Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara sedang berkembang yang memiliki karakteristik laju
pertumbuhan ekonomi yang cukup baik dibarengi dengan laju pertumbuhan yang pesat.
Peningkatan jumlah penduduk saat ini memberikan dampak yang besar terhadap
peningkatan permintaan (demand) produk pangan masyarakat. Selain itu, perkembangan
masyarakat saat ini lebih ke arah yang lebih maju baik dari segi pendapatan maupun
tingkat pengetahuan masyarakat mengenai pentingnya nilai gizi pangan. Hal ini
membuat masyarakat cenderung lebih meningkatkan konsumsi pangan yang mengandung
gizi tinggi. Salah satu produk pangan yang terus mengalami peningkatan permintaan
setiap tahunnya adalah susu. Peningkatan tersebut ditandai dengan meningkatnya
konsumsi susu per kapita dari tahun ke tahun, mulai dari 5,79 kg/kapita pada tahun 2001
dan meningkat menjadi 6,8 kg/kapita pada tahun 2005.
Produksi susu segar dalam negeri baru mampu memenuhi sekitar 30%
kebutuhan nasional dan sisanya diimpor sebanyak 132,874 ribu ton setara susu segar,
dimana 80% diserap oleh IPS dan sisanya 20% diserap oleh industri susu non IPS,
kebutuhan pedet dan konsumen langsung (DITJEN PKH, 2009). Hampir seluruh
produksi susu yang dihasilkan berasal dari Pulau Jawa, dimana konsentrasi
pemeliharaan sapi perah juga berada di wilayah ini baik yang dipelihara oleh rakyat
maupun perusahaan .
Pulau Jawa dengan luas 6,77% dari luas Indonesia dan jumlah penduduk
sebanyak 57,49% dari penduduk Indonesia dan menampung hampir 0,592 juta ekor
sapi perah; 7,5 juta ekor sapi potong; dan 0,363 juta kerbau . Kondisi ini
menunjukkan bahwa luas lahan menjadi terbatas yang mengakibatkan sumber pakan
serat menjadi terbatas, sehingga untuk meningkatkan populasi sapi perah di Jawa
cukup sulit. Apalagi jika hal ini dikaitkan guna memenuhi target peningkatan
produksi susu untuk menurunkan persentase jumlah impor susu dari sebesar 70%
menjadi 50%, akan ada banyak kendala yang dihadapi. Di luar Pulau Jawa, dengan

luasan 93,23% dari luasan Indonesia memiliki 4700 ekor sapi perah, 7,3 juta ekor
sapi potong dan 1 juta ekor kerbau. Hal ini mengindikasikan bahwa tersedia banyak
sumber pakan ruminansia yang belum dimanfaatkan secara optimal termasuk untuk
pengembangan sapi perah.
Pengembangan usaha sapi perah masih terfokus di sentra-sentra produksi di
Pulau Jawa. Hal ini mengakibatkan usaha sapi perah mengalami stagnasi karena
keterbatasan dalam menyediakan hijauan sepanjang tahun. Ketersediaan lahan akibat
konversi penggunaan untuk usaha non pertanian menjadi salah satu kendala untuk
mengembangkan

usaha

sapi

perah.

Optimalisasi produktivitas sapi perah untuk

meningkatkan produksi susu merupakan aspek yang harus dilakukan secara simultan
untuk seluruh pelaku usaha. Makalah ini bertujuan untuk memberikan deskripsi dan
rangkuman hasil kajian pengembangan usaha sapi perah di luar Pulau Jawa. Hal ini
meliputi potensi populasi sapi perah, kesesuaian agroekosistem, sumber pakan
berserat serta tantangan dan kendala usaha.

2. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah kapasitas produksi sapi perah di Indonesia?
2. Berapakah suplai konsumsi sapi perah di Indonesia?
3. Bersumber dari manakah sapi perah di Indonesia?

3. Tujuan
1. Mengetahui kapasitas produksi sapi perah di Indonesia
2. Mengetahui suplai konsumsi susu dari sapi perah di Indonesia
3. Mengetahui sumber dari sapi perah di Indonesia

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Sapi Perah
Sapi perah adalah suatu jenis sapi yang dipelihara dengan tujuan untuk
menghasilkan susu. Terdapat beberapa bangsa sapi perah yaitu Ayrshire, Guernsey, Jersey
dan Friesian Holstein (FH). Sapi-sapi perah di Indonesia dewasa ini pada umumnya
adalah sapi perah bangsa FH import dan turunannya. Karakteristik sapi FH yaitu warna
tubuhnya hitam belang putih dengan pembatas yang jelas, terdapat warna putih berbentuk
segitiga di dahi dengan kepala panjang, dan sebagian kecil tubuhnya berwarna putih atau
hitam seluruhnya. Turunan sapi FH dikenal dengan sebutan sapi perah Friesian lokal
(PFH). Bangsa sapi FH adalah bangsa sapi perah yang paling menonjol di Amerika
serikat, jumlahnya cukup banyak sekitar 80 - 90% dari seluruh jumlah sapi yang ada.
Di antara jenis sapi perah yang ada, FH mempunyai kemampuan produksi susu yang
tinggi.

