Anda di halaman 1dari 7

Penjaminan atas Ketahanan dan Kemandirian Pangan

Ahad, 16 April 2023

Baru-baru ini, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melaporkan data terbarunya tentang


standar status gizi Indonesia (SSGI) yang memuat gambaran status gizi balita, yakni stunting,
wasting, underweight, dan overweight. Stunting adalah indikator tinggi badan menurut umur dan
akhirnya berdampak pada rendahnya kemampuan anak untuk belajar, keterbelakangan mental, dan
munculnya penyakit kronis yang lebih mudah masuk ke tubuh anak.

Data ini diambil pada 2022 yang didapatkan dari 334.848 bayi dan balita di 486
kabupaten/kota di 33 provinsi di Indonesia dengan tingkat respons 91,4%. Data tersebut
menunjukkan bahwa angka stunting SSGI turun dari 24,4% pada 2021 menjadi 21,6% pada 2022.
Sementara itu, data Kemenkes Desember 2021, di lingkungan negara Asia Tenggara (ASEAN),
prevalensi stunting adalah Myanmar sebesar 35%, Vietnam (23%), Malaysia (17%), Thailand (16%),
Singapura (14%), dan Indonesia tertinggi, yakni 24%.

Dari data tersebut, secara umum tergambar bahwa upaya dan program pemerintah—misalnya
program Akses Pencarian Pengobatan Balita Sakit, Pemberian Makanan Tambahan Balita dan Ibu
Hamil, Akses Sanitasi Layak, Ketahanan Pangan Balita dan Keluarga—ternyata memadai dan
berhasil. Namun, jika ditelaah lebih dalam, sebenarnya ada yang mengkhawatirkan karena angka
underweight (berat badan menurut umur) dan wasting (berat badan menurut tinggi badan) justru naik.
Disampaikan pula di laporan SSGI tersebut, pencegahan stunting sebelum kelahiran dan anak usia 6
—23 bulan jauh lebih efektif dibandingkan pengobatannya. Adapun metodenya adalah
dengan pemberian makanan tambahan kaya protein hewani.

Potensi Indonesia dan Kebutuhan Protein yang Mudah dan Murah


Di dunia, lautan dua kali lipat lebih luas dari daratan, yaitu 70% berbanding 30%. Secara
geografis, Indonesia merupakan negara kepulauan dengan dua pertiga lautan lebih luas daripada
daratan. Garis pantai di setiap pulau di Indonesia adalah ±81.000 km, menjadikannya menempati
urutan kedua setelah Kanada sebagai negara bergaris pantai terpanjang di dunia.
Pada 2022, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melaporkan bahwa terjadi peningkatan nilai
ekspor perikanan sebesar 10,66% sepanjang periode Januari—November 2022 dibanding periode
yang sama tahun lalu. Adapun komoditas utama ekspor Indonesia meliputi udang dengan nilai
tertinggi, yaitu USD1.997,49 juta, tuna-cakalang-tongkol (USD865,73 juta), cumi-sotong-gurita
(USD657,71 juta), rumput laut (USD554,96 juta), dan rajungan-kepiting (USD450,55 juta).
Semua komoditas ini dikirim ke negara tujuan ekspor utama, seperti Amerika Serikat senilai
USD2,15 miliar (37,63%), Tiongkok USD1,02 miliar (17,90%), Jepang USD678,13 juta (11,89%),
ASEAN USD651,66 juta (11,42%), dan 27 negara Uni Eropa senilai USD357,12 juta (6,26%).
Mari kita cermati komoditas laut, yakni udang dan ikan. Kandungan protein udang dan ikan setiap
100 gram adalah sekitar 24—27 gram. Artinya, seperempat bagian dari udang dan ikan adalah
protein sehingga notabene sumber protein manusia (termasuk balita) adalah dari laut atau maritim
yang faktanya ketersediaannya melimpah. Inilah kekayaan SDA di Indonesia. Yang kemudian
menjadi miris adalah mengapa Indonesia hingga saat ini masih berkutat dengan fenomena stunting?

