Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kebijakan pangan adalah suatu wilayah kebijakan publik yang khusus menangani
masalah bagaimana makanan diproduksi, diproses, didistribusikan, dan diperjualbelikan.
Kebijakan pangan terdiri dari penetapan tujuan produksi, pemrosesan, pemasaran, ketersediaan,
akses, pemanfaatan, dan konsumsi bahan pangan, serta menjelaskan proses untuk mencapai
tujuan tersebut.
Sesuai dengan perkembangan era globalisasi dan liberalisasi perdagangan, beberapa
komoditas pangan telah menjadi komoditas yang semakin strategis, karena dinamika
ketidakpastian dan ketidakstabilan produksi nasionalnya, sehingga tidak senantiasa dapat
mengandalkan pada ketersediaan pangan di pasar dunia. Oleh karena itu, sebagian besar negara-
negara menetapkan Sistem Ketahanan Pangan untuk kepentingan dalam negerinya, termasuk
Indonesia. Pembangunan ketahanan pangan harus dipandang sebagai bagian tidak terlepaskan
dari wawasan ketahanan nasional. Oleh karena itu pemerintah berupaya terus memacu
pembangunan ketahanan pangan melalui program-program yang benar-benar mampu
memperkokoh ketahanan pangan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan pangan memiliki faktor ekonomis dan politis yang harus dihadapi pada masa
depan. Kebijakan pangan tidak berdasarkan politik, namun kebijakan pangan berdampak pada
politik. negara yang memiliki keterlibatan lebih pada kebijakan pangan akan memiliki pengaruh
dalam menyelesaikan masalah kelaparan dan kemiskinan. Masyarakat yang mengalami
kelaparan mayoritas dari negara berkembang dan berasal dari keluarga miskin di pedesaan.
Permasalahan tersebut menunjukkan bahwa konsep pembangunan pertanian khususnya pertanian
pangan.
Pemerintah melalui kebijakannya juga harus mampu menjamin ketersediaan pangan yang
cukup melalui usaha yang efisien mendapatkan pangan dari dalam negeri. Sehingga program
distribusi pangan mampu menjangkau harga semua jenis pangan pokok, juga perlunya control
yang efektif atas harga.

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana kebijakan pangan dan pembangunan pertanian pada jaman penjajahan?
2. Bagaimana kebijakan pangan dan pembangunan pertanian pada jaman kemerdekaan
(orde lama dan orde baru hingga reformasi) ?
3. Bagaimana kebijakan pembangunan tanaman non-pangan?
4. Bagaimana perubahan struktur ekonomi Indonesia?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui kebijakan pangan dan pembangunan pertanian pada jaman penjajahan.
2. Untuk mengetahui kebijakan pangan dan pembangunan pertanian pada jaman
kemerdekaan (orde lama dan orde baru hingga reformasi).
3. Untuk mengetahui kebijakan pembangunan tanaman non-pangan.
4. Untuk mengetahui perubahan struktur ekonomi Indonesia.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kebijakan Pangan dan Pembangunan Pertanian pada Zaman Penjajahan


Sektor pertanian di Indonesia pada masa penjajahan Belanda tidak dapat dipisahkan
dengan sistem perekonomian Belanda, yakni kapitalistik, tidak banyak perhatian pemerintah
terhadap sektor ini. Dengan kata lain, perkembangan di sektor pertanian diserahkan sepenuhnya
kepada kekuatan permintaan dan penawaran. Kebijakan seperti ini didukung juga oleh keadaan
negara Belanda itu sendiri yang tidak mempunyai lahan yang cukup luas untuk kegiatan
pertanian. Di lain pihak di daerah jajahannya, keadaannya sangat berbeda dengan di negara
penjajahanya, yakni mempunyai wilayah pertanian yang sangat luas. Dengan mengikuti alur
pikir ini, pemerintah penjajahan Belanda membiarkan perkembangan sektor ini atas kekuatan
pasar, terutama untuk subsektor perkebunan. Subsektor perkebunan ini berkembang sebagai
perusahaan-perusahaan besar swasta yang hsil ekspor dari daerah jajahan ke pasar di Eropa
sebagai bahan mentah untuk perkembangan industrinya. Perusahaan swasta perkebunan besar
yang berkembang adalah komoditas kelapa, karet, rempah-rempah, lada, tembakau, teh, dan
tebu. Ini berarti bahwa teknologi perkebunan diserahkan agar secara mandiri dikembangkan oleh
perusahaan perkebunan besar. Misalnya saja mereka telah mendirikan pusat penelitian mengenai
tebu, teh, dan sebagainya sesuai dengan bidang perkebunan yang dijalankannya. Disamping
perusahaan perkebunan besar, di Indonesia juga berkembang perkebunan kecil-kecil yang
dikelola oleh rakyat. Perkembangan perkebunan rakyat ini juga diserahkan pada pasar dengan
meniru teknologi yang masuk ke perusahaan perkebunan besar. Artinya, pemerintah Hindia
Belanda tidak mempunyai kebijaksanaan khusus untuk mengembangkan perkebunan rakyat
kecil.
Seiring dengan terus meningkatnya pertambahan penduduk, pemerintah Kolonial
Belanda mengupayakan pangan secara maksimal. Intensifikasi pertanian adalah salah satu upaya
yang dipilih Pemerintah Kolonial Belanda. Pada 1885, Pemerintah Hindia Belanda membangun
irigasi Brantas (Jawa Timur) dan Demak (Jawa Tengah) seluas 96.000 bau dan pada 1902
diperluas menjadi 173.000 bau. Selain itu, pemerintah Hindia Belanda membangun lumbung
desa yang berfungsi menyediakan bibit secara murah. Pada 1902, wilayah Cirebon terdapat 994
lumbung. Pada 1904, Pemerintah Kolonial Belanda mendirikan Volkscrediet Bank (Bank Kredit

