Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

AKTIVITAS PERTANIAN DAN POTENSI KERUSAKAN LINGKUNGAN

Disusun oleh :

JURUSAN GEOGRAFI
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
2022

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI...............................................................................................................
BAB I.........................................................................................................................
PENDAHULUAN.......................................................................................................
BAB II........................................................................................................................
PEMBAHASAN.........................................................................................................
2.1 Pemaparan governance...................................................................................
2.2 Pengertian Governtment...................................................................................
2.3 Perbedaan government dan governance..........................................................
BAB III.......................................................................................................................
PENUTUP..................................................................................................................
3.1 Kesimpulan.......................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

Modernitas seringkali dipahami sebagai industrialisasi di segala bidang,


khususnya di bidang produksi barang dan jasa. Proses ini didukung oleh
penggunaan teknologi. Semakin banyak kandungan teknologinya, orang
seringkali menganggap bahwa peri kehidupan manusia itu semakin modern.
Proses ini kemudian menempatkan para pemilik modal dan korporasi sebagai
aktor utamanya. Tujuan utama mereka adalah memperoleh keuntungan yang
sebesar-besarnya. Upaya mereka dilakukan sejauh mungkin tanpa batasan
apapun dan dengan cara apapun. Moralitas dalam arti rasa hormat dan rasa
menghargai akan harkat-martabat kemanusiaan maupun kehidupan itu sendiri
pada gilirannya menjadi sesuatu yang asing di sini. Istilah negatif yang paling
tepat di sini adalah keserakahan atau ketamakan. Segalanya demi materi dan
teknologi yang semakin lebih. Dengan materi dan teknologi orang semakin ingin
menguasai lebih, dan bukan menjadi lebih (to have more, and not to be more).
Tidak jarang mereka justru telah menjadi budak dari materi itu sendiri (materialis)
atau dari teknologi itu sendiri (teknokratik).

Banyak korban atau yang dikorbankan di sini, baik manusia yang lain
(terutama mereka yang tidak memiliki daya ataupun power apapun) maupun
alam (baik yang hayati maupun yang non-hayati). Salah satu korban
industrialisasi modern ini adalah tanah, khususnya tanah pertanian. Salah satu
alat produksi dalam proses industrialisasi adalah tanah, di samping tenaga kerja
dan modal. Industri yang didukung oleh para pemilik modal itu memerlukan
tanah. Lahan pertanianlah yang seringkali menjadi korban penggusuran. Banyak
sekali tanah pertanian yang dikonversi menjadi lahan industri ataupun pabrik-
pabrik, seringkali 2 bahkan tanpa menghiraukan kesuburan tanah serta sistem
pertanian setempat yang telah tertata rapi, lengkap dengan sistem irigasinya.

Lebih jauh, proses industrialisasi ini pada akhirnya juga merambah


kawasan pertanian itu sendiri. Ada industri yang mengembangkan teknologi
pertanian, yang merupakan salah satu bentuk bioteknologi. Proses ini telah
menimbulkan revolusi hijau yang menghebohkan, namun justru berdampak
negatif bagi para petani dan pertanian itu sendiri, khususnya di negara-negara
berkembang, termasuk Indonesia. Para industrialis pertanian itu telah
mengembangkan dan memasarkan pelbagai jenis bibit tanaman unggul, pupuk
kimiawi, serta pestisida kimiawi dan obat-obatan, dengan dalih menyelamatkan
masa depan kehidupan umat manusia. Akan tetapi dampak negatif yang
menghancurkan kehidupan itu sendirilah yang terjadi. Karena proses kimiawi
artifisial itu, unsur hara yang secara alami ada di dalam tanah menjadi hancur.
Zat-zat renik menjadi musnah. Artinya, tanah pertanian menjadi kehilangan
kesuburannya, karena teknologi pertanian ini

Pertanian merupakan kegiatan yang dilakukan oleh manusia pada suatu


lahan tertentu, dalam hubungannya antara manusia dengan lahan yang disertai
pertimbangan tertentu (Suratiyah dalam Khaafidh, 2006). Kegiatan pertanian
adalah suatu kegiatan manusia yang terdiri dari kegiatan bercocok tanam,
peternakan, perikanan, dan juga kehutanan. Mosher (1968) mengartikan
kegiatan pertanian adalah proses produksi khas yang didasarkan atas proses
pertumbuhan tanaman dan hewan. Kegiatan-kegiatan produksi di dalam setiap
usaha tani merupakan suatu bagian usaha, dimana biaya dan penerimaan
merupakan hal yang penting. Pertanian dalam pengertian yang luas yaitu
kegiatan manusia untuk memperoleh hasil yang berasal dari tumbuh-tumbuhan
dan atau hewan yang pada mulanya dicapai dengan jalan sengaja
menyempurnakan segala kemungkinan yang telah diberikan oleh alam guna
mengembangbiakkan tumbuhan dan atau hewan tersebut (Van Aarsten,1953).
Pengertian Pertanian dalam arti sempit yaitu segala aspek biofisik yang berkaitan
dengan usaha penyempurnaan budidaya tanaman untuk memperoleh produksi
fisik yang maksimum (Sumantri, 1980). Indonesia merupakan salah satu negara
agraris dimana, sebagian besar penduduknya tinggal di perdesaan dengan mata
pencaharian sebagai petani. Penduduk Indonesia pada umumnya
mengkonsumsi hasil pertanian untuk makanan pokok mereka.

Pertanian di Indonesia perlu ditingkatkan produksinya semaksimal


mungkin menuju swasembeda pangan akan tetapi, tantangan untuk mencapai
hal tersebut sangat besar karena luas wilayah pertanian yang semakin lama
semakin sempit, penyimpangan iklim, pengembangan komoditas lain, teknologi
yang belum modern, dan masalah yang satu ini adalah masalah yang sering
meresahkan hati para petani yaitu hama dan penyakit yang menyerang tanaman
yang dibudidayakan. Hasil produksi tanaman padi di Indonesia belum bisa
memenuhi target kebutuhan masyarakat karena ada di beberapa daerah di
Indonesia yang masih mengalami kelaparan (Agriculture Sector Review
Indonesia,2003).

Luas pertanian di Indonesia yang semakin menyempit hal inilah yang


menjadi tantangan terbesar saat ini yang harus dihadapi akan tetapi, ada cara
yang dapat dilakukan untuk mengantisipasinya yaitu dengan cara melakukan
pembangunan sektor pertanian. Pembangunan adalah suatu proses perubahan
sosial dengan partisipasi yang luas dalam suatu masyarakat yang dimaksudkan
untuk kemajuan sosial dan material (termasuk bertambah besarnya kebebasan,
keadilan dan kualitas lainnya yang dihargai) untuk mayoritas rakyat melalui
kontrol yang lebih besar yang mereka peroleh terhadap lingkungan mereka
(Rogers, 1994).

Pembangunan ini bertujuan untuk membantu terlaksanakannya


pembangunan daerah baik pertanian maupun non-pertanian. Pembangunan
tersebut bertujuan agar dapat menghasilkan hasil produksi berupa hasil
pertanian dan non-pertanian karena keduanya harus sama-sama berkembang
dan bergandengan. Pembangunan pertanian adalah upaya-upaya pengelolaan
sumberdaya alam yang dilakukan untuk memastikan kapasitas produksi
pertanian jangka panjang dan meningkatkan kesejahteraan petani melalui
pilihan-pilihan pendekatan yang ramah terhadap lingkungan (Schultink,1990).

