1
4.3. Perbedaan spesies mempengaruhi karakterisitik dan kualitas daging meliputi
pH, WHC, keempukan, dan juiceness.
DAFTAR PUSTAKA
Afrila A. dan B. Santoso. 2011. Water Holding Capacity (WHC), Kadar Protein, dan
Kadar Air Dendeng Sapi Pada Berbagai Konsentrasi Ekstrak Jahe (Zingiber
Officinale Roscoe) dan Lama Perendaman yang Berbeda, Jurnal Ilmu dan
Teknologi Hasil Ternak, 6(2):43-44.
Anggreani, Y.D.A. 2016. Penentuan Kualitas Daging Segar dan Beku Padadaging Sapi,
Laporan Praktikum Ilmu Daging. Fakultas Pertenakan Universitas Udayana, Bali.
Awwaly, K.U. 2017. Protein Pangan Hasil Ternak dan Aplikasinya. Jakarta: UB Press.
Bahar, Burhan. 2006. Panduan Praktis Memilih dan Menangani Produk Perikanan.
Jakarta: Penerbit Gramedia
Bintoro, V.P., B. Dwiloka, dan A. Sofyan. 2006. Perbandingan Daging Ayam Segar dan
Daging Ayam Bangka Dengan Memakai Uji Fisiko Kimia dan Mikrobiologi,
J.Indon.Trop.Anim.Agric, 31(4): 264-265.
Ernawati, Fitrah, I.Nelis, N.Nunung, S.Ema, S.Dian, A.Y.Arifin, dan P.Mutiara. 2018.
Nilai pH dan Kualitas Zat Gizi Makro Daging Beku, Dingin, dan Segar Pada
Pasar Tradisional dan Pasar Swalayan, J.Penelitian Gizi dan Makanan, 41 (1): 21-
30.
Kuswati dan Susilawati, Trinil. 2016. Industri Sapi Potong. Malang: UB Press
Komariah, R.Sri, dan Sarjito. 2009. SIfat Fisik Daging Sapi, Kerbau dan Domba Pada
Lama Postmortem yang Berbeda, J.Buletin Peternakan, 33(3): 183-189.
Munandar et al. 2009. Kemunduran Mutu Ikan Pada Penyimpanan Suhu Rendah. Serang:
Universitas Sultan Agung Tirtayasa.
Nikolova, N dan Z. Pavlovski. 2009. Major Carcass Parts of Broiler Chicken from
Different Genotype, Sex, Age and Nutrition System. Biotechnology in Animal
Husbandry. 25 (5-6):1045-1049
Prayitno, A. H., E. Suryanto, dan Zuprizal. 2010. Kualitas Fisik dan Sensoris Daging
Ayam Broiler yang Diberi Pakan dengan Penambahan Ampas Virgin Coconut Oil
(VCO), Buletin Peternakan, 34(1).
Suradi, Kusmajadi. 2006. Perubahan Sifat Fisik Daging Ayam Broiler Post Mortem
Selama Penyimpanan Temperatur Ruang, J.Ilmu Ternak, 6 No. 1, 23 – 27.
Suwanto, E.P. dan Hapsari, Y.D. 2012. Studi dan Perancangan Penetrometer Digital
Sebagai Alat Uji Konsistensi Bahan Berbasis Mikrokontroler. Surabaya: ITS
Usmiati, Sri. 2017. Keempukan daging: Faktor yang Mempengaruhi dan Cara
Memperoleh KeempukanDaging.http://pascapanen.litbang.pertanian.go.id/actual.h
tml?type=news&id=78 Diakses 30 Agustus 2019
Waluyo, Eko dan Kusuma, B. 2017. Keamanan Pangan Produk Perikanan. Malang: UB
Press
Widati, Sri Aris. 2008. Pengaruh Lama Pelayuan, Temperatur Pembekuan dan Bahan
Pengemas Terhadap Kualitas Kimia Daging Sapi Beku, J.Ilmu dan Teknologi
Hasil Ternak,3(2) 39-49.
Winarso, D. 2003. Perubahan Karakteristik Fisik Akibat Perbedaan Umur, Macam Otot,
Waktu, dan Temperatur Perebusan Pada Daging Ayam Kampung, J. Indon. Trop.
Anim. Agric. 28(3).
Lampiran
Ikan Gurami