Secara garis besar, bangsa-bangsa sapi (Bos) yang terdapat di dunia ada dua, yaitu
(1) kelompok yang berasal dari sapi Zebu (Bos indicus) atau jenis sapi yang berpunuk,

Gambar 2.1. Frisien Holstein


yang berasal dan tersebar di daerah tropis serta (2) kelompok dari Bos primigenius, yang
tersebar di daerah sub tropis atau lebih dikenal dengan Bos Taurus. Jenis sapi perah yang
unggul dan paling banyak dipelihara adalah sapi Shorhorn (dari Inggris), Friesian
Holstein (dari Belanda), Yersey (dari selat Channel antara Inggris dan Perancis), Brown
Swiss (dari Switzerland), Red Danish (dari Denmark) dan Droughtmaster (dari Australia).
Hasil survei di PSPB Cibinong menunjukkan bahwa jenis sapi perah yang paling cocok
dan menguntungkan untuk dibudidayakan di Indonesia adalah Frisien Holstein.
Besaran populasi sapi perah di Jawa Tengah dapat diamati pada Tabel 2.1 di
mana kondisi usaha ternak sapi perah mengalami kenaikan dalam hal jumlah
populasinya. Ini menjadi acuan bahwa usaha peternakan di Jawa Tengah mengalami
kemajuan walaupun tidak besar tiap tahunnya, namun tingkat kenaikan ini dapat
menajadi tolak ukur perkembangan produksi usaha peternakan di Jawa Tengah. Ada
beberapa faktor yang menyebabkan kenaikan tersebut salah satunya lembaga usaha
sapi perah yang membantu dengan baik sehingga peningkatan populasi sapi perah
tidak menurun.
Tabel 2.1 Populasi Ternak Sapi Perah di Jawa Tengah

2.2

Industri Sapi Perah


Perkembangan sapi perah Indonesia dalam dasawarsa terakhir jumlahnya sangat
fluktuasi dengan tingkat perkembangan yang cukup baik, rata-rata 1,2 persen pertahun
(wilayah Asia hanya 0,48 persen dan dunia 0,51 persen). Kondisi ini menunjukan bahwa
perbaikan kualitas sapi perah telah berjalan searah dengan berjalannya waktu meskipun
belum mencapai angka optimal. Banyak faktor yang mempengaruhi peningkatan mutu
bibit sapi perah salah satunya adalah melaluli grading up baik ari pejantan yang dipakai
untuk mengawini sapi betina, maupun melalui bibit sapi betina yang dihasilkan dari
BBPTU Sapi Perah Baturraden. Data perkembangan populasi sapi perah di tahun 2008
mencapai 407.767 ribu
Populasi sapi perah 2009 diproyeksikan berjumlah 423,8 ribu ekor dengan asumsi
tidak ada tambahan dari import sehingga untuk replacement dan penambahan populasi
hanya mengandalkan keturunan dari sapi yang ada sekarang. Sejauh ini dimasyarakat
belum tersedia sumber bibit sapi perah yang baik. Sehingga, tanpa adanya upaya dari
pemerintah untuk mendesain pola pemulabiakan dan program sapi perah yang baik maka
hampir bisa dipastikan bahwa produktivitas sapi perah di Indonesia kedepannya akan
menurun. Pandangan mengenai produktivitas sapi di peternakan dianggap tinggi, namun
sebenarnya masih bersifat individual artinya bahwa secara keseluruhan belum
menunjukan rataan produksi seperti apa yang diharapkan. Salah satu hal yang cukup
mendasar adalah peternak mengalami kesulitan untuk mendapatkan bibit sapi yang baik
pada saat akan melakukan replacement