Pembangunan pertanian merupakan salah satu bagian dari


pembangunan ekonomi dalam arti luas yang tidak lepas dari upaya
pembangunan dibidang ekonomi, artinya pembangunan tiap sektor saling
berkaitan satu dengan yang lain.Pembangunan pertanian di Indonesia
sebenarnya telah menunjukkan kontribusi yang sukar terbantahkan, bahwa
peningkatan produktivitas tanaman pangan melalui varietas unggul, lonjakan
produksi peternakan dan perikanan telah terbukti mampu mengatasi persoalan
kelaparan dalam empat dasawarsa terakhir. Pembangunan perkebunan dan
agroindustri juga telah mampu mengantarkan pada kemajuan ekonomi bangsa,
perbaikan kinerja ekspor, dan penyerapan tenaga kerja. Selama empat
dasawarsa terakhir, strategi pembangunan pertanian mengikuti tiga prinsip
penting:

(1) broad-based danterintegrasi dengan ekonomi makro,


(2) pemerataan dan pemberantasan kemiskinan, dan
(3) pelestarian lingkungan hidup.

Dua prinsip utama telah menunjukkan kinerja yang baik, seperti diuraikan
di atas, karena dukungan jaringan irigasi, jalanjembatan, perubahan teknologi,
kebijakan ekonomi makro, dan sebagainya (Arifin, 2008).

Melihat besarnya kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomian


nasional, sudah seharusnya pemerintah memberikan perhatian yang lebih
terhadap perkembangan sektor pertanian dan kesejahteraan kehidupan petani
terutama terhadap petani padi. Menurut Suharto (2009) kesejahteraan adalah
suatu keadaan terpenuhinya segala bentuk kebutuhan hidup, khususnya yang
bersifat mendasar seperti makanan, pakaian, perumahan, pendidikan, dan
perawatan kesehatan. Kesejahteraan juga termasuk sebagai suatu proses atau
usaha terencana yang dilakukan oleh perorangan, lembaga-lembaga sosial,
masyarakat maupun badan- badan pemerintah untuk meningkatkan kualitas
kehidupan melalui peningkatan pendapatan dan pendidikan. Sejak
mengendurnya perhatian pemerintah terhadap pertanian padi setelah dicapainya
swasembada beras tahun 1984, kesejahteraan petani padi tampak semakin
merosot. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh BPS pada tahun 2004 jumlah
rumah tangga pertanian pada tahun 2004 adalah 24,3 juta, sekitar 82,7% di
antaranya termasuk kategori miskin. Selanjutnya berdasarkan data yang
dikeluarkan oleh BPS, dapat dilihat besarnya upah riil buruh tani di Indonesia
tidak mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun.

Hambatan-hambatan dalam proses pengembangan dan perbaikan


pertanian dalam negeri sangat berpengaruh terhadap masalah produksi pangan
dan pengentasan kemiskinan. Kemiskinan menjadi salah satu persoalan
multidimensional yang sulit di selesaikan oleh pemerintah Indonesia karena
kemiskinan tidak hanya melibatkan faktor ekonomi saja melainkan juga
melibatkan banyak lini dalam kehidupan masyarakat kita, seperti masalah sosial,
budaya, politik, bahkan masalah akhlaq. Kemiskinan sendiri mempunyai banyak
pengertian, menurut Bank Dunia kemiskinan adalah tidak adanya tempat tinggal,
ketika sakit tidak bisa pergi ke dokter, tidak mampu mengenyam pendidikan dan
tidak bisa membaca, tidak punya pekerjaan, mengkhawatirkan masa depan,
kehilangan anak karena sakit yang disebabkan oleh penyakit akibat
mengkonsumsi air kotor, kemiskinan adalah ketidakberdayaan, kurangnya
representasi dan kebebasan, kemiskinan mempunyai banyak wajah, tergantung
pada waktu dan tempat.

Banyak hal yang dapat dikembangkan dalam pertanian di Indonesia


khususnya dalam bidang perekonomian pertanian. Semua usaha pertanian pada
dasarnya merupakan kegiatan ekonomi yang memerlukan dasar-dasar
pengetahuan yang sama akan pengelolaan tempat usaha, pemilihan benih/bibit,
metode budidaya, pengumpulan hasil, distribusi produk, pengolahan dan
pengemasan produk, dan pemasaran. Bentuk-bentuk lahan pertanian di
Indonesia yaitu diantaranya sawah, tegalan, pekarangan, ladang berpindah dan
lainnya. Hasil pertanian di Indonesia sangatlah beragam diantaranya adalah
beras, avage, avokad, kopi, jagung, bawang, cengkeh, kakao, kacang-kacangan,
kapas, kapuk, karet, kayu manis, kedelai, kelapa, kelapa sawit, kentang, ketela,
ubi jalar, sagu dan lainnya.

Keputusan individu untuk bekerja ditentukan oleh motivasi individu


tersebut. Motivasi individu untuk berparsipasi dalam sektor yang diinginkan
diklasifikasikan dalam dua tipe. Tipe pertama demand-pull motivation yang
merupakan motivasi untuk mendifersifikasi pekerjaaan, berkaitan dengan upah
dan perbedaan risiko dari masing-masing pekerjaan. Sedangkan tipe kedua
adalah distress-push motivation yaitu motivasi yang berkaitan dengan
ketidakcukupan pendapatan yang diterima dan ketiadaan peluang untuk
kelancaran konsumsi dan produksi, seperti kredit dan asuransi (Davis, 2003).
Kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan pertanian terkait dengan akses
individu atau rumah tangga terhadap aktivitas tersebutantara satuindividu
dengan individu lainnya tidak sama.

Dalam menentukan jenis pekerjaan, seorang individu disektor pertanian


dipengaruhi oleh beberapa faktor yang antara lain : tingkat upah riil, luas tanah
garapan, pendapatan diluar sektor pertanian, status garapan, faktor
kelembagaan hubungan kerja dan kondisi agroekosistem (Sumaryanto, 1990).
Isyanto (2010) menambahkan faktor lain yang mempengaruhi keputusan
angkatan kerja untuk bekerja dikegiatan pertanian meliputi faktor individu, faktor
usaha tani dan faktor wilayah. Faktor individu terdiri dari umur dan pendidikan
yang telah ditempuh oleh angkatan kerja. Faktor usaha tani berkaitan dengan
tingkat pendapatan yang ditawarkan oleh kegiatan pertanian dan luas lahan yang
dimiliki dan digunakan untuk melakukan usaha tani tersebut. Sedangkan faktor
wilayah terkait dengan jarak antara kegiatan usaha tani dengan pasar untuk
produk pertanian tersebut.

Menurut Beyne (2008) beberapa faktor yang mempengaruhi keputusan


individu untuk bekerja disektor pertanian atau diluar sektor pertanian. Tingkat
pendidikan formal merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
keputusan individu, karena semakin tinggi tingkat pendidikan akan
membuatindividu cenderung untuk memilih kegiatan diluar sektor pertanian.
Faktor lain yang berpengaruh adalah usia individu, pada individu dengan usia
lebih tua kemungkinan berparsipasi pada sektor pertanian lebih besar
probabilitasnya dibandingkan dengan individu yang berusia lebih muda.

Allasaf, Majdalwai dan Nawash (2011) menambahkan faktor yang


berpengaruh terhadap keputusan individu untuk bekerja di sektor pertanian
adalah usia, tingkat pendidikan kepala rumah tangga, pendapatan disektor
pertanian, menajemen konservasi lahan dan perolehan kredit pertanian. Individu
berusia muda dan terlebih berjenis kelamin laki-laki akan lebih memilih untuk
bekerja pada kegiatan diluar pertanian. Selain itu individu yang memiliki tingkat
pendidikan rendah sangat terbatas untuk mengakses pekerjaan pada kegiatan
diluar sektor pertanian, sehingga akan cenderung mendorong individu untuk
bekerja pada kegiatan pertanian.

