Anda di halaman 1dari 14

TUGAS SEMINAR MATA KULIAH SURVEILANS GIZI

“Analisa Situasi Pangan dan Gizi”

Dosen Pengampu:

Dr. Slamet Iskandar, SKM, M.Kes

Disusun Oleh:

Risna Daru Retma P07131218021

Alfadia Hidayati P07131218022

Aisha Mahira P07131218032

Rizka Andini P07131218042

Puspita Janti Winangsit P07131218049

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN GIZI DAN DIETETIKA

JURUSAN GIZI

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN YOGYAKARTA

TAHUN 2021
A. Sejarah
Sejak manusia lahir hingga akhir hayatnya, makanan merupakan
kebutuhan manusia yang paling mendasar dalam menunjang kehidupannya.
Makanan harus selalu tersedia setiap harinya, untuk itu diperlukan upaya
untuk mendapatkannya.
Berbagai upaya yang diusahakan diantaranya didapatkan secara
langsung, artinya mereka memelihara binatang ataupun membudidayakan
secara sederhana tumbuhan/kacang-kacangan/umbi-umbian untuk dikonsumsi
sendiri atau mengambil sendiri bahan pangan dari lingkungan. Ada juga yang
didapatkan dengan cara membeli atau menukar dengan bahan lainnya. Bahan
pangan dimaksud kemudian diolah dengan berbagai cara sesuai dengan
kebutuhannya. Perubahan cara pengolahan makanan tentunya sangat
berkaitan dengan pengetahuan yang dimiliki. Semakin maju pengetahuan
maka cara pengolahannyapun semakin berkembang, namun masih tetap
berkaitan dengan upaya pengolahan dasarnya dengan cara membakar dan
merebus.Pangan merupakan bahan makanan yang habis jika dimanfaatkan,
sehingga bahan pangan tersebut sulit nampak jika telah dikonsumsi.
Pengkonsumsian bahan pangan dari masa prasejarah tentu lebih sulit
lagi diketahui, mengingat bekas-bekasnya sudah sangat lama dan cenderung
sulit didapatkan. Berbagai ekskavasi yang telah dilakukan dalam penelitian
arkeologis hanya sedikit yang masih mengindikasikan sisa dari aktivitas yang
berkaitan dengan pangan.
Permasalahan mendasar yang berkaitan dengan pangan pada masa
prasejarah diantaranya: apa saja jenis bahan pangan yang telah ditemukan
sisa-sisanya, untuk kemudian diklasifikasi filumnya sebelum diinterpretasikan
lingkungan hidup bahan pangan dimaksud. Permasalahan lainnya yaitu
bagaimana cara mendapatkan, mengolah atau mengkonsumsi bahan pangan
dimaksud. Keseluruhan proses yang berlangsung dari sejak mendapatkan
hingga mengkonsumsi bahan pangan merupakan sebuah sistem yang telah
dilakukan manusia dari masa prasejarah hingga kini.
Mengikuti paparan FAO, perkembangan konsep ketahanan pangan di
dunia dapat dilihat dalam empat periode longgar berdasarkan perkembangan
kesadaran dunia akan pentingnya ketahanan pangan, yakni tahun 1930–1945,
tahun 1945–1970, tahun 1970–1990, serta tahun 1990–saat ini.
1. Pertama, kurun waktu 1930–1945 yang ditandai dengan situasi
pasca PD I dan peran Liga Bangsa-Bangsa.
Ketahanan pangan mulai menjadi perhatian dunia setelah
sebuah hasil survei tingkat dunia dilaporkan pada tahun 1935.
Hasil survei yang dikemas dalam laporan berjudul “Nutrition and
Public Health” tersebut memperlihatkan terjadinya kekurangan
pangan di negara-negara miskin.
Berdasarkan hasil laporan tersebut, Liga Bangsa-Bangsa
mengadakan pertemuan untuk membahas kebijakan gizi bagi
berbagai negara. Keterlibatan Divisi Kesehatan dan para ahli gizi
terhadap situasi kelaparan dan kekurangan gizi dunia
menghasilkan penjelasan hubungan antara gizi dan ketahanan
pangan. Dalam perkembangannya, Liga Bangsa-Bangsa sepakat
