Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

“AGROEKOSISTEM DAN BIONOMIKA TERNAK TERAPAN”


Tentang :
“Dampak Kebijakan Impor Daging Kerbau India Terhadap
Stabilitas Harga Daging Sapi dan Keberlanjutan Peternakan Sapi
Lokal”

Oleh:

NAMA : KHAIRUNNISAH
NIM : I2D020003
SEMESTER : 3 (TIGA)

MANAGEMEN SUMBER DAYA PETERNAKAN


FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS MATARAM
2020-2021
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia merupakan salah satu aset terpenting dalam pembangunan suatu bangsa.
Sebagai usaha pemenuhan kebutuhan hidupnya, manusia selalu berusaha untuk mencari dan
menghasilkan ysng terbaik. Menurut Abraham maslow, manusia memiliki lima tingkatan
kebutuhan yang akan berusaha untuk terpenuhi, antara lain;(1) kebutuhan fisiologis adalah
kebutuhan tubuh manusia untuk mempertahankan hidup yang meliputi makana, air, udara, rumah
dan pakaian. (2) kebutuhan rasa aman adalah kebutuhan perlindungan bagi fisik manusia. (3)
kebutuhan sosial adalah kebutuhan atas perlunya manusia berhubungan dengan satu dengan yang
lainnya.

Tingkat urbanisasi yang tinggi di Indonesia hingga diproyeksikan mencapai 66% pada
tahun 2035 berimplikasi pada kebutuhan akan penyediaan energy dan pangan (Agung, 2017).
Terkait dengan penyediaan pangan, salah satu dampaknya adalah semakin meningkatnya
konsumsi daging di kota-kota besar (Devi et al., 2014). Kondisi ini terlihat secara nyata pada
semakin meningkatnya pengeluaran masyarakat untuk mengkonsumsi dagig sapi hingga lebih
dari Rp. 200.000,-/kap/thn pada tahun 2015 (Statistik Peternakan, 2016). Kenaikan inilah yang
pada akhirnya berpengaruh pada kenaikan harga daging sapi di wilayah lain di seluruh Indonesia.
Tingginya harga daging sapi juga berpengaruh pada kenaikan harga daging lain serta telur ayam
karena terjadi pergeseran konsumsi dari daging sapi ke produk tersebut sebagai alternative
penyedia protein hewani (Ilham,2009). Oleh karena itu, kebijakan untuk mengendalikan harga
daging menjadi prioritas bagi setiap periode pemerintahan di Indonesia untuk menjamin akses
pangan bagi seluruh masyarakat khususnya daging sapi.

Pada tahun 2016, harga daging sapi mecapai lebih dari Rp. 120.000,-/kg mengakibatkan
pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mengatur Harga Eceran Tertinggi (HET). Kebijakan
tersebut diatur melalui PERMEDAG Nomor 27/M-DAG/PER/5/2007 (Daging beku Rp. 80.000,-
,Daging sapi segar/chilled: paha depan 98000, paha belakang 105000, Sandung lamur 80000,
Tetelan 50000). Dengan peraturan tersebut maka pemerintah berkewajiban melakukan intervensi
pada pasar jika harga daging sapi di pasaran melampaui HET. Kebijakan jangka pendek untuk
mengolah harga daging di pasaran adalah dengan membuka peluang impor daging.
Kebijakan impor daging sapi dalam jangka pendek memang diharapkan dapat
menurunkan harga daging secara cepat. Namun demikian, efektifitas impor daging sapi juga
dalam beberapa hal perlu dipertanyakan karena harga daging sapi di pasar internasional tidak
selalu mampu menekan harga daging di pasar domestic karena Indonesia telah menjadi et
importer daging sapi (Ilham, 2009). Dengan produksi daging sapi nasional yang sangat kecil
dibandingkan permintaan konsumen , daging sapi impor sangat sulit untuk mempengaruhi harga
daging nasional (Pakpahan, 2012). Sementara itu, rata-rata laju konsumsi mencapai 4,4%/tahun
dan laju populasi ternak sapi potong mencapai 2,3%/tahun (Priyanto, 2005). Laju konsumsi
sebagai indikasi pertumbuhan populasi ternyata mencapai dua kali lipat dari laju penyediaan
pangan berupa populasi sapi potong. Kekurangan daging sapi akan selalu terjadi jika tidak ada
perubahan mendasar pada pembangunan di sektor budidaya ternak sapi potong (on farm).