Sebagai individu yang rasional, tingkat pendapatan sangat


mempengaruhi keputusan individu dalam memilih jenis pekerjaan. Bila kegiatan
pertanian masih memberikan penghasilan yang tinggi dan dapat menghasilkan
asset yang besar, maka individu akan memilih untuk bekerja pada kegiatan
pertanian. Sedangkan faktor konservasi lahan dan perolehan kredit pertanian
memiliki pengaruh yang positif terhadap keputusan bekerja pada sektor
pertanian. Ini dikarenakan kedua faktor tersebut sangat mendukung peningkatan
usaha tani yang pada akhirnya akan semakin menjadi daya tarik pada sektor
pertanian itu sendiri.

Sedangkan menurut Anim (2011) faktor yang mempengaruhi penawaran


tenaga kerja untuk bekerja dikegiatan pertanian antara lain : pengalaman
bertani,jenis kelamin, usia, jenis pertanian, luas lahan garapan, struktur
organisasi pertanian, kepemilikan peralatan (mesin) untuk kegiatan pertanian,
jumlah anggota rumah tanggayang bekerja diluar kegiatan pertanian, jumlah
tanggungan rumah tangga, pendapatan (upah riil), jarak dengan pasar hasil
pertanian, serta pengetahuan dan teknologi. Pengalaman bertani, jenis kelamin,
usia, jenis pertanian, luas lahan garapan, struktur organisasi pertanian, dan
kepemilikan peralatan (mesin) untuk kegiatan pertanian memiliki pengaruh yang
positif terhadap penawaran tenaga kerja pada kegiatan pertanian. Sedangkan
jumlah anggota rumah tangga yang bekerja diluar kegiatan pertanian, jumlah
tanggungan rumah tangga, pendapatan (upah riil), jarak dengan pasar hasil
pertanian, serta pengetahuan dan teknologi memiliki pengaruh yang negatif
terhadap penawaran tenaga kerja dikegiatan pertanian.

Kegiatan penjualan hasil pertanian dapat dibedakan menjadi 2 yaitu:

1. Pertanian Subsisten
Yaitu sistem pertanian yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
hidup petani dan keluarganya. Pertanian subsisten ini berkaitan
langsung dengan On Farm yaitu suatu kegiatan pertanian yang
produk (usahatani) dilakukan dilahannya sendiri dan lahannya sempit.
Petani sebagai pemilik perlu memiliki pengetahuan dan keterampilan
didalam bidang pertanian. Petanilah yang melakukan segala
usahatani dari mulai menyediakan masukan, produksi dan
pengeluaran yaitu pengolahan dan pemasaran (anonim, 1995).
2. Pertanian Komersil
Yaitu usaha tani dimana, semua hasil panennya tersebut dijual yang
bertujuan untuk mendapatkan keuntungan. Pertanian komersil ini
terdiri atas 2 kegiatan yakni:
 On Farm: suatu kegiatan pertanian yang produk (usahatani)
dilakukan dilahannya sendiri.
 Off farm: suatu kegiatan yang dilakukan diluar lahan pertanian
tetapi masih berkaitan dengan produk usahatani

Pedagang pengumpul dalam bidang pertanian padi memiliki peranan


dalam pembelian hasil padi ke para petani. Pembelian ini dilakukan oleh para
pedagang pengumpul bertujuan untuk dijual ke pedagang grosir baik berupa padi
maupun berupa olahan yang diolah oleh pedagang ini sendiri yaitu berupa beras.
Pedagang grosir yakni mencakup semua kegiatan dalam penjualan barang atau
jasa kepada mereka yang membeli atau menjual kembali untuk keperluan bisnis
dalam jumlah yang besar. Pedagang grosir ini tidak hanya dalam bidang
pertanian akan tetapi juga dalam bidang non-pertanian (Kementrian Keuangan
Republik Indonesia, 2012).

Pedagang Pengijon yaitu orang yang membeli padi dengan sistem ijon
yaitu sistem penjualan hasil tanaman dalam masih keadaan hijau atau masih
belum dipetik dari batangnya (Kementrian Keuangan Republik Indonesia, 2012).
Sistem perdagangan ini sebenarnya sistem perdagangan yang dilarang dalam
syaria’at Islam karena sebenarnya akan merugikan pihak petani sendiri. Hasil
panen padi tersebut akan diolah menjadi beras kuriak kusuik. Pedagang grosir
yang telah membeli hasil panen padi tersebut akan mengolah padi tersebut di
Rice Milling Unit. Rice Milling Unit merupakan tempat adanya perangkat lengkap
yang digerakan tenaga mesin untuk menggiling padi atau gabah menjadi beras
(Pemerintah Indonesia, 1971). Rice Milling Unit tersebut ada yang dimiliki pribadi
pedagang grosir tersebut dan ada juga yang tidak memiliki rice milling unit oleh
karena itu biasanya mereka yang tidak memiliki unit penggilingan padi mencari
tempat penggilingan padi untuk mengolah padi mereka.

Beras yang telah diolah oleh pedagang grosir dan pedagang pengijon
tersebut kemudian dijual kepada pedagang kecil atau kepada konsumen
langsung. Pedagang kecil dalam pertanian yakni merupakan pedagang yang
langsung menjual hasil produksi ke konsumen yang biasanya mereka beli ke
pedagang pengijon atau pedagang grosir dengan catatan padi telah diolah.
Pedagang kecil merupakan orang yang dengan modal yang relatif sedikit
melaksanakan aktifitas produksi dalam arti luas (produksi barang, menjual
barang dan menyelenggarakan jasa) untuk memenuhi kebutuhan kelompok
konsumen tertentu dalam masyarakat baik pertanian maupun non pertanian yang
mana dilaksanakan ditempat-tempat yang dianggap strategis dan ekonomis
dalam suasana lingkungan yang informal (Winardi,1986:167). Konsumen adalah
tindakan seseorang yang langsung terlibat untuk mendapatkan, mengkonsumsi,
dan menghabiskan produk dan jasa, termasuk proses keputusan yang
mendahului dan mengikuti tindakan ini (Simamora, 2008).

Masa panen merupakan masa dimana para petani dapat menikmati hasil
pertanian mereka. Hasil panen tersebut baiasanya dikonsumsi oleh petani atau
dijual kepada pedagang. Pedagang yang membeli hasil panen petani terdiri atas
3 yaitu pedagang pengumpul, pedagang grosir, dan pedagang pengijon.
Pedagang pengumpul merupakan seseorang yang membeli hasil panen petani
yang bertujuan untuk dikonsumsi langsung atau dijual kembali kepada pedagang
grosir baik yang sudah diolah menjadi beras maupun masih berupa padi.
Pedagang grosir merupakan pedagang yang hasil padi tersebut dibeli dari
pedangang pengumpul atau langsung dari petani. Pedagang grosir ini mengolah
padi menjadi beras di unit penggilingan padi milik mereka dan jika peadagang
grosir itu tidak memiliki unit penggilingan padi biasanya mereka menyewa unit
penggilangan padi di sekitar tempat hasil panen dibeli. Pedagang Ijon yaitu
pedagang yang membeli hasil panen dengan sistem ijon.
BAB II
PEMBAHASAN

