ABSTRACT
ABSTRAK
RESTRUKTURISASI PETERNAKAN DI INDONESIA Chalid Talib, Ismeth Inounu, dan Abdullah Bamualim
1
PENDAHULUAN
2
POTRET PETERNAKAN SEKARANG
RESTRUKTURISASI PETERNAKAN DI INDONESIA Chalid Talib, Ismeth Inounu, dan Abdullah Bamualim
3
2006). Pasar potensial adalah berupa sate, gulai dan sop kambing (walaupun
dagingnya berasal dari kambing dan domba) dan pasar ternak hidup terbesar
adalah untuk Ritual Hari Raya Idul Adha. Dalam memenuhi kebutuhan pasar
maka Indonesia telah berswasembada. Bagaimana peluang ekspor setelah
swasembada dicapai? Untuk daging ruminansia kecil sebenarnya pasar ekspor
tersedia yaitu di Timur Tengah dimana daging tersebut merupakan konsumsi
harian masyarakat di sana dan untuk kebutuhan Ritual Idul Adha. Mengapa ekspor
belum bisa terlaksana dengan baik? Standar ekspor yang diinginkan sulit diperoleh
dalam jumlah yang cukup (Badan Litbang Pertanian, 2005a) karena sistem
pemeliharaan masih dalam skala kecil dan sangat beragam sedangkan kebutuhan
ekspor dalam jumlah yang cukup besar untuk setiap pengiriman maka
pengumpulan ternak menjadi kurang ekonomis. Pasar dalam negeri masih kurang
kondusif bagi daging kambing/domba karena akan semakin tergeser oleh daging
ayam dan sapi, maka pengembangan ternak kambing dan domba sebaiknya
berorientasi ekspor melalui perbaikan bibit dan manajemen pemeliharaan.
Daging asal ternak lain didominasi oleh Babi (9%) (Ditjenak, 2006),
dimana konsumennya hanya berkembang pada masyarakat nonmuslim saja.
Sedangkan kontribusi daging dari ternak lainnya seperti kuda, kelinci dan rusa
masih sangat terbatas. Indonesia telah berswasembada daging babi bahkan pada
daerah-daerah perbatasan merupakan komoditas ekspor yang cukup potensial.
Produk susu hampir seluruhnya berasal dari sapi perah, dan hanya sedikit
kontribusi yang berasal dari kerbau yaitu hanya terdapat di lokasi tertentu saja
yang budaya konsumsi susu kerbau. Biasanya juga berlangsung hanya pada even
tertentu. Sedangkan konsumsi susu kambing lebih terbatas lagi hanya pada
masyarakat yang mempercayai bahwa susu kambing adalah obat berbagai
penyakit terutama yang berhubungan dengan penyakit pernapasan dan lambung.
Kebutuhan susu sapi dalam negeri baru terpenuhi 24 persen dari kebutuhan total,
sehingga masih sangat bergantung pada impor sebesar 76 persen. Walaupun
demikian peluang ekspor masih cukup terbuka, hal ini dapat dilihat dari
keberhasilan beberapa perusahaan mengekspor produk tersebut dengan jumlah
yang cukup menjanjikan yaitu sebesar 32 persen (Ditjenak, 2006). kebutuhan susu
sapi dalam negeri akan terus meningkat dari tahun ke tahun akibat adanya
kesadaran gizi dan peningkatan pendapatan.
Telur, paling banyak dipasok oleh ayam ras petelur dan merupakan
sumber protein hewani asal ternak termurah dengan harga yang dapat dijangkau
oleh masyarakat luas. Telur dalam jumlah terbatas juga disumbangkan oleh ayam
kampung dan itik petelur. Telur ayam kampung lebih banyak berfungsi sebagai
obat (campuran jamu) dibandingkan dikonsumsi secara langsung sebagaimana
telur yang dihasilkan oleh ayam petelur. Demikian pula telur itik lebih banyak
digunakan untuk produk olahan pangan siap saji seperti martabak dan telur asin,
sedangkan konsumsi dengan hanya digoreng atau direbus masih kurang disukai
karena agak berbau anyir.
