Anda di halaman 1dari 3

Sebagai tumbuhan yang mempunyai nutrisi tinggi, lamtoro toleran terhadap kering

dan berumur panjang. Jika diproduksi secara massal, memungkinkan adanya


pengurangan biaya produksi yang signifikan
 
 
Potensi lamtoro di tanah air terlihat cukup baik. Selain dimanfaatkan untuk pakan
sapi, kambing, dan babi, tanaman ini juga dapat diambil kayunya untuk menjadi
kayu bakar. “Lamtoro memang sangat potensial sebagai sumber protein untuk
ternak ruminansia besar (sapi). Kalau pakan konsentrat, masih terbatas pada
bungkil inti sawit dan bungkil kelapa saja,” jelas Ketua Aini (Asosiasi Ahli Nutrisi
dan Pakan Indonesia), Nahrowi dalam seminar daring yang diadakan AINI
dengan bertajuk “ Pengelolaan dan Optimalisasi Pemakaian Lamtoro pada Sapi “
(6/8). 
 
 
Lamtoro, merupakan legum pohon yang memiliki banyak sekali jenis.
Ditambahkan Tanda Sahat Panjaitan, Peneliti Madya di BPTP Balitbangtan NTB
jika jenis lamtoro yang digunakan di tanah air, tepatnya di NTT dan NTB adalah
lamtoro taramba. “Leucena leucocephala ini berasal dari benua Amerika.
Kemudian, domestikasi pertamanya tercatat di Meksiko,” kata Tanda dalam
kesempatan yang sama. 
 
 
Penggunaan lamtoro taramba di Indonesia, digadang-gadang menjadi salah satu
cerita sukses bagi sektor peternakan sapi potong tanah air. “Hal tersebut tercipta
karena para peneliti mampu mengakomodir apa yang peternak inginkan, dan
didukung pula oleh keterlibatan pemerintah pusat dan provinsi yang sangat
maksimal,” tandas Max Sheltor, seorang Pengajar dan Peneliti di Queensland
University, Australia. 
 
 
Selain digunakan sebagai pakan ternak, lamtoro dapat juga dimanfaatkan untuk
bahan dasar pembuatan bubur kertas atau paper pulp di India. Tercatat, lahan
lamtoro di sana mencapai 100.000 hektar. “Kemudian, pemanfaatan lamtoro di
Thailand lebih bervariasi lagi. Mereka menggunakannya untuk biomassa guna
menyediakan tenaga listrik,” kata Max mengungkap fakta tersebut. 
 
 
Adapula tanaman yang juga sedang dikembangkan sebagai pakan ternak, yakni
indigofera. Jika kedua tanaman tersebut dapat dimanfaatkan dengan baik, maka
para peneliti dan AINI sangat optimis bahwa dunia peternakan Indonesia akan
lebih maju. 
 
 
Mulai Diminati
Pakan sebagai komponen penting dalam memaksimalkan potensi genetik
pertumbuhan ternak harus selalu tersedia. Selain itu, peternak juga harus
memberikan pakan yang efektif dan efisien untuk mengoptimalkan pertumbuhan.
“Lanjutnya, pakan harus murah dan tersedia sepanjang tahun. Kalau persyaratan
tersebut telah dipenuhi, maka biaya produksi dapat ditekan,” lanjut Tanda. 
 
 
Setelah ditilik lebih jeli, lamtoro rupanya berhasil memenuhi seluruh kriteria
tersebut. Sebagai tumbuhan yang berkualitas nutrisi tinggi, lamtoro toleran
terhadap kering dan berumur panjang. Jika diproduksi secara massal,
memungkinkan adanya pengurangan biaya produksi yang signifikan. Dia
menambahkan, jika penggunaan lamtoro sebagai pakan sapi sudah dimulai
sejak 2010. Hingga saat ini, sebanyak 2.500 peternak di Sumbawa terpantau
sudah memberikan lamtoro untuk sapinya. 
 
 
Lamtoro cepat diadopsi di NTT dan NTB karena memang bisa menjawab
kebutuhan peternak dalam hal kesesuaian dengan lahan, sistem, dan budaya.
“Dukungan dari pemerintah lokal juga sangat terasa dalam pengembangan
lamtoro,” tutur Tanda. Sehingga, kualitas pemahaman peternak meningkat dan
melihat lamtoro sebagai salah satu potensi yang mumpuni.
 
 
Dosen Fakultas Peternakan Universitas Mataram, NTB  Dahlanuddin
mengatakan bahwa pada 2010 lalu ternyata 100 % peternak di Sumbawa sudah
menggunakan lamtoro untuk penggemukan sapi. Namun, lamtoro terkenal
memiliki kandungan mimosin yang sangat tinggi, yakni 6 %. Hal inilah yang
mengakibatkan sapi belum mampu sepenuhnya beradaptasi dengan lamtoro.

Lamtoro adalah sejenis perdu dari suku Fabaceae, dan termasuk salah satu jenis polong-
polongan serbaguna yang paling banyak ditanam dalam pola tanam campuran. Sejak lama
lamtoro telah dimanfaatkan sebagai pohon peneduh, pencegah erosi, sumber kayu bakar
dan pakan ternak. Daun-daun dan ranting muda lamtoro dapat menjadi pakan ternak dan
sumber protein yang baik, khususnya bagi ruminansia.

Daun-daun lamtoro tersebut memiliki tingkat ketercernaan 60% hingga 70% pada
ruminansia, tertinggi di antara jenis-jenis polong-polongan dan hijauan pakan ternak tropis
lainnya. Sayangnya, Lamtoro sebagai pakan hijauan yang berkualitas belum dimanfaatkan
secara optimal dan belum banyak dikomersilkan.
Peneliti BPTP Balitbangtan NTB, Dr. Tanda Panjaitan mengingatkan, penggunaan lamtoro
pada pakan ruminansia harus dilakukan dengan hati-hati karena adanya zat antinutrisi
mimosin. Ia menjelaskan, di dalam rumen sapi, senyawa mimosin akan dikonversi menjadi
3,4 dan 2,3 dihydroxy-pyridine (DHP).

“Keracunan mimosin atau DHP tersebut dapat menyebabkan ternak mengalami pembesaran
kelenjar tiroid, dengan gejala terjadinya penurunan nafsu makan, bulu kusam, berdiri, dan
rontok. DHP juga menyebabkan terjadinya defisiensi mineral, khusus besi, tembaga, dan
magnesium,” rincinya dalam seminar daring yang diselenggarakan oleh Asosiasi Ahli Nutrisi
dan Pakan Indonesia (AINI) bertajuk ‘Pengelolaan dan Optimalisasi Pemakaiam Lamtoro
pada Sapi’, Rabu (6/8).

Narasumber lain dalam seminar itu yakni, Prof Dr. Dahlanuddin (Guru Besar Universitas
Mataram, Lombok), dan Prof Max Shelton (Guru Besar Universitas Queensland, Australia).
Diskusi dipandu oleh Triastuti Andajani, M.Si (Program Manager IP2FC ISPI). (Sumber: Agrina)

Anda mungkin juga menyukai