Saat ini pemerintah telah menetapkan program ketahanan pangan


sebagai prioritas utama dalam kebijakan pembangunan pertanaian. Dalam
program ini mencakup usaha-usaha untuk meraih kembali swasembada pangan
yang pada tahun 1984 berhasil dicapai. Akan tetapi usaha pencapain
swasembada pangan ataupun kecukupan pangan ini dihadapkan masalah
semakin merosotnya kualitas sumberdaya lahan pertanian, sehingga
mengancam usaha pertanian kedepan. . Tidaklah berlebihan ungkapan bahwa :
bumi ini bukanlah warisan nenek moyang kita, namun merupakan titipan anak
cucu kita mendatang, yang mengandung makna kita mempunyai kewajiban untuk
mengelola dan memelihara bumi (lahan) ini dengan sebaik-baiknya. Pada tulisan
ini akan kami sampaikan keprihatinan kondisi lahan yang semakin terdegradasi
yang mengancam keberlanjutan usaha pertanian mendatang. Merupakan
tanggung jawab kita bersama untuk melestarikan lahan kita agar tetap produktif
dan terhindar dari ancaman degradasi akibat berbagai kegiatan pembangunan
yang tidak terkendali dan tidak ramah lingkungan, sehingga nantinya lahan yang
akan kita wariskan pada anak cucu kita masih mempunyai daya dukung yang
optimal.
Kondisi yang optimal ini akan menjamin usaha pertanian yang
berkelanjutan dimasa datang. Kita sadari bahwa kegiatan pembangunan
disamping akan menghasilkan manfaat juga akan membawa resiko (dampak
negatip). Keduanya harus di perhitungkan secara seimbang. Dampak negatip
harus kita hilangkan atau kita tekan menjadi seminim mungkin. Kegiatan
pembangunan yang berpotensi menimbulkan dampak terhadap degradasi lahan
antara lain kegiatan deforesterisasi, industri, pertambangan, perumahan, dan
kegiatan pertanian sendiri. Apabila kegiatan tersebut tidak dikelola dengan baik,
maka akan mengakibatkan terjadinya degradasi lahan pertanian yang
mengancam keberlanjutan uasaha tani dan ketahanan pangan. Oleh karenanya,
dalam kegiatan pembangunan hendaknya harus dipikirkan keberlanjutannya
dimasa mendatang (sustainabilitas).
Dalam praktek budidaya pertanian sendiri sering akan menimbulkan
dampak pada degradasi lahan. Dua faktor penting dalam usaha pertanian yang
potensial menimbulkan dampak pada sumberdaya lahan, yaitu tanaman dan
manusia (sosio kultural) yang menjalankan pertanian. Diantara kedua faktor,
faktor manusialah yang berpotensi berdampak positip atau negatip pada lahan,
tergantung cara menjalankan pertaniannya. Apabila dalam menjalankan
pertaniannya benar maka akan berdampak positip, namun apabila cara
menjalankan pertaniannya salah maka akan berdampak negatif. Kegiatan
menjalankan pertanian atau cara budidaya pertanian yang menimbulkan dampak
antara lain meliputi kegiatan pengolahan tanah, penggunaan sarana produksi
yang tidak ramah lingkungan (pupuk dan insektisida) serta sistem budidaya
termasuk pola tanam yang mereka gunakan. Pembangunan pertanian
konvensional yang telah kita lakukan masa lalu nampaknya belum menjamin
keberlanjutan program pembangunan pertanian. Kita berevaluasi diri, setelah
lebih dari 30 tahun menerapkan pembangunan pertanian nasional kita
menghadapi beberapa indikator yang memprihatinkan :
(1) tingkat produktivitas lahan menurun,
(2) tingkat kesuburan lahan merosot,
(3) konversi lahan pertanian semakin meningkat,
(4) luas dan kualitas lahan kritis semakin meluas,
(5) tingkat pencemaran dan kerusakan lingkungan pertanian
meningkat,
(6) daya dukung likungan merosot,
(7) tingkat pengangguran di pedesaan meningkat,
(8) daya tukar petani berkurang,
(9) penghasilan dan kesejahteraan keluarga petani menurun, dan
(10) kesenjangan antar kelompok masyarakat meningkat.

