Anda di halaman 1dari 53

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI IMPOR

DAGING SAPI DI INDONESIA



GRADISNY QALIFFA MARAYA
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013







PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Faktor-faktor yang
Memengaruhi Impor Daging Sapi di Indonesia adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2013

Gradisny Qaliffa Maraya
NIM H14090109



ABSTRAK
GRADISNY QALIFFA MARAYA. Faktor-faktor yang Memengaruhi Impor
Daging Sapi di Indonesia. Dibimbing oleh RINA OKTAVIANI.

Pesatnya laju peningkatan penduduk serta perubahan selera konsumen
menyebabkan perubahan pola konsumsi kearah protein hewani, termasuk daging
sapi. Laju produksi daging sapi di Indonesia saat ini tidak dapat mengimbangi
permintaan daging sapi, sehingga dilakukan impor. Hal ini ditunjukkan dengan
laju peningkatan impor daging sapi yang semakin tinggi. Kondisi demikian perlu
langkah proteksi untuk mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap negara-
negara pengekspor daging sapi. Penelitian ini ditujukan untuk menganalisis
faktor-faktor yang memengaruhi impor daging sapi di Indonesia dengan
menggunakan data sekunder tahun 2000 hingga tahun 2011 berupa panel data
dengan model estimasi terbaik yaitu model efek tetap (fixed effect model).
Berdasarkan hasil estimasi, variabel yang berpengaruh terhadap impor daging sapi
di Indonesia yaitu GDP riil per kapita negara asal impor, GDP riil per kapita
Indonesia, nilai tukar riil, harga riil daging sapi internasional dan harga riil daging
sapi di Indonesia, sedangkan produksi daging sapi di Indonesia dan produksi
daging sapi di negara asal impor tidak mempengaruhi impor daging sapi di
Indonesia.

Kata kunci: Daging sapi, GDP, harga, impor, panel data.

ABSTRACT

GRADISNY QALIFFA MARAYA. Factors Affecting Imports of Beef in
Indonesia. Supervised by RINA OKTAVIANI.

The rapid increase in population and changes in consumer preference
cause the changes in consumption patterns towards animal protein, including beef.
Beef production rate in Indonesia can not fulfill the demand rate, therefore import
is necessary. This is indicated by the increase of beef imports. In this condition,
barriers of trade is needed to reduce Indonesias dependency from beef exporter
countries. The objectives of this research is to analyze the factors that affect beef
imports in Indonesia by using secondary data from 2000 to 2011 in the form of
panel data with a model that best estimated with fixed effect model. Based on the
estimation, the variables that affect the beef imports in Indonesia are real GDP per
capita of exporter countries, Indonesias real GDP per capita, real exchange rate,
international real beef price and Indonesia real beef price, while beef production
in Indonesia and exporter countries did not affect the import of beef in Indonesia.

Keywords: Beef, GDP, prices, imports, panel data.




Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI IMPOR
DAGING SAPI DI INDONESIA
GRADISNY QALIFFA MARAYA
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013





Judul Skripsi : Faktor-faktor yang Memengaruhi Impor Daging Sapi di Indonesia
Nama : Gradisny Qaliffa Maraya
NIM : H14090109








Disetujui oleh













Diketahui oleh





Dr Ir Dedi Budiman Hakim, MEc
Ketua Departemen







Tanggal Lulus:
Prof Dr Ir Rina Oktaviani, MS
Pembimbing



PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa taala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 ini ialah
impor daging sapi, dengan judul Faktor-faktor yang Memengaruhi Impor Daging
Sapi di Indonesia.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Rina Oktaviani, MS selaku
pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, masukan dan motivasi
yang baik. Dr Ir Dedi Budiman Hakim, MEc, selaku dosen penguji utama yang
telah memberikan saran dan kritik demi perbaikan penulisan skripsi ini dan Dewi
Ulfah Wardani, MSi, selaku dosen penguji dari komisi pendidikan yang telah
memberikan masukan demi perbaikan penulisan skripsi ini. Selain itu ungkapan
terima kasih juga disampaikan kepada kedua orang tua penulis yang selalu
mendoakan dan memberikan motivasi kepada penulis, teman-teman terbaik
penulis, Bella Herwanda, Marsha Dewi Putri, Tiara Natalia, Achmad Rivano,
Febriana Rangkuti dan Charra Rosemarry atas persahabatan, doa, semangat dan
motivasi selama kuliah di Institut Pertanian Bogor. Tidak lupa penulis ucapkan
terimakasih kepada teman satu bimbingan, Nyimas Tyah Nadhilah, Marsela Dwi
Tamisari dan Indah Rizki Anugrah yang selalu mendukung dan berjuang bersama
penulis, teman-teman Ilmu Ekonomi 46, serta pihak-pihak lain yang tidak bisa
disebutkan satu persatu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.


Bogor, Juni 2013

Gradisny Qaliffa Maraya




DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 4
Tujuan Penelitian 5
Manfaat Penelitian 5
Ruang Lingkup Penelitian 5
Hipotesis 6
TINJAUAN PUSTAKA 6
Landasan Teori 6
Penelitian Terdahulu 11
Kerangka Pemikiran 13
METODE 15
Jenis dan Sumber Data 15
Metode Analisis dan Pengolahan Data 15
Model Penelitian 18
Pengujian Model 18
HASIL DAN PEMBAHASAN 20
Gambaran Umum 20
Kondisi dan Kecenderungan Impor Daging Sapi di Indonesia 25
Faktor-faktor yang Memengaruhi Impor Daging Sapi 28
SIMPULAN DAN SARAN 31
Simpulan 31
Saran 31
DAFTAR PUSTAKA 32
LAMPIRAN 34
RIWAYAT HIDUP 43



DAFTAR TABEL

1 Konsumsi produk peternakan per kapita tahun 2007-2011 1
2 Produksi produk peternakan tahun 2007-2011 (000 ton) 2
3 Ekspor dan impor daging sapi tahun 2009-2011 3
4 GDP riil per kapita Indonesia dan negara asal impor tahun 2000-2011 20
5 Nilai tukar Rupiah terhadap mata uang negara asal impor tahun 2000- 21
6 Harga daging sapi di Indonesia dan internasional tahun 2000-2011 22
7 Produksi daging nasional non unggas tahun 2000-2011 23
8 Produksi daging sapi di negara asal impor tahun 2000-2011 23
9 Volume impor daging sapi (HS0202) ke Indonesia tahun 2000-2011 24
10 Hasil pendugaan parameter faktor-faktor yang memengaruhi impor
daging sapi Indonesia periode tahun 2000-2011 28
11 Hasil uji normalitas 29


DAFTAR GAMBAR

1 Kurva permintaan 8
2 Kurva penawaran 9
3 Kurva perdagangan internasional 11
4 Kerangka pemikiran 14
5 Nilai impor daging sapi (HS0202) Indonesia tahun 2000-2011 26
6 Volume impor daging sapi (HS0202) Indonesia tahun 2000 -2011 27
7 Volume impor daging sapi (HS0202) Indonesia berdasarkan negara asal
impor tahun 2000-2011 27


DAFTAR LAMPIRAN

1 PLS 34
2 LSDV 35
3 Uji chow 36
4 Uji normalitas 37
5 Uji homoskedastisitas 38
6 Uji multikolinearitas 39
7 Variabel-variabel dalam model faktor-faktor yang memengaruhi impor
daging sapi di Indonesia 40





1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam beberapa tahun terakhir ini permintaan akan pangan hewani di
Indonesia cenderung meningkat, seiring dengan perkembangan ekonomi,
perbaikan tingkat pendidikan, dan perubahan gaya hidup yang terjadi dalam
masyarakat yang disebabkan arus urbanisasi dan globalisasi. Semakin
meningkatnya populasi penduduk dan perbaikan taraf hidup masyarakat Indonesia
tentu akan mendorong perubahan kebutuhan pangan, dan konsumsi menu
makanan rumah tangga secara bertahap akan mengalami perubahan kearah
konsumsi protein hewani (termasuk produk peternakan). Komoditas seperti
daging, telur dan susu merupakan komoditas pangan yang berprotein tinggi dan
memiliki harga yang relatif lebih mahal dibandingkan dengan komoditas pangan
lainnya. Hal tersebut menyebabkan tingginya volume impor bakalan sapi hidup
maupun daging sapi di Indonesia, karena harga daging sapi impor cenderung lebih
murah. Selama ini kebutuhan daging sapi di Indonesia diperoleh dari tiga sumber,
yaitu sapi lokal, sapi impor, dan daging impor.

Tabel 1 Konsumsi produk peternakan per kapita tahun 2007-2011
Kelompok bahan makanan 2007 2008 2009 2010 2011
Daging sapi (kg) 0.42 0.36 0.31 0.36 0.47
Telur (kg) 6.20 2.87 5.91 6.80 6.62
Susu (liter) 0.21 0.21 0.10 0.10 0.15
Sumber: Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan (2011).

Berdasarkan Tabel 1, rata-rata konsumsi daging sapi per kapita di Indonesia
dari tahun 2007-2011 sebesar 0.38 kg/kapita/tahun. Konsumsi daging sapi per
kapita bangsa Indonesia saat ini mencapai rata-rata 1.87 kg. Angka ini termasuk
rendah bila dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Tenggara seperti di
Malaysia rata-rata 46.87 kg/kapita/tahun, sementara di Filipina sebesar 24.96
kg/kapita/tahun. Konsumsi yang rendah itu pun, Indonesia memerlukan
setidaknya 448 000 ton daging sapi per tahun. Dari jumlah tersebut, baru sekitar
85% yang dapat dipenuhi oleh produksi daging sapi dalam negeri dan sisanya
masih berasal dari impor negara lain. Pemenuhan konsumsi masyarakat untuk
pangan hasil ternak dapat ditunjukkan dari hasil produksi ternak yaitu daging,
telur dan susu yang meningkat sejak tahun 2007-2011 seperti disajikan dalam
Tabel 2 berikut.






2
Tabel 2 Produksi produk peternakan tahun 2007-2011 (000 ton)
Jenis Produk
Tahun (Ton)
2007 2008 2009 2010 2011
Daging sapi 339.5 392.5 409.3 436.5 485.3
Telur 1 382.1 1 323.6 1 306.9 1 366.2 1 456.3
Susu 567.7 647.0 827.2 909.5 974.7
Sumber: Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan (2012).

Pada tahun 2011 total produksi daging sebanyak 2 554.20 ribu ton yang
terdiri dari daging sapi dan kerbau, kambing dan domba, babi, ayam buras, ayam
ras pedaging, ayam ras petelur dan ternak lainnya (Statistik peternakan 2012). Bila
dibandingkan tahun sebelumnya (2010) produksi daging sapi mengalami
peningkatan dari 436.5 ribu ton menjadi 485.3 ribu ton. Tingginya protein dalam
daging sapi membuat konsumen meningkatkan konsumsi mereka terhadap daging
sapi, sehingga produksi juga meningkat.
Kebutuhan daging dunia terus meningkat setiap tahunnya walaupun angka
konsumsi daging di beberapa negara maju mengalami penurunan. Padahal angka
konsumsi daging negara maju sekarang ini jauh di atas konsumsi daging negara
berkembang. Namun,seiring dengan perkembangan perekonomian negara
berkembang, kebutuhan daging pun semakin meningkat. Dengan keadaan ini
sangat besar peluang negara produsen untuk memasok daging ke negara-negara
berkembang. Kemampuan Indonesia memproduksi daging hanya sebesar 1.1 juta
ton setiap tahunnya. Dengan kemampuan ini sebenarnya Indonesia sudah
memiliki modal untuk mengekspor daging ke luar negeri. Akan tetapi, sebagian
besar produksi daging ini hanya dikonsumsi dalam negeri. Umumnya daging yang
dihasilkan kurang bermutu kendatipun ada juga perusahaan besar yang sudah
mampu mengekspor daging (Nazaruddin 1993).
Perbedaan harga merupakan salah satu penyebab terjadinya perdagangan
antar negara (lokasi), dimana suatu produk cenderung bergerak dari daerah
surplus ke daerah defisit, sampai perbedaan harga mendekati biaya transfer
(Purcell, 1979; Tomek and Robinson, 1990 dalam Ilham 2001). Indonesia
merupakan negara net importer daging sapi. Permintaan impor daging sapi
merupakan kekurangan produksi tersebut atas konsumsi dalam negeri. Disamping
itu, paritas harga yang tinggi antara harga domestik dengan harga impor, juga
merupakan faktor pendorong terjadinya kegiatan impor. Perbedaan harga tersebut
dapat disebabkan oleh perbedaan penawaran dan permintaan pada sentra produsen
dan sentra konsumen, dapat juga disebabkan oleh perubahan nilai tukar mata uang
negara eksportir dan importir. Kualitas komoditas yang diperdagangkan juga
menyebabkanperbedaan harga tersebut (Ilham 2001).
Berdasarkan Tabel 3 neraca perdagangan daging sapi di Indonesia
mengalami defisit yang tinggi. Perbedaan yang sangat besar ditunjukkan dari
volume dan nilai ekspor daging sapi. Pada tahun 2010 impor daging sapi
dilakukan secara besar-besaran, hal ini dapat dilihat dari nilai dan volume ekspor
daging sapi yang berbanding sangat timpang dengan volume dan nilai impor.
Volume impor dari tahun 2009 ke tahun 2010 meningkat sebesar 23 115 605 kg,
sementara dari tahun 2010 ke tahun 2011 volume impor menurun drastis sebesar

3
49 671 209 kg. Hal ini disebabkan karena kebijakan penetapan aturan non-tarif
komoditas peternakan impor, yaitu pengurangan pembatasan kuota impor daging
sapi sesuai dengan RENSTRA KEMENTAN 2010-2014.

