PENDAHULUAN
agar produk dalam negeri yang dihasilkan mampu bersaing. Semakin banyaknya pilihan
konsumen, maka produk yang akan diterima oleh pasar adalah produk yang memiliki
bagi para pelaku usaha yang terlibat didalammnya dan digunakan untuk memperoleh
menuntut industri ini untuk lebih peka terhadap pasar terutama pasar lokal, bukan
produk ini berkembang lebih bergairah bagi produsen dan bagi industri pendukung
lainnya. Hal ini akan ditentukan oleh bagaimana pola keputusan pembelian konsumen
daging sapi yang semakin menuntut spesifikasi produk yang lebih kompetitif.
Bagaimana industri ini berkembang, harus dapat dicermati oleh berbagai pihak, peran
potong skala kecil yang hanya mempunyai 2 sampai 5 ekor sapi potong dan tidak
kemampuan negara tersebut dalam swasembada pangan, atau paling tidak ketahanan
pangan. Di Indonesia, ketahanan pangan merupakan salah satu topik yang sangat
penting, bukan saja dilihat dari nilai-nilai ekonomi dan sosial, tetapi masalah ini
penting lagi terutama karena saat ini Indonesia merupakan salah satu anggota dari
1
2
ketahanan pangan, namun, di pihak lain, Indonesia tidak bisa menghambat impor
pangan dari luar. Apabila Indonesia tidak siap, keanggotaan Indonesia di dalam WTO
bisa membuat Indonesia menjadi sangat tergantung pada impor pangan, dan ini dapat
Perdagangan bebas yang telah diikuti Indonesia, tidak terlepas dari stigma
konsumsi masyarakat yang masih melekat kuat. Masyarakat Indonesia yang masih
lebih baik kualitasnya dibanding produk lokal, hal ini masih menjadi permasalahan yang
dapat mengancam daya saing produk lokal. Begitupun pada produk bahan pangan
seperti daging sapi. Stigma ini masih menjadi ancaman yang harus diperhitungkan bagi
daya saing produk daging sapi lokal. Terlebih lagi dengan keunggulan harga produk
impor yang lebih murah. Oleh karena itu, banyak produk lokal yang sulit diterima oleh
konsumen domestik dikarenakan harga dan kualitas produk impor lebih diterima oleh
kosnsumen domestik. Hal ini terbukti dengan semakin tingginya produk daging sapi
impor yang masuk ke Indonesia, baik dari jalur yang resmi ataupun yang tidak resmi.
daging sapi dalam negeri. Indonesia pernah melakukan pencanangan PSDS (Program
Swasembada Daging Sapi) pada tahun 2005 beserta kebijakan regulasi yang ditujukan
untuk pengembangan usaha peternakan sapi potong dalam menghasilkan daging sapi
pengurangan ketergantungan impor dalam kurun waktu 5 tahun yaitu dari 2005-2010,
daging sapi per kapita (5.0%/tahun), selama kurun waktu 5 tahun ke depan
ketergantungan impor daging sapi diperkirakan dapat dikurangi. Hal ini memerlukan
3
daging sapi dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan domestik menuju swasembada
Tabel 1.1 memperlihatkan perkiraan jumlah produksi ideal dari tahun 2005-2010,
yang mendekati kebutuhan konsumsi domestik. Jumlah perkiraan produksi tahun 2005
Ton, untuk produksi tahun 2006 sebesar 2.884.300 Ton dengan kebutuhan konsumsi
3.996.600 Ton, produksi tahun 2007 sebesar 3.143.000 dengan konsumsi sebesar
4.215.200 Ton, produksi tahun 2008 sebesar 3.286.100 dengan konsumsi sebesar
4.445.800, produksi tahun 2009 sebesar 4.237.300 Ton dengan konsumsi sebesar
4.689.000 Ton, dan perkiraan produksi tahun 2010 sebesar 4.836.400 dengan
