Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

ILMU TERNAK POTONG


“Sikap terhadap Pemotongan sapi Betina Produktif”

Kelompok 2
Anita Fuji Lestari (D1A019022)
Farashyella Lumintang R (D1A019162)
Mufidah Nur Janah (D1A019019)
M. Hanif Nugroho (D1A019152)
Nanda Odhi B (D1A019058)
Rafly Maulana Kusuma (D1A019065)

LABORATORIUM PRODUKSI TERNAK POTONG DAN KERJA


FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah Ilmu Ternak otong ini yang
berjudul “Potensi Sebaran dan Distribusi Ternak Potong diindonesia”. Shalawat dan salam
selalu tercurah kepada junjungan Nabi Muhammad SAW sebagai panutan umat akhir zaman
yang telah membawa perubahan dari zaman kebodohan hingga zaman yang penuh dengan
ilmu pengetahuan dan teknologi.
Semoga segala bantuan yang telah diberikan kepada penyusun diterima oleh Allah SWT
sebagai amal sholeh dan mendapatkan pahala berlimpah dari-Nya. Penyusun sadar, makalah
ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan masukan perbaikan sangat
penyusun harapkan agar makalah ini dapat bermanfaat serta menjadi lebih sempurna,
dimana hal ini dapat menyempurnakan tugas-tugas serupa pada masa yang akan datang.
Penyusun berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.

Purwokerto, 21 Maret 2021

Penyusun
I. PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Daging merupakan Pangan pokok dengan sumber protein yang tinggi. Kandungan
Protein yang tinggi inilah yang membuat Daging menjadi salah satu Sumber pemenuhan
nutrisi bagi manusia terutama Protein. Sumber penghasil daging bisa didapatkan dari Ikan
maupun Ternak. Sebagai contoh adalah Sapi potong. Sumber protein dari daging potong
merupakan sumber protein yang penting sebagai Pemenuhan kebutuhan Gizi manusia.
Masyarakat di Indonesia telah memanfaatkan daging sebagai bahan dalam olahan daging
seperti Bakso, Sate, Gulai, Steak, Sate dan lainnya. Daging memiliki cita rasa yang gurih dan
berlemak untuk dikonsumsi sehingga diminti untuk dikonsumsi oleh masyarakat.
Pemanfaatan daging sebagai bahan pangan atau sebagai olahan sudah ada sangat lama sekali
sejak zaman manusia Purba. Oleh karena itu, daging sudah dianggap sebagai pangan Pokok
sumber protein yang selalu dipakai dan dikonsumsi diseluruh dunia. Kebutuhan akan daging
ini bisa disediakan dari Ketersediaan Sumber Daging, salah satu contohnya adalah Ternak
Potong.
Ternak seperti sapi Potong menyediakan Persediaan Daging untuk Pasar. Peminatan
daging Sapi dipasar selalu dipilih oleh masyarakat sebagai bahan baku olahan daging.
Ketersediaan akan daging harus bisa terpenuhi oleh produsen agar harga daging tidak
melonjak. Pemenuhan daging untuk konsumsi ini bisa diperoleh lewat para produsen tingkat
lokal seperti peternak lokal maupun dari Impor daging Luar Negeri. Para Peternak Lokal harus
bisa menyiapkan populasi sapi potong agar ketersediaan daging bisa terpenuhi. Jika tidak,
maka Impor daging dipilih sebagai pilihan lain agar ketersediaan daging terpenuhi walaupun
akan meningkatkan ketergantungan dengan produksi luar. Maka dari itu pengembangan
ternak potong seperti sapi potong perlu dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan
peternak lokal dan menciptakan kemandirian Produksi. Pengembangan tersebut dapat
berupa peningkatan sapi potong atau memaksimalkan pertumbuhan bobot badan sapi
potong agar memilki daging yang banyak.
Meningkatkan Populasi sapi potong memiliki kaitan yang sangat erat dengan
reproduksi sapi potong. Reproduksi merupakan kemampuan makhluk hidup untuk
meningkatkan populasi jenisnya lewat perkawinan. Dalam hal ini, kemampuan Reproduksi
dapat dipakai atau dikembangkan lebih lanjut untuk meningkatkan populasi. Sapi potong
betina memiliki peranan sebagai Induk yang melahirkan anak memiliki andil dalam usaha
meningkatkan populasi sapi potong. Kemampuan sapi potong dalam melahirkan anakan bisa
di kembangkan sebelumnya seperti eningkatkan frekuensi birahi sehingga mudah
dikawinkan, Inseminasi Buatan, atau meningkatkan probabilitas kehamilan setelah
dikawinkan. Jumlah peminatan daging daging yang naik membuat beberapa peternak
memaksa harus memilih sapi potong betina untuk ikut disembelih. Tindakan ini bisa saja
berujung dengan penurunan populasi sapi potong karena tidak adanya betina. Pemerintah
pun sudah membuat aturan tentang larangan untuk memotong sapi betina produktif untuk
menjaga populasi sapi potong.