Dari evaluasi tersebut degradasi lahan yang berupa penurunan daya


dukung lahan dan pencemaran lahan pertanian nampaknya menjadi ancaman
yang serius yang harus perlu kita hindari. ekrusakan sumberdaya alam dan
lingkungan umumnya terjadi karena campur tangan manusia, atau akibat
bencana alam seperti banjir dan longsor, sedimentasi, letusan gunung berapi,
dan lain lain. Sedangkan pencemaran, umumnya disebabkan oleh dampak
penggunaan bahanbahan kimia yang menghasilkan limbah berbahaya/B3 akibat
aktivitas manusia sejalan dengan pesatnya pembangunan di berbagai bidang,
seperti industri dan pertambangan, serta kegiatan pertanian yang menggunakan
bahanbahan agrokimia khususnya pupuk dan pestisida.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa pembangunan di tanah air telah
menimbulkan berbagai dampak positif bagi masyarakat luas, seperti industri,
pertambangan dan infrastruktur (jalan, jembatan, gedung, dan lain-lain) mampu
menciptakan lapangan kerja dan tumbuhnya perekonomian masyarakat sekitar.
Namun, keberhasilan tersebut seringkali menimbulkan berbagai dampak negatif
yang merugikan masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Pembangunan kawasan
industri di daerah-daerah pertanian produktif menyebabkan berkurangnya luas
lahan (konversi lahan), pencemaran tanah, dan terganggunya kenyamanan serta
kesehatan manusia atau makhluk hidup lainnya. Pada periode 1981-1999 di
Jawa terjadi konversi lahan sawah sekitar 1 juta ha, dan hanya 0,58 juta ha lahan
sawah baru yang mampu dicetak (Agus dan Irawan, 2006). Sejak tahun 1993,
lahan sawah di Indonesia mengalami konversi menjadi perumahan dan
pemukiman, kawasan industri, dan keperluan infrastruktur lainnya, berkurang dari
8,4 juta ha menjadi 7,8 juta ha (Agus dan Irawan, 2006). Sebagian besar lahan
yang dikonversi tersebut terjadi di P. Jawa, terutama pada lahan-lahan pertanian
subur dengan produktivitas tinggi.
Dampak negatif pembangunan industri terhadap lahan pertanian sudah
sangat serius dan perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah dan berbagai
pihak yang terkait, karena telah menyebabkan penurunan kualitas tanah, air
tanah, badan air/sungai, dan produk/ hasil pertanian. Dampak negatif tersebut
disebabkan karena masuknya limbah industri yang mengandung senyawa/unsur-
unsur kimia beracun dan berbahaya (B3)/logam berat ke lahan pertanian,
sehingga mencemari tanah, air tanah, badan air/sungai, dan tanaman. Kasus
pencemaran yang terjadi pada lahan sawah di Kecamatan Rancaekek,
Kabupaten Bandung adalah akibat digunakannya air
S. Cikijing yang tercemar limbah industri tekstil sebagai sumber air irigasi,
telah menyebabkan hasil padi yang biasanya mencapai 6-7 ton gabah/ha
berkurang menjadi sekitar 1-2 ton gabah/ha saja, karena tanahnya mengandung
natrium (Na) yang tinggi (Ramadhi, 2002; Undang Kurnia et al., 2004). Selain
kadar Na yang tinggi, tanah yang tercemar limbah industri tekstil tersebut juga
mengandung Cd, Cr, Cu, Zn, Fe, dan Co dengan konsentrasi cukup tinggi
(Suganda et al., 2002), akibat digunakannya zat pewarna dalam proses
produksinya (dyeing). Hasil penelitian Abdurachman et al. (2000) di Kabupaten
Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah menunjukkan tanah-tanah di lahan sawah
Kecamatan Jaten, Kebakkramat, dan Tasikmadu diketahui mengandung unsur-
unsur logam berat dengan konsentrasi cukup tinggi. Diantara unsur-unsur logam
berat tersebut, beberapa diantaranya, seperti Pb, Cd, Co, dan Cr mendekati
ambang bawah batas kritis (Undang Kurnia et al., 2003).
Kegiatan pertambangan yang berada di sekitar wilayah pertanian
potensial menimbulkan dampak yang merugikan lahan pertanian, khususnya
pertambangan yang menggunakan bahan-bahan kimia berbahaya di dalam
proses produksinya, seperti merkuri (Hg), natrium sianida, atau tambang tersebut
menghasilkan senyawa/unsur kimia berbahaya Aktivitas pertanian juga dapat
menimbulkan dampak yang merugikan, seperti erosi yang mampu menyebabkan
kerusakan dan penurunan produktivitas tanah akibat budidaya yang melampaui
daya dukung lahan dan tidak melakukan upaya pelestarian tanah, serta
penggunaan bahan-bahan agrokimia yang berlebihan.
Pupuk nitrogen, di dalam tanah mengalami proses nitrifikasi atau
denitrifikasi tergantung kondisi tanah, menghasilkan gas N2O yang dilepaskan ke
atmosfer ikut berperan dalam meningkatkan emisi gas rumah kaca (GRK),
berdampak terhadap pemanasan global. Emisi N2O dari tanah ke atmosfer tidak
langsung menyebabkan pencemaran pada lahan pertanian, namun akibat
perubahan iklim global dapat menyebabkan penurunan produktivitas pertanian.
Pupuk P yang digunakan dalam budi daya pertanian dapat menyebabkan
pencemaran tanah, karena pupuk tersebut mengandung logam berat (Setyorini
et al., 2003). Penggunaan pestisida dalam jumlah yang melebihi takaran anjuran,
dapat menyebabkan tercemarnya tanah, dan tanaman.
Beberapa kasus penolakan ekspor produk pertanian dan perikanan pada
beberapa waktu yang lalu disebabkan karena produk tersebut diduga
mengandung residu pestisida yang melampaui batas aman untuk dikonsumsi.
Selain itu, penggunaan pestisida yang tidak terkendali untuk perlindungan
tanaman telah meningkatkan resistensi hama dan penyakit tanaman,
terbunuhnya musuh-musuh alami dan organisme berguna, serta terakumulasinya
zatzat kimia berbahaya di dalam tanah. Selain berbagai isu kerusakan lahan dan
pencemaran tersebut, pencemaran udara termasuk yang potensial berkontribusi
terhadap pemanasan global. Pemanasan global yang diakibatkan oleh
meningkatnya intensitas efek rumah kaca menyebabkan berubahnya iklim dunia,
dan naiknya permukaan air laut, sehingga berdampak luas terhadap produksi
pertanian. Peningkatan efek rumah kaca tersebut disebabkan oleh meningkatnya
gas-gas rumah kaca di atmosfer, seperti CO2, CFC, CH4, dan N2O.
Isu-isu lingkungan, khususnya yang menyangkut kerusakan sumberdaya
lahan pertanian dan pencemaran lingkungan umumnya merupakan dampak dari
kegiatan pembangunan, baik kegiatan pembangunan di bidang non pertanian
maupun kegiatan pertanian itu sendiri. Dampak tersebut berupa
berkurang/menurunnya produktivitas lahan dan tercemarnya produk pertanian
yang dapat mengurangi atau menurunkan kualitas produk pertanian. Kegiatan
pembangunan non pertanian yang potensial menyebabkan kerusakan dan
pencemaran, diantaranya industri, pertambangan, pembukaan lahan untuk
pemukiman dan infrastruktur. Sedangkan kegiatan pertanian yang potensial
menyebabkan kerusakan lahan dan pencemaran lingkungan adalah budidaya
pertanian yang tidak mengindahkan aspek-aspek pelestarian sumberdaya
lahannya, dan penggunaan bahan agrokimia yang melebihi anjuran. Beberapa
sumber dan penyebab kerusakan sumberdaya lahan dan pencemaran
lingkungan adalah penggunaan bahan-bahan agrokimia dalam kegiatan
pertanian, limbah industri dan pertambangan, dan emisi gas rumah kaca.
Bahan-bahan agrokimia terutama pupuk dan pestisida umumnya
digunakan secara luas di dalam budidaya pertanian. Dikenal dua macam pupuk,
yaitu pupuk hara makro dan pupuk hara mikro yang diperlukan tanaman dengan
tingkat kebutuhan atau takaran penggunaan yang berbeda-beda tergantung jenis
tanah dan tanaman. Pupuk hara makro yang dibutuhkan tanaman diantaranya
nitrogen, fosfor, dan kalium. Kalsium, magnesium, dan unsur-unsur hara mikro,
seperti sulfur, seng, dan cobalt dibutuhkan tanaman dalam jumlah sedikit, dalam
konsentrasi tinggi unsur-unsur tertentu dapat meracuni tanaman.
Pupuk nitrogen (N) yang biasa digunakan dalam budidaya pertanian, di
dalam tanah akan mengalami berbagai perubahan. Sebagian dari pupuk
menguap ke udara (volatilisasi), sebagian lagi hilang melalui pencucian atau
erosi. Di daerah beriklim sedang (temperate) 20% N-urea hilang dalam bentuk
NH3, sedangkan di daerah tropik 40-60% N-urea hilang dari sawah sebagai NH3.
Penggunaan pupuk nitrogen dalam takaran tinggi, seperti dijumpai pada
budidaya sayuran dataran tinggi dapat mencemari lingkungan, karena sebagian
besar dari pupuk N hanyut terbawa aliran permukaan dan erosi, bersamasama
dengan unsur-unsur hara lain, sehingga potensial mencemari air tanah, badan
air/sungai, dan lingkungan sekitarnya.
Berbagai jenis pupuk, khususnya sumber pupuk P (fosfor), selain
mengandung unsurunsur hara utama (P2O5), hara sekunder (Ca dan Mg), dan
hara mikro (Fe, Mn, Cu, dan Zn) juga mengandung unsur-unsur logam berat.
Logam berat di dalam pupuk berasal dari bahan baku yang digunakan untuk
pembuatan pupuk. Hasil analisis berbagai jenis pupuk P, diketahui bahwa total
kandungan Pb dalam pupuk P-alam bervariasi dari 5-156 ppm, dan kandungan
Cd bervariasi dari 1-113 ppm. Kandungan logam berat lain, seperti Cr bervariasi
dari 4-452 ppm, Ni berkisar dari 14-241 ppm, dan Co bervariasi dari 0,5-40 ppm.
Selain itu, unsur Hg dan As ditemukan dalam jumlah kecil, berturut-turut < 0,5
ppm dan < 9 ppm (Setyorini et al., 2003).
Pupuk P yang mengandung logam berat bila digunakan untuk
pemupukan dapat menyebabkan pencemaran tanah oleh logam berat tersebut.
Dalam pertumbuhannya, tanaman menyerap unsur-unsur hara dari dalam tanah
berikut logam berat dalam pupuk dan dari dalam tanah, sehingga produk
pertanian dari lahan tersebut dipastikan mengandung logam berat yang sama.
Kondisi seperti ini akan berdampak negatif, karena produk pertanian tersebut
dikonsumsi oleh manusia/mahluk hidup. Akibatnya, walaupun dalam konsentrasi
