Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN INDIVIDU

PRAKTEK LAPANG SOSIOLOGI PETERNAKAN


(10811102)

OLEH :

INDAH NURWIDAH
I011 18 1342

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia memiliki tiga pola pengembangan sapi potong. Pola pertama

adalah pengembangan sapi potong yang tidak dapat dipisahkan dari

perkembangan usaha pertanian, terutama sawah dan ladang. Pola kedua adalah

pengembangan sapi tidak terkait dengan pengembangan usaha pertanian. Pola

ketiga adalah pengembangan usaha penggemukan (fattening) sebagai usaha padat

modal dan berskala besar, meskipun kegiatan masih terbatas pada pembesaran

sapi bakalan menjadi sapi siap potong (Suryana,2009).

Pengembangan peternakan sapi potong dapat dilakukan melalui integrasi

ternak dan tanaman.Usaha ternak sapi dengan pola integrasi dapat memberikan

dampak sosial budaya dan ekonomi yang positif. Sistim integrasi ini sangat

menguntungkan karena ternak dapat memanfaatkan rumput dan hijauan pakan

yang tumbuh liar atau limbah pertanian sebagai pakan selain itu ternak

menghasilkan kotoran ternak sebagai pupuk organik untuk meningkatkan

kesuburan tanah. Sistim integrasi juga dapat menambah pendapatan petani dari

pembuatan kompos ( Rusnan dkk,2015)

Sapi potong merupakan penyumbang daging terbesar dari kelompok

ruminansia terhadap produksi daging nasional sehingga usaha ternak ini

berpotensi untuk dikembangkan sebagai usaha yang menguntungkan. Sapi potong

telah lama dipelihara oleh sebagian masyarakat sebagai tabungan dan tenaga kerja

untuk mengolah tanah dengan manajemen pemeliharaan secara tradisional

(Suryana, 2009).
Budaya beternak dan Kearifan Lokal. budaya merupakan pengetahuan yang

didapat seseorang untuk menginterprestasikan pengalaman dan menyimpulkan

perilaku sosial. Pada dasarnya budaya memiliki nilai-nilai yang senantiasa

diwariskan, ditafsirkan dan dilaksanakan seiring dengan proses perubahan sosial

kemasyarakatan. bahwa kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai

sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur sosial, religius

dan segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu

masyarakat yang wujudnya dibedakan menjadi 3 (tiga), yaitu wujud gagasan,

wujud aktivitas/tindakan, dan wujud artevak/karya. Unsur-unsur utama dari

komponen kebudayaan antara lain system peralatan dan unsur kebudayaan fisik,

sistem kekerabatan dan organisasi sosial, bahasa, kesenian, sistem kepercayaan,

sistem ilmu dan pengetahuan, serta sistem mata pencaharian. Perhatian para

ilmuwan pada sistem mata pencaharian ini terfokus pada masalah-masalah mata

pencaharian yang bersifat tradisional saja diantaranya berburu, bercocok tanam,

menangkap ikan dan beternak (Asriany,2007).

Maksud dan Tujuan

Maksud dilakukanya praktek lapang sosiologi peternakan mengenai

peran kebudayaan masyarakat dalam usaha peternakan sapi potong agar

menegtahui bagaimana peran kebudayaan masyarakat peternakan sapi potong

pada masyarakat pedesaan.

Adapun tujuan dilakukanya praktek lapang adalah agar masyarakat

mampu mengetahui peran kebudayaan masyarakat dalam usaha peternakan sapi

potong
TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan umum sapi potong

Domestikasi sapi mulai dilakukan sekitar 400 tahun SM. Sapi

diperkirakan berasal dari Asia Tengah, kemudian menyebar ke Eropa, Afrika dan

seluruh wilayah Asia. Menjelang akhir abad ke-19, sapi Ongole dari India

dimasukkan ke pulau Sumba dan sejak saat itu pulau tersebut dijadikan tempat

pembiakan sapi Ongole murni. Secara garis besar, bangsa-bangsa sapi (Bos) yang

terdapat di dunia ada dua, yaitu (1) kelompok sapi Zebu (Bos indicus) atau jenis

sapi yang berpunuk, yang berasal dan tersebar di daerah tropis serta (2) kelompok