4
Perlu diingat bahwa permintaan akan telur ayam akan terus meningkat dari
tahun ke tahun dengan peningkatan yang cukup signifikan dan akan menggeser
telur-telur lainnya sebagaimana trend yang ada sekarang (Tangenjaya dan
Djayanegara, 2002; Badan Litbang Pertanian, 2005b). Peluang ekspor telur unggas
cukup sulit karena banyak negara yang telah mencapai swasembada telur.
RESTRUKTURISASI PETERNAKAN DI INDONESIA Chalid Talib, Ismeth Inounu, dan Abdullah Bamualim
5
bahan utama untuk formulasi pakan unggas. Sehingga untuk menembus pasar
impor dan persaingan dengan produk impor dalam pasar global maka harus ada
tindak lanjut untuk memenuhi kebutuhan pakan tersebut yang diharapkan dapat
lebih murah dari produk impor.
Keterbatasan pengembangan dari skala usaha komersial kecil menuju
kepada skala usaha komersial yang lebih besar adalah pada faktor modal usaha,
akses pada saprodi dan ketersediaan pasar dan bukan pada SDM.
Perkembangan ayam kampung mengambil arah yang berbeda dengan ayam
ras, peternak pembibit menseleksi ternaknya bukan ditujukan untuk produksi
daging dan telur secara optimal sebagaimana pada ayam ras, tetapi lebih ditujukan
untuk menghasilkan bibit yang spesifik yang lebih banyak berfungsi sebagai
hiburan atau hobi seperti ayam pelung untuk suara merdu, ayam bangkok untuk
ayam aduan dan ayam hias karena warna dan keunikannya. Sangat sedikit yang
mengarahkan seleksi untuk produksi telur seperti ayam Arab, sehingga sulit bagi
ayam kampung untuk bersaing dengan ayam ras dalam menghasilkan jumlah telur
dan daging yang banyak. Peternak budidaya pada ayam kampung lebih
memfungsikan ayamnya sebagai tabungan yang siap diuangkan setiap saat ketika
membutuhkan dana kontan. Para peternak pembibit ayam kampung lebih
berfungsi sebagai penjaga plasma nutfah yang andal. Mereka membangun asosiasi
pencinta ternak seperti HIPAPI (Himpunan Peternak Ayam Pelung) yang sering
mengadakan even-even kejuaraan dan kontes untuk kemerduan suara ternaknya
(HIPAPI, 2006).
6
mungkinkah model usaha perbibitan seperti ini dapat dikembangkan pada sapi
lokal ?
Peternak tradisional juga mempunyai peran yang hampir sama, tetapi dalam
skala usaha yang sangat berbeda. Peternak penggemukan lebih dikenal sebagai
peternak sapi kereman karena waktu yang dibutuhkan untuk mencapai bobot
potong cukup lama yaitu lebih dari 6 bulan. Sementara itu peternak penghasil sapi
bakalan lebih tepat disebut sebagai peternak budidaya karena praktek seleksi
untuk peningkatan produktivitas belum ada dan memang tidak tepat untuk
dilaksanakan karena skala pemilikan yang kecil (1–5 ekor/peternak). Sistem
peternakan yang dikembangkan dalam berbagai model pengembangan, yang
akhir-akhir ini lebih berkembang adalah sistem kandang komunal dalam suatu
kawasan peternakan di mana para peternak yang berdekatan membangun kandang
berkapasitas > 50 ekor induk sapi dalam suatu areal dan semua peternak
mengandangkan ternaknya di sana (Talib, 2007). Keuntungannya adalah
pelayanan akan lebih mudah dan efisien termasuk servis perkawinan dan obat-
obatan. Ada berbagai model yang dikembangkan tetapi semuanya dengan
karakteristik masing-masing. Kelemahan mendasar tetap ada yaitu petani belum
mampu meningkatkan jumlah pemilikan karena keterbatasan SDM dalam
keluarga, sehingga jika sapi mencapai jumlah yang melebihi kemampuan maka
jumlahnya harus dikurangi. Disinilah sumber sapi bakalan potensial yang dapat
dijaring atau dikembangkan dengan pemberian tambahan sumber daya
permodalan melalui perbankan.
