Anda di halaman 1dari 7

Prolog;

Kotak Pandora Pertanian Indonesia


Oleh : Donny Pradana WR, S.Hut

GURITA EKONOMI-GLOBAL : NEO-LIBERALISME!


Perkembangan kapitalisme saat ini semakin menutup ruang-ruang yang tersisa bagi perkembangan
tenaga produktif pertanian. Apa sebab? Kemajuan tenaga produktif kapitalisme negeri-negeri imperialis
telah menciptakan kecukupan produksi pangan dari proses produksi pertanian dalam negeri. Tidak hanya
itu. Komoditas pertanian lokal mereka – sadar atau tidak – digemukkan dengan aneka subsidi hingga
menumbuhkan surplus dan menguatnya nilai dalam zona freetrade. Mari kita cermati skenarionya!
Tentu, “liberalisasi perdagangan” hanyalah alat politik belaka - keberpihakan pada kepentingan
politik borjuasi transnasional. Pada sektor pertanian, introduksi pada kehendak neo-liberalisme, dipicu
pada agenda Uruguay Roundtable 1994. Rezim trans-nasional beserta seluruh kekuatan ekonomi-
politiknya (World Bank, IMF, blok neo-liberal lainnya) mengumandangkan agreement bagi kebijakan
perdagangan komoditas pertanian lintas-benua. Semangat yang dikandung pada kesepakatan tersebut
adalah memastikan bagi lapangnya jalan agricultural freetrading. Bahwa ide One World One Trade
dibawah panji ekonomi global – adalah mutlak untuk diciptakan. Dengan sepenuh hati dan secepat-
cepatnya.
Lalu, dunia terus berputar. Gurita globalisasi – yang tak kunjung henti-hentinya – terus menerus
ditancapkan di seluruh dunia lewat beragam alat politik yang dipunyai. Termasuk Indonesia. Pada 1997
silam, Suharto semakin menjerumuskan kaum tani Indonesia dalam lubang hitam kemiskinan tak
berujung, dengan ditandatanganinya Letters of Intent maha karya IMF. Sejurus dengan itu, LoI makin
memberi legitimasi pembangunan konsep persetujuan sepihak tentang pengaturan perdagangan
komoditas pertanian. Belakangan, kaum tani Indonesia mengenalnya dengan program struktural
Agreement on Agriculture (AoA). AoA mengkerdilkan posisi kaum tani Indonesia. Apalagi dengan
keharusan membukanya seluas-luasnya zona perdagangan bebas pada komoditas pertanian.
Maka, kemiskinan kaum tani akibat liberalisasi impor pangan sudah merata ke seluruh sektor
produksi pangan. Seluruh populasi kaum tani terkena dampaknya. Hal ini tidak semata-mata karena
rendahnya produktifitas karena rendahnya teknologi dan manajemen produksi [walaupun hal ini adalah
yang utama], tapi juga penghisapan oleh imperialisme melalui politik dumping. Dimana proteksi
pertanian di negeri-negeri imperialis utama, yang secara keseluruhan ditaksir menghabiskan anggaran
untuk subsidi industri pangannya sebesar US$ 300 milyar per tahunnya. Mereka [terpaksa] untuk
meredam perlawanan massa membeli lebih mahal produk pangan domestik yang berlebihan produksinya
dan kemudian menjual dengan lebih murah melemparnya ke pasar negeri-negeri terbelakang, selagi
masih mempunyai nilai ekonomis seberapapun itu daripada dibuang ke laut. Dan dalam jangka panjang
politik dumping, anarkisme pertukaran kapitalisme ini akan menimbulkan dampak yang lebih
mengerikan, menghancurkan industri pangan yang menjadi pesaingnya.
Oxfam, sebuah lembaga kemanusiaan dan pembangunan internasional, dalam laporan Running into
the Sand, Agustus 2003, menggarisbawahi fakta bahwa negara kaya menerapkan tarif dagang yang tidak
proporsional. Laporan Oxfam menguakkan produk ekspor negara berkembang menghadapi hambatan
empat kali lebih besar dibanding negara maju dan barang yang diproduksi di negara miskin mengalami
hambatan impor. AS menarik pajak impor dari negara miskin, misalnya Bangladesh, 14 kali lebih tinggi
dibanding Perancis. Barang ekspor Vietnam, yang penduduk miskinnya 81 juta jiwa, dikenai bea masuk
enam kali lebih tinggi dibanding Belanda. Pakaian jadi impor dari India dikenai pajak 19 persen oleh
Washington, sementara barang impor dari Jepang, Perancis, dan Jerman berkisar 0 hingga 1 persen.