Selain mendorong kebijakan mengimpor daging sapi, pada tahun 2016, pemerintah
mengeluarkan kebijakan yang berbeda dari tahun sebelumnya dengan cara mengimpor daging
kerbau dari India. Sebagai salah satu Negara eksportir daging kerbau terbesar di dunia, India
mengekspor 70% daging kerbau yang mereka produksi (Devi, 2014). India juga memiliki
peranan penting dalam memasok kebutuhan konsumsi daging kerbau di Asia Tenggara meskipun
konsumsi daging kerbau hanya sebesar 5,5% dari total konsumsi daging (Nanda, 2003). Namun,
dengan pertambahan penduduk Asia Tenggara yang cukup besar, daging kerbau berpotensi
menjadi sumber pangan hewani alternative.

Konsumsi daging kerbau sebenarnya bukan hal yang asing bagi beberapa kelompok
masyarakat di Indonesia. Hal ini dipengaruhi oleh peran daging kerbau yang sangat lekat dengan
budaya dan adat istiadat pada masyarakat tersebut (Burhanuddin, 2002). Ini menunjukkan bahwa
sebagai penduduk Indonesia telah terbiasa mengkonsumsi daging kerbau meskipun tingkat
konsumsi daging kerbau masih sangat rendah. Kondisi ini cukup berbeda denga Malaysia yang
sangat dominan dalam mengkonsumsi daging kerbau dibandingkan dengan Indonesia (FAO,
2007).Data BPS menunjukkan bahwa konsumsi daging kerbau mencapai lebih dari 30 ton per
tahun sejak tahun 2010 (BPS, 2011). Dengan tren produksi daging kerbau domestic ang selalu
menurun dalam 20 tahun terakhir (FAO, 2017),stok daging kerbau masih cukup untuk kebutuhan
konsumsi daging kerbau perkapita penduduk yang rendah dan tidak merata di seluruh wilayah
Indonesia. Saat ini, pusat-pusat konsumsi daging kerbau saat ini berada di Sumatra, Banten, Jawa
Barat, Jawa Timur, NTB dan Sulawesi Selatan. Dengan adanya impor daging kerbau, maka
kemungkinan terjadi pergeseran perilaku konsumen daging sapi karena daging impor tersebut
didistribusikan ke pasar-pasar umum sebagai respon atas kenaikan harga daging sapi.

Kajian ini bertujuan untuk melihat dampak impor daging kerbau melalui pedekatan study
literatur dan data sekunder. Pada awalnya, kebijakan impor daging kerbau dikeluarkan sebagai
respon terhadap kenaikan harga daging sapi. Namun demikian, tentu saja ada dampak-dampak
lain yang muncul dengan adanya kebijakan ini selain perubahan harga daging sapi di pasaran.
Kebijakan baru sangat munkin berdampak pada perubahan perilaku konsumen, persepsi, maupun
pla pengambilan keputusan masyarakat.

B. Kerjasama Indonesia-India dalam ekspor-impor daging kerbau pada tahun 2016-2018

Indonesia adalah pasar terbesar untuk sapi Australia, mengimpor lebih dari 700.000 ekor.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, harga Daging Sapi Australia telah sangat meningkat,
mencapai ketinggian yang tidak dapat diterima. Karena hal ini, Pemerintah Indonesia menyetujui
daging sapi India beku untuk diimpor, yang ternyata jauh lebih ekonomis daripada daging
Australia. Bukan hanya industri daging Australia yang merasakan goncangan ekspor daging sapi
India, tetapi juga bisnis pakan ternak di Indonesia. Pakan ternak di Indonesia mengandalkan
ternak hidup dari Australia untuk operasi pemberian makan hewan yang digunakan dalam
peternakan hewan intensif untuk menyelesaikan ternak.

India, dengan pertanian yang luas dan beragam, merupakan salah satu produsen sereal,
susu, gula, buahbuahan dan sayuran, rempah-rempah, telur dan produk makanan laut terkemuka
di dunia. Pertanian India terus menjadi tulang punggung masyarakat kita dan menyediakan mata
pencaharian bagi hampir 50 persen populasi kita. India mendukung 17,84 persen dari populasi
dunia, 15% dari populasi ternak dengan hanya 2,4% dari tanah dunia dan 4% sumber daya air.
Oleh karena itu, inovasi dan upaya berkelanjutan menuju produktivitas, manajemen pra & pasca
panen, pemrosesan dan penambahan nilai, penggunaan teknologi dan penciptaan infrastruktur
merupakan keharusan bagi pertanian India.

