Anda di halaman 1dari 15

DAMPAK KEBIJAKAN IMPOR DAGING KERBAU INDIA TERHADAP STABILISASI

HARGA DAGING SAPI DAN KEBERLANJUTAN PETERNAKAN SAPI LOKAL DI


NTB
MATA KULIAH: AGROEKOSISTEM DAN BIONOMIKA TERNAK TERAPAN
DOSEN: Prof. Ir. Dahlanuddin, M. Rur. Sc, Ph. D

ZAID AL GIFARI
I2D020005

MANAJEMAN SUMBERDAYA PETERNAKAN


FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS MATARAM
2020-2021

i
DAFTAR ISI
Halaman Sampul................................................................................................ i
Daftar Isi ............................................................................................................ ii
BAB 1. PENDAHULUAN ................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1
1.2 Tujuan Penulisan .......................................................................................... 2
1.3 Manfaat Penulisan ........................................................................................ 2
BAB 2. Literatur Review .................................................................................. 3
2.1. Produksi daging nasional ............................................................................. 3
2.2. Kebijakan impor daging ............................................................................... 3
2.3. Faktor yang mempengaruhi impor ............................................................... 3
BAB 3. PEMBAHASAN ................................................................................... 6
3.1. Dampak pada konsumen daging .................................................................. 7
3.2. Dampak impor terhadap peternakn lokal di NTB dan solusinya ................. 8
3.3 Analisis kebijakan impor daging kerbau....................................................... 9
3.4 Solusi penyediaan daging nasional ............................................................. 10
BAB 4. SIMPULAN DAN SARAN................................................................ 11
3.1. Simpulan .................................................................................................... 11
3.2. Saran .......................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 12

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

Peningkatan jumlah penduduk sangat berimplikasi pada peningkatan kebutuhan pangan


(Agung, 2017) salah satunya ialah kebutuhan daging (Devi et al., 2014). Kondisi ini terlihat
secara nyata pada semakin meningkatnya pengeluaran masyarakat untuk mengkonsumsi daging
sapi hingga lebih dari Rp. 200.000/kap/thn. Peningkatan jumlah penduduk ini membuat
banyaknya tanah dialih fungsikan menjadi bangunan, sehingga lahan pertanian menjadi
berkurang. Berkurangnya lahan pertanian ini berdampak pada berkurangnya populasi ternak
lokal, sehingga menyebabkan tingginya harga daging sapi (Ilham, 2009).

Peningkatan konsumsi daging sapi per kapita yang terus terjadi mengindikasikan bahwa
kebutuhan daging sapi nasional terus meningkat sehingga akan berpengaruh secara agregat
kepada peningkatan kebutuhan konsumsi daging sapi nasional (Nisa, 2014). Setiap peningkatan
1 gram konsumsi daging sapi per kapita per tahun maka diperlukan peningkatan 1.500.000 ekor
sapi siap potong untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Oleh karena itu, kebijakan untuk
mengendalikan harga daging menjadi prioritas bagi setiap periode pemerintahan di Indonesia
untuk menjamin akses pangan bagi seluruh masyarakat khususnya daging sapi.

Tingginya kebutuhan masyarakat akan daging sapi mendorong pemerintah untuk dapat
meningkatkan populasi sapi lokal guna mencukupi kebutuhan dalam negeri secara mandiri.
Namun kenyataannya kondisi peternakan dalam negeri sebagai penghasil daging, telur dan susu
belum mampu memenuhi kebutuhan tersebut (Ariningsih, 2014). Secara umum pemenuhan
kebutuhan daging sapi nasional masih tergantung kepada impor baik daging beku maupun sapi
bangkalan, karena laju peningkatan konsumsi daging sapi (4%) lebih tinggi dibandingkan
dengan laju peningkatan produksi sapi potong (2%) (Ardiyati, 2012). Dalam jangka panjang
terjadi kekurangan produksi daging sapi karena pengurangan ternak sapi yang berlebihan,
termasuk didalamnya sapi betina produktif sebagai bibit untuk sapi peranakan. Sementara itu
peternak belum mampu meningkatkan produksi sapi potong dengan skala besar karena sebagian
besar produksi sapi potong di Indonesia lebih banyak didukung oleh peternakan rakyat.