I.2. Rumusan Masalah


1. Mengapa permasalahan terhadap pemotongan sapi betina produktif di Jawa
Tengah perlu diperhatikan?
2. Apa saja upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah terhadap permasalahan
pemotongan sapi betina produktif?
3. Apa saja bentuk peringatan yang diberikan kepada pelaku yang melanggar
peraturan?
4. Apa saja bentuk peraturan dan sanksi yang diberikan oleh pemerintah untuk
mengurangi pemotongan sapi betina produktif?

I.3. Tujuan
1. Mengetahui pentingnya menyikapi permasalahan pemotongan sapi betina
produktif di Jawa Tengah.
2. Mengetahui dampak yang ditimbulkan dari pemotongan sapi betina produktif bagi
industri peternakan di Jawa Tengah.
3. Mengetahui penyebab terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Jawa
Tengah
I.4. Manfaat
1. Mahasiswa dapat mengerti pentingnya masalah pemotongan sapi betina
produktif.
2. Mahasiswa dapat mengerti cara menyikapi masalah pemotongan sapi betina
produktif.
3. Mahasiswa dapat mengerti kekurangan dan kelebihan dari peraturan yang dibuat
pemerintah untuk menangani masalah pemotongan sapi betina produktif.
II. PEMBAHASAN

