Anda di halaman 1dari 4

Menyolusi Lonjakan Harga Pangan dengan Solusi Islam

Muslimah News, FOKUS — Sejak awal 2022, masyarakat sudah dihadapkan


dengan lonjakan harga berbagai bahan pangan pokok. Mulai dari minyak
goreng, daging sapi, cabai, bawang merah, kedelai, ayam potong, hingga
tepung terigu dan telur. Bahkan, hingga hari ini, harga telur ayam ras masih
terus merangkak naik dan bisa dikatakan ini adalah kenaikan tertinggi
sepanjang 2022.

Dari data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPSN) pada
Jumat (02/09/2022), harga cabai merah keriting kembali naik rata-rata
Rp63.550/kg, harga telur ayam ras Rp31.300/kg, dan daging ayam ras
Rp34.500/kg.[1]

Semua pihak mengeluhkan kenaikan harga ini. Bukan hanya ibu-ibu rumah
tangga, para pedagang makanan, termasuk pedagang di pasar, semua
menjerit. Bagi masyarakat, naiknya harga jelas mempersulit mereka untuk
mendapatkan bahan pangan yang cukup demi memenuhi kebutuhan
keluarga, sedangkan penghasilan tidak bertambah.

Para pedagang juga merugi karena lonjakan harga makin mengurangi jumlah
pembeli. Begitu pula pedagang makanan, sangat dirugikan dengan naiknya
harga bahan baku, sedangkan sulit juga untuk menaikkan harga jual produk.
Mirisnya lagi, kesulitan rakyat ini tidak mendorong pemerintah mengambil
langkah yang benar-benar mampu mengatasi persoalan secara tuntas.

Beban masyarakat kian bertambah dengan naiknya harga BBM dan listrik.
Pemerintah merasa cukup dengan membagikan bantuan sosial ataupun
bantuan pangan yang nilainya jauh dari standar cukup dan bisa memenuhi
kebutuhan yang layak; atau menstabilkan harga cukup dengan operasi pasar
di sejumlah lokasi. Padahal, langkah-langkah klasik tersebut sama sekali tidak
mengatasi persoalan, terbukti dengan terus berulangnya lonjakan harga
pangan.

Abainya Negara dan Dominasi Kapitalis


Jika kita cermati, problematik pangan (termasuk lonjakan harga yang terjadi
berulang) bukanlah sekadar persoalan di tataran regulasi teknis, melainkan
berpangkal dari konsep pengaturan berparadigma sistem kapitalisme
neoliberal.
Penerapan paradigma ini menyebabkan negara berlepas tangan dari
tanggung jawabnya memenuhi kebutuhan dasar rakyat, termasuk pangan.
Peran pemerintah sekadar regulator dan fasilitator, bukan lagi penanggung
jawab. Akibatnya, pengadaan kebutuhan dasar rakyat diambil alih korporasi
yang justru menjadi proyek bancakan untuk mengejar keuntungan sepihak.

Lebih parahnya, korporatokrasi dalam sistem kapitalisme neoliberal


meniscayakan terjadinya hegemoni. Pada sektor pertanian dan pangan ini,
misalnya, muncullah perusahaan-perusahaan raksasa, bahkan menjadi
perusahaan integrator yang menguasai seluruh rantai usaha pengadaan
pangan, mulai dari sektor produksi, distribusi, hingga konsumsi.

Pada sektor produksi pertanian, setidaknya 10 korporasi raksasa menguasai


produksi benih, pupuk, pestisida, dan saprotan lainnya.[2] Sektor peternakan
pun demikian, 80% pasar produk peternakan dikuasai hanya oleh tiga
perusahaan integrator.[3] Perusahaan-perusahaan integrator ini merupakan
produsen DOC, pakan, pemilik peternakan, hingga menghasilkan produk hilir
peternakan.

Kapitalisasi ini menyebabkan banyaknya peternakan rakyat yang bangkrut


karena tidak bisa bersaing. Sekjen Gabungan Asosiasi Pengusaha Peternak
Ayam Nasional (GOPAN) menyebutkan, dahulu terdata sekitar 2,5 juta
peternak, tetapi saat ini hanya ratusan ribu.[4]

Kapitalisasi dalam hal importasi pangan memunculkan segelintir korporasi


yang akhirnya menimbulkan oligopoli. Praktik oligopoli memberikan celah
besar untuk melakukan kartel. Contohnya, impor kedelai mayoritas dikuasai
oleh PT Gerbang Cahaya Utama dan PT Cargill Indonesia.

Menurut catatan KPPU, PT Cargill Indonesia menguasai 74,66% pasokan


kedelai ke dalam negeri pada 2008.[3] Begitu pula importir bawang putih
terbesar yang dikuasai tujuh korporasi.[5] Importasi gula yang ditargetkan
sebesar 3,4 juta ton pada 2022 ini juga dikuasakan kepada 11 korporasi.[6]

Negara juga absen dalam pengaturan rantai distribusi pangan sehingga para
spekulan/mafia pangan—yang notabene sebagiannya korporasi pangan itu
sendiri—menjadi tumbuh subur. Praktik spekulasi dan kartel pangan sukar
dihilangkan karena korporasi lebih berkuasa daripada pemerintah.

