Anda di halaman 1dari 16

BAB III

SISTEM PERTANIAN BERKELANJUTAN


Pada hakikatnya, system pertanian yang berkelanjutan adalah back to nature,

yakni system pertanian yang tidak merusak, tidak mengubah, serasi, selaras, dan

seimbang dengan lingkungan atau pertanian yang patuh dan tunduk pada kaidah-

kaidah alamiah. Upaya manusia yang mengingkari kaidah-kaidah ekosistem dalam

jangka pendek mungkin mampu memacu produktivitas lahan dan hasil. Namun,

dalam jangka panjang biasanya hanya akan berakhir dengan kehancuran lingkungan.

Kita yakin betul bahwa hukum alam adalah kuasa tuhan. Manusia sebagai umat-Nya

hanya berwenang menikmati dan berkewajiban menjaga serta melestarikannya.

HISTORI

Sekitar pertengahan tahun tujuh puluhan dunia diguncang dua krisis, yaitu

krisis energy dan krisis lingkungan. Saat itu, permintaan dunia akan minyak bumi dan

derivatnya cenderung meningkat. Di sisi lain, pasokan dan cadangan minyak bumi

sangat terbatas dan produksi didominasi oleh negara-negara Timur Tengah.

Akibatnya, terjadi inflasi yang cukup tinggi (high inflation), terutama di negara-

negara industry. Sebaliknya, di negra penghasil minyak bumi terjadi booming oil dan

panen devisa karenamelambungnya harag minyak bumi di pasar internasional.

Pada saat yang bersamaan dunia juga dilanda krisis lingungan yang

disebabkan oleh pencemaran berat, terutama akibat pembakaran petroleum dari

kendaraan bermotor, mesin-mesin industry berat, dan sebagainya. Polusi udara dan

pencemaran limbah industry tak terhindarkan turut merusak atmosfer kota-kota

industri di seluruh dunia. Sektor agroindustry juga mulai kebanjiran pupuk kimia,

21
obat-obatan pemberantas hama dan penyakit, serta mesin-mesin pertanian berbahan

bakar solar. Ternyata masuknya energi dari luar ekosistem memberikan dampak

buruk bagi anasir-anasir lingkungan dan membahayakan atau mengancam kesehatan

manusia.

Di negara-negara Barat, setelah revolusi industry, industry pertanian memang

mulai didominasi oleh teknologi modern, misalnya penggunaan pupuk kimia,

pestisida, dan bahan kimia lainnya. Arus pemikiran utama dan asumsi yang

berkembang pada saat itu adalah bahwa bahan-bahan kimia dan mesin-mesin

pertanian akan mampu menaikkan produktivitas pertanian secara signifikan, dan pada

gilirannya akan menghasilkan keuntungan agrobisnis yang cukup besar; namun tidak

mempertimbangkan dampak eksternalitas negatif yang ditimbulkannya. Sektor

pertanian dipacu untuk menghasilkan bahan baku bagi agroindustry dan bahan

kebutuhan pangan.

Sekitar tahun 1920-an mulai tumbuh kesadaran baru untuk

mempertimbangkan aspek biologis dan ekologis dalam pengelolaan industry-industri

pertanian. Pada sekitar tahun 1930-an di Amerika Serikat muncul konsep pertanian

lingkungan (eco agriculture) sebagai solusi atas kemunduran produktivitas lahan dan

bencana erosi yang menimpa sentra-sentra produksi pertanian di beberpaa negara

bagian. Kemudia pada awal tahun 1940-an mulai terdapat keseimbangan antara

penggunaan teknologi kimia dan biologi, memalui konsep pengendalian hayati hama

dan penyakit (biological control for pest and diseases).

