Anda di halaman 1dari 6

Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik .

Universitas Indonesia

Ujian Akhir Semester Pembangunan Internasional


Nama : Erika
NPM : 0706291243
Pertanyaan : Bagaimana masalah pangan dunia menjadi masalah politik internasional?
Apakah solusi yang ada saat ini benar-benar solusi atau menjadi sumber
masalah baru?

Politisasi Pangan Dunia


Analisa terhadap Permasalahan Pangan Dunia dan Solusi yang Ada

Perkembangan populasi dunia yang masif, didukung dengan peningkatan daya


konsumsi masyarakat telah mendatangkan dampak tersendiri bagi ketersediaan pangan dunia.
Dunia kini sedang menghadapi suatu krisis pangan, yang menyebabkan banyak populasi
dunia tidak dapat memenuhi kebutuhan gizinya. Sebuah data menyebutkan, bahwa lebih dari
2 milyar orang menderita kondisi malnutrisi.1 Masalah kelaparan dan malnutrisi ini bahkan
menyebabkan kematian lebih banyak dibanding kombinasi dari AIDS, malaria, dan
tuberkulosis; kematian karena kelaparan juga dilaporkan lebih banyak terjadi dibanding
kematian karena perang.2 Padahal, jika mau dirunut lebih lanjut, sebenarnya ketersediaan
bahan pangan dunia seharusnya cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat
dunia.3 Adapun, krisis pangan yang terjadi kemudian melahirkan istilah ketahanan pangan,
yang secara sederhana dimengerti sebagai kemampuan setiap orang untuk mencukupi
kebutuhan gizinya. Berdasarkan pengertian sederhana tersebut, sebuah negara dapat
dikatakan mengalami krisis pangan bila negara tersebut tidak mampu untuk menyediakan
pangan yang cukup bagi masyarakatnya, bisa disebabkan karena kondisi alam yang kurang
memungkinkan, atau karena berbagai hal lain.
Merunut pada pengertian sederhana tersebut, maka seharusnya masalah pangan lebih
merupakan masalah domestik suatu negara. Akan tetapi, yang terjadi sekarang ini adalah
masalah pangan telah menjadi masalah politik internasional. Mengenai perubahan masalah

1
D. John Shaw, Global Food and Agricultural Institution. (New York: Routledge, 2009), hal. 8.
2
Ibid.
3
Ibid.
Page | 1
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik .
Universitas Indonesia

pangan menjadi masalah politik internasional ini, ada tiga pandangan dalam kajian ekonomi
dan politik internasional yang membahas masalah tersebut. Pandangan pertama, pandangan
kaum Merkantilis. Menurut kaum Merkantilis, pangan merupakan salah satu unsur kekuasaan
yang penting4 di mana kepemilikan sumber pangan dapat menjadi tolak ukur kekayaan suatu
negara. Penggunaan pangan sebagai unsur kekuasaan itulah yang menjadikan masalah
pangan seringkali dipolitisasi oleh negara, seperti yang pernah dilakukan Amerika Serikat
(AS) dalam politisasi bantuan pangan yang diberikannya pada Korea Selatan, Taiwan dan
Mesir; di mana saat itu bantuan pangan AS tersebut bertujuan untuk mendukung
negara-negara pro demokrasi untuk membendung pengaruh komunis Soviet.5 Tidak hanya
itu, masalah pangan kemudian semakin terpolitisasi saat pangan dijadikan sebagai senjata
perlawanan. Hal ini lagi-lagi misalnya pernah dilakukan AS, ketika AS menggunakan kerja
sama gandum sebagai reward bagi Rusia untuk menandatangani SALT I, juga sebagai
punishment ketika AS melaksanakan embargo makanan terhadap Soviet saat Soviet
melakukan invasi ke Afghanistan.6
Pandangan kedua, pandangan liberalis, cenderung melihat masalah ketersediaan
pangan sebagai area yang tidak seharusnya dicampuradukkan dengan politik, dalam hal ini
liberalis berpendapat bahwa pemerintah seharusnya memainkan peran yang minim dan
membiarkan pasar bekerja sebagaimana mestinya untuk mencukupi kebutuhan pangan
masyarakat. Adanya campur tangan dari pemerintah nasional, lanjut liberalis, akan
mengacaukan perdagangan pangan dan akhirnya menjadikan perdagangan pangan menjadi
tidak efisien. 7 Walaupun melihat masalah pangan sebagai masalah yang seharusnya
dipisahkan dari kepentingan politik, kaum liberalis tetap berpendapat bahwa politisasi pangan
memang seringkali terjadi, yang menjadikan pemenuhan kebutuhan pangan rakyat menjadi
terhambat.
Pandangan ketiga, pandangan strukturalis, cenderung melihat masalah kelaparan
sebagai hasil dari hubungan eksploitatif antara negara maju dan negara berkembang.
4
David N. Balaam, dan Michael Veseth, Introduction to International Political Economy. (New Jersey: Pearson
Education, 2005), hal. 437.
5
Balaam, dan Veseth, op.cit., hal. 438.
6
Ibid.
7
Ibid, hal. 440.
Page | 2
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik .
Universitas Indonesia