yang sangat rendah sekalipun, logam berat tersebut lama kelamaan terakumulasi
di dalam tubuh, dan akan berpengaruh terhadap kesehatan manusia/ mahluk
hidup yang mengkonsumsi produk tersebut.
Selain bahan baku pupuk fosfat, batuan induk tanah juga mengandung
logam berat. Pupuk organik, terutama yang menggunakan bahan baku sampah
kota, juga dapat tercemar B3/logam berat akibat berbagai macam limbah rumah
tangga dan sampah kota yang digunakan sebagai sumber pupuk organik
mengandung atau tercemar bahan beracun berbahaya (B3)/logam berat, seperti
eks baterai, kaleng, seng, aluminium foil, dan lain-lain.
Penggunaan pestisida pada budidaya sayuran, khususnya komoditas
bernilai ekonomis diberikan dalam takaran tinggi dan frequensi tinggi, yang
bertujuan untuk menjamin keberhasilan produk tersebut. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa 30-50% dari total biaya produksi hortikultura digunakan
untuk pembelian pestisida (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
1992). Penggunaan pestisida, dalam budidaya pertanian meninggalkan residu
dalam tanah, air, dan tanaman, dan beberapa diantaranya masih cukup
berbahaya bagi kesehatan manusia dan mahluk hidup lainnya. kandungan residu
pestisida pada beberapa komoditas sayuran di Indonesia melebihi ambang batas
yang ditetapkan. Penggunaan pestisida yang berlebihan dalam penanganan
hama tanaman berdampak negatif, yaitu terjadinya pencemaran. Misalnya residu
pestisida dapat menimbulkan endocrine disrupting activities (EDs) atau
gangguan sistem endokrin manusia (hormon reproduksi manusia).
Pembangunan industri banyak dilakukan di kawasan pertanian subur,
produktif, dan potensial untuk peningkatan produksi pangan. Selain mengurangi
luas lahan, pembangunan industri sering menimbulkan permasalahan yang besar
bagi lingkungan pertanian dan masyarakat sekitar, yaitu terjadinya pencemaran
pada tanah melalui limbahnya yang dibuang ke dalam badan air/sungai, dan
umumnya mengandung bahan beracun dan berbahaya (B3)/logam berat.
Pencemaran pada lahan pertanian terjadi akibat badan air/sungai yang tercemar
digunakan sebagai sumber air pemgairan.
Setiap jenis industri menggunakan bahan baku utama dan bahan
pembantu dalam proses produksinya. Bahan-bahan tersebut umumnya
menggunakan senyawa/unsur kimia yang mengandung B3/logam berat, dan
produk sampingannya berupa limbah diperkirakan juga mengandung unsur-
unsur yang sama seperti bahan bakunya (Tabel 6). Limbah tersebut apabila
masuk ke dalam badan air/sungai, dan airnya dimanfaatkan untuk mengairi lahan
pertanian, maka akan terjadi penimbunan bahanbahan beracun (B3) di dalam
tanah, selanjutnya unsur-unsur B3 tersebut akan ikut terserap tanaman dan
terakumulasi di dalam jaringan tanaman.
Beberapa unsur logam berat di dalam tanah seperti Cu, Zn, Co, Cr, dan
Ni nilainya berada di sekitar batas kritis. Meskipun dalam konsentrasi sangat
rendah, logam berat dapat berdampak tidak baik bagi manusia/ mahluk hidup
yang mengkonsumsi produk/hasil pertanian dari lahan yang tercemar.
Pencemaran lahan pertanian oleh limbah B3/logam berat umumnya tidak
menyebabkan tanaman sakit, dan mengurangi hasil pertanian. Namun, apabila
bahan-bahan beracun tersebut masuk ke dalam rantai makanan dan secara
periodik dikonsumsi oleh manusia atau mahluk hidup lain dapat menyebabkan
pencemaran dakhil. Unsur-unsur logam berat/B3 di dalam limbah dapat masuk
ke dalam jaringan tanaman melalui proses fisiologis tanaman.
Penelitian Undang Kurnia et al. (2004) di lahan sawah yang tercemar
limbah industri penyepuhan logam di Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati,
mendapatkan tanahnya mengandung unsur-unsur logam berat. Jerami padi dan
beras hasil panen dari lahan sawah tersebut juga mengandung Cu, Zn, Pb, Cd,
Co, Cr, dan Ni. Hasil penelitian lain di Kecamatan Jaten, Kabupaten Karanganyar
mendapatkan limbah industri bumbu masak (monosodium glutamat, MSG)
mengandung garam natrium (Na) cukup tinggi (Loka Penelitian Pencemaran
Lingkungan Pertanian, 2005). Tanah sawah yang berada di bagian hilir industri
tersebut mengandung Na, dan Pb, Cd, Co, Cr dalam konsentrasi cukup tinggi,
dengan nilai mendekati batas kritis. Natrium (Na) dalam konsentrasi yang tinggi
dapat menyebabkan plasmolisis dan terdispersinya partikel-partikel tanah,
sehingga struktur tanahnya berubah. Struktur tanah sawah yang asalnya
pejal/massif atau gumpal menjadi butir dan lepas, sehingga tidak sesuai lagi
untuk media yang baik bagi pertumbuhan perakaran tanaman.
Saat ini pemerintah telah menetapkan program ketahanan pangan
sebagai prioritas utama dalam kebijakan pembangunan pertanaian. Dalam
program ini mencakup usaha-usaha untuk meraih kembali swasembada pangan
yang pada tahun 1984 berhasil dicapai. Akan tetapi usaha pencapain
swasembada pangan ataupun kecukupan pangan ini dihadapkan masalah
semakin merosotnya kualitas sumberdaya lahan pertanian, sehingga
mengancam usaha pertanian kedepan. . Tidaklah berlebihan ungkapan bahwa :
bumi ini bukanlah warisan nenek moyang kita, namun merupakan titipan anak
cucu kita mendatang, yang mengandung makna kita mempunyai kewajiban untuk
mengelola dan memelihara bumi (lahan) ini dengan sebaik-baiknya. Pada tulisan
ini akan kami sampaikan keprihatinan kondisi lahan yang semakin terdegradasi
yang mengancam keberlanjutan usaha pertanian mendatang. Merupakan
tanggung jawab kita bersama untuk melestarikan lahan kita agar tetap produktif
dan terhindar dari ancaman degradasi akibat berbagai kegiatan pembangunan
yang tidak terkendali dan tidak ramah lingkungan, sehingga nantinya lahan yang
akan kita wariskan pada anak cucu kita masih mempunyai daya dukung yang
optimal. Kondisi yang optimal ini akan menjamin usaha pertanian yang
berkelanjutan dimasa dating
Erosi tanah merupakan penyebab kemerosotan tingkat produktivitas
lahan DAS bagian hulu, yang akan berakibat terhadap luas dan kualitas lahan
kritis semakin meluas. Penggunaan lahan diatas daya dukungnya tanpa
diimbangi dengan upaya konservasi dan perbaikan kondisi lahan sering akan
menyebabkan degradasi lahan Misalnya lahan didaerah hulu dengan lereng
curam yang hanya sesuai untuk hutan, apabila mengalami alih fungsi menjadi
lahan pertanian tanaman semusim akan rentan terhadap bencana erosi dan atau
tanah longsor. Erosi tanah oleh air di Indonesia (daerah tropis), merupakan
bentuk degradasi lahan yang sangat dominan
Perubahan penggunaan lahan miring dari vegetasi permanen (hutan)
menjadi lahan pertanian intensif menyebabkan tanah menjadi lebih mudah
terdegradasi oleh erosi tanah. Akibat degradasi oleh erosi ini dapat dirasakan
dengan semakin meluasnya lahan kritis. Praktek penebangan dan perusakan
hutan (deforesterisasi) merupakan penyebab utama terjadinya erosi di kawasan
daerah aliran sungai (DAS). Sebagai contoh, pada tahun 2000 banyak terjadi
deforesterisasi atau penebangan hutan liar baik di hutan produksi ataupun
dihutan rakyat, yang menyebabkan terjadinya kerusakan hutan dan lahan. Pada
tahun 2000, kerusakan hutan dan lahan di Indonesia mencapai 56,98 juta ha,
sedangkan tahun 2002 mengindikasikan berkembang menjadi 94,17 juta ha,
atau meningkat 65,5 % selama 2 tahun. Kerusakan yang disebabkan erosi tidak
hanya dirasakan dibagian hulu (on site) saja, akan tetapi juga berpengaruh
dibagian hilir (off site) dari suatu DAS. Kerusakan di hulu menyebabkan
penurunan kesuburan tanah dan berpengaruh terhadap kemunduran
produktivitas tanah atau meluasnya lahan kritis. Dibagian hilir kerusakan
diakibatkan oleh sedimentasi yang menyebabkan pendangkalan saluran air dan
sungai dan berakibat terjadinya banjir dimusim penghujan, dan terjadi kekeringan
di musim kemarau.
Erosi tanah merupakan faktor utama penyebab ketidak-berlanjutan
kegiatan usahatani di wilayah hulu. Erosi yang intensif di lahan pertanian
menyebabkan semakin menurunnya produktivitas usahatani karena hilangnya
lapisan tanah bagian atas yang subur dan berakibat tersembul lapisan cadas
yang keras. Penurunan produktivitas usahatani secara langsung akan diikuti oleh
penurunan pendapatan petani dan kesejahteraan petani. Disamping
menyebabkan ketidak-berlanjutan usahatani di wilayah hulu, kegiatan usahatani
tersebut juga menyebabkan kerusakan sumberdaya lahan dan lingkungan di
wilayah hilir, yang akan menyebabkan ketidak-berlanjutan beberapa kegiatan
usaha ekonomi produktif di wilayah hilir akibat terjadinya pengendapan sedimen,
kerusakan sarana irigasi, bahaya banjir dimusim penghujan dan kekeringan
dimusim kemarau.
Tingkat pencemaran dan kerusakan lingkungan di lingkungan pertanian
dapat disebabkan karena penggunaan agrokimia (pupuk dan pestisida) yang
tidak proporsional. Pada tahun enampuluhan terjadilah biorevolusi dibidang
pertanian, yang dikenal dengan revolusi hijau dan telah berhasil merubah pola
pertanian dunia secara spektakuler, yaitu dengan dikenalkannya penggunaan
agrokimia, baik berupa pupuk kimia maupun obat-obatan (insektisida). Memang
dengan revolusi hijau tersebut, produksi pangan dunia meningkat dengan tajam,
sehingga telah berhasil mengatasi kekhawatiran dunia akan adanya krisis
pangan. Namun dampak penggunaan agrokimia mulai dirasakan saat ini.
Dampak negatip dari penggunaan agrokimia antara lain berupa pencemaran air,
tanah, dan hasil pertanian, gangguan kesehatan petani, menurunya
keanekaragaman hayati, ketidak berdayaan petani dalam pengadaan bibit,