Berbagai penelitian tentang buah-buahan dan sayuran segar, perikanan di India telah
menunjukkan persentase kerugian mulai dari sekitar 8% hingga 18% karena manajemen
pascapanen yang buruk, tidak adanya rantai dingin dan fasilitas pemrosesan. Oleh karena itu,
pemrosesan agro dan ekspor pertanian adalah bidang utama dan ini merupakan masalah
kepuasan bahwa peran India dalam ekspor global produk pertanian terus meningkat. India saat
ini berada di peringkat kesepuluh di antara eksportir utama secara global sesuai data
perdagangan WTO untuk 2016. Pangsa India dalam ekspor global produk pertanian telah
meningkat dari 1% beberapa tahun yang lalu, menjadi 2,2% pada 2016.

Indonesia telah mengeluarkan izin untuk tambahan 100.000 ton daging kerbau India,
yang berlaku hingga akhir 2018, sebagai bagian dari upaya berkelanjutan untuk menjaga harga
daging sapi tetap terjangkau. Jika dimanfaatkan sepenuhnya, izin mencerminkan peningkatan
lebih lanjut dalam persaingan di pasar senilai $ 1,09 miliar dalam penerimaan ekspor untuk
industri ternak Australia. Indonesia adalah mitra dagang utama daging sapi dengan Australia.
Lokasinya yang ideal untuk perdagangan ekspor sapi utara dan konsumsi daging sapi di
Indonesia diperkirakan akan meningkat 160.000 ton per tahun pada tahun 2021.

Pada 2017, Indonesia menerima 60% dari ekspor sapi hidup Australia, merupakan pasar
ekspor daging sapi terbesar kelima dan merupakan tujuan utama ekspor jeroan sapi. Namun, izin
baru harus dipertimbangkan dalam konteks kekurangan daging sapi secara keseluruhan di
Indonesia, dengan ternak lokal tidak dapat memenuhi permintaan di negara berpenduduk 264
juta orang. Di pasar saat ini, biaya ternak di Australia - karena pembangunan kembali kawanan
ternak yang sedang berlangsung - memiliki dampak yang jauh lebih besar pada perdagangan
daging sapi hidup dan kotak ke Indonesia daripada daging kerbau India tambahan yang
memasuki pasar.

Peran India dalam perdagangan pertanian pangan global lebih dominan dari pada
sebelum tahun 1990-an. Sampai tahun 1990-an perdagangan pertanian secara formal diatur oleh
tarif tinggi dan non-perdagangan, seperti pembatasan kuantitatif dan disalurkan melalui agen
perdagangan umum. Kebijakan ekspor pertanian India telah diliberalisasi paling banyak sejak
1994. Reformasi dilakukan dengan pengurangan produk yang dikendalikan oleh parastatal,
pengurangan kuota ekspor, dan penghapusan harga ekspor minimum.

Pasar ekspor untuk daging kerbau India sangat ditentukan oleh dua faktor. Pertama,
karena daging sapi sebagian besar diproduksi dari kerbau culled water yang digunakan untuk
keperluan susu, itu adalah produk yang relatif murah yang sangat menarik bagi konsumen
berpenghasilan rendah, terutama di pasar negara berkembang. Konsumen seperti itu sering
menunjukkan kecenderungan yang relatif tinggi untuk membelanjakan pendapatan baru untuk
makanan bernilai tinggi, seperti daging, serta responsif tinggi terhadap perubahan harga makanan
dan barang-barang lainnya. Pada titik ini, sangat sedikit pemberian makanan komersial kerbau di
India untuk menghasilkan produk berkualitas lebih tinggi untuk pasar negara maju, India juga
tidak dapat memastikan bahwa produknya memenuhi standar sanitasi yang lebih ketat dan bebas
penyakit dari negara maju. pasar Negara.