3
Rakyat) yang meminjamkan padi untuk digunakan sebagai bibit. Pemerintah Kolonial Belanda
menargetkan dengan intensifikasi pertanian ini adalah panen dua kali dalam setahun.
Intensifikasi pertanian pada awalnya terbukti berhasil. Hasil pertanian dapat dipanen selama dua
kali dalam setahun. Namun, intensifikasi pertanian ternyata berdampak buruk terhadap
kesuburan tanah. Humus-humus yang terkandung dalam tanah pertanian terus berkurang dan
mengakibatkan kesuburan tanah terus berkurang dari waktu ke waktu. Hal ini mengakibatkan
tanaman pangan yang ditanam pada periode berikutnya menjadi tidak subur dan rentan terserang
hama. Dampaknya adalah terjadinya gagal panen pada periode berikutnya. Krisis pangan dan
bahaya kelaparan menjadi makin sering terjadi.
Sebagai upaya untuk mengatasi kekurangan pangan, diadakan pertemuan untuk
membahas masalah persediaan bahan makanan. Pertemuan itu memutuskan untuk melakukan
pembelian padi dari petani. Padi itu akan digunakan untuk persediaan pangan bagi kepentingan
rakyat khususnya di luar jawa. Kewajiban menjual padi kepada Pemerintah ini didasarkan atas
luas sawah yang dimiliki oleh masing-masing petani. Jumlah padi yang harus dijual kepada
pemerintah didasarkan atas perhitungan kebutuhan konsumsi tiap keluarga petani pemilik sawah.
Setiap pemilik sawah diwajibkan menjual satu pikul padi dari setiap bau sawah.
Setiap petani yang memiliki sawah dua bau harus menjual dua pikul padi. Transaksi
pembayaran akan diberikan di tempat pembelian padi. Tempat pembelian dilakukan di kantor
kepala desa, kecamatan, kawedanan, kabupaten, di dekat stasiun kereta api, atau di tempat
penggilingan padi. Tiap petani harus mengangkut sendiri padinya di tempat-tempat pembelian
yang telah ditetapkan. Persediaan beras juga diperoleh melalui penyitaan. Setiap keluarga hanya
diizinkan menyimpan persediaan padi paling banyak tiga pikul. Petani yang didapati menyimpan
padi melebihi batas yang telah ditentukan, akan disita dan didenda. Para pedagang yang memiliki
persediaan beras di luar batas, juga akan disita. Untuk memperlancar distribusi beras, dilakukan
peningkatan pengangkutan beras dari daerah surplus ke daerah miskin. Apabila terjadi
kemacetan dalam pengangkutan beras, maka para pedagang dan tempat-tempat penggilingan
beras diperintahkan untuk menjual beras di pasar-pasar dan toko-toko.
Kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kolonial itu tidak mampu mengatasi krisis
pangan yang terjadi di sekitar masyarakat. Kebijakan pangan tersebut ternyata menambah
kesengsaraan rakyat. Hasil panen pertanian yang diharapkan mampu untuk membantu mereka
dan keluarga untuk bertahan hidup terpaksa harus diserahkan kepada pemerintah jika mereka

4
tidak ingin mendapat siksaan. Akibat penderitaan yang dialami oleh rakyat, muncul beberapa
pemberontakan petani menentang kebijakan ini. Di antaranya adalah pemberontakan Cimareme
di wilayah Garut Jawa Barat pada tahun 1919 dan pemberontakan Toli-Toli di wilayah Sulawesi
Tengah pada tahun 1919. Krisis pangan yang melanda wilayah Hindia Belanda tidak hanya
melanda sampai di situ saja. Pada masa depresi tahun 1930-an, kebijakan beras Pemerintah
Belanda di Indonesia ditandai oleh kebebasan pasar. Dalam hal ini, Pemerintah tidak sama sekali
ikut campur. Kebijakan beras yang diambil pada waktu itu pada umumnya bertujuan untuk
menjaga agar harga beras yang dibayar oleh konsumen cukup rendah. Depresi ekonomi yang
melanda hampir seluruh dunia ini telah membuat daya beli masyarakat menjadi turun.
Akibatnya, jika harga beras tetap melambung tinggi maka bahaya kelaparan dikhawatirkan akan
terjadi semakin parah.
Pemerintah merasa perlu untuk membentuk suatu badan khusus untuk melaksanakan
dan mengawasi kebijaksanaan Pemerintah dalam masalah beras. Pada April 1939 dibentuk badan
yang bernama Stichting Van Het Voedingsmidelfonds (VMF) yang artinya Yayasan Dana Bahan
Makanan. Badan ini merupakan cikal bakal dari Bulog. Pendirian VMF merupakan cerminan
pandangan Pemerintah Belanda bahwa masalah beras sangat penting dan memerlukan
pengaturan khusus dari Pemerintah. Para pegawai VMF secara teliti mengatur semua segi
perdagangan beras. Mereka juga berusaha membangun sebuah filosofis bahwa beras terlalu
penting untuk dibiarkan begitu saja.'' Oleh karena itu, Pemerintah Kolonial sering melakukan
intervensi langsung di pasar.
Pemerintah Penjajahan Belanda belum sempat menyempurnakan bekerjanya badan
mereka yang baru ini ketika Jepang memasuki Indonesia. Jepang mengambil alih VMF sampai
akhir Perang Dunia II. Prioritas kebijakan pemerintah pendudukan Jepang adalah memenuhi
kebutuhan militernya sehingga kebijakan pangan lebih diprioritaskan untuk kebutuhan perang.
Oleh karena itu, selama lebih kurang tiga tahun berkuasa di Indonesia, pemerintah pendudukan
Jepang melakukan banyak eksploitasi termasuk dalam hal kebutuhan pangan. Pemerintah
pendudukan Jepang mengeluarkan beberapa kebijakan yang berkaitan dengan pemenuhan
kebutuhan pangan. Misalnya dalam sektor pertanian, pemerintah pendudukan Jepang melakukan
upaya perbaikan yang tidak dilakukan pada masa pemerintahan kolonial sebelumnya. Pada
November 1943, Pemerintah pendudukan Jepang mengeluarkan beberapa program yang disebut
dengan Kinkyu Shokuryo Taisaku (tindakan-tindakan mendesak mengenai bahan pangan).

