MODUL 2 Pertanian dan Industrialisasi Di Indonesia Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, M.Ec
Kegiatan Belajar 1 Pertanian Indonesia
A. PERKEMBANGAN PERTANIAN INDONEISA
Pertanian Indonesia menghadapi perkembangan yang memprihatinkan. Lahan pertanian menyusut sementara jumlah petani meningkat. Kepemilikan lahan petani juga berkurang secara drastis. Pendapatan petani rendah, sehingga banyak yang mencari pekerjaan di sektor non-pertanian. Sistem ekologi rusak dan terancam. Sejarah kolonialisme dan sistem ekonomi yang mempengaruhi struktur pertanian. Reformasi sosial belum berhasil mengubah kondisi tersebut. Revolusi Hijau berhasil mencapai beras swasembada, tetapi lebih menguntungkan petani dengan tanah luas. Liberalisasi pertanian memukul petani dalam negeri dan kesejahteraan mereka tidak meningkat secara signifikan. Secara garis besar fase-fase penting perkembangan kondisi, sistem dan struktur pertanian Indonesia adalah sebagai berikut : 1. Struktur pertanian Indonesia tidak lepas dari bentukan proses kolonialisme bangsa asing yang berlangsung sangat lama. 2. Sistem kapitalis-liberal yang berlaku sesudahnya pun hanya menjadikan Indonesia sebagai ondernaming besar sekaligus sumber buruh murah bagi perusahaan-perusahaan swasta Belanda. 3. Reformasi agraria melalui UU Pokok Agraria 1960 yang mengatur redistribusi tanah dan UU Perjanjian Bagi Hasil (1964) yang mengubah pola bagi hasil untuk mengoreksi struktur pertanian kolonial justru makin kehilangan vitalitasnya, terlebih di era Orde Baru yang berorientasi mengejar pertumbuhan ekonomi tinggi (dan menganut developmentalisme) 4. Revolusi hijau yang mengimbas ke Indonesia ditandai dengan penggunaan bibit-bibit baru dan teknologi (biologis dan kimiawi) pemberantasan hama dari luar negeri Indonesia memang mampu melakukan swasembada beras tahun 1984. Namun revolusi hijau ternyata lebih menguntungkan petani bertanah luas. Produksi naik tapi pendapatan turun akibat mahalnya input pertanian, misalnya pupuk. Term of trade petani pun turun dan distribusi pendapatan makin timpang. 5. Liberalisasi pertanian yang disyaratkan IMF dan WTO kini ditandai oleh bebas masuknya produk-produk pertanian (pangan) seperti beras, gula, daging, ayam, jagung dan buah-buahan yang memukul petani dalam negeri. B. MASALAH STRUKTURAL PERTANIAN INDONEISA Masalah struktural pertanian Indonesia adalah bagaimana mentransformasikan puluhan juta kaum tani miskin marjinal ke dalam dunia pertanian yang lebih modern dan yang memungkinkan mereka hidup layak (Setiawan, 2003). Berbagai persoalan mendasar ekonomi pertanian di Indonesia, diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Jarak waktu yang lebar antara pengeluaran dan penerimaan pendapatan dalam pertanian menjadi masalah bagi petani karena mereka hanya mendapatkan pendapatan setiap musim panen, sementara pengeluaran harus dilakukan sepanjang waktu. Hal ini mengakibatkan petani terpaksa menjual tanaman mereka sebelum panen, bahkan dengan harga rendah atau sistem ijon. 2. Pembiayaan Pertanian menjadi salah satu persoalan yang sulit karena petani sering terjerat dalam utang, baik utang biasa maupun sistem ijon. Kurangnya kredit yang tersedia untuk petani kecil menghambat peningkatan produksi dan pendapatan mereka. 3. Tekanan Penduduk mencakup berbagai aspek seperti lahan pertanian yang semakin kecil, produksi bahan makanan per jiwa yang menurun, meningkatnya pengangguran, dan memburuknya hubungan pemilik tanah serta bertambahnya utang-utang pertanian. Masalah ini berkaitan dengan kehidupan sehari-hari petani dan distribusi penduduk yang tidak merata. 4. Pertanian Subsistem merupakan sistem bertani di mana petani bertujuan memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri dan keluarganya. Keterbatasan lahan dan kepemilikan yang tidak merata menyebabkan petani subsistem hidup dalam kemiskinan. Selain itu, distribusi modal dalam sektor pertanian juga belum merata, baik dalam bentuk modal material, intelektual, maupun institusional.