Bos primigenius sapi tanpa punuk, yang tersebar di daerah sub tropis atau dikenal

Bos Taurus Seiring perkembangan teknologi sampai sekarang diperkirakan

terdapat lebih dari 300 bangsa sapi potong. Semua sapi domestik berasal (Bos

taurus dan Bos indicus). Keluarga baru yang termasuk semua tipe sapi domestik

dan famili Bovidae. Klasifikasi sapi secara zoologis adalah Phylum: Chordata;

Clas: Mamalia; Ordo : Artiodactyla; Sub Ordo: Ruminansia; Family : Bovidae ;

Genus: Bos dan Species : Bos taurus dan Bos indicus (Savitri, 2013).

Dalam menyediakan kebutuhan daging sapi secara nasional.Strategi dan

implementasi pola pengembangan sapi potong secara metodologi harus

memperhatikan karakteristik sistem produksi Faktor kunci pengembangan

peternakan sapi potong adalah perbaikan sistim produksi yang telah ada berbasis

kelembagaan kelompok yang memberdayakan ekonomi peternak (Sodiq dan

Setianto, 2005).
Sapi potong merupakan penyumbang daging terbesar dari kelompok

ruminansia terhadap produksi daging nasional sehingga usaha ternak ini

berpotensi untuk dikembangkan sebagai usaha yang menguntungkan. Sapi potong

telah lama dipelihara oleh sebagian masyarakat sebagai tabungan dan tenaga kerja

untuk mengolah tanah dengan manajemen pemeliharaan secara tradisional. Pola

usaha ternak sapi potong sebagian besar berupa usaha rakyat untuk menghasilkan

bibit atau penggemukan, dan pemeliharaan secara terintegrasi dengan tanaman

pangan maupun tanaman perkebunan. Pengembangan usaha ternak sapi potong

berorientasi agribisnis dengan pola kemitraan merupakan salah satu alternatif

untuk meningkatkan keuntungan peternak (Suryana,2009).

Sapi potong adalah sapi yang dipelihara dengan tujuan utama sebagai

penghasil daging, sehingga sering disebut sebagai sapi pedaging . Sapi potong di

Indonesia merupakan salah satu jenis ternak yang menjadi sumber utama

pemenuhan kebutuhan daging setelah ayam. Hal tersebut bisa dilihat dari

konsumsi daging ayam 64%, daging sapi 19%, daging babi 8%, daging lainnya

9% (BPS, 2011). Untuk memenuhi permintaan daging sapi tersebut dipenuhi dari

tiga sumber yaitu: (1) peternakan rakyat sebagai tulang punggung; (2) para

importir sapi potong yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Feedloters

Indonesia (APFINDO); (3) para importer daging yang tergabung dalam Asosiasi

Pengusaha Importir Daging Indonesia (ASPIDI). kebutuhan daging sapi di

Indonesia dipasok dari tiga sumber: yaitu peternakan rakyat, peternakan komersial

dan impor. Usaha peternakan rakyat merupakan tumpuan utama, sehingga

dibutuhkan usaha-usaha untuk meningkatkan populasi dan produktivitas sapi

potong (Asnawi,2014)
Usaha ternak sapi berpotensi untuk dikembangkan sebagai usaha yang

menguntungkan. Ternak sapi merupakan salah satu komoditas ternak penghasil

daging terbesar dari kelompok ternak ruminansia terhadap produksi daging

Nasional . Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh peternak sapi tradisional

adalah produktivitas ternak sapi yang rendah. Pemeliharaan sapi dengan sistem

tradisional menyebabkan kurangnya peran peternak dalam mengatur

perkembangbiakan ternaknya. Peran ternak ruminansia dalam masyarakat tani

bukan sebagai komoditas utama (Hasibuan,2014).