Sesuatu yang janggal dan tidak masuk akal. Pasti ada sesuatu yang salah dan tidak beres.
Pada 2025, Indonesia menargetkan kenaikan ekspor udang hingga 250%. Jika kita tengok lagi,
ternyata data ikan dan udang berfokus pada nilai ekspor. Komoditas bernilai protein tinggi ini
ditujukan untuk dikirim keluar negeri, bahkan utamanya negara maju. Artinya, ekspor berkorelasi erat
dengan nilai standar pertumbuhan ekonomi dan peningkatan PDB. Lalu bagaimana dengan kondisi
anak negeri? Apakah anak negeri tidak membutuhkan gizi terbaik dan tidak berhak mendapatkan gizi
terbaik? Apakah cukup hanya mendapatkan udang sisa ekspor yang ditolak atau udang reject
dengan kualitas nutrisi yang sudah jauh menurun?

Beberapa tahun lalu, terdengar berita bahwa terjadi embargo ekspor udang Indonesia dengan
alasan mengandung residu antibiotik dan logam berat sebesar nol koma nol sekian ppb. Sungguh,
ppb adalah jumlah yang sangat kecil. Kadar ambang batasnya baru terlewati setelah seseorang
mengonsumsi puluhan bahkan ratusan kg sekali makan. Ternyata, ujung-ujungnya muncul instrumen
pendeteksi residu antibiotika atau logam berat dengan limit of detection yang sangat kecil. Dengan
alasan meng-counter embargo, Indonesia mau tidak mau harus impor alat tersebut. Siapa
produsennya? Tidak lain tidak bukan adalah negara pengembargo udang Indonesia. Ternyata
memang ada tujuan politis di balik semua itu.

Dengan kekayaan laut yang sedemikian rupa, semestinya kebutuhan protein balita, bahkan
seluruh penduduk Indonesia, bisa didapatkan dengan mudah dan murah. Terlebih, jaminan
tersedianya pangan yang halal dan tayib erat kaitannya dengan pembangunan kualitas sumber daya
manusia.

Kapitalisme, Substansi Permasalahan Ketahanan dan Keamanan Pangan


Pertanyaannya, apakah hal-hal di atas mungkin terjadi pada negara yang dikuasai oleh para
kapitalis global seperti Indonesia ini? Apakah mungkin bisa terjadi dalam sistem yang saat ini
menguasai hajat hidup dan mengubah cara pandang manusia menjadi neoliberal kapitalistik seperti
ini, yang segelintir orang—dengan kapitalnya yang sangat besar—menguasai seluruh manusia di
bumi ini? Jawabannya sangat jelas, tidak. Fakta menunjukkan, tidak mungkin ketahanan dan
keamanan pangan negara dapat terjamin dengan sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini. Ada
beberapa alasan.
Alasan pertama, paradigma batil kapitalisme memandang bahwa pengelolaan pangan dan
perikanan/kelautan adalah berorientasi pada tujuan keuntungan ekonomi semata, bukan untuk
mewujudkan jaminan pemenuhan pangan. Walhasil, ukuran keberhasilan pembangunan
perikanan/kelautan juga menggunakan standar pertumbuhan ekonomi dan peningkatan PDB saja.
Kedua, tata kelola perikanan neoliberal bersandar pada peran korporasi, sedangkan fungsi negara
terbatas sebagai regulator dan fasilitator. Data menunjukkan, industri udang nasional dengan modal
besar, ternyata telah dikuasai oleh investor asing. Sekalipun produksi pangan berlimpah dan
berkontribusi lebih besar pada peningkatan PDB negara, tetapi tidak berkorelasi dengan perbaikan
pemenuhan pangan rakyat sebagai kebutuhan dasar.
Sudah jelas, pengelolaan berbasis korporasi meniscayakan untung dan rugi, bukan untuk
melayani dan menjamin pemenuhan bagi rakyat. Buktinya, dalam kondisi surplus pangan pun
masyarakat tetap sulit untuk mengaksesnya. Bahkan, ada yang tidak bisa menjangkaunya sama
sekali karena tidak punya uang untuk membeli.
Pengaturan perikanan/kelautan dengan menggunakan konsep kapitalisme neoliberal terbukti gagal
mengurusi hajat pangan rakyat. Oleh sebab itu, perlu adanya perbaikan yang menyeluruh, yaitu
dengan mengganti konsep pengelolaan kapitalisme neoliberal ini dengan sistem Islam, yakni
penerapan syariat oleh sistem Islam (Khilafah).
.
Islam Menjamin Ketahanan dan Kemandirian Pangan
Khilafah hadir untuk menjalankan syariat Islam secara kafah sekaligus mengurusi seluruh
urusan umat, termasuk pangan. Ketahanan pangan menjadi salah satu pilar ketahanan negara dalam
kondisi apa pun, baik damai maupun perang.
Ketahanan dan kemandirian pangan menjadi hal mutlak yang harus diwujudkan Khilafah.
Islam memiliki paradigma dan konsep yang sangat berbeda secara diametral dengan kapitalisme.
Islam memandang bahwa pangan bukan sekadar komoditas ekonomi, melainkan komoditas politik.
Terwujudnya ketahanan pangan akan memengaruhi stabilitas negara
Hanya negara yang berprinsip atas kalam Ilahi yang mampu mengatasi semua problem pangan.
Kebijakan yang diambil dalam rangka memenuhi urusan umat akan mementingkan kebutuhan umat,
bukan konglomerat seperti saat ini. Arah pengelolaannya bukan semata mengejar pertumbuhan
ekonomi, tetapi berkaitan dengan jaminan pemenuhan pangan bagi seluruh rakyat tanpa terkecuali,
hingga level individu sekalipun.