Para peternak mengenal sapi-sapi yang dianggap unggul berdasarkan
pengalaman menurut tanda-tanda kualitatif. Untuk sapi dan kerbau yang ditujukan
untuk kebutuhan entertainment dan ritual maka pemahaman keunggulan adalah
berdasarkan pada warisan pengetahuan tradisional yang kadangkala berlawanan
dengan kebutuhan untuk produksi daging. Misalnya, untuk Tedong Bonga (kerbau
di Tanah Toraja) yang penting adalah corak belang hitam putih yang memenuhi
syarat, jika tidak memenuhi syarat walaupun bagus perdagingannya mempunyai
harga jual yang lebih murah. Contoh lainnya adalah sapi Madura dimana yang
dipentingkan adalah kemampuan menarik beban dan kecepatan berlari yaitu tulang
besar dan kerampingan otot.
Praktek yang diterapkan para peternak tradisional pada sapi dan kerbau
miliknya adalah untuk produksi daging, maka ternak jantan yang paling cepat
tumbuh akan paling cepat juga masuk ke pasar konsumen untuk menjadi ternak
konsumsi. Tentunya ternak tersebut adalah ternak jantan terbaik yang dimilikinya,
sedangkan ternak betina yang dipelihara/dipertahankan adalah ternak-ternak yang
diyakini akan dapat dengan mudah menjadi bunting dan melahirkan serta
mempunyai kemampuan merawat anaknya dengan baik. Oleh karenanya
masuknya program IB menggunakan semen sapi impor membuat peternak
memiliki jalan pintas untuk mempercepat pertumbuhan ternak yang dihasilkan dan
merupakan jalan pintas yang disukai yaitu melalui persilangan dengan sapi Eropa
(Bos taurus). Berdasarkan pengalaman mereka maka sapi F1 yang terbaik adalah
RESTRUKTURISASI PETERNAKAN DI INDONESIA Chalid Talib, Ismeth Inounu, dan Abdullah Bamualim
7
jika disilangkan dengan Simmental atau Limousin (Badan Litbang Pertanian,
2005c).
Keterbatasan pengembangan usaha dari peternak dengan skala usaha kecil
tradisional menuju kepada skala usaha yang lebih besar adalah pada akses
mendapatkan saprodi dan pada keterbatasan SDM keluarga yang dimiliki. Dengan
demikian jika jumlah sapi yang dimiliki petani tersebut meningkat maka harus ada
ternak sapinya yang dikeluarkan. Umumnya pengeluaran ternak dimulai dari sapi
jantan yang paling cepat tumbuh mencapai bobot potong, kemudian sapi betina
dengan jarak kelahiran yang paling panjang dan berikutnya (sapi-sapi betina inilah
yang dikenal sebagai ”pemotongan ternak betina produktif”). Dengan pemahaman
seperti ini maka jelas aturan pelarangan pemotongan sapi betina produktif tidak
cukup jika hanya berupa peraturan, tetapi harus menyediakan jalan keluar terbaik
bagi peternak agar peraturan tersebut dapat berjalan efektif.
Pada peternakan sapi perah, hampir semua peternak berorientasi pada
keuntungan. Pada perusahaan peternakan besar (> 200 ekor) biasanya mempunyai
usaha dari hulu sampai hilir, sedangkan pada peternak kecil (3–10 ekor/peternak)
umumnya bergabung dalam wadah Koperasi Peternak Susu (KPS). KPS
menyediakan saprodi (pakan konsentrat, pelayanan keswan dan pelayanan
reproduksi seperti IB dan pemeriksaan kebuntingan) dan menampung semua hasil
susu yang diproduksi anggotanya. KPS kemudian menjual susu yang dikumpulkan
dalam bentuk susu segar langsung ke Industri Pengolahan Susu (IPS). Karena
ketergantungan pasar sebagai satu-satunya pembeli yang bisa diharapkan, maka
dalam penentuan harga peran IPS sangat dominan. Umumnya harga susu yang
dibeli IPS relatif rendah jika dibandingkan dengan biaya produksi susu.