22
Namun demikian, setelah tahun 1950-an atau setelah Perang Dunia II

penggunaan bahan-bahan kimia dan rekayasa teknologi di bidang pertanian

meningkat lagi dan mencapai puncaknya pada tahun 1970-an, saat terjadi krisis

energy dunia. Pada periode setelah Perang Dunia II, masing-masing negara tidak lagi

memikirkan perang senjata tetapi berlomba dan berkonsentrasi memacu produktivitas

industry-industri pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan dan bahan baku

agroindustry. Semangat berkompetensi diantara para pakar pertanian dan pengusaha

agrobisnis antar negara maju telah melahirkan teknologi-teknologi pertanian baru

yang canggih (sophisticated), misalnya rekayasa genetika (bio engineering), kultur

jaringan (tissue culture), dan teknologi canggi pertanian lainnya.

Dinegara-negara Selatan, termasuk Indonesia, dicanangkan program

intersifikasi usaha tani, khususnya padi sebagai makanan pokok, dengan mendorong

pemakaian benih varietas unggul (high variety yield), pupuk kimia, dan obat-obatan

pemberantas hama dan penyakit. Kebijakan pemerintah saat itu memang secara jelas

merekomendasikan penggunaan energy luar, yang dikenal dengan paket Panca Usaha

Tani yang salah satunya menganjurkan pemakaian pupuk kimia dan pestisida.

Kebijakan ini juga didukung dengan pemberian sumsidi harga pupuk dan obat-

obatan, sehingga sangat terjangkau oleh petani-petani kecil. Pupuk kimia dan

pestisida sangat diyakini sebagai jaminan keberhasilan produk usaha tani, sehingga

harganya disubsidi sampai 80% oleh pemerintah. Sistem penyalurannya pun diatur

dengan sangat rapih dari pusat (lini I) hingga darah-daerah (lini IV). Prosedurya

diatur dengan jadwal yang ketat tanpa memperhitungkan ada atau tidaknya hama,

23
sehingga istilah usaha “mencegah” dan “melindungi” tanaman dari serangan hama

atau penyakit dipahami secara keliru. Pemerintah memiliki ambisi yang besar dan

political will yang kuat untuk mengukir prestasi pembangunan pertanian, khususnya

produksi padi, yaitu swasembada beras secara nasional (Oka, 1996).

Terminologi pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) sebagai

padanan istilah agroekosistem pertama kali dipakai skitar awal tahun 1980-an oleh

para pakar pertanian FAO (Food Agriculture Organization). Agroekosistem sendiri

mengacu pada modifikasi ekosistem alamiah dengan sentuhan campur-tangan

manusia untuk menghasilkan bahan pangan, serat, dan kayu untuk memenuhi

kebutuhan dan kesejaheraan manusia. Conway (1984) juga menggunakan istilah

pertanian berkelanjutan dengan konteks agroekosistem yang berupaya memadukan

antara produktivitas (productivity), stabilitas (stability), dan pemerataan (equity). Jadi

semakin jelas bahwa konsep agroekosistem atau pertanian berkelanjutan adalah

jawaban dari kegamangan dampak green revolution yang antara lain ditenggarai oleh

semakin merosotnya produktivitas pertania (leveling off). Green revolution memang

sukses dengan produktivitas hasil panen biji-bijian yang menakjubkan (miracle

seeds), namun ternyata juga memiliki sisi buruk atau eksternalitas negative, misalnya

erosi tanah yang berat, punahnya keanekaragaman hayati, pencemaran air, bahaya

residu bahan kimia pada hasil-hasil pertanian, dan lain-lain.

Pada hakikatnya, eksistensi konsepsi pertanian berkelanjutan sebenarnya

bukan sesuatu yang baru. King (1911) op.cit Zamora (1995) menuliskan bahwa

teknik usaha tani dengan metode organic atau pertanian permanen (organic farming)

24
yang mengintregasikan pengelolaan kesuburan tanah dengan system ekologi telah

dilakukan oleh para para petani di daratan Cina, Jepang, dan Korea sekitar empat

abad yang lalu. Dengan Demikian, isu paradigm pertanian yang berkembang

sekarang ini sebenarnya merupakan kebangkitan kembali (reaktualisasi) untuk

mencari model pengeloaan pertanian yang lestari. Kegagalan pertanian modern

memaksa para pakar pertanian dan lingkungan berpikir keras dan mencoba

merumuskan kembali system pertanian organic yang ramah lingkungan atau back to

basic ata tepatnya back to nature. Jadi, system pertanian berkelanjutan sebenarnya

merupakan paradigm lama yang mulai diaktualisasikan kembali menjelang masuk

abad ke-21 ini. Bila dicermati, fenomena ini merupakan suatu keteraturan siklus

alamiah sesuai dengan pergantian abad.