Kebijakan jangka pendek untuk mengelola harga daging di pasaran adalah dengan
membuka peluang impor daging. Kebijakan impor daging sapi dalam jangka pendek diharapkan

1
dapat menurunkan harga daging secara cepat. Namun demikian, efektifitas impor daging sapi
juga dalam beberapa hal perlu dipertanyakan karena harga daging sapi di pasar internasional
tidak selalu mampu menekan harga daging di pasar domestik karena Indonesia telah menjadi net
importer daging sapi (Ilham, 2009).

Tahun 2016, pemerintah mulai menginisiasi kebijakan impor daging kerbau. Hal ini
dilakukan untuk stabilisasi harga daging lokal yang bertengger diatas Rp 120.000. Kedatangan
daging kerbau impor dari India diharapkan mampu menurunkan harga pasar daging lokal yakni
Rp 80.000 per kg. Untuk mencapai target tersebut pemerintah, melalui Kementerian
Perdagangan, akan mengimpor sapi bakalan 550 ribu ekor dan daging kerbau 60 ribu ton dan
akan ditingkatkan menjadi 200 ribu ton setiap tahunnya.

India memiliki sumber daya ternak luar biasa yaitu 199 juta ekor sapi dan 108 juta ekor
kerbau. Tapi PMK membuat negara itu tidak bisa optimal meraih nilai lebih dalam perdagangan
internasional (Naipospos, 2016). Padahal, syarat ternak yang boleh diperdagangkan secara
internasional ialah salah satunya bebas PMK. Berdasarkan uraian diatas perlu dilakukan kajian
untuk mengetahui dampak adanya kebijakan impor daging kerbau India terhadap stabilisasi
harga daging nasional dan keberlanjutan peternakan sapi lokal khususnya NTB.

1.2. Tujuan Penulisan

1) Untuk mengetahui kebijakan pemerintah terkait impor daging kerbau.


2) Untuk mengetahui dampak dari impor daging kerbau terhadap stabilisasi harga daging
nasional.
3) Untuk mengetahui dampak impor terhadap keberlanjutan usaha peternakan tradisional di
NTB.
1.3. Manfaat Penulisan
1) Mendapatkan informasi dan data terkait kebijakan pemerintah terkait impor daging
kerbau.
2) Mendapatkan imformasi mengenai dampak dari impor daging kerbau terhadap stabilisasi
harga daging nasional dan keberlanjutan peternakan tradisional di NTB.

2
BAB 2
REVIEW LITERATUR

2.1. Produksi daging nasional

Produksi daging sapi nasional masih terbilang sangat kecil dibandingkan permintaan
konsumen, sedangkan daging sapi impor masih belum dapat menstabilkan harga daging
nasional (Pakpahan, 2012). Rata-rata laju konsumsi daging mencapai 4,4%/tahun dan laju
populasi ternak sapi potong mencapai 2,3%/tahun (Priyanto, 2005). Laju konsumsi ini
sebagai indikasi bahwa pertumbuhan populasi ternyata mencapai dua kali lipat dari laju
penyediaan pangan berupa populasi sapi potong. Kekurangan daging sapi akan selalu terjadi
jika tidak ada perubahan mendasar pada pembangungan di sektor budidaya ternak sapi
potong (on farm).

2.2. Kebijakan Impor Daging

Tingginya permintaan akan daging sapi yang tidak diimbangi dengan ketersediaan
pasokan daging lokal mengharuskan pemerintah untuk melakukan impor. Kebijakan yang
diambil oleh pemerinta ialah membuka keran impor daging kerbau dari India. India dipilih
karena India adalah pemasok daging kerbau terbesar di dunia. India mengkeskpor 70%
daging kerbau yang mereka produksi (Devi et al, 2014). Kebijakan impor daging kerbau
dari India diambil sebagai langkah jitu untuk mengatasi melonjaknya harga daging lokal.
Impor daging kerbau ini diharapkan menjadi substitusi daging sapi sehingga dapat
mengurangi permintaan daging sapi dan menurunkan harga daging sapi.

Konsumsi daging kerbau di Indonsia mencapai lebih dari 30 ton per tahun sejak tahun
2010 (BPS, 2011). Dengan tren produksi daging kerbau domestik yang selalu menurun
dalam 20 tahun terakhir (FAO, 2017), stok daging kerbau kerbau masih cukup untuk
kebutuhan konsumsi daging kerbau per kapita penduduk yang rendah dan tidak merata di
seluruh wilayah Indonesia.