Tabel 3 Ekspor dan impor daging sapi tahun 2009-2011
Tahun
Ekspor Impor
Volume (kg) Nilai (USD) Volume (kg) Nilai (USD)
2009 5 861 20 712 67 390 133 188 187 318
2010 4 14 90 505 738 289 506 475
2011 296 3 196 65 022 487 234 265 843
Total 6 161 23 922 222 918 358 711 959 636
Sumber: Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan (2012).

Program Swasembada Daging Sapi Tahun 2014 (PSDS-2014) merupakan
salah satu program prioritas pemerintah untuk mewujudkan ketahanan pangan asal
ternak berbasis sumberdaya lokal. Pencapaian swasembada daging sapi
merupakan tantangan yang tidak ringan, karena pada tahun 2009 impor daging
mencapai 70 ribu ton dan sapi bakalan setara dengan 250.8 ribu ton daging
(Ditjenak 2010). Angka ini kira-kira meliputi 30% dari kebutuhan daging nasional.
Bahkan ada kecenderungan volume impor terus meningkat menjadi sekitar 720
ribu ekor sapi pada tahun-tahun mendatang. Hal ini dapat menyebabkan
kemandirian dan kedaulatan pangan hewani, khususnya daging sapi, semakin jauh
dari harapan dan menyebabkan Indonesia masuk dalam perangkap pangan negara
eksportir (Strategi dan Kebijakan Dalam Percepatan Pencapaian PSDS 2014
2010).
Impor daging dan sapi bakalan yang pada awalnya bertujuan untuk
mendukung dan mencukupi kebutuhan daging sapi malah terus meningkat dan
menganggu usaha agribisnis sapi potong lokal. Harga daging, jeroan dan sapi
bakalan impor relatif lebih murah karena manajemen budidaya dan pengelolaan
sumber daya produksi sapi di negara pengekspor sangat efisien dibandingkan
dengan Indonesia. Kegiatan agroindustri sapi potong skala besar semakin bergeser
dari kegiatan feedloting menjadi kegiatan yang lebih ke hilir, yaitu impor sapi siap
potong dan menjurus pada perdagangan daging. Hal ini dapat merugikan
perekonomian negara dan masyarakat, mengingat kegiatan impor bakalan dan
daging yang begitu pesat sehingga mengurangi insentif masyarakat untuk
membudidayakan sapi potong dalam negeri. Kebutuhan daging yang meningkat
menyebabkan pemotongan terhadap sapi betina lokal produktif juga meningkat
mencapai 200 ribu ekor per tahun. Hal ini menyebabkan stok bibit nasional
semakin berkurang dan menghambat pertambahan populasi sapi lokal.
Strategi Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan dalam
melaksanakan pembangunan peternakan dan kesehatan hewan tahun 2010-2014
diarahkan untuk mencapai tujuan dan sasaran dalam pembangunan peternakan
sesuai dengan target empat sukses Kementrian Pertanian, yaitu Pencapaian
Swasembada dan Swasembada Berkelanjutan. Dalam mencapai target tersebut,
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan mengacu pada kesepakatan
General Agreement on Tarif and Trade (GATT) yang diwadahi oleh WTO,
dengan salah satu kesepakatannya memuat agreement on agriculture, termasuk

4
didalamnya terkait perjanjian Sanitary and Phytosanitary (SPS) dan Technical
Barrier to Trade (TBT) seperti yang tertuang dalam UU No 7 Tahun 2004. Prinsip
perjanjian tersebut pada intinya adalah bahwa produk dan jasa yang dihasilkan
dari kegiatan sub sector peternakan dan kesehatan hewan harus memenuhi
persyaratan keamanan (safety), standard mutu (quality), kesejahteraan hewan
(animal walfare), ramah lingkungan dan berkelanjutan (Renstra Ditjen PKH
2010-2014).
Berdasarkan gambaran kondisi produksi, konsumsi, dan impor daging sapi
di Indonesia, maka diperlukan suatu kajian atau penelitian yang membahas
mengenai faktor-faktor yang memengaruhi impor daging sapi di Indonesia
sehingga dapat diketahui faktor-faktor yang berperan penting dalam impor daging
sapi sekaligus menganalisis tindakan yang seharusnya dilakukan untuk
meningkatkan produksi domestik dan mengurangi impor daging sapi ke Indonesia.


Perumusan Masalah
Daging sapi yang bersifat demand driven tersebut, masih bermasalah dalam
pemenuhannya. Kesenjangan antara kebutuhan konsumsi dengan produksi daging
sapi lokal terjadi tiap tahun, yang diduga karena adanya peningkatan jumlah
masyarakat yang berpendapatan menengah ke atas. Peningkatan jumlah tersebut
tercermin dari peningkatan konsumsi daging sapi dari sebesar 1.95 kg per kapita
pada tahun 2007 menjadi 2 kg per kapita pada tahun 2008 dan meningkat menjadi
2.24 kg per kapita pada tahun 2009. Peningkatan konsumsi ini berdampak pada
meningkatnya kebutuhan daging sapi dan jeroan dari 455 755 ton pada tahun 2008
menjadi 516 603 ton pada tahun 2009 (BPS dan Statistik Peternakan 2009).
Kebutuhan daging tersebut setara dengan jumlah sapi sebanyak 2.432 juta ekor
sapi pada tahun 2008 dan 2.746 juta ekor sapi pada tahun 2009. Untuk memenuhi
kebutuhan tersebut, maka impor daging sapi dan jeroan juga meningkat menjadi
sebesar 110 246 ton serta untuk sapi bakalan sebanyak 768 133 ekor pada tahun
2009. Hal ini karena sapi lokal hanya dapat mensuplai kebutuhan daging sebesar
49% dari kebutuhan daging nasional pada tahun 2009 (BPS dan Statistik
Peternakan 2009).
Kebijakan izin impor sapi bakalan dan daging sapi yang dikeluarkan
pemerintah tahun 1980an semula untuk menyediakan daging murah, sehingga
konsumsi daging masyarakat meningkat. Namun, pada saat ini proporsi daging
sapi impor telah mencapai 30% dari kebutuhan daging sapi nasional, sehingga
mengkhawatirkan bagi kedaulatan dan ketahanan pangan.
Swasembada daging yang dilakukan pemerintah merupakan upaya yang
sangat relevan untuk ketahanan pangan, dengan mengurangi ketergantungan
impor sampai pada batas 10% dari kebutuhan. Impor daging yang selama ini
dilakukan tidak lain untuk mengisi excess demand agar konsumsi daging sapi
dapat dipenuhi. Oleh karena itu perlu ada target produksi dari sisi penawaran dan
target konsumsi dari sisi permintaan yang seimbang, agar swasembada daging
sapi bisa terwujud.
Setiap negara tentu menginginkan profil neraca perdagangannya surplus,
demikian pula untuk sektor pertanian dan peternakan dengan tujuan selain dapat
memenuhi kebutuhan domestik (ketahanan pangan) yang semakin meningkat

5
seiring dengan pertambahan populasi juga dapat memberikan kesempatan yang
luas bagi produsen domestik untuk meningkatkan produksinya. Namun upaya
untuk mewujudkannya tidak mudah, karena input produksi sebagian besar masih
tergantung pada pasokan impor. Untuk itu penelitan ini dimaksudkan untuk
memberikan solusi yang tepat dalam mengatasi ketergantungan Indonesia
terhadap negara-negara pengekspor daging sapi.
Berdasarkan uraian tersebut maka perumusan masalah yang dapat dikaji dan
dianalisis lebih lanjut dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana kondisi dan kecenderungan impor daging sapi di Indonesia?
2. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi impor daging sapi di Indonesia?


Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang dijelaskan, maka tujuan yang ingin
dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan kondisi dan kecenderungan impor daging sapi di Indonesia .
2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi impor daging sapi di
Indonesia.

Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat tidak hanya
bagi penulis tetapi juga bagi pemerintah Indonesia dan instansi yang terkait dalam
melakukan impor, khususnya komoditas yang dijelaskan dalam penelitian ini.
Manfaat yang diharapkan antara lain:
1. Sebagai tambahan informasi, masukan dan bahan pertimbangan bagi
pemerintah dalam menyusun kebijakan yang terkait dengan kegiatan impor
daging sapi agara mengurangi ketergantungan impor daging sapi.
2. Bagi peneliti-peneliti lainnya diharapkan dapat menjadi bahan rujukan dan
pertimbangan atau perbandingan dalam penelitian selanjutnya.


Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini mengkaji masalah terhadap faktor-faktor yang memengaruhi
volume impor daging sapi di Indonesia. Analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data gabungan time series dan cross section atau panel data.
Tahun pengamatan sebanyak 12 tahun, mulai dari tahun 2000 hingga 2011.
Komoditas daging sapi yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging sapi
dengan kode HS empat digit, yaitu HS 0202 atau daging sapi beku. Adapun
variabel yang digunakan dalam penelitian ini meliputi harga riil daging sapi
internasional, harga riil daging sapi di Indonesia, Produk Domestik Bruto (GDP)
riil per kapita Indonesia dan GDP riil per kapita negara asal impor, nilai tukar riil
Rupiah terhadap mata uang negara asal impor serta produksi daging sapi domestik
dan produksi daging sapi negara asal impor. Dikarenakan ketersediaan data, maka
negara yang diamati dalam penelitian ini adalah sebanyak lima negara yaitu
Australia, New Zealand, USA, Singapura dan Jepang.


6
Hipotesis
Dalam penelitian ini, hipotesis sementara yang digunakan dalam
menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi impor daging sapi adalah:
1. GDP riil per kapita Indonesia mempunyai hubungan yang positif terhadap
volume impor daging sapi di Indonesia. Apabila GDP per kapita meningkat
maka akan meningkatkan tingkat pendapatan sehingga daya beli masyarakat
meningkat, oleh karena itu permintaan daging sapi akan meningkat pula
dengan asumsi daging sapi adalah barang normal.
2. GDP riil per kapita negara asal impor mempunyai hubungan yang negatif
terhadap volume impor daging sapi di Indonesia. Semakin tinggi GDP per
kapita negara asal impor maka akan menurunkan volume ekspornya ke
Indonesia karena permintaan daging sapi di negara tersebut akan meningkat,
dengan asumsi daging sapi adalah barang normal.
3. Faktor nilai tukar (Official Exchange Rate) Rupiah terhadap mata uang negara
asal impor mempunyai hubungan yang positif terhadap volume impor daging
sapi di Indonesia. Apresiasi Rupiah terhadap nilai mata uang negara asal
impor menyebabkan harga daging sapi di negara asal impor menjadi rendah,
sehingga dengan menguatnya nilai Rupiah maka volume impor daging sapi
akan meningkat.
4. Faktor harga daging sapi Indonesia mempunyai hubungan yang positif
terhadap volume impor daging sapi. Kenaikan harga daging sapi domestik
akan menurunkan permintaan daging sapi domestik sehingga menyebabkan
peningkatan impor daging sapi karena harga daging sapi impor cenderung
lebih murah.
5. Faktor harga daging sapi internasional mempunyai hubungan yang negatif
terhadap volume impor daging sapi. Kenaikan harga internasional akan
menyebabkan penurunan volume impor daging sapi.
6. Produksi daging sapi Indonesia mempunyai hubungan yang negatif terhadap
volume impor daging sapi Indonesia. Semakin tinggi produksi daging sapi
domestik maka kebutuhan daging sapi domestik akan terpenuhi sehingga
volume impor daging sapi akan berkurang.
7. Produksi daging sapi di negara asal impor mempunyai hubungan yang positif
terhadap volume impor daging sapi di Indonesia. Semakin tinggi produksi
daging sapi di negara asal impor maka insentif negara tersebut untuk
mengekspor daging sapi akan meningkat sehingga volume impor daging sapi
di Indonesia akan bertambah.


TINJAUAN PUSTAKA
Landasan Teori
Permintaan adalah jumlah barang yang sanggup dibeli oleh para pembeli
pada tempat dan waktu tertentu dengan harga yang berlaku pada saat itu. Adapun
menurut Lipsey (1995) faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan adalah:


7
1. Harga barang yang bersangkutan
Keadaan harga suatu barang mempengaruhi jumlah permintaan terhadap
barang tersebut. Bila harga naik maka permintaan akan barang tersebut akan
turun. Sebaliknya, bila harga turun maka permintaan akan barang tersebut
akan naik. Hubungan harga dengan permintaan adalah hubungan yang negatif
dengan catatan faktor lain yang mempengaruhi jumlah permintaan dianggap
tetap.
2. Harga barang lain
Terjadinya perubahan harga pada suatu barang akan berpengaruh pada
permintaan barang lain. Keadaan ini bisa terjadi bila kedua barang tersebut
mempunyai hubungan, apakah saling menggantikan (substitusi) atau saling
melengkapi (komplemen). Bila tidak berhubungan, maka tidak akan saling
berpengaruh.
3. Selera
Selera merupakan variabel yang mempengaruhi besar kecilnya permintaan.
Selera dan pilihan konsumen terhadap suatu barang bukan saja dipengaruhi
oleh struktur umur konsumen, tetapi juga karena faktor adat dan kebiasaan
setempat, tingkat pendidikan, atau lainnya.
4. Jumlah penduduk
Semakin banyak jumlah penduduk makin besar pula barang yang dikonsumsi
dan semakin besar pula jumlah permintaan akan barang tersebut.
5. Tingkat pendapatan
Perubahan tingkat pendapatan akan mempengaruhi banyaknya barang yang
dikonsumsi. Secara teoritis, peningkatan pendapatan akan meningkatkan
konsumsi.
6. Rata-rata pendapatan rumah tangga
Jika rumah tangga menerima rata-rata pendapatan yang lebih besar, maka
mereka akan membeli lebih banyak suatu komoditi, walaupun harga komoditi
itu tetap sama. Kenaikan pendapatan rata-rata rumah tangga akan menggeser
kurva permintaan kekanan yang menunjukkan peningkatan permintaan
komoditi tersebut pada setiap tingkat harga yang mungkin.
Hubungan antara harga dengan jumlah barang yang akan dibeli adalah
negatif. Hal ini menunjukkan bahwa ketika produsen meningkatkan harga barang,
maka yang terjadi pada jumlah barang yang akan dibeli akan berkurang.
Kemudian ketika harga barang menurun, konsumen akan bersedia membeli lebih
banyak sehingga jumlah barang yang diminta akan meningkat. Kurva permintaan
menyajikan hubungan antara jumlah barang yang diminta dengan harga, dengan
asumsi faktor lain adalah sama (Gambar 1).