Merujuk pada teori siklus sosial, setiap entitas social (mislanya masyarakat

manusia, organisasi, dan bnagsa-bangsa) akan menjalani keberadaannya di dunia

menurut suatu pola tetap yang berulang dengan interval waktu yang relative tetap.

Pola perulangan itu mirip dengan teori product life cycle dalam ilmu pemasaran.

Dalambudya Jawa juga terdapat keyakinan adanya siklus nasib seseorang sepanjang

kehidupannya, yang dikenal dengan istilah cakra manggilingan. Satu siklus terbagi

dalam empat era, yaitu era bangkit atau lahir, tumbuh, dewasa, dan uzur. Siklus

perkembangan budaya pertanian ditunjukkan dalam Gambar 1.

Menurut futurology Alvin Toffler (1995) dalam bukunya Power Shift,

teknologi yang diadopsi oleh suatu masyarakat manusai turut menentukan semangat,

corak, sifat, struktur, serta proses ekonomi; sosial, politik, dan budaya. Atas dasar

25
sudut pandang ini, Alvin Toffler membagi sejarah evolusi kultur masyarakat manusia

ke dalam empat gelombang kultur atau budaya, yaitu gelombang budaya pertanian,

gelombang budaya industry, dan gelombang budaya teknologi tinggi.

Gambar 1. Siklus perkembangan gelombang budaya pertanian.


(Sumber: Sudibyo, 1995)

Saat ini, negara-negara barat dilanda geobang budaya teknologi tinggi

(information technology) yang ditandai dengan pesatnya penggunaan teknologi super

canggih dalam bidang telekomunikasi, misalnya penemuan internet, telepon seluler,

dan sebagainya. Sementara, negara-negara selatan masih berada dalam masa transisi

dari gelombang budaya pertanian ke gelombang budaya industri.

Menurut Manguiat (1995), ada dua peristiwa penting yang menandai

kelahiran paradigm baru system pertanian berkelanjutan. Peristiwa pertama adalah

Laporan Brundtland dari Komisi Dunia tentang Lingkungan dan Pembangunan

(World Commission on Environment and Development) pada tahun 1987, yang

26
mendefinisikan paradigma pembangunan berkelanjutan (suitanable development).

Peristiwa kedua adalah Konferensi Dunia di Rio de Janeiro pada tahun 1992, yang

memuat pembahasan Agenda 21 dengan mempromosikan program Sustainable

Agriculture and Rural Development (SARD) yang membawa pesan moral kepada

dunia bahwa “without better environmental stewardship, development will be

undermined”. Beberapa agenda penting yang termasuk dalam pembahasan bidang

pertanian dalam konferensi tersebut antara lain sebagai berikut.

1. Menjaga kontinuitas produksi dan keuntungan usaha di bidang pertanian dalam

arti yang luas (pertanian tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, perikanan, dan

peternakan) untuk jangka panjang, bagi kelangsungan kehidupan manusia.

2. Melakukan perawatan dan peningkatan sumber daya alam yang berbasis

pertanian.

3. Meminimalkan dampak negative aktivitas usaha pertanian yang dapat merugikan

bagi kesuburan lahan dan kesehatan manusia.

4. Mewujudkan keadilan sosial antardesa dan antarsektor dengan pendekatan

pembangunan pertanian berkelanjutan.

Memasuki abad 21, kesadaran akan pertanian yang ramah lingkungan

semakin meningkat, sejalan dengan tuntutan era globalisasi dan perdagangan bebas.