bahwa peningkatan produksi pangan untuk memenuhi kebutuhan
manusia akan membawa kemakmuran bagi pertanian yang juga
berdampak pada industri.
2. Kedua, periode tahun 1945–1970 yang ditandai kemunculan
FAO, situasi surplus pangan, dan bantuan pangan.
Setelah PD II, suplai pangan masih menjadi persoalan di
antara negara-negara berkembang. Badan Pangan Dunia (FAO)
yang baru didirikan mengadakan Survei Pangan Dunia pada tahun
1946 dengan tujuan mengetahui kecukupan pangan, terutama
energi bagi setiap orang di dunia. Hasilnya, sepertiga populasi
dunia pada tahun 1945 tidak mendapatkan energi (kalori) yang
cukup.
Oleh karena itu, dirancang program peningkaan produksi
pertanian dunia hingga kemudian terjadi surplus hasil pertanian
yang mencapai lebih dari 50 persen dalam kurun waktu 1950–1960
di beberapa negara. Situasi tersebut telah mulai disadari oleh FAO
sehingga pada tahun 1952 didirikan Komite Persoalan Komoditas
(CCP) untuk mengelola surplus pertanian yang dihasilkan dari
peningkatan produksi pertanian.
Langkah tersebut diikuti oleh Sidang Umum PBB tahun
1960 dengan mengeluarkan resolusi tentang ketentuan penyaluran
surplus pangan kepada mereka yang  kekurangan pangan melalui
sistem yang dibangun PBB, yakni Program Pangan Dunia (WFP).
Dalam pertemuan internasional Dewan Gandum Dunia di
Roma 1967, disepakati Konvensi Bantuan Pangan (Food Aid
Conventions) sebagai komitmen legal untuk menyediakan bantuan
pangan. Bantuan pangan kemudian menjadi salah satu sarana
dalam membantu negara-negara berkembang, tetapi belum sampai
memunculkan pemahaman tentang ketahanan pangan.
3. Ketiga, periode tahun 1970–1990 yang ditandai dengan kesadaran
pentingnya ketahanan pangan dunia.
Pada awal tahun 1970-an, terjadi perubahan besar karena
iklim yang memburuk di beberapa wilayah dunia sehingga
beberapa negara perlu mengimpor pangan. Dalam Konferensi
Pangan Dunia (WFC) di Roma tahun 1974, kesadaran akan
ketahanan pangan (food security) terbentuk dengan munculnya
beberapa rekomendasi.
Ketahanan pangan dipahami sebagai kemampuan
ketercukupan suplai pangan sepanjang waktu. Oleh karena itu,
muncul rekomendasi untuk meningkatkan produksi komoditas
pangan untuk menjamin ketersediaan pangan. Selain itu, negara-
negara dengan surplus pangan disarankan untuk membantu negara-
negara berkembang yang mengalami kesulitan pangan.
FAO mendirikan Skema Pendampingan Ketahanan Pangan
pada tahun 1976 bagi negara berkembang untuk mencapai
ketahanan pangan. Skema tersebut dijalankan dengan dukungan
pangan dalam jangka waktu terbatas sambil menggenjot produksi
pangan. Skema tersebut dilanjutkan dengan persetujuan Program
Aksi Ketahanan Pangan pada tahun 1979.
Pada awal tahun 1980-an, muncul pemahaman baru dalam
diskusi tentang kelaparan dan ketahanan pangan hasil dari
pendapat Amartya Sen. Argumen yang muncul adalah persoalan
dalam hal kelaparan selama ini tak semata diakibatkan oleh
kurangnya makanan, tetapi lebih karena tiadanya akses orang
miskin atas pangan.
Ketika diskusi dan program ketahanan pangan tahun 1970-
an lebih banyak memberikan perhatian terhadap ketersediaan
pangan tingkat dunia dan nasional, pada tahun 1980-an
berkembang menjadi perhatian terhadap ketahanan pangan di
tingkat rumah tangga dan individu.
Tahun 1983, FAO mengadopsi hasil konferensi Ketahanan
Pangan Dunia yang menyatakan bahwa tujuan utama ketahanan
pangan dunia adalah memastikan bahwa semua orang kapan pun