2.3 Faktor yang mempengaruhi impor


Impor adalah proses transportasi barang atau komoditas dari suatu negara ke negara
lain secara legal, umumnya dalam proses perdagangan. Proses impor umumnya adalah
tindakan memasukkan barang secara besar umumnya membutuhkan campur tangan dari bea

3
cukai di negara pengirim maupun penerima. Besarnya impor suatu negara dipengaruhi oleh
pendapatan nasional, juga dipengaruhi oleh faktor lainnya. Faktor-faktor yang
mempengaruhi besar kecilnya impor menurut Supriatna (2008) diantaranya:
1) Kecenderungan mengimpor dipengaruhi oleh preferensi masyarakat akan barang-barang
impor.
2) Pengaruh inflasi dalam negeri Pada tingkat pendapatan nasional tetap, nilai impor akan
meningkat jika terjadi inflasi didalam negeri. Inflasi menyebabkan barang produksi
dalam negeri menjadi lebih mahal relatif dibandingkan dengan barang luar negeri.
3) Kemampuan suatu negara menghasilkan barang yang lebih baik fungsi impor juga
mengalami perubahan jika terjadi perubahan teknologi produksi maupun perubahan
kemampuan menghasilkan barang dan jasa yang lebih baik.

Kegiatan ekspor-impor yang dilakukan suatu negara dengan negara lain dalam
perdagangan internasional akan memberikan manfaat bagi suatu negara seperti
meningkatkan kesejahteraan konsumen. Akan tetapi jika impor tidak dibatasi dan diawasi
maka akan berdampak negatif, seperti meningkatnya pengangguran karena terputusnya alur
produksi, produk lokal akan kalah saing dengan produk impor dan memunculkan sifat
konsumerisme. Pembatasan kuota impor dapat dilakukan dengan cara memberikan lisensi
impor yang sah dan terbatas serta melarang impor tanpa lisensi (Kindleberger. 1988).
Adapun beberapa penelitian telah dilakukan mengenai factor dan dampak impor daging
pada tabel 1.
Tabel 1. Literatur kajian kebijakan impor daging
No Penulis Hasil Hasil

1 Kasmawati Analisis Faktor-Faktor Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa


Siregar,R Yang Mempeng aruhi harga sapi domestik memliki pengaruh
ahmanta Impor Sapi di Provinsi yang signifikan terhadap kebijakan impor
Ginting, Sumatera Utara. daging di Provinsi Sumatera Utara
Satia Negara dibandingkan dengan harga daging sapi
Lubis impor yang sama sekali tidak berpengaruh
(2018). terhadap impor daging.

2 Asima Analisis Faktor-Faktor Berdasarkan hasil penelitian bahwa baik


Ronitua dan Yang Mempengaruhi dalam jangka panjang maupun jangka
Samosir Impor Daging Sapi di pendek harga daging sapi impor, harga
Indonesia. daging sapi domestik, nilai tukar rupiah,
pendapatan nasional dan krisis tahun 1997

4
Pakpahan secara bersama-sama berpengaruh
(2012). terhadap impor daging sapi impor di
Indonesia.

3 Jiuhardi Kajian Tentang Impor Jumlah penduduk Indonesia yang


(2015). Daging Sapi di meningkat dan kesadaran masyarakat
Indonesia terhadap pentingnya protein hewani
menyebabkan konsumsi protein hewani,
khususnya daging sapi meningkat juga.
Permintaan daging sapi yang meningkat
tidak diimbangi peningkatan produksi
daging sapi dalam negeri, maka daging
sapi nasional.

5
BAB 3
PEMBAHASAN

Pemenuhan kebutuhan masyarakat Indonesia akan protein hewani terutama daging sapi dan
daging kerbau belum bisa dipenuhi oleh pasokan dalam negeri. Oleh karena itu, Indonesia tahun
2021 mengimpor daging sapi dan kerbau sebanyak 223.142 ton. Kebutuhan daging sapi dan
kerbau secara nasional untuk tahun 2021 mencapai 696.956 ton dengan perhitungan konsumsi
per kapita 2,56 kg/tahun. Sementara ketersediaan daging sapi atau kerbau lokal hanya 473.814
ton. Maka, kebutuhan dan ketersediaan daging sapi dan kerbau nasional sepanjang tahun 2021
masih kurang sebanyak 223.142 ton. Kekurangan tersebut akan dipenuhi dari impor baik dalam
bentuk sapi bakalan, bakalan yang dipotong dan impor daging sapi atau kerbau (PKH, 2021).