2.4

Produksi Susu
Kebutuhan protein hewani masyarakat Indonesia dari tahun ke tahun terus
meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan tingkat kesadaran
kebutuhan gizi masyarakat yang didukung oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini
dapat ditunjukkan dengan meningkatnya konsumsi susu dari 6.8 liter/kapita/tahun pada
tahun 2005 menjadi 7.7 liter/kapita/tahun pada tahun 2008 (setara dengan 25
g/kapita/hari) yang merupakan angka tertinggi sejak terjadinya krisis moneter pada tahun
1997 (Ditjen Bina Produksi Peternakan, 2008). Pembangunan sektor petemakan,
khususnya pengembangan usaha sapi perah, merupakan salah satu alternatif upaya
peningkatan penyediaan sumber kebutuhan protein. Meskipun permintaan terhadap
komoditi susu dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan, tetapi produksi susu
nasional belum mampu mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat Indonesia. Sehingga
pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk melakukan impor susu dari luar negeri. Selain
melakukan impor pemerintah juga melakukan ekspor susu dalam bentuk susu olahan.
Produksi susu yang relatif rendah serta keragaan usaha ternak sapi perah yang
masih sangat kecil, mengakibatkan ketidakmampuan dalam persaingan dengan produk
impor yang berdampak memperlemah daya saing usaha ternak sapi perah di Indonesia.
Faktor pemicu daya saing terdiri dari teknologi, produktivitas, harga dan biaya input,
struktur industri, serta kuantitas permintaan domestik dan ekspor. Faktor-faktor itu dapat
digolongkan atas: (1) Faktor yang dapat dikendalikan oleh unit usaha: seperti strategi
produk, teknologi, pelatihan, biaya riset dan pengembangan; (2) faktor yang dapat
dikendalikan oleh pemerintah: seperti lingkungan bisnis (pajak, suku bunga, nilai tukar
uang), kebijakan perdagangan, kebijakan riset dan pengembangan, serta pendidikan,
pelatihan dan regulasi; (3) faktor yang semi terkendali: seperti kebijakan harga input dan
kuantitas permintaan domestik; dan (4) Faktor yang tidak dapat dikendalikan: seperti
lingkungan alam. Dengan demikian, apabila pemerintah dan pihak-pihak yang terkait
mampu memperbaiki faktor-faktor pemicu di atas, maka diharapkan komoditas susu
segar lokal dapat berkembang sebagai komoditas substitusi susu impor

2.5

Kebijakan Pemerintah
Kemampuan produksi susu peternak lokal saat ini baru bisa mencapai 25 persen
sampai dengan 30 persen dari kebutuhan susu nasional menurut data Direktorat Jenderal

Peternakan tahun 2007. Kekurangan input mengakibatkan besarnya jumlah impor susu
nasional sehingga menjadikan indonesia sebagai net importir, disamping itu
menunjukkan adanya prospek pasar yang sangat besar dalam usaha peternakan sapi perah
untuk menghasilkan susu segar sebagai produk substitusi impor. Perlu adanya perbaikan
supaya dengan luasnya peluang pasar susu yang dihasilkan ternak perah akan
merangsang perkembangan peternakan perah di tanah air.
Dengan dikeluarkannya instruksi Presiden No. 4 tahun 1998 berdasarkan SKB
Tiga Menteri yaitu Menteri Pertanian, Perindustrian dan Perdagangan serta Koperasi
yang bertujuan untuk melindungi peternak dan koperasi susu sapi perah Indonesia. Akan
tetapi seiring kemajuan jaman instruksui tersebut tidak dapat dipertahankan. Pada saat
Indonesia akan memasuki era perdangan bebas (WTO/World Trade Organization)
pemerintah mencabut Instruksi Presiden No. 4 tahun 1998. Pencabutan kebijakan
tersebut tidak diimbangi dengan proteksi dari pemerintah terhadap para peternak
nasional. Hal ini menyebabkan Industri Pengolahan Susu (IPS) dengan sangat leluasa
untuk membeli susu impor dari luar negeri. Selain itu, sejak bulan November tahun 2008,
pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan No.145/PMK.011/2008 tentang
Bea Masuk Ditanggung Pemerintah Atas Impor Barang dan Bahan oleh Industri
Pengolahan Susu untuk Tahun Anggaran 2008, dengan nilai Rp 107 miliar untuk periode
November-Desember 2008. Namun, pada 2009 pemerintah melalui Menteri Keuangan
mengeluarkan Permenkeu (peraturan menteri keuangan) No.19/PMK.011/2009 yang
menetapkan tarif impor nol persen untuk susu dan turunannya. Keputusan Menteri
Keuangan tersebut akan mempengaruhi usaha sapi perah lokal yang ada di sentra-sentra
sapi perah, terutama tingkat kesejahteraan dan daya saing produk susu terhadap susu
impor