8











Sumber: Lipsey (1995).
Gambar 1 Kurva permintaan

Menurut Nicholson (2002), penawaran adalah jumlah suatu barang atau jasa
yang rela dan mampu dijual oleh para produsen dalam jangka waktu tertentu dan
kondisi tertentu. Jumlah produksi yang ditawarkan di pasaran berasal dari
produksi pada waktu tertentu dan persediaan (inventory) dari periode-periode
sebelumnya. Perubahan pada penawaran dapat terjadi karena dipengaruhi oleh
beberapa faktor, antara lain :
1. Harga komoditi itu sendiri
Harga komoditi itu sendiri mempunyai hubungan yang positif dengan jumlah
yang ditawarkan, ceteris paribus. Semakin tinggi harga suatu komoditi, maka
semakin banyak jumlah komoditi yang akan ditawarkan oleh produsen.
Sebaliknya, semakin rendah rendah harga suatu komoditi maka semakin
sedikit jumlah komoditi yang ditawarkan oleh produsen.
2. Harga komoditi lain
Berbagai komoditi dapat disubstitusi atau saling komplemen dalam produksi
maupun dalam konsumsi. Jika harga komoditi substitusi meningkat, maka
penawaran komoditi yang bersangkutan akan menurun. Sebaliknya, penurunan
harga komoditi substitusi akan meningkatkan penawaran komoditi yang
bersangkutan. Sementara untuk barang komplementer, kenaikan harga
komoditi tersebut akan menyebabkan peningkatan penawaran komoditi yang
bersangkutan. Demikian juga sebaliknya, penurunan harga barang
komplementer akan menyebabkan turunnya penawaran komoditi yang
bersangkutan.
3. Teknologi
Bila terjadi perubahan atau peningkatan pada teknologi dalam proses produksi
maka akan terjadi perubahan pada produksi yang cenderung meningkat. Bila
produksi meningkat karena perubahan teknologi berarti penawaran pun akan
meningkat.
4. Harga input (faktor-faktor produksi)
Apabila harga faktor produksi turun, maka produsen akan menambah
penggunaan faktor produksi sehingga produksi akan meningkat. Jika harga
faktor produksi meningkat, maka produsen akan cenderung mengurangi
penggunaan faktor produksi sehingga produksi akan menurun. Turunnya hasil
produksi akan menurunkan penawaran.

HargaBarang
D
JumlahBarang
Q
1

Q
2

P
2

P
1


9
S
Harga Barang
Jumlah Barang
Q
1
Q
2

P
1

P
2
5. Jumlah produsen
Jika jumlah produsen bertambah, maka produksi yang ditawarkan akan
meningkat.
6. Tujuan perusahaan
Dalam teori ekonomi, perusahaan diasumsikan bertujuan untuk mencapai laba
yang sebesar-besarnya. Akan tetapi, terdapat juga perusahaan yang tidak
berorientasi kepada maksimisasi laba sehingga perusahaan tersebut dapat
meningkatkan ataupun menurunkan produksinya tanpa terlalu
memperhitungkan laba atau rugi yang akan diperoleh perusahaan.
7. Pajak dan subsidi
Adanya pajak seperti pajak penjualan atau pajak penghasilan akan
mengakibatkan kenaikan pada ongkos produksi sehingga mengurangi insentif
untuk berproduksi. Dengan demikian, penawaran komoditi tersebut akan
berkurang. Sebaliknya, pemberian subsidi akan mengurangi ongkos produksi
dan meningkatkan keuntungan sehingga penawaran komoditi tersebut akan
meningkat.











Sumber: Nicholson (2002).
Gambar 2 Kurva penawaran
Harga dibentuk oleh pasar yang mempunyai dua sisi, yaitu penawaran dan
permintaan. Harga merupakan sinyal kelangkaan (scarcity) suatu sumberdaya
yang mengarahkan pelaku ekonomi untuk mengalokasikan sumber dayanya.
Perpotongan kurva permintaan dan penawaran suatu komoditi menentukan harga
pasar komoditi tersebut, dimana jumlah komoditi yang diminta sama dengan
jumlah komoditi yang ditawarkan. Dengan kata lain, keseimbangan harga pasar
merupakan hasil interaksi kekuatan penawaran dan permintaan komoditi di pasar
(Nicholson 2002).
Harga pasar mempunyai dua fungsi utama, yaitu sebagai: (1) pemberi
informasi tentang jumlah komoditi yang sebaiknya dipasok oleh produsen untuk
memperoleh laba maksimum; (2) penentu tingkat permintaan bagi konsumen yang
menginginkan kepuasan maksimum (Nicholson 2002).
Permintaan mempengaruhi harga secara positif, dimana jika permintaan
turun maka kuantitas komoditi yang ada di pasar cenderung berlebihan sehingga
produsen akan menawarkan komoditinya dengan harga yang lebih rendah.
Sedangkan penawaran mempengaruhi harga secara negatif, dimana jika
penawaran meningkat maka harga akan cenderung turun dikarenakan kuantitas

10
komoditi yang ada lebih besar daripada yang diinginkan konsumen (Nicholson
2002).
Perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh
penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan
bersama. Perdagangan internasional yang tercermin dari kegiatan ekspor dan
impor suatu negara menjadi salah satu komponen dalam pembentukan PDB
(Produk Domestik Bruto) dari sisi pengeluaran suatu negara (Oktaviani dan
Novianti 2009). Krugman dalam Oktaviani dan Novianti (2009) mengungkapkan
bahwa alasan utama terjadinya perdagangan internasional:
1. Negara-negara berdagang karena mereka berbeda satu sama lain.
2. Negara-negara melakukan perdagangan dengan tujuan untuk mencapai skala
ekonomi (economic of scale)
Berdasarkan teori keunggulan absolut Adam Smith, perdagangan
internasional hanya dapat terjadi pada negara yang memiliki keunggulan absolut.
Diasumsikan ada dua negara yang melakukan perdagangan. Jika suatu negara
lebih efisien dari pada negara lain dalam memproduksi sebuah komoditi, namun
kurang efisien dalam memproduksi komoditi lainnya, maka kedua negara tersebut
akan mendapatkan keuntungan masing-masing dengan melakukan spesialisasi
dalam memproduksi komoditi yang memiliki keuntungan absolut dan menukarnya
dengan komoditi yang memiliki kerugian absolut.
Kelebihan dari teori Absolute advantage yaitu terjadinya perdagangan bebas
antara dua negara yang saling memiliki keunggulan absolut yang berbeda, dimana
terjadi interaksi ekspor dan impor hal ini akan meningkatkan kemakmuran negara.
Kelemahannya yaitu apabila hanya satu negara yang memiliki keunggulan absolut
maka perdagangan internasional tidak akan terjadi karena tidak ada keuntungan.
Kelemahan teori Adam Smith ini kemudian disempurnakan oleh David Ricardo
dengan teori keunggulan komparatif baik secara cost comparative (labor
efficiency) maupun production comparative (labor productivity). Apabila suatu
negara tersebut melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang dimana
negara tersebut dapat berproduksi relatif lebih produktif serta mengimpor barang
dimana negara tersebut berproduksi relatif kurang atau tidak produktif. Salvatore
(1997) merumuskan model sederhana terjadinya perdagangan internasional
sebagai berikut:
Sebelum terjadinya perdagangan internasional harga relatif suatu komoditi di
negara A adalah sebesar P
A
, sedangkan harga relatif suatu komoditi di negara B
adalah P
B
. Penawaran pasar internasional akan terjadi jika harga internasional
lebih tinggi dari P
A
sedangkan permintaan di pasar internasional akan terjadi jika
harga internasional lebih rendah dari P
B
. Pada saat harga internasional (P*) sama
dengan P
A
maka negara B akan terjadi excess demand (ED) sebesar B. Jika harga
internasional sama dengan P
B
maka di negara A akan terjadi excess supply (ES)
sebesar A. Dari A dan B akan terbentuk kurva ES dan ED yang akan menentukan
harga yang terjadi di pasar internasional sebesar P*. Dengan adanya perdagangan
tersebut, maka negara A akan mengekspor komoditi sebesar X sedangkan negara
B akan mengimpor komoditi sebesar M, dimana di pasar internasional besar X
sama dengan M yaitu Q*.




11















Sumber: Salvatore (1997)
Gambar 3 Kurva perdagangan internasional
Perbedaan harga merupakan salah satu penyebab terjadinya perdagangan
antar negara (lokasi), dimana suatu produk cenderung dari daerah surplus ke
daerah defisit, sampai harga mendekati biaya transfer. Indonesia merupakan
negara net importer daging sapi. Permintaan impor daging sapi merupakan
kekurangan produksi tersebut dalam konsumsi dalam negeri. Disamping itu,
paritas harga yang tinggi antara harga domestik dengan harga impor juga
merupakan faktor pendorong terjadinya kegiatan impor. Perbedaan harga tersebut
dapat disebabkan oleh perbedaan penawaran dan permintaan pada produsen dan
konsumen, dapat juga disebabkan oleh perubahan nilai tukar mata uang negara
eksportir dan importir. Kualitas komoditas yang diperdagangkan juga
menyebabkan perbedaan harga tersebut (Ilham 2001).
Kuota merupakan bentuk hambatan perdagangan non tarif. Kuota adalah
pembatasan secara langsung terhadap jumlah impor atau ekspor. Kuota bisa
berupa pembatsan kuantitas pasokan, misalkan sekian ton per tahun atau sekian
unit per tahun, atau bisa juga berupa pembatasan nilai, misalkan ekspor produk ke
suatu negara tidak boleh lebih dari sekian juta dolar per tahun. Pembatasan ini
biasanya diberlakukan dengan memberi lisensi kepada beberapa individu atau
perusahaan domestik untuk mengimpor suatu produk yang jumlahnya langsung
dibatasi. Kuota impor dapat digunakan untuk melindungi sektor industri tertentu,
melindungi sektor pertanian, dan untuk melindungi neraca pembayaran suatu
negara (Oktaviani dan Novianti 2009).


Penelitian Terdahulu
Manik (2012) melakukan penelitian mengenai faktor-faktor mempengaruhi
aliran perdagangan impor bawang merah dan kentang Indonesia. Data yang
digunakan berupa data sekunder tahun 2006 sampai tahun 2010 yang dianalisis
dengan menggunakan model gravitasi. Model estimasi yang digunakan untuk
melakukan analisis komoditi bawang merah adalah dengan menggunakan fixed
D
A
S
A
A