Penimbunan bahan pangan yang berakibat melambungnya harga pun sangat


sulit ditertibkan. Melonjaknya harga telur saat ini tidak terlepas dari
keberadaan korporasi integrator yang menguasai rantai penjualan produk-
produk peternakan sehingga merusak harga pasar.

Dengan dominasi sektor pangan di tangan semua korporasi tersebut,


bagaimana mungkin pemerintah mampu menstabilkan harga pangan ketika
mayoritas pasokan pangan tidak berada dalam kendali negara?

Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementan pernah menyatakan, sulit bagi


pemerintah menstabilkan harga sebab pemerintah tidak dapat menguasai
100% produksi pangan.[7] Bahkan, sebaliknya, pemerintah malah bergantung
pada korporasi.

Terlebih lagi, dengan konsep good governance dalam negara neoliberal, ketika
lembaga negara BUMN/BUMD hadir untuk menstabilkan harga pangan,
kehadirannya justru sebagai korporasi yang bertujuan mencari untung. Tidak
aneh ketika saat ini BUMN bertransformasi menjadi holding company dan
bertujuan memperbesar keuntungan, bukan lagi melayani hajat rakyat.

Selain itu, penegakan sanksi yang lemah makin meleluasakan para pelaku
kejahatan pangan untuk beroperasi. Sanksi yang dijatuhkan tidak berefek jera
dan sifatnya pun tebang pilih. Hukum hanya menjerat pelaku kecil, tetapi para
kartel dan mafia kelas kakap sangat sulit ditindak.

Selama tata kelola pangan masih menggunakan konsep kapitalisme dengan


absennya peran negara, stabilitas harga pangan mustahil terwujud. Apalagi
paradigma yang digunakan pemerintah dalam mengatasi lonjakan harga
sekadar menurunkan angka inflasi, bukan untuk kesejahteraan rakyat.

Solusi Islam
Konsep kapitalisme sangat berbeda dengan Islam yang konsep
pengaturannya sepenuhnya menggunakan syariat Islam. Secara prinsip, kunci
kestabilan harga dan keterjangkauan oleh rakyat terletak pada berjalannya
fungsi negara yang sahih, yaitu sebagai raain (penanggung jawab) dan junnah
(pelindung rakyat).

Rasulullah saw. menegaskan dalam sabdanya, “Imam (Khalifah) raain


(pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR
Ahmad, Bukhari)

Juga hadis lainnya, “Khalifah itu laksana perisai tempat orang-orang


berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR Muslim)
Dalam Islam, pemerintah bertanggung jawab menjamin pemenuhan
kebutuhan dasar rakyat, termasuk pangan, baik kuantitas maupun kualitas.
Artinya, sebagai pelindung rakyat, negara harus hadir menghilangkan dharar
(bahaya) di hadapan rakyat, termasuk ancaman hegemoni ekonomi. Negara
Islam (Khilafah) tidak akan membiarkan korporasi menguasai rantai
penyediaan pangan rakyat untuk mencari keuntungan sepihak.

Kedua fungsi ini harus diemban oleh seluruh struktur negara hingga unit
pelaksana teknis. Oleh karenanya, keberadaan badan pangan seperti Bulog
pun harus menjalankan fungsi pelayanan, bukan menjadi unit bisnis. Kalaupun
lembaga pangan ini melaksanakan fungsi stabilisator harga dengan operasi
pasar, harus steril dari tujuan mencari profit.

Kebijakan Khilafah Menjaga Stabilitas Harga


Beberapa kebijakan yang akan diambil Khilafah untuk menjaga stabilitas
harga adalah pertama, menjaga ketersediaan stok pangan supaya supply and
demand stabil, di antaranya dengan menjamin produksi pertanian di dalam
negeri berjalan maksimal, baik dengan intensifikasi maupun ekstensifikasi
pertanian, ataupun dengan impor yang memenuhi syarat sesuai panduan
syariat.

Kedua, menjaga rantai tata niaga, yaitu dengan mencegah dan


menghilangkan distorsi pasar. Di antaranya melarang penimbunan, melarang
riba, melarang praktik tengkulak, kartel, dsb. Disertai penegakan hukum yang
tegas dan berefek jera sesuai aturan Islam.

Khilafah Islam juga memiliki struktur khusus untuk ini, yaitu Kadi Hisbah yang
di antaranya bertugas mengawasi tata niaga di pasar dan menjaga agar bahan
makanan yang beredar adalah makanan yang halal dan tayib.

Yang tidak kalah pentingnya adalah peran negara dalam mengedukasi


masyarakat terkait ketakwaan dan syariat bermuamalah. Dengan
pemahaman tentang konsep bermuamalah, masyarakat akan terhindar dari
riba, konsumsi makanan haram, serta tidak panic buying yang bisa merugikan
orang lain.

Umar ra. pernah melarang orang yang tidak memiliki ilmu untuk datang ke
pasar dengan mengatakan, “Jangan berjual beli di pasar kami, kecuali orang
yang berilmu. Apabila tidak, ia akan makan riba, baik disengaja atau tidak,

Anda mungkin juga menyukai