Allah Swt. berfirman, “Tiadalah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi
alam semesta.” (QS Al-Anbiya’ [21]: 107).

Negara yang berprinsip pada Islam dan yang mengikuti Rasulullah saw. akan mengambil
kebijakan secara menyeluruh. Mulai dari penguatan iman umat bahwa segala sesuatu berasal dari
Allah dan akan kembali kepada-Nya, hingga pemahaman semua akan diminta pertanggungjawaban.
Demikian pula dengan penerapan sistem ekonomi Islam, mulai dari kebijakan pengelolaan,
pendapatan, hingga seluruh transaksi akan didasarkan pada Islam. Bidang perikanan dan kelautan
akan diserahkan kepada para ahlinya dengan pembiayaan yang cukup dan kebijakan yang
mendukung pengembangan. Walhasil, urusan pangan pun terselesaikan tuntas karena fungsi
utamanya berada di pundak negara, yaitu Khilafah.

Dalam Islam, negara wajib hadir secara utuh di tengah masyarakat sebagai penanggung
jawab hajat publik, terutama menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyat. Khilafah pun
bertanggung jawab dalam pengelolaan seluruh rantai pengadaan pangan, mulai dari produksi hingga
konsumsi. Negara tidak hanya memastikan produktivitas pertanian secara umum terjadi, tetapi juga
hadir dalam menjaga rantai tata niaga dengan mencegah dan mengawasi perilaku yang merusak
harga pangan sehingga masyarakat sulit mendapatkannya.
Selain itu, negara akan bertanggung jawab memastikan semua pangan yang beredar di tengah
masyarakat adalah makanan halal dan tayib dengan berbagai perangkat sistem yang dimiliknya.
Dengan peran sentral pemerintahan Khilafah, pengaturan sepenuhnya dalam kendali negara.
Kebutuhan rakyat akan terpenuhi dan mereka terlindungi dari hegemoni korporasi yang mengejar
keuntungan sepihak semata.

Peran Intelektual
Bagaimana peran kita sebagai intelektual? Tentu tidak boleh tinggal diam! Hati kita terkoyak melihat
fakta atas penderitaan umat. Intelektual yang pakar dalam bidang masing-masing harus aktif
melakukan perubahan. Sungguh, Allah Taala telah meninggikan kita beberapa derajat dan ada
konsekuensi di balik semua itu.
Mari kita wujudkan rasa syukur kita dengan melakukan aktivitas edukasi kepada umat hingga muncul
kesadaran umum, mereka tercerahkan dan bangkit pemikirannya. Dengan kepakaran kita, suara kita
akan didengar, tulisan kita bagaikan pena yang menggores tajam. Umat menunggu kontribusi kita
dengan amal-amal terbaik.
Terlebih, kita sadar betul bahwa semua yang kita lakukan kelak akan dipertanggungjawabkan,
individu per individu, jiwa demi jiwa. Waktu terbatas, ransel perbekalan masih tipis. Marilah,
Saudaraku, kita warnai hari-hari tersisa kita dengan perbekalan untuk kelak “pulang” nan abadi.
Wallahualam. [MNews/Gz]

Irisan kemiskinan ekstrem dan stunting mencapai 60%. Artinya, sebagian besar penyebab stunting
dilatarbelakangi oleh kemiskinan ekstrem, seperti mengakses kebutuhan dasar (sandang, pangan,
papan), akses air bersih, fasilitas sanitasi, kesehatan, pendidikan, dan lainnya.
menyelesaikan kemiskinan ekstrem dan stunting harus dengan “keroyokan” berbagai pihak.
Pemerintah harus berupaya serius menangani masalah tersebut melalui intervensi spesifik dan
intervensi sensitif. (Republika, 14-1-2023).