pupuk kimia dan dalam menentukan komoditas yang akan ditanam.
Penggunaan pestisida yang berlebih dalam kurun yang panjang, akan
berdampak pada kehidupan dan keberadaan musuh alami hama dan penyakit,
dan juga berdampak pada kehidupan biota tanah. Hal ini menyebabkan
terjadinya ledakan hama penyakit dan degradasi biota tanah. Perlu difikirkan
pada saat ini residu pestisida akan menjadi faktor penentu daya saing produk-
produk pertanian yang akan memasuki pasar global. Penggunaan pupuk kimia
yang berkonsentrasi tinggi dan dengan dosis yang tinggi dalam kurun waktu
yang panjang menyebabkan terjadinya kemerosotan kesuburan tanah karena
terjadi ketimpangan hara atau kekurangan hara lain, dan semakin merosotnya
kandungan bahan organik tanah. Misalnya petani menggunakan urea (hanya
mengandung hara N) dalam dosis tinggi secara terus menerus, sementara
tanaman mengambil unsur hara tidak hanya N (nitrogen) dalam jumlah yang
banyak, maka akan terjadi pengurasan hara lainnya. Unsur hara pokok yang
dibutuhkan tanaman semuanya ada 16 unsur, sehingga apabila tidak
ditambahkan akan terjadi pengurasan hara lainnya (15 hara) dan pada saatnya
akan terjadi kemerosotan kesuburan karena terjadi kekurangan hara lain.
Dilaporkan dipersawahan yang intensif missal Delanggu diduga kekurangan hara
mikro Zn dan Cu. Memang seyogyanya semua hara yang dibutuhkan tanaman
perlu ditambahkan, namun yang demikian sulit dilakukan. Kecuali dengan
penambahan pupuk organik secara periodik yang mengandung hara lengkap
yang sekarang semakin jarang dilakukan petani.
Penanaman varietas padi unggul secara mono cultur tanpa adanya
pergiliran tanaman, akan mempercepat terjadinya pengusan hara sejenis dalam
jumlah tinggi dalam kurun waktu yang pendek. Hal ini kalau dibiarkan terus
menerus tidak menutup kemungkinan terjadinya defisiensi atau kekurangan
unsur hara tertentu dalam tanah. Akibat dari ditinggalkannya penggunaan pupuk
organik berdampak pada penyusutan kandungan bahan organik tanah, bahkan
banyak tempat-tempat yang kandungan bahan organiknya sudah sampai pada
tingkat rawan, sekitar 60 persen areal sawah di Jawa kadungan bahan
organiknya kurang dari 1 persen. Sementara, sistem pertanian bisa menjadi
sustainable (berkelanjutan) jika kandungan bahan organik tanah lebih dari 2 %.
Bahan oraganik tanah disamping memberikan unsur hara tanaman yang lengkap
juga akan memperbaiki struktur tanah, sehingga tanah akan semakin remah.
Namun jika penambahan bahan organik tidak diberikan dalam jangka panjang
kesuburanfisiknya akan semakin menurun
Pencemaran dan kerusakan lingkungan di lingkungan pertanian dapat
juga disebabkan karena kegiatan industri. Pengembangan sektor industri akan
berpotensi menimbulkan dampak negatip terhadap lingkungan pertanian kita,
dikarenakan adanya limbah cair, gas dan padatan yang asing bagi lingkungan
pertanian. Dampak yang ditimbulkan dapat berupa gas buang seperti belerang
dioksida (SO2) akan menyebabkan terjadinya hujan asam dan akan merusak
lahan pertanian. Disamping itu, adanya limbah cair dengan kandungan logam
berat beracun (Pb, Ni, Cd, Hg) akan menyebabkan degradasi lahan pertanian
dan terjadinya pencemaran dakhil. Limbah cair ini apa bila masuk ke badan air
pengairan, dampak negatipnya akan meluas sebaranya. Penggalakan terhadap
program kalibersih dan langit biru perlu dilakukan, dan penerapan sangsi bagi
pengusaha yang mengotori tanah, air dan udara.
Usaha pertambangan besar sering dilakukan diatas lahan yang subur
atau hutan yang permanen. Dampak negatif pertambangan dapat berupa
rusaknya permukaan bekas penambangan yang tidak teratur, hilangnya lapisan
tanah yang subur, dan sisa ekstraksi (tailing) yang akan berpengaruh pada
reaksi tanah dan komposisi tanah. Sisa ektraksi ini bisa bereaksi sangat asam
atau sangat basa, sehingga akan berpengaruh pada degradasi kesuburan tanah.
Semakin meningkatnya kebutuhan akan bahan bangunan terutama batu bata
dan genteng, akan menyebabkan kebutuhan tanah galian juga semakin banyak
(galian C). Tanah untuk pembuatan batu bata dan genteng lebih cocok pada
tanah tanah yang subur yang produktif. Dengan dipicu dari rendahnya tingkat
keuntungan berusaha tani dan besarnya resiko kegagalan, menyebabkan lahan-
lahan pertanian banyak digunakan untuk pembuatan batu bata, genteng dan
tembikar. Penggalian tanah sawah untuk galian C disamping akan merusak tata
air pengairan (irigasi dan drainase) juga akan terjadi kehilangan lapisan tanah
bagian atas (top soil) yang relatif lebih subur, dan meninggalkan lapisan tanah
bawahan (sub soil) yang kurang subur, sehingga lahan sawah akan menjadi tidak
produktif.
Konversi lahan pertanian yang semakin meningkat akhir-akhir ini
merupakan salah satu ancaman terhadap keberlanjutan pertanian. Salah satu
pemicu alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan lain adalah rendahnya isentif
bagi petani dalam berusaha tani dan tingkat keuntungan berusahatani relatif
rendah. Selain itu, usaha pertanian dihadapkan pada berbagai masalah yang
sulit diprediksi dan mahalnya biaya pengendalian seperti cuaca, hama dan
penyakit, tidak tersedianya sarana produksi dan pemasaran. Alih fungsi lahan
banyak terjadi justru pada lahan pertanian yang mempunyai produktivitas tinggi
menjadi lahan non-pertanian. Dilaporkan dalam periode tahun 1981- 1999,
sekitar 30% (sekitar satu juta ha) lahan sawah di pulau Jawa, dan sekitar 17%
(0,6 juta ha) di luar pulau Jawa telah menyusut dan beralih ke non-pertanian,
terutama ke areal industri dan perumahan.
Banyak areal lumbung beras nasional kita yang beralih guna seperti
dipantura dan seperti pusat pembangunan di dalam pinggir perkotaan. Daerah
pertanian ini umumnya sudah dilengkapi dengan infrastruktur pengairan
sehingga berproduksi tinggi. Alih guna lahan sawah ke areal pemukiman dan
industri sangat berpengaruh pada ketersedian lahan pertanian, dan ketersediaan
pangan serta fungsi lainnya. Konsep pertanian berkelanjutan haruslah menjamin
kualitas lahan kita tetap produktif dengan menerapkan upaya konservasi dan
rehabilitasi terhadap degradasi.
Kebijakan pembangunan pertanian dewasa ini lebih banyak terfokus
kepada usaha yang mendatangkan keuntungan ekonomi jangka pendek dan
mengabaikan multifungsi yang berorientasi pada keuntungan jangka panjang dan
keberlanjutan (sustainabilitas) sistem usaha tani. Pertanian berkelanjutan, suatu
bentuk yang memang harus dikembangkan jika kita ingin menjadi pewaris yang
baik yang tidak semata memikirkan kebutuhan sendiri tetapi berpandangan
visioner ke depan. Pembangunan pertanian berkelanjutan menyiratkan perlunya
pemenuhan kebutuhan (aspek ekonomi), keadilan antar generasi (aspek sosial)
dan pelestarian daya dukung lingkungan/lahan (aspek lingkungan). Sehingga
harus ada keselarasan antara pemenuhan kebutuhan dan pelestarian
sumberdaya lahannya. Pembangunan pertanian yang dilaksanakan masa lalu
belumlah sepenuhnya menggunakan tiga aspek pembangunan yang
berkelanjutan secara seimbang, sehingga masih banyak keluarga yang tergolong
miskin, dan terjadi degradasi lahan sehingga mengganggu keberlanjutan
pembangunan ekonomi dan sosial.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk menanggulangi dan
mengendalikan kerusakan sumberdaya lahan pertanian dan pencemaran
lingkungan, harus dimulai dengan melakukan kajian atau analisis terhadap
sumber penyebab kerusakan dan pencemaran. Dengan mempelajari dan
mengetahui sumber penyebab kerusakan dan pencemaran, upaya
penanggulangan dan pengendalian dapat dilakukan lebih tepat dan terarah.
Selain sumber penyebab kerusakan dan pencemaran, objek yang terkena
dampak seperti tanah, air tanah, tanaman, sungai/badan air juga merupakan
bagian yang perlu ditanggulangi melalui upaya rehabilitasi dan remediasi.
Kegiatan pembangunan, khususnya di bidang pertanian tentunya tidak
terlepas dari upaya peningkatan produktivitas sumberdaya tanah dan tanaman,
diantaranya melalui penggunaan bahan-bahan agrokimia, yaitu pupuk dan
pestisida. Penggunaan pupuk dan pestisida dalam takaran tinggi umumnya biasa
dilakukan oleh petani sayuran seperti kentang, tomat, cabai, wortel, kubis.
Praktek budidaya pertanian seperti ini dapat menyebabkan tercemarnya tanah,
air tanah, dan tanaman, bahkan lebih luas lagi yaitu dapat mencemari badan
air/sungai. Hasil penelitian di sentra produksi sayuran dataran tinggi di Jawa
Barat memperlihatkan bahwa di dalam tanah dan tanaman terkandung sejumlah
residu pestisida (Muti et al., 2000). Oleh sebab itu kondisi seperti ini perlu segera
diatasi agar lingkungan tetap aman dan berkualitas.
Untuk penanggulangan pencemaran akibat penggunaan pupuk nitrogen
dapat dilakukan melalui peningkatan efisiensi pemberian pupuk, yaitu pupuk
dibenamkan ke lapisan reduksi (deep placement), pemupukan sesuai status hara
tanah, penggunaan penghambat nitrifikasi, dan penggunaan varietas tanaman
dengan efisiensi nitrogen tinggi (Ardiwinata et al., 2007). Untuk mengatasi
permasalahan residu pestisida di dalam tanah dan tanaman dapat dilakukan
dengan cara remediasi (bioremediasi, fitoremediasi), penerapan budidaya
pertanian yang baik dan sehat (good agricultural practices), pengendalian hama
terpadu, penggunaan bioinsektisida, pengendalian residu pestisida secara fisik
(pencucian, pemanasan), dan teknologi arang aktif.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Saat ini sumberdaya lahan pertanian dan lingkungannya banyak yang