Usaha peternakan sapi potong

Usaha peternakan di Indonesia didominasi oleh peternakan rakyat yang

berskala kecil. Konsumsi daging sapi di Indonesia terus mengalami peningkatan.

Namun peningkatan tersebut belum diimbangi dengan penambahan produksi yang

memadai. Laju peningkatan populasi sapi potong relatif lamban, yaitu 4,23% pada

Pemerintah memproyeksikan tingkat konsumsi daging pada tahun 2010 sebesar

2,72 kg/kapita/tahun sehingga kebutuhan daging dalam negeri mencapai 654.400

ton dan rata-rata tingkat pertumbuhan konsumsi 1,49%/tahun. Indonesia memiliki

tiga pola pengembangan sapi potong. Pola pertama adalah pengembangan sapi

potong yang tidak dapat dipisahkan dari perkembangan usaha pertanian, terutama

sawah dan ladang. Pola kedua adalah pengembangan sapi tidak terkait dengan

pengembangan usaha pertanian. Pola ketiga adalah pengembangan usaha

penggemukan (fattening) sebagai usaha padat modal dan berskala besar, meskipun

kegiatan masih terbatas pada pembesaran sapi bakalan menjadi sapi siap potong

(Suryana,2009).
kebijakan pengembangan usaha ternak sapi potong ditempuh melalui dua

jalur. Pertama, ekstensifikasi usaha ternak sapi potong dengan menitikberatkan

pada peningkatan populasi ternak yang didukung oleh pengadaan dan peningkatan

mutu bibit, penanggulangan dan parasit ternak, peningkatan penyuluhan, bantuan

perkreditan, pengadaan dan peningkatan mutu pakan atau hijauan dan pemasaran.

Kedua, intensifikasi atau peningkatan produksi per satuan ternak melalui

penggunaan bibit unggul, pakan ternak, penerapan menejemen yang baik

(Wahyu,2018).

Usaha peternakan memerlukan modal yang besar, terutama untuk

pengadaan pakan dan bibit. Biaya yang besar ini sulit dipenuhi oleh peternak pada

umumnya yang memiliki keterbatasan modal. Pengembangan usaha ternak sapi

potong berorientasi agribisnis dengan pola kemitraan diharapkan dapat

memberikan kesejahteraan masyarakat peternak khususnya, dan perekonomian

nasional umumnya, Hal ini ditunjukkan oleh manfaat ekonomi yang dihasilkan

dari kegiatan ini yang bernilai positif, yang berarti bahwa pengembangan

peternakan sapi potong dalam negeri mampu menghasilkan surplus ekonomi.

(Suryana,2009)

Maju dan mundurnya usaha ternak sapi potong tergantung cara

pemeliharaan dan perkembangan ternak. Menurut Rusdiana, dkk., (2010) bahwa,

ternak sapi potongmempunyai peranan yang kompleks di dalam sistem pertanian

di Indonesia, sebagai fungsi ekonomi dan biologis, ternak sapi potong telah

dikenal sejak lama, sapi potong merupakan salah satu ternak yang diharapkan

sumbangannya guna meningkatkan pendapatan petani dan sekaligus memberikan

peranan untuk pertumbuhan ekonomi bagi petani di pedesaan. Tersedianya


hijauan pakan ternak yang cukup jumlah dan mutunya, merupakan salah satu

faktor yang dapat menentukan keberhasilan usaha dalam pengembangan ternak

sapi potong, baik bersekala besar, sedang maupun kecil (Dwiyanto, dkk., 2010)

Prospek pengembangan usaha ternak sapi potong lokal di Idonesia dapat

memenuhi kebutuhan kosumen daging, yang perlu dilakukan adalah manajemen

pemeliharaan, pengendalian penyakit, cara perkawinan melalui IB atau ternak

pejantan Impor, perbanyak bibit, perbanyakan anak, pembesaran pejantan dan

betina produktif secara nasional. Selain untuk meningkatkan pendapatan dan

kesejahteraan petan.i, dan juga dapat meningkatkan devisa negara, sebagai ternak

ekspor-impor ke negara-negara luar. Kualitas dan produktivitas sumberdaya

peternak, sebagai langkah awal yang dapat mewujudkan peningkatan populasi

ternak sapi potong lokal di Indonesia terutama dipeternak kecil di setiap pedesaan.