Intervensi gizi spesifik, yaitu dengan peningkatan gizi dan kesehatan, dilakukan oleh Kementerian
Kesehatan. Sementara itu, intervensi gizi sensitif, yakni intervensi pendukung untuk mempercepat
penurunan stunting, seperti penyediaan air bersih, MCK, dan fasilitas sanitasi, dilakukan oleh
Kementerian PUPR dan lainnya.

Semua harus serentak. Klo di katakan di pusat, Presiden Jokowi telah menargetkan masalah
kemiskinan ekstrem nasional pada 2024 menjadi 0% dan masalah stunting turun menjadi 14%.
Walhasil, kebijakan di daerah harus selaras. Rumah warga yang kurang layak, seperti akses sanitasi
dan MCK yang buruk, juga akses air minum yang kurang, harus segera diselesaikan.

jika semua langkah itu dilakukan, permasalahan kemiskinan dan stunting pun akan terselesaikan. Ia
pun meminta agar daerah mengoptimalkan potensi daerahnya untuk pendanaan. Misalnya,
Kabupaten Sumbawa yang menjadi salah satu kabupaten yang termiskin dan angka stunting-nya
tinggi, harus mengoptimalkan potensi baharinya.

Meski demikian, masyarakat kadung pesimis terhadap upaya pemerintah dalam menangani
permasalahan kemiskinan dan stunting. Sedari awal kemerdekaannya hingga saat ini, masyarakat
Indonesia selalu di bawah garis kemiskinan. Padahal, berbagai upaya telah dilakukan, tetapi nihil dari
keberhasilan.

Apa sebab utamanya? Mampukah persoalan kemiskinan dan stunting terselesaikan?

Penyebab utama kemiskinan, yaitu kapitalisme

Pertama, adanya kebebasan kepemilikan. Sistem ini meliberalisasi seluruh sumber daya, termasuk
sumber daya yang menjadi hajat hidup orang banyak. Misalnya, barang tambang batu bara mayoritas
dikuasai swasta. Padahal, batu bara sebagai bahan bakar sangatlah diperlukan bagi terpenuhinya
kebutuhan hidup manusia.

Akhirnya, tarif listrik menjadi mahal karena sebagian besar pembangkit listrik menggunakan bahan
bakar batu bara. Andaikan batu baranya milik negara, otomatis ongkos produksinya tidak akan
mahal. Belum lagi kepemilikan saham PLN yang ternyata mayoritasnya milik swasta. Jika sudah
terkait swasta, orientasinya ada pada keuntungan perusahaan, bukan lagi pada terpenuhinya
kebutuhan rakyat.

Ini baru kepemilikan batu bara yang jika seluruhnya dikuasai negara, Indonesia tidak harus berutang
untuk menutupi defisitnya APBN. Belum bicara tambang lainnya, seperti nikel, minyak dan gas,
emas, dan sebagainya.

Begitu pun dengan potensi bahari kita yang melimpah. Sebanyak 70% negara kita adalah lautan
yang berpotensi bahari, seperti perikanan, terumbu karang, mangrove, energi dan pertambangan, dll.
Nyatanya, mayoritas potensi itu justru dikuasai swasta sehingga mengoptimalkan potensi bahari oleh
desa menjadi sangat sulit.

Sistem kapitalisme juga menjadikan kekayaan terkonsentrasi pada segelintir elite saja. Mayoritas
rakyat yang tidak memiliki kekuatan akan tersendat kebutuhan hidupnya. Inilah musabab listrik, air,
pangan, kesehatan, pendidikan, dan seluruh kebutuhan hidup menjadi sulit diakses warga secara
merata dan adil.