MIMPI PADA KEDAULATAN PANGAN?1


Jadi - bagi rakyat Indonesia - harga pangan murah akibat banjirnya impor pangan ini hanya akan
menjadi gejala sesaat, seiring dengan kehancuran produksi pangan domestik pangan ‘murah’ semakin
menjadi barang mewah, karena sejalan dengan kondisi itu daya beli kaum tani semakin merosot
sedangkan ketergantungan terhadap impor terus meningkat. Liberalisasi perdagangan ini tidak akan
memberi basis kemajuan produktif kaum tani, imperialis hanya membutuhkannya sebagai pasar saja.
1
Bedakan makna Kedaulatan Pangan dengan Ketahanan pangan. Ketahanan pangan Indonesia tidak buruk.
Tingkat ketersediaan energi dan protein untuk dikonsumsi pada 2000 masing-masing sebesar 3.038 kkal/kapita/hari
dan 82,37 gr/kapita/hari. Ini melebihi tingkat rekomendasi, yaitu 2.550 kkal/kapita/hari dan 55 gr/kapita/hari.
Namun, kondisi ketahahanan pangan makro itu bisa menyesatkan karena tidak mencerminkan kondisi ketahanan
pangan mikro di tingkat rumah tangga. Itulah sebabnya, kelaparan dan kurang gizi sebagai derivasi kemiskinan masih
saja terjadi. Menurut data BPS, pada 1999 penduduk miskin di Indonesia sebanyak 48,0 juta orang, pada 2001
menurun menjadi 37,1 juta jiwa, dan 2002 turun lagi menjadi 35,7 juta. Kinerja kehatanan pangan tidak ditentukan
oleh melimpahmya jumlah pangan yang tersedia, tapi pada terpenuhinya pangan di tingkat rumah tangga yang
tecermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik dalam jumlah, mutu, aman, merata, dan terjangkau. Dengan kata
lain, Kedaulatan pangan - mengutip Amartya Sen dalam Inequality Reexamined (1992) - adalah pentingnya aspek
akses dan aspek kebebasan daripada ketersediaan.

Halaman 1 dari 7
Produktivitas yang tinggi dari industri pangan di negeri-negeri maju membuat investasi langsung
dibidang pangan di negeri-negeri berkembang dan terbelakang tidak menarik secara ekonomis, yang
lebih pokok arus investasi memang hanya sedikit saja yang mengalir keluar dari triad imperialis [Eropa-
AS-Jepang], yang sedikit itulah yang diperebutkan oleh puluhan negara di Asia-Afrika-Amerika Latin-
Eropa Timur. Oleh karena itu tindakan Rezim domestik membuka kran impor pangan seluas-luasnya
adalah pengkhianatan terhadap kaum tani yang tidak bisa diampuni lagi, tindakan yang bahkan tidak
berani ditempuh oleh negeri-negeri imperialis.
Mendaulatkan pangan harus dijamin negara. Jaminan bagi warga terhadap akses yang sama
terhadap pangan – selain kesehatan, pekerjaan dan pendidikan – tidak mungkin dilakukan dengan
skenario free-trade; tidak alan punya fungsi keadilan jika diserahkan pada pasar. Tapi sejak dasawarsa
1990-an, pemerintah telah mengubah kebijakan pangan, dari yang pro-produsen dan ketahanan politik-
ekonomi bangsa, menjadi pro-konsumen dan menyerahkan kepada pedagang besar dan imperilais.
Dengan kata lain, pemerintah mengubah dari kebijakan swasembada pangan menuju impor pangan. Ini
sama saja menaruh cita-cita terselenggaranya ketahanan pangan bagi semua rakyat pada gantungan
yang rentan, yakni fluktuasi harga dan ketersediaan pangan dunia. Juga mengekspose rakyat menjadi
korban politisasi pangan oleh negara dan komersialisasinya oleh korporasi lintas negara (transnational
corporations/TNCs).
Ekspose semacam ini sudah dimulai sejak akhir 1970-an, ketika pemerintah mengadopsi konsep
Revolusi Hijau sebagai pilihan utama menjawab persoalan ketahanan pangan. Hasilnya, pada 1984
Indonesia bisa berswasembada beras, dan melepaskan diri dari predikat negara pengimpor beras
terbesar di dunia. Presiden Soeharto menerima penghargaan dari FAO. Secara akademik, keberhasilan ini
juga telah menggugat dan mempertanyakan kemapanan teori 'dualisme' Boeke dan teori 'involusi' Geertz
(Khudori dalam Media Indoneisa 16 Oktober 2003).
Dunia berdecak kagum melihat prestasi Indonesia. Hanya dalam tempo 14 tahun, produksi padi
bisa dipompa dari 1,8 ton per ha menjadi 3,01 ton per ha (1970-1984). Padahal, pengalaman Jepang
untuk meningkatkan produksi padi dari 2 ton per ha menjadi 3,28 ton per ha memerlukan waktu 68
tahun (1880-1948). Untuk menaikkan produksi dari 1,35 ton per ha menjadi 3,1 ton per ha, Taiwan
membutuhkan waktu 57 tahun (1913-1970). Persoalannya, swasembada beras hanya bertahan sampai
1989. Sejak itu sampai sekarang, Indonesia menjadi importir beras terbesar di dunia, dan petani tetap
miskin.

DARIMANA PROBLEM POLITIK KETERBELAKANGAN TENAGA PRODUKTIF KAUM TANI?


Mengapa imperialis dapat dengan mudah menghancurkan kaum tani? Ini adalah persoalan ekonomi
dan sekaligus politik. Secara ekonomi sedikit telah dijelaskan bahwa sepanjang sejarahnya kapitalis
nasional kita hanya embel-embel dari imperialisme. Konsekuensinya adalah, jika kaum imperialis tak lagi
memiliki kepentingan terhadap pengembangan industri pertanian di pedesaan sebagai basis akumulasi
modalnya, maka kapitalis nasional pun akan mengambil posisi demikian. Dari dulu hingga sekarang
industri yang bergerak dan menunjang sektor pertanian mayoritas dimiliki oleh negara, dalam bentuk
BUMN pupuk dan PTPN (Perseroan Terbatas Perkebunan Negara), dsb. Itupun saat ini hendak dirampas
dan dihancurkan oleh imperialisme. Perampasan ini merupakan bagian dari strategi monopoli industri
yang ujung-ujungnya adalah monopoli terhadap harga. Sedikit berkembang industri perkebunan—hasil
ceceran oil boom dan perampokan hasil hutan—disektor swasta seperti yang dikembangkan oleh
beberapa konglomerat kroni Orde Baru atau juga perkebunan rakyat, namun hanya di industri
ekstratifnya (baca: perkebunan) berdiri dilandasan teknologi yang rapuh dan akhirnya kolaps dihantam
krisis. Jadi seluruh kapitalis nasional saat ini berlomba-lomba menjadi agen dari imperialisme, dengan
penggolongan peran dalam mata rantai produksi dan distribusi pangan nasional sebagai berikut:
pertama, sedikit yang bergerak di industri hilir (pengalengan makanan, penggilingan, dsb) tapi tak
signifikan. Kedua, berebut lisensi impor atau bekerjasama dengan aparat menjadi importir penyelundup.
Ketiga, menjadi calo dan tengkulak bagi kaum tani yang semakin tak berdaya. Keempat, menjadi agen
pengecer dan kadang-kadang juga penimbun, menuntut pengurangan pajak bagi ekspor komoditi
perkebunan yang pasarnya semakin terbatas, dll.