Strukturalis melihat, ada berbagai kondisi yang mencegah pendistribusian pangan secara adil
pada tingkat lokal, nasional, dan bahkan internasional.8 Strukturalis juga melihat bantuan
pangan luar negeri seringkali diberikan dengan tujuan tertentu, dan bahwa bantuan pangan
luar negeri merupakan wujud vicious cycle, yang berdampak pada ketergantungan,
kemiskinan, dan kelaparan pada negara berkembang.9
Dari ketiga pandangan dalam kajian politik dan ekonomi internasional tersebut,
jelaslah bahwa masalah pangan seringkali menjadi masalah politik internasional karena
adanya politisasi pangan. Politisasi pangan ini lantas menyebabkan distribusi pangan menjadi
tidak merata, karena persediaan pangan dunia dikuasai oleh negara maju. Tingkat konsumsi
negara maju yang besar, didorong oleh kepemilikan kekayaan yang membuatnya mampu
mengakomodasi permintaan pangannya, menjadikan persebaran pangan menjadi berpusat
pada negara maju. Sebenarnya, negara maju menyadari adanya distribusi pangan yang tidak
merata ini, akan tetapi negara maju tetap enggan mendistribusian pangan secara sukarela ke
negara berkembang (yang seringkali merupakan negara miskin yang tidak dapat
mengakomodasi pemenuhan pangannya sendiri). Kalaupun negara maju mau
mendistribusikan pangan ke negara berkembang dengan gratis (misalnya lewat pemberian
bantuan pangan), pastilah ada agenda terselubung yang biasa berkisar pada pemenuhan
kepentingan politik dan keamanan negara maju tersebut. Saat hal ini terjadi, politisasi pangan
terjadi. Masalah pangan kemudian berkembang menjadi masalah politik internasional.
Berkembangnya masalah pangan menjadi masalah politik internasional kemudian
menuntut kerjasama dari negara-negara untuk bersama-sama mengatasi masalah ketahanan
pangan. Solusi yang kemudian ditawarkan untuk mengatasi masalah pangan adalah melalui
penekanan jumlah populasi dengan penggunaan alat-alat Keluarga Berencana (KB), serta
melalui penggunaan Green Technology (Revolusi Hijau) untuk meningkatkan persediaan
pangan dunia. Adapun solusi penggunaan alat-alat KB untuk mengurangi jumlah populasi
berangkat dari Teori Malthus yang mengatakan bahwa produksi pangan akan meningkat
secara aritmatik (penambahan), sementara populasi manusia akan meningkat secara

