Anda di halaman 1dari 4

Nama : Eka Andriani

Mata Kuliah : Perekonomian Indonesia

Tugas :
Lakukan Kajian terhadap Grand Strategy Pembangunan Ekonomi khususnya Industrialisasi
berbasis Pertanian.
– Bagaimana kondisi selama Orde Baru
– Bagaimana pengalaman negara lain
– Bagaimana strategy kedepan

Kondisi selama orde Baru


Salah satu keberhasilan Soeharto dalam 30 tahun memimpin Indonesia adalah mengurangi kemiskinan
melalui antara lain pembangunan sektor pertanian pada masa awal Orde Baru. Pilihan pada pembangunan
pertanian karena sebagian besar penduduk Indonesia hidup dari sector ini, bekerja sebagai petani pemilik
atau sebagai buruh tani. ”Pembangunan sektor pertanian diharapkan akan membuka kemungkinan
pertumbuhan pada sektor-sektor lain sehingga peluang akan tercipta untuk mengatasi keterbelakangan
ekonomi Indonesia di berbagai sektor” (Anne Booth, The Indonesian Economy in The Nineteenth and
Twentieth Century, 1998, mengutip Departemen Penerangan tahun 1969).
Kebijakan konsisten Pilihan membangun pertanian kemudian di dukung dengan kebijakan makro dan
mikro yang konsisten. Pada akhir tahun 1960-an, pembangunan pertanian, terutama produksi beras,
mendapat alokasi dana 30 persen, termasuk untuk irigasi, prasarana yang diperlukan untuk meningkatkan
produksi. Dana 20 persen dianggarkan untuk membangun jalan sehingga petani memiliki akses
mendapatkan sarana produksi, terutama pupuk, dan juga akses untuk menjual produk pertanian mereka
(Booth, 1998).
Soeharto, misalnya, tetap mendirikan pabrik pupuk urea meskipun ketika itu Bank Dunia tak setuju
dengan keinginan itu. Pembangunan Jangka Panjang (PJP) I (1969-1994) ditekankan pada pembangunan
pertanian dengan menjaga harga pangan, terutama beras, untuk mencapai ketahanan pangan. Ketahanan
pangan, demikian ekonom pengamat pertanian Indonesia, C Peter Timmer (International Agriculture
Development, 1998), menjamin pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.
Kebijakan ekonomi makro diterjemahkan melalui kebijakan fiskal dan moneter, kebijakan anggaran dan
kontrol inflasi, serta dari sisi kebijakan mikro, nilai tukar, tingkat suku bunga, dan tingkat upah untuk
menjamin harga pangan dan nilai tukar perkotaan dan perdesaan. Hasil program stabilisasi pangan (beras)
antara akhir 1960- an hingga awal 1970-an ketika beras menyumbang pada seperempat ekonomi
Indonesia— adalah pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen per tahun. Pada awal 1990-an, ketika beras
menyumbang hanya 5 persen dari ekonomi Indonesia, kebijakan menjaga harga beras menyumbang
pertumbuhan ekonomi 0,2 persen di tengah ketidakstabilan harga dunia. Menurut Timmer, selama PJP I,
kebijakan menjaga harga beras menaikkan PDB 11 persen.
Untuk Indonesia, ketahanan pangan berarti penurunan jumlah orang miskin melalui pembangunan
ekonomi berorientasi desa dan pengendalian harga beras disertai peningkatan produktivitas. Meskipun
harga pangan, terutama beras, dikendalikan, tetapi petani juga dijamin mendapat sarana produksi dalam
jumlah dan waktu tepat dengan harga stabil dan terjangkau. Di luar beras dan palawija, Soeharto berhasil
membebaskan Indonesia dari penyakit mulut dan kuku pada ternak yang sudah 100 tahun ada di
Indonesia, meningkatkan produksi daging dan telur ayam, serta susu.
Melompat Keberhasilan itu melahirkan masalah baru, yaitu kelebihan pasokan. Tantangan berikut adalah