BAB III
PEMBAHASAN
Peternak sapi perah adalah peternak subsisten yang orientasi usaha hanya
untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Oleh karena itu, perlu adanya sosialisasi
perubahan pemikiran untuk merubah orientasi usaha subsisten tersebut menjadi
orientasi pasar, karena usaha sapi perah adalah usaha padat modal. Peranan penyuluh
untuk merubah image peternak dari peternak subsisten menjadi peternak komersial
memang butuh waktu, tetapi program kearah tersebut perlu dilakukan. Sedangkan
penyuluhan yang ada sekarang baru untuk perbaikan teknis dan belum berorientasi
merubah pemikiran kearah pengembangan bisnis. Akibatnya, hampir semua peternak
sapi perah hanya berproduksi untuk konsumen industri dan untuk pedagang yang
memiliki jalur langsung ke konsumen, sehingga dalam penentuan harga jual susu
berada dalam posisi yang sangat lemah. Keuntungan usaha seharusnya dinikmati oleh
peternak sesuai dengan aktivitas yang telah dilakukan sebagai produsen susu. Saat
ini, uang yang diterima peternak akan kembali ke pihak industri melalui kenaikan
harga pakan, menurunkan harga beli susu, dan menambahkan kriteria kualitas susu
yang semakin menyulitkan peternak untuk mencapai harga jual yang layak.
Mengingat bahwa lebih dari 60 80% biaya produksi adalah pakan, maka
penggunaan bahan pakan lokal dengan kualitas baik dan harga murah perlu
diprioritaskan. Oleh karena itu penerapan teknologi pengolahan pakan pada bahan
baku lokal sebagai sumber bahan pakan ternak yang sangat melimpah jumlahnya di
Indonesia perlu diterapkan. Pemanfataan hasil-hasil penelitian dan pengembangan

teknologi pakan berbasis bahan baku pakan lokal yang dapat meningkatkan nilai gizi,
dapat disimpan lebih lama dan mudah dibawa dari satu tempat ketempat lainnya perlu
diserhanakan aplikasinya agar mudah diterapkan oleh peternak maupun industri
pakan. Saat ini, perusahaan besar yang memproduksi pakan komersial menggunakan
bahan baku utamanya jagung, tepung ikan dan singkong lokal dan bahan baku
impor termasuk kedele, jagung, bungkil kedele dan bungkil jagung (limbah dari
biofuel). Padahal diluar bahan-bahan baku pakan tersebut masih banyak bahan
baku pakan

lokal

lainnya

yang

potensial

untuk

digunakan, karena

sebelum

digunakan dibutuhkan pengembangan sarana dan prasarana penunjang untuk dapat


diproduksi secara masal. Teknologi perlu juga diterapkan mulai dari pemeliharaan
ternak, manajemen perkawinan sapi, sampai pada pemerahan dan pascapanen agar susu
yang dihasilkan oleh peternak produsen adalah susu yang layak dikonsumsi yaitu
bernilai gizi tinggi dan sehat serta mempunyai harga jual yang optimal per satuan.
Potensi pemasaran susu cukup besar yang diindikasikan dengan laju
pertumbuhan penduduk mencapai 1,49% dan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,5%
Disamping itu, kesadaran gizi masyarakat meningkat dan hal ini diharapkan dapat
menjadi faktor pendukung meningkatnya konsumsi susu masyarakat. faktor sosial
budaya masyarakat Indonesia merupakan salah satu peluang pasar bagi pemasaran
susu. Penduduk Indonesia terus bertambah dan akan lebih banyak tinggal di daerah
perkotaan di masa yang akan datang. Sekitar 28% penduduk Indonesia berumur
kurang dari 15 tahun dan diprediksi menjelang tahun 2015 terdapat sekitar 25%
penduduk Indonesia berumur 15 tahun atau kurang.
Pengembangan sapi perah masih belum optimal sehingga produksi susu per ekor
per hari sapi perah hanya berkisar antara 9,07-9,90 liter. Padahal potensi produksinya
sebesar 20 liter/ekor/hari. Jika produktivitasnya seperti itu, bahwa propinsi Jawa Timur
yang pada tahun 2004 memberikan kontribusi sebesar 46,38% terhadap produksi susu
nasional ternyata belum mampu memenuhi kebutuhan susu di wilayahnya sendiri pada
tahun 2015. Menurut prediksi ini kebutuhan susu di Jatim mencapai 2 kali lipat dari
produksi susu setempat pada tahun yang sama. Hal ini mengindikasikan akan semakin
sulit untuk memenuhi kebutuhan susu dari produksi domestik sehingga akan mendorong
peningkatan impor susu yang dapat memboroskan devisa negara.