II.1. Sikap Terhadap Pemotongan Sapi Betina Produktif di Jawa Tengah


Ada tiga pilar utama yang perlu diperhatikan dalam penyediaan daging sapi, yaitu (1)
ketersediaan sapi siap potong, (2) jagal sapi dan rumah potong hewan (RPH) dan (3)
konsumen daging sapi (Sunyoto Usman, 1998). Ditinjau dari konsumsi daging sapi, di
Indonesia relatif masih rendah kalau dibandingkan dengan negara-negara lain yang sudah
mencapai 5 kg/kapita/tahun. Oleh karena itu peluang untuk meningkatkan produksi
(populasi) sapi untuk tujuan penghasil daging masih relatif besar. Namun di sisi lain
pengembangan sapi di Indonesia masih dihadapkan pada teknologi budidaya yang
menyebabkan biaya tinggi, terutama harga pakan, mutu genetik, dan manajemen proses
produksi yang masih konvensional. Hal ini merupakan salah satu permasalahan
perkembangan populasi sapi potong di Indonesia dinilai masih lambat.
Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi yang menjadi sentra produksi sapi
potong, khususnya daerah Kabupaten Boyolali. Para peternak di daerah ini seringkali tidak
menjual langsung hewan ternaknya ke pasar hewan. Penjualan yang dilakukan ke pedagan
pengumpul sering kali dilakukan karena kurangnya pemahaman mengenai perkembangan
harga pasar. Banyaknya pemotongan sapi betina produktif dari tahun ke tahun semakin sulit
untuk dikendalikan. Di Jawa Tengah, pemotongan betina produktif banyak dilakukan di
Rumah Potong Hewan (RPH) yang tersebar di daerah pantura mulai dari Timur (Rembang)
hingga Barat (Brebes), angka pemotongan betina produktif pada tahun 2017 mencapai
sekitar 4.781 ekor, dan pada tahun 2018 turun menjadi 2,583 ekor. Sebaran pemotongan
betina produktif terjadi di Rembang, Grobogan, Kendal, Batang, Kota Pekalongan, Kab.
Pekalongan, Kab. Tegal, Brebes, Sragen, dan Wonogiri Tingginya pemotongan betina
produktif sangat berpengaruh terhadap keberhasilan program Upsus SIWAB, dimana dapat
mengurangi akseptor dan betina bunting. Disamping itu juga menyebabkan kerugian
ekonomi sangat besar bagi Jawa Tengah, yang berasal dari efek domino kesempatan
kelahiran pedet sebanyak 21.000 ekor atau setara dengan 126 milyar sebagai akibat dari
pemotongan betina produktif sebanyak 3500 ekor/tahun (bila harga 1 ekor pedet baru lahir
Rp 6.000.000/ekor) (Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Kota Semarang, 2019).
Adanya peraturan mengenai pengendalian pemotongan sapi betina produktif tidak
menjadikan kegiatan pemotongan ini dihentikan. Implementasi di lapangan bertolak
belakang dengan peraturan yang ada, pemotongan hewan ternak betina produktif terutama
sapi masih terus dilakukan secara massive. Penyebab masih berlangsungnya pemotongan
sapi betina produktif dikarenakan pengawasan dalam pemotongan hewan ternak kurang
diperhatikan. Menurut Priyanti dkk. (2017), selain hal tersebut masih terdapat beberapa
faktor yang menyebabkan terjadinya pemotongan sapi betina produktif, diantaranya: (1)
Harga sapi betina lebih murah Rp. 500 ribu -1 juta per ekor dibandingkan dengan sapi jantan
pada ukuran yang setara; (2) Terbatasnya ketersediaan sapi jantan, utamanya dengan ukuran
bobot badan sekitar 250-300 kg karena sebagian besar sudah dilakukan perdagangan antar
pulau; (3) Adanya penetapan kuota perdagangan/pengeluaran antar-pulau baik yang reguler
maupun pada periode-periode tertentu yang kurang akurat, karena data dan asumsi yang
belum tepat serta berpotensi terjadinya kolusi; (4) Belum konsistennya penegakan
hukum/aturan/regulasi oleh pemerintah daerah dan penanggung jawab RPH/TPH; (5) Belum
adanya kesepahaman tentang kriteria ternak betina produktif yang boleh/tidak boleh
dipotong maupun sudah tertuang secara jelas dalam UU No. 18/2009 dan Permentan No.
35/2011; (6) Aturan/regulasi yang dibangun lebih didominasi oleh punishment dibandingkan
dengan reward bagi peternak sapi potong; serta (7) Tingginya konversi lahan untuk tujuan
pariwisata, pembangunan non-peternakan dan lain sebagainya sehingga mengakibatkan
usaha peternakan tidak menarik. Pelarangan pemotongan dan pengeluaran ternak betina
produktif, serta adanya kebutuhan uang tunai dari peternak, menyebabkan harga ternak
betina produktif lebih murah dibandingkan dengan ternak jantan. Ketiadaan sapi jantan dan
harga yang mahal menyebabkan jagal memilih memotong ternak betina produktif. Hal ini
ditambah lagi dengan tidak ada kesadaran untuk menyelamatkan populasi ternak potong dan
jagal tidak paham jika hal tersebut melanggar undang-undang.
Upaya pengendalian pemotongan sapi betina produktif di Jawa Tengah terus
dilakukan dengan berbagai macam cara. Mengingat pentingnya upaya pengendalian dan
pencegahan pemotongan betina produktif di RPH, maka Direktorat Jendral Peternakan dan
Kesehatan Hewan sejak tanggal 9 Mei 2017 telah menandatangani Nota Perjanjian Kerjasama
(MoU) dengan Badan Pemelihara Keamanan (Baharkam) Kepolisian Negara RI yang tertuang
dalam Nota Perjanjian Kerjasama (MoU) selama 3 tahun sampai dengan tahun 2019.
Kegiatan penindakan pemotongan betina produktif dilakukan oleh PPNS dan kepolisian, bagi
pemilik ternak dan jagal yang dengan sengaja melakukan pemotongan betina produktif akan
dilakukan penindakan melalui tahapan: (1) teguran lisan; (2) peringatan tertulis; (3)
penghentian sementara izin pemotongan; (4) pencabutan izin usaha pemotongan; (5)
pengenaan denda; dan (6) sanksi pidana. Upaya-upaya yang telah dilakukan telah berhasil
menurunkan jumlah pemotongan betina produktif di Jawa Tengah, namun masih dijumpai
pemotongan betina produktif di RPH terutama di daerah Pantura sebelah barat, selain itu
pemotongan ternak betina juga dijumpai pada saat hari raya Qurban. Pada saat hari raya
Qurban tahun 2018 angka pemotongan ternak betina sebanyak 3.625 ekor, kondisi ini terjadi
dikarenakan disparitas harga ternak jantan dan betina (Badan Pengelola Keuangan dan Aset
Daerah Kota Semarang, 2019).