membangun sektor hilir (off farm) untuk mengolah kelebihan produksi pertanian dan mendapatkan nilai
tambah berlipat. Untuk itu perlu memperkuat dan membangun infrastruktur agrobisnis dari hulu hingga
hilir, seperti industri manufaktur dan finansial. Penguatan pada infrastruktur agrobisnis ini, seperti
disebutkan ahli ekonomi pertanian, Bungaran Saragih, menjamin petani tetap bergairah berproduksi
karena ada jaminan harga produk dan menciptakan lapangan kerja. Bila kebijakan pembangunan
pertanian (sektor hulu) on farm yang terus berlanjut selama pemerintahan Soeharto tampak jelas,
pembangunan di sektor off farm pada PJP II (1995-2020) tidak terlalu tegas.
Pemerintah memiliki kebijakan industri pertanian, tetapi sektor nonpertanian mendapat perhatian lebih
besar karena ekonomi Indonesia makin terdiversifikasi dan ada kebutuhan membangun industri pengganti
barang impor. Soeharto yang pada masa mudanya tekun, teliti, dan sabar membangun, semakin
bertambah usia ingin Indonesia sesegera mungkin diakui sejajar dengan bangsa-bangsa maju.
Hal ini tampak jelas pada pilihan teknologi tinggi pesawat terbang, meskipun industri ini tidak didukung
keunggulan komparatif dan kompetitif Indonesia, yaitu pertanian dan sumber daya alam. Padahal,
teknologi tinggi pun dapat dikembangkan pada bidang pertanian dan sumber daya alam melalui
bioteknologi, misalnya, untuk menghasilkan pangan, kesehatan, dan energi. Ketika tahun 1985 Soeharto
menerima penghargaan dari Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) untuk keberhasilan menjadikan
Indonesia dari pengimpor terbesar menjadi swasembada beras tahun 1984, Indonesia mengalahkan China
dan India sebagai calon penerima penghargaan. Petani Indonesia bahkan dapat berinisiatif
menyumbangkan gabah mereka untuk membantu kelaparan di Etiopia dan kemudian Soeharto setuju.
Inisiatif petani Indonesia mendirikan pusat pelatihan pertanian di Tanzania dan Gambia. Setelah semua
pengalaman itu, Indonesia kini masih direpotkan masalah ketersediaan pangan, produksi sektor on farm,
dan menurunkan jumlah orang miskin, meskipun sampai awal 1990-an pangan, terutama beras, berhasil
menjadi sumber pertumbuhan ekonomi dan penurunan kemiskinan. Sementara India, dan terutama China,
berhasil melalui tahap pembangunan agroindustri serta praktis dapat mencukupi kebutuhan pangan
rakyatnya. Kombinasi antara pertumbuhan, menjaga harga, dan penurunan jumlah orang miskin berada di
ruang politik ekonomi yang bukan sekadar diwacanakan.
Pengalaman negara lain dalam bidang pertanian
Sejak zaman dahulu bangsa Jepang sudah mengenal adanya pertanian. Perkembangan pertanian di Jepang
diawali dengan penggunaan alat-alat pertanian yang terbuat dari besi serta tehnologi pembuatannya. Saat
itu mata pencaharian penduduk Jepang tergantung pada lapangan kerja sektor pertanian dengan usaha tani
padinya, yang oleh bangsa Jepang dianggap sebagai bagian dari budaya bangsa dan sebagai suatu
warisan, atau peninggalan leluhur suatu keluarga Pertanian di Jepang mengalami perubahan setelah
Perang Dunia ke2 berakhir, hal ini terjadi karena banyaknya perubahan dalam kehidupan masyarakat
Jepang yang di akibatkan dari berkembangnya kondisi sosial ekonomi disegala bidang, khususnya
diakibatkan dengan majunya secara pesat industrialisasi dan urbanisasi. Bersamaan dengan itu ditetapkan
