Kondisi dan Problematik pengelolaan ternak ruminansia di peternakan rakyat.
KONDISI TERNAK RUMINASIA SEKARANG. Kondisi memprihatinkan itu dapat terjadi karena selama ini kebijakan pemerintah kurang berpihak kepada para peternak. Selama ini peternak selalu dihadapkan pada dua kekuatan eksploitasi ekonomi. Pada pasar faktor produksi, peternak berhadapan dengan kekuatan monopolistis. Kurangnya kesadaran pemerintah dalam mengelolah komoditi asal ternak rumiansia yang sebenernya bisa meguntungkan para peternak itu sendiri. Karna masih kurangnya pemasaran daging asal ternak rakyat yang saat Ini mempegaruhi pemasokan daging di pasar tradisional, Sebaliknya, saat menjual hasil produksi berupa daging atau telur selalu dihadapkan pada kokohnya tembok monopsonistis. Akibatnya, nilai tambah usaha tani mereka diperkecil oleh struktur non usaha tani yang bersifat dispersal, asimetris, dan cenderung terdistorsi. Menurut data Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), saat ini nilai bisnis peternakan ruminasia, dari hulu ke hilir tidak kurang dari Rp 450 triliun per tahun. Sebuah angka yang sangat besar, lebih besar jika dibandingkan dengan nilai bisnis di sektor minyak dan gas (migas). Adanya dukungan kebijakan dan aturan yang menarik, mem buat bisnis ini sangat menggiurkan para pelaku usaha untuk melakukan monopoli, bahkan kartel.
MASALAH YANG TERJADI DAN PENAGANAN-NYA
Salah urus penanganan industry peternakan Tanah Air dimulai sejak Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Undang-Undang ini menggantikan Undang Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan. Sejak dikeluarkan produk hukum itu proporsi perunggasan nasional berubah seratus delapan puluh derajat. Sebelum tahun 2009, proporsi peternak ayam rakyat/ mandiri mencapai 80%, sedangkan 20% sisanya dikuasai perusahaan/ integrator. Hanya dalam waktu lima tahun proporsinya menjadi terbalik. Proporsi peternak rakyat 20%, sisanya yang 80% dikuasai integrator. Kondisi seperti itu bisa terjadi karena Undang Undang No 18/2009 memperbolehkan integrator masuk bisnis budidaya, yang sebelumnya hanya boleh dijalankan oleh peternak mandiri. Bukan hanya itu, integrator juga diperbolehkan menjual sapi ke pasar tradisional yang sebelumnya diisi sapi dari peternak mandiri. Jadi tidaklah mengherankan jika industri ternak besar ruminasia nasional dari hulu hingga hilir saat ini dikuasai oleh integrator. Indikasinya, dari nilai keseluruhan bisnis peternakan ayam nasional, 60-80% (Rp 270 triliun hingga Rp 360 triliun) dikuasai oleh dua perusahaan raksasa.
HARGA DAGING RUMINASIA SAPI,KERBAU,KAMBING
DAGING SAPI Pusat informasi harga pangan strategis nasional mencatat rata-rata harga daging sapi kualitas 1 (per kg) hariandi pasar moderen di bebrapa profinsi tercatat Rp. 166,76 ribu per kg. DAGING KAMBING Daging kambing termasuk kebutuhan pangan yang mengalami fluktuasi hampir setiap tahun. Pada 2019, 1 kilogram daging kambing dijual mulai harga Rp100 ribuan. Lalu, pada 2020 mengalami kenaikan harga menjadi Rp115 ribuan per kilo. Bahkan, dilansir dari Info Pangan Jakarta, harga jual kambing tertinggi ada di sejumlah pasar, yakni Pasar Grogol, Pasar Mampang Prapatan, dan Pasar Mayestik berkisar Rp120 ribuan per kilogram. Memasuki 2021, harga daging kambing terpantau mengalami kenaikan dibandingkan 2020 lalu. Jika tahun 2020 daging kambing di pasaran ditawarkan mencapai harga Rp120 ribuan per kilogram, tahun 2021 Anda harus merogoh kocek lebih dari harga Rp123 ribu hingga paling mahal mencapai Rp175 ribu per kilogram, tergantung tempat pembelian. DAGING KERBAU di pasar tradisional meroket hingga Rp 77.000-85.000/kilogram, perusahaan/integrator bisa menekan HPP . Hal itu bisa terjadi karena usaha peternakan KERBAU dari hulu hingga hilir, mulai dari anakan hingga pakan, di bawah kendali mereka. Sementara para peternak tradisional harus berjuang mati-matian agar usaha mereka bisa bertahan dengan melonjaknya