Pemerintah mengimpor dalam bentuk sapi bakalan sebanyak 502.000 ekor, bakalan yang
dipotong sebanyak 430.000 ekor atau setara 96.367 ton dan impor daging sapi dan kerbau
sebanyak 185.500 ton, sehingga akhir tahun 2021 ini, didapatkan sebanyak 58.725 ton untuk
pemenuhan kebutuhan daging Januari sampai Maret tahun 2022.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, impor daging kerbau India pada 2016
tercatat 39.500 ton. Namun, tiga tahun kemudian (2019) impor naik dua kali lipat lebih menjadi
93.970 ton. Setahun berselang (2020), alokasi impor sempat dinaikkan drastis menjadi 170.000
ton, namun tak terealisasi akibat pandemi COVID-19. Direktur Jenderal Perdagangan Dalam
Negeri Kemendag memprediksi Bulog hanya mampu memasok daging kerbau sekitar 2.772 ton
pada Maret 2021, 20.024 ton pada April 2021 dan 14.868 ton pada Mei 2021.

Kenaikan impor daging kerbau belum mampu menurunkan harga jual daging sapi. Sampai
saat ini, harga daging sapi di pasar tradisional berada di posisi Rp120.000-Rp130.000/kg.
Bahkan, para pedagang daging banyak yang berlaku curang dengan mengoplos daging kerbau
dengan daging sapi untuk meraup untung besar. Saat ini, pusat-pusat konsumsi daging kerbau
saat ini banyak berada di Sumatra, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, NTB dan Sulawesi Selatan.
Terkait dengan impor daging kerbau, berdasarkan PERMENDAG Nomor 27/M-
DAG/PER/5/2017, daging kerbau impor termasuk dalam kategori daging beku dengan HET
maksimum yaitu Rp. 80.000/kg. Jika dikategorikan sebagai daging beku, maka daging kerbau

6
impor berada pada satu tahapan setelah daging segar. Pada awalnya, kebijakan impor daging
kerbau dikeluarkan sebagai respon terhadap kenaikan harga daging sapi. Namun demikan, tentu
saja ada dampak-dampak lain yang muncul dengan adanya kebijakan ini selain perubahan harga
daging sapi di pasaran. Kebijakan baru sangat mungkin berdampak pada perubahan perilaku
konsumen, persepsi, pola pengambilan keputusan masyarakat maupun peternakan lokal.
3.1 Dampak pada Konsumen Daging
Munculnya kebijakan impor daging kerbau diawali dari kenaikan harga daging sapi.
Daging kerbau dipilih sebagai substitusi karena memiliki karakteristik yang mirip dengan
daging sapi dan termasuk dalam kelompok bovine meat. Kebijakan impor daging ini akan
banyak memotong alur distribusi daging yang biasanya dilakukan di Indonesia, yaitu peternak,
blantik, dan jagal yang merasa dirugikan dengan adanya kebijakan ini. Konsumen daging di
Indonesia secara umum lebih memilih mengakses pasar tradisional untuk membeli daging
segar, oleh karena itu para pedagang di pasar tradisional, belum terbiasa menyediakan daging
beku. Ini berakibat pada ketersediaan alat pendingin yang dapat diakses oleh para pedagang di
pasar tradisional. Sehingga perilaku yang terjadi adalah para pedagang di pasar membeli daging
beku, kemudian mereka melakukan proses thawing dan selanjutnya dijual di pasar dalam bentuk
“segar”.

Perilaku pedagang ini justru berbahaya karena proses menjual daging “segar” dari daging
beku ini sangat rentan cemaran mikroorganisme yang dapat merusak kualitas daging. Sementara
itu, konsumen daging kerbau belum cukup banyak karena pada dasarnya preferensi konsumen
daging kerbau lebih dominan dipengaruhi oleh faktor adat istiadat dan budaya (Burhanuddin,
2002). Para pedagang mengakui bahwa pencampuran daging beku dengan daging segar ini
dilakukan untuk memancing konsumen. Hal ini terjadi karena daging kerbau seringkali
dikonotasikan sebagai daging sapi dengan kualitas lebih rendah (lower quality of beef/bovine
meat). Dengan kualitas yang lebih rendah maka harga daging menjadi lebih murah dan berperan
sebagai alternatif pilihan untuk dikonsumsi oleh kalangan menengah dengan pendapatan yang
lebih rendah (Tey, 2008). Kecenderungan sebagai daging alternatif mengakibatkan terjadinya
segmentasi konsumen di kelas menengah menjadi konsumen bovine meat berkualitas lebih
rendah (daging kerbau) dan berkualitas lebih tinggi (daging sapi).
Dampak dari banyaknya pasokan daging kerbau saat ini adalah ketidaktahuan konsumen
yang dimanfaatkan oleh penjual untuk melakukan praktek kecurangan. Beberapa cara yang