X

ES

ED

P*

Q*

P
A

Q
A
O O O
D
B
S
B
P
B

Q
B

B
M
Negara A Perdagangan Negara B

12
effect model sementara komoditi kentang oleh pooled least square. Berdasarkan
hasil estimasi dengan menggunakan model gravitasi diketahui variabel yang
berpengaruh terhadap volume impor bawang merah dan kentang Indonesia yaitu
populasi negara pengekspor, populasi Indonesia, harga impor, jarak ekonomi,
GDP riil Indonesia dan GDP riil negara pengekspor. Sedangkan variabel yang
tidak mempengaruhi volume impor bawang merah dan kentang Indonesia adalah
nilai tukar.
Hutabalian (2009) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi
penawaran daging sapi domestik tahun 1990-2007 menggunakan data sekunder
time series dan cross section dengan model ekonometrika regresi data panel. Hasil
dugaan model penawaran daging sapi domestik dengan menggunakan metode
fixed effect, menunjukkan bahwa variabel-variabel yang berpengaruh nyata
terhadap penawaran daging sapi domestik pada taraf nyata lima persen adalah
populasi ternak sapi potong, harga daging sapi dan luas panen padi. Sedangkan
peubah harga ternak sapi signifikan pada taraf nyata 20%.
Dalam tesis Nyak Ilham (1998) yang berjudul Penawaran dan Permintaan
Daging Sapi di Indonesia : Suatu Analisis Simulasi meneliti tentang faktor-faktor
yang mempengaruhi penawaran, permintaan, dan harga daging sapi di Indonesia
serta dampak kebijakan penurunan tarif impor, penurunan tingkat suku bunga,
depresiasi rupiah, penghapusan kuota perdagangan antar daerah, dan perubahan
faktor-faktor eksternal terhadap penawaran, permintaan, dan harga daging sapi di
Indonesia, serta bagaimana pengaruhnya terhadap kesejahteraan produsen dan
konsumen. Penelitian ini menggunakan data sekunder time series dari triwulan
kesatu 1990 sampai triwulan kedua 1997 yang dianalisis dalam bentuk persamaan
simultan dengan metode 3SLS (Three Stage Least Squares). Model penawaran
dan permintaan daging sapi terdiri dari tujuh persamaan struktural dan tujuh
persamaan identitas.
Alternatif kebijakan yang diperoleh dari hasil analisis simulasi yaitu
penurunan tarif impor, penghapusan kuota perdagangan antar daerah, depresiasi
rupiah, penurunan tingkat suku bunga. Sedangkan alternatif perubahan faktor
eksternal yaitu peningkatan ekspor Selandia Baru, peningkatan ekspor Australia,
peningkatan impor Amerika Serikat, peningkatan impor Jepang, dan gabungan
peningkatan ekspor Selandia Baru dan impor Amerika Serikat
Studi oleh Tseuoa et al (2012) yang berjudul The Impact of The ASEAN
Australia and New Zealand and Free Trade Agreement (AANZFTA) on The Beef
Industry in Indonesia bertujuan untuk mengevaluasi dampak penghapusan tarif
terhadap produksi, konsumsi, harga domestik dan impor daging sapi di Indonesia,
menganalisis dampak free trade agreement terhadap produsen daging sapi dan
surplus konsumen, dan merumuskan alternatif kebijakan untuk meningkatkan
produksi daging sapi domestik dan mengurangi impor daging sapi. Studi
dianalisis dengan persamaan simultan yang terdiri dari tujuh persamaan struktural
dan dua persamaan identitas dan diestimasi dengan metode 2SLS (Two Stage
Least Squares) dengan data sekunder time series tahun 1990 sampai 2008.
Hasil studi menunjukkan bahwa penghapusan tarif impor daging sapi dari
Australia dan Selandia Baru dalam AANZFTA akan meningkatkan impor daging
sapi dan penawaran daging sapi domestik. Hal ini akan menguntungkan
konsumen karena harga daging sapi domestik akan menurun, tetapi tidak akan

13
menurunkan produksi daging sapi domestik secara drastis. Adanya AANZFTA
akan mengurangi surplus produsen dan meningkatkan surplus konsumen.


Kerangka Pemikiran
Peningkatan populasi di Indonesia yang pesat serta berkembangnya arus
modern menyebabkan tingginya kesadaran masyarakat akan perbaikan taraf hidup
terutama dalam pemenuhan pangan. Daging sapi salah satu bahan pangan pokok
yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Akan tetapi, produksi daging sapi di
domestik tidak dapat mengimbangi tingginya permintaan akan daging sapi
domestik. Pemenuhan permintaan daging sapi domestik masih harus melakukan
impor daging sapi dari negara produsen. Volume impor daging sapi Indonesia
setap tahun mengalami. Tingginya permintaan impor juga dikarenakan harga
daging sapi impor cenderung lebih rendah daripada harga daging sapi domestik.
Oleh karena itu, konsumen lebih memilih untuk mengkonsumsi daging sapi impor
dibandingkan daging sapi domestik. Kondisi ini akan menjadikan Indonesia
menjadi bergantung pada negara-negara pengkespor daging sapi.




















14
































Gambar 4 Kerangka pemikiran
Analisis deskriptif
Impor daging sapi di Indonesia tinggi
Ketergantungan Indonesia
terhadap negara pengekspor
daging sapi
Produksi daging sapi
domestik rendah
Faktor-faktor yang
mempengaruhi impor
daging sapi di Indonesia
Kecenderungan volume
impor daging sapi di
Indonesia
Analisis regresi data panel
impor daging sapi
Rekomendasi Kebijakan
- GDP riil per kapita Indonesia dan negara asal
impor
- Nilai tukar riil Rupiah terhadap mata uang negara
asal impor
- Harga riil daging sapi domestik Indonesia
- Harga riil daging sapi internasional
- Produksi daging sapi domestik Indonesia dan
produksi daging sapi negara asal impor


15
METODE
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder. Data yang
diamati merupakan data gabungan time series dan cross section atau panel data
(pooled data). Adapun tahun pengamatan sebanyak 12 tahun, mulai dari tahun
2000 sampai tahun 2011 dengan data penampang lintangnya sebanyak lima
negara pengekspor daging sapi terbesar ke Indonesia yaitu Australia, New
Zealand, USA, Singapura dan Jepang.
Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari beberapa sumber,
yaitu Kementrian Perdagangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan, Worldbank, United Nation Commodity Trade
(UNComtrade), Food and Agriculture Organization (FAO) serta penelusuran
internet dan literatur terkait. Jenis data meliputi data GDP riil per kapita Indonesia
dan GDP riil per kapita negara asal impor, nilai tukar riil Rupiah terhadap mata
uang negara asal impor, harga riil daging sapi di Indonesia, harga riil daging sapi
internasional, serta produksi daging sapi di Indonesia dan produksi daging sapi
negara asal impor.

Metode Analisis dan Pengolahan Data
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif dan metode kuantitatif.Metode deskriptif yang digunakan dalam
penelitian ini adalah untuk menjelaskan informasi-informasi yang terkandung
dalam data hasil analisis dan kecenderungan volume impor daging sapi di
Indonesia. Metode kuantitatif digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi impor daging sapi di Indonesia dengan menggunakan analisis
regresi data panel dengan yang diolah dengan program Eviews6.
Data panel merupakan salah satu jenis data yang dapat digunakan dalam
analisis model regresi data panel (Panel Data Regression Models), atau disebut
juga dengan pooled data (pooling dari pengamatan times series dan cross-section)
kombinasi dari time series dan cross-section data. Data cross section merupakan
data yang dikumpulkan dalam satu waktu terhadap banyak individu, perusahaan,
negara dan lain-lain. Data time series adalah data yang dikumpulkan dari waktu
kewaktu terhadap suatu individu. Menggunakan data panel memiliki beberapa
keuntungan. Menurut Firdaus (2011) beberapa kelebihan menggunakan data panel
disebutkan sebagai berikut:
1. Dengan mengkombinasikan data time series dan cross section membuat
jumlah observasi menjadi lebih besar sehingga parameter yang diestimasi akan
lebih akurat,
2. Memberikan data yang lebih informatif, lebih bervariasi, derajat
kebebasanyang lebih efisien, serta mengurangi kolinieritas antar variabel,
3. Data panel lebih baik dalam hal untuk studi mengenai dynamics of adjustment,
yang memungkinkan estimasi masing-masing karakteristik individu maupun
karakteristik antar waktu secara terpisah, dan

16
4. Mempunyai kemampuan yang lebih baik dalam mengidentifikasi dan
mengukur pengaruh yang secara sederhana tidak dapat dideteksi oleh data
cross section ataupun time series saja dan mampu mengontrol heterogenitas
individu.
Pada analisis model panel data dikenal tiga metode pendekatan estimasiyang
ditawarkan yaitu metode kuadrat terkecil (Pooled Least Square), metode efek
tetap (Fixed Effect) dan metode efek acak (Random Effect). Pendekatan pertama
secara sederhana menggabungkan (pooled) seluruh data time-series dan cross
section dan kemudian mengestimasi model dengan menggunakan metode OLS
(Ordinary Least Square). Pendekatan kedua memperhitungkan kemungkinan
bahwa kita menghadapi masalah omitted variables, yaitu kemungkinan adanya
perubahan pada intercept time-series atau cross-section. Metode dengan Fixed
Effect menambahkan dummy variables untuk mengizinkan adanya perubahan
pada intercept. Pendekatan ketiga memperbaiki efisiensi proses least square
dengan memperhitungkan error dari cross-section dan time series. Metode
Random Effect adalah variasi dari estimasi Generalized Least Squares (GLS).
Data panel merupakan gabungan dari data cross section dan time series,
maka model dapat dituliskan dengan:
Y
it
= +
1
X
it
+
it

i = 1, 2, , N;
t = 1, 2, , T
Dimana:
N = Banyaknya observasi
T = Banyaknya waktu
Pendekatan Kuadrat Terkecil (Pooled Least Square)
Pendekatan pertama adalah pendekatan kuadrat terkecil, pada metode ini
penggunaan data panel dengan mengumpulkan semua data cross section dan time
series lalu melakukan pendugaan (pooling). Di setiap observasi terdapat regresi
sehingga datanya berdimensi tunggal. Dari data panel akan diketahui N adalah
jumlah unit cross section dan T adalah jumlah periode waktu. Dengan melakukan
pooling seluruh observasi sebanyak N x T, maka dapat ditulis fungsi dari model
kuadrat terkecil,yaitu:


untuk
i = 1, 2, 3, ,n dan t = 1, 2, 3, ,t
Dimana:
i = Unit cross section
t = Unit time series

= Peubah respon pada unit cross section ke-i dan waktu ke-t

= Peubah bebas ke-k pada unit cross section ke-i dan waktu ke-i
= Intercept

it
= Peubah galat pada unit cross section ke-i dan waktu ke-t
Pendekatan yang paling sederhana untuk mengestimasi persamaan tersebut
adalah mengabaikan dimensi cross section dan time series dari data panel dan
mengestimasi data dengan metode kuadrat terkecil biasa (OLS) yang diterapkan
dalam data yang berbentuk pool. Pada metode ini, model mengasumsikan bahwa
nilai intercept masing-masing variabel adalah sama, kemudian model ini juga

17
mengasumsikan bahwa slope koefisien dari dua variabel adalah identik untuk
semua unit cross section. Ini merupakan asumsi yang harus dipenuhi, sehingga
walaupun metode Pooled Least Square (PLS) cenderung lebih mudah, namun
model mungkin mendistorsi gambaran yang sebenarnya dari hubungan antara Y
dan X antar unit cross section.
Pendekatan Efek Tetap (Fixed Effect)
Kesulitan terbesar dalam pendekatan metode kuadrat terecil biasa adalah
asumsi intercept dan slope dari persamaan regresi yang dianggap konstan baik
antar daerah maupun antar waktu yang mungkin tidak beralasan. Generelasi
secara umum yang sering dilakukan adalah dengan memasukkan variabel boneka
(dummy variable) untuk mengizinkan terjadinya perbedaan nilai parameter yang
berbeda-beda baik lintas unit cross section maupun time series.
Pendekatan dengan memasukkan variabel dummy ini dikenal dengan
sebutan model efek tetap (fixed effect) atau Least Square Dummy Variabel
(LSDV) atau disebut juga Covariance Model. Pendekatan tersebut dapat
dituliskan dalam persamaan sebagai berikut:


Dimana :
Y
it
= Variabel terikat diwaktu t untuk unit cross section i

i
= intercept yang berubah-ubah antar cross section unit


= Variabel bebas j di waktu t untuk unit cross section i

j
= Parameter untuk variabel ke j

it
= Peubah galat pada unit cross section ke-i dan waktu ke-t

Penggunaan Least Square Dummy Variable Model dapat dilakukan jika
persamaan regresi memiliki sedikit unitcross section, namun jika unit cross
sectionnya banyak maka penggunaan Least Square Dummy Variable Model akan
mengurangi derajat kebebasan yang pada akhirnya akan mengurangi efisiensi dari
parameter yang diestimasi
Pendekatan Efek Acak (Random Effect)
Memasukkan variabel dummy dalam efek tetap dapat menimbulkan
konsekuensi (trade off) yaitu dapat mengurangi derajat kebebasan (degree of
freedom) yang akhirnya akan mengurangi efisiensi dari parameter yang diestimasi.
Pendekatan yang dapat digunakan untuk mengatasi hal ini adalah model efek acak
(random effect). Dalam model ini, parameter-parameter yang berbeda antar daerah
maupun antar waktu dimasukkan kedalam error. Model efek acak ini dijelaskan
dengan persamaan berikut:



Dimana:
u
i ~
N(0,
u
2
) = komponen cross section error
v
t ~
N(0,
v
2
) = komponen time series error
w
it~
N(0,
w
2
) = komponen error kombinasi


18
Dalam model ini, diasumsikan bahwa error secara individual tidak saling
berkorelasi begitu juga dengan error kombinasinya. Penggunaan model efek acak
ini dapat menghemat pemakaian derajat kebebasan dan tidak mengurangi
jumlahnya seperti yang akan dilakukan pada model efek tetap. Hal ini
berimplikasi pada parameter yang merupakan hasil estimasi akan menjadi
semakin efisien. Keputusan penggunaan model efek tetap ataupun efek acak
ditentukan dengan menggunakan uji Hausmann. Spesifikasi ini akan memberikan
penilaian dengan menggunakan chi square statistic sehingga keputusan pemilihan
model akan dilakukan secara statistik.