8
Ibid, hal. 442.
9
Ibid, hal. 443.
Page | 3
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik .
Universitas Indonesia

eksponensial (kelipatan)10, yang berarti persediaan pangan yang ada kemudian tidak akan
cukup untuk memenuhi permintaan pangan seluruh masyarakat dunia yang terus bertambah
secara masif.
Sekilas terlihat, penggunaan alat KB untuk menekan jumlah populasi merupakan
upaya yang solutif dalam menyelesaikan masalah pangan. Adapun, penulis setuju bahwa
penekanan pertumbuhan populasi merupakan hal yang perlu dilakukan, karena lahan yang
tersedia di bumi kita ini sudah tidak cukup untuk menampung lebih banyak lagi manusia.
Akan tetapi, menurut penulis, penggunaan alat KB tersebut bukanlah solusi yang tepat untuk
menyelesaikan masalah krisis pangan dunia karena sebenarnya akar permasalahan bukanlah
terletak pada terlalu besarnya permintaan pangan, akan tetapi lebih kepada distribusi pangan
yang tidak adil dan merata. Adanya distribusi pangan yang tidak merata ini, seperti telah
dijelaskan sebelumnya, menyebabkan persediaan pangan hanya terpusat pada negara-negara
maju yang mampu membeli produk pangan tersebut dengan kekayaan yang mereka miliki.
Sehingga tidaklah mengherankan jika mereka tetap dapat memenuhi kebutuhan pangannya
pada saat krisis sekalipun, bahkan dengan tingkat konsumsi yang cenderung jauh lebih boros.
Bandingkan dengan kondisi negara berkembang yang relatif masih mengumpulkan
pundi-pundi untuk membangun negaranya sendiri. Negara berkembang tidak memiliki
kekayaan cukup untuk mengakomodasi permintaan pangan mereka dikarenakan harga pangan
yang terus meroket (yang antara lain disebabkan karena tingginya permintaan pangan di
negara maju yang memang cenderung konsumtif). Ketidakmampuan negara berkembang
untuk memenuhi permintaan pangannya menjadikan produksi pangan cenderung terpusat
pada negara maju, distribusi pangan yang tidak merata pun terjadi. Penulis menganalisa,
bahwa krisis pangan yang terjadi sebenarnya lebih disebabkan karena distribusi pangan yang
tidak merata, bukan karena meningkatnya jumlah populasi. Jumlah populasi yang terus
membludak memang merupakan salah satu penyebab timbulnya krisis pangan, akan tetapi
penyebab yang utama adalah distribusi pangan yang tidak merata sehingga kiranya
penggunaan solusi KB tidak akan cukup untuk menyelesaikan masalah krisis pangan, selama
masalah distribusi pangan yang tidak merata tidak diselesaikan.
10
Balaam, dan Veseth, loc.cit., hal. 426.
Page | 4
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik .
Universitas Indonesia

Jika solusi pertama, penggunaan alat-alat KB, lebih bertujuan untuk mengurangi
tingkat permintaan akan pangan; solusi kedua, Revolusi Hijau, lebih menitikberatkan pada
usaha penambahan persediaan pangan untuk mencukupi tingginya permintaan pangan dunia.
Adapun, Revolusi Hijau ini akan dititikberatkan pada peran inovasi teknologi dan makanan
hasil rekayasa genetika (genetically modified food) sebagai usaha untuk meningkatkan hasil
panen. 11 Inovasi teknologi di sini misalnya berupa penggunaan pupuk, insektisida, dan
teknik irigasi yang semakin maju. Sementara penggunaan makanan hasil rekayasa genetika
lebih dimaksudkan sebagai penggunaan bibit unggul yang peka terhadap pupuk, insektisida,
dan teknik irigasi yang telah disebutkan sebelumnya pada inovasi teknologi. Bibit unggul ini
kemudian bila dikombinasikan dengan pupuk, insektisida, dan teknik irigasi yang maju akan
menghasilkan produksi pangan yang berlimpah dengan kualitas yang baik. Adapun upaya
inovasi teknologi dan penggunaan bibit unggul hasil rekayasa genetika ini terlihat sebagai
upaya baik yang mampu menjawab masalah pangan sehubungan dengan rendahnya
persediaan pangan dunia, akan tetapi sebenarnya upaya Revolusi Hijau ini malah
mendatangkan dampak baru bagi masyarakat berupa dampak ekologis dan sosioekonomi
yang diakibatkan dari penggunaan inovasi teknologi dan bibit unggul hasil rekayasa genetika
tersebut. Dari sisi ekologis, penggunaan pupuk dan insektisida yang pada awalnya
mendatangkan hasil positif, lama-kelamaan akan merusak lahan itu sendiri. Hal ini
dikarenakan berbagai teknologi tersebut sebenarnya tidak compatible dengan alam. Ada batas
toleransi tertentu yang dapat diterima alam, namun apabila batas itu terlewati, alam akan
kehilangan fungsinya. Tanah, misalnya, jika terus menerus diberi pupuk lama-kelamaan akan
menjadi tidak dapat ditanami lagi. Penggunaan berbagai teknologi dalam Revolusi Hijau ini
pada akhirnya akan berdampak pada rusaknya lingkungan, yang mengakibatkan tidak dapat
digunakannya lagi lahan tersebut untuk menanam pangan.
Dampak kedua dari Revolusi Hijau merupakan dampak sosioekonomi yang
menimpa masyarakat. Canggihnya teknologi yang digunakan dalam Revolusi Hijau memang
berhasil meningkatkan hasil panen, akan tetapi kecanggihan teknologi itu ternyata hanya