II.2. Undang-Undang Pemotongan Sapi Betina Produktif


Mengingat bahwa swasembada daging di Indonesia terbilang masih rendah, untuk
meningkatkanya salah satunya ialah dengan menjaga keberadaan hewan ternak ruminansia
betina yang produktif untuk meningkatkan angka kelahiran dan polpulasi ternak.  Betina
Produktif adalah betina yang dinyatakan normal organ reproduksi atau peranakan yang
dinyatakan oleh dokter hewan atau petugas peternakan. Pemerintah telah melarang adanya
penyembelihan sapi betina produktif. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 18 ayat 4 Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 18 Tahun
2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan selanjutnya disebut Undang-Undang Nomor
41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan menyebutkan, bahwa : “Setiap
orang dilarang menyembelih ternak ruminansia kecil betina produktif atau ternak ruminansia
besar betina produktif.(Tiara.O,2016).
Ketentuan larangan tersebut tidak berlaku apabila hewan besar betina hukuman dan ini
berlaku untuk pemotongan ternak ruminansia :
1.      Berumur lebih dari 8 (delapan) tahun atau sudah beranak lebih dari 5 (lima) kali
2.      Tidak produktif (majir) dinyatakan oleh dokter hewan atau tenaga asisten kontrol teknik
reproduksi di bawah penyeliahan dokter hewan
3.      Mengalami kecelakaan yang berat
4.      Menderita cacat tubuh yang bersifat genetis yang dapat menurun pada keturunananya
sehingga tidak baik untuk ternak bibit.
5.      Menderita penyakit menular yang menurut Dokter Hewan pemerintah harus
dibunuh/dipotong bersyarat guna memberantas dan mencegah  penyebaran
penyakitnya, menderita penyakit yang mengancam  jiwanya
6.      Membahayakan keselamatan manusia (tidak terkendali)
Larangan terhadap pemotongan ternak betina  produktif yang tetap melanggari maka
ada sanksi atau kecil . Berdasrkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang
Peternakan dan Kesehatan Hewan menyebutkan bahwa, Sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat berupa :
1. peringatan secara tertulis
2. pengenaan denda
3. penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan atau peredaran
4. pencabutan nomor pendaftaran dan penarikan Obat Hewan, Pakan, alat dan mesin, atau
Produk Hewan dari peredaran
5. pencabutan izin .
Sanksi pidana mengenai larangan pemotongan ternak ruminansia betina produktif
akan dikenakan sanksi administratif dan atau sanksi pidana berdasarkan Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan hewan pasal 86 sebagai berikut :
Setiap orang yang menyembelih :
1. Ternak ruminansia kecil betina produktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4)
dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 6 (enam)
bulan dan denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak
Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).
2.  Ternak ruminansia besar betina produktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4)
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun
dan denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Sanksi atau pidana tersebut pastinya akan dilakukan pembinaan serta pengawasan
yang tertuang dalam Undang-undang Nomor.41 Tahun 2014 Pasal 17 menyatakan bahwa:
(1) Menteri, gubernur, dan/atau bupati/walikota sesuai kewenangannya melakukan
pembinaan dalam pelaksanaan kegiatan pengendalian ternak ruminansia betina produktif.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kegiatan sosialisasi
dan peningkatan peran serta masyarakat.
Pengawasan pemotongan ternak tertuang pada Pasal 18 sebagai berikut.
(1) Pengawasan pengendalian ternak ruminansia betina produktif dapat dilakukan baik
secara langsung maupun tidak langsung.
(2) Pengawasan secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara oleh
Menteri bersama gubernur dan bupati/walikota terhadap pelaksanaan pengendalian
ternak ruminansia betina produktif.
(3) Pengawasan secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
pelaporan.
(4) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan setiap bulan.