Pasokan bibit sapi perah untuk peternak KPS berasal dari pasar, baik berupa
sapi dara siap kawin maupun sapi dara bunting. Sapi-sapi ini diusahakan oleh
sekelompok peternak ”rearing” yang lebih dikenal sebagai ”bengkel sapi”. Para
peternak tersebut membesarkan pedet-pedet betina ataupun mengembalikan
kondisi pedet-pedet pasca-sapih sampai siap kawin ataupun bunting. Di sinipun
sifat-sifat kualitatif dari sapi-sapi betina yang diyakini akan berproduksi tinggi
sangat berperan dalam menentukan harga jual. Para peternak ini juga melakukan
rearing pada pedet jantan untuk mempercepat pencapaian bobot potong. Pada
peternakan besar, sapi bibit diperoleh melalui impor atau membeli pada
peternakan besar lainnya, mereka hampir tidak pernah menjaring sapi bibit dari
peternakan tradisional atau pasar lokal dengan alasan utamanya adalah kesehatan.
Peternakan sapi perah khusus pembibit (breeder) belum ada, sehingga untuk
sementara pemerintah berkewajiban menyediakan bibit/benih untuk mempertahan-
kan dan meningkatkan produktivitas sapi-sapi perah yang ada. Dalam hal ini
pemerintah menyediakan BIB Singosari dan BIB Lembang yang bersifat nasional
dan BIB-Daerah yang banyak tumbuh akhir-akhir ini. Ternyata dalam
perkembangannya balai-balai inseminasi tersebut mampu menyediakan bibit/benih
8
sapi potong dan sapi perah dalam jumlah yang cukup sesuai dengan yang
dibutuhkan masyarakat.
Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa hal yang merupakan kelemahan
pada sistem peternakan di Indonesia, untuk dijadikan titik awal perubahan struktur
peternakan berdasarkan komoditas dengan model usaha serta kelembagaan yang
diharapkan potensial untuk dibentuk.
RESTRUKTURISASI PETERNAKAN DI INDONESIA Chalid Talib, Ismeth Inounu, dan Abdullah Bamualim
9
Peternakan Ruminansia Besar
Kelemahan pada ruminansia besar antara lain adalah: (a) Untuk sapi potong,
kelemahannya adalah ketergantungan pada supply sapi bakalan dan daging dalam
jumlah besar (+ setara 600 ribu ekor per tahun) dan selalu meningkat dari tahun
ketahun (PPSKI, 2007), (b) Untuk sapi perah, ketergantungan terhadap susu impor
dalam jumlah besar yang juga selalu meningkat dari tahun ketahun, (c) peternakan
sapi potong untuk sumber bibit/bakalan sapi impor jumlahnya masih sangat
terbatas, sedangkan untuk sapi perah dan sapi lokal belum ada. Dampaknya,
pengadaan bakalan sapi potong maupun calon induk sapi perah dari dalam negeri
dalam jumlah besar menjadi tidak ekonomis karena harus berasal dari berbagai
tempat yang membutuhkan biaya cukup besar. Dalam hal ini, pengadaan sapi
impor menjadi lebih ekonomis, (d) akses modal melalui perbankan untuk
pengembangan peternakan komersial penggemukan maupun perbibitan skala kecil
(10–50 ekor per periode 2–4 bulan) cukup sulit untuk diperoleh, (e) keterbatasan
SDM yang dalam hal ini adalah tenaga kerja dalam keluarga sebagai pencari
pakan hijauan yang membatasi jumlah pemilikan ternak. Akibatnya peternak sulit
sekali untuk meningkatkan jumlah ternak yang dimiliki sehingga sapi-sapi betina
usia produktif terpaksa harus menjadi ternak konsumsi. Jalan keluarnya adalah
memudahkan akses permodalan bagi peternak untuk pengadaan pakan lengkap
yang terjangkau oleh peternak dan penggunaannya dalam proses produksi
memberikan keuntungan yang cukup sehingga peternak terpacu untuk
meningkatkan skala usaha mereka.