memiliki akses baik fisik maupun ekonomi terhadap pangan yang
mereka butuhkan. Hal itu diikuti dengan Konferensi FAO 1984
yang mencetuskan dasar ketahanan pangan, yakni menjamin
kecukupan ketersediaan pangan bagi umat manusia dan
terjaminnya setiap individu untuk memperoleh pangan.
Pada tahun 1986, dengan dipengaruhi oleh hasil laporan
Bank Dunia “Poverty and Hunger”, muncul kesadaran akan
distingi antara ketidaktahanan pangan kronis dan sementara.
Ketidaktahanan pangan kronis dihubungkan dengan persoalan
kemiskinan struktural dan pendapatan rendah. Sedangkan
ketidaktahanan pangan sementara dihubungkan dengan tekanan
sementara karena bencana, kejatuhan ekonomi, maupun konflik.
Kesadaran ini memunculkan tambahan definisi bagi
ketahanan pangan, yakni akses kepada setiap orang sepanjang
waktu terhadap pangan yang mencukupi bagi hidup yang aktif dan
sehat.
4. Keempat, periode tahun 1990-saat ini yang ditandai dengan situasi
masa keemasan ketahanan pangan dunia.
Ketahanan pangan dipahami dengan spektrum yang luas,
mulai dari tingkat individu hingga global. Definisi ketahanan
pangan juga semakin luas dengan memasukkan unsur
keseimbangan gisi dalam ketahanan pangan.
Periode ini awali dengan kekeringan yang memicu krisis
pangan di Afrika tahun 1992. Pada tahun yang sama, diadakan
Konferensi Internasional tentang Gizi di Roma. Deklarasi
konferensi tersebut menyetujui penghapusan kelaparan dan
mengurangi segala bentuk kekurangan gizi. Akses terhadap gizi
dan pangan yang cukup dan aman dianggap sebagai hak setiap
manusia. Pangan dunia dianggap cukup untuk semua orang, akan
tetapi kesenjangan akses terhadap pangan menjadi persoalan.
Konferensi FAO Roma 1992 menyempurnakan definisi
ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, yakni kemampuan
rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari
waktu ke waktu agar dapat hidup sehat dan mampu melakukan
kegiatan sehari-hari. Di sini, mulai menguat konsep kedaulatan
pangan (food soverignity) di tingkat rumah tangga dalam mencapai
ketahanan pangan.
Perkembangan penting kesadaran ketahanan pangan terjadi
pada tahun 1996 dalam KTT Pangan Dunia yang diadakan oleh
FAO di Roma. Ketahanan pangan dipahami sebagai situasi “ketika
semua orang, kapan pun, memiliki akses fisik, sosial, dan ekonomi
terhadap pangan yang cukup, aman, dan bergizi sesuai kebutuhan
mereka demi kehidupan yang aktif dan sehat.”
Konferensi ini menampakkan kehendak kuat semua negara
untuk menghapuskan kelaparan dan menyetujui hak setiap orang
terhadap akses pangan yang bergizi dan aman. Hal ini
memunculkan perhatian besar dunia terhadap pentingnya
kedaulatan pangan (food soverignity) dalam mencapai ketahanan
pangan.
Penekanan pada sisi konsumsi dan isu akses terhadap
pangan mengingatkan kembali terhadap diskusi yang dipantik oleh
Amartya Sen pada awal tahun 1980-an. Pada saat itu, Amartya Sen
memfokuskan ketahanan pangan di tingkat individu dan rumah
tangga.
Langkah lain tampak dalam Millennium Development
Goals (MGDs) yang dicanangkan PBB pada tahun 2000. Dalam
MGDs disebutkan, tujuan pertama yang hendak dicapai adalah
penghapusan kemiskinan dan kelaparan.
Dengan adanya krisis pangan 2005 di Nigeria serta krisis
harga pangan dunia tahun 2008, muncul kesadaran tentang aspek
ekonomi (akses) dari ketahanan pangan. Pangan tersedia, panenan
melimpah, tetapi harga pangan terlalu tinggi untuk dapat diperoleh
bagi kebanyakan populasi.