C. KEBIJAKAN-KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN
1. Kebijakan Harga : kebijakan pangan murah Kebijakan Pangan Murah Secara teoretis kebijakan harga dapat dipakai mencapai tiga tujuan, yaitu : a. Stabilisasi harga-harga hasil pertanian terutama pada tingkat petani, b. Meningkatkan pendapatan petani melalui perbaikan dasar tukar (term of trade), c. Memberikan arah dan petunjuk pada jumlah produksi 2. Kebijakan Pemasaran Kebijakan pemasaran dilakukan untuk memasarkan hasil-hasil pertanian yang bertujuan ekspor, selain pengaturan distribusi sarana produksi bagi petani. 3. Kebijakan Struktural Kebijakan struktural dalam pertanian dimaksudkan untuk memperbaiki struktur produksi misalnya luas pemilikan lahan, pengenalan dan pengusahaan alat-alat pertanian yang baru, dan perbaikan sarana pertanian yang umumnya baik prasarana fisik maupun sosial ekonomi.
D. PERTANIAN INDONESIA DI ERA LIBERALISASI
• Liberalisasi sektor pertanian diawali dengan masuknya Indonesia ke dalam Perjanjian Pertanian (Agriculture on Agreement/AoA) di tahun 1995 dan diterimanya Letter of Intent (LoI) IMF tahun 1997. • Liberalisasi pertanian secara sederhana diwujudkan dengan menyerahkan sistem pertanian (dan nasib petani) kepada mekanisme pasar (bebas), yang kemudian berlaku liberalisme pertarungan bebas (free fight liberalism). • Liberalisasi pertanian telah merugikan pertanian Indonesia. Misalnya liberalisasi pemberasan yang dilakukan IMF telah berdampak buruk pada. Liberalisasi pertanian meliputi pengurangan dukungan domestik, pengurangan subsidi ekspor, dan perluasan akses pasar. E. PEMBANGUNAN PERTANIAN YANG MENYEJAHTERAKAN PETANI Beberapa kebijakan khusus untuk meningkatkan kesejahteraan petani : 1. Mencapai swasembada beras : Indonesia harus berjuang untuk swasembada beras untuk mengurangi ketergantungan pada impor. Pemerintah harus memberi insentif kepada petani padi melalui subsidi, termasuk subsidi kredit, untuk meningkatkan produksi. 2. Mempromosikan produksi jagung dan kedelai : Saat ini Indonesia mengimpor jagung dan kedelai dalam jumlah yang cukup besar untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, terutama untuk sektor peternakan. Kebijakan yang mendukung produksi tanaman tersebut yang dikenal dengan istilah palawija direkomendasikan untuk mengurangi ketergantungan impor dan mendukung pertumbuhan industri peternakan. 3. Reformasi kebijakan perkebunan tebu dan industri gula : Kebijakan masa lalu, seperti Inpres No. 9 Tahun 1975, yang melarang pabrik gula menyewa lahan dari petani, berdampak negatif terhadap produksi dan tata niaga gula di Indonesia. Pendekatan kebijakan yang komprehensif dan nasionalistik diperlukan untuk menghidupkan kembali pertanian tebu dan industri gula, yang juga harus dikaitkan dengan kebijakan harga dasar beras. 4. Revitalisasi kebijakan harga dasar beras dan kaitannya dengan komoditas pertanian lainnya : Pemerintah harus meremajakan kebijakan harga dasar beras dan mempertimbangkan keterkaitannya dengan harga komoditas lain seperti gula, jagung, kedelai, dan input pertanian seperti pupuk dan pestisida. Memastikan hubungan harga yang menguntungkan (Term of Trade) antara komoditas pertanian dan input yang diperlukan sangat penting.
Kegiatan Belajar 2 Industrialisasi di Indonesia
A. SEJARAH PERKEMBANGAN INDUSTRIALISASI DI INDONESIA
• Industrialisasi di Indonesia mulai berkembang pada pemerintahan rejim Orde Baru yaitu setelah UU No.1 Tahun 1967 tentang investasi asing ditetapkan. Sejak awal dekade 1970-an hingga pertengahan dekade 1980-an pemerintah mengembangkan strategi Industri Substitusi Impor (ISI). Meskipun strategi ISI diharapkan mampu menghemat devisa, namun yang terjadi justru sebaliknya karena pemerintah menekankan pada produksi barang mewah yang berteknologi tinggi dan padat modal serta sangat tergantung pada pasokan input dari negara maju. • Didorong oleh keadaan tersebut dan jatuhnya harga minyak pada awal 1980-an, pemerintah mengubah strategi industrialisasi dari Industri Substitusi Impor (ISI) menjadi Industri Promosi Ekspor (IPE).