kebijaksanaan Land Reform yang menghapuskan sistem penyewaan tanah oleh tuan tanah sehingga
mengakibatkan mayoritas petani menjadi petani pemilik. Perubahan status ini mendorong terbentuknya
rumahtangga-rumahtangga petani dengan bentuk pertanian berskala kecil yaitu petani yang memiliki dan
mengolah lahan pertaniannya dengan luas lahan kurang dari lima hektar Karena pesatnya perkembangan
industri dan tehnologi, khususnya tehnologi di sektor pertanian serta meningkatnya permintaan kebutuhan
tenaga kerja mengakibatkan kecendrungan sebagian anggota keluarga petani yang mempunyai lahan
sempit, khususnya laki-laki yang berusia produktif mencari pekerjaan sambilan di luar sektor pertanian,
yang kemudian mengakibatkan usaha pertanian keluarga hanya dikerjakan oleh para wanita dan lanjut
usia. Masing- masing dari mereka itu memperoleh pendapatan bersih untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya, hal inilah yang disebut dengan Usaha Tani Paruh Waktu yaitu petani yang memperoleh
pendapatan bukan saja dari sektor pertanian tetapi juga dari sektor lain selain pertanian Atas dasar
tersebut Usaha Tani Paruh Waktu dibagi menjadi dua katagori yaitu katagori pertama adalah keluarga
petani yang memperoleh pendapatan bersih dari sektor pertanian lebih besar dari sektor nonpertanian dan
katagori kedua adalah keluarga petani yang memperoleh pendapatan bersih dari sektor pertanian lebih
kecil dari sektor nonpertanian. Pertumbuhan industrialisasi di Negara Jepang berjalan sangat pesat
mengakibatkan luas lahan pertanian semakin sempit dan menyebabkan luas lahan pertanian yang diolah
dan digarap oleh keluarga petani, baik yang berskala kecil maupun besar menjadi sempit. Hal ini
sekaligus mengakibatkan bertambahnya jumlah petani berskala kecil. Jenis keluarga petani inilah yang
merupakan ciri pertanian di Negara Jepang pada masa pasca perang.
Dengan berkurang dan semakin tuanya angkatan kerja di pedesaan, Jepang mengembangkan teknologi
robot pemanen buah.
Yuichi Mori tidak menanam buah dan sayuran di tanah. Dia bahkan tidak memerlukannya.
Ilmuwan Jepang ini malahan bergantung pada materi yang awalnya dirancang untuk mengobati ginjal
manusia — selaput polimer bening dan berpori.
Tanaman tumbuh di atas selaput, yang membantu penyimpanan cairan dan nutrien.
Selain memungkinkan tanaman tumbuh dalam keadaan apapun, teknik ini menggunakan air 90% lebih
sedikit dibandingkan pertanian tradisional dan tidak lagi memakai pestisida karena polimer menghambat
virus dan bakteri.
Ini adalah salah satu cara Jepang – yang kekurangan lahan dan sumber daya manusia – melakukan
revolusi pertanian.
Kemampuan agroteknologi untuk meningkatkan ketepatan dalam mengamati dan memelihara tanaman
kemungkinan akan berperan penting di masa depan.
Laporan PBB tahun ini tentang Pengembangan Sumber Daya Air/UN World Report on Water Resources
Development memperkirakan 40% produksi biji-bijian dan 45% Produk Domestik Bruto/Gross Domestic
Product dunia akan bermasalah pada tahun 2050 jika kerusakan lingkungan dan sumber daya air berlanjut
pada tingkat yang terjadi sekarang.
Metode budi daya seperti yang dikembangkan Yuichi Mori telah digunakan di lebih 150 daerah di Jepang
dan tempat-tempat lain seperti Uni Emirat Arab (UAE).
Metode ini terutama penting dalam membangun kembali daerah pertanian Jepang timur laut yang