1. Tentang Lahan2

2
Radikalisasi massa tani dalam perjuangan re-claimming adalah muara (sementara) revolusioner-nya. Konsepsi utuh
tentang Pembaruan Agraria harus didefinisikan sebagai upaya korektif untuk menata ulang struktur agraria yang
timpang, yang memungkinkan eksploitasi manusia atas manusia, menuju tatanan baru dengan struktur yang bersendi
kepada keadilan agraria. Keadilan agraria itu adalah suatu keadaan dimana dijamin tidak adanya konsentrasi dalam
penguasaan dan pemanfaatan atas sumber-sumber agraria pada segelintir orang.
Upaya pelaksanaan pembaruan agraria dimulai dari dilaksanakannya program Landreform - minimal dalam payung
hukum nasional UUPA No. 5 Tahun 1960 - yaitu suatu upaya yang lencakup pemecahan dan penggabungan satuan-
satuan usaha tani dan perubahan skala pemilikan. Kemudian dilanjutkan dengan peningkatan kemampuan petani
dengan berbagai program-program pendidikan upaya penyediaan kredit, pemilikan teknologi pertanian, sistem
perdagangan yang adil, dan mendorong tumbuhnya organisasi-organisasi massa petani dan koperasi petani, serta
infrastruktur lainnya.

Halaman 2 dari 7
Sejarah dan kondisi agraria masyarakat Indonesia tergolong unik. Dibandingkan negara-negara
lain yang berkuasa atas kepemilikan tanah terkonsentrasi luas – justru kaum tani Indoneisa bermilik
tanah sempit nan berpetak-petak3. Lahan tersebut dikelola di atas landasan minimnya tekonologi dan
rendahnya modal/investasi produksi. Benar, bahwa kuantitas tenaga kerja di desa menumpuk. Namun
dengan terbatasnya faktor produksi utama, menjadikan minimnya produktifitas pengelolaan. Sehingga
petani justru makin menjadi melarat. Di saat tidak ada surplus dan profit, di saat itu pula tingkat
konsumsinya terus dipacu.
Di atas lahan yang sempit ini tidak mungkin menyediakan landasan bagi perkembangan alat dan
tenaga produktif yang modern/maju terutama sekali, perkakas tehnologi pertanian sangat
sederhana/tradisional/kadaluarsa, akibatnya surplus produksi pertanian dititik nol dibanding sejumlah
pengeluaran biaya produksinya,
Keterbatasan luas lahan dengan kepemilikan individual tidak memungkinkan pengembangan aneka
jenis tanaman. Petani hanya menanam jenis tertentu/monoton/ajeg bagi tanaman yang hanya cocok
dilahan sempit karena harus memperhitungkan cara-cara penanaman dan bagaimana besaran hasil
panen. Bagi mereka yang terpenting mana yang dapat ditanam dengan cepat/praktis dan segera
diperoleh hasilnya sesuai desakan kebutuhan sehari-hari. Jika harus memaksimalkan lahan paling jauh
berupa tanaman tumpang sari4.

2. Tentang Teknologi5
Sarana produksi pertanian (Saprotan) begitu brengsek. Barang-barang seperti pupuk, benih, obat-
obatan dll - terutama produk pabrikan sangat rentan terhadap inflasi Harganya mahal, jumlah volumenya
terbatas dan penyebaran distribusinya tidak merata. Faktor-faktor ekonomi seperti harga, volume dan
distribusi menjadi sumber malapetaka bagi petani mengingat nilai jual hasil pertanian sangat rendah.
Lambannya perkembangan tenaga produktif ini semakin diperparah dengan minimnya pengetahuan
dan ketrampilan tenaga kerja pertanian. Kemampuan melakukan manajemen usaha pertanian secara
modern, efesien dan profesional sulit diwujudkan ditengah kenyataan masih terdapatnya pertanian
indifidual/perseorangan di lahan sempit dan bertehnologi manual/sederhana. Sumber daya manusia
menumpuk tetapi tidak produktif. Penguasaan manajemen produksi dan manajemen pasar sangat tidak
memadai didalam usaha kompetitif/persaingan.