Hal ini terutama sekali dirasakan di negara-negara maju, misalnya Amerika dan

negara-negara Eropa. Negara-negara tersebut membentuk asosiasi pergerakan petani

organic yang disebut IFOAM (International Federation of Organic Agriculture

Movements) untuk melakukan pemberdayaan dan sertifikasi bagi produk-produk

27
pertanian organic. IFOAM sudah beranggotakan 80 organisasi yang tersebar di 30

negara. Salah satu anggota, yaitu California Certified Organic Farmers (CCOF),

memiliki lokasi paling luas di dunia, dalam lima tahun terakhir berkembang 25% per

tahun dan terus melakukan sertifikasi produk organic mulai tahun 1988 sampai

sekarang (Georing, 1993).

Sementara itu, negara-negara yang sedang berkembang, misalnya Indonesia,

tampak masih terpuruk dan berkutat dengan dampak negatif green revolution. Lahan-

lahan sawah di Pulau Jawa sebagai sentra produksi padi menunjukkan indikasi kuat

adanya penurunan produktivitas. Sawah-sawah mengalami kejenuhan berat atau

pelandaian produktivitas karena pemakaian pupuk kimia dan obat-obatan yang sudah

melampaui ambang batas normal. Program Sekolah Lapangan Pengendalian Hama

Terpadu (SL-PHT) sebagai bentuk pemberdayaan petani terhadap kesadaran

lingkungan sebenarnya cukup signifikan untuk meredam penggunaan obat-obatan

secara berleihan dan tidak rasional. Namun, kelanjutan program ini kurang terjamin

dan tidak didukung dengan kebijakan nasinal lain yang lebih progresif dan serius,

misalnya kebijakan untuk mempromosikan pembangunan system pertanian

berkelanjutan.

TUJUAN DAN STRATEGI

Secara umum, pertanian berkelanjutan bertujuan untuk meningkatkan kualitas

kehidupan. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan paling tidak tujuh macam

kegiatan (Manguiat, 1995), yaitu: meningkatkan prmbangunan ekonomi,

memprioritaskan kecukupan pangan, meningkatkan harga diri, memberdayakan dan

28
memerdekakan petani, menjaga stabilitas lingkungan (aman, bersih, seimbang,

diperbarui), dan memfokuskan tujuan produktivitas untuk jangka panjang. Untuk

mencapai tujuan tersebut, diperlukan suatu pendekatan pertanian berkelanjutan yang

bersifat proaktif, berdasarkan pengalaman, dan partisipatif.

Para petani harus secara aktif mencari atau mengakses sumber-sumber


informasi yang berkaitan dengan pertanian yang mampu mendukung usaha tani yang
dilakukan. Misalnya: informasi harga pasar, teknologi baru, dan peluang bisnis.
29
Petani juga harus mau belajar dari pengalaman nyata, baik melalui para petugas

lapangan maupun atas inisiatif magang, melakukan studi banding, atau mengikuti

pendidikan non formal pada pelaku sistem pertanian berdasar kemandirian petani

dalam melakukan usaha tani. Jiwa demokrasi (dari – oleh – untuk) dan kebebasan

petani dalam melakukan usaha tani akan lebih mewarnai interaksi ekonomi maupun

sosial-budaya serta interaksi dengan alam sekitarnya.

Di Amerika Serikat, program pembangunan pertanian berkelanjutan bertujuan

antara lain (Parr. at. al, 1985) sebagai berikut:

1. menjaga dan meningkatkan keutuhan sumber daya alam, serta melindungi

lingkungan

2. menjamin penghasilan bagi petani

3. menjamin konservasi energi

4. meningkatkan produktivitas

5. meningkatkan kualitas dan keamanan bahan makanan

6. menciptakan keserasian antara pertanian dan faktor sosial ekonomi lainnya.

Di Indonesia, pembangunan berwawasan lingkungan merupakan

implementasi dari konsep pembangunan yang berkelanjutan yang bertujuan untuk

meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat tani secara luas melalui

penignkatan produksi pertanian, baik dalam hal kuantitas maupun kualitas, dengan

tetap memperhatikan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan. Pembangunan

yang dimaksud adalah pembangunan pertanian dalam arti luas atau komprehensif,

meliputi bidang-bidang pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan,

30
kehutanan, peternakan, perikanan, dan kelautan. Pembangunan pertanian harus

dilakukan secara seimbang dan disesuaikan dengan daya dukung ekosistem sehingga

kontinuitas produksi dapat dipertahankan dalam jangka panjang, dengan menekan

tingkat kerusakan lingkungan sekecil mungkin.