perkiraan kebutuhan konsumsi sebesar 4.945.500 Ton. Tabel perkiraan produksi ideal
tersebut masih menyertakan sapi yang diimpor. Oleh karena itu, selisih produksi dalam
sapi, dimana pangsa pasar penjualan daging sapi di Indonesia ini sangat besar, terlihat
dari tingginya market size perdagangan daging sapi yaitu diatas Rp 20 Triliun pada
tahun 2008, seperti ditunjukan pada Tabel 1.2. Hal ini, seiring dengan semakin
tingginya konsumsi daging sapi dengan rata-rata peningkatan market size perdagangan
mencapai 8,8% per tahunnya. Tingkat market size yang sangat tinggi ini menyebabkan
seperti DKI Jakarta dan Jawa Barat. Selain itu, industri eceran mempunyai peranan
yang sangat penting dalam pemasaran daging sapi ditengah pangsa pasar yang sangat
besar ini. Bagaimana hal ini dimanfaatkan oleh produsen daging sapi untuk
mendapatkan konsumen sebanyak mungkin dan efisiensi usaha sebesar mungkin. Oleh
karena itu, produsen atau pemasok harus mengetahui bagaimana kebijakan keputusan
pembelian daging sapi oleh pelaku bisnis eceran sebagai konsumen bisnis mereka.
4
Disisi lain, industri eceran ini juga akan terus bersaing untuk menawarkan keragaman
produk dengan tingkatan kualitas dan harga yang kompetitif untuk menarik konsumen
pada industri eceran modern, karena pengecer modern merupakan perusahaan yang
Daging sapi sebagai komoditas bahan pangan pokok, menjadi produk yang
kualitas dan harga untuk menarik konsumen sebesar-besarnya. Oleh karena itu, dalam
penelitian ini, pemasaran daging sapi diduga dipengaruhi oleh masalah kualitas produk
dan harga. Sedangkan para pembeli yang diteliti adalah supermarket yang menjual
daging sapi. Bagaimana kebijakan pembelian daging sapi oleh supermarket, penting
untuk diteliti. Apakah benar ada pengaruh kualitas dan harga terhadap keputusan
supermarket juga diharapkan dapat berimplikasi positif bagi pelaku bisnis industri
dengan cara membuka diri terhadap produk dan komoditas pertanian impor. Pada
1998, atas desakan dan tekanan IMF, melalui Inpres No 2 dengan alasan
terjadi di wilayah Indonesia harus dihapuskan, termasuk perdagangan sapi. Hal ini
2009. Meskipun kebijakan tersebut akan memancing risiko, selain bertentangan dengan
Permentan dan UU No.6/1967, juga tidak menjamin terciptanya iklim yang kondusif bagi
perkembangan peternakan di dalam negeri khususnya sapi. Dampak lebih lanjut dari
Tabel 1.1
Perkiraan Penyediaan, Kebutuhan, Neraca dan Populasi Ideal Sapi Di Indonesia,
Tahun 2005-2010
Populasi sapi (000 ekor) 11 045.90 11746.17 12 467.38 13210.16 13975.14 14763.00
Total Pemotongan (000 ekor) 1 891.45 1 837.82 1 765.26 1 892.47 2393.49 2528.42
b. Pemotongan Kawin Alam (000 ekor) 1 391.45 1 337.82 1 265.26 1 392.47 1 893.49 2028.42
Produksi daging sapi (a+b) (000 ton) 271.84 265.19 256.20 271.97 334.05 350.77
Tambahan produksi daging (000 ton) 0 23.24 58.09 56.64 89.68 132.87
Total produksi daging (000 ton) 271.84 288.43 314.30 328.61 423.73 483.64
KEBUTUHAN
Total konsumsi (000 ton) 378.93 399.66 421.52 444.58 468.90 494.55
NERACA
Produksi - kebutuhan (000 ton) (107.09) (111.22) (107.22) (115.97) (45.17) (10.92)
Setara dengan sapi hid up (000 ekor) (864.22) (897.62) (865.33) (935.94) (364.55) (88.09)
Betina produktif (000 ekor) (1 389.87) (1 443.58) (1 391.65) (1 505.21) (586.29) (141.67)
Tabel 1.2.