Model Penelitian
Variabel yang digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi impor daging sapi di Indonesia antara lain: GDP riil perkapita
Indonesia dan negara asal impor, nilai tukar riil Rupiah terhadap mata uang negara
asal impor, harga riil daging sapi di Indonesia, harga riil daging sapi internasional,
produksi daging sapi di Indonesia dan negara asal impor.
IMP
it
=
0
+
1
GDPI
t
+
2
GDPJ
it
+
3
EXRATE
it
+
4
PIDN
t
+
5
PINT
t
+
6

PROD_IDN
t
+
7
PRODJ
it
+
it

Dimana:

0
= Intersep
IMP
it
= Volume impor daging sapi dari negara asal i tahun t (kg)
GDPI
t
= GDP riil perkapita Indonesia pada tahun t (juta USD)
GDPJ
it
= GDP riil perkapita negara i pada tahun t (juta USD)
EXRATE
it
= Nilai Rupiah terhadap mata uang negara i pada tahun t
(Rp/LCU)
PIDN
t
= Harga riil daging sapi Indonesia pada tahun t (Rp)
PINT
t
= Harga riil daging sapi internasional tahun t (cents/kg)
PROD_IDN
t
= Produksi daging sapi Indonesia tahun t (ton)
PRODJ
it
= Produksi daging sapi negara i pada tahun t (ton)

it
= random error


Pengujian Model
Pada analisis model dengan menggunakan data panel, dikenal tiga macam
pendekatan yang terdiri dari Pendekatan Kuadrat Terkecil (Pooled Least Squared),
Pendekatan Efek Tetap (Fixed Effect Model), dan Pendekatan Efek Acak (Random
Effect). Pemilihan model terbaik yang digunakan untuk pengolahan data panel
menggunakan beberapa pengujian. Pengujian yang dilakukan antara lain:
1. Pemilihan model dalam pengolahan data panel
a) Chow Test
Chow Test atau Uji-F digunakan untuk memilih kedua model diantara
Pooled Least Squared dan Fixed Effect Model dengan hipotesis :
H
0
: PLS
H
1
: LSDV

19
Jika nilai PLS, p-value lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan, maka
sudah cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap H
0
sehingga
model LSDV akan terpilih, dan sebaliknya.
b) Haussman Test
Haussman Test digunakan untuk memilih model Fixed Effect Model atau
Random Effect Model, dengan hipotesis :
H
0
: REM
H
1
: LSDV
Jika pada REM, p-value lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan, maka
sudah cukup bukti untuk melakukan penolakan H
0
, sehingga model LSDV
yang akan dipilih, dan sebaliknya.
c) LM Test
Uji ini dilakukan jika Chow Test cukup bukti untuk menolak H
0
dan
Haussman Test belum cukup bukti untuk menolak H
0
, atau sebaliknya.
Sehingga model harus diuji kembali dengan LM Test untuk memilih
Random Effect Model atau Pooled Least Square dengan hipotesis :
H
0
: PLS
H
1
: REM
Jika LM lebih besar dari chi-square table maka sudah cukup bukti untuk
melakukan penolakan terhadap H
0
sehingga model REM yang dipilih, dan
sebaliknya.
2. Pengujian asumsi klasik
a) Uji Normalitas
Uji normalitas data diperlukan untuk mengetahui apakah error term
mendekati distribusi normal atau tidak. Uji normalitas diaplikasikan
dengan melakukan tes Jarque Bera, jika nilai probabilitas lebih besar dari
taraf nyata yang digunakan maka error term dalam model sudah menyebar
normal.
b) Uji Homoskedastisitas
Untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas, dalam hasil olahan data
panel dengan Eviews dengan menggunakan metode General Least
Squared (Cross Section Weight), caranya adalah dengan membandingkan
nilai sum squared resid pada weighted statistic dengan sum squared resid
pada unweighted statistic. Jika sum squared resid pada weighted statistic
lebih kecil daripada sum squared resid pada unweighted statistic maka
model sudah homoskedastisitas. Langkah yang dapat dilakukan untuk
mengatasi masalah heterosedastisitas adalah dengan mengestimasi
General Least Squared (GLS) dengan white heterocedasticity. Selain itu
dapat juga dilakukan dengan pembobotan Cross Section SUR.
c) Uji Autokorelasi
Untuk mendeteksi ada tidaknya autokorelasi adalah dengan melihat nilai
dari Durbin Watson (DW) statistiknya. Jika nilai DW lebih dari 1,55
atau kurang dari 2,46 maka dapat dikatakan tidak dapat terdapat
autokorelasi pada model.
d) Uji Multikolinearitas
Suatu model dapat dikatakan mengandung multikolinearitas apabila nilai
R
2
tinggi tetapi banyak variabel yang tidak signifikan. Untuk mengatasi
masalah multikolinearitas dalam model maka dapat digunakan beberapa

20
cara berikut ini: adanya informasi apriori; penggabungan data cross
section dengan time series; mengeluarkan suatu variabel atau lebih dan
kesalahan spesifikasi; transformasi variabel-variabel, dan penambahan
data baru.


HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum
Produk Domestik Bruto atau GDP merupakan ukuran terbaik dari kinerja
perekonomian suatu negara, yaitu dengan melihat pendapatan total dari setiap
orang dan pengeluaran total terhadap output barang dan jasa dalam perekonomian.
Hal ini dapat dilihat dari Tabel 4 berikut yang menunjukkan GDP riil per kapita
negara asal impor dan Indonesia yang cenderung meningkat setiap tahunnya.
Pendapatan per kapita paling besar adalah Jepang dan USA yang merupakan
negara industri maju, sementara yang terendah adalah Indonesia yang merupakan
negara sedang berkembang. Pendapatan per kapita Indonesia terus meningkat
setiap tahunnya, hal ini mengindikasikan bahwa perekonomian di Indonesia terus
mengalami pertumbuhan. Meningkatnya pendapatan per kapita di Indonesia
menyebabkan daya beli masyarakat juga meningkat, maka konsumsi daging sapi
di Indonesia tentu akan meningkat. Tetapi karena produksi daging sapi di
Indonesia belum dapat mencukupi konsumsi daging sapi, maka Indonesia
mengimpor daging sapi. Sementara di negara maju seperti Amerika dan Jepang,
dengan pendapatan per kapita yang tinggi dan meningkat setiap tahunnya maka
negara-negara tersebut tidak bergantung pada perdagangan luar negeri. Negara-
negara tersebut lebih cenderung untuk memenuhi konsumsi daging sapi dalam
negeri yang semakin meningkat setiap tahunnya. Namun untuk Australia dan New
Zealand yang merupakan negara pengekspor daging sapi terbesar di dunia, maka
ekspor daging sapi adalah salah satu pendapatan utama di negara tersebut. Karena
itu dengan terus meningkatnya pendapatan per kapita setiap tahun, ekspor daging
sapi ke Indonesia juga meningkat.

Tabel 4 GDP riil per kapita Indonesia dan negara asal impor tahun 2000-2011
Tahun
GDP riil per kapita (juta USD)
Australia New Zealand USA Singapura Jepang
2000 21 708.04 13 375.78 35 081.92 23 814.56 37 291.71
2001 21 824.09 13 774.32 35 116.22 22 913.32 37 342.14
2002 22 402.99 14 202.16 35 427.91 23 658.87 37 363.29
2003 22 825.57 14 529.67 36 021.31 25 110.50 37 911.69
2004 23 498.26 14 853.27 36 931.39 27 068.97 38 793.62
2005 23 929.16 15 171.59 37 718.01 28 388.87 39 295.31




21

Tahun
GDP riil per kapita (juta USD)
Australia New Zealand USA Singapura Jepang
2006 24 295.08 15 103.23 38 349.40 29 925.50 39 965.86
2007 24 765.55 15 392.50 38 710.89 31 247.00 40 837.27
2008 25 190.72 15 011.18 38 208.76 30 131.62 40 433.00
2009 25 007.70 14 778.16 36 539.23 28 949.86 38 242.02
2010 25 190.84 14 629.22 37 329.62 32 640.68 39 971.79
2011 25 306.82 14 646.42 37 691.03 33 529.83 39 578.07
Sumber: Worldbank (2013).

Perbedaan tingkat inflasi di Indonesia akan mempengaruhi nilai tukar
Rupiah terhadap mata uang asing, karena pada dasarnya mata uang suatu negara
mencerminkan daya belinya. Tabel 5 menunjukkan nilai tukar Rupiah terhadap
mata uang lima negara asal impor. Nilai mata uang tertinggi adalah Dolar
Amerika atau USD, namun berfluktuasi. Nilai Rupiah terhadap USD terdepresiasi
pada tahun 2009 setelah adanya krisis ekonomi global pada tahun 2008 tapi
kembali terapresiasi pada tahun 2010 hingga 2011. Sementara nilai mata uang
terhadap Dolar Australia, New Zealand, Singapura dan Jepang cenderung
terdepresiasi karena menguatnya nilai mata uang keempat negara tersebut.
Pergerakan nilai tukar tidak dapat hanya ditentukan oleh variabel ekonomi tetapi
juga dipengaruhi oleh faktor-faktor non ekonomi seperti perkembangan politik,
peperangan dan faktor-faktor sosial lainnya (Basri dan Munandar 2010).

Tabel 5 Nilai tukar Rupiah terhadap mata uang negara asal impor tahun 2000-
2011
Tahun
Nilai tukar Rupiah terhadap LCU (Rp/LCU)
Australia New Zealand USA Singapura Jepang
2000 4 882.68 3 826.08 8 421.78 4 885.12 78.15
2001 5 307.04 4 313.55 10 260.85 5 726.81 84.43
2002 5 058.88 4 306.37 9 311.19 5 200.07 74.26
2003 5 562.65 4 980.63 8 577.13 4 923.21 73.98
2004 6 573.88 5 924.94 8 938.85 5 288.55 82.62
2006 6 897.21 5 939.68 9 159.32 5 764.44 78.76
2007 7 648.91 6 717.99 9 141.00 6 065.28 77.63
2008 8 135.50 6 817.16 9 698.96 6 855.06 93.84
2009 8 103.28 6 493.08 10 389.94 7 143.23 111.04
2010 8 338.63 6 551.99 9 090.43 6 666.94 103.56
2011 9 046.69 6 928.50 8 770.43 6 972.97 109.90
Sumber: Worldbank (2013).


22
Harga daging sapi di Indonesia dan harga daging sapi internasional menjadi
faktor penting terhadap impor daging sapi di Indonesia. Apabila harga daging sapi
di Indonesia meningkat, tentu impor akan meningkat karena harga daging sapi
impor cenderung lebih murah sehingga masyarakat lebih memilih untuk
mengkonsumsi daging sapi impor. Sebaliknya, apabila harga daging sapi
internasional meningkat, masyarakat lebih memilih untuk mengkonsumsi daging
sapi domestik karena harganya cenderung lebih rendah. Berdasarkan Tabel 6
berikut menunjukkan peningkatan harga daging sapi di Indonesia yang terus
meningkat secara signifikan setiap tahunnya dengan rata-rata sebesar Rp 46
253.83 per kilogram dan rata-rata peningkatan sebesar Rp 4 027.18. Sementara
harga daging sapi internasional cenderung berfluktuasi dan lebih rendah
dibandingkan harga daging sapi di Indonesia dengan rata-rata sebesar 263.28
cents/kg.

Tabel 6 Harga daging sapi di Indonesia dan internasional tahun 2000-2011
Tahun Domestik (Rp/kg) Internasional (cents/kg)
2000 25 426.00 216.29
2001 29 791.00 251.00
2002 34 212.00 249.66
2003 34 704.00 219.50
2004 37 346.00 258.69
2005 39 988.00 261.69
2006 45 952.00 249.31
2007 50 023.00 239.74
2008 57 259.00 268.01
2009 64 291.00 241.16
2010 66 329.00 296.77
2011 69 725.00 328.60
Sumber : Kementrian Perdagangan (2013).

Daging sapi merupakan sumber protein hewani yang memiliki nilai gizi
relatif besar dan seimbang. Tabel 7 menunjukkan produksi daging sapi
menduduki peringkat pertama dalam perkembangan produksi daging non unggas
di Indonesia, dengan rata- rata produksi sebesar 386 983 ton. Tahun 2000 hingga
tahun 2008 produksi daging sapi di Indonesia sangat berfluktuatif. Penurunan
produksi yang paling tinggi sebesar 56 300 ton, dari 395 800 ton pada tahun 2006
menjadi 339 500 ton pada tahun 392 500 ton pada tahun 2007. Sementara
peningkatan produksi daging sapi meningkat drastis sebesar 53 000 ton, dari 339
500 ton pada tahun 2007 menjadi 392 500 ton pada tahun 2008. Produksi terendah
terjadi pada tahun 2002 yaitu sebesar 330 300 ton. Produksi daging sapi tertinggi
dicapai pada tahun 2011 sebesar 485 300 ton. Sepanjang tahun 2007 hingga 2011
produksi daging sapi terus meningkat, rata-rata sebesar 36 450 ton. Pada tahun
2011 total produksi daging sebanyak 2 554.20 ribu ton dengan produksi daging
sapi menyumbang sebesar 20.38%.


23
Tabel 7 Produksi daging nasional non unggas tahun 2000-2011
Tahun
Daging (000 ton)
Sapi Kuda Kerbau Kambing Domba Babi
2000 339.9 0.9 45.9 44.9 33.4 162.4
2001 338.7 1.1 43.6 48.7 44.8 160.2
2002 330.3 1.1 42.3 58.2 68.7 164.5
2003 369.7 1.6 40.6 63.9 80.6 177.1
2004 447.6 1.6 40.2 57.1 66.1 194.7
2005 358.7 1.6 38.1 50.6 47.3 173.7
2006 395.8 2.3 43.9 65.0 75.2 196.0
2007 339.5 2.0 41.8 61.6 56.9 225.9
2008 392.5 1.8 39.0 66.0 47.0 209.8
2009 409.3 1.8 34.6 73.8 54.3 200.1
2010 436.5 2.0 35.9 68.8 44.9 212.0
2011 485.3 2.2 35.3 66.3 46.8 224.8
Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (2013).