Kegiatan pengembangan usaha ternak sapi potong agar populasinya bertambah

banyak (Rusdiana,dkk,2016).

Nilai budaya dan kearifan lokak dalam usaha peternakan sapi.

Dalam perkembangannya masyarakat melakukan adaptasi terhadap

lingkungannya dengan mengembangkan suatu kearifan yang berwujud

pengetahuan yang dipadu dengan norma adat, nilai budaya dan aktivitas

mengelola lingkungan guna mencukupi kebutuhannya. Adanya berbagai manfaat

positif kearifan lokal, reorientasi dan peran kearifan lokal sangat patut

dipertimbangkan karena mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan program

peternakan berkelanjutan dan perludilakukan kajian lebih mendalam tentang

bentuk-bentuk kearifan lokal dalam pemeliharaan.(Asriani,2007)


Budaya beternak dan Kearifan Lokal, budaya merupakan pengetahuan

yang didapat seseorang untuk menginterprestasikan pengalaman dan

menyimpulkan perilaku sosial. Pada dasarnya budaya memiliki nilai-nilai yang

senantiasa diwariskan, ditafsirkan dan dilaksanakan seiring dengan proses

perubahan sosial kemasyarakatan (Bungin,2010)

Nilai-nilai budaya yang dianut oleh masyarakat sangat menentukan

pembentukan karakter seseorang. Karakter perlu diperkuat karena

dipertimbangkan oleh kreditur untuk menilai kelayakan calon debitur. Sementara

persyaratan lainnya agak sulit dipenuhi oleh peternak seperti: collateral, capacity,

dan capital Persepsi peternak terhadap nilai-nilai budaya seperti: kejujuran

(alempureng), kecendekiaan (amaccang), kepatutan (asitinajang), keteguhan

(agettengeng), usaha (reso) dan harga diri (siri’) adalah sangat positif dan setuju

bahwa keenam hal tersebut dianggap sangat menentukan kemampuannya dalam

mengakses pembiayaan. Budaya lokal tersebut perlu dijaga, dibina dan diperkuat

untuk meningkatkan kepercayaan pemberi pinjaman baik lembaga formal maupun

informal sehingga akses pembiayaan dapat meningkat (Asnawi,dkk,2017).

Kearifan lokal atau kelompok tertentu yang sifatnya lokal atau menurut

budaya tertentu. Jadi, kearifan itu tidak universal sifatnya tetapi lokal. Singkat

kata, perbuatan atau tindak tanduk masyarakat lokal tertentu merupakan tradisi

tetapi mempunyai unsur kepiawaian lokal (local expertice) misalnya dalam

bertingkah laku atau memelihara lingkungan seperti menebang kayu dengan

menggunakan beliung. Kearifan lokal itu tidak ditransfer kepada generasi penerus

melalui pendidikan formal atau non formal tetapi melalui tradisi lokal. Kearifan

tersebut syarat dengan nilai-nilai yang menjadi pegangan penuntun, petunjuk atau
pedoman hidup untuk bertingkah dan berinteraksi dengan lingkungannya

(Arlizon,2011).