Impor Daging Kerbau India

Sumber:http://agriexchange.apeda.gov.in/product_profile/exp_f_india.
aspx?categor ycode=0401, 2016-2017 (diolah)

Keterangan : *Nilai dalam Rs. Lakh


*Kuantitas dalam Ton

Impor daging kerbau yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat merupakan
niat baik pemerintah dengan memberikan kesempatan pada rakyatnya agar dapat mengkonsumsi
protein hewani dengan harga lebih murah memang patut diapresiasi. Sementara itu agar sapi-sapi
milik peternak dapat berkembang biak dengan baik, terutama untuk menghindari penyembelihan
besarbesaran dari sapi lokal karena meningkatnya permintaan akan daging sapi, sehingga
menyebabkan adanya penyembelihan sapi betina produktif. Berdasarkan data dari ISIKHNAS
(Integrated Sistem Informasi Kesehatan Hewan Nasional), pemotongan ternak betina produktif
masih tinggi, dimana pada tahun 2015 sebesar 23.024 ekor dan pada tahun 2016 sebesar 22.278
ekor. Oleh karena itu, pemerintah harus membenahi dengan mendorong industri peternakan sapi
dan kerbau lebih ke arah hulu yaitu ke arah pembibitan dan pengembangbiakan agar produksi
sapi lokal meningkat, bukan malah menggenjot impor dari luar.

Kebijakan impor daging kerbau asal India sesungguhnya bertentangan dengan putusan
Mahkamah Konstitusi yang berarti melanggar Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan
Hewan. Tanggal 7 Februari 2017, Mahkamah Konstitusi (MK) telah membacakan Putusan
Perkara No. 129/PUUXIII/2015 terkait Pengujian Materiil Pasal 36C ayat (1) dan ayat (2), Pasal
36D ayat (1) dan Pasal 36E ayat (1) UU No. 41/2014 tentang Perubahan Atas UU No. 18/2009
tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. PP Nomor 4 Tahun 2014 Pasal 6 ayat 1
memungkinkan pemerintah memasukkan produk hewan dari negara yang belum bebas penyakit
mulut dan kuku (PMK) atau telah memiliki program pengendalian resmi PMK yang diakui
badan kesehatan hewan dunia.
PEMBAHASAN

A. Dampak impor daging kerbau terhadap ekonomi dan politik di Indonesia

Latar belakang kebijakan import daging sapi dari India semata-mata dilakukan untuk
menambah pasokan di Indonesia, dan masyarakat memiliki pilihan yang lebih banyak. Tak hanya
daging kerbau dan jeroan, pemerintah juga telah membuka impor daging sapi beku. Karena
untuk harga daging sapi segar diharga Rp. 120.000/kg, hanya bisa dinikmati kalangan pelaku
usaha. Jangka pendeknya untuk menekan dan menstabilakan harga daging.

Untuk menekan harga daging, pemerintah telah membuka kuota impor daging sapi jeroan
sebanyak 27.400 ton serta daging kerbau sebanyak 10.000 ton. Import besar-besaran
dimaksudkan untuk menurunkan harga daging sesuai instruksi Presiden di kisaran Rp80.000/kg.
Sementara jangka panjangnya adalah untuk mencapai swasembada daging. Bila impor
benarbenar terjadi nasib para peternak lokal di daerah daerah kiranya pemerintah pusat dan
pemerintah daerah tetap memperhatikan kegiatan usahanya bukan tidak mempedulikannya dan
hanya memperhatikan kegiatan impor daging.

Impor pada saat ini mempunyai kecenderungan didukung oleh kurs rupiah yang
menguat. Hal itu dikarenakan bahwa kurs sangat diperlukan dalam melakukan transaksi pemba-
yaran internasional atau keluar negeri. Jika kurs rupiah melemah maka harga daging sapi yang
diimpor akan semakin mahal, tetapi jika kurs rupiah menguat maka harga daging sapi impor
semakin murah. Secara teoritis, dengan merosotnya nilai tukar rupiah maka harga daging sapi
impor cenderung meningkat yang berakibat berkurangnya volume impor daging sapi yang
masuk, dan sebaliknya. Berdasarkan data harga daging sapi yang didapat menunjukkan bahwa
dengan merosotnya nilai tukar rupiah ada kecenderungan harga daging impor semakin menurun.
Keadaan tersebut menunjukkan bahwa harga daging impor merupakan harga yang dapat
dipermainkan oleh negara eksportir, atau faktor lainnya, sehingga peningkatan harga (akibat
depresiasi rupiah) tidak mampu menurunkan jumlah impor daging yang masuk ke Indonesia.

Mengacu kepada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 96 Tahun 2018 tentang Harga
Acuan Pembelian di Tingkat Petani dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen, harga
daging beku baik sapi maupun kerbau maksimal Rp 80 ribu per kilogram. Kebijakan impor
daging kerbau beku sebagai alternatif pilihan masyarakat yang ingin memperoleh harga lebih
rendah. Sebab, rata-rata harga daging sapi segar di dalam negeri tergolong tinggi. Namun, hal itu
disebabkan oleh tingginya biaya produksi sehingga membuat posisi peternak semakin terjepit.
Berdasarkan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis, secara nasional harga daging sapi kualitas
I dihargai Rp 119.550 per kilogram sedangkan kualitas II sebesar Rp 110.050 per kilogram.