5
Program ini dipusatkan pada peningkatan produksi dengan cara-cara seperti pengenalan jenis
padi baru, inovasi teknik-teknik penanaman, peningkatan infrastruktur pertanian, perluasan
sawah, dan latihan serta propaganda para petani. Dalam hal pengenalan bibit baru, Pemerintah
Pendudukan Jepang merekomendasikan beras horai dari Taiwan karena masa pertumbuhannya
yang cenderung pendek. Kemudian, untuk mendukung proses produksi padi, pemerintah
melakukan pembangunan irigasi dan drainase yang berguna untuk mencukupi kebutuhan
pengairan selama proses penanaman. Dalam hal inovasi teknik pertanian, Jepang memiliki teknik
penanaman padi tersendiri. Caranya adalah dengan melakukan pemindahan bibit tanaman padi
pada garis-garis lurus dengan jarak tanam sekitar 20 cm di antara bibit tersebut.
Upaya perluasan sawah juga dilakukan dengan cara merubah fungsi lahan yang
sebelumnya digunakan untuk penanaman tanaman ekspor, seperti yang terjadi di daerah Priangan
(Jawa Barat) yang sebelumnya sangat terkenal dengan komoditas kopi diubah menjadi daerah
persawahan padi. Namun, dalam hal perluasan sawah ini, pemerintah Jepang lebih
memfokuskannya di luar Jawa, seperti Sumatra dan Kalimantan. Selain itu, pemerintah
pendudukan Jepang juga membuka beberapa sekolah pertanian yang dikenal dengan sebutan
Nomin dojo. Kebanyakan siswa yang belajar di sekolah ini adalah pegawai pemerintah. Para
pegawai Pemerintah ini bertugas melakukan penyuluhan-penyuluhan dan propaganda pertanian
kepada para petani terutama dalam hal teknik-teknik pertanian yang baik.
Sejak April 1943, petani diharuskan menyerahkan sejumlah tertentu dari hasil panen
mereka kepada Pemerintah Pendudukan Jepang. Padi yang diserahkan tersebut akan digiling dan
didistribusikan melalui tangan-tangan pemerintah. Proses distribusi ini ditangani langsung oleh
sebuah organisasi bentukan Jepang yang bernama Shokuryo Kanri Zimusho (Kantor Pengelolaan
Makanan). Organisasi ini merupakan sebuah organisasi yang dibentuk di bawah Departemen
Perindustrian Gunseikanbu, yang memiliki cabang di Semarang dan Surabaya. Organisasi ini
dibuat untuk memperlancar proses distribusi pangan, namun, segala upaya yang dilakukan
Jepang dalam proses peningkatan pangan tidak secara signifikan.
Kebijakan pangan Indonesia pada masa Pemerintah Pendudukan Jepang justru
meningkatkan penderitaan penduduk Indonesia. Penduduk Indonesia selain menghadapi wajib
kerja rodi juga mengalami bahaya kelaparan karena gagal panen. Seluruh upaya peningkatan
kebutuhan pangan yang dilakukan oleh Pemerintah Pendudukan Jepang hanya berjalan pada
masa awal kekuasaan yang dilakukan dengan paksa terhadap para petani untuk menjalankan

6
seluruh kebijakan tersebut. Hal ini sampai menimbulkan pemberontakan petani di berbagai
wilayah, seperti pemberontakan K. Zainal Mustafa di Tasikmalaya, pemberontakan petani
Kaplongan di Cirebon, dan pemberontakan petani di Sindang.

Kelemahan Paradigma Ketahanan Pangan Indonesia Pada Masa Lalu


Kelemahan mendasar kebijakan pangan yang lalu adalah rumusan tujuan dan
implementasinya yang diarahkan terutama untuk mencapai stabilitas politik dan ekonomi dan
bukan pada pencapaian ketahanan pangan berkelanjutan. Dalam hal ini jaminan ketersediaan
beras (pangan pokok penduduk) pada tingkat harga rendah dan stabil adalah kondisi untuk
pencapaian stabilitas ekonomi dan politik. Disamping itu pemerintah telah mengadopsi batasan
ketahanan pangan yang sangat sempit, yaitu (Person and monke, 1991), yakni kemampuan
negara untuk menghasilkan pangan yang cukup untuk seluruh konsumen pada tingkat harga yang
terjangkau. Oleh karena itu kelangkaan pangan secara cepat tercermin pada kenaikan harga
pangan, ketahanan pangan sangat terkait dengan kemampuan pemerintah untuk menjaga
stabilitas harga pangan domestik. Beberapa kelemahan konsep ketahanan pangan yang lalu
adalah telah diidentisipasi oleh Simatupang (2000), yakni :
1. Konsep ketahanan pangan didasarkan pada difinisi pada pendekatan ketersediaan pangan
dalam mencapai ketahanan pangan. Difinisi ini sangat terkait dengan stabilitas harga pada
tingkat harga yang terjangkau dengan tiga asumsi :
a) kelangkaan pangan pangan dengan cepat tercermin dari kenaikan harga;
b) Harga yang terjangkau untuk menjamin akses seluruh konsumen mendapatkan
pangan yang cukup ;
c) Produksi pangan domestik yang cukup (swasembada) adalah cara efektif bagi
stabilitas harga pangan domestik (ketahanan pangan). Ketiga asumsi ini
mengarahkan pada konsep pokok bahwa swasembada adalah definisi terdekat dari
ketahanan pangan yang berkelanjutan yang dianggap sebagai asumsi yang tidak
realistik.
2. Konsep ketahananan pangan yang lalu telah gagal dalam mengantisipasi peran
pendapatan masyarakat dan mekanisme non pasar dalam peningkatan akses terhadap
pangan yang menjadi penyebab utama kegagalan program ketahanan pangan. Program
ketahanan pangan tidak mencakup elemen peningkatan pendapatan rumah tangga, Hal ini

7
menjadi penyebab terjadinya krisis pangan tahun 1998, yang dianggap sebagai pengaruh
dari krisis ekonomi daripada pengaruh penurunan ketersediaan pangan. Sebenarnya tidak
ada kelangkaan pasokan pangan , namun kebanyakan rumah tangga tidak mempunyai
pendapatan yang cukup untuk membeli pangan.
3. Kegagalannya dalam mengantisipasi pentingnya dimensi local dan rumah tangga bagi
ketahanan pangan individu. Paradigma lama lebih mementingkan ketahanan pangan
secara nasional secara luas. Namun pengalamanmenunjukkan bahwa ketahanan pangan
nasional itu penting, tetapi itu tidak cukup untuk menjamin ketahanan pangan local dan
rumah tangga. Basis ketahan pangan nasional telah mengabaikan pendekatan ketahanan
pangan pada wilayah terpencil. Kegagalan ini telah menyebabkan pada beberapa daerah
telah dijumpai masyarakat yang kelaparan sehingga menimbulkan paradok kelaparan.
4. Adanya dilema kebijakan, utamanya kebijakan harga yang murah dan stabil telah
menimbulkan :
(a) Tidak kondusif untuk produksi pangan domestik dan peningkatan pendapatan petani.
(b) Membutuhkan subsidi pemerintah dan sangat mahal bagi anggaran pemerintah.
(c) Strategi tersebut tidak berkelanjutan baik secara ekonomis maupun politik.
(d) Strategi harga pangan murah menguntungkan konsumen, tetapi merupakan disinsentif
bagi petani produsen.
(e) Strategi ini tidak fair, tidak konsisten dengan tujuan pemerataan pendapatan,
bertentangan dengan program penanggulangan kemiskinan.