Market Size Daging Sapi dan Pertumbuhan Market Size Daging Sapi di Indonesia
Tahun 2004 – 2008
Tahun 2004 2005 2006 2007 2008
Market Size (Rp. T) 15,33 14,30 16,29 20,85 21,47
Pertumbuhan Market Size (%) -6,7 13,9 28,0 3,0
Sumber: Departemen Pertanian Dikutip dari Economic Review No. 217, September 2009
spesifikasi produk yang diinginkan konsumen, membuat impor daging sapi terus
meningkat. Berdasarkan data Statistik Pertanian 2008, yang ditunjukan pada Tabel 1.3.
terlihat volume impor dan pertumbuhan volume impor daging sapi tercatat terus
mengalami kenaikan. Dari tahun 2004 hingga 2007, nilai ekspor terkecil terjadi pada
2006. Pada tahun itu, nilai ekspor daging sapi hanya 0,02% dari impor yang sebesar
24.079 ton. Pada 2007 nilai ekspor daging sapi sempat naik tajam hingga 43 ribu ton,
tetapi tidak sesignifikan kenaikan impor yang mencapai 39.352 ton. Pada tahun 2006
volume impor daging sapi mencapai 25.949 ton, meningkat dari impor tahun
sebelumnya yang hanya mencapai 12.755 ton. Impor daging sapi masih meningkat di
tahun 2007 yang mencapai 47.776 ton, dan masih meningkat terus di tahun 2008
Tabel 1.3.
Volume Impor Daging Sapi dan Pertumbuhan Volume Impor Daging Sapi
Indonesia Tahun 2004 – 2008.
Tahun 2004 2005 2006 2007 2008
Volume Import (Rb Ton) 13,0 12,8 25,9 47,8 52,7
Pertumbuhan Vol. Impor (%) -1,7 103,4 84,1 10,3
Sumber:Departemen Pertanian Dikutip dari Economic Review No. 217, September 2009
akan impor daging sapi dari luar negeri. Inilah yang dalam jangka panjang akan
pangan. Impor yang selama ini dilakukan tidak hanya mengancam aspek pengeluaran
(belanja) Negara, tetapi juga mengancam peternakan lokal karena penetrasi harga yang
7
terhitung lebih rendah akan merombak struktur harga daging sapi lokal yang
Berdasarkan data dari Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat, populasi sapi
yang dipotong di Jawa Barat tahun 2009 adalah 287.937 ekor, dimana Jawa Barat
sendiri hanya menyuplai sebanyak 49.110 ekor atau 17,06% dan sebanyak 91.679 ekor
atau 31,84% disuplai oleh sapi – sapi potong impor, dimana sebenarnya adalah
sebanyak 180.000 ekor sapi impor, namun besaran tersebut di atas adalah data sapi
yang dipotong. Selain itu sebanyak 147.148 ekor atau 51,10% disuplai dari luar Jawa
Barat. Populasi sapi potong dan produksi daging sapi tahun 2008 dan 2009 di Jawa
Barat, dimana data tahun 2009 masih sangat sementara, dapat dilihat pada tabel 1.4
dibawah ini. Data statistik pada Tabel 1.4 memperlihatkan posisi daging sapi impor
yang akan beredar di Jawa Barat menyediakan hampir setengahnya dari produksi
daging lokal. Hal ini dapat menjadi ancaman yang cukup serius bagi penetrasi daging
Tabel 1.4.