harga sarana produksi. Political Will Menurut hemat penulis, untuk menyelamatkan industri peternakan rakyat harus ada political will dari seluruh pemangku kepentingan. Selama ini gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU Nomor 41/2014 jo UU Nomor 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan hanya menyangkut pasal-pasal yang mengatur syarat negara atau zona dalam suatu negara asal impor ternak ruminansia. Seharusnya, lebih jauh dari itu “roh” Undang Undang tersebut semestinya dikembalikan lagi sebagaimana “roh” yang ada pada Undang Undang Nomor 6/1967 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan yang lebih melindungi para peternak rakyat. Bagaimanapun pertarungan tidak imbang antara David melawan Goliath, persaingan yang tidak sehat antara peternak rakyat melawan para integrator, harus segera diakhiri. Integrator tidak diperbolehkan mengendalikan bisnis peternakan rakyat dari hulu hingga hilir. Mulai dari DOC, obat-obatan, pakan, hingga penjualan ke pasar tradisional. Di sinilah pentingnya pemerintah hadir di tengah-tengah penderitaan para peternak rakyat yang notabene adalah “wong cilik”. Hadir memberikan solusi melalui kebijakan-kebijakan yang membumi, bukan sekadar program dan kebijakan yang menggantung tinggi di langit. Sepanjang tahun 2020, harga daging sapi di Indonesia mengalami kenaikan. Pada bulan Mei 2020, harganya mencapai Rp120.000 per kilogram. Kemudian, menjelang Idul Fitri, rata-rata daging sapi dibanderol Rp131.000 per kilogram. Memasuki tahun 2021, harga daging sapi diperkirakan naik signifikan. Salah satu penyebabnya adalah penurunan impor sapi bakalan dari Australia. Selain itu, rantai distribusi yang terlalu panjang juga menyebabkan mahalnya harga daging sapi di pasaran. Untuk memutus rantai distribusi tersebut, dibutuhkan peran peternakan feedlot sapi potong berbasis perusahaan. Peternakan harus memiliki teknologi yang mampu menyederhanakan distribusi, misalnya dengan mempertemukan langsung peternak rakyat dan konsumen secara virtual. Namun, sebelum membuat sistem baru, perusahaan peternakan harus memahami kondisi peternak sapi rakyat yang sesungguhnya.
KONDISI PETERNAK SAPI RAKYAT DI INDONESIA
sebelum era reformasi, industri sapi potong lokal menjadi primadona? Pemerintah Republik Indonesia kala itu menjadikan sapi lokal sebagai prioritas dan menempatkan sapi impor di posisi pendukung. Pemerintah juga berkomitmen mengimpor daging berkualitas hanya untuk penyambung. Sayangnya, di masa sekarang, peternakan sapi rakyat makin terpinggirkan. Jawa Timur yang dahulu diandalkan sebagai gudangnya sapi potong, kini mengalami defisit. Mayoritas peternakan di provinsi tersebut mengambil sapi bakalan dari luar daerah. Pembibitan sapi lokal di berbagai daerah pun mengalami kemunduran karena harus bersaing dari sisi produksi dengan daging impor. Dibandingkan daging lokal, harga daging impor relatif lebih murah. Karena itu, sebagian konsumen cenderung membeli daging impor. Minimnya permintaan daging lokal mengakibatkan para jagal di Indonesia kewalahan menjualkan hasil produksi peternakan rakyat. Mereka lebih memilih memasarkan daging impor lantaran menguntungkan. Lantas, apakah peternakan sapi rakyat mampu meningkatkan produksi agar bisa bersaing dengan sapi impor? Sebenarnya, tidak kurang dari 5,5 juta rumah tangga di Indonesia memiliki sapi potong masing- masing 1—4 ekor. Namun, sistem budidaya tradisional yang mereka terapkan belum mampu menunjang target produksi maksimal. Akibatnya, peternakan sapi rakyat tidak dapat memenuhi kebutuhan daging nasional. Pemerintah tentunya dilema; satu sisi harus memenuhi kebutuhan tersebut. Namun, di lain sisi, kebijakan impor daging sapi berpotensi menumbangkan peternakan sapi rakyat. Jalan satu-satunya, peternak sapi rakyat harus mau beralih ke pola budidaya modern untuk meningkatkan produksi. Dengan demikian, peternak dapat menyejajarkan posisinya di level global.