2.2 Kebijakan Pangan dan Pembangunan Pertanian pada Jaman Kemerdekaan


2.2.1 Pemerintahan Orde Lama
Pemerintahan orde lama tidak mempunyai kesempatan yang baik untuk memperhatikan
perkembangan ekonomi, termasuk perkembangan subsector perkebunan. Kebijaksanaan
pengembangannya masih sama seperti sebelumnya, dan demikian juga untuk subsector
perkebunan rakyat.
Dalam subsektor tanaman pangan (khususnya beras), kebijaksanaan yang sebelumnya
ditempuh Pemerintah Jajahan Belanda yang terutama untuk menjaga stabilitas harga beras
selama masa-masa kekurangan maupun kelebihan, dialihkan menjadi kebijaksanaan yang
ditujukan untuk mempertahankan penghasilan tertentu bagi mereka yang diserahi tugas

8
mengelola administrasi dan keamanan negara. Menurut Timmer, kepentingan utama petani padi
adalah penghasilannya sendiri.
Di bidang produksi, beberapa program swasembada dilaksanakan dalam tahun 50-an dan
60-an. Terbatasnya devisa untuk untuk membeli beras impor guna mengisi kekurangan produksi
dalam negeri melatarbelakangi masa ini.
Program Padi Sentra, dimulai 1959, yang bertujuan mencapai swasembada sebelum 1963
adalah satu program yang gagal. Namun demikian program tersebut mewariskan satu contoh
organisasi bagi BUUD (Badan Usaha Unit Desa) dan KUD (Koperasi Unit Desa) serta BRI unit
desa dalam fungsinya sebagai penyedia dana kredit untuk pembelian sarana produksi dan sebagai
saluran pemasaran bagi sarana produksi dan hasil produksi pertanian. Padi Sentra juga
dimaksudkan untuk menyediakan jasa-jasa penyuluhan. Pelajaran dari program ini adalah bahaya
penetapan harga padi yang oleh para petani dianggap terlalu rendah, serta pentingnya peranan
saluran perkreditan yang baik dan pentingnya dikembangkan staf yang kompeten.
Dalam rangka mengatasi kekurangan beras, tahun 1963 Presiden Sukarno memulai
gerakan mengganti beras dengan jagung. Gerakan ini dicerminkan pada perubahan jatah pada
pegawai sipil dan militer yang semula memperoleh jatah beras, kemudian diubah menjadi 75%
beras dan 25% jagung. Program ini mengalami banyak kesulitan dari segi bagaimana menjamin
agar aliran jagung ke daerah-daerah konsumsi dapat lancar, dan program ini menimbulkan reaksi
negative dari kalangan masyarakat, sehingga kemudian dihentikan. Namun terdapat pelajaran
dari program ini yaitu bahwa setiap penyedia jagung (atau bahan makanan bukan beras lainnya)
untuk memenuhi kekurangan persediaan beras, perlu direncanakan secermat-cermatnya agar
dapat berhasil.
Pada tahun 1963, program penyuluhan yang dilakukan para mahasiswa Fakultas
Pertanian UI yang kemudian menjadi Institut Pertanian Bogor, merupakan sumber inspirasi bagi
berkembangnya Program Bimas (Bimbingan Massal). Program ini memberikan kerangka dasar
organisasi program intensifikasi produksi padi yang dilaksanakan secara besar-besaran selama
sepuluh tahun pertama orde baru. Program Bimas yang diperluas dimulai 1964 dan menjadi
terkenal karena semboyan Panca Usaha, yaitu lima cara ke arah usaha tani yang baik. Kelima
cara ini mencakup penggunaan dan pengendalian air yang lebih baik, penggunaan bibit pilihan,
pupuk dan pestisida, cara bercocok tanam yang baik dan koperasi yang kuat. Panca Usaha tetap
merupakan pegangan kebijaksanaan selama pemerintahan Orde Baru. Dalam program ini, para

9
mahasiswa penyuluh, hidup dan bekerja bersama-sama dengan petani di desa-desa. Sehingga
program ini menjadi program yang paling efektif dari program sebelumnya karena dalam
pelaksaan program yang lebih besar semakin sulit dikembangkan hubungan pribadi antara petani
dan penyuluh.
Sewaktu pemerintahan orde baru mulai memegang kekuasaan, sektor perberasan di
Indonesia berada dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Hasil beras per hektar untuk seluruh
Indonesia tidak menunjukkan kenaikan selama 10 tahun. Menurunnya kesediaan beras per kapita
untuk dikonsumsi, mengakibatkan difisit beras bagi negara. Gambaran tentang tanaman bahan
makanan pokok lainnya selama 10 tahun sebelum orde baru juga tidak menunjukkan hal-hal
yang menggembirakan. Produksi ubi jalar tidak menunjukkan kenaikan, meskipun produksi ubi
kayu, jagung, kacang tanah, kacang kedelai menunjukkan kenaikan, dan hanya produksi jagung
yang tumbuh melebihi tingkat pertumbuhan penduduk.
Selama tahun 1960-an, lebih dari satu juta ton beras diimpor setiap tahun untuk
memenuhi kebutuhan beras dalam negeri. Dalam tahun 1965, harga nominal beras adalah seratus
kali harga beras tahun 1960 dan harga bahan-bahan makanan lain juga menunjukkan kenaikan
yang hampir sama dengan kenaikan harga beras tersebut. Pembelian beras dalam negeri oleh
Pemerintah juga menurun dengan tajam, dan sebagai akibatnya pegawai negeri dan militer hanya
menerima separuh dari jatah beras yang mereka terima semula. Satu-satunya titik cerah dengan
situasi pangan adalah adanya kemungkinan menaikkan produksi beras melalui program Bimas.