Data Populasi Sapi dan Produksi Daging Sapi di Jawa Barat Tahun 2008 – 2009
Tahun 2008 2009 (sangat sementara)
Populasi Sapi Potong (Ekor) 295.554 308.414
Produksi Daging Sapi (Ton)
Lokal 46.175 44.657
Impor 25.176 24.535
Sumber: Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat
Sebagian besar atau sekitar 85% kebutuhan daging di Jawa Barat tergantung
pasokan dari luar daerah termasuk daging sapi impor. Sedangkan produksi daging sapi
lokal hanya mencukupi 15% kebutuhan saja. Pasokan daging sapi dari luar daerah
kebanyakan dipasok dari Jatim dan Jateng. Sedangkan impor dilakukan hanya dari
empat negara asal yakni Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat dan Kanada. Setiap
tahun Jabar mengimpor 1.634,5 ton daging sapi atau setara dengan 161.807 ekor.
Produsen daging sapi lokal (Jawa Barat) tersisih oleh produk sapi impor yang banyak
8
mengisi stok khususnya untuk kebutuhan selama bulan Puasa dan Lebaran 2009. Hal
ini mengakibatkan, stok hewan sapi hidup dari sejumlah sentra peternakan Jabar,
seperti Sumedang, Tasikmalaya, Ciamis, Garut, hanya bisa dijual di daerah setempat.
Kondisi tersebut mengakibatkan harga daging sapi praktis ditentukan oleh para
pengimpor. Menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Daging Sapi (Apdasi) Jabar, H. Dadang
Iskandar, “kini sudah tak ada lagi pasokan sapi hidup lokal Jabar ke rumah-rumah
pemotongan hewan di Kota Bandung, sedangkan yang kini dipotong adalah sapi impor
dan sapi asal Jateng-Jatim. Pasokan daging sapi untuk kebutuhan puasa dan Lebaran
kali ini, baik di pasar tradisional maupun modern, praktis sepenuhnya diisi daging-
daging sapi impor," (Pikiran Rakyat, Kamis 03 September 2009). Hal ini akan berimbas
terhadap para pelaku usaha eceran. Mereka akan memasarkan produk yang beredar
banyak di pasaran dengan berbagai alasan yang terutama adalah alasan harga,
ketersediaan barang dan kualitas produk. Apalagi produk impor tidak lagi menyuplai
pasar-pasar tertentu yang lebih eksklusif, namun telah merambah ke pasar tradsional.
tahun 2006 sampai tahun 2009 ditunjukan pada Tabel 1.5, berdasarkan data yang
didapat dari Dinas Ketahanan Pangan Kota Bandung. Data pada Tabel 1.5
menunjukan, meski produksi daging sapi di Kota Bandung bukan berasal dari ternak
sapi yang berasal dari kota Bandung, namun menunjukan perkembangan yang
meningkat terutama dari tahun 2007 ke tahun 2008 yang menunjukan kenaikan lebih
dari dua kali lipatnya. Data produksi daging tersebut berkorelasi positif dengan tingkat
konsumsi daging sapi masyarakat kota Bandung perkapita per tahun dan permintaan
daging sapi. Lonjakan produksi yang sangat tajam di tahun 2008 tersebut
mengindikasikan bahwa permintaan daging sapi di kota Bandung melonjak tinggi atau
terjadi pemenuhan pasar yang sangat tinggi dari produsen (Penulis mengasumsikan,
hingga saat tesis ini dibuat, semua data produksi daging sapi tersebut diasumsikan
terserap semua oleh konsumen atas dasar fakta dari data masih kurangnya pemenuhan
didapat informasi bahwa harga daging sapi impor lebih murah Rp 2.000,00 – Rp
3.000,00 dibandingkan harga daging sapi lokal. Namun begitu, permintaan akan daging
sapi lokal ini masih sangat tinggi, salah satu yang dominan adalah kebiasaan konsumen
lokal yang masih menyukai daging sapi segar, karena meski produsen daging sapi
memproduksi daging sapinya berasal dari ternak sapi bakalan yang diimpor kemudian
digemukan, namun ada juga produsen daging sapi yang langsung mengimpor daging
sapi beku (daging sapi box import). Proses masuknya daging sapi beku ini masih