Sejak tahun 2013, pemerintah menggunakan patokan harga sebagai indikator


keberhasilan pembangunan sapi potong. Hal ini tersirat dari kebijakan Permendag No.669/2013.
Namun juga, sesungguhnya indikator harga produk merupakan insentif bagi peternak dalam
mengembangkan usahanya. Menurut hasil kajian Tawaf, bahwa harga suatu produk dapat
menerangkan mengenai peningkatan skala suatu usaha peternakan. Artinya, peternak akan
mengembangkan usahanya jika harga hasil produksinya menguntungkan. Faktanya, harga yang
dikehendaki pemerintah jauh di bawah harga pokok produksi peternak. Berbagai teori, konsep
dan kebijakan digulirkan bahkan dana triliunan rupiah digelontorkan pemerintah untuk
merealisasikan harga yang ditetapkan pemerintah. Sejak pembatasan kuota impor sapi bakalan,
dugaan kartel, pembebasan impor daging dan jeroan serta moratorium SPR (Sentra Peternakan
Rakyat), merealisasikan impor daging India, perubahan bobot impor sapi bakalan dan rasio
impor sapi bakalan dengan indukan, semua kebijakan tersebut ternyata tidak mampu
menurunkan harga seperti yang dikehendaki.

Bahkan yang terjadi sebaliknya, importasi sapi bakalan menurun sampai 50%, sementara
impor daging meningkat, beberapa perusahaan penggemukan sapi impor menghentikan
usahanya, importasi daging India meningkat, beberapa perusaahaan feedlot milik WNI di
Australia dijual, pemotongan betina produktif meningkat mencapai 1 juta ekor/tahun, dan
pemotongan sapi-sapi lokal menurun tajam dan harga daging tetap bertengger stabil tinggi. Di
sentra konsumen, Peternak rakyat, tidak lagi menguasai pangsa pasar daging sapi di dalam
negeri. Bahkan menurut penelitian Pataka bahwa akibat kondisi yang tidak kondusif selama ini
usaha peternak rakyat merugi sekitar Rp30 triliunan. Hal ini terutama disebabkan meningkatnya
biaya produksi yang tidak diimbangi oleh kenaikan harga hasil produksinya. Bila kondisi ini
dibiarkan tidak mustahil negeri ini akan masuk pada kondisi ‘food trap’ pangan daging
sapi/kerbau.
B. Dampak pada Konsumen Daging

Untuk memahami dampak sosial dari sebuah kebijakan maka kita perlu mempelajari
business prosess dari sebuah objel kebijakan tersebut. Salah satu pendekatan untuk
mengidentifikasi business process penyediaan daging adalah melalui pendekatan agricultural
value chain management atau lebih khusus dengan model manajemen rantai nilai ternak atau
livestock value chain management (LVCM) khususnya daging sapi (Sullivan dan Diwyanto,
2007). Dalam kajian ini, LVCM daging sapi dipilih karena munculnya kebijakan impor daging
kerbau diawali dari kenaikan harga daging sapi. Selain itu, daging kerbau memiliki karakteritik
yang mirip dengan daging sapi karena termasuk dalam kelompok bovine meat. Konsep value
chain management pada dasarnya merupakan pengembangan dari apa yang disebut chain
marketing (Guntoro dan Lund, 2013). Dalam konsep ini, perpidahan komoditas dari produsen
tidak hanya sekedar perpindahan barang namun juga diikuti dengan peningkatan nilai tambah
dari barang tersebut. Dalam konteks daging sapi, terdapat beberapa actor dalam LVCM yaitu
peternakan selaku prosedur ,pedagang, jagal, penjual daging,pengusaha produk olahan daging,
dan konsumen. Secara sederhana, peningkatan nilai tambah adalah proses dari komoditas sapi
potong menjadi daging daging beku, chilled meat atau produk olahan daging yag lain.