3. Tentang Pemodalan
Orientasi modal Indonesia harus dirubah, seiring dengan dibalikkannya paradigma pembangunan
nasional, dari developmentalisme yang bersandar pada keroposnya industrialisasi 6 menuju penguatan

Pembaruan agraria adalah landasarn penciptaan proses perombakan dan pembangunan kembali struktur sosial
masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan, sehingga tercipta dasar pertanian modren yang sehat, terjaminnya
kepastian pemilikan tanah bagi rakyat sebagai sumber daya kehidupan mereka, terciptanya sistem kesejahteraan
sosial dan jaminan sosial bagi rakyat pedesaan, serta penggunaan sumberdaya alam sebesar-besarnya untuk
kemakmuranrakyat.
3
Struktur petani di Indonesia didominasi oleh pemilik lahan sempit itu. Hasil penelitian Departemen Pertanian pada
tahun 2000 menunjukkan bahwa 88 persen rumah tangga petani hanya menguasai lahan sawah kurang dari 0,5 ha.
Dengan luas lahan ini, petani hanya mendapatkan keuntungan semusim berkisar antara Rp 325.000 hingga Rp
543.000, atau hanya Rp 81.250 hingga Rp 135.000 per bulan (Kompas, 21/5/2002).
Jika setiap rumah tangga petani memiliki anggota keluarga lima orang, maka pendapatan per kapita komunitas petani
hanya sekitar Rp 25.000 per bulan atau setara dengan Rp 300.000 per tahun (pendapatan ini bahkan lebih rendah
dari tingkat upah minimum per bulan yang diterima oleh tenaga kerja di sektor formal). Dengan begitu, angka-angka
tersebut tidak saja mendeskripsikan kecemasan akan kualitas hidup yang jauh dari layak, tetapi juga menyiratkan
betapa proses "kematian" sebentar lagi akan menyergap pelaku ekonomi di sektor pertanian.
4
Metode tanam Tumpang Sari berarti menanami lahan dengan beberapa jenis tanaman sekaligus, Biasanya dipilih
jenis tanaman yang saling melengkapi satu sama lain. – tidak saling mematikan dalam arti bio-ekologisnya – dan
bernilai ekonomi. Misalnya penanaman palawija(jagung, singkong,kacang-kacangan,dsb), di sela-sela budidaya
tanaman keras(tegakan hutan yang punya nilai ekonomis kayu, dsb).
5
Teknologi harus diyakini sebagai ALAT – yang menumbuhkan produktifitas secara efektif dan efisien. Dan peneapan
teknologi senantiasaberlandaskanpada prinsip lestari-berkelanjutan (eko-sosiologis). Menarik untuk belajar pada
pengalaman Revolusi Hijau. Revolusi Hijau adalah kekaguman sekaligus kekecewaan. Hasilnya yang begitu cepat
telah kemunculkan kekaguman, tapi kemudian diakhiri dengan kekecewaan berkepanjangan. Ini tidak hanya terjadi di
Indonesia, tapi juga berlangsung di Filipina, Thailand dan negara-negara Amerika Latin. Banyak studi menyebutkan
bahwa di balik Revolusi Hijau sesungguhnya terselip kepentingan bisnis kotor para TNCs (Tata, 2000). Dimensi
penting Revolusi Hijau adalah kontrol kaum imperialis dan kapitalis (negara maju) terhadap kekayaan genetika Dunia
Ketiga. Caranya, dengan mengganti kekayaan genetika negara maju --yang dikembangkan lewat 12 pusat riset
pertanian yang seluruhnya dibiayai oleh Consultative Group on International Agricultural Research (CGIAR)-- yang
diperoleh secara biopiracy (mencuri) dari negara-negara berkembang.
6
Kenyataan industrialisasi dikemukakan oleh Raul Prebisch - salah seorang peletak dasar teori ketergantungan -
mengeluarkan gagasan pentingnya negara-negara berkembang untuk melakukan industrialisasi sebagaimana negara
maju. Upaya perintisan Industrialisasi ini dilakukan dengan model industri subtitusi impor (ISI) sebagai "industri bayi"
(infant industry). Diharapkan industri ini dapat memproduksi barang-barang yang semula diimpor. Sebagai langkah

Halaman 3 dari 7
agrarian-sector terlebih dahulu. Rendahnya modal/kapital yang masuk kepertanian mengakibatkan
ekonomi pertanian terus merosot. Ekspansi lainnya modal sering mengarah ke perkembangan
industrialisasi di sektor pabrikan dan sektor jasa, sementara sektor pertanian tertinggal jauh.
Kepentingan inilah yang menjadi garis kebijakan politik dari rezim-rezim yang pernah berkuasa di
Indonesia.
Apalagi, arus kapital yang terkonsentrasi pada perkotaan, tidak merembeskan barang setetes-pun
ceceran ala konsep Trickle Down Effect7 yang digungkan para penganjur Developmentalism. Telalu
banyak fee yang harus disuapkan pada grup parasit; birokrasi dan militer 8. Hal tersebut diperparah
dengan kebijakan politik nasional yang memilih landasan berpijaknya pada ekonomi pembangunan-isme.
Semisal dengan kebijakan R & D (di caturwulan pertama 2003) yang memberi syarat kemudahan
permodalan serta biaya rekapitalisasi bank-bank sejumlah 600 trilyun lebih. Luar biasa! Bisa dibayangkan
apabila sebagian digunakan untuk investasi kegiatan produktif pertanian; bagi permodalan usaha tani
dan investasi industri yang menopang pengembangan produktivitas pertanian.