2.2.2 Pemerintahan Orde Baru hingga Reformasi


Sejak awal, pemerintahan Orde Baru menyadari pentingnya penyelidikan beras yang
cukup. Pada pertengahan 1966, Bulognas, suatu badan yang baru dibentuk untuk menangani
masalah logistik distribusi barang-barang kebutuhan pokok, diberi tugas tambahan untuk
menyalurkan dana kepada pengikut Bimas. Pada waktu itu devisa yang tersedia untuk
mengimpor pupuk masih sangat terbatas dan sistem distribusi masih kurang efisien. Namun
target Bimas ditentukan pada tingkat yang cukup optimis dan dapat dicapai. Karena terbatasnya
devisa, impor beras juga terhambat, tidak mencapai tingkat yang diperlukan. Bulognas kemudian
dibubarkan pada tahun 1967, diganti dengan Bulog, sebuah badan yang mengelola persediaan
pangan dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

10
Pada tahun 1967 panen ternyata gagal dan produksi menurun drastis akibat musim kering
yang melanda Asia Tenggara. Beras impor pun sangat sulit didapat karena menurunnya
persediaan beras dunia. Harga beras melonjak tajam. Terjadi krisis besar, persediaan beras tidak
mencukupi kebutuhan masyarakat. Sebuah perusahaan swasta, Mantrust mendirikan pabrik beras
sintetis, bernama beras tekad, terbuat dari ramuan tepung gandum dan dicetak menyerupai beras.
Usaha ini ternyata gagal, karena setelah dimasak beras Tekad lebih menyerupai bubur daripada
nasi.
Pada tahun 1968 diadakan perubahan kebijaksanaan beras pemerintah, dan perubahan ini
merupakan awal kebijaksanaan harga produksi dan mengimpor beras yang cukup untuk
memelihara keseimbangan penawaran dan permintaan pada tingkat harga yang stabil. Pada
waktu itu dicetuskan “Rumus Tani” yang dijadikan pegangan dalam pelaksanaan kebijaksanaan
harga.
Program Bimas terus dilaksanakan dan disempurnakan. Pemerintah menerapkan Bimas
Gotong Royong di samping Bimas Biasa pada awal musim tanam 1968. Program ini kemudian
diperluas di musim-musim berikutnya. Pemberian kredit dan distribusi pupuk dan pestisida
kepada para petani dilaksanakan atas dasar kontrak dengan para penjual pupuk dan pestisida dari
luar negeri melalui para kepala desa. Bulog membayar prusahaan-perusahaan asing atas
pelaksanaan program ini dan nantinya Bulog menerima pembayaran dalam bentuk gabah (1/6
dari hasil panen yang diperoleh petani) melalui para kepala desa. Kelemahan-kelemahan yang
ada pada Bimas Gotong Royong merupakan pelajaran berguna untuk memperbaiki sistem Bimas
yang dilaksanakan kemudian.
Meluasnya Teknologi Bibit Unggul. Program Bimas terbukti cukup efektif dalam
menyebarluaskan teknologi baru yang dilandasi penggunaan bibit unggul dan pupuk. Sistem
distribusi pupuk dibuka untuk usaha swasta dan perusahaan negara, Pertani, dan Pusri, sehingga
menjadi lebih kompetitif.
Repelita I sampai V. Perhatian pemerintah dalam kebijaksanaan pangan dipusatkan pada
tercapainya kenaikan produksi beras dengan menutup kekurangan-kekurangan dan melakukan
perbaikan program Bimas dan program-program yang menyangkut produksi beras lainnya.
Bulog diserahi tugas untuk mengelola buffer stock, dan telah berhasil melaksanakan
kebijaksanaan harga yang stabil. BUUD diserahi tugas untuk ikut serta dalam pelaksanaan harga
minimum dengan cara memberikan persaingan terhadap para pedagang di bidang pembelian padi

11
petani. Di samping kebijaksanaan yang ditujukan untuk meningkatkan produksi beras,
pemerintah juga melancarkan program Keluarga Berencana Nasional dengan tujuan mengurangi
tingat fertilisasi penduduk, dengan demikian pula laju pertumbuhan kebutuhan manusia akan
bahan makanan beras juga dapat dikekang. Maka pada tahun 1984, Pemerintah Indonesia telah
menyatakan tingkat swasembada beras tercapai.
Periode Setelah Swasembada Beras. Setelah dicapainya swasembada beras di tahun
1984, perekonomian Indonesia malah mengalami kemajuan pesat yang semu, sehingga akhirnya
dilanda krisis pada tahun 1997-1998. Sejak itu sampai dengan pergantian pemerintahan ke
Presiden Habibie, Presiden Gus Dur, dan Presiden SBY, kebijaksanaan perbaikan ekonomi masa
krisis, meskipun dasardasar kebijaksanaan pangan masih tetap tersedia dan usaha meningkatkan
produksi pada dan menekan kebutuhan beras lewat Keluarga Berencana masih tetap dijalankan.
Namun demikian, terobosan dalam meningkatkan produksi padi terus diusahakan, meskipun
konversi lahan terus berlangsung.
Sektor Pertanian era SBY (2005-2014). Tidak jauh dengan pemerintahan sebelumnya,
persoalan pangan di Indonesia tidak melakukan perubahan secara mendasar, bahkan masih
cenderung menggunakan pola-pola lama. Namun akhirnya swasembada beras diraih tahun 2008
dan tahun 2009 Indonesia siap melakukan ekspor beras. Produktivitas sektor pertanian dari tahun
ke tahun meningkat. Pada tahun 2013, surplus beras mencapai 8,9 juta ton.
Kebijakan Pangan era Jokowi-JK. Kebijakan pangan era Joko Widodo – Jusuf Kalla
yaitu mencapai swasembada pangan dalam rangka ketahanan nasional. Kementerian Pertanian,
Andi Amran Sulaiman, menerapkan program BEKERJA (Bedah Kemiskinan Rakyat Sejahtera).
Program ini untuk memperbaiki taraf hidup masyarakat dan mengentaskan masyarakat petani
dari kemiskinan. Penerapan dari program tersebut berdampak positif bagi pertanian Indonesia.
Produksi padi terus meningkat dari tahun 2014-2018. Berikut data produksi padi di Indonesia
tahun 2014-2018.

12
Tabel 1 - Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas Padi di Indonesia, 2014-2018

Pada lima tahun terakhir (2014-2018), produksi padi meningkat di setiap tahunnya.
Tahun 2018, produksi tanaman padi sebesar 83 juta ton GKG atau setara dengan 8,3 juta ton
beras. Direktur Jenderal Tanaman Pangan, Sumarjo Gatot Irianto menerangkan bahwa secara
nasional selama tahun 2018 disimpulkan bahwa surplus padi sudah bisa dicapai.