7
dilakukan adalah dengan melakukan pencampuran daging kerbau dan daging sapi atau bahkan
menjual daging kerbau dengan harga daging sapi. Hal ini telah banyak dilakukan oleh penjual
di pasar-pasar tradisional karena daging kerbau yang mereka jual belum banyak dibeli oleh
konsumen.
3.2 Dampak impor terhadap peternak lokal di NTB dan solusinya
Nusa Tenggara Barat yang dikenal sebagai salah satu sentra sapi potong di Indonesia yang
merupakan pemasok ternak sapi untuk wilayah lainnya seperti Jawa dan
Kalimantan. Kontribusi Provinsi NTB dalam pemenuhan kebutuhan daging sapi nasional,
dengan rata-rata pengeluaran sapi potong sejumlah 16.500 ekor per tahun ke berbagai wilayah
di Indonesia. Berdasarkan potensi tersebut maka dalam program percepatan pencapaian
swasembada daging sapi (P2SDS), NTB ditetapkan sebagai salah satu provinsi sumber sapi
potong dan sapi bibit di antara 18 provinsi lainnya di Indonesia. Sebagai bentuk tekad dan
komitmennya melalui program “NTB Bumi Sejuta Sapi” pemerintah provinsi NTB merencakan
pembangunan peternakan sapi yang tangguh.

Bangsa sapi potong di NTB cukup beragam baik breed lokal seperti sapi Bali dan sapi
Hissar maupun breed eksotik seperti: Simental, Brangus, Limousin dan persilangan di
antaranya. Provinsi dengan dua pulau besar yaitu pulau Lombok dan pulau Sumbawa masing-
masing memiliki komposisi populasi masing-masing sekitar 48 persen dan 52 persen dari total
populasi. Proporsi bangsa sapi yang mendominasi adalah sapi Bali, dengan beberapa
keunggulan komparatif yang dimiliki, ini terkait dengan potensi produktivitas, reproduksi dan
daya adaptasi untuk setiap wilayah di NTB.
Impor yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan daging sapi nasional justru telah
memberikan dampak negatif terhadap usaha sapi lokal. Pemerintah semestinya selalu
mempertimbangkan bahwa ternak sapi merupakan sumber pendapatan penting bagi peternak
dan petani lainnya. Impor memang tidak bisa dihentikan sama sekali, tetapi sebaiknya dilakukan
pembatasan. Penyediaan kebutuhan daging masyarakat tetap stabil dengan harga yang stabil
pula, impor bisa berdampak pada turunnya harga komoditi yang menguntungkan konsumen
tetapi merugikan produsen sapi. Tidak ada impor tentu dampaknya adalah permintaan
meningkat (tidak terpenuhi) maka harga komoditi akan meningkat bisa berdampak pada
kesejahteraan konsumen tetapi yang memperoleh keuntungan adalah produsen. Masyarakat

8
mengharapkan adanya kesetaraan (keadilan) yang bisa diberikan pemerintah kepada seluruh
lapisan masyarakat.
Gairah usaha di bidang pertanian akan baik jika sistem pemasarannya berjalan dengan baik
dan dapat memberikan keuntungan pada berbagai pihak. Tidak cukup hanya dengan upaya
peningkatan produksi dan produktivitas, karena komoditi pertanian dan peternakan pada
umumnya sangat rentan terhadap kuantitas produksi yang dapat menyebabkan perubahan harga
(fluktuasi harga). Ketika produk melimpah dan permintaan tetap maka harga akan
turun. Bagaimana upaya agar distribusi produksi merata dari waktu ke waktu sehingga dapat
terjaga kestabilan harga. Teknologi dibutuhkan tidak hanya saat suatu komoditas diproduksi,
tetapi penanganan pasca panen, sampai pada pemasarannya masih ada teknologi yang
mengawalnya. Efisiensi harus sudah mulai menjadi pertimbangan penting mengingat
persaingan produk-produk pertanian dalam era globalisasi perdagangan dunia akan mengancam
di masa mendatang.