MENGAPA PERTANIAN HARUS BERKELANJUTAN

Menurut pengamatan Dr. Peter Goering (1993), terdapat empat kecende-

rungan positifyang Inendorong sistem budi daya pertanian harus berkelanjutan, yaitu

perubahan sikap petani, permintaan produk organik, keterkaitan petani dan

konsumen, serta perubahan kebijakan. Di negara-negara Uni Eropa, khususnya di

Denmark dan Jerman, jumlah petani organik meningkat sangat pesat. Demikian juga

di Swedia; dalam kurun waktu empat tahun luas pertanian organik meningkat hampir

300%. Data pertumbuhan luas areal pertanian organik di Eropa secara lengkap

ditunjukkan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Pertumbuhan Pertanian Organik di Eropa


No Negara Luas Areal Organik (Ha) Pertumbuhan (%)
1990 1987
1 Belgia 1.200 972 23
2 Denmark 15.500 4.000 288
3 Finlandia 11.000 2.050 437
4 Jerman 54.295 35.400 54
5 Irlandia 3.700 1.300 185
6 Luxemburg 550 412 33
7 Belanda 7.600 3.384 125
8 Portugal 550 185 197
9 Spanyol 5.500 2.700 104
10 Swedia 29.000 7.500 287
11 Inggris 16.000 8.619 86
Sumber: Lampkin (1990) op. cit. Goering (1993)
Para petani organik di negara-negara maju juga sudah melakukan sertifikasi

produk pertanian organik yang diakui oleh setiap negara dan memenuhi persya-ratan

31
standar kesehatan. Komoditas pertanian yang disebut produk hijau (green product)

menjadi jaminan bahwa produk tersebut sehat dan aman, baik bagi ma-nusia ataupun

lingkungan. Produk yang disertifikasi bukan hanya produk-produk tanaman dan

peternakan, namun juga hasil perikanan (organic fish). Nasional Organic Standard

Board (NOSB) telah membuat draft Organic Aquaculture Standards yang

merekomendasikan hal-hal (Dominy, 2000) sebagai berikut:

1. komponen pakan ikan dan udang sebaiknya berasal dari protein hewan-hewan air

dan bahan-bahan tanaman yang sesuai rekomendasi;

2. Vitamin, mineral, dan enzim boleh ditambahkan dalam pakan ikan, asalkan

bersumber dari alam;

3. Bahan-bahan sintetik sebaiknya tidak ditambahkan pada pakan ikan dan pe-

merintah membuat daftar larangan bahan-bahan sintetik yang memba-hayakan.

Di negara-negara maju, perubahan sikap petani yang menolak sistem

pertanian yang boros energi atau tidak efisien sudah dimulai dua dasawarsa yang lalu.

Kesadaran mereka untuk menerapkan pertanian dengan input luar rendah merupakan

solusi alternatif atas kegagalan revolusi hijau yang dapat membahayakan kesehatan

dan kelestarian kehidupan.

Di beberapa daerah di tanah air, kebangkitan pertanian ramah lingkungan

banyak dimotori oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang , peduli

lingkungandan juga oleh para peneliti yang concern pada masalah-masalah pertanian

nian akrab lingkungan, misalnya Dr. Loekman Soetrisno dari UGM yang membina

para petani organik di Sleman Yogyakarta dan Dr. I Wayan Wididana dan Institut

32
Pengembangan Sumber Daya Alam (IPSA) yang mendirikan pusat pen-didikan dan

latihan teknologi EM (Effective Microorganism) di Bali untuk rnendukung sistem

pertanian organik terpadu.