sudah mengalami kerusakan dan tercemar B3/logam berat. Oleh sebab itu,
pengelolaan lingkungan pertanian harus dilakukan melalui pengendalian dan
penanggulangan, serta pencegahan terjadinya kerusakan dan pencemaran di
waktu yang akan datang. Pengelolaan lingkungan pertanian dapat berhasil bila
semua kegiatan pengendalian dan penanggulangan didasarkan pada sumber
penyebab utama terjadinya kerusakan dan pencemaran, serta objek yang
terkena dampak.Untuk mengatasi permasalahan tersebut, upaya yang dapat
dilakukan adalah pemulihan atau rehabilitasi tanah sebagai media tumbuh
tanaman dan badan air atau sungai yang digunakan sebagai sumber air
pengairan, sehingga tidak lagi mengandung atau berkurang kandungan logam
berat/B3-nya. Oleh sebab itu, sumber penyebab terjadinya pencemaran, baik itu
sebagai bahan baku utama industri ataupun bahan pembantu termasuk untuk
pengolahan limbah perlu diwaspadai, diteliti dan dipelajari dengan cermat dan
seksama, sehingga upaya pengendalian dan penanggulangannya dilakukan
lebih tepat dan terarah. Rehabilitasi atau remediasi dilakukan terhadap objek
yang terkena dampak, dalam hal ini adalah tanah, air tanah, dan badan
air/sungai sebagai sumber air pertanian.
DAFTAR PUSTAKA
Astari, Tri, N dan Setiawina, Djinar, N. 2016. Pengaruh Luas Lahan, Tenaga
Kerja, dan Pelatihan Melalui Produksi sebagai Variabel Intervening
Terhadap Pendapatan Petani Asparagus Di Desa Pelaga Kecamatan
Petang Kabupaten Badung. Universits Udyana, Bali.
Faridah, Yusuf Tayibnaspis. 2008. Evaluasi Program dan Instrumen Evaluasi
Untuk Program Pendidikan dan Penelitian. Jakarta. Rineka Cipta. 143 hal.
Gomies. L, Rehatta. H, Nandissa. J. . 2012. Pengaruh Pupuk Organik Cair R11
Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Kubis Bunga (Brassica
oleracea var. Botrytis L.).Universitas Pattimura.
Hastarini, Dwi Atmanti. 2010. Kajian Ketahan Pangan Indonesia. Jurnal Ekonomi
dan Manajemen. Vol 21. No 1. Januari 2010. 51 – 60 hal.
Irianto G. 2013. Kedulatan Lahan dan Pangan Mimpi atau Nyata. Direktorat
Jenderal Prasrana dan sarana Pertanian 2013. 148 hal.

Anda mungkin juga menyukai