Grafik 1 – Produksi Padi di Indonesia dari tahun 1992-2018.

13
Tabel 2 – Beberapa Jenis Tanaman Pangan Non Beras di Indonesia, 2014-2018 (juta ton).
Jenis Tanaman 2014 2015 2016 2017 2018
Jagung 19 19,61 23,58 28,92 30,05
Singkong 23,4 21,8 20,3 19,1 19,3
Kelapa Sawit 29,3 31,1 33,2 35,4 43,9

Produksi jagung Indonesia tahun 2018 mencapai hingga 30 juta ton. Mengenai jagung,
Presiden Jokowi mengungkapkan bahwa tahun 2018 Indonesia sudah mampu mengekspor
sebanyak 380 ribu ton, dan selama 2014-2018, Indonesia juga sudah mampu menekan impor
jagung sebesar 3,3 juta ton. Lain halnya dengan singkong. Produksi singkong di Indonesia
semakin menyusut setiap tahun dari 2014-2017, dan di tahun 2018 meningkat hanya sebesar 0,2
juta ton. Menurut Dewan Penasihat Ekonomi Pertanian Indonesia, Bayu Krisnamurthi,
penyusutan terjadi disebabkan karena petani lebih memilih tanaman yang memiliki masa panen
di bawah 10 bulan, sementara singkong memiliki masa panen sekitar 10 bulan. Untuk produksi
kelapa sawit di Indonesia, Presiden Jokowi mengatakan bahwa produksi kelapa sawit setiap
tahun mengalami kenaikan.

2.3 Kebijakan Pembangunan Tanaman Non-Pangan


Tanaman non pangan meliputi tanaman mangga, jeruk, teh, tembakau, kelapa, kelapa
sawit panili, kakao (cokelat), karet, lada dan sebagainya. Tanaman non pangan ini sering juga
disebut tanaman tahunan, tanaman perkebunan, tanaman pohon, tanaman kas (cash crops).
Perkembangan tanaman non pangan ini pada jaman penjajahan belanda diserahkan kepada
perusahaan besar perkebunan milik swasta belanda, dan untuk perkebunan rakyatnya boleh
dikatakan dibiarkan berkembang sendiri.
Pada jaman penjajahan belanda dan sampai dengan ahkir pemerintahann soekarno dan
awal pemerintahan Suharto, banyak lading-ladang milik rakyak terlantar kosong tidak ditanami.
Setelah kira-kira tahun 1970-an, ketika tanaman pangan padi telah mendapat perhatian yang
serius dari pemerintah barulah tanaman non tersebut diperhatikan pemerintah. Bibit unggul dan
tanaman perkebunan baru diantaranya tanaman kakao (cokelat), panili, jeruk, kelapa sawit yang

14
dikembagkan juga disuntikkan kepada masyarakat dengan bantuan kredit, sehingga dikenal
adanya RPTE (Rencana Pengembangan Tanaman Ekspor).
Untuk di daerah Bali dan daerah lainnya, tanaman perkebunan yang menonjol adalah
cengkeh dan panili. Dalam hal tanaman padi dibentuk lembaga pemasarannya seperti: gudang,
transportasi, lembaga keuangan dan lain-lain. setelah produksi berhasil ditingkatkan dengan
sangat dramatis, masalah pemasarannya terserah kepada rakyat.
Dalam hal ini timbul gagasan untuk membuat pabrik rokok baru agar cengkeh rakyat
tertampung, serta timbul gagasan mendirikan badan penyangga harga untuk komoditas tertentu,
seperti halnya Bulog untuk padi. Yang telah terbentuk atas inisiatif swasta adalah BPPC (Badan
Penyangga Pemasaran Cengkeh). Namun karena masalah keuangan dan masalah teknis lainnya
BPPC tidak mempunyai kemampuan yang memadai untuk menangani permasalahan cengkeh.
Akhirnya para petani disarankan untuk menembang pohon cengkehnya.
Sesungguhnya dengan wajib pertumbungan sekitar 4-5% pertahun subsektor perkebunan
adalah salah satu subsektor yang mengalami pertumbuhan secara konsisten, baik ditinjau dari
areal maupun produksi. Subsektor perkebunan merupakan salah satu subsektor andalan dalam
menyumbang devisa karena mempunyai orientasi pasar ekspor. Berikut tabel produksi beberapa
jenis tanaman perkebunan dari tahun 2008-2018.

Tabel 3 - Produksi Beberapa Jenis Tanaman Perkebunan (dalam Ton), 2014-2018

Jenis
Tanaman 2014 2015 2016 2017 2018
Minyak
19.072,80 20.542,20 19.912,40 21.749,10 26.576,40
Sawit
Karet 569,70 576,80 603,20 630,20 625,30
Teh 103,50 83,10 91,00 91,90 92,00
Kopi 31,00 37,00 31,90 30,30 36,70
Coklat 30,00 31,00 28,60 26,40 32,40

15
2.4 Perubahan Struktur Ekonomi Indonesia
Peran Sektor Pertanian
Suatu negara, betapapun kecil wilayahnya seperti Singapura dan Brunei Darusalam, pasti
mempunyai sektor pertanian. Dengan adanya pembangunan ekonomi, peran sektor pertanian
biasanya mengalami penurunan yang dibarengi dengan makin meningkatnya peran sektor lain,
terutama sektor industri. Sektor pertanian pada umumnya memegang peranan yang sangat
penting dalam pembangunan ekonomi satu negara.
Peran tersebut, antara lain :
1. Menyediakan surplus pangan yang semakin besar kepada penduduk yang kian
meningkat. Dibanyak Negara, terutama di negara berkembang, produksi pangan
mendominasi sektor pertanian. Jika output meningkat karena meningkatnya
produktivitas, maka pendapatan para petani meningkat.
2. Meningkatan permintaan akan produk industri dan dengan demikian mendorong
keharusan dipeluasnya sektor sekunder dan tersier. Kenaikan daya beli daerah pedesaan,
sebagai akibat surflus pertanian merupakan perangsang kuat terhadap perkembangan
industri.
3. Menyediakan tambahan penghasilan devisa, untuk impor barang modal bagi
pembangunan melalui ekspor hasil pertanian. Kebanyakan Negara berkembang
mengkhususkan diri pada beberapa barang pertanian untuk ekspor.
4. Meningkatkan pendapat desa untuk dimobilisasi oleh pemerintah (tabungan). Setiap
Negara memerlukan sejumlah besar modal untuk membiayai pembangunan, perluasan
infrastruktur, pengembangan industri dasar dan industri berat.
5. Memperbaiki kesejahteraan masyarakat pedesaan. Kenaikan pendapatan daerah pedesaan
sebagai akibat surplus hasil pertanian cenderung memperbaiki kesejahteraan pedesaan.
Para petani mulai mengonsumsi lebih banyak bahan makanan khususnya yang
mempunyai nilai nutrisi yang lebih tinggi dalam bentuk biji-bijian yang berkualitas
tinggi, telur, susu, buah-buahan, dan sebagainya

Perubahan Struktur
Perubahan struktur suatu perekonomian biasanya ditandai oleh besarnya sumbangan dari
masing – masing sektor terhadap penghasilan nasional atau terhadap produk domestik bruto.