Adanya pengawasan dan pembinaan tentunya ada pula prosedur mengenai


pelaporan yang telah di atur oleh Undang-undang Nomor.41 Tahun 2014 Pasal 19 yang
berbunyi:

(1) Pelaporan terhadap pelaksanaan identifikasi status reproduksi, seleksi, dan penjaringan di
kabupaten/kota disampaikan oleh kepala dinas kabupaten/kota kepada bupati/walikota
secara berkala setiap bulan dengan tembusan disampaikan kepada kepala dinas provinsi.
(2) Pelaporan terhadap pelaksanaan identifikasi status reproduksi, seleksi, dan penjaringan di
provinsi disampaikan oleh kepala dinas provinsi kepada gubernur secara berkala setiap
bulan dengan tembusan disampaikan kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal Peternakan
dan Kesehatan Hewan.
(3) Pelaporan terhadap pelaksanaan identifikasi status reproduksi, seleksi, dan penjaringan
oleh UPT disampaikan kepada Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan.
III. PENUTUP

III.1. Kesimpulan
1. Pemotongan daging betina terjadi di indonesia untuk memenuhi kebutuhan
seluruh masyarakatnya karena kurang nya persediaan sapi jantan di jawa tengah.
2. Larangan pemotongan daging sapi betina karena akan menimbulkan populasi sapi
potong.
3. Pemerintah jawa tengah harus membuat larangan yang lebih berat untuk menjera
para pemotong sapi betina.
4. Memberikan sosialisasi tentang penting nya sapi betina dalam melestarikan
populasi sapi betina
DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Jenderal Peternakan. 2011. Peraturan Menteri Pertanian Nomor


35/Permentan/OT.140/7/2011 tentang Pengendalian Ternak Ruminansia Betina
Produktif. Departemen Pertanian. Jakarta
http://bpkad.semarangkota.go.id/
https://pertanian.kulonprogokab.go.id/detil/137/pelarangan-pemotongan-ruminansia-
betina-produktif
Priyanti, A., Inounu, I., & Ilham, N. 2017. Pencegahan Pemotongan Sapi Betina Produktif
Melalui Tata Kelola Lembaga Korporasi Perusahaan Daerah. Wartazoa. 27(2): 53-
66.
Sunyoto Usman. 1998. Pembangunan Masyarakat Desa. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Tiara.O.2016.Penegakan Hukum Atas Larangan Penyembelihan sapi Betina Produktif Di
Perusahan Daerah Rumah Potong Hewan Pegirian Surabaya.3(2):1-8.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 338)

Anda mungkin juga menyukai