banyak yang tidak terdeteksi oleh pemerintah, melalui pintu-pintu yang tidak resmi para
pengimpor masih dapat mendatangkan daging sapi import dari luar dengan ketentuan
Tabel 1.5
Perkembangan Penyediaan Produksi Daging Sapi Di Kota Bandung
Tahun 2006 – 2009
Tahun Jumlah Produksi (Kg) Perkembangan (%)
2006 6.897.702 -
2007 7.546.075 9,40
2008 16.211.291 114,83
2009 18.997.798 17,19
Sumber: Dinas Ketahanan Pangan Kota Bandung (Data tersebut adalah data yang tercatat oleh
Dinas melalui Rumah Potong Hewan yang terdata oleh Dinas sebagai pintu masuk
ternak sapi yang dipotong dan yang akan dipasarkan di Kota Bandung)
Daging sapi beku impor ini meski lebih murah, namun konsumen di kota
Bandung cenderung tidak mempercayai kesegaran daging sapi impor. Tetapi tidak
menutup kemungkinan ada konsumen yang lebih memilih daging sapi beku
sesungguhnya dari daging sapi beku impor adalah industri processing daging, pasar
institusi, hotel, dan restoran. Keunggulan harga daging sapi beku ini juga banyak
Jumlah pelaku yang terlibat dalam pemasaran ternak dan daging sapi bervariasi
10
antar daerah. Berdasarkan studi yang pernah dilakukan, pelaku yang terlibat adalah:
keliling, Ilham (2008). Berdasarkan pengamatan dari Dinas Ketahanan Pangan Kota
Bandung, estimasi persentase volume produksi daging sapi kota Bandung lokal yang
terserap oleh supermarket dan hipermarket di kota Bandung sebesar 7%. Sebagian
besar terserap oleh Pasar Basah atau Tradisional dan sisanya tersebar di meatshop,
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rochadi Tawaf yang dikutip dalam
artikelnya yang berjudul Swasembada Terkendala Impor Ilegal di harian Pikiran Rakyat
tanggal 3 Maret 2011. Penelitian yang dilakukan di Jawa Barat tahun 2010 yang
menggunakan data time series selama 15 tahun ini, mengindikasikan bahwa faktor
(38,7%). Rochadi menjelaskan bahwa harga daging adalah faktor pendorong dominan
yang dicanangkan pada tahun 2005 – 2010, selain disebabkan karena program tersebut
lebih diarahkan pada hal yang bersifat teknis, yaitu peningkatan populasi melalui upaya
pemerintah dalam menghambat masuknya daging box import. Hal ini akan
ternak. Pemerintah selalu berusaha dengan berbagai upaya untuk menekan harga
11
yang sifatnya sementara seperti operasi pasar, subsidi, dan impor. Program-program
pemerintah ini tidak selaras dengan perkembangan konsep permintaan dan penawaran
produk yang diharapkan lebih dinamis di tingkat domestik yang lebih kompleks, dimana
sinergi kesejahteraan global harus diawali dari kesejahteraan lokal yang sudah mapan.
dalam menyukeskan program swasembada daging sapi harus dapat tercermin dalam
penataan rantai nilai pasar daging, khususnya daging boks dan jeroan impor. Menurut
Rochadi, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui berapa permintaan yang dapat
dipenuhi oleh kemampuan produksi dalam negeri. Selain itu, penataan ini juga akan
menciptakan daya saing produksi daging sapi lokal terhadap serangan komoditas
daging sapi impor. Namun Rochadi juga menegaskan bahwa, tujuan sesungguhnya dari
penataan pasar ini adalah untuk menjawab pengaruh harga yang sangat menentukan
merupakan aspek yang penting selain harga. Aspek kualitas produk daging sapi ini
salah satunya adalah aspek kesehatan daging sapi yang dibuktikan oleh certificate of
health, yang mana telah terjadi silang pendapat antara Kementerian Perdagangan dan
prasyarat dalam mengimpor daging sapi. Penyertaan SPP dalam Cetificate of Health ini
merupakan salah satu cara bagi Kementerian Pertanian dalam melindungi peternak
dalam negeri.