tercemar berbagai zat dan radiasi dari tsunami setelah gempa besar dan bencana nuklir pada bulan Maret
2011.
Traktor robot
Karena penduduk bumi diperkirakan akan meningkat dari 7,7 miliar orang menjadi 9,8 miliar orang pada
2050, berbagai perusahaan menduga permintaan akan ketersediaan makanan dapat menciptakan
kesempatan bisnis besar, disamping juga kebutuhan akan permesinan.
Pemerintah Jepang saat ini memberikan subsidi bagi pengembangan 20 jenis robot yang mampu
membantu berbagai tahapan pertanian, mulai dari pembenihan sampai pemanenan berbagai tanaman.
Bekerja sama dengan Hokkaido University, pabrik mesin Yanmar misalnya mengembangkan traktor
robot yang telah di uji di lapangan.
Satu orang dapat mengoperasikan dua traktor pada waktu yang sama karena sensor dapat
mengidentifikasi berbagai hambatan dan menghindari tabrakan.
Pertanian dengan lebih sedikit orang
Lewat teknologi, pemerintah Jepang berusaha menarik perhatian anak muda yang sebelumnya kurang
tertarik bekerja di lahan, tetapi tertarik pada teknologi.
Ini adalah usaha untuk membangkitkan sektor ekonomi yang mengalami penurunan sumber daya
manusia.
Dalam 10 tahun, jumlah warga Jepang yang terlibat dalam produksi pertanian turun dari 2,2 juta orang
menjadi 1,7 juta orang.
Sementara umur rata-rata pekerja sekarang adalah 67 tahun dan sebagian besar petani bekerja paruh
waktu.
Keadaan topografi juga sangat membatasi pertanian Jepang, yang hanya dapat memproduksi 40% dari
pangan yang dibutuhkan.
Sekitar 85% daratannya adalah perbukitan dan sebagian besar lahan yang tersisa dipakai untuk menanam
beras.
Semprotan dari atas
Penurunan konsumsi beras per tahun, dari 118 kg pada 1962 menjadi kurang dari 60 kg pada 2006,
membuat Jepang mulai mendorong diversifikasi pertanian.
Tetapi tanpa bantuan manusia, petani harus menggantungkan diri pada mesin dan bioteknologi.
Semakin banyak pesawat tak berawak digunakan karena mesin ini dapat melakukan pekerjaan yang
dilakulan satu hari oleh manusia, hanya dalam waktu setengah jam.
teknologi tinggi juga memungkinkan perluasan lahan tanaman pangan tanpa tanah.
Lewat produksi di rumah kaca dan hidroponik, Jepang dapat meningkatkan produksi buah dan sayur.
Produktivitasnya 100 kali lebih tinggi dibandingkan metode konvensional. Lewat alat sensor, perusahaan
mengontrol cahaya buatan, nutrien larutan, tingkat karbondioksida dan suhu.
Pasar hidroponik saat ini senilai US$1,5 miliar atau Rp21 triliun di dunia, tetapi perusahaan konsultan
Allied Market Research memperkirakan angkanya akan berlipat lebih empat kalinya pada 2023.
Transfer teknologi
Jepang juga berjanji membantu negara-negara Afrika untuk menggandakan produksi beras menjadi 50
juta ton pada 2030.
Di Senegal, Jepang menanam modal dalam pelatihan teknisi pertanian dan mentransfer teknologi
terutama terkait dengan irigasi.
Produktivitas kemudian meningkat dari empat ton menjadi tujuh ton beras per hektare. Pemasukan petani
naik sekitar 20%.
Jepang meningkatkan investasi swasta dan perdagangan mesin pertanian berkelanjutan di benua Afrika.
Mereka juga bekerja sama dengan Vietnam dan Myanmar, di samping Brasil.
Tetapi tujuan utama revolusi Jepang adalah memperbaiki keamanan pangannya sendiri. Pemerintah
Jepang berkeinginan untuk menghasilkan paling tidak 55% dari pangan yang negaranya perlukan pada
2050.

Strategy Kedepan Untuk Bidang Pertanian Indonesia

Anda mungkin juga menyukai