10
b. Pengadaan sumber pakan hijauan dan konsentrat atau pakan lengkap bagi sapi
potong yang jumlahnya akan terus ditingkatkan. Pasar daging sapi walaupun
saat ini masih terus tertekan oleh daging ayam, tetapi akan bertahan pada
tahapan tertentu yang sulit digeser oleh daging ayam. Daging sapi merupakan
bahan utama pembuatan bakso, sebagai produk protein hewani dengan harga
murah, terjangkau masyarakat dengan jaringan pasar yang mencapai pedesaan.
c. Sumber bibit atau DOC bagi ayam sampai saat ini akan cukup tersedia karena
didukung oleh pihak swasta bermodal kuat dan merupakan pengusaha lintas
negara. Tetapi untuk sapi potong perlu dibangun suatu sistem pembibitan sapi
lokal atau ex-impor yang secara bertahap akan meningkatkan populasi sapi
potong di Indonesia.
d. Susu yang dihasilkan oleh sapi perah dalam sistem pemasarannya di Indonesia
dalam penentuan harga didominasi oleh IPS, demikian pula jaringan pemasaran
dikuasai oleh IPS. Oleh karena itu, prioritas penanggulangannya adalah
kelembagaan pasar yang lebih adil dan bijaksana (fairness policy).
e. Penjaringan sapi bakalan dari peternak tradisional dapat diperankan oleh swasta
untuk dikembangkan pada wilayah sumber pakan di atas. Demikian pula
penjaringan sapi induk produktif yang berlebih dari peternak tradisional dapat
dijaring oleh swasta tersebut. Cara lainnya adalah dengan memudahkan para
peternak tradisional untuk akses terhadap modal baik yang berasal dari
perbankan atau sumber lain agar mereka dapat berkembang menjadi peternak
komersial. Diharapkan para peternak tradisional juga dapat meningkatkan
efisiensi proses produksi dalam menghasilkan sapi bakalan maupun sapi bibit
di peternakannya.
Dari kelima butir tersebut maka fokus pengembangan peternakan masa
depan di Indonesia seharusnya hanya bertumpu pada dua komoditas utama yaitu
ayam ras dan sapi potong.
Sumber pakan utama ternak ayam yang perlu dikembangkan adalah
membangun perkebunan jagung dan kedelai skala besar pada hamparan lahan
kering yang sangat luas di Indonesia. Hal tersebut perlu dilakukan agar efisiensi
ekonomis dapat ditingkatkan untuk antisipasi persaingan pasar global lintas
negara.
Sumber pakan utama sapi potong berupa hijauan cukup banyak tersedia
hanya perlu ditata berdasarkan kawasan agar dapat memudahkan sistem panen.
Hijauan tersebut dapat berupa rumput pastura (alam), rumput budidaya, lahan
sawah/pasang surut, kebun sawit, kebun tebu, kebun jagung dan kedelai.
Salah satu jalan pintas untuk meningkatkan efisiensi adalah mendekatkan
ternak dengan sumber pakannya. Maka berbagai pilihan model pengembangan
dapat diterapkan di sini.
RESTRUKTURISASI PETERNAKAN DI INDONESIA Chalid Talib, Ismeth Inounu, dan Abdullah Bamualim
11
Model (1) Integrasi jagung-kedelai dengan ayam ras dan sapi potong di
perkebunan jagung-kedelai. Perkebunan menghasilkan biji jagung dan
kedelai untuk konsumsi ayam dan penggemukan sapi, jerami jagung
dan jerami kedelai dapat digunakan untuk pakan sapi. Kotoran ternak
dapat digunakan sebagai biogas untuk pengeringan jagung dan
kedelai agar berkualitas bagus ataupun untuk keperluan lainnya, sisa
biogas dapat digunakan untuk kompos pada perkebunan.
Model (2) Integrasi padi dengan ayam ras dan sapi potong di lahan sawah/pasang
surut. Lahan akan menghasilkan beras, dedak dan sekam, serta jerami
padi. Dedak dan jerami untuk konsumsi ternak, sekam untuk alas
kandang. Kotoran ternak dapat digunakan sebagai biogas untuk
pengeringan padi agar berkualitas bagus ataupun untuk keperluan
lainnya, sisa biogas dapat digunakan untuk kompos pada lahan tanam.
Model (3) Integrasi sapi pada perkebunan sawit. Perkebunan dan industri
perkebunan menghasilkan daun, pelepah dan tandan sawit serta
limbah sawit yang merupakan pakan sapi. Kotoran sapi dapat
digunakan sebagai pupuk pada lahan perkebunan.
