Anda di halaman 1dari 2

Perternak Ayam Sekarat

Mochammad Maksum Machfoedz1


PILU dan Memprihatinkan sekali membaca Surat Pimpinan Peternakan Ayam Yogyakarta,
APAYP, kepada Kepala Dinas Pertanian Daerah Istimewa Yogyakarta tertanggal 24 Juni
2019. Dalam Surat tersebut pimpinan APAYO menyampaikan betapa merugi peternakan
ayam hari Ini.. Betapa tidak? Selama sepuluh bulan terakhir harga jual di kandang jauh di
bawah HPP, Harga Pokok Produksi yang berkisar RP 18.700/kg ekor ayam hidup atau sekitar
Rp 30.000/kg karkas, sementara harga jual daging ayam di pasar berkisar Rp 29-30.000/ kg.
Margin harga yang pasti sangat besar antara pembelian di kandang dan harga di pasar yang
teramat rendah tentu menyebabkan daya tawar peternak menjadi teramat tertekan, dan itulah
sumber petaka peternak ayam yang sampai sekarat karena tidak mungkin tertutupinya HPP.
Tentu Tragis: produsen utama sumber protein utama rakyat banyak ternyata harus menjadi
korban pertama sistem produksi protein hewani yang amburadhul terkelola. Harga daging
ayam yang dukeluhkan APAYO ini tentu menggembirakan bagi konsumen, tetapi apa ya
benar ketika harus membunuh peternak sebagai tumbal swasembada?
RABO KELABU, tentu lebih memilukan, karena adanya aksi sosial spektakuler yang
dilakukan APAYO pada Rabo Siang, 26 Juni 2019, berupa aksi bagi-bagi gratis sejumlah
5000 ekor ayam di beberapa titik kota Yogyakarta, antara lain: timur Balai Kota, Taman
Parkir Siwedani, Alun-alun Utara, dan depan Gedung Pamungkas bunderan Kridosono.
Demo dengan aksi sosial tersebut dilakukan karena usaha peternakan ayam yang sekarat,
berikut peternaknya, yang merasa lebih baik untuk bersedekah daripada tidak tertutup beaya
pokok produksinya.
Sudah barang tentu Ini lampu merah bagi tatakelola sistem produksi perunggasan rakyat
karena menempatkan peternak sebagai tumbal swasembada protein hewani. Mestinya pejabat
publik daerah maupun nasional merasakan benturan pasar seperti ini, yang senantiasa
mengulang kebodohan pengelolaan terhadap komoditas yang sama. Dalam kondisi seperti
inilah, bisa dipastikan bahwa APAYO teringat kembali krisis kebijakan struktural 2014 dan
krisis kartelisasi 2016 yang sangat mengancam kehidupan usaha mereka.
Beberapa waktu lalu keprihatinan akan over-supply produksi unggas ini ditangkap oleh mafia
perusahaan besar perunggasan yang bersepakat melakukan afkir dini indukan dan
diperkarakan oleh KPPU, Komite Pengawas Persaingan Usaha, hari ini ternyata sama juga
akibat nya: peternak kecil sekarat di kandang Ayam.
Ketika itu, 2016, Kartelisasi betul-betul terjadi dengan terungkapnya 12 peternak besar yang
bersepakat melakukan afkir dini induk ayam guna mengurangi produksi DOC. Harga DOC
pun langsung naik setelah afkir dini 2 juta menjadi Rp 4.600 - Rp 6.000. Pada gilirannya,
harga daging ayam pasti naik dan menjadi sumber rente bagi perusahaan besar. Pengadilan
KPPU, memutuskan kartel ini bersalah dan didenda, 13 Oktober 2016. Kasus Kartel ini
sebenarnya persis berimplikasi sama dengan kasus kebodohan kebijakan Pemerintah dalam
surat No: 644/M-DAG/SD/4/14 tetanggal 15 April 2014, yang teramat menyeramkan karena
membatasi importasi GPS, Grand Parent Stock melalui asumsi yang sama: demi harga pasar.
Besar dugaan, kebodohan struktural dan kartelisasi itu memiliki sumber inspirasi sama.

1
GB Agroindustri UGM dan Waketum PBNU
Kecermatan tataniaga oleh Pemerintah kali ini tentu perlu dicatat dalam lampu merah ketika
tatakelolanya tidak mampu menyelamatkan peternak kecil. Mafia afkir dini demi rente
ekonomi adalah Salah besar karena akan berakibat matinya peternak kecil sekaligus
konsumen. Tetapi penggagalan afkir dini juga ternyata hanya mampu menyelamatkan
konsumen dan menekan harga pasar, tetapi hanya menyebabkan matinya peternak ketika
memproduksi, tentu juga dosa birokratis yang sama besarnya.
Memangnya harus begitukah tata kelola perniagaan pangan?: pro konsumen tetapi anti
produsen. Sudah barang tentu itu adalah setting kebijakan yang keblinger: karena peternak
harus dikorbankan untuk pasar murah bagi konsumen demi daya belinya yang terbatas.
Salah besar itu Maaas.. Idealnya, memerangi kartelisasi itu harus dengan kebijakan tataniaga
Pemerintah yang menyelamatkan konsumen dan produsen, bukan menyelamatkan konsumen
tetapi membunuh produsen.... na’udzu billaaah..

Anda mungkin juga menyukai