3.3 Analisis Kebijakan Impor daging kerbau

Indonesia telah lama menargetkan swasembada daging, tetapi kebijakan impor daging
kerbau justru menjauhkan Indonesia dari cita-cita swasembada daging sapi. Meskipun dampak
positif yang diharapkan ialah turunnya harga daging nasional kerena adanya daging substitusi.
Tetapi pesan pemerintah ini belum dapat direalisasikan dengan baik oleh masyarakat karena
edukasi yang masih kurang mengenai daging. Impor daging kerbau inipun dinilai melenceng
dari tujuan awal sebagai pendorong penurunan harga daging sapi dan menjadi penopang utama
pasokan daging. Hal ini bisa dilihat dari porsi impor daging kerbau yang terus naik setiap tahun.
Peningkatan porsi impor ini dapat menjadi penilaian bahwa pemerintah gagal mendorong
penurunan harga daging lokal. Harga daging sapi masih tetap bertahan tinggi karena ongkos
produksi yang tidak mungkin ditekan. Ironisnya, harga daging kerbau pun terkerek di atas Rp
80 ribu per kg padahal dari negara asalnya di India bisa didapatkan dengan harga 30-40 ribu
rupiah.

Kebijakan yang dianggap tergesa-gesa ini, banyak menimbulkan keluhan dan protes dari
masyarakat, baik itu konsumen peternak dan pelaku usaha terkait. (APDI, 2017) menemukan
penurunan kinerja pemotongan sapi rata-rata 47 persen sejak adanya daging kerbau beku.

9
Kondisi ini memang bukan semata-mata karena impor daging kerbau dari India, melainkan juga
pelbagai kebijakan yang kontra produktif.

Harga daging kerbau India yang murah, yang kurang dari setengah harga daging sapi
Australia, membuat produk daging sapi domestik sulit bersaing. Dampak buruk impor daging
kerbau dari India sudah dialami Filipina dan Malaysia (Naipospos, 2016). Impor daging kerbau
hanya menguntungkan peternak India dan pelaku tata niaga. Namun berdampak negatif bagi
peternak Indonesia, usahanya menjadi tidak bergairah karena tidak berdaya saing, serta
kehilangan pasar potensial hariannya di RPH. Selain itu, Impor daging kerbau dari India
membuat mata rantai industri daging sapi di Indonesia semakin terpuruk dan tidak menutup
kemungkinan, satu persatu dari industri sapi potong juga akan menyusul. Hal ini dikarenakan
daging kerbau telah menggeser kontribusi daging sapi lokal.

Impor daging kerbau yang menawarkan harga murah membuat produk daging sapi
domestik sulit bersaing yang berdampak terhadap kondisi usaha peternak. Peternak lokal
menjadi kesulitan untuk meningkatkan produktivitas peternakan sapinya. Sampai saat ini,
peternak lokal belum dapat merasakan dampak positif dari kebijakan impor daging kerbau.
Selain itu, Indonesia terancaman dengan perubahan status bebas PMK. Seperti yang diketahui
India dan Brazil adalah negara yang belum bebas dari PMK. Jika PMK kembali berjangkit,
kerugian besar akan dirasakan oleh peternak lokal. Hal ini sangat jelas, yang akan menjadi
korban ialah pelaku yang bergerak dalam bidang budidaya peternakan.
3.4 Solusi penyediaan daging nasional

Agar tidak berdampak buruk, setidaknya ada tiga hal yang perlu dilakukan. Pertama,
daging kerbau impor hanya dijual di pasar modern. Tanpa jaminan itu, harga daging sapi lokal
yang hampir dua kali lipat dari kerbau akan terjun bebas. Kedua, memastikan tidak adannya
pengoplosan, yang diduga marak terjadi di pasar-pasar tradisional. Ketiga, pemberian insentif
kepada peternak, baik subsidi pakan, sapi lahir, maupun permodalan berbunga rendah.