Model (4) Integrasi sapi dengan perkebunan tebu. Perkebunan tebu dan industri
gula akan menghasilkan pucuk tebu, ampas tebu dan tetes yang
semuanya dapat dimakan sapi, sedangkan kotoran sapi dapat
digunakan untuk biogas dan pupuk.
Model-model integrasi butir 1-4 dapat dibangun oleh swasta secara
mandiri maupun dalam sistem inti-plasma dengan penerapan fairness policy dalam
berbagi keuntungan dan risiko secara proporsional.
Model (5) Peternakan sapi di padang rumput dengan sistem penggembalaan
maupun cut and carry yang hanya dapat dilakukan pada lahan-lahan
terbuka yang memang sudah ditetapkan statusnya sebagai lahan
peternakan. Tanpa adanya penetapan status lahan maka pasti akan
hilang.
Model (6) Peternakan sapi di kandang komunal atau pada kawasan peternakan
yang sesuai dengan kondisi setempat.
Perlu diingat bahwa dalam pelaksanaanya, sangat diharapkan agar lahan-
lahan yang digunakan untuk usaha tersebut status lahannya adalah memang untuk
lahan sawah, untuk lahan perkebunan jagung-kedelai, untuk lahan perkebunan
sawit, untuk lahan perkebunan tebu dan untuk lahan penggembalaan/peternakan.
Dengan adanya penetapan lahan tersebut maka pengontrolan terhadap biosekuriti
ternak akan lebih mudah ditangani sehingga kalau ada out-break penyakit akan
lebih mudah untuk ditangani.
12
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Badan Litbang Pertanian. 2005a. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kambing
Domba. Badan Litbang Pertanian Deptan
Badan Litbang Pertanian. 2005b. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Unggas.
Badan Litbang Pertanian Deptan.
Badan Litbang Pertanian. 2005c. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Sapi. Badan
Litbang Pertanian Deptan.
Ditjenak (Direktorat Jenderal Peternakan). 2006. Statistik Peternakan Tahun 2005.
Ditjenak, Jakarta.
HIPAPI. 2006. Ayam Pelung. Himpunan Peternak Ayam Pelung, Bandung.
Ilham, N. 2006. Analisa sosial ekonomi dalam rangka pencapaian swasembada daging
2010. Paper dipresentasikan pada whorkshop ”Strategi pencapaian kecukupan
RESTRUKTURISASI PETERNAKAN DI INDONESIA Chalid Talib, Ismeth Inounu, dan Abdullah Bamualim
13
daging 2010”, Juli 2006, Bogor. Direktorat Ruminansia, Ditjenak, Jakarta.
Unpublished.
Kementerian Negara Ristek-RI. 2006. Buku Putih : Penelitian Pengembangan dan
Penerapan IPTEK Bidang Pangan Tahun 2005 – 2025. Kementerian Negara
Ristek-RI, Jakarta.
PPSKI (Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia). 2007. Kesiapan Peternak dan
Industri Peternakan dalam Pelaksanaan PKD (Program Kecukupan Daging) 2010.
Paper disampaikan dalam Pertemuan ”Sumbangan ISPI pada PKD 2010”, Januari
2007”. Sekretaris Ditjenak, Jakarta. Unpublished.
Talib, C. 2006. Langkah strategis untuk pencapaian swasembada daging sapi pada tahun
2010. Paper dipresentasikan pada whorkshop ”Strategi pencapaian kecukupan
daging 2010”, Juli 2006, Bogor. Direktorat Ruminansia, Ditjenak, Jakarta.
Unpublished.
Talib.C. 2007. Model Pengembangan Kawasan Agribinis Sapi Potong. Paper
dipresentasikan dalam workshop ”Pembangunan Agribisnis Sapi Potong dalam
menunjang PKD (Program Kecukupan Daging) 2010”.Bogor, Januari 2007. Pusat
Penelitian Pengembangan Peternakan, Bogor.
Tangenjaya, B. dan A. Djajanegara. 2002. Peternakan Indonesia tahun 2020: Suatu Visi.
Agriculture and Rural Development Strategy Study, ADB – 3843.
14