Anda di halaman 1dari 2

Nama : Dinar Okti Noor Satitah

NIM : 207420100509
Mata Kuliah : Hukum Internasional

1. Adalah Thomas Robert Malthus (1766) yang pertama kali menyatakan kekhawatiran terhadap
krisis pangan. Bahwa laju pertambahan penduduk meningkat berdasarkan deret ukur,
sedangkan produksi pangan berdasarkan deret hitung. Dapat dikatakan bahwa teori Malthus
mengingatkan bahwa secara alamiah generasi yang akan datang memiliki permasalahan yang
lebih kompleks berkaitan dengan ketersediaan pangan dibanding generasi sebelumnya.
Kecemasan Malthus kemudian dijadikan dasar alasan bagi Norman Bourlag (1995) untuk
merealisasikan gagasannya dengan sebutan revolusi hijau. Negara-negara berkembang
diwajibkan untuk melakukan liberalisasi pertanian oleh Bank Dunia dan IMF, dan
mendorong keterlibatan investor-investor besar di bidang pertanian untuk mendorong
komersialisasi. Dengan portofolio kebijakan ini, banyak negara kemudian mengabaikan
produksi pangan berbasis kebutuhan rakyat dan kearifan lokal.

Pengenalan monokultur secara besar-besaran di negara berkembang oleh negara maju melalui
revolusi hijau dipelopori oleh International Centre for Wheat and Maize Improvement di
Meksiko dan International Rice Research Institute (IRRI) di Filipina yang dikendalikan
Consultative Group on International Agricultural Research yang didirikan Bank Dunia tahun
1970. Mekanisme liberalisasi yang harus dilakukan oleh negara-negara berkembang karena
desakan Bank Dunia dan IMF tersebut, telah membuat harga-harga pangan mutlak ditentukan
oleh mekanisme pasar. Dengan kebutuhan yang tinggi dan keterbatasan stok, membuat
spekulan di pasar komoditas mampu mempermainkan harga. Di Indonesia, dapat kita lihat
adanya beberapa komoditas yang harganya bisa tiba-tiba naik, dan jika tidak diantisipasi akan
berdampak pada stabilitas nasional.

Secara normatif, negara-negara juga saling menjalin hubungan satu sama lain guna
terciptanya perdamaian dan saling membantu dalam pemenuhan kebutuhan masing-masing.
Dalam hal ini, negara saling bergantung satu sama lain sehingga dapat dilihat melalui
pendekatan teori domino. Apabila terjadi krisis di suatu negara, maka akan berimbas di
negara lainnya karena interkoneksi sistem bisnis global yang saling terkait. Krisis yang
terjadi di Amerika Serikat yang terjadi akibat subprime mortgage tahun 2008 dengan cepat
menyebar ke berbagai negara di seluruh dunia tak terkecuali Indonesia. Dalam konteks
pangan, penyebab dari ancaman pangan sangat beragam, mulai dari susahnya akses ke
ladang, kemiskinan, turunnya jumlah pendapatan saat panen, dampak kenaikan harga minyak,
proteksi kebijakan perdagangan, perubahan iklim, bahkan praktik pertanian yang tanpa
perhitungan seperti penggunaan pestisida. Dengan adanya ketergantungan di bidang pertanian
dari negara berkembang ke negara maju, maupun ketergantungan pangan antar negara,
membuat jika terjadi krisis pangan akan membuat stabilitas negara terganggu. Contohnya
dalam konflik Rusia-Ukraina yang selama ini memasok tigapuluh persen gandum dunia.
Akibat konflik ini, harga gandum dunia naik 21 persen, harga barley dunia naik 33 persen.
2. Krisis pangan dalam konteks Hukum Internasional dapat dianalisis dengan konsep ketahanan
pangan (Food Security). Istilah ketahanan pangan pertama kali digunakan pada tahun 1971
oleh PBB untuk membebaskan dunia terutama negara-negara berkembang dari krisis
produksi dan krisis suplai makanan pokok. Selanjutnya definisi tersebut disempurnakan pada
Internasional Conference of Nutrition 1992 yang disepakati oleh pemimpin negara anggota
PBB dengan menyatakan bahwa tersedianya pangan yang memenuhi kebutuhan setiap orang
baik dalam jumlah dan mutu pada setiap saat untuk hidup sehat, aktif dan produktif. Namun,
banyak perubahan terkait definisi kemanan pangan dari tahun ke tahun, misalnya perubahan
dari yang awalnya berfokus pada ketersediaan-penyediaan (supply and availability) ke
perspektif hak dan akses (entitlement), bahkan sejak tahun 1980an, diskursus ketahanan
pangan didominasi oleh hak atas pangan (food entitlement), risiko dan kerentanan
(vulnerability).
Indonesia masih dominan menggunakan perspektif ketersediaan-penyediaan saja, dan tidak
terlalu memikirkan distribusi dan akses

Anda mungkin juga menyukai