Total impor susu sapi dari beberapa negara mencapai US$ 54,64 juta sepanjang
Januari 2014.Sedangkan beratnya sebesar 12,09 juta kilogram (kg). Realisasi ini turun
dari posisi akhir Desember 2013 yang tercatat senilai US$ 92,16 juta dengan berat 20,16
juta kg. Sementara dalam kurun setahun lalu, Indonesia impor susu sapi seberat 214,64
juta kg dan senilai US$ 864,56 juta. Dari jumlah impor di awal tahun ini, data BPS
menunjukkan ada lima negara pemasok terbesar susu sapi ke Tanah Air, yakni Amerika
Serikat (AS), Australia, Selandia Baru, Belgia, dan Kanada. AS tercatat menjadi
pengimpor tertinggi di antara negara-negara tersebut dengan realisasi sebesar US$ 16,37
juta dan berat 3,80 juta kg pada Januari ini. Urutan kedua dari Australia yang mengimpor
susu sapi segar senilai US$ 12,34 juta dengan berat susu 2,64 juta kg. Kemudian Selandia
Baru menyusul dengan pasokan susu seberat 2,11 juta kg senilai US$ 10,87 juta.
Sedangkan Belgia dan Kanada masing-masing melakukan impor susu ke Indonesia
dengan nilai US$ 4,44 juta dan US$ 3,21 juta. Serta untuk negara lainnya memasok susu
senilai US$ 7,41 juta dan berat 1,74 juta kg pada awal tahun ini. Hal ini dikarenakan
kebutuhan susu mencapai 6 juta liter per hari, sedangkan produksi nasional hanya 1,5 juta
liter perhari.
Faktor pemicu daya saing dengan produk impor terdiri dari teknologi,
produktivitas, harga dan biaya input, struktur industri, serta kuantitas permintaan
domestik dan ekspor. Faktor-faktor itu dapat dibedakan atas: (1) Faktor yang dapat
dikendalikan oleh unit usaha, seperti strategi produk, teknologi, pelatihan, biaya riset dan
pengembangan; (2) faktor yang dapat dikendalikan oleh pemerintah, seperti lingkungan
bisnis (pajak, suku bunga, nilai tukar uang), kebijakan perdagangan, kebijakan riset dan
pengembangan, serta pendidikan, pelatihan dan regulasi; (3) faktor yang semi terkendali,
seperti kebijakan harga input dan kuantitas permintaan domestik; dan (4) Faktor yang
tidak dapat dikendalikann, seperti lingkungan alam.

Dengan demikian, apabila

pemerintah mampu memperbaiki faktor-faktor pemicu di atas, maka diharapkan


komoditas susu segar lokal dapat berkembang sebagai komoditas substitusi susu impor.

BAB 4
KESIMPULAN
4.1

Kesimpulan

Produksi susu local yang masih jauh dibawah kebutuhan nasional memicu para

IPS mengimpor bahan baku dari luar.


Negara pengimpor sapi diantaranya Amerika Serikat (AS), Australia, Selandia

Baru, Belgia, dan Kanada


Konsumsi susu nasional dari tahun ke tahun terus mengalam peningkatan. Hal ini
dikarenakan dengan masyarakat yang semakin peduli

TINJAUAN PUSTAKA
BADAN PUSAT STATISTIK. 2012. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia. Pertumbuhan PDB
Tahun 2011 mencapai 6,5 persen No. 13/02/Th. XV.
DINAS PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN PROVINSI SUMATERA UTARA.
2009. Pengembangan sapi perah di Sumatera Utara. Disampaikan pada acara
Workshop Peluang Pengembangan Sapi Perah di luar Pulau Jawa. Bogor, 10 Agustus
2009. Puslitbang Peternakan, Bogor.
DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN.

2009.

Kebijakan strategi

dan

program

pengembangan agribisnis sapi perah di luar Jawa. Disampaikan pada acara


Workshop Peluang Pengembangan Sapi Perah di Luar Pulau Jawa. Bogor, 10 Agustus
2009. Puslitbang Peternakan, Bogor.
PSPK. 2011. Rilis Akhir Hasil Sensus Ternak Tahun 2011. Kementan BPS, Jakarta.
RASALI H. MATONDANG, C. TALIB dan T. HERAWATI. 2012. Prospek Pengembangan Sapi
Perah Di Luar Pulau Jawa Mendukung Swasembada Susu Di Indonesia. WARTAZOA
Vol. 22 No. 4
SITEPU, P. 2008. Swasembada Susu Nasional (Potensi luar Jawa yang terlupakan)
http://petrussitepu.multiply. com/journal.

Anda mungkin juga menyukai