DINAMIKA PETERNAKAN SAPI POTONG DI INDONESIA
Untuk mencapai level global, peternakan sapi rakyat mesti menghadapi banyak tantangan. Salah satu tantangan tersebut adalah dinamika yang terjadi setiap tahun. Seperti halnya di tahun 2020, peternak harus menerima perubahan dramatis dan masif akibat pandemi Covid-19. Menurut Ir Didiek Purwanto IPU, Ketua Umum Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI), dalam acara Obrolan Peternakan (OPERA) pada 3 Juli 2020, sektor peternakan tumbuh hanya 2,86 persen. Dibandingkan tahun 2019, pertumbuhannya cenderung melambat. Perlambatan tersebut disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya nilai tukar rupiah yang merangkak naik. Daya beli menurun juga menjadi pemicu awal kemunduran pasar sapi potong. Selain itu, adanya peningkatan biaya produksi, operasional, logistik, hingga tata niaga menimbulkan masalah baru bagi peternakan di Indonesia. Kecenderungan semakin meningkatnya konsumsi pangan asal ternak merupakan suatu tantangan sekaligus peluang bagi subsektor petemakan untuk meningkatkaan produksi secara efisien dan kompetitif. Dengan menggunakan data sekunder yang dianalisis secara deskriptif, tylisan ini bertujuan mengkaji pengembangan temak ruminansia secara efisien dan kompetitif ditinjau dari aspek sumberdaya pakan dan lahan Hasil kajian menunjukkan bahwa pengembangan temak potong dengan tiga prinsip utama, yaitu keseimbangan suplai-demand daging, pelestarian dan mengurangi impor daging hams memperhatikan potensi sumberdaya pakan, lahan dan tats ruang. Dengan demikian diharapkan efisiensi usaha dan daya saing produk yang dihasilkan akan lebih meningkat. Untuk itu diperlukan koordinasi antara instansi lintas sektoral, antara lain berupa penetapan status hukum padang penggembalaan umum dan penentuan kebijaksanaan pembangunan petemakan dan sarana pendukung lainnya. TANTANGAN ATAU PROBLEMATIK DAN PERMASALAHAN PETERNAKAN RUMINASIA DI INDONESIA Berbicara peternakan, maka tidak akan jauh dari definisi hewan dan urusannya. Perkembangan peternakan saat ini sangat dipengaruhi lebih besar oleh faktor ekonomi dibanding oleh faktor teknis peternakan itu sendiri. Berbagai tantangan dan permasalahan muncul seiring dengan meningkatnya trend kebutuhan masyarakat akan pemenuhan aspek pangan asal hewan. Dalam beberapa dekade terakhir tantangan utama dalam bidang peternakan adalah lebih pada bagaimana tatakelola peternakan nasional baik dimulai dari hulu sampai hilir. Tatakelola Peternakan yang saat ini dilakukan oleh pemerintah Indonesia lebih pada bagaimana memenuhi permintaan pasar baik dalam negeri maupun luar negeri. Permintaan pasar dalam negeri sebaiknya dipenuhi oleh kapasitas produksi peternakan dalam negeri, namun pada saat ini kenyataannya sebagian besar pasar dalam negeri banyak dipenuhi dari pasokan luar negeri ( impor). Hal ini banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor dalam negeri itu sendiri yang kurang memperhatikan potensi dan peningkatan kapasitas pengembangan peternakan dalam negeri itu sendiri. Bisa kita ambil contoh, potensi plasma nutfah bibit ruminansia( hewan besar seperti sapi, kerbau, kambing, domba,dll) di Indonesia sangat melimpah dan variatif. Namun potensi ini hanya sebagian kecil yang menjadi perhatian pemerintah. Pengembangan kearah terciptanya peniNgkatan produksi atas bibit tersebut sebagian besar hanya sebatas penelitian dan impelemntasi kebijakan, namun tidak fokus pada program peningkatan skill budidaya masyarakat lokal. Selain itu, semakin majunya perkembangan pasar dan adanya tuntutan global, mendorong banyaknya pemain pasar peternakan besar mengambil kesempatan untuk memberikan kemudahan dalam pemenuhan aspek kebutuhan atas produk pangan asal hewan. Jalan pintas yang saat ini diambil karena ketidakmampuan atas ketersediaan kapasitas produksi lokal bahan pangan asal hewan (terutama daging) adalah dengan melakukan berbagai inisiasi