B. STRUKTUR INDUSTRI DI INDONESIA
Struktur industri di Indonesia masih shallow dan unbalanced. Penelitian menunjukkan bahwa hubungan ekonomi antara industri skala besar, menengah, dan kecil sangat minim, kecuali untuk beberapa subsektor seperti makanan, produk kayu, dan kulit. Selain itu, struktur industri masih didominasi oleh perusahaan-perusahaan kuasi-monopolistik dan oligopolistik. Rasio konsentrasi industri manufaktur juga tinggi, dengan rata-rata sebesar 47 persen, lebih tinggi daripada negara maju seperti Inggris (22 persen) dan AS (36 persen). Konsentrasi industri yang tinggi ini menyebabkan kurangnya tekanan persaingan dan minimisasi biaya. Industri besar mendapatkan fasilitas yang menguntungkan dari pemerintah, sementara industri rakyat tidak mendapatkan dukungan yang memadai, Tidak ada kaitan ekonomis yang signifikan antara industri besar dan industri rakyat tersebut.
• Masalah disertai kebijakan pemerintah :
1. Pemerintah justru menekankan pada produksi barang mewah yang berteknologi tinggi dan padat modal serta sangat tergantung pada pasokan input dari negara maju. Akibatnya jatuhnya harga minyak. Kebijakan : Pemerintah mengubah strategi industrialisasi dari Industri Substitusi Impor (ISI) menjadi Industri Promosi Ekspor (IPE 2. Pemerintah berusaha memacu pertumbuhan industri berorientasi ekspor. Kebijakan: Pemerintah memberi kemudahan permodalan dan izin investasi untuk PMA dan PMDN 3. Pemerintah menggairahkan industri terutama bidang manufaktur Kebijakan : Pemerintah meringankan syarat PMA dengan memperbolehkan kepemilikan modal sampai 20 persen dan berkembang hingga 51 persen setelah 10 tahun beroperasi • Pemerintah menetapkan kebijakan : 1. Harga pada beberapa industri penghasil produk strategis seperti cengkeh, baja, dan kertas koran. 2. Restrukturisasi, penyesuaian eksternal, peningkatan daya saing, efisiensi dan deregulasi merupakan alasan yang sering dijargonkan pemerintah untuk menetapkan kebijakan industri. Namun sesungguhnya ada tarik menarik antara pro-nasionalis dan pro-efisiensi.
C. MASALAH STRUKTURAL INDUSTRI DI INDONESIA
• Struktur industri di Indonesia masih belum dalam (shallow) dan belum seimbang (unbalanced). Kaitan ekonomis antara industri skala besar, menengah dan kecil masih sangat minim, kecuali untuk subsektor makanan, produk kayu dan kulit. Ini diperparah dengan struktur industri yang masih dikuasai monopolistik dan oligopolistik. • Industri besar di Indonesia dikuasai oleh perushaan-perusahaan besar yang dimiliki oleh sedikit orang. Mereka mendapatkan berbagai fasilitas yang menguntungkan dari pemerintah. Sebaliknya industri rakyat yang dikerjakan oleh lebih banyak orang tidak mendapatkan fasilitas yang memadai. • Pertumbuhan industrialisasi di Indonesia relatif masih rendah dibandingkan beberapa negara di ASEAN. Perhitungan tersebut didasarkan pada kemampuan ekspor di pasar internasional, nilai tambah industri, dan penggunaan teknologi dalam kegiatan industri. Hal ini menyebabkan kelesuan sektor industri dan sektor lainpun akan terhambat karena sulitnya investasi baik dari dalam negeri maupun luar negeri. • Ada lima hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan industri yaitu : 1. Peningkatan kemampuan sumber daya manusia (SDM). 2. Pembangunan infrastruktur yang memadai. 3. Investasi asing langsung atau Foreign Direct Investment (FDI). 4. Pembayaran yang dihasilkan dari investasi menarik. 5. Peningkatan riset dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memadai.
D. BIROKRASI YANG BELUM EFISIEN
Birokrasi perizinan di Indonesia memakan waktu yang lama dibandingkan dengan negara-negara tetangga di ASEAN seperti Cina dan Korea Selatan. Hal ini menyebabkan investasi di Indonesia menjadi kurang menarik, karena investor harus melewati 12 prosedur dengan waktu tunggu sekitar 151 hari. Sementara itu, Korea Selatan hanya membutuhkan 22 hari untuk prosedur yang sama. Faktor ini dapat mengakibatkan modal investasi beralih ke negara lain yang birokrasinya lebih mudah dan menjanjikan tingkat pengembalian yang lebih tinggi. Perbedaan ini terlihat dalam perbandingan biaya bisnis di beberapa negara, di mana Indonesia memiliki lama/durasi yang tertinggi. Dalam konteks ini, kemudahan birokrasi dan efisiensi waktu dan biaya menjadi faktor penting dalam menarik investasi ke suatu negara.