Aspek-aspek kualitas produk masih menjadi perhatian yang cukup spesifik bagi
konsumen dalam memilih produk yang juga terasa kuat di industri bahan pangan.
Dalam produk pangan, aspek kesehatan adalah hal terpenting untuk dijadikan
spesifikasi kualitas produk. Begitupun daging sapi, dimana Indonesia adalah salah satu
12
Negara yang sudah dinyatakan bebas penyakit. Impor daging sapi dari Negara-negara
yang tidak terdeteksi apakah telah bebas dari penyakit zoonosis akan sangat
eksportir. Hal ini untuk mencegah penularan penyakit hewan yang menular dari lokasi
yang dilalui kapal karena wilayah tersebut belum dinyatakan terbebas dari penyakit
seperti Indonesia. Oleh karena itu, dalam konteks kesehatan produk, kualitas produk
daging sapi lokal lebih terjamin dibanding daging sapi impor, begitupun kesegaran dan
sapi juga harus diperhatikan sebagai pemicu atau pendorong dalam meningkatkan
produksi. Produksi dan pemasaran daging sapi merupakan unit-unit yang sangat
karena itu, konsep permintaan dan penawaran akan selalu berlaku. Sistem permintaan
dan penawaran ini harus dibiarkan berjalan secara alami dalam suatu lingkungan pasar
dengan sedikit intervensi dari pihak lain yang dapat mempengaruhi sistem. Meski
intervensi ini masih dibutuhkan khususnya dari pihak pemerintah, dalam membantu
terjaganya eksistensi produk dan eksistensi produsen ternak skala kecil yang
harus ditetapkan dengan konsekuen agar kesejahteraan lokal dapat dipertahankan dan
Prinsip permintaan dan penawaran masih dapat dijadikan konsep dasar dalam
ditawarkan serta implikasinya terhadap harga produk yang sesuai dan disesuaikan,
permintaan dari spesifikasi produk yang diinginkan pasar harus dapat mempengaruhi
sebagai strategi pemasaran pada urutan pertama dan selanjutnya adalah harga produk.
Kondisi dan spesifikasi produk yang ditawarkan merupakan aspek pertama yang dilihat
konsumen dalam membeli produk yang diinginkannya. Apakah masih terjadinya impor
daging sapi baik yang legal maupun yang illegal merupakan indikasi rendahnya kondisi
produk daging sapi lokal dibanding impor ataukah adanya perbedaan yang cukup
signifikan dari segi harga. Faktor-faktor ini harus masih terus dikaji. Khususnya dengan
semakin berkembangnya pasar yang ditandai dengan semakin banyaknya pelaku pasar
pun dapat tercermin dan diacu pada kualitas produk yang ditawarkan. Keinginan
masyarakat modern lebih beragam, yang harus diikuti oleh produsen dengan
menawarkan spesifikasi produk yang lebih banyak pula dan atau produk pionir di
pasaran.