pemenuhan produk pangan asal hewan yang berasal dari luar negeri (impor). Kesempatan yang sangat luas dan terbuka lebar yang diberikan oleh pemerintah, mendorong berbagai pihak terutama pemain/pedang besar melakukan opsi importasi besar-besaran dalam rangka memenuhi permintaan dan kebutuhan pasar dalam negeri. Pada saat ini, masyarakat dituntut untuk memilih memenuhi kebutuhannya dengan produk pangan asal impor, namun sebagian masyarakat masih meyakini bahwa produk pangan asal lokal masih mempunyai kepercayaan tersendiri dikalangan masyarakat tertentu. Disisi lain, tantangan yang harus menjadi perhatian adalah pada jalur hulu peternakan Indonesia. Kurangnya perhatian pemerintah terhadap pengembangan dan pembinaan peternak lokal menjadi faktor lemahnya advokasi dan kepedulian terhadap peningkatan kapasitas produksi peternakan. Aplikasi terkait good farming practices (Cara beternak yang baik) kurang diterapkan secara maksimal dan terintegrasi kepada peternak lokal dan kecil, kebanyak perhatian atas pembinaan dan edukasi ini hanya intensif diberikan pada peternak besar dalam rangka peningkatan produksi dalam negeri maupun untuk eksportasi. Pembinaan secara serentak dan menyeluruh terhadap sistem manajemen mutu budidaya peternakan belum secara konsep maupun teknis diterapkan dalam pengelolaan budidaya peternakan di Indonesia. Aspek lain yang tidak kalah pentingnya dalam tantangan peternakan saat ini adalah terkait ketersediaan bahan baku pakan dan pakan hewan. Meskipun sumberdaya alam Indonesia sangat melimpah, tidak menjadikan Indonesia sebagai salah satu lumbung bahan baku pakan dan pakan hewan. Seharusnya dengan potensi tersebut Indonesia mampu mengambil peran terutama dalam penyediaan pakan dalam negeri. Namun pada kenyataannya, eksplorasi dan pemberdayaan bahan baku pakan dan pakan asal lokal belum menjadi prioritas utama dalam memenuhi kebutuhan pakan ternak bagi peternakan di Indonesia. Budidaya Bahan baku pakan dan pengolahan pakan Masih terbatas hanya skala rumah tangga oleh masyarakat peternak lokal. Kurang dibekalinya pembinaan,sosialisasi dan advokasi diseluruh peternak lokal dengan regulasi dan pedoman teknis serta kurang didukung oleh edukasi dan ketersediaan teknologi baik informasi dan sarana pengolahan bahan baku pakan yang mudah, terjangkau dan modern menjadikan efisiensi dan efektifitas terhadap pengolahan pakan menjadi tidak maksimal dan hanya seadanya saja. Hal ini sangat memprihatinkan sehingga kualitas dan mutu pakan yang dikonsumsi oleh ternak-ternak lokal menjadi rendah dan peningkatan pertumbuhan berat badan ternak menjadi tidak signifikan. Dalam pengelolaan dan pengolahan pakan mandiri oleh peternak lokal, selain hal yang telah disebutkan diatas, maka hal lain yang menjadi kesulitan peternak ialah tingginya harga bahan baku tambahan pakan seperti obat, vitamin dan mineral yang tidak bisa dijangkau secara langsung Oleh peternak. Pemberdayaan bahan baku asal lokal belum secara maksimal menjadi perhatian pemerintah, hal ini dibuktikan hampir 90% bahan baku pakan baik utama maupun penunjang masih dipenuhi oleh bahan baku impor. Adanya kesenjangan dan kesempatan kurang potensialnya pemenuhan bahan baku pakan dan pakan ternak lokal, memicu pengusaha dan pedang besar mengambil porsi yang sangat besar dalam penyediaan bahan baku pakan dan pakan ternak untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Sebagian besar penyediaan bahan baku pakan dan pakan banyak dikuasai oleh peternak besar dengan mendirikan unit usaha pengolahan pakan mandiri skala besar yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan peternakan kalangan mereka sendiri maupun untuk memenuhi kebutuhan pasar lokal dan pasar luar negeri. Dalam hal ini peternak lokal dengan plasma nutfah dan keterbatasan pakan yang tinggi, menuntut mereka mengambil alternatif lain dalam peningkatan kapasitas produksi dengan mengikuti trend saat ini yaitu