Penemuan Ilmu gizi dalam sejarahnya memiliki dampak positif


terhadap kesehatan dan kesejahteraan di masyarakat. Definisi gizi adalah
suatu proses pengolahan makanan yang dikonsumsi tubuh untuk pertumbuhan
dan penggantian jaringan tubuh. Zat gizi terkandung dalam makanan yang
dikonsumsi. Berikut akan dipaparkan perkembangan ilmu gizi, antara lain :
1. Pada tahun 400 SM, Hippocrates seorang “Bapak Kedokteran”
menyampaikan ilmu kepada muridnya bahwa ‘biarkan makanan
sebagai obatmu dan obat sebagai makananmu. Seorang yang bijak
harus memperhatikan kesehatan sebagai bentuk kesyukuran’
2. Di tahun yang sama, 400 SM, makanan seringkali digunakan
sebagai kosmetik atau obat penyembuh penyakit. Salah satunya
adalah pengobatan penyakit mata, yang sekarang diketahui
sebagai defisiensi vitamin A, diobati dengan meneteskan jus hati
kedalam mata karena vitamin A terkandung dalam jumlah besar
di hati.
3. Tahun 1500aan, seorang seniman dan ilmuwan yaitu Leonardo da
Vinci berupaaya menggambarkan proses metabolisme tubuh yang
diasumsikan dengan proses membakar lilin.
4. Pada tahun 11747, dr.James Lind, seorang ilmuwan dari Inggris
melakukan penelitian pertama mengenai gizi. Pada saat itu, pelaut
yang telah melaut selama bertahun-tahun mengalami penyakit
kulit yaitu kudis dengan gejala rasa nyeri, kulit mati dan terjadi
perdarahan. Setelah diteliti diketahui bahwa dalam pelayaran
tersebut, stok makanan umumnya terdiri dari daging kering dan
roti, karena makanan segar tidak akan bertahan lama. Dalam
eksperimennya, Lind memberikan pelaut-pelaut tersebut air laut,
cuka dan lemon. Hasilnya bahwa pelaut yang diberikan lemon
tidak mengalami penyakit kulit yang kini diketahui bahwa lemon
merupakan buah yang mengandung vitamin C.
5. Pada tahun 1770, Bapak Gizi dan Kimia, Antoine Lavoisier
menemukan proses nyata bagaimana proses metabolisme
makanan. Dia mendemostrasikan dengan kejadian pembakaran
makanan dalam tubuh hewan. Dalam rumus perhitungannya, dia
menjelaskan bahwa kombinasi makanan dan oksigen dalam tubuh
merupakan hasil dari pembakaran makanan dalam tubuh dan air.
6. Awal tahun 1880, ditemukan bahwa makanan terdiri dari 4
(empat) komponen utama yaitu kabon, nitrogen, hidrogen dan
oksigen
7. Pada tahun 1840, Justus Liebig of Germany, seorang perintis ilmu
pertumbuhan tanaman menjelaskan bahwa suatu unsur kimia
dalam makanan terdiri atas karbohidrat, lemak dan protein.
Karbohidrat terdiri atas glukosa, lemak terdiri atas asam lemak
dan protein terdiri atas asam amino.
8. Pada tahun 1897, Chistiaan Eijkman, seorang berkebangsaan
Belanda yang bekerja di Pulau Jawa, Indonesia meneliti tentang
penyait yang berkembang di pulau Jawa yang disebut beri-beri
yang berdampak pada kelemahan jantung dan kelumpuhan. Dia
melakukan observassi bahwa ayam yang diberikan makanan
penduduk lokal seperti nasi putih mengalami beri-beri. Tetapi saat
ayam diberikan beras merah yang telah diproses (dengan dedak
luar utuh), ayam-ayam tersebut tidak mengami beri-beri. Eijkman
kemudian memberikan makanan beras merah kepada pasien yang
sakit beri-beri dan kemudian mereka sembuh. Dia menyimpulkan
bahwa makanan dapat menyembuhkan penyakit. Para ahli gizi
kemudian mengetahui bahwa bekatul luar berisi vitamin B1 yang