Jika melihat alur yang panjang dalam sebuah value chain, maka dapat diasumsikan
bahwa terdapat banyak hal yang terlibat dalam alur tersebut baik para pelaku maupun investasi.
Dagimg merupakan produk yang dihasilkan pada tahapan lanjut dari komoditas ternak. Sehingga
kebijakan impor daging merupak kebijakan untuk menambah pasokan daging ditengah tahapan
LVCM untuk memastikan ketersediaan bahan baku pada tahapan LVCM selanjutnya. Daging,
dalam bisnis prosesnya, bukan merupakan awal dari sebuah LVCM namun berada pada posisi di
tengah. Sehingga impor daging tentu memotong proses LVCM dari tengah menuju akhir (hilir)
di tingkat konsumen. Akibatnya segala titik LVCM sebelum daging (hulu), yang disana ada
peternakan, blantik dan jagal akan merasa dirugikan. Impor daging merupakan kebijakan yang di
ambil untuk memastikan bahwa harga dapat di akses oleh konsumen. Dengan demikian,
kebijakan impor daging sebenarnya merupakan kebijakan untuk melakukan stabilitas pasar.
Kebijakan stabilisasi, dalam konteks pengambilan keputusan dan hubungan antar actor-aktor di
dalam jaringan LVCM, merupakan resiko biaya yang harus diambil untuk memastikan bahwa
siklus LVCM dapat berkelanjutan hingga konsumen akhir (Klijn, 1995).
Terkait dengan impor daging kerbau, berdasarkan PERMEDAG Nomor 27/M-
DAG/PER/5/2017, daging kerbau impor termasuk dalam kategori daging beku dengan HET
maksimum yaitu Rp. 80.000,-/kg. Jika dikategorikan sebagai daging beku, maka daging kerbau
impor berada pada satu tahapan setelah daging segar di LVCM. Hal ini mengakibatkan porsi lose
pada titik-titik LVCM di tahapan sebelumnya akan lebih besar. Dengan peraturan
PERMENDAG tersebut, daging kerbau cenderung diarahkan untuk menyasar konsmen rumah
tangga secara langsung. Daging kerbau diimpor dalam keadaan beku maka kondisi ini
merupakan suatu hal yang bagi konsumen rumah tangga dan infrastruktur pasar dagig.
Konsumen daging di Indonesia secara umum lebih memilih mengakses pasar tradisional untuk
membeli daging segar, oleh karena itu para pedagang dipasar tradisional belum terbiasa
menyediakan daging beku. Ini berakibat pada ketersediaan alat pendingin yang dapat di akses
oleh para pedagang di pasar tadisional. Sehingga perilaku yang terjadi adalah para oedagang di
pasar membeli daging beku, kemudian mereka melakukan proses thawing dan selanjutnya dijual
dipasar dalam bentuk segar. Hal ini dilakukan untuk menyiasati perilaku konsumen sebagai
pelanggan atas ketidaktersediaan freezer maupun cold storage di tempat mereka berjualan.
Perilaku perdagangan ini justru berbahaya karena proses menjual daging segar dari daging beku
ini justru rentan cemaran mikroorganisme yang dapat merusak kualitas daging.

Sementara itu, konsumen daging kerbau belum cukup banyak karena pada dasarnya
preferensi konsumen daging kerbau lebih dominan dipengaruhi oleh factor adat istiadat dan
budaya (Burhanuddin, 2002). Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa daging kerbau impor
didistribusikan untuk menyasar konsumen yang sama dengan konsumen daging sapi. Secara
teoritis Secara teoritis, peningkatan pendapatan masyarakat menyebabkan daging sapi menjadi
bahan pangan primer untuk masyarakat kelas menengah dan atas (Tey, 2008).

Sementara itu, daging kerbau seringkali dikonotasikan sebagai daging sapi dengan
kualitas lebih rendah (lower quality of beef/bovine meat). Dengan kualitas yang lebih rendah
maka harga daging menjadi lebih murah dan berperan sebagai alternatif pilihan untuk
dikonsumsi oleh kalangan menengah dengan pendapatan yang lebih rendah (Tey, 2008).
Kecenderungan sebagai daging alternatif mengakibatkan terjadinya segmentasi konsumen di
kelas menengah menjadi konsumen bovine meat berkualitas lebih rendah (daging kerbau) dan
berkualitas lebih tinggi (daging sapi). Kategorisasi tersebut menunjukkan bahwa konsumen yang
memiliki pendapatan lebih tinggi cenderung untuk tetap mengkonsumsi daging sapi. Mereka
akan sanggup membeli daging sapi dengan harga berapapun. Sementara itu, permintaan daging
sapi akan menurun karena kelas menengah dengan pendapatan lebih rendah akan bergeser
mengkonsumsi daging kerbau.