menggunakan bahan pakan jadi yang diproduksi oleh pengusaha atau peternak besar yang melakukan pengolahan pakan. Tingginya harga pakan jadi tidak menjadikan seluruh masyarakat peternak memilih menggunakan pakan tersebut. Yang saat ini ditempuh oleh peternak lokal dengan keterbatasan biaya pengadaan pakan hanya mengambil langkah alternatif lain yaitu dengan tetap mempertahankan cara pengolahan pakan secara tradisional dan konvesional tanpa didukung pengetahuan dan teknologi terkini dan modern. Tantangaa terbesar lainnya dalam tatakelola peternakan Indonesia adalah terkait penyakit hewan yang senantiasa tidak dapat terpisahkan oleh apapun. Dalam bidang peternakan, penyakit hewan sudah menjadi bagian keseharian yang sangat penting yang menentukan keberhasila peningkatan produksi ternak itu sendiri. Secara cermat penyakit ternak sangat bervariasi dari satu jenis ternak dengan jenis ternak lainnya dan dapat ditularkan dari satu ternak ke ternak lainnya atau jenis lainnya. Penyakit pada ternak sendiri, tidak dapat diprediksi secara tepat kapan, dimana dan oleh apa pemicunya. Hal ini sangat dinamis dan banyak dipengaruhi baik oleh faktor internal maupun eksternal ternak atau hewan itu sendiri. Faktor internal munculnya penyakit adalah kurangnya daya tahan tubuh ternak yang sebagian besar dipicu oleh kurangnya asupan pakan yang bergizi, kebersihan tubuh ternak yang kurang memadai, penularan penyakit oleh ternak lainnya. Faktor eksternal yang sering mempengaruhi adalah kondisi geografis dan iklim di Indonesia yang sangat variatif. Dimana kita ketahui, Indonesia adalah negara tropis yang tingkat perubahan cuaca dan kelembabannya sangat tinggi, hal ini banyak mempengaruhi kondisi ternak dimana seperti pada musim hujan, maka potensi terjadinya serangan wabah penyakit sangat besar. Penyebaran penyakit menjadi sangat cepat karena didukung oleh kondisi alam seperti banjir, angin dan cuaca lainnya. Selain itu, perdagangan ternak melalui lalu lintas ternak diberbagai daerah yang tinggi menjadi salah satu sarana penyebaran penyakit yang sangat potensial. Migrasi ternak dari satu daerah ke daerah yang lain harus menjadi perhatian pada setiap pintu-pintu masuk (entry point) agar penyebaran penyakit dapat dikendalikan. Ketersediaan obat dan vaksin penyakit ternak memegang peranan penting dalam pengendalian penyakit. Ketersediaan yang masih banyak dipenuhi dari luar negeri menjadikan biaya dan harga obat-obatan ternak menjadi mahal. Kapasitas produksi obat hewan dalam negeri yang belum mencukupi pasar lokal serta distribusi obat hewan yang belum merata menjadikan penanggulangan dan pencegahan penyakit hewan belum dapat seutuhnya ditangani dan dikendalikan. Selain itu, keterbatasan tenaga medis dan tenaga kesehatan hewan menjadi tantangan tersendiri dalam pengelolaan manajemen pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan. Dibutuhkan organisasi kesehatan hewan dan sumberdaya manusia yang memadai ditinngkat daerah dengan didukung oleh regulasi,komitmen dan kebijakan yang strategis pada tiap daerah dan wilayah dalam rangka melakukan pengendalian dan pemberantasan penyakit pada ternak. Terkait masalah adanya penyakit menular yang berpotensi menular dari hewan ke manusia atau sebaliknya (Zoonosis) harus menjadi perhatian semua pihak. Pemasukan dan perdagangan ternak dari saat daerah ke daerah lain harus memperhatikan aspek tersebut sehingga potensi penularan dapat diminimalkan. Maraknya kebijakan importasi ternak maupun hasil ternak menjadi salah satu alternatif masuk penyakit hewan ke dalam wilayah Indonesia, apabila tidak menggunakan kaidah pengkajian atas risiko apa saja yangn terjadi apabila dilakukan importasi tersebut, maka potensi penularan penyakit dari luar kedalam wilayah Indonesia sangat besar. Berdasarkan informasi dari lembaga kesehatan hewan dunia (OIE/Organization Internationale des Epizootica) menginformasikan bahwa diberbagai wilayah