Produksi daging sapi terbesar di negara asal impor adalah Amerika Serikat
atau USA dengan rata-rata sebesar 11 717 266.7 ton, hal ini dapat dilihat pada
Tabel 8. Produksi tertinggi di Amerika adalah tahun 2000, yaitu sebesar 12 298
000 ton, sementara produksi terendahnya tahun 2004, yaitu sebesar 11 134 800
ton. Produksi daging sapi di Australia cenderung stabil dengan rata-rata sebesar 2
098 353.33 ton, dengan produksi tertinggi dicapai pada tahun 2007 sebesar 2 226
290 ton dan produksi terendah pada tahun 2000 sebesar 1 987 900 ton. Rata-rata
produksi daging sapi di New Zealand sebesar 630 373.67 ton sementara rata-rata
produksi daging sapi di Jepang sebesar 507 325 ton. Dari kelima negara asal
impor, Singapura memiliki jumlah produksi daging sapi terendah sebesar 41.75
ton. Akan tetapi Indonesia masih mengimpor daging sapi dari Singapura.

Tabel 8 Produksi daging sapi di negara asal impor tahun 2000-2011
Tahun
Produksi di negara asal impor (ton)
Australia New Zealand USA Singapura Jepang
2000 1 987 900 571 783 12 298 000 37 530 438
2001 2 119 000 590 435 11 982 000 39 458 600
2002 2 028 000 576 318 12 427 000 42 536 600
2003 2 073 000 660 280 12 039 000 40 496 000
2004 2 033 000 709 077 11 134 800 44 513 600
2005 2 161 960 651 772 11 196 000 41 499 470
2006 2 077 070 642 888 11 862 800 42 496 992
2007 2 226 290 632 378 11 979 400 42 503 902

24
Tahun
Produksi di negara asal impor (ton)
Australia New Zealand USA Singapura Jepang
2008 2 131 910 634 558 12 163 000 42 519 879
2009 2 123 960 637 030 11 891 100 42 517 020
2010 2 108 290 635 289 12 045 800 45 514 959
2011 2 109 860 622 676 11 988 300 45 500 440
Sumber: UNComtrade (2013).

Australia dan New Zealand merupakan dua negara utama asal daging sapi
impor Indonesia, hal ini dikarenakan jarak yang cukup dekat. Berdasarkan Tabel 9,
volume impor tertinggi ke Indonesia berasal dari Australia dengan rata-rata
sebesar 19 513 044.25 kg dan mengalami peningkatan drastis dari tahun 2008 ke
2009 sebesar 20 581 936 kg. Volume impor dari New Zealand cenderung
meningkat dari tahun 2003 sampai 2010 dengan rata-rata volume impor dari New
Zealand sebesar 13 138 340 kg. Rata-rata volume impor dari USA adalah sebesar
838 339.08 kg. Volume impor dari USA mengalami penurunan drastis dari tahun
2005 sebesar 357 266 kg menjadi hanya 548 kg pada tahun 2006, namun kembali
mengalami peningkatan pada tahun 2008 menjadi 349 549 kg dan meningkat
drastis sebesar 3 331 851 kg dari tahun 2009 ke tahun 2010. Sementara volume
impor dari Singapura cenderung berfluktuasi dengan impor tertinggi tahun 2010
sebesar 1 707 247 kg, akan tetapi tahun 2006 dan tahun 2008 Indonesia tidak
mengimpor daging sapi dari Singapura. Jepang merupakan negara pengekspor
daging sapi ke Indonesia paling rendah dengan rata-rata sebesar 697.58 kg,
bahkan tahun 2005, 2006 dan tahun 2008 sampai 2011 Indonesia tidak
mengimpor daging sapi dari Jepang sama sekali. Hal ini disebabkan karena daging
sapi asal Jepang mempunyai harga yang cukup mahal berkisar Rp.380 000 (Ilham
1998).

Tabel 9 Volume impor daging sapi (HS0202) ke Indonesia tahun 2000-2011
Tahun
Volume impor ke Indonesia (kg)
Australia New Zealand USA Singapura Jepang
2000 11 691 761 4 513 129 689 349 151 173 1 295
2001 6 708 919 4 543 195 773 168 28 925 54
2002 7 047 223 3 240 785 587 151 824 2 112
2003 6 840 094 2 689 868 563 772 103 716 528
2004 3 276 161 7 465813 349 304 2 852 3 202
2005 7 439 308 11 358 517 357 266 39 889 0
2006 10 041 082 13 790 782 548 0 0
2007 22 634 079 16 249 069 96 464 1 180
2008 25 517 767 18 792 950 349 549 0 0
2009 46 099 703 19 388 188 133 248 164 204 0


25
Tahun
Volume impor ke Indonesia (kg)
Australia New Zealand USA Singapura Jepang
2010 47 989 579 35 168 388 3 465 099 1 707 247 0
2011 38 870 855 20 459 396 2 791 519 40 676 0
Sumber : UNComtrade (2013).

Tingginya volume impor daging sapi yang masuk ke Indonesia memang
menjadi masalah yang harus diatasi oleh pemerintah. Kondisi ini pada akhirnya
menuntut pemerintah khususnya Kementrian Perdagangan dan Kementrian
Pertanian untuk menetapkan regulasi yang tepat dalam mengatur impor produk
peternakan khususnya daging sapi Indonesia.
Pertama-tama untuk mengatasi impor daging sapi, Kementrian Pertanian
khususnya Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan merancang
rencana strategis (RENSTRA) dengan Program Swasembada Daging Sapi (PSDS)
tahun 2010-2014. Untuk mencapai swasembada daging sapi pada tahun 2014,
maka sasaran produksi daging sapi atau kerbau ditargetkan sebesar 0.66 juta ton
dengan peningkatan rata-rata pertahun sebesar 7.13%. Sejalan dengan rencana
swasembada tersebut, pemerintah juga menetapkan kebijakan pengurangan kuota
daging sapi impor sebanyak 12% per tahunnya. Langkah operasional untuk
mencapai swasembada daging dan peningkatan produksi peternakan diupayakan
melalui lima kegiatan pokok, antara lain; penyediaan bakalan atau daging sapi
lokal, peningkatan produktivitas dan reproduktivitas ternak sapi lokal, pencegahan
pemotongan sapi betina produktif, penyediaan bibit sapi dan pengaturan stok
daging sapi dalam negeri. Untuk medukung berjalannya PSDS 2014, maka
Kementrian Perdagangan mencanangkan :
1. Kebijakan penetapan aturan non-tarif komoditas peternakan impor.
2. Menjamin efisiensi distribusi pangan dan sarana produksi.
3. Penataan kerjasama pemasaran internasional di negara tujuan ekspor.
4. Penyederhanaan prosedur ekspor-impor yang mendukung peningkatan harga
produk segar dan produk olahan hasil peternakan.
5. Mengantisipasi gejolak harga pangan menjelang musim kemarau dan hari-
hari besar.
6. Pengawasan perdagangan illegal.
7. Pengendalian efektifitas pemberlakuan regulasi pemasukan ternak dan
produk ternak.
8. Penyebaran informasi perkembangan harga-harga komoditas peternakan di
tingkat usaha peternakan dan pusat-pusat pemasaran.


Kondisi dan Kecenderungan Impor Daging Sapi di Indonesia

Impor adalah bentuk perdagangan internasional dengan memasukkan
komoditi dari negara lain ke dalam negeri. Impor dilakukan jika suatu negara
tidak dapat memenuhi permintaan masyarakat terhadap suatu komoditi atau
produksi dalam negeri kurang, oleh karena itu negara itu akan mengimpor

26
komoditi yang kurang tersebut. Selain itu, impor juga bisa dilakukan jika biaya
yang dibutuhkan untuk mengimpor relatif lebih kecil dibandingkan memproduksi
komoditi tersebut di dalam negeri. Daging sapi di Indonesia berasal dari dua
sumber yaitu impor dan domestik. Daging sapi impor berasal dari negara-negara
produsen seperti Australia, Selandia Baru dan Amerika Serikat. Produksi daging
sapi di Indonesia yang berfluktuatif dan volume impor daging sapi di Indonesia
yang cenderung meningkat sepanjang tahun 2000-2011 menyebabkan defisit pada
neraca perdagangan, dimana impor lebih besar daripada ekspor.




Sumber: UNComtrade (2013).
Gambar 5 Nilai impor daging sapi (HS0202) Indonesia tahun 2000-2011
Berbeda dengan produksi daging sapi di Indonesia yang berfluktuatif, nilai
impor daging sapi cenderung meningkat (Gambar 5). Akan tetapi terjadi
penurunan nilai impor pada tahun 2000 hingga 2003, dengan rata-rata penurunan
nilai impor sebesar 7 235.80 USD. Tahun 2004 nilai impor daging sapi di
Indonesia meningkat dari 17 682.86 USD menjadi 25 528.52 USD. Tahun 2004
hingga tahun 2010 nilai impor daging sapi terus mengalami peningkatan rata-rata
sebesar 27 767.08 USD. Namun pada tahun 2011 nilai impor daging sapi di
Indonesia kembali mengalami penurunan dari 281 986.35 USD menjadi 219
898.11 USD. Hal ini kemungkinan disebabkan karena pengurangan jumlah kuota
impor daging sapi pada tahun 2011 yang cukup signifikan, yaitu dari 139.5 ribu
ton pada tahun 2010 menjadi 102.9 ribu ton pada tahun 2011. Rata-rata nilai
impor daging sapi tahun 2000-2011 adalah sebesar 92 301.14 USD.

0
50000
100000
150000
200000
250000
300000
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
N
i
l
i
a

I
m
p
o
r

(
U
S
D
)

Tahun

27
Sumber: UNComtrade (2013).
Gambar 6 Volume impor daging sapi (HS0202) Indonesia tahun 2000 -2011
Sama seperti nilai impor, volume impor daging sapi di Indonesia juga
mengalami penurunan pada tahun 2000 hingga tahun 2003 dengan rata-rata
penurunan sebesar 5 227 522 kg (Gambar 6). Tahun 2004 hingga tahun 2010
volume impor daging sapi cenderung meningkat dengan volume impor tertinggi
dicapai pada tahun 2010 sebesar 88 828 788 kg, dan tahun 2011 volume impor
daging sapi kembali menurun menjadi 62 175 767 kg karena adanya pengurangan
kuota impor daging sapi. Rata-rata volume impor daging tahun 2000-2011 adalah
sebesar 34 873 676.7 kg.




Sumber: UNComtrade (2013).
Gambar 7 Volume impor daging sapi (HS0202) Indonesia berdasarkan negara
asal impor tahun 2000-2011

Gambar 7 menunjukkan volume impor daging sapi Indonesia berdasarkan
negara asal impor.Gambar tersebut menunjukkan volume impor daging sapi
tertinggi berasal dari Australia dan New Zealand. Tahun 2000 hingga tahun 2011
volume impor daging sapi dari Australia dan New Zealand cenderung meningkat
stabil. Sementara, volume impor dari USA tahun 2000 hingga tahun 2005
cenderung menurun stabil dan menurun drastis pada tahun 2006 dan 2007. Tahun
2008 volume impor daging sapi USA kembali meningkat dan kembali menurun
pada tahun 2009. Volume impor dari Jepang selama tahun 2000 hingga 2011
0
10000000
20000000
30000000
40000000
50000000
60000000
V
o
l
u
m
e

I
m
p
o
r

(
k
g
)

Tahun
Australia
New Zealand
USA
Singapura
Japan
0
20000000
40000000
60000000
80000000
100000000
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
V
o
l
u
m
e

I
m
p
o
r

(
k
g
)

Tahun

28
sangat berfluktuatif, sementara volume impor dari Singapura cenderung
meningkat stabil.


Faktor-faktor yang Memengaruhi Impor Daging Sapi
Pemilihan kesesuaian model dilakukan dengan beberapa tahap. Tahap
pertama dengan melakukan uji Chow. Hasil pengujian dengan menggunakan uji
Chow adalah p-value (0.0000) lebih kecil dari taraf nyata 5%. Hal ini berarti
sudah cukup bukti untuk menolak H
0
dimana H
0
merupakan model PLS. Uji
Haussman tidak dilakukan karena objek data cross section lebih sedikit dari
jumlah koefisien yang ada. Oleh karena itu model estimasi terbaik untuk
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi impor daging sapi di Indonesia
adalah dengan menggunakan LSDV atau fixed effect model.