Peran kebudayaan dalam usaha peternakan sapi potong.

kebudayaan daerah sama dengan konsep suku bangsa. Suatu kebudayaan

tidak terlepas dari pola kegiatan masyarakat. Keragaman budaya daerah

bergantung pada faktor geografis. Semakin besar wilayahnya, maka makin

komplek perbedaan kebudayaan satu dengan yang lain. Jika kita melihat dari

ujung pulau Sumatera sampai ke pulau Irian tercatat sekitar 300 suku bangsa

dengan bahasa, adat-istiadat, dan agama yang berbeda. budaya lokal juga

merupakan bagian dari sebuah skema dari tingkatan budaya hierakis bukan

berdasarkan baik dan buruk. Selain itu, kebudayaan lokal melengkapi kebudayaan

regional, dan kebudayaan regional adalah bagian-bagian yang hakiki dalam

bentukan kebudayaan nasional. Melalui nilai kearifan lokal merupakan upaya

untuk mempertahakan sebuah budaya dalam suatu bangsa (Prayogi,2016).

Nilai budaya merupakan konsepsi-konsepsi yang hidup dalam pikiran

sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang dianggap bernilai dalam

hidup Nilai budaya mempunyai bentuk yang didasarkan pada beberapa aspek.

nilai budaya berdasarkan pola hubungan manusia, yaitu hubungan antara manusia

dengan Tuhan, alam, masyarakat, manusia lain, dan diri sendiri. Kelima pola

hubungan manusia tersebut akan membentuk suatu kebudayaan tertentu dan

melahirkan nilai-nilai tertentu dalam hubungannya. Nilai budaya mempunyai

kedudukan dan fungsi yang strategis dan vital bagi kehidupan manusia.

kedudukan dan fungsi nilai budaya menjadi lima jenis, yakni sebagai penggerak,
pengendali, proyeksi dan utopia, tolok ukur, serta sebagai rujukan ucapan,

tindakan, perbuatan, dan perilaku manusia (Rukesi dan Sunoto,2017).

Masyarakat desa masih sangat kental dengan budaya lokal atau tradisi

yang bahkan mempengaruhi cara mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup, cara

bertani dan beternak. kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan

dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijasikan milik

diri manusia dengan cara belajar. Hal tersebut berarti hampir seluruh tindakan

manusia adalah kebudayaan karena sedikit tindakan manusia yang tidak perlu

dibiasakan dengan cara belajar, misalnya naluri (makan, minum, berjalan dengan

kedua kaki). Masyarakat desa dalam beternak sapi potong juga dipengaruhi oleh

kebudayaan yang mereka miliki, misalnya pola mereka beternak sapi potong

mengikuti cara beternak seperti orang tua mereka atau generasi terdahulunya.

Masyarakat Muraharjo juga mempuntai persepsi bahwa beternak sapi hanya

sebagai pekerjaan sampingan di luar bertani. Hal ini menjadi penghambat uasaha

beternak sapi potong yang seharusnya dapat menunjang kehidupan ekonomi

mereka (Purwanto,2013).

Nilai-nilai budaya yang dianut masyarakat peternak di daerah pedesaan

melekat di dalam dirinya dan mempengaruhi karakternya masing-masing baik

untuk dirinya maupun yang berkaitan dengan interaksinya dengan orang lain.

Budaya lokal yang diidentifikasi dalam penelitian ini dikaitkan dengan

aksesibilitas pembiayaan baik pembiayaan formal maupun informal. Hal ini

menjadi penting karena beberapa persyaratan perbankan sulit dipenuhi terkait

dengan penilaian sesuai konsep 5C menurut Rivai et al., (2007) terutama

ketersediaan collateral sebagai agunan, kapasitas usahanya (capacity) dan modal


yang dimiliki(capital), sehingga peternak perlu memperkuat karakter (character)

yang sangat ditentukan nilai-nilai budaya lokal yaitu Kejujuran (allempureng),

Kecendekiaan (amaccang), Kepatutan (asitinajang), Keteguhan (agettengeng),

Usaha (reso), Harga diri (siri’) (Asnawi,dkk,2017).

Anda mungkin juga menyukai