ARAH TRANSFORMASI SOSIAL

awal, untuk mengamankan eksistensi industri bayi dari industri besar di negara maju diperlukan campur tangan
pemerintah melalui proteksi sampai dengan mendewasanya industri bayi tersebut.
Pemikiran Prebisch tentang ISI "selaras" dengan industrialisasi di negara-negara ASEAN yang rata-rata dilakukan
mulai tahun 1960-an. Akan tetapi ternyata alasan utama industrialisasi ala Prebisch belum terbukti secara empirik,
setidaknya untuk negara-negara ASEAN. Dalam pandangan Arif dan Hill (1988) pada riset fenomena industrialisasi di
Asean, terdapat 2 (dua) alasan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, mempercepat proses
Industrialisasinya.
Pertama, adalah pandangan umum bahwa prospek pasar internasional di masa depan bagi produk primer adalah
sangat suram sebagaimana pemikiran Prebisch. Ini, dilatarbelakangi oleh pengalaman pada tahun 1950-an dimana
terjadi kemerosotan harga-harga produk pertanian setelah mengalami booming pada Perang Korea 1950-1951.
Namun demikian alasan ini tidaklah cukup empirik untuk membuktikan merosotnya nilai tukar produk pertanian (term
of trade) sebagai faktor utama adanya industrialisasi dalam kerangka menepis ketergantungan negara berkembang
terhadap negara maju. Hal ini karena diangap kemerosotan tersebut hanyalah bagian dari dinamika perdagangan saja.
Karena itu industrialisasi lebih didorong oleh keinginan untuk penganekaragaman struktur ekspor, dimana komoditi
pertanian tetap dipertahankan seperti sekarang ini .
Kedua, adanya pandangan bahwa negara-negara maju yang pendapatannya tinggi memiliki sektor industri yang
sangat besar. Jadi, industrialisasi dipandang sebagai jalan ke arah perkembangan ekonomi yang lebih maju. Kalau
diamati, pandangan seperti ini merupakan bagian dari paradigma modernisasi yang mengarahkan model
pembangunan Barat sebagai "kiblat" bagi negara berkembang. Pandangan kedua ini lebih empirik bila dilihat setting
politik ekonomi internasional waktu itu, dimana negara Barat pasca Marshall Plan giat memasarkan gagasan
modernisasi negara kalah perang serta negara berkembang sebagai upaya pemulihan akibat Perang Dunia II sekaligus
untuk menangkal komunisme di negara-negara berkembang tersebut.
Dalam perkembangannya, setiap negara ASEAN berbeda-beda dalam menerapkan ISI, setidaknya ditunjukkan dari
aspek waktu. Filipina tergolong paling lama dalam mempertahankan model ISI yang dimulai pada tahun 1940-an.
Sebaliknya Singapura adalah negara tercepat dalam mengganti model ISI, karena cepat pula menyadari kelemahan
model ISI tersebut.
ISI memang umumnya menghasilkan pertumbuhan industri yang sangat cepat, namun tidak dapat menjadi landasan
bagi babak industrialisasi yang berkesinambungan. Arif dan Hill (1988) mengatakan : Setelah "tahap yang mudah"
proses industrialisasi tersebut diselesaikan, yaitu ketika keluaran (out put) barang manufaktur tumbuh dengan batas-
batas pasar dalam negeri yang kecil dan diproteksi, maka kurun waktu kejenuhan pasar akan cepat tercapai. Dengan
demikian , tidak akan ada "perembesan" (spill over) otomatis ke pasar ekspor sebagaimana sebelumnya diperkirakan
oleh para pembuat kebijakan. Untuk memudahkan, pemeliharaan pertumbuhan industri yang cepat dan
berkesinambungan di Malaysia, Filipina dan Muangthai sekitar tahun 1970-an dan di Indonesia sekitar tahun 1980
memerlukan usaha promosi ekspor yang sungguh-sungguh maupun putaran kedua substitusi impor dalam kegiatan-
kegiatan yang lebih padat modal dan padat ketrampilan.
Bagi Indonesia strategi promosi ekspor yang dimulai tahun 1980-an lebih banyak dilatarbelakangi adanya
kemorosotan harga minyak yang semula menjadi andalan utama ekspor. Kelangsungan ISI yang lama tersebut
merupakan kajian ekonomi politik, dimana diduga terkait dengan kuatnya hubungan birokrasi (pemberi fasilitas
proteksi) dengan swasta sebagai penerima fasilitas sekaligus pemberi rente, sehingga memunculkan kolusi dan
korupsi yang masih menggejala hingga sekarang. Lambatnya kesadaran untuk mengganti strategi industrialisasi
tersebut, jelas mempengaruhi kinerja industrialisasi dewasa ini yang bila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN
lainya, khususnya Malaysia, Singapura, dan Thailand, posisi Indonesia masih relatif berada di bawah mereka.
Dampak industrialisasi terhadap perkembangan ekonomi tampak semakin signifikan, namun inipun tidak terlepas dari
masalah-masalah yang bersifat struktural. Misalnya, ketergantungan teknologi (technological dependency) negara
berkembang terhadap negara maju yang akan mempersulit negara berkembang mengejar ketertinggalan,
sebagaimana sering disuarakan Dos Santos penganut teori ketergantungan. Begitu pula dalam bantuan modal asing
yang dapat mengganggu proses kemandirian negara berkembang. Yang terakhir ini bantuan modal belum terbukti
mengganggu kemandirian, setidaknya bila diperhatikan keberanian Indonesia untuk membubarkan IGGI.
7
Filosofinya, guyuran kapital akan senantiasa merembes dari atas ke bawah. Capital-flow akan bergerak sesuai
hukum gravitasi dan mengalir-menganak sungai dari hulu-hilir. Dengan logika, kesejahteraan akan menetas bak air
hujan di hutan tropis – meskipun pelan namun pasti.