11
Kyle Carroll, A ‘Second’ Green Revolution? http://www.asiasociety.org/policy-politics/environment/
a-second-green-revolution, diakses pada 15 Desember 2009, pukul 20.24.
Page | 5
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik .
Universitas Indonesia

dapat diakses oleh sekelompok negara maju saja. Petani-petani di negara maju, karenanya,
dapat memperoleh hasil panen yang baik dan berlimpah dikarenakan negaranya mampu
menyediakan berbagai teknologi tersebut (yang tentunya dapat dimiliki bila negara memiliki
kekayaan yang cukup), sementara petani di negara berkembang tidak bisa mengakses
kemudahan teknologi tersebut dikarenakan harganya yang memang masih terbilang mahal.
Peralatan irigasi yang mahal, misalnya, ditambah pupuk dan insektisida serta bibit unggul
yang mahal, tidak akan bisa dijangkau oleh negara-negara berkembang. Sehingga yang akan
terjadi bila Revolusi Hijau ini terus dilakukan adalah, ketimpangan sosial dan ekonomi antara
negara maju dan negara berkembang akan semakin besar. Negara yang kaya akan semakin
kaya, sementara negara miskin akan semakin miskin, dan mereka yang kelaparan akan tetap
kelaparan. 12 Hal ini senada dengan pemikiran kaum Strukturalis dalam memandang
penggunaan bioteknologi dan Revolusi Hijau, yang mengatakan Revolusi Hijau hanya akan
berkontribusi pada kerusakan lingkungan dan hanya akan memperlebar income gap antara si
kaya dan si miskin pada negara berkembang, seperti yang terjadi pada relasi antara Utara dan
Selatan.13
Dari berbagai pemaparan di atas, penulis menyimpulkan bahwa sebenarnya dua
solusi yang kini sedang dijalankan dunia untuk mengatasi masalah krisis pangan
dunia—yaitu solusi penggunaan alat KB untuk menekan pertumbuhan populasi serta
penggunaan Revolusi Hijau untuk meningkatkan persediaan pangan dunia—tidak
menyelesaikan akar permasalahan penyebab ketimpangan pangan dunia, yaitu masalah
distribusi pangan yang tidak merata. Solusi tersebut juga berpotensi menimbulkan masalah
lain yang lebih besar yaitu kerusakan lingkungan dan dampak sosioekonomi pada masyarakat
dunia. Kedua solusi tersebut, karenanya, belum dapat menyelesaikan permasalahan pangan
dunia.

12
Frederick Huyn, Green Revolution. http://www.saharov.com/eshact/Research/GreenRevolution/
tabid/124/Default.aspx, diakses pada 15 Desember 2009, pukul 19.14.
13
Balaam dan Veseth, loc.cit., hal. 443.
Page | 6

Anda mungkin juga menyukai