Tabel 10 Hasil pendugaan parameter faktor-faktor yang memengaruhi impor
daging sapi Indonesia periode tahun 2000-2011
Variabel Koefisien Std. Error t-statistik Prob.
GDPJ
-656.5941 114.3873 -5.740096 0.0000*
GDPI
42173.34 3962.459 10.64322 0.0000*
EXRATE
1654.552 346.0256 4.781588 0.0000*
P_IDN
66775.83 14699.92 4.542597 0.0000*
P_INT
-57462.01 11225.74 -5.118772 0.0000*
PROD_IDN
-4.892000 5.660842 -0.864182 0.3918
PROD_J
0.038217 0.457615 0.083513 0.9338
C
-35765744 5648319. -6.332104 0.0000*
Weighted Statistic


R-squared 0.825786 Sum squared resid 46.42183
Prob (F
stat
) 0.000000 Durbin Watson
stat 1.718049
Unweighted Statistics

R-squared 0.701458
Sum squared resid 2.37E+15
Durbin Watson
stat
0.634355
Catatan: *) signifikan pada taraf nyata 5%

Berdasarkan hasil estimasi diketahui nilai koefisien determinasi (R-squared)
yang diperoleh sebesar 82.5% menunjukkan bahwa sebesar 82.5% keragaman
volume impor daging sapi dapat dijelaskan oleh variabel-variabel bebasnya,
sedangkan sisanya 17.5% dijelaskan oleh faktor-faktor lain diluar model.
Setelah terpilihnya LSDV sebagai model terbaik maka selanjutnya
dilakukan uji asumsi klasik untuk mendapatkan model persamaan yang terbebas
dari masalah dalam analisis regresi seperti multikolinearitas, heteroskedastisitas
dan autokorelasi. Dari tujuh variabel independen yang dianalisis dengan R-

29
squared sebesar 82.5%, tidak terdapat variabel yang saling berkorelasi.
Selanjutnya adalah uji heteroskedastisitas, yaitu nilai sum squared resid weighted
(46.42183) lebih kecil dari nilai sum squared resid unweighted (2.37E+15) maka
artinya model terindikasi terdapat heteroskedastisitas, tetapi karena model sudah
diboboti dengan cross section SUR dan white cross section maka masalah
heteroskedastisitas dapat diabaikan. Dalam uji autokorelasi, nilai Durbin
Watson
stat
adalah sebesar 1.71. Hal ini berarti nilai Durbin Watson
stat
mendekati 2
atau berada diantara 1.55-2.46, maka model telah terbebas dari masalah
autokorelasi. Pengujian terakhir yaitu uji normalitas (Tabel 11) probabilitas
Jarque Bera lebih besar dari taraf nyata 5% (0.119931 > 0.05), maka residual
dalam model ini sudah menyebar normal.

Tabel 11 Hasil uji normalitas
Model Jarque-Bera Prob.
Impor Daging Sapi 4.241674 0.119931


Hasil estimasi yang diperoleh terdapat dua variabel yang tidak signifikan
terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi volume impor daging sapi di
Indonesia selama 12 tahun dari tahun 2000 hingga tahun 2011, yaitu produksi
daging sapi negara asal impor dan produksi daging sapi di Indonesia.
Variabel GDP riil per kapita masing-masing negara asal impor memiliki
hubungan negatif dan memiliki nilai koefisien sebesar -656.5941, hal ini sesuai
dengan hipotesis awal. Variabel ini menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0.0000
yang berarti lebih kecil dari taraf nyata 5%, maka GDP riil per kapita negara asal
impor berpengaruh nyata terhadap impor daging sapi di Indonesia. Artinya jika
terjadi peningkatan 1 juta USD terhadap GDP riil per kapita negara asal impor
maka akan menurunkan volume impor daging sapi di Indonesia sebesar 656.5941
kg. Hal ini karena meningkatnya GDP di negara asal impor maka akan
meningkatkan konsumsi daging sapi di negara tersebut, karena itu negara tersebut
akan mengurangi volume ekspornya karena lebih cenderung untuk memenuhi
konsumsi dalam negeri dengan asumsi daging sapi adalah barang normal.
Variabel GDP riil per kapita Indonesia memiliki hubungan positif dan
memiliki nilai koefisien sebesar 42173.34, hal ini sesuai dengan hipotesis awal.
Variabel ini menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0.0000 yang berarti lebih
kecil dari taraf nyata 5%, maka GDP riil per kapita Indonesia berpengaruh nyata
terhadap volume impor daging sapi di Indonesia. Artinya jika terjadi peningkatan
1 juta USD terhadap GDP riil per kapita Indonesia maka akan meningkatkan
volume impor daging sapi di Indonesia sebesar 42173.34 kg. Dengan
meningkatnya pendapatan per kapita di Indonesia maka daya beli masyarakat juga
akan meningkat, sehingga konsumsi daging sapi di Indonesia akan meningkat.
Tetapi karena produksi daging sapi di Indonesia belum dapat memenuhi
permintaan domestik, maka Indonesia mengimpor daging sapi.
Variabel nilai tukar riil Rupiah terhadap mata uang negara asal impor
memiliki hubungan positif dan memiliki nilai koefisisen sebesar 1654.552, hasil
estimasi ini sudah sesuai dengan hipotesis awal. Variabel ini menunjukkan nilai

30
probabilitas sebesar 0.0000 yang berarti lebih kecil dari taraf nyata 5%, maka nilai
tukar riil Rupiah terhadap mata uang negara asal impor berpengaruh nyata
terhadap volume impor daging sapi di Indonesia. Artinya jika nilai tukar
meningkat 1 Rp/LCU maka akan meningkatkan volume impor daging sapi di
Indonesia sebesar 1654.552 kg.
Variabel harga riil daging sapi di Indonesia memiliki hubungan positif dan
memiliki nilai koefisien sebesar 66775.83, hasil estimasi ini sesuai dengan
hipotesis awal. Variabel ini menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0.0000 yang
berarti lebih kecil dari taraf nyata 5%, maka harga riil daging sapi di Indonesia
berpengaruh nyata terhadap impor daging sapi di Indonesia. Artinya jika terjadi
peningkatan sebesar 1 Rupiah terhadap harga riil daging sapi di Indonesia maka
volume impor daging sapi akan meningkat sebesar 66775.83 kg.
Variabel harga riil daging sapi internasional memiliki hubungan negatif dan
memiliki nilai koefisien sebesar -57462.01, hasil estimasi ini sesuai dengan
hipotesis awal.Variabel ini menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0.0000 yang
berarti lebih kecil dari taraf nyata 5%, maka harga riil daging sapi internasional
berpengaruh nyata terhadap impor daging sapi di Indonesia. Artinya jika terjadi
peningkatan 1 cents/kg terhadap harga riil daging sapi internasional maka volume
impor daging sapi di Indonesia akan berkurang sebesar 57462.01 kg.
Variabel produksi daging sapi di Indonesia memiliki hubungan negatif
terhadap impor daging sapi di Indonesia dan memiliki nilai koefisien sebesar -
4.892000, hal ini sesuai dengan hipotesis awal. Variabel ini menunjukkan nilai
probabilitas sebesar 0.3918 yang berarti lebih besar dari taraf nyata 5%, maka
variabel produksi daging sapi di Indonesia tidak berpengaruh nyata terhadap
impor daging sapi di Indonesia. Hal ini disebabkan karena ketidakseimbangan
produksi dan permintaan yang berdampak pada kenaikan harga. Khusus harga
daging sapi tipikalnya setelah mengalami kenaikan tidak terjadi penurunan harga
kembali ke posisi awal, meskipun harga turun masih tetap diatas harga awal.
Perilaku ini disebabkan oleh perubahan harga yang cepat tetapi tidak diikuti oleh
perubahan pada sisi produksi (Ilham 2009). Oleh karena itu harga daging sapi
impor lebih murah dibandingkan dengan harga daging sapi domestik, sehingga
masyarakat lebih memilih untuk mengkonsumsi daging sapi impor.Maka produksi
daging sapi di Indonesia tidak mempunyai pengaruh yang signifikan dalam
mengurangi volume impor daging sapi.
Variabel produksi daging sapi pada masing-masing negara asal impor
memiliki hubungan positif dan memiliki nilai koefisien sebesar 0.038217, hasil
estimasi ini sesuai dengan hipotesis awal. Variabel ini menunjukkan nilai
probabilitas sebesar 0.9338 yang berarti lebih besar dari taraf nyata 5%, maka
variabel produksi daging sapi pada negara asal impor tidak berpengaruh nyata
terhadap impor daging sapi di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh ketergantungan
Indonesia terhadap negara-negara pengekspor daging sapi karena produksi daging
sapi domestik yang masih belum dapat mencukupi konsumsi domestik. Oleh
karena itu, berapapun jumlah daging sapi yang di produksi oleh negara-negara
pengekspor daging sapi Indonesia akan tetapi mengimpor daging sapi dari negara-
negara tersebut agar kebutuhan daging sapi di Indonesia dapat terpenuhi.




31

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Kecenderungan impor daging sapi di Indonesia selama tahun 2000 hingga
2011 cenderung meningkat. Pada tahun 2000 hingga tahun 2011 volume dan nilai
impor daging sapi di Indonesia menurun dan meningkat kembali pada tahun 2004
hingga 2010. Kemudian pada tahun 2011 volume dan nilai impor daging sapi di
Indonesia kembali mengalami penurunan dikarenakan telah diberlakukannya
pembatasan kuota impor daging sapi. Sementara negara pengimpor daging sapi di
Indonesia di dominasi oleh Australia dan New Zealand yang volumenya
cenderung meningkat stabil. Sementara impor daging sapi dari USA cenderung
mengalami penurunan, tahun 2006 dan 2007 penurunan volume impor dari USA
sangat drastis tetapi tahun 2008 kembali meningkat. Dan volume impor daging
sapi dari Jepang cenderung berfluktuatif sepanjang tahun 2000 hingga 2011,
sementara Singapura cenderung stabil.
Berdasarkan hasil dari penelitian ini diketahui faktor-faktor yang signifikan
mempengaruhi volume impor daging sapi di Indonesia adalah GDP riil per kapita
Indonesia dan GDP riil per kapita negara asal impor, nilai tukar riil Rupiah
terhadap mata uang negara asal impor, harga riil daging sapi di Indonesia dan
harga riil daging sapi internasional. Sedangkan variabel produksi daging sapi
Indonesia dan produksi daging sapi negara asal impor tidak berpengaruh terhadap
volume impor daging sapi di Indonesia. Variabel yang berpengaruh positif
terhadap volume impor daging sapi di Indonesia adalah GDP riil per kapita
Indonesia, nilai tukar riil Rupiah terhadap mata uang negara asal impor, harga
daging sapi domestik, dan produksi daging sapi di negara asal impor. Sedangkan
variabel yang berpengaruh negatif terhadap volume impor daging sapi di
Indonesia adalah GDP riil per kapita negara asal impor, harga daging sapi
internasional dan produksi daging sapi di Indonesia.


Saran
Dari hasil penelitian terlihat bahwa volume dan nilai impor daging sapi di
Indonesia cenderung meningkat karena konsumsi domestik tidak dapat dipenuhi
oleh produksi dalam negeri dan menjadi bergantung pada negara pengekspor
daging. Oleh karena itu, sebaiknya pemerintah melaksanakan Program
Swasembada Daging Sapi (PSDS) sesuai dengan tujuan utamanya dan
memperketat aturan kebijakan yang telah dikeluarkan agar dapat meningkatkan
produksi sehingga konsumsi domestik dapat terpenuhi.
Model ekonometrika dalam penelitian kali ini belum spesifik karena adanya
keterbatasan data. Maka untuk penelitian selanjutnya diharapkan adanya
pengembangan model sehingga hasil yang didapatkan lebih akurat.



32
DAFTAR PUSTAKA
Basri, F, H. Munandar. 2010. Dasar-dasar Ekonomi Internasional: Pengenalan
dan Aplikasi Metode Kuantitatif. Jakarta: Kencana.
Budiyono, H. 2010. Analisis Neraca Perdagangan Peternakan dan Swasembada
Daging Sapi 2014. CEFARS: Jurnal Agribisnis dan Pengembangan
Wilayah Vol. 1 No. 2, Juli 2010.
Direktorat Jenderal Peternakan. 2011. Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan
2011. Jakarta: Direktorat Jenderal Peternakan.
Direktorat Jenderal Peternakan. 2012. Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan,
2012. Jakarta: Direktorat Jenderal Peternakan.
Firdaus, M. 2011. Aplikasi Ekonometrika Untuk Data Panel dan Time Series.
Bogor: IPB Press.
Food and Agriculture Organization of The United Nation. 2013. Cattle Meat
Production. http://faostat.fao.org. [28 Maret 2013].
Hutabalian, M. 2009. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penawaran Daging Sapi
Potong Domestik.[Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.
Ilham, N. 1998. Penawaran dan Permintaan Daging Sapi di Indonesia: Suatu
Analisis Simulasi. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Ilham, N. 2009. Kelangkaan Produksi Daging: Indikasi dan Implikasi
Kebijakannya. Analisis Kebijakan Pertanian Volume 7 No. 1: 46-63,
Maret 2009.
Ilham, N. 2009.Kebijakan Pengendalian Harga Daging Sapi Nasional. Analisis
Kebijakan Pertanian Volume 7 No. 3: 211-221, September 2009.
Lipsey, R.G, P.N. Courant, D.D. Purpis, P.O Steiner. 1995. Pengantar
Mikroekonomi. Alih Bahasa: A. Jaka Wasana, Kirbrandoko dan Budijanto.
Jakarta: Binarupa Aksara.
Malik, L. 2012. Faktor-faktor yang Memengaruhi Aliran Perdagangan Impor
Bawang Merah dan Kentang Indonesia (Periode Tahun 2001-
2010).[Skripsi]. Bogor: IPB Press.
Mankiw, N.G. 2003. Teori Makroekonomi Edisi Kelima. Alih bahasa: Imam
Nurmawan. Jakarta: Erlangga.
Nicholson, W. 2002.Mikroekonomi Intermediate dan Aplikasinya Edisi
Kedelapan. Alih bahasa: Ign Bayu Mahendra. Jakarta: Erlangga.
Oktaviani, R, T. Novianti. 2009. Teori Perdagangan Internasional dan
Aplikasinya di Indonesia. Bogor: Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB.
Salvatore, D. 1997. Ekonomi Internasional Edisi Ke-5 Jilid 1. Alih Bahasa: Haris
Munandar. Jakarta: Erlangga.
The World Bank. 2013. Data GDP per capita (Constant 2000 US$).
http://data.worldbank.org. [22 Maret 2013].
. 2013. Consumer Price Index. http://data.worldbank.org. [22
Maret 2013].
. 2013. Wholesale Price Index. http://data.worldbank.org. [21
April 2013].