kini dikenal sebagai thiamin.
9. Pada tahun 1912, E.V.Mc.Collum yang bekerja di Departemen
Pertanian di Amerika Serikat mengembangkan ilmu gizi yang
lebih luas. Dia melakukan eksperimen pada mencit. Hasil
penemuannya bahwa vitamin larut lemak yang ditemukan
pertama kali pada mencit adalah vitamin A dengan uji coba
bahwa mencit yang diberikan makanan mentega lebih sehat
dibandingkan mencit yang diberikan makanan lemak babi, karena
mentega lebih banyak mengandung vitamin A larut lemak.
10. Pada tahun 1912, Dr.Casmir Funk menyatakan bahwa vitamin
merupakan faktor penting dalam diet (konsumsi makanan sehari-
hari). Dia menuliskaan bahwa ada zat yaang tidak terindentifikasi
dalam makanan yang dapat mencegah penyakit kulit, beri-beri
dan pelagra (penyakit akibat defisiensi niasin, vitamin B3). Kata
vitamin berasal dari ‘vital’ dan ‘amine’ karena vitamin
dibutuhkan oleh tubuh dan terdiri atas ‘amine’ suatu kandungan
dari ammonia.
11. Pada tahun 1930, Williaam Rose menemukan bahwa asam amino
esensial merupakan penyusun protein
12. Pada tahun 1940 ditemukan vitamin larut air yaitu vitamin B dan
vitamin C
13. Mulai tahun 1950 sampai sekarang, peran dari zat gizi esensial
bagi proses kehidupan dalam tubuh terus berkembang. Sebagai
contoh, kini peran dari vitamin dan mineral sebagai komponen
enzim dan hormon yang berperan dalam tubuh.
14. Studi padatahun 1970an dan 1980 yang dilakukan Pauling dan
sejawat menemukan bahwa pemberian vitamin C dosis tinggi
yang diberikan secara intravena pada pasien kanker dapat
meningkatkan ketahanan dan kualitas hidup pasien.
15. Sekitar tahun 1994 – 2000 terjadi banyak perkembangan
suplemen vitamin dan mineral. FDA (Food and Drugs
Administration) menyebutkan bahwa suplemen dapat
meningkatkan kesegaran tubuh, fungsi zat gizi dalam tubuh dan
mengurangi gejala penyakit. Walaupun demikian suplemen
makanan tidak perlu dikonsumsi rutin dan dapat dikonsumsi
apabila asupan makanan dalam tubuh kurang.
Ilmu Gizi  di Indonesia dirintis sejak tahun 1950 oleh Bapak Gizi
Indonesia, Prof.Poerwo Soedarmo (1904 – 2003). Istilah Gizi dan Ilmu Gizi
dikenal di Indonesia sekitar awal tahun 1950an, sebagai terjemahan kata ”
Nutrition” dan “Nutrition Science”. Pengesahan kata Gizi sebagai terjemahan
Nutrition dan Nutrition Science, dilakukan oleh Lembaga Bahasa Indonesia
UI. Kata Inggris ‘Nutrition’ dalam bahasa Arab di sebut GHIZAI, dan dalam
bahasa Sanksekerta SVASTAHARENA. Keduanya artinya sama, makanan
yang menyehatkan. Atas petunjuk tersebut Prof.Poerwo Soedarmo memilih
kata GIZI sebagai terjemahan resmi kata nutrition,  yang sejak tahun 1952
kata GIZI itu  sudah dipakai dikalangan  ilmu kedokteran dan kesehatan
masyarakat.  Sedang kata SVASTAHARENA di pakai dalam lambang
organisasi PERSAGI sampai sekarang. Dalam Undang-Undang, istilah GIZI 
resmi dipakai dalam  1). Undang-Undang  no 7 tahun 1996 tentang Pangan
(Pasal 1 no 13,14; Bab III Mutu Pangan dan Gizi, Pasal 27 : 1-4; dan 2)
Undang-Undang no 36 tahun 1999 tentang Kesehatan ,  Bab VIII tentang Gizi
dan pasal 141.
Ilmu Gizi dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari
‘Proses Makanan sejak masuk mulut sampai dicerna oleh organ-organ
pencernakan, dan diