Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PRAKTIKUM

ILMU PASCAPANEN PETERNAKAN


“KOMPOSISI DAN PASCAPANEN DAGING”

Oleh :
Nama : Nanda Odhi Baskoro
NIM : D1A019058
Kelompok : 2B
Asisten : Anggita Nur Fitri Astuti

LABORATORIUM TEKNOLOGI HASIL TERNAK


FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2021
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Daging sangat dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi semua orang,
banyak manfaat yang bisa diambil dari daging untuk memenuhi kebutuhan pangan daging
merupakan produk pangan paling penting dalam pasar selain sayuran dan biji bijian, tak
bisa dipungkiri pangan masyarakat sangat bergantumg pada persediaan daging yang
ada.sehingga Kebutuhan akan Daging selalu dibutuhkan dipasaran untuk memenuhi
kebutuhan Protein masyarakat. Daging menjadi primadona dalam penyediaan protein
untuk dikonsumsi atau diolah lagi menjadi pangan berprotein. Daging memiliki cita rasa
gurih yang berasal dari lemak. Cita
Daging merupakan Produk ternak yang berasal dari Karkas Hewan atau Ternak
Potong. Pemasokan daging dipasaran berasal dari Populasi Ternak potong yang khusus
digemukkan. Produktivitas Ternak Potong mengambil Peranan dalam Ketersediaan
Daging dipasar. Produktivitas Ternak potong dapat ditingkatkan dengan Penggemukan
Ternak atau Menambah Populasi Ternak Potong. Jenis daging sediri juga beraneka ragam,
daging untuk dikonsumsi bisa berasalal dari Ruminansia Seperti sapi, kambing, kerbau,
domba atau Non Ruminansia Seperti Ayam, Bebek, Itik, Angsa dan Berbagai Jenis Ternak
lainya. Jenis jenis ternka juga memilki karakteristik yang berbeda beda juga. Tetapi,
Secara Umum Kualitas pada setiap daging memiliki kesamaan Parameter Kualitasnya.
Daging yang berkualitas tentunya akan meingkatkan Nilai jual dari Daging karena
memiliki karakteristik yang unggul dan kandungan yang masih sangat baik berupa nilai gizi
yang terjaga atau bentuk daging yang bagus. Penanganan pasca panen daging sangatlah
penting dalam menjaga kualitas daging dari penyembelihan sampai dikonsumsi oleh
masyarakat. Daging merupakan bahan organic yang memiliki kandungan nutrient yang
bagus untuk pertumbuhan mikroorganisme yang merusak kualitas daging tersebut jika
dibiarkan tanpa penanganan. Selain mikroorganisme, daging juga setelah melewati proses
penyembelihan susunan didalam daging mudah berubah selama kurun waktu sehingga
daging sangatlah rentan terhadap peurunan kualitas daging. Pemahaman akan perubahan
yang terjadi terhadap daging selama proses pascapanen membantu dalam bagaimana
cara penanganan dagng yang baik untuk menjaga kualitas daging dan menjamin mutu dan
gizi didalam daging agar bisa dimanfaatkan oleh masyarakat.
1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui cara mengitung Angka Kecukupan Gizi (AKG) Daging
2. Untuk mengetahui Faktor Water Holding Capacity (WHC) Daging
3. Untuk mengetahui Faktor Susut masak atau Cooking Losses (CL) Daging
4. Untuk mengetahui Faktor Cara Uji Keempukan Daging
5. Untuk mengetahui Faktor cara Uji pH Daging

1.3 Waktu dan Tempat


Praktikum acara Komposisi dan Pascapanen Daging dilaksanakan pada hari Senin,
29 Maret 2021 Pukul 14.50 WIB Secara Daring di Platform Pertemuan Daring Google
Meet.
II. TINJAUAN PUSTAKA

Pengujian daya mengikat air merupakan pengujian untuk mengetahui seberapa


besar kemampuan daging dalam mengikat air bebas. Daging dengan daya ikat air rendah
akan kehilangan banyak cairan, sehingga terjadi kehilangan berat. Semakin kecil nilai daya
ikat air, maka susut masak daging semakin besar, sehingga kualitas daging semakin
rendah karena banyak komponen-komponen terdegradasi. Susut masak merupakan
indikator nilai nutrisi daging sehubungan dengan jus daging yaitu banyaknya air yang
berikatan didalam dan diantara serabut otot. Daging dengan susut masak lebih rendah
mempunyai kualitas relatif lebih baik dibandingkan dengan susut masak lebih besar.
Selain daya ikat air dan susut masak, faktor lain yang mempengaruhi kualitas fisik daging
ayam adalah keempukan. Keempukan daging dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu
faktor sebelum pemotongan (antemortem) meliputi genetik, manajemen, spesies,
fisiologis ternak, dan umur. Faktor setelah pemotongan (postmortem) meliputi pelayuan,
pembekuan, metode pengolahan, dan penambahan bahan pengempuk (Soeparno, 2009).
Peningkatan keempukan daging selama proses pelayuan disebabkan oleh kerja
enzim-enzim proteolitik terhadap protein fibrus otot, termasuk elemen-elemen
kontraktil. Faktor yang mempengaruhi keempukan daging digolongkan menjadi faktor
antemortem seperti genetik dan termasuk bangsa, spesies dan fisiologi, faktor umur,
managemen, jenis kelamin dan stress. Faktor postmortem antara lain meliputi metode
pelayuan (chilling), refrigerasi dan pembekuan termasuk faktor lama dan temperatur
penyimpanan serta metode pengolahan termasuk metode pemasakan dan penambahan
bahan pengempuk. Jadi keempukan bisa bisa bervariasi diantaranya spesies, bangsa,
ternak dalam spesies yang sama, potongan karkas dan diantara otot serta otot yang
sama. Komponen daging yang mempengaruhi keempukan daging adalah jaringan ikat,
serabut otot, lemak (lemak intramuskular = marbling). Faktor lain yang mempengaruhi
keempukan daging adalah umur ternak, jumlah jaringan ikat, cara penanganan daging
sebelum dan setelah penyembelihan, serta cara pemasakan daging. Keempukan daging
banyak ditentukan setidak-tidaknya oleh tiga komponen daging, yaitu struktur miofibrilar
dan status kontraksinya (Davey et al.1967).
Warna gelap pada daging ini berhubungan dengan daya ikat air(water holding
capacity) yang lebih tinggi dari normal. Dengan tingginya daya ikat air tersebut,
menyebabkan keadaan serabut otot menjadi lebih besar dan lebih banyak cahaya yang
diserap dari yang dipantulkan oleh permukaan daging, hal ini yang menyebabkan daging
terlihat lebih gelap .Penimbunan asam laktat dan tercapainya pH ultimat (akhir) otot
postmortem tergantung pada jumlah cadangan glikogen otot pada saat
penyembelihan.Penimbunan asam laktat akan berhenti setelah cadangan glikogen otot
menjadi habis atau setelah kondisi yang tercapai yaitu pH cukup rendah untuk
menghentikan aktivitas enzim-enzim glikolitik didalam proses glikolisis anaerobik. Jadi pH
ultimat daging adalah pH yang tercapai setelah glikogen otot menjadi habis atau setelah
enzim-enzim glikolitik menjadi tidak aktif pada pH rendah atau setelah glikogen tidak lagi
sensitif terhadap serangan enzim glikolitik (Pearson 1971; Lawrie 1979). pH ultimat
normal daging postmortem adalah sekitar 5,5 yang sesuai dengan titik isoelektrik
sebagian besar protein daging termasuk protein miofibril. Pada umumnya glikogen tidak
diketemukan pada pH antara 5,4 – 5,5 (Lawrie, 1979)
III. MATERI DAN CARA KERJA
3.1 Materi
3.1.1 Alat
1. Timbangan Digital 8. Tali
2. Termometer 9. Plastik
3. Stoptwatch 10. Plastik Ultra
4. Penetrometer 11. Tisssue
5. pH Meter 12. Kertas Saring
6. millimeter Blok 13. Spidol
7. Cawan Porselin 14. Pisau

3.1.2 Bahan
1. Daging
2. Aquadest
3. Buffer

3.2 Cara Kerja


3.2.1 Angka Kecukupan Gizi (AKG)

Berat badan Diketahui untuk menentukan


kebutuhan protein tubuh

Kebutuhan Asal Ternak Dicari hasilnya

AKG (%) dihitung dengan Rumus dan


Angka yang sudah diketahui didalam
kemasan merek

Hasil dicatat
3.2.2 Water Holding Capacity (WHC)

Daging 0,3 g diletakkan di kertas


saring dan dibungkus plastik ultra

Sampel dipress diantara 2 plat kaca


(beban 35 kg selama 5 menit)

Luas Area Basah digambar diatas


plastik

Luas area diukur pada millimeter blok

3.2.3 Cooking Losses (CL)

Sampel ditimbang

Dimasukkan kantong plastik dan diikat

Direbus selam 30 menit dengan


suhu 800C

Direbus selam 30 menit dengan


suhu 800C

Daging dikeluarkan dari kantong plastik, dilap


menggunakan tissue (tanpa ditekan) dan ditimbang
3.2.4 Keempukan Daging

Daging hasil pengukuran CL disiapkan

Daging ukuran 1 x 1 x 1 cm3 diletakkan di


penetrometer

Daging ukuran 1 cm3 diletakkan di penetrometer

Beban penetrometer dilepaskan, dibiarkan


selama 10 detik

Skala dilihat dan di hitung dalam


perhitungan

3.2.5 Ph Daging

Daging 10 g dipotong kecil

Daging di lubangi dengan pisau

pH meter dikalibrasi

pH meter ditekan pada daging yang sudah


dilubangi tahan beberapa saat

Catat pH yang terlihat di monitor


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Tabel Hasil

Cooking Losses Keempukan


Grub WHC Daging (b) Ph
X Y

1B 9,99 2,85 1,80 345 5,89

2B 10,21 3,60 2,30 312 5,63

3B 9,88 2,79 1,90 327 5,80

4B 10,10 2,50 1,20 376 5,87

5B 9,77 2,68 1,45 354 5,45

4.1.1 Angka Kecukupan Gizi (AKG)


Diket :
Bobot Badan = 51 Kg
Protein Daging = 20 %
Kebutuhan asal Ternak = 1/4 x 1/3 x 51 gram
= 3,825 gram
X (kebutuhan Protein/hari) = …………… ?
Jawab :
X = 3,825/20 %
= 19,125 gram/hari
4.1.2 Water Holding Capacity (WHC)
Diket :
Area Basah = 10,21 cm2
Kadar Air Total = 75 %
Mg H2O = (10,21/0,0948) - 8
= 99.7
Jawab :
WHC = Kadar Air Total – Kadar Air Bebas
= KA total - Mg H2O / 300 mg x 100 %
= 75 % - (99.7 / 300 mg) x 100 %
= 75 % - 33,23 %
= 41,77 %
4.1.3 Cooking Losses (CL)
Diket :
X = 3,60
Y = 2,30
Jawab :
CL = (X-Y)/X x 100 %
= (3,60-2,30)/3,60 x 100 %
= 0,3611 x 100 %
= 36,11 %
4.1.4 Keempukan Daging
Diket :
a (beban total) = 50 g + 102,5 g + 47,5 g
= 200 gram
b (skala) = 312 mm
t (waktu) = 10 detik
Jawab :
Keempukan Daging = b/a/t
= 312/200/10
= 0,15 mm/g/s
4.2 Pembahasan
4.2.1 Angka Kecukupan Gizi (AKG)
Seseorang dengan Bobot Badan Seberat 51 Kg memerlukan kebutuhan Protein
Asal ternak sebanyak 3,825 gram. Kebutuhan asal ternak ini bisa didapatkan dari daging
yang berasal dari Ternak maupun Ikan. Kebutuhan protein yang biasa didapatkan dari
sumber daging bisa diasumsikan dengan 2/3 Kebutuhan Protein merupakan protein yang
bersumber dari daging ikan dan sisanya yaitu 1/3 Kebutuhhan Protein bersumber dari
Daging ternak. Pengasumsian ini didasarkan pada Masyarakat diindonesia lebih banyak
mengosumsi daging dari Ikan daripada daging dari ternak. Daging putih seperti ikan lebih
rendah lemak dibandingkan daging merah dari ternak. Rahayu dkk (1992) menjelaskan
bahwa Daging ikan yang berwarna putih memiliki kadar protein lebih tinggi dan kadar
lemak yang lebih rendah dibandingkan dengan bagian daging berwarna merah.
Keunggulan daging ikan ini yang membuat kebutuhan dari protein hewani dipasok lebih
tinggi dari daging ikan dibandingkan daging ternak.
Perhitungan Angka Kecukupan Gizi (AKG) Pada Sesorang dengan Bobot badan 51
Kg memiliki kebutuhan Protein asal ternak sebanyak 3,825 gram. Kebutuhan protein
sebanyak 3,825 gram dapat didapatkan dengan mengosumsi daging sebanyak 19,125
gram daging per harinya. Kebutuhan konsumsi daging sebanyak itu harus terpenuhi setiap
harinya untuk mendapatkan kebutuhan protein asal ternak. Berbeda dengan perhitungan
yang dilakukan oleh Syahputra dan Prasetiyono (2017), Untuk menghitung kebutuhan
protein seseorang (dalam gram) per hari dengan mengalikan bobot badan (dalam kg)
dengan 0,36. Jika menggunkan perhitungan ini maka Kebutuhan Protein yang diperlukan
adalah 18,36 gram per hari. Berbeda dengan data yang dihitung saat praktikum.
Angka kecukupan gizi setiap orang memilki nilai yang berbeda beda berdasarkan
kategori seperti umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, dan aktivitas tiap harinya. Seperti
yang dijelaskan oleh Shinta (2010) yaitu Untuk menetapkan status gizi seseorang
diperlukan pengukuran untuk menilai berbagai tingkatan apakah suatu masyarakat
mengalami kekurangan gizi atau tidak. Angka Kecukupan Gizi ini menggambarkan rata
rata Gizi yang diperlukan oleh semua orang setiap harinya menurut kategori yang
meliputi golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, aktivitas tubuh. Seseorang yang
mengkonsumsi zat gizi yang umumnya terkandung dalam bahan pangan berguna untuk
memberikan energi kepada tubuhnya, mengatur proses dan mekanisme tubuh,
pertumbuhan tubuh dan memperbaiki jaringan tubuh.

4.2.2 Water Holding Capacity (WHC)


Daging tersusun atas Otot yang terdiri dari Jaringan ikat yang tersusun atas
Filamen filamen penyambung. Otot otot didalam daging mengandung Protein dan Lemak
yang saling berikatan. Ikatan antara protein dan lemak didalam daging ini dapat
memblokir atau mencegah air keluar dari daging. Sesuai seperti yang dijelaskan oleh
Merthayasa dan Suada (2015), Secara umum, semakin tinggi kandungan lemak di dalam
otot semakin tinggi pula kualitas daging secara keseluruhan, karena standar kualitas
terutama di tentukan oleh kandungan lemak intramuskular (marbling). air yang tertahan
ini membuat daging memilki kemampuan dalam menjada air didalamnya. Kemampun
daging dalam mengikat air didalamnya disebut sebagai Daya Ikat Air (DIA) atau Water
Holding Capacity (WHC). Menurut Merthayasa dan Suada (2015) Daya ikat air (DIA)/water
holding capacity merupakan suatu indikator untuk mengukur kemampuan daging
mengikat air maupun air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar.
Pengukuran daya ikat air daging yang dilakukan dengan mengambil sampel daging
seberat 0,3 gram daging. Prinsip pengukurannya adalah dengan memeberikan beban
kepada daging untuk mengeluarkan air yang ada didalamnya. Daging sebelum diberikan
beban diletakan pada kertas saring dan kaca penahan, metode ini biasa dnamakan
sebagai metode Hamm atau Filter Paper Press Method. Daging diberikan beban 35 kg
selama 10 detik. Perhitungan Rumus mendapatkan hasil daya ikat air sebesar 41,77 %.
Perhitungan Rumus dihasilkan dari Kadar air total dari daging dikurangi kadar air yang
bebas. Diasumsikan bahwa kadar air total didalam daging adalah 75 % kadar air didalam
daging. Pengukuran daaya ikat air yang didapatkan sebesar 41,77 % jika dibandingkan
dengan daging sapi bali lewat Penelitian Merthayasa dan Suada (2015), Rata rata Daya
Ikat Air (DIA) sapi bali adalah sebesar 66,2 %. Lebih tinggi daripada daging yang diukur
saat Praktikum.
Parameter kualitas suatu daging berdasarkan daya ikat air merupakan
kemampuan daging menjaga kadar air sehingga daging masih menyimpan air. semakin
daging kehilangan air bebas, maka kualitas daging semakin jelek. Daging yang menyimpan
air didalamnya diasumsikan bahwa daging akan kehilanagn bobotnya jika cairan
didalamnya keluar. Cairan yang keluar ini menyebabkan penurunan kualitas daging.
Faktor yang mempengaruhi daya ikat air adalah Bagian otot aging, Susunan Lemak
Intramuskular, Pelayuan daging, pemanasan, penyimpanan, dan waktu pemasakan
daging. Sedangakan Kramlich (1973) Menambahkan bahwa faktor yang menyebabkan
daya ikat air adalah Kandungan air, Protein, dan Penggunaan Garam. Berbeda dengan
pernyataan sebelumnya.
Penyataan yang paling mendekati adalah dari Soeparno (2005), faktor yang dapat
mempengaruhi daya ikat air daging selain protein yaitu, stress, bangsa, pembentukan
akto-myosin (rigormortis), temperatur dan kelembaban, pelayuan karkas dan aging, tipe
otot dan lokasi otot, spesies, umur, fungsi otot, pakan, dan lemak intramuskuler.

4.2.3 Cooking Losses (CL)


Parameter selanjutnya adalah Kualitas daging bedasarkan perlakuan daging jika
dimasak pada suhu panas sehingga menyebakan hilang atau larutnya air didalam daging
selama pemasakan. Parameter ini disebut sebagai Cooking Losses atau Susut masak. Air
didalam daging akan terlarut jika di didihkan, Air didalam daging tersebut akan menjadi
kaldu. Selama Pemanasan protein didalam daging juga akan terdenaturasi yang kemudian
mencair menjadi gelatin dan keluar bersama lemak dan bercampur dengan air. Cooking
Losses menerapkan pengeluaran cairan lewat panas ketika pemasakan. Menurut Ronpis
dan Komansilan (2014) Pemasakan merupakan proses pengolahan dengan panas yang
paling sederhana dan mudah dilakukan.
Susut masak merupakan Parameter daging ketika di didihkan akan mengeluarkan
cairan dan larut selama proses Pemasakan. Pengukuran Susut masak daging memilki
Prinsip yaitu dengan memasak daging dengan air mendidih selama beberapa waktu dan
menghitung berapa persen air yang keluar. Dewi (2012) Menjelaskan bahwa Susut masak
adalah perbedaan antara bobot daging sebelum dan sesudah dimasak, dinyatakan dalam
persen (%). Pengukuran Susut masak daging dilakuakn dengan membungkus daging
didalam plastik untuk mencegah cairan yg keluar bercampur dengan air didihan. Daging
yang dibungkus direbus pada suhu 800C selama 30 Menit pemasakan. Daging setelahnya
Dihitung Bobot sebelum dan sesudah dimasak.
Daging yang dimasak mendapatkan hasil data susut Masak sebesar 36,11 %.
Daging dengan Nilai Susut masak tersebut diartikan sebagai persen cairan yang keluar
dari daging. Jika dibandingkan dengan Susut Masak Daging sapi Pada penelitian yang
sama dari Kurniawan (2014) bahwa susut masak pada daging sapi sebesar 51,27% dan
38,18%. Berbeda pada hasil praktikum. Nilai Susut masak daging yang semakin tinggi,
maka akan menurunkan Kualitas dari daging, begitu juga sebaliknya. Sesuai Pendapat
Komariah (2009), menyatakan bahwa susut masak yang rendah mempunyai kualitas yang
relatif lebih baik daripada persentase susut masak yang tinggi, hal ini dikarenakan arena
kehilangan nutrisi selama proses pemasakan akan lebih sedikit. Susut masak sendiri
memiliki keterkaitan dengan daya ikat air, terutama faktor keluarnya air didalam daging.
Susut masak daging sapi dipengaruhi oleh daya ikat air dan kadar air. Semakin tinggi daya
ikat air dan semakin rendah kadar air daging sapi, maka persentase susut masak daging
sapi akan menurun (41,55%). (Hernando et al, 2015). Semakin Tinggi nilai Susut masak
daging maka nilai daya ikat air semakin rendah. Begitu juga sebaliknya. Hubungan antara
susut masak dengan daya ikat air selalu berbanding terbalik.

4.2.4 Keempukan Daging


Parameter kualitas daging dapat diukur berdaasarkan Keempukkan suatu daging.
Masyarakat akan lebih memilih daging yang empuk untuk dikonsumsi. Keempukan daging
bisa meningkatkan cita rasa dalam mengosumsi daging. Keempukkan memiliki pengertian
yaitu kemampuan daging dalam kemudahan pemutusan serat daging tanpa
memepengaruhi sifat jaringan. Menurut Soeparno (2009) menyatakan bahwa kesan
keempukan secara keseluruhan meliputi tekstur dan melibatkan tiga aspek yaitu
kemudahan awal penetrasi gigi, mudahnya daging dikunyah, dan jumlah residu yang
tertinggal setelah pengunyahan. Keempukkan daging dapat diukur dengan alat yang
disebut sebagai penetrometer.
Pengukuran keempukkan daging dengan meyiapkan daging hasil pengukuran
Susut masak berbentuk kubus dengan ukuran 1 cm 3. Lewat perebusan, Keempukkan
daging dapat diukur setelah protein didalam daging terdenaturasi. Seperti yang dijelaskan
Lapase (2016), Proses perebusan daging adalah salah satu cara untuk mengempukan
daging dengan pemasakan yang menyebabkan terjadinya denaturasi protein. Daging akan
diukur dengan alat Penetrometer dengan meletakkan jarum penetrometer hingga
bersinggungan dengan daging, selanjutnya klep penahan dilepas dan akan menurunkan
beban, daging diberikan beban selama 10 detik. Daging yang diukur akan dihitung dengan
rumus satuan skala penetrometer Beban penetrometer (a) per waktu.
Hasil perhitungan keempukkan daging menghasilkan data yaitu 0,15 mm/g/s. jika
dibandingkan dengan daging ayam pada Penelitian Lapase (2016), Keempukkan yang
didapatkan pada daging ayam yang direbus pada suhu 30 menit adalah memilki nilai
keempukkan sebesar 0.69 mmm/g/s. Nilai Keempukkan ayam pada penelitian tersebut
lebih tinggi dari pada hasil saat Praktikum. Faktor faktor yang mempengaruhi
keempukkan daging adalah Susut masak, Jaringan ikat bagian otot, Genetik, bangsa, Jenis
kelamin, Umur, Spesies, Postmortem, dan Komponen. Seperti yang dijelaskan oleh
Soeparno (2009), Keempukan daging dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor
sebelum pemotongan (antemortem) meliputi genetik, manajemen, spesies, fisiologis
ternak, dan umur. Faktor setelah pemotongan (postmortem) meliputi pelayuan,
pembekuan, metode pengolahan, dan penambahan bahan pengempuk. Selain itu pH juga
dapat memepengaruhi Keempikkan daging. Sesuai seperti yang dijelaskan Bouton, et al.
(1971) menyatakan bahwa daging dengan nilai pH tinggi lebih empuk daripada daging
dengan pH rendah. Keempukan dan tekstur daging merupakan faktor penentu yang
paling penting pada kualitas daging.