10
BAB 4

SIMPULAN DAN SARAN

4.1 Simpulan

Kebijakan impor daging kerbau belum mampu mengatasi permasalahan harga daging
di Indonesia. Hal ini terjadi karena kurang teredukasinya masyarakat dalam membedakan
daging kerbau dan daging sapi, hal ini memberikan peluang kepada pedagang untuk berlaku
curang dengan mencampurkan daging kerbau dan daging sapi dengan harga daging sapi
bahkan menjual daging kerbau dengan harga daging sapi.

4.2 Saran

1) Masyarakat sebagai konsumen tingkat akhir perlu diedukasi untuk membedakan daging
kerbau dan daging sapi.
2) Saran Kepada Pemerintah, diharapkan membuat suatu kebijakan yang dapat menjamin
permintaan daging sapi dengan meningkatkan posisi penawaran (produksi) daging sapi.
3) Kepada Peternak, diharapkan untuk dapat meningkatkan produksi daging sapi untuk
dapat mendukung ketersediaan daging sapi.
4) Pemerintah harus terus mengawasi perkembangan harga daging nasional dan
memberikan sanksi bagi pedagang yang berlaku curang.
5) Kebijakan impor harusnya disertai dengan pengembangan peternakan nasioanal agar
perekonomian masyarakat tidak tergerus seiring adanya kebijakan impor.

11
DAFTAR PUSTAKA

Agung, P., Hartono, D., dan Awirya, A.A. 2017. Pengaruh urbanisasi terhadap konsumsi energi dan emisi
CO2: Analisis Provinsi di Indonesia. Jurnal Ekonomi Kuantitatif Terapan.

Ariningsih A. 2014. Kinerja kebijakan swasembada daging sapi nasional. Forum Penelit Agro Ekon.
32(2):137-157.

Ardiyati, Alisa. 2011. Penawaran daging sapi di Indonesia (Analisis Proyeksi Swasembada Daging Sapi
2014). [Tesis]. Jakarta. Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik. Universitas Indonesia.

Burhanuddin, S. Matsithoh, dan J. Atmakusuma. 2002. Analisis preferensi dan pola konsumen daging
kerbau pada konsumen rumah tangga di Kabupaten Pandeglang. Media Peternakan. Vol. 25 No. 1.

Devi S. M., V. Balachandar, S.I., Lee, dan I.H., Kim. 2014. An outline of meat consumption in the Indian
population - A pilot review. Korean Journal for Food Science of Animal Resources, 34 (2014), pp.
507-515.

FAO. 2017. FAO-STAT. www.fao.org/faostat

Ilham, N. 2009. Kelangkaan Produksi Daging: Indikasi dan Implikasi Kebijakannya. Analisis Kebijakan
Pertanian, 7(1):43-63.

Ilham N., Saptana, Purwoto A, Supriyatna Y, Nurasa T. 2015. Kajian pengembangan industri peternakan
mendukung peningkatan produksi daging. Laporan akhir tahun 2015. No. Kegiatan PSEKP/201
51803.009.001.011D, Rangkuman eksekutif [Internet]. [Diunduh 2017 Jul 11]. Tersedia dari:
http://pse.litbang.pertanian.go.id/ ind/pdffiles/LHP_ILH_2015.pdf.

Ilham, N. 2016. Kebijakan pengendalian harga daging sapi nasional. Analisis Kebijakan Pertanian, 7(3),
211-221.

Nauku, F. 2013. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Permintaan Daging Sapi Rumahtangga di kota,
Padang. Skripsi S1. Fakultas Peternakan. Universitas andalas. Padang.

Nisa, Chairun. 2014. Perencanaan Produksi Usaha Penggemukan Sapi Potong (Studi Kasus: PT Catur Mitra
Taruma). [Tesis]. Bogor. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

OECD. 2017. Meat Consumption. www.data.oecd.org.

Pakpahan, A. R. S., 2012. Analisis Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Impor Daging Sapi Di Indonesia.
Dalam Economics Development Analysis Journal 1 (2). UNNES. Semarang.

12
Priyanto, D. 2011. Strategi Pengembangan Usaha Ternak Sapi Potong dalam Mendukung Program
Swasembada Daging Sapi dan Kerbau Tahun 2014. Jurnal Litbang Pertanian, 30(3), 109.

Tey.S., M., Nasir, Alias, M. Zainal abidin, M.A. A min. 2008. Demand for beef in Malaysia:
Performance quantity quality and lean. Food Research International Journal, 15 (3) (2008), p. 347-
354.

13

Anda mungkin juga menyukai