salah satunya adalah sektor perdagangan eceran. Sepuluh tahun terakhir ini, di
pasar sudah berkembang dari pasar tradisional yang dulu merupakan pasar eceran
yang umum dijumpai dan menjadi pasar sasaran utama dalam mencari barang yang
dibutuhkan konsumen, sekarang dapat dijumpai pasar eceran modern. Pelaku usaha
eceran modern ini, membedakan diri atau mengembangkan diri dari pesaingnya yaitu
tradisional yang sangat identik dengan pasar basah sangat mengabaikan kenyamanan
Kenyamanan konsumen akhir dalam membeli barang dijadikan strategi pembeda bagi
Strategi ini sangat berhasil, dibuktikan oleh Laporan Bank Dunia tahun 2007
dimana pada 1999 pasar modern hanya meliputi 11% dari total pangsa pasar bahan
pangan. Menjelang 2004, jumlah tersebut meningkat tiga kali lipat menjadi 30%. Terkait
2% per tahun. Diperkuat juga oleh data survey yang dilakukan AC Nielsen Asia Pasific
Retail and Shopper Trend tahun 2005, yang menunjukan kecenderungan publik untuk
tahun dan survey tersbut mendata bahwa 86% hipermarket berada di pulau Jawa. Hal
ini menunjukan pula bahwa wilayah pulau Jawa merupakan wilayah yang potensial
seperti Bandung. Oleh karena itu, perlu diketahui kriteria yang mendasari pasar eceran
pangsa pasar produsen daging sapi dan atau peternak sapi potong di Indonesia,
stigma kualitas produk impor lebih baik daripada produk lokal dan gempuran daging
sapi impor yang sudah merambah ke sektor industri eceran, serta konsumen yang tidak
hanya membeli produk untuk memenuhi kebutuhan dasar saja, namun juga melihat
produk yang akan dibelinya lebih komperhensif mulai dari segi kondisi produk dan juga
eceran modern yang semakin berkembang dan semakin menggeser peran serta
bisnis dalam pengadaan produk daging sapi yang akan ditawarkannya kepada
konsumen akhir mereka. Berdasarkan hal tersebut, maka dirasa sangat perlu untuk
melakukan penelitian tahap awal tentang bagaimana pengaruh kualitas produk dan
penetapan harga terhadap keputusan pembelian bisnis daging sapi di supermarket dan
15
hipermarket yang menjual daging sapi khususnya di Kota Bandung.dalam upaya yang
oleh ritel modern seperti supermarket dan hipermarket di kota Bandung. Perlu diketahui
aspek-aspek yang menyebabkan rendahnya tingkat pembelian daging sapi lokal oleh
supermarket dan hipermarket, khususnya di kota Bandung. Aspek kualitas produk dan
penetapan harga merupakan salah satu aspek awal dalam marketing mix yang dapat
konsumen bisnis dalam keputusan pembelian bisnis khususnya pada pembelian bisnis
produk daging sapi. Mengetahui tingkat keputusan pembelian bisnis daging sapi oleh
kemudian diharapkan dapat memperluas pangsa pasar daging sapi dari peternak atau
investasi dengan melibatkan peran pemerintah, swasta, dan masyarakat peternak akan
tiga dimensi utama agribisnis, yaitu kebijakan pasar input, budidaya, serta pemasaran
dan perdagangan. Dari ketiga dimensi tersebut, kebijakan dalam hal pemasaran
akan memberi dampak langsung terhadap bagian harga dan pendapatan yang diterima
pelaku agribisnis (swasta dan peternak) yang pada akhirnya akan memantapkan proses
investasi ke depan. Andil pihak swasta dalam penyerapan pasar penjualan daging sapi
oleh pengusaha pengecer terutama pengecer modern yang semakin berkembang saat
ini, merupakan salah satu indikator daya saing produksi daging sapi dalam negeri. Oleh
16
karena itu, peternak rakyat yang diasumsikan sebagai suatu kesatuan korporasi yang
dikelola oleh pemerintah diduga perlu membenahi strategi – strategi pemasaran yang
lebih berorientasi pada keinginan konsumen. Maka yang menjadi masalah penelitian ini
Kinerja indikator kualitas produk dan harga menjadi kriteria yang minimal
diinginkan oleh supermarket dan hipermarket dalam membeli daging sapi dari
para pemasok perlu diketahui, sehingga diharapkan dapat mengetahui perilaku
pembelian supermarket dan hipermarket sebagai konsumen bisnis dalam
pembelian daging sapi. Hal ini juga diharapkan dapat meningkatkan penetrasi
pasar pemasok kecil/peternak rakyat dalam memperluas pangsa pasarnya,
sehingga dapat menggairahkan usaha peternakan sapi potong lokal dan juga
diharapkan dapat meningkatkan keuntungan perusahaan.
Bandung.
berikut:
Bandung.
teori pemasaran.
praktis yaitu untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi industri daging sapi
3. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi atau acuan
daging sapi.