4.2.5 Ph Daging
Parameter kualitas yang terakhir adalah Uji pH daging atau Derajat keasamaan
daging. Daging sebagai bahan organic memiliki komponen berupa Air, Protein, lemak,
karbohidrat, Vitamin, dan Mineral. Sehingga berdasarkan komponen tersebut daging
memilki nilai pH tertentu. Walaupun begitu komponen dan susunan didalam daging bisa
berubah stelah daging melewati proses penyembelihan dan pembebasan karkas.
Perubahan ini terjadi saat konversi otot ternak menjadi daging karena suatu pasokan
metabolisme terputus. Metabolisme pada daging biasanya mempengaruhi Glikolisis yang
terjadi. Perbedaan nilai pH ini juga disebabkan oleh perbedaan kandungan glikogen dari
setiap jenis daging sehingga kecepatan glikolisisnya berbeda. Semakin rendah kadar
glikogen daging, maka makin lambat proses glikolisis dan pH ultimate semakin tinggi.
(Merthayasa dan Suada, 2015).
Pengukuran pH daging dilakukan dengan membuat lubang pada bagian tengah
daging dan diukur dengan pH meter. Sebelumnya pH meter telah dikalibrasikan dengan
larutan Buffer hingga menunjukan pH 7,00. pH meter juga perlu dibilas dan dikalibrasikan
kembali sebelum digunakan untuk mengukur lagi.(jurnal). Hasil pengukuran pH daging
menghasilkan data yaitu pH daging dengan nilai pH 5,63. Jika dibandingkan dengan
penelitian Merthayasa dan Suada (2015), Daging sapi bali berkisar antara 5,46-5,67 dan
pH daging wagyu berkisar antara 5,44-5,53. Berdasarkan standar SNI nilai pH daging yang
normal berkisar antara 5,4-5,8. Pada saat ternak hidup pH normal sekitar 7,2-7,4 dan
setelah dipotong, pH daging mengalami penurunan hingga mencapai pH akhir (ultimate)
antara 5,4-5,8. pH yang sangat rendah menyebabkan daging menjadi Pucat dan Lembek
atau istilah lainnya adalah PSE (Pale, Soft, Evudative). Menurut Lawrie (2003), penurunan
pH otot pada ternak bervariasi, hal ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik antara lain adalah spesies, tipe otot,
glikogen otot, dan variabilitas di antara ternak, sedangkan faktor ekstrinsik antara lain
adalah temperatur lingkungan, perlakuan adanya bahan tambahan sebelum pemotongan
dan stress sebelum pemotongan.
Daging setelah disembelih tidak serta merta berhenti sistem metabolisme dan
aktivitas sel dagingnya. Aktivitas sel didalam daging yang semula mendapatkan pasokan
oksigen terhenti ketika ternak disembelih sehingga proses glikolisis aerob berubah
mnejadi glikolisis anaerob dengan produk akhir berupa asam laktat yang dapat meningkat
seiring bertambahnya waktu. Peningkatan asam laktat menyebabkan penurunan derajat
keasaman sehingga daging memilki pH yang rendah. Perubahan pH ini juga
memepengaruhi daya ikat air daging dan Susut Masak. Seperti yang dijelaskan oleh
Alvarado dan McKee (2007) dan Allen, et al. (1998), D aya ikat air juga dipengaruhi oleh
pH daging air yang tertahan di dalam otot meningkat sejalan dengan naiknya pH,
walaupun kenaikannya kecil. Pada Penelitian Dewi (2012), Nilai pH akhir daging juga
berhubungan dengan susut masak daging, dimana pada pH daging yang rendah
mempunyai susut masak yang rendah.
V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
1. Angka Kecukupan Gizi (AKG) Sesorang dengan Bobot badan 51 Kg memiliki
kebutuhan Proteinsebanyak 19,125 gram daging per harinya.
2. Faktor yang mempengaruhi daya ikat air adalah Bagian otot aging, Susunan Lemak
Intramuskular, Pelayuan daging, pemanasan, penyimpanan, dan waktu pemasakan
daging
3. Susut masak daging sapi dipengaruhi oleh daya ikat air dan kadar air.
4. Faktor faktor yang mempengaruhi keempukkan daging adalah Susut masak,
Jaringan ikat bagian otot, Genetik, bangsa, Jenis kelamin, Umur, Spesies,
Postmortem, dan Komponen.
5. Penurunan pH daging dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor intrinsik dan
faktor ekstrinsik.