33
. 2013. Official Exchange Rate. http://data.worldbank.org.
[22 Maret 2013].
. 2013. Commodity Price Data (Pink Sheet).
http://data.worldbank.org. [6 Maret 2013].
Tseuoa T, Yusman S, Dedi BH. 2012. The Impact of Australia and New Zealand
Free Trade Agreement on The Beef Industry in Indonesia. Journal
ISSAAS Vol. 18, No. 2: 70-82 (2012).
United Nations Commodity Trade Statistic.Database. 2013. Data Query of Import
and Export. http://comtrade.un.org. [25 Maret 2013].




34
Lampiran 1 PLS
Dependent Variable: IMPOR
Method: Panel EGLS (Cross-section SUR)
Date: 05/19/13 Time: 18:03
Sample: 2000 2011
Periods included: 12
Cross-sections included: 5
Total panel (balanced) observations: 60
Linear estimation after one-step weighting matrix
White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected)


Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.


GDPJ -606.2739 108.4986 -5.587851 0.0000
GDPI 36557.93 3655.656 10.00037 0.0000
EXRATE 126.0260 91.26605 1.380864 0.1732
P_IDN 68503.66 13420.19 5.104524 0.0000
P_INT -41763.87 13658.07 -3.057816 0.0035
PROD_IDN -11.43104 5.857126 -1.951646 0.0564
PROD_J 0.108859 0.070100 1.552913 0.1265
C -26062247 5504989. -4.734296 0.0000


Weighted Statistics


R-squared 0.744744 Mean dependent var 1.584209
Adjusted R-squared 0.710383 S.D. dependent var 1.949854
S.E. of regression 1.037652 Sum squared resid 55.98950
F-statistic 21.67390 Durbin-Watson stat 1.128313
Prob(F-statistic) 0.000000


Unweighted Statistics


R-squared 0.451141 Mean dependent var 6735417.
Sum squared resid 4.35E+15 Durbin-Watson stat 0.315750




35
Lampiran 2 LSDV
Dependent Variable: IMPOR
Method: Panel EGLS (Cross-section SUR)
Date: 05/19/13 Time: 17:59
Sample: 2000 2011
Periods included: 12
Cross-sections included: 5
Total panel (balanced) observations: 60
Linear estimation after one-step weighting matrix
White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected)


Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.


GDPJ -656.5941 114.3873 -5.740096 0.0000
GDPI 42173.34 3962.459 10.64322 0.0000
EXRATE 1654.552 346.0256 4.781588 0.0000
P_IDN 66775.83 14699.92 4.542597 0.0000
P_INT -57462.01 11225.74 -5.118772 0.0000
PROD_IDN -4.892000 5.660842 -0.864182 0.3918
PROD_J 0.038217 0.457615 0.083513 0.9338
C -35765744 5648319. -6.332104 0.0000


Effects Specification


Cross-section fixed (dummy variables)


Weighted Statistics


R-squared 0.825786 Mean dependent var 1.842433
Adjusted R-squared 0.785862 S.D. dependent var 1.902242
S.E. of regression 0.983423 Sum squared resid 46.42183
F-statistic 20.68390 Durbin-Watson stat 1.718049
Prob(F-statistic) 0.000000


Unweighted Statistics


R-squared 0.701458 Mean dependent var 6735417.
Sum squared resid 2.37E+15 Durbin-Watson stat 0.634355





36
Lampiran 3 Uji chow
Redundant Fixed Effects Tests
Equation: Untitled
Test cross-section fixed effects


Effects Test Statistic d.f. Prob.


Cross-section F 10.509571 (4,48) 0.0000
Cross-section Chi-square 37.742037 4 0.0000
























37
Lampiran 4 Uji normalitas


















0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
-1 0 1 2
Series: Standardized Residuals
Sample 2000 2011
Observations 60
Mean -1.30e-16
Median -0.106091
Maximum 2.651907
Minimum -1.658248
Std. Dev. 0.887023
Skewness 0.619575
Kurtosis 3.401468
Jarque-Bera 4.241674
Probability 0.119931

38
Lampiran 5 Uji homoskedastisitas














-2
-1
0
1
2
3
5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60
Standardized Residuals
39

Lampiran 6 Uji multikolinearitas
IMPOR GDPJ GDPI EXRATE P_IDN P_INT PROD_IDN PROD_J
IMPOR 1.000000 -0.475454 0.398122 0.148000 0.371196 0.270960 0.256593 -0.163745
GDPJ -0.475454 1.000000 0.140734 -0.255805 0.070263 0.097700 0.094350 0.428033
GDPI 0.398122 0.140734 1.000000 -0.138368 0.793163 0.749496 0.729932 0.001609
EXRATE 0.148000 -0.255805 -0.138368 1.000000 -0.101698 -0.078443 -0.099101 0.623827
P_IDN 0.371196 0.070263 0.793163 -0.101698 1.000000 0.611727 0.586128 0.004639
P_INT 0.270960 0.097700 0.749496 -0.078443 0.611727 1.000000 0.742616 -0.001247
PROD_IDN 0.256593 0.094350 0.729932 -0.099101 0.586128 0.742616 1.000000 -0.004495
PROD_J -0.163745 0.428033 0.001609 0.623827 0.004639 -0.001247 -0.004495 1.000000
3
9

40

Lampiran 7 Variabel-variabel dalam model faktor-faktor yang memengaruhi impor daging sapi di Indonesia

Negara Tahun IMPOR GDPI GDPj EXRATE P_IDN P_INT PROD_j PROD_IDN
AUS 2000 11691761 773.311 21708.04 6561.814 396.7195 216.2786 1987900 339900
AUS 2001 6708919 791.0765 21824.09 6676.604 416.8767 251.0059 2119000 338700
AUS 2002 7047223 816.0164 22402.99 5859.508 427.9109 249.6574 2028000 330300
AUS 2003 6840094 844.1835 22825.57 6212.393 407.2447 219.5072 2073000 369700
AUS 2004 3276161 875.7292 23498.26 7072.24 412.4939 258.6901 2033000 447600
AUS 2005 7439308 914.5999 23929.16 7411.179 399.88 261.6948 2161960 358700
AUS 2006 10041082 953.9355 24295.08 6313.595 406.2615 249.3184 2077070 395800
AUS 2007 22634079 1003.364 24765.55 6733.541 415.6224 239.7464 2226290 339500
AUS 2008 25517767 1052.433 25190.72 6808.036 433.3744 268.0124 2131910 392500
AUS 2009 46099703 1089.724 25007.7 6587.414 464.2505 241.1594 2123960 409300
AUS 2010 47989579 1145.385 25190.84 6631.239 455.5831 296.7777 2108290 435500
AUS 2011 38870855 1206.991 25306.82 7059.926 454.5558 328.6068 2109860 485300
NZ 2000 4513129 773.311 13375.78 5322.429 396.7195 216.2786 571783 339900
NZ 2001 4543195 791.0765 13774.32 5516.602 416.8767 251.0059 590435 338700
NZ 2002 3240785 816.0164 14202.16 5053.661 427.9109 249.6574 576318 330300
NZ 2003 2689868 844.1835 14529.67 5545.393 407.2447 219.5072 660280 369700
NZ 2004 7465813 875.7292 14853.27 6351.324 412.4939 258.6901 709077 447600
NZ 2005 11358517 914.5999 15171.59 6833.009 399.88 261.6948 651772 358700
NZ 2006 13790782 953.9355 15103.23 5427.995 406.2615 249.3184 642888 395800
NZ 2007 16249069 1003.364 15392.5 5906.666 415.6224 239.7464 632378 339500
NZ 2008 18792950 1052.433 15011.18 5676.218 433.3744 268.0124 634558 392500
NZ 2009 19388188 1089.724 14778.16 5267.216 464.2505 241.1594 637030 409300
4
0


41
NZ 2010 35168388 1145.385 14629.22 5171.899 455.5831 296.7777 635289 435500
NZ 2011 20459396 1206.991 14646.42 5421.108 454.5558 328.6068 622676 485300
USA 2000 689349 773.311 35081.92 11586.67 396.7195 216.2786 12298000 339900
USA 2001 773168 791.0765 35116.22 13018.44 416.8767 251.0059 11982000 338700
USA 2002 587151 816.0164 35427.91 10726.73 427.9109 249.6574 12427000 330300
USA 2003 563772 844.1835 36021.31 9480.992 407.2447 219.5072 12039000 369700
USA 2004 349304 875.7292 36931.39 9549.156 412.4939 258.6901 11134800 447600
USA 2005 357266 914.5999 37718.01 9704.742 399.88 261.6948 11196000 358700
USA 2006 548 953.9355 38349.4 8358.978 406.2615 249.3184 11862800 395800
USA 2007 96 1003.364 38710.89 8063.57 415.6224 239.7464 11979400 339500
USA 2008 349549 1052.433 38208.76 8093.011 433.3744 268.0124 12163000 392500
USA 2009 133248 1089.724 36539.23 8242.019 464.2505 241.1594 11891100 409300
USA 2010 3465099 1145.385 37329.62 6971.593 455.5831 296.7777 12045800 435500
USA 2011 2791519 1206.991 37691.03 6585.687 454.5558 328.6068 11988300 485300
SGP 2000 151173 773.311 23814.56 7383.664 396.7195 216.2786 37 339900
SGP 2001 28925 791.0765 22913.32 7840.346 416.8767 251.0059 39 338700
SGP 2002 824 816.0164 23658.87 6338.407 427.9109 249.6574 42 330300
SGP 2003 103716 844.1835 25110.5 5658.745 407.2447 219.5072 40 369700
SGP 2004 2852 875.7292 27068.97 5816.576 412.4939 258.6901 44 447600
SGP 2005 39889 914.5999 28388.87 5830.784 399.88 261.6948 41 358700
SGP 2006 0 953.9355 29925.5 5148.372 406.2615 249.3184 42 395800
SGP 2007 464 1003.364 31247 5197.527 415.6224 239.7464 42 339500
SGP 2008 0 1052.433 30131.62 5699.974 433.3744 268.0124 42 392500
SGP 2009 164204 1089.724 28949.86 5701.018 464.2505 241.1594 42
409300
SGP 2010 1707247 1145.385 32640.68 5202.828 455.5831 296.7777 45 435500
4
1


42
SGP 2011 40676 1206.991 33529.83 5436.246 454.5558 328.6068 45 485300
JPN 2000 1295 773.311 37291.71 124.6978 396.7195 216.2786 530438 339900
JPN 2001 54 791.0765 37342.14 119.854 416.8767 251.0059 458600 338700
JPN 2002 2112 816.0164 37363.29 93.37389 427.9109 249.6574 536600 330300
JPN 2003 528 844.1835 37911.69 87.06285 407.2447 219.5072 496000 369700
JPN 2004 3202 875.7292 38793.62 91.50511 412.4939 258.6901 513600 447600
JPN 2005 0 914.5999 39295.31 88.05026 399.88 261.6948 499470 358700
JPN 2006 0 953.9355 39965.86 69.79609 406.2615 249.3184 496992 395800
JPN 2007 1180 1003.364 40837.27 64.6911 415.6224 239.7464 503902 339500
JPN 2008 0 1052.433 40433 72.21283 433.3744 268.0124 519879 392500
JPN 2009 0 1089.724 38242.02 80.42842 464.2505 241.1594 517020 409300
JPN 2010 0 1145.385 39971.79 70.83501 455.5831 296.7777 514959 435500
JPN 2011 0 1206.991 39578.07 71.14438 454.5558 328.6068 500440 485300

Keterangan : Impor : Volume impor daging sapi Indonesia HS0202 (kg)
GDPI : GDP riil per kapita Indonesia (juta USD)
GDPJ : GDP riil per kapita negara asal impor (juta USD)
EXRATE : Nilai tukar riil Rupiah terhadap mata uang negara
asal impor (Rp/LCU)
P_IDN : Harga riil daging sapi di Indonesia (Rp)
P_INT : Harga riil daging sapi Internasional (cents/kg)
PROD_J : Produksi daging sapi di negara asal impor (ton)
PROD_IDN :Produksi daging sapi di Indonesia (ton)
4
2

43

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di kota Jakarta, Jawa Barat, pada Tanggal 3 Maret 1991
dengan nama lengkap Gradisny Qaliffa Maraya. Penulis merupakan anak pertama
dari dua bersaudara pasangan Prie Anugrah Agustyanto dan Nirma Indria
Adikawati.Penulis menamatkan sekolah dasar di SD Islam Dian Didaktika, Cinere
pada tahun 2003. Kemudian melanjutkan ke SMP Labschool Cinere dan tamat
pada tahun 2006, pada jenjang berikutnya penulis melanjutkan pendidikan di
SMA Labschool Cinere dan tamat pada tahun 2009.
Pada tahun 2009, penulis melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi
dan diterima di Institut Pertanian Bogor, salah satu universitas terbaik di
Indonesia. Penulis diterima di Insititut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian
Talenta Mandiri (UTM) dan memilih Program Studi Ilmu Ekonomi, Fakultas
Ekonomi dan Manajemen. Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis pernah
aktif dalam kepanitiaan Masa Perkenalan Fakultas pada tahun 2010 dan menjabat
sebagai sekretaris Humas.


43

Anda mungkin juga menyukai