Halaman 4 dari 7
Lalu, kaum tani yang selamanya tangannya terikat borjuis yang tidak konsisten, mau kita sikapi
bagaimana? Padahal partisan revolusi demokratik adalah mereka, tentu pula bersama golongan kelas
terhisap/tertindas lainnya. Oleh karena itu untuk merebut kemajuannya, sehingga kebutuhan petani akan
modal, teknologi murah, fasilitas sosial yang murah (kesehatan, pendidikan, perumahan, dll) dapat
terpenuhi, maka kaum tani mesti menyingkirkan penguasa yang telah merampas hak-haknya tersebut.
Kaum tani yang pernah berlawan dan sedang melawan jangan sampai ketipu kedua-kalinya oleh
pimpinan mereka (utamanya, pendamping) dari berbagai ratusan OTL-OTL/Organisasi Tani Lokal,
puluhan serikat-serikat tani, dan sejumlah tawaran normatif di kalangan LSM. Perjuangan untuk Reforma
Agraria sepenuh-penuhnya - tanpa mengajak/melatih/mendidik rakyat sendiri untuk berkuasa – tidaklah
cukup. Di Sumut, Jabar, Jatim dan Sulteng, misalnya — sebagai daerah “idola” dari segi radikalisme
petani yang terorganisir — mana pernah berdiri Dewan-Dewan Rakyat/Tani, yang memang diprakarsai
oleh intelektual, LSM, organiser profesional, rohaniawan? Walaupun sudah beratus-ratus truk dan bis
dikerahkan untuk mobilisasi ke Jakarta atau kota-kota besar propinsi, tetapi pimpinan-pimpinan mereka
yang pengecut tadi, walau sudah sering mengajak aksi massa senyatanya hanya melakukan reform-
reform kecil. Sebagaimana solusi tuntutan sertifikasi tanah, atau benih dan tanaman anorganik (bukan
sisi perjuangan kelas tapi gerakan environmentalism). Hal ini sama sekali tidak menjawab akar-nya.
Perubahan sosial harus menuju industrialisasi! 9. Sektor agraria harus diperbarui menuju orde
pertanian modern. Tentu, penghalang dan penghambatnya harus dihancurkan terlebih dulu; baik itu
kemapanan politik developmentalis maupun semangat budak kultur feodalis tua. Berikut ini, disajikan
komparasi berikut indikator yang mencirikan karakter agraria masa lalu dan impian masa depan :

Pertanian Traditional Penciri Pertanian Modern


Lokal Kaitan Pasar Global
subsistensi orientasi ekonomi komersial
sederhana teknologi tinggi
karbohidrat sumber energi utama fosil dan nuklir
unskilled labour tenaga kerja skilled labor
keluarga (askripsi) manajemen professional achievement
labor intensive penggerak ekonomi capital intensive
kredit informal sumber kapital kredit formal
safety first spirit usaha achievement motivation
musiman ciri produk pertanian mutu baku
personal/komunal pola hubungan sosial impersonal/kontrak
mekanik tipe solidaritas organik
feodalistik/sentralistik sistem politik demokratik/desentralistik
asimetris (ekstrem) interdependensi asimetris (moderat)
longgar/lemah kompetisi kuat
rendah ketegangan sosial tinggi

Sumber:Pranadji (1995) dalam Wirausaha, Kemitraan, dan Pengembangan Agribisnis secara Berkelanjutan. Analisis CSIS, Tahun
XXIV No 5 September-Oktober 1995

8
Ingat sejarah kelahiran militer dan birokrasi Indonesia. Tumbuhnya karakter militer Imdonesia masa kini – sebagai
kelompok kapitalis bersenjata - secara sosiologis, barisan depannya adalah Suharto. Menyebut Suharto, karena
kelompoknya lah, sepanjang yang bisa ditemukan, yang pertama-tama memiliki bank dan perusahaan ekspor-impor
sendiri, serta yang menjalin kontak-kontak luar negerinya sendiri, seperti dengan Malaysia. Sementara, birokrasi dan
aparatus pemerintahan RI masih berkubang di adat feodalis-tua; yang patuh
9
Kematangan sektor industri akan meluaskan proletarisasi. Hukum dialektika sejarah peradaban memberikan
perspektif modernisasi di segala tat-kehidupan. Transformasi menuju pertanian modern — yang lebih mampu
meningkatkan kesejahteraan— sebagai konsekuensi tak terhindarkan. Industrialisasi pertanian dimajukan
perkembangannya dengan pengenalan unsur-unsur teknologi baru, sampai pada tahap mengintegrasikan
pembangunan industri —dari basis hulu sampai ke muara— dengan pembangunan pertanian. Sebagai pendukung
industrialisasi, teknologi akan berkembang sesuai dengan kebutuhan industri. Berhulu dari industri berat, pengolahan
baja misalnya, pada tahap berikutnya menciptakan pabrik-pabrik alsintan modern, di antaranya seperti traktor,
sebagai suatu komponen mekanisasi pertanian yang menunjang produktivitas.
Secara ekonomi, pasar pun menjadi berkembang karena teknologi juga semakin berkembang. Dalam posisi
kepentingan kaum tani, negara harus memberikan jaminan apa saja yang dibutuhkan, berapa besar dibutuhkan, dan
bagaimana menjamin kontinuitasnya. Syarat untuk itu, pembangunan pertanian industrial tidak boleh mengabaikan
unsur-unsur perlindungan/proteksi dan subsidi atas komponen paling menentukan di dalam proses produksi pertanian.