5.2 Saran
1. Perhatikan dan cermati lagi Ketika Memahami Materi Praktikum
2. Perbanyak lagi Bahan Literatur untuk dimasukkan kedalam Laporan
3. Perbaiki lagi dalam Pembuatan Format Laporan Praktikum
DAFTAR PUSTAKA

Allen, C.D., D.L. Fletcher, J.K. Northcutt, dan S.M. Russell. 1998. The relationship of broiler
breast color to meat quality and shelf-life.Journal ofPoultry Science. 77:361-366.
Alvarado, C. dan S. McKee. 2007. Marination to improve functional properties and safety
of poultry meat.Journal Appl Poultry Res. 16:113-120.
Davey, C. L., Kuttel, H., & Gilbert, K. V. (1967). Shortening as a factor in meat ageing.
International Journal of Food Science & Technology, 2(1), 53-56.
Dewi, S. H. C. (2012). Korelasi antara kadar glikogen, asam laktat, pH daging dan susut
masak Daging domba setelah pengangkutan. Jurnal Agrisains, 3(5).
Hernando, D., Septinova, D., & Adhianto, K. (2015). Kadar air dan total mikroba pada
daging sapi di tempat pemotongan hewan (TPH) Bandar Lampung. Jurnal Ilmiah
Peternakan Terpadu, 3(1).
Komariah, I. H. (2005). Aneka Olahan Daging Sapi. Agromedia.
Kramlich, W. E., & Pearson, A. M. (1973). Processed meats (No. 664.92 K7).
Kurniawan, Nikodemus. 2014. Kualitas Fisik Daging Sapi dari Tempat Pemotongan Hewan
di Bandar Lampung. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Negeri Lampung.
Bandar Lampung. Bandar Lampung.
Lawrie, R. A. 2003. Ilmu Daging. Edisi 5 Penerjemah Aminuddin Parakkasi. Penerbit
Universitas Indonesia, Jakarta.
Rahayu, W.P., Slamet, M., Suliantari, dan Srikandi, F. 1992. TEKNOLOGI FERMENTASI
PRODUK PERIKANAN Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut
Pertanian Bogor. 140 halaman.
Rompis, J. E., & Komansilan, S. (2014). Efektivitas Cara Pemasakan Terhadap Karakteristik
Fisik Masakan Daging Babi Hutan. ZOOTEC, 34(2), 65-70.
Shinta, A. (2010). Identifikasi Angka Kecukupan Gizi dan Strategi Peningkatan Gizi
Keluarga di Kota Probolinggo (Studi Kasus di Kecamatan Kedopok dan Mayangan).
SEPA: Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian dan Agribisnis, 7(1).
Swingler, G. R., & Lawrie, R. A. (1979). Improved protein recovery from some meat
industry by-products. Meat science, 3(1), 63-73.
Syaputra, D., & Prasetiyono, E. (2017). Proxymate Analysis, Lead and Total Formaldehyde
Contents of Squid Eggs Crackers. Jurnal Perikanan dan Kelautan, 7(2), 181-190.
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging.Cetakan Ke-4. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Soeparno. 2009. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 6;
152-156; 289-290; 297–299.

Anda mungkin juga menyukai