16
Kalau dalam satu perekonomian sumbangan sektor pertanian yang paling besar, katakanlah 50-
60 pesren atau malah lebih, maka negara yang perekonomian mempunyai ciri- ciri tersebut
merupakan negara agraris.
Akhirnya kalau sektor jasa yang paling menonjol, maka Negara disebut negara jasa. Jadi
perubahan struktur perekonomian yang umum adalah dari negara agraris – industri – jasa.
Namun pada umunya cukup dari agraris ke industri saja, tidak perlu lagi ke negara jasa.
Dari tahun 1960-2018 sumbangan sektor industry terus mengalami peningkatan. Pada
tahun 1960, peran sektor pertanian adalah tertinggi. Pada tahun 1977, sektor jasa yang
memegang peran tertinggi. Tahun 2007, kembali sektor jasa yang memegang peranan tertinggi.

Grafik Kontribusi Sektoral Terhadap PDB (2018)

Pada tahun 2018, menurut Kepala BPS Suhariyanto, sumber pertumbuhan disumbang
dari industri pengolahan, disusul perdagangan, kontruksi, dan kemudian pertanian. Sehingga,
disimpulkan bahwa Negara Indonesia telah memasuki negara industry.

17
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Kebijaksanaan sektor pangan pemerintahan jajahan Belanda merupakan pelajaran yang
berharga bagi pemerintahan selanjutnya, sehingga dengan penyesuaian tertentu kebijaksanaan
tersebut diperbaiki dan dilanjutkan pada masa Orde Lama. Pada masa orde lama, keadaan
perberasan makin menyedihkan. Krisis beras yang terjadi pada tahun 1966-1967 ini ikut memicu
pemerintahan Orde Baru untuk memberikan prioritas utama pada sektor pertanian untuk
mencapai swasembada beras dalam rencana pembangunan lima tahunnya. Akhirnya pada tahun
1984 Indonesia mengumumkan bahwa swasembada beras dapat dicapai.
Setelah tercapainya swasembada beras di tahun 1984, perekonomian Indonesia justru
mengalami kemajuan pesat yang semu, sehingga dilanda krisis pada tahun 1997-1998.
Peningkatan produksi masih dimungkinkan melalui peningkatan indeks pertanaman dan
peningkatan mutu intensifikasi dengan selalu mengadakan perbaikan varietas unggul. Akhirnya
swasembada beras diraih kembali tahun 2008 dan tahun 2009 Indonesia siap melakukan ekspor
beras.
Walaupun peranan sektor pertanian tanaman pangan dan sektor perkebunan atau sektor
pertanian pada umumnya sangat penting untuk pembangunan ekonomi Indonesia, ternyata peran
sektor ini dalam sumbangannya terhadap PDB makin menurun dibandingkan dengan peran
sektor industry pengolahan. keadaan yang demikian ini mengakibatkan terjadinya perubahan
struktur ekonomi dari negara agraris ke negara industri.

18
Artikel

JALAN TERJAL MEWUJUDKAN KEDAULATAN PANGAN

detik.com – Rabu, 16 Oktober 2019, 16:13 WIB

Setiap tanggal 16 Oktober kita memperingati Hari Pangan Sedunia (World Food Day). Tahun
ini, peringatan Hari Pangan Internasional bertemakan "Our Action are Our Future, Healthy Diets
Zero Hunger World". Ketersediaan pangan merupakan isu global yang terus-menerus menjadi
bahan kajian sekaligus perdebatan di kalangan ahli maupun pengampu kebijakan.

Saat ini, dunia tengah mengalami problem terkait ketahanan pangan. Jumlah populasi dunia yang
terus membengkak nyatanya tidak berbanding lurus dengan meningkatnya produksi pangan.
Konsekuensinya, manusia di masa depan menghadapi ancaman kelaparan, terlebih jika persoalan
ini tidak kunjung diselesaikan.

Merujuk hasil riset International Fund for Agricultural saat ini diperkirakan terdapat 925 juta
manusia di dunia mengalami kekurangan pangan. Jumlah itu diprediksi akan terus meningkat di
masa depan. Lalu bagaimana dengan kondisi ketahanan pangan di Indonesia?

Kita harus akui bahwa kondisi ketahanan pangan kita tidak baik-baik saja. Meski dikenal sebagai
negara dengan empat musim yang memiliki tanah subur, juga luas wilayah laut yang luas dan
kaya akan ikan, pada kenyataannya kita masih harus mengimpor bahan pangan dari luar negeri.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah impor beras Indonesia pada periode Januari hingga
November 2018 mencapai 2, 2 juta ton. Jumlah itu meningkat drastis ketimbang periode
sebelumnya, yakni Januari hingga Desember 2017 yang hanya mencapai 307, 75 juta ton. Belum
lagi impor bahan makanan lain seperti jagung, gandum, gula, daging, dan ikan yang saban tahun
mengalami kenaikan jumlah.

Bercermin dari kondisi itu, tema Hari Pangan Internasional di Indonesia yakni "Teknologi
Industri Pertanian dan Pangan Menuju Indonesia Lumbung Pangan Dunia 2045" menjadi sangat
relevan. Tema itu tampak gagah, optimistik, dan ambisius. Namun sebagaimana galibnya semua
hal yang kelewat optimisitik dan ambisius, tema itu pun tampaknya akan sulit terwujud.