belahan dunia atau negera tertentu masing-masing memiliki riwayat penyakit hewan yang berbeda-beda dan bervariasi dan apabila lalu lintas antar negara dibuka maka potensi Risiko penularan penyakit hewan sangat tinggi. Perlu aspek kehati-hatian dalam mengambil pilihan dan kebijakan dalam melakukan importasi ternak maupun bahan pangan asal ternak. Akibat dan efek yang terjadi apabila terjadi wabah penyakit yang disebabkan oleh penularan penyakit tersebut adalah berdampak pada masalah ekonomi nasional yang dapat mempengaruhi usaha peternakan nasional. Apabila terjadi wabah penyakit yang menyebabkan tingkat kesakitan dan kematian yang tinggi sehingga produksi ternak menurun secara drastis, maka yang mengalami kerugian secara ekonomi tidak hanya peternak besar namun peternak kecil juga merasakan dampak dari kerugian skala nasional tersebut. Aspek lain yang menjadi tantangan adalah pengelolaan dan distribusi rantai pemasaran hasil peternakan. Pada saat ini, perkembangan rantai hilir peternakan sudah sangat maju dan hal tersebut banyak dibuktikan dengan bermunculan berbagai produk olahan asal pangan hewan yang sudah banyak menghiasi pasar nasional. Berbagai pihak berlomba-lomba untuk menciptakan dan membuat produk pangan asal hewan yang inovatif dan efisien sesuai kebutuhan masyarakat saat ini. Tak dipungkiri geliat usaha pengolahan bahan pangan asal hewan sudah mulai berkembang pesat dan menjamur baik skala besar maupun skala kecil. Pengolahan pangan asal hewan skala besar banyak dikuasai oleh hanya sekelompok kalangan tertentu dan berbanding terbalik dengan kondisi industri pengolahan pangan asal hewan skala kecil. Pengusaha skala besar memiliki sumberdaya yang sangat memadai dengan ditunjang oleh sumberdaya manusia yang kompeten dalam melakukan proses produksi pengolahan bahan pangan asal hewan. Namun sebaliknya usaha skala kecil memiliki keterbatasaan yang sangat besaar baik dalam aspek manajemen pengolahan, pembiayaan, sumberdaya manusia dan sarana. mereka melakukan kegiatan pengolahan hanya dengan menggunakan sarana terbatas. Hal ini harus menjadi tantangan pemerintah bagaimana melakukan pemberdayaan dan pemanfaataan terhadap potensi usaha skala kecil. Kurangnya edukasi dan pembinaan menjadi hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah. Pemberian informasi dan kesetaraan pelayanan ditingkat pemerintahan harus dilakukan kepada usaha skala besar maupun skala kecil. Dalam hal pemenuhan rantai distribusi bahan pangan asal hewan menjadi aspek yang sangat penting dan signifikan. Rantai distribusi menjadi salah satu penentu aspek ekonomi yang kritis. Dimana bisa kita amati, kenaikan harga bahan pangan asal hewan bisa terjadi karena rantai distribusi yang panjang. Banyaknya berbagai pihak yang terlibat dalam rantai tersebut menyebabakan biaya (cost) yang dikeluarkan dalam rangka mencapai konsumen semakin besar. Pihak yang sangat diuntungkan dalam hal ini adalah usaha-usaha yang dapat mengelola rantai pasar tersebut baik dari hulu maupun sampai hilir secara mandiri. Mereka mengelola rantai pasar pangan asal hewan dengan manajemen mandiri yang dapat memperkecil biaya distribusi yang dikeluarkan. Sebaliknya usaha-usaha kecil hanya mengandalkan modal dasar dan distribusi sepenuhnya dikendalikan oleh pihak ketiga atau pihak lain yang berpotensi menyebabkan terjadi kenaikan harga pangan asal hewan karena masing-masing pihak yang terlibat mengambil untung yang sebesar-besarnya. Hal ini, berdampadaknya kenaikan bahan pangan asal hewan ditingkat konsumen menjadi sangat tinggi. Lemahnya pengelolaan rantai distribusi pasar pangan asal hewan pada usaha skala kecil menjadi tantangan tersendiri dalam pembenahan Manajemen distribusi pangan asal hewan. Perlu regulasi dan kebijakan yang tegas ditingkat eksekutif agar dapat menyelamatkan usaha kecil menengah bidang peternakan agar dapat bergerak maju dan eksis sesuai tuntutan perubahan dan zaman.