Di negara-negara maju, permintaan produk-produk pertanian organik rata-rata

naik 10% — 30% per tahun. Masyarakat menghendaki jenis makanan sehat atau

makanan alami yang benar-benar bebas zat aditif. Permintaan produk Pertanian

(sayur-sayuran, buah-buahan, ikan, dan daging) selalu dalam keadaan segar dan

sehat. Di Jerman terdapat ± 4.500 toko yang khusus menjual produk -produk

pertanian organik; dan diperkirakan 49% penduduk Jerman merupakan konsumen

produk-produk pertanian organik yang fanatik (Goering, 1993).

Di Indonesia, di jalan Gejayan Yogyakarta terdapat toko yang khusus men-

jual produk-produk pertanian organik, terutama beras dan palawija, yang selalu ramai

pembeli dari keluarga kelas menengah ke atas. Peredaran dan penjualan pupuk

organik padat ataupun cair juga mulai merambah kios-kios pertanian di berbagai

daerah. Beberapa media massa juga banyak mengekspos pertanian ramah lingkungan

yang mulai bermunculan di tanah air. Kecenderungan positif ini menandakan dan

menumbuhkan perasaan optimis bahwa gerakan pertanian organik mulai menggeliat

secara perlahan-lahan dan menunjukkan hasil yang mulai tampak nyata manfaatnya.

Keterkaitan antara petani dan konsumen menjadi langkah awal atau ke-

bangkitan transformasi pertanian subsisten ke arah sistem pertanian yang ber-

orientasi pasar (market oriented). Peningkatan permintaan produk-produk per-tanian

organik oleh konsumen (green consumen) akan mendorong petani untuk

33
mengembangkan pertanian organik. Misalnya, tingginya permintaan akan buah-

buahan dan sayuran organik oleh orang asing dan tamu di hotel-hotel di Jakarta,

mengilhami petani berdasi seperti Bob Sadino untuk menanam sayur dan buah-

buahan yang bebas pestisida.

Sudah saatnya dilakukan perubahan kebijakan pembangunan pertanian yang

tidak lagi hanya berorientasi hasil (product oriented), tetapi juga dengan

memperhatikan aspek kelestarian sumber daya alam secara serius. UU No. 12 Tahun

1992 tentang Sistem Budi Daya mengisyaratkan bahwa dominasi dan campur tangan

pemerintah terhadap petani dalam pembangunan pertanian se-makin dikurangi. Petani

tidak lagi hanya berperan sebagai obyek, tetapi menjadisubyek dan penentu utama

keberhasilan usaha tani yang dilakukannya. Kelahiran beberapa LSM yang peduli

pada nasib petani dapat menjadi motivator, dinamisator, dan katalisator proses

pembangunan pertanian yang berkelanjutan di Indonesia.

Dr. Soekartawi (1995), pakar ekonomi pertanian dari Universitas Brawi-jaya

Malang menyebutkan tiga alasan mengapa pembangunan pertanian di Indonesia

harus berkelanjutan.

Pertama, sebagai negara agraris, peranan sektor pertanian Indonesia dalam

sistem perekonomian nasional masih dominan. Kontribusi sektor pertanian terhadap

produk domestik bruto adalah sekitar 20% dan menyerap 50% lebih tenaga kerja di

pedesaan. Dari 210 juta penduduk Indonesia, ± 150 juta orang mencari penghidupan

dari sektor pertanian tanaman pangan, perikanan, peternakan, perkebunan, dan

kehutanan.

34
Kedua, sebagai negara agraris, agrobisnis dan agroindustri memiliki peran-an

yang sangat vital dalam mendukung pembangunan sektor lainnya. Peng-alaman masa

lalu, yakni pada saat sektor industri dan perbankan mengalami krisis ekonomi, sektor

agrobisnis dan agroindustri di tanah air mengalami booming karena nilai tukar rupiah

terhadap dolar AS melemah.

Ketiga, sebagai negara agraris, pembangunan pertanian berkelanjutan men-

jadi keharusan agar sumber daya alam yang ada sekarang ini dapat terus diman-

faatkan untuk kurun waktu yang relatiflama. Sektor pertanian akan tetap mendu-duki

peran vital untuk mendukung kelangsungan kehidupan bangsa Indonesia.

35

Anda mungkin juga menyukai