Terbentuknya segmentasi tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya daging kerbau berada


pada alur LVCM yang berbeda dengan daging sapi terutama setelah fase processor ternak atau
fase “jagal”. Proses diversifikasi dan segmentasi konsumen di pasar ini membuat adanya peluang
peningkatan konsumsi daging kerbau sebagai produk baru. Dalam jangka panjang dan dengan
pasokan yang stabil maka konsumen akan lebih terbiasa mengkonsumsi daging kerbau. Namun
demikian, dampak dari banyaknya pasokan daging kerbau saat ini adalah ketidaktahuan
konsumen yang dimanfaatkan oleh penjual untuk melakukan praktek kecurangan. Beberapa cara
yang dilakukan adalah dengan melakukan pencampuran daging kerbau dan daging sapi atau
bahkan menjual daging kerbau dengan harga daging sapi. Hal ini telah banyak dilakukan oleh
penjual di pasar-pasar tradisional karena daging kerbau yang mereka jual belum banyak dibeli
oleh konsumen. Edukasi untuk memberikan informasi yang benar pada konsumen harus
dilakukan mengingat konsumen kelas menengah dan atas sangat mempertimbangkan atribut
produk seperti label produk, sertifikat tentang kualitas daging dan kemasan (Schupp, 2001).

C. Dampak pada sistem produksi daging

Keterbatasan pasokan daging sapi mengindikasikan bahwa sistem produksi daging sapi
nasional perlu diperbaiki. Kebijakan impor daging saat ini masih menjadi solusi utama atas
naiknya harga daging di pasaran. Hal ini berakibat pada perencanaan jangka panjang untuk
menyediakan daging sapi dengan harga terjangkau tidak dapat terimplementasi dengan baik.
Untuk menyiapkan sapi jantan dewasa siap potong maka dibutuhkan minimal 2,5 hingga 3 tahun
hingga siap disembelih. Jika kita merujuk pada rata-rata konsumsi daging sapi nasional
(www.oecd.org) yang mencapai 1,8 kg/kapita/tahun maka dibutuhkan 2,7 juta ekor sapi siap
potong setiap tahun (asumsi 260 juta penduduk, produksi daging 170kg/ekor). Dengan kenaikan
konsumsi daging yang bisa diprediksi, maka kebutuhan indukan sapi, teknologi tepat guna, dan
rancangan sistem produksi yang efisien menjadi pertimbangan untuk perencanaan sistem
produksi daging nasional.
Sementara itu, dengan mulai dikenalnya daging kerbau di pasaran umum, pengembangan
budidaya kerbau menjadi potensi baru sebagai alternatif penyediaan daging. Secara nasional,
populasi kerbau mengalami tren yang menurun selama 20 tahun terakhir. Populasi kerbau yang
cukup banyak di daerah-daerah tertentu dapat menjadi dasar untuk mendorong daerah tersebut
sebagai sentra produksi kerbau nasional. Selain itu, pengembangan potensi kerbau nasional dapat
diintegrasikan dengan daging sapi nasional perlu diperbaiki. Kebijakan impor daging saat ini
masih menjadi solusi utama atas naiknya harga program-program nasional lain seperti misalnya
pada program restorasi lahan gambut. Kerbau sangat cocok dikembangkan di daerah-daerah yang
memiliki rawa atau kubangan-kubangan lumpur bahkan dengan ketersediaan hijauan yang
berkualitas rendah.
Kesimpulan

Proses importansi daging kerbau yang dilakukan oleh Perum Bulog sebagai instrumen
stabilisator harga daging di pasaran jutru berbuah blunder. Alih-alih menekan harga daging sapi,
harga daging kerbau justru makin mahal dalam beberapa bulan terakhir. Kebijakan impor daging
kerbau terbukti tidak efektif menekan harga di pasar, terutama saat Ramadan dan Lebaran. Impor
daging kerbau ini justru menimbulkan kendala tersendiri sebab harganya di pasar justru terkerek
naik mengikuti daging sapi. Padahal, sejak dibuka impornya beberapa tahun lalu, tujuan utama
adanya daging kerbau untuk mengintervensi harga daging sapi.

Secara ekonomi, kehadiran daging India yang diharapkan dapat menurunkan harga,
faktanya tidak memberikan pengaruh apa-apa. Bahkan inflasipun tidak dipengaruhinya. Manfaat
kehadirannya hanya dinikmati oleh para pedagang dan importir. Mereka bisa meraup keuntungan
yang menggiurkan dengan selisih marjin sekitar Rp35 ribuan rupiah. Selain itu konsumen daging
sapi yang hanya 16% dan berpenghasilan menengah atas, yang sesungguhnya tidak perduli
terhadap harga. Kita pun sangat paham, yang selama ini merasa risau terhadap kenaikan harga
daging hanya industri prosesing daging bukannya konsumen daging rumah tangga.