E. KLASIFIKASI DAN KONSENTRASI INDUSTRI DI INDONESIA
Sektor industri di Indonesia merupakan sektor utama dalam perekonomian dan menjadi penyumbang terbesar dalam pembentukan PDB. Terdapat empat kategori dalam penggolongan industri, yaitu industri besar, industri sedang, industri kecil, dan industri kerajinan rumah tangga, berdasarkan jumlah tenaga kerja yang ada. Industri dapat dikelompokkan menjadi sektor primer, sekunder, dan tersier berdasarkan jenis hasilnya. Investasi asing di sektor industri mengalami pasang surut setelah krisis ekonomi tahun 1997/1998. Sektor industri sekunder merupakan sektor yang paling banyak mendapat investasi asing, namun terjadi penurunan sejak tahun 2001. Industri tersier menjadi yang terbesar pada tahun 2010-2011. Selama periode 2010-2014, tidak terjadi perubahan signifikan dalam struktur investasi di Indonesia, dengan sektor sekunder masih mendominasi. Dalam lima tahun terakhir, alokasi investasi asing (PMA) menunjukkan sektor sekunder yang mendapatkan alokasi terbesar, diikuti oleh sektor primer dan tersier. Namun, pada tahun 2010-2011 terjadi peningkatan investasi asing pada sektor tersier. Meskipun terdapat pertumbuhan ekonomi yang baik pada periode tersebut, struktur alokasi investasi cenderung kembali stagnan pada tahun-tahun berikutnya.
F. KEPEMILIKAN DAN PENGEMBANGAN INDUSTRI
Kepemilikan industri di Indonesia telah mengalami perubahan signifikan seiring waktu. Sebelum tahun 1980-an, perusahaan milik pemerintah dominan dan berperan penting dalam perekonomian, sementara investasi asing terbatas. Namun, pada tahun 1980-an, pembatasan terhadap modal asing dihapuskan, yang mengakibatkan peningkatan investasi asing dan eksploitasi sumber daya yang besar. Krisis ekonomi tahun 1997 mempengaruhi perusahaan-perusahaan di Indonesia, terutama sektor perbankan. Sebagai bagian dari kesepakatan dengan IMF, pemerintah menjual aset-aset negara dan perusahaan BUMN untuk mengurangi beban keuangan dan meningkatkan efisiensi. Saat ini, kepemilikan industri di Indonesia lebih terbuka, dengan pemerintah masih memiliki sebagian besar saham dalam sektor vital. Pemerintah juga mendorong investasi lokal untuk mengembangkan industri domestik dan menciptakan iklim yang kondusif untuk pertumbuhan industri di dalam negeri.
G. KEBIJAKAN INDUSTRI INDONESIA
Beberapa hal yang bisa ditawarkan sebagai solusi terhadap permasalahan industrialisasi tersebut adalah sebagai berikut : 1. Membuat regulasi yang jelas terkait kebijakan industri dan teknologi di Indonesia. 2. Membuat regulasi baru agar setiap industri memberikan sharing minimal 15 persen dari asetnya baik berupa SDM maupun dana untuk kegiatan new development dan design produk dengan keharusan menyertakan tenaga kerja lokal. 3. Secara umum menaikkan iklim penelitian baik di instansi pemerintah seperti LIPI dan BPPT, juga di berbagai perguruan tinggi dalam koridor kerja sama R&D pada teknologi terapan (applied technology) yang dibiayai oleh industri. Dengan demikian, di satu sisi lembaga penelitian dan perguruan tinggi yang telah menjadi BHMN tidak kesulitan dana ketika melakukan penelitian dan di sisi lain industri tetap menerima teknologi yang tepat guna dan terbaru.
H. TANTANGAN INDUSTRI NASIONAL DI ERA GLOBALISASI
Tantangan industri nasional di era globalisasi meliputi perlunya menghilangkan proteksi yang menghambat efisiensi industri besar di Indonesia, meningkatkan kandungan teknologi, mengurangi ketergantungan pada industri modal dan input luar negeri, serta mempersiapkan infrastruktur dan kelembagaan untuk meningkatkan daya saing di pasar global. Industri rakyat berbasis koperasi menjadi pengembangan strategis yang dapat tangguh menghadapi gejolak eksternal dan memberikan keunggulan yang tidak tergantung pada fasilitas eksternal. Pemerintah perlu memberikan dukungan yang dapat mendorong pertumbuhan dan perkembangan industri rakyat di era globalisasi.
SUMBER REFERENSI : Hamid, E. S. (2018) Perekonomian Indonesia MODUL 2