Kedua, negara korporatokrasi. Jika kita mencermati, banyaknya program yang diperuntukkan untuk
mengentaskan kemiskinan selalu saja menggandeng swasta. Pemerintah sendiri hanya bertugas
sebagai regulator, alias yang menetapkan kebijakan agar swasta dan rakyat mendapatkan maslahat
bersama.
Pada penyediaan air bersih, misalnya, biasanya menggandeng swasta dengan alasan agar
mendapat kualitas terbaik dan menyerap lapangan pekerjaan, padahal—aslinya—kurang dana. Jika
sudah menggandeng swasta, artinya ada profit di sana. Inilah yang menjadikan tarif air menjadi
mahal sebab negara malah berbisnis untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya.

Sungguh, negara korporatokrasi hanya akan menghasilkan kebijakan yang mengarah pada
kemaslahatan pengusaha. Kebijakan intervensi gizi dan penyediaan sejumlah fasilitas, seperti
pengadaan air bersih, MCK, dll. bisa mandul dalam menyelesaikan permasalahan.
Jika telah jelas ekonomi kapitalisme mustahil menyelesaikan permasalahan, tentu solusinya tidak
bisa sekadar pada tataran teknis program pemerintah. Ini karena apa pun programnya, jika
kerangkanya masih menggunakan sistem ekonomi kapitalisme, bukan rakyat yang menjadi orientasi
kebijakan, melainkan profit pengusaha dan penguasa.

Walhasil, perlu adanya sistem ekonomi alternatif untuk menyelesaikan problem kemiskinan dan
stunting. Tentu sistem ekonomi Islamlah yang akan mampu menyelesaikan persoalan tersebut.
Sistem ekonomi Islam mampu menyelesaikan persoalan kemiskinan dan stunting tersebab dua poin
penting.

Pertama, pembatasan aturan kepemilikan. Aturan ini mampu mencegah kemiskinan secara
permanen sebab yang menjadi hak banyak orang terlarang dikuasai individu, sekalipun ia mampu
membelinya.

Dalam Islam, kepemilikan terbagi menjadi tiga, yaitu kepemilikan individu, umum, dan negara. Untuk
kepemilikan individu, setiap individu boleh memilikinya dengan cara sesuai syariat, seperti hasil kerja
keras, warisan, pemberian harta, hadiah, dsb.

Adapun kepemilikan umum, terlarang bagi individu untuk memprivatisasi/memonopolinya sebab aset
tersebut notabene milik masyarakat. Misalnya, rumput, air, pembangkit listrik, danau, laut, jalan raya,
ataupun barang tambang melimpah (emas, batu bara, dan minyak bumi).

Kepemilikan negara meliputi harta yang pengelolaannya diwakilkan pada Khalifah, seperti ganimah,
jizyah, kharaj, harta orang murtad, dsb.

Pengelolaan kepemilikan pun harus sesuai syariat. Haram bagi seseorang menginvestasikan
hartanya dengan cara ribawi. Cara ini akan menjadikan harta berputar, perekonomian riil menjadi
berkembang, kemiskinan pun otomatis berkurang.

Kedua, peran negara begitu sentral dalam distribusi kekayaan. Negara wajib menjamin seluruh
kebutuhan dasar umatnya. Negara akan benar-benar mensensus warganya, memastikan para
kepala keluarga bisa menafkahi tanggungannya, sekaligus menyediakan lapangan pekerjaannya.

Jika kepala keluarga dan kerabatnya tidak sanggup menafkahi, negara wajib membantu warganya
untuk bisa memenuhi kebutuhan dasarnya. Kebutuhannya pun harus layak, perumahan, pakaian,
termasuk pangannya, semua harus layak konsumsi dan bergizi. Dari sini, permasalahan stunting bisa
terselesaikan.

Khatimah

Stunting yang makin genting akibat kemiskinan ekstrem adalah buah penerapan sistem ekonomi
kapitalisme, sistem yang melahirkan kebebasan kepemilikan dan abainya negara korporatokrasi
dalam memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya.
Oleh karenanya, menyelesaikannya harus dengan mengganti paradigma sistem kapitalisme menjadi
sistem ekonomi Islam yang diterapkan secara dalam bingkai Khilafah Islamiah. Dengan demikian,
akan tercipta masyarakat sejahtera dan anak-anaknya pun tercukupi gizinya. Inilah yang jaminan
terlahirnya generasi cemerlang yang siap memimpin peradaban Islam yang gemilang

Anda mungkin juga menyukai