Preferensi sebagian konsumen kelas menengah yang biasa mengkonsumsi daging sapi
akan tersegmentasi atau terdiversifikasi untuk mengkonsumsi daging kerbau. Konsumen kelas
menengah dengan pendapatan lebih rendah cenderung memilih daging kerbau dari pada
konsumen yang memiliki pendapatan lebih tinggi. Hal ini dapat menjaga stabilitas harga daging
sapi maupun daging kerbau dengan asumsi pasokan tersedia dengan baik. Namun demikian,
dengan adanya produk baru yaitu daging kerbau maka perlu adanya edukasi kepada pedagang
pengecer dan konsumen. Pedagang perlu diedukasi terkait higienitas produk dan keterbukaan
(kejujuran) informasi produk kepada konsumen. Di lain pihak, konsumen perlu diedukasi tentang
ciri-ciri daging kerbau agar mampu mengindentifikasinya dengan baik. Tanpa adanya edukasi
pada keduanya, daging kerbau yang dijual akan menjadi sumber masalah baru terkait higienitas
daging dan ketidakjujuran dalam proses jual beli tanpa.
Daftar Pustaka

Agung, P., Hartono, D., dan Awirya, A.A. 2017. Pengaruh Urbanisasi Terhadap Konsumsi
Energi Dan Emisi CO2: Analisis Provinsi di Indonesia. Jurnal Ekonomi Kuantitatif
Terapan.

Amarjit, S.N., and N. Toshihiko. 2003. Role of buffalo in the socioeconomic development of
rural Asia: Current status and future prospectus. Animal Science Journal, 74 (2003), pp.
443- 445

BPS. 2017. Statistik Indonesia. www.bps.go.id

Burhanuddin, S. Matsithoh, & J. Atmakusuma. 2002. Analisis preferensi dan pola konsumen
daging kerbau pada konsumen rumah tangga di KabupatenPandeglang. Media
Peternakan. Vol. 25 No. 1.

Devi S.M., V. Balachandar , S.I., Lee ,and I.H., Kim. 2014. An outline of meat consumption in
the Indian population - A pilot review. Korean Journal for Food Science of Animal
Resources, 34 (2014), pp. 507-515. FAO. 2017. FAO-STAT. www.fao.org/faostat

Guntoro, B. dan M. Lund. 2013. Participatory Approaches to Value Chain Development of Small
Livestock Farmers in Indonesia. Livestock Review. Jakarta.

Ilham, N. 2016. Kebijakan pengendalian harga daging sapi nasional. Analisis Kebijakan
Pertanian, 7(3), 211-221.

Klijn, E. H., J., Koppenjan, & K., Termeer. (1995). Managing networks in the public sector: a
theoretical study of management strategies in policy networks. Public administration,
73(3), 437-454.

OECD. 2017. Meat Consumption. www.data.oecd.org

Pakpahan, A. R. S., 2012. Analisis FaktorFaktor Yang Mempengaruhi Impor Daging Sapi Di
Indonesia. Dalam Economics Development Analysis Journal 1 (2) (2012). Semarang.
UNNES

Priyanto, D., 2005. “Evaluasi Kebijakan Impor Daging Sapi Melalui Analisis Penawaran dan
Permintaan”. Jurnal Seminar Nasional teknologi Peternakan dan Veteriner 2005.
Priyanto, D. 2011. Strategi Pengembangan Usaha Ternak Sapi Potong dalam Mendukung
Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau Tahun 2014. Jurnal Litbang Pertanian,
30(3), 109.

Schupp, A., and J. Gillespie. 2001. Handler Reactions to Potential Compulsory Country-of-
Origin Labeling of Fresh or Frozen Beef. J. Asr. and Avvl. Econ. 33(Aoril 2001a): 161-
71.

Sullivan, G., & K., Dwiyanto. (2007). A value chain assessment of the livestock sector in
Indonesia. Jakarta: USAID and AMARTA.

Tey. S., M., Nasir, . Alias, M. Zainalabidin, M.A. A min. 2008. Demand for beef in Malaysia:
Performance quantity quality and lean. Food Research International Journal, 15 (3)
(2008), p. 347-354

Anda mungkin juga menyukai