19
Bagaimana tidak? Di awal masa kepemimpinannya, Presiden Joko Widodo sesumbar akan
mewujudkan swasembada pangan pada tiga tahun pertama masa kerjanya. Apa lacur, menjelang
akhir masa kerja pemerintahannya agenda kedaulatan pangan itu agaknya masih jauh panggang
dari api. Jangankan daulat secara pangan, untuk mencukupi kebutuhan asupan karbohidrat saja,
kita harus mengimpor beras jutaan ton setiap tahunnya.

Di Indonesia, isu pangan tidak hanya menjadi isu ekonomi, namun juga telah menjadi komoditas
politik. Bukan rahasia lagi bahwa urusan pangan kerap berkelindan dengan urusan politik. Ambil
satu contoh misalnya kebijakan impor beras yang lebih merupakan bentuk kebijakan politis
ketimbang kebijakan yang mempertimbangkan kepentingan dan kebutuhan ekonomi nasional.
Maka, membenahi persoalan pangan, apalagi terkait mewujudkan agenda kedaulatan pangan
tidak merupakan pekerjaan yang membutuhkan political will.

Kebijakan Pemerintah

Mula pertama yang harus diperhatikan oleh pemerintah ialah membenahi sektor pertanian
dengan merevitalisasi infrastrukturnya. Pemerintah perlu berupaya keras untuk menambah luas
lahan pertanian. Data BPS menyatakan bahwa luas lahan pertanian di Indonesia pada 2018 hanya
mencapai 7,1 juta hektar atau menurun dari 2017 yang masih mencapai 7,75 juta hektar.

Luas lahan pertanian itu dipastikan akan terus menyusut seiring dengan meningkatnya jumlah
populasi yang tentu menambah kebutuhan akan lahan hunian. Alih lahan pertanian menjadi lahan
hunian adalah problem klasik yang terus menggerus angka produksi pangan kita. Diperlukan
kebijakan radikal dari pemerintah agar lahan pertanian tidak dengan mudah dikonversi menjadi
lahan hunian.

Selain itu, pemerintah juga perlu meremajakan kembali jaringan irigasi dan bendungan sebagai
salah satu elemen vital aktivitas pertanian. Dalam konteks ini, anggaran jumbo Dana Desa
idealnya bisa dimanfaatkan oleh pemerintah daerah semaksimal mungkin untuk merehabilitasi
dan juga menambah saluran irigasi dan bendungan. Tidak kalah penting tentunya ialah
memastikan ketersediaan benih unggul dan pupuk dengan mereformasi sistem dan mekanisme
tataniaganya yang selama ini kadung amburadul.

20
Dari sisi politik, perlu ada kebijakan yang melindungi para petani lokal dengan memperketat
aturan impor pangan. Keran impor yang dibuka lebar oleh pemerintah terbukti telah memukul
harga komoditas pangan lokal. Akibatnya, petani pun merugi dan kehilangan harapan untuk
melanjutkan profesi yang ditekuninya selama bertahun-tahun.

Berbeda dengan era 1970-an ketika pertanian menjadi sektor primadona, kini pertanian seolah
kehilangan pamornya. Hal ini terlihat dari menurun drastisnya antusias anak muda untuk
menekuni profesi petani. Jurusan pertanian di sejumlah universitas pun kini cenderung sepi
peminat. Pendek kata, menjadi petani bukanlah pilihan untuk meraih masa depan.

Pengetatan keran impor pangan tentu membutuhkan komitmen pemerintah sekaligus diplomasi
di dunia internasional. Sistem kapitalisme-liberal yang diterapkan hari ini acapkali tidak berpihak
pada negara-negara kecil berkembang seperti Indonesia. Terutama dalam hal pertanian. Banyak
aturan internasional yang justru merugikan negara kecil-berkembang. Di sinilah diperlukan
diplomasi-diplomasi internasional agar industri pertanian Indonesia tidak tergilas oleh aturan
perdagangan global.

Masih terkait dengan impor, pemerintah bersama masyarakat perlu membangun sebuah gerakan
yang bertujuan menyadarkan publik bahwa produk impor tidak selalu lebih baik ketimbang
produk lokal. Selama ini, ketergantungan masyarakat pada produk lokal juga dilatari oleh adanya
sikap inferior. Masyarakat kerap terjebak dalam opini klise bahwa barang impor punya kualitas
lebih bagus ketimbang barang lokal. Upaya penyadaran itu tentu harus dibarengi dengan
peningkatan produk lokal, baik secara kuantitas maupun kualitas.

Terakhir, namun tidak kalah penting ialah kita harus mengembangkan pertanian berbasis pada
ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam konteks ini kita patut belajar dari China yang dalam satu
dekade terakhir ini berhasil menjadikan sektor pertaniannya sebagai yang paling maju di dunia.
Salah satu kunci keberhasilan mereka mengembangkan sektor pertanian ialah dengan melibatkan
para ahli dan ilmuwan untuk mengembangkan bioteknologi.

Di China, para ahli dan ilmuwan dengan dukungan penuh negara rajin melalukan riset
bioteknologi di bidang pertanian. Riset akademik itu lantas menghasilkan berbagai temuan
penting bagi dunia pertanian, mulai dari varietas benih unggul yang tahan hama cuaca dan

21
bergizi tinggi sampai metode mekanisme penanganan pascapanen agar produk pertanian tahan
lama.

Riset bioteknologi di bidang pertanian bukan sama sekali tidak dikenal di negeri ini. Kita
sebenarnya juga telah mengembangkan riset bioteknologi di bidang pertanian. Persoalannya
adalah riset-riset itu kerap terbentur oleh cekaknya anggaran. Maka, penting bagi pemerintah
untuk mengalokasikan anggaran bagi riset-riset bioteknologi di bidang pertanian. Anggaran
untuk riset itu harus dipahami sebagai investasi yang akan menghasilkan keuntungan di masa
depan.

Selain tiga poin di atas tentu masih banyak hal dan persoalan yang membutuhkan perhatian
pemerintah. Namun, jika tiga hal itu mampu digarap dengan maksimal, kita boleh merasa
optimistis bahwa target kedaulatan pangan akan segera terwujud. Jika tidak, bisa dipastikan kita
akan tetap menjadi importir alias konsumen dari industri pangan global.

22
Daftar Pustaka

Nehen, Ketut. 2016. Perekonomian Indonesia. Denpasar: Udayana University Press.

pertanian.go.id. Esensi Kebijakan Pangan Era Amran: Menyayangi Petani. Diakses pada
tanggal 31 Oktober 2019 Pukul 22.00 WITA.

www.bps.go.id
m.detik.com

23

Anda mungkin juga menyukai