Halaman 5 dari 7
MEMBENTANGKAN ALTERNATIF; MENARIK SEKUAT MUNGKIN GERAKAN TANI DALAM
ATMOSFER POLITIK NASIONAL10
Dengan keluasan geografi/demografi/populasi dari tipikal Indonesia, dan belajar dari sejarah
pengalaman revolusioner masyarakat Indonesia —termasuk sampai dengan pengalaman kurun bulan-
bulan penjatuhan Soeharto 1998, yang kendati sporadis/massif dan ada yang spontan— basis sosial
dukungan perlawanan kita harus bertumpu sampai ke desa-desa., adalah tindakan politik pertama yang
harus dilakukan. Karekter perjuangan kaum tani harus sampai dengan menancapkan dalam-dalam ke
benak kesadaran/politisasi massa sesuai kepentingan dan watak kelas-kelas sosial pedesaan,
tentang musuh bersamanya yakni kelas penguasa borjuasi komprador Rezim domestik.
Kontradiksi pokok kaum tani sekarang adalah melawan dan menghancurkan kekuasaan Rezim
domestik. Mengapa? Karena politiknya begitu konservatif (represif/reaksioner mewarisi Soeharto), tapi
ekonominya sedemikian liberalnya mengikuti imperialis. Dominasi sistem imperialisme yang tonggak
kejayaannya dimahkotai oleh Orde Baru hanya bisa dilumpuhkan jika pemerintah (termasuk Rezim
domestik) yang menjadi agen-agennya, atau reformis gadungan lain yang bersiap-siap menjadi agen
imperialisme dilumpuhkan oleh kekuatan rakyat yang terorganisir.
Ya! Kekuatan rakyat yang kuat. Kekuatan rakyat yang sudah diinjak oleh kejamnya neo-
lilberalisme. Kemiskinan tidak hanya menggerus kehidupan petani. Kendati menurut teorinya petani
merupakan kelas non-fundamental dalam sistem kapitalisme, tetapi secara praktis massa kaum tani
tertindas/terhisap sudah berkontradiksi langsung dengan imperialisme.
Dan PERSATUAN11 adalah jawabnya. Sejarah perjuangan pembebasan Nasional Indonesia sudah
membuktikannya. Persatuan yang dibangun – semaju-majunya – memberi platform perjuangan (1) anti-
penjajahan imperialis (2) anti-rezim yang hanya berfungsi sebagai boneka imperialis. Persatuan oposisi
yang menolak globalisasi-kapitalisme harus - tak bisa ditawar – menolak pula Rezim domestiknya.
Karenanya, perjuangan melawan imperialisme adalah dengan cara penggulingan Rezim domestik, atau
tolak IMF/WTO harus diberi isi/makna gulingkan dulu pemerintah borjuasi dan menggantikannya dengan
pemerintahan rakyat. Setiap ruang dan momentum untuk melapangkan pembangunan persatuan
demokratik seluas-luasnya harus direbut dan dipergunakan sebaik mungkin. Dalam program dan
tindakan politik, blok persatuan harus mampu mengisolasi musuh-musuh rakyat (IMF, Rezim domestik,

10
Kebutuhan pada (Pesona) Muchas Trampas Politica (istilah dalam bahasa Spanyol yang kurang lebih bermakna
praktik yang cerdas melakukan manuver-manuver dan siasat-siasat untuk membuka, menerobos, membuat dan
memanfaatkan peluang politik). Idiom ini diyakini dalam dialektika kebenaran perjuangan Tentara Pembebasan
Nasional Zapatista yang mereka rumuskan dalam “Deklarasi Hutan Lacondon” 1 Januari 1994, takkala Komandante
Marcos dkk menduduki kota San Cristobal – Meksiko bagian selatan.
Gerakan Zapatista, dengan ragam caranya menandai kebangkitan(kembali) gerakan rakyat Meksiko bingga gerakan
sosial baru di Dunia Ketiga. Gerakan Zapatista adalah pertama-tama bukan gerakan berbasis partai, tapi gerakan
populis untuk menjalankan agenda masyarakat sipil secara eksplisit.Meskipun berangkat dari realitas derita
masyarakat adat, namun gerakan Zapatista menyuarakan tuntutan masyarakat sipil umumnya atas kendali negara. Ia
bukan hanya membangkitkan kelompok-kelompok perjuangan hak-hak masyarakat adat, tapijuga kelompok-kelompok
prodemokrasi, pembaruan hukum, kesetaraan gender, pembaruan/reforma agraria, dan hak-hak asasi manusia. Lebih
lanjut,
Sebagai bentuk organisasi, gerakan Zapatista membawa masuk sejumlah besar pendukung dalam proses-proses dan/
atau upaya-upaya perubahan itu: kelas menengah pada umumnya; partai politik (oposisi); lembaga-lembaga
penelitian dan pendidikan (termasuk guru-guru); ilmuwan'independen'; aktivis-aktivis 'individual' (non-lembaga); LSM
(baik rasional, propinsi, maupun lokal/distrik); organisasi massa (termasuk serikat buruh, serikat petani, serikat
perempuan, d1l.); lembaga-lembaga Masyarakat Adat; komunitas; dan kelompok-kelompok kepentingan lainnya.
Dengan demikian, suara perlawanan Zapatista melintasi faktafakta penderitaan lokal dengan membongkar akar-akar
penyebabnya: kontradiksi di dalam sistem kapitalisme dunia yang muaranya di Meksiko ini tidak dapat dibendung dan
bahkan diperderas oleh Pemerintah Federal Meksiko. Inilah yang dihadapi langsung oleh dengan gerakan Zapatista.
Gerakan Zapatista bukan saja menyatakan melakukan kebajikan revolusi ('tanah dan kemerdekaan') dari nenek
moyang republik itu, tetapi juga mereka menggunakan retorika pemerintah sendiri mengenai demokrasi, identitas
budaya, partisipasi, dan hak asasi manusia sebagai senjata melawannya. Lebih lanjut, gerakan Zapatista telah
membumbung-membahana, seperti banyak gerakan sosial baru (the new social movements) lainnya, melalui
penggunakan simbol, media elektronik, bentuk-bentuk baru dari aksi-aksi kolektif dan organisasi gerakan sosial, dan
koalisi masyarakat sipil lokal-nasionalglobal yang melampaui kemampuan kendali negara atas gerakangerakan
setempat. Dalam kalimatnya Gerrit Huizer, globalisasi dari atas ditandingi dengan globalisasi dari bawah dan keduanya
adalah suatu proses yang dialektik.
11
Guna menuju harapan demokrasi yang penuh, dukungan segenap unsur demokratik adalah kemutlakan. Di bawah
kelambanan reformasi 1998 yang tak lengkap, demokrasi makin mengendur akibat kualitas pengusungnya yang
setengah hati; borjuasi dengan karakter feodal yang tebal di tengah iklim kapitalisme cangkokan dan tak matang.
Belajar pada sejarah gerakan sosial yang pernah meladak (tapi belum pernah menang) maka energi perubahan harus
sebesar-besarnya dipimpin oleh kelas proletariat dan sekutu sejatinya. Grup ini tidak boleh bersikap subsisten – tapi
berkewajiban sebagai yang paling bersemangat terhadap segala momentum-momentum sosial. Kepemimpinan buruh-
tani – dalam makna praktek dan teori – adalah motor yang menghidupkan ruh gerakan demokratik. Terpimpinnya
gerakan oleh Dynamic-duo ini juga dimaknai sebagai jaminan terjaganya dilektika transformasi sosial agar
MEMASTIKAN LAPANGNYA JALAN menuju surga dunia.

Halaman 6 dari 7
Sisa Orba, TNI, Golkar dan Reformis Gadungan) dengan terlibat langsung pada mainstream politik -
sekaligus membongkar ilusi rakyat tentang rejim borjuasi ini.
Untuk mengemban tugas kesejarahan pelibatan kaum tani dalam gerakan perubahan sosial sejati –
dibutuhkan taktik dan alat politik yang memadai. Bagaimana taktik kita sekarang? Sudahkah berita
perlawanan di kota menyebar ke desa-desa? Sudah berapa eksemplarkah koran gerakan — baik organ
partai, organ mahasiswa, buruh, miskin kota, kebudayaan, selebaran-selebaran politik— masuk ke pintu-
pintu rumah keluarga kaum tani, di areal-areal basis paling tertindas/terhisap? Sejauhmana isi
propaganda demokratik mampu mengimbangi informasi media massa borjuis yang selama ini diserap
petani? Berapa organiser demokratik yang tekun di landasan desa bergolak?
Belum! Gerakan tani masih tersingkir dari arus besar gerakan demokratik. Gerakan tani Indonesia
masih disibukkan dengan persoalan sektoralnya belaka. Adalah benar, bahwa radikalisasi gerakan tani
mengalami peningkatan kuantitatif. Kesadaran berlawan meuncul dimana-mana. Sikap anti-penindasan
mengeras seiring dengan menjamurnya ormas/asosiasi/perkumpulan tani skala lokal dan nasional.
Pemaknaan akan persatuan juga meninggi dengan makin menguatknya konsolidasi-konsolidasi dalam
bangunan aliansii dan kerjasama lintas-organ. Suatu kemajuan gerakan yang menggembirakan?
Sekali lagi : BELUM! Gerakan tani akan menemukan muara perjuangannya bila BERHASIL
MENGATASI KONTRADIKSI POKOKNYA. Persatuan kaum tani harus dicabut dari akar sektoralnya demi
tugas penuntasan REVOLUSI DEMOKRATIK. Otot perlawanan tani harus ditarik sekencang-kencangnya
dalam atmosfir politik nasional dan arus besarar gerakan demokratik perkotaan. Dengan demikian,
usungan program perjuangan gerakan tani juga berkeharusan menuntut demokrasi yang sepenuh-
penuhnya bagi rakyat miskin Indoneisa – baik di desa dan kota. Dengan demikian, aliansi gerakan tani
pedesaan dengan gerakan demokratik perkotaan adalah keharusan politik yang tak terelakkan. Blok
oposisi desa-kota tak bisa ditawar-tawar lagi!
Bangunan blok persatuan juga dimaknai sebagai sekolah politik rakyat. Proses pencerahan politik
lintas sektor harus dilakukan seintensif mungkin. Keterbelakangan edikasi politik pedesaan akibat
minimnya jalur informasi dan jalur transportasi yang tersedia harus diatasi secepat-cepatnya. Demi
mengupayakan peningkatan kualitas pemahanan politik kaum tani, gerakan demokratik perkotaan harus
(1) Mengirim bacaan gerakan sebanyak mungkin dan masuk menjadi organiser ke basis-basis pedesaan,
bekerja bersama Rakyat Tani berlawan. (2) Membuahkan juru bicara-juru bicara gerakan tani di tingkat
nasional bersama corong-corong legal terbukanya.
Bravo, bagi pembangunan Blok Oposisi Demokratik! Proviciat, bagi mereka yang sedang bekerja di
kalangan kaum tani dan bagi mereka yang segera menyiapkan diri menyusul !!!

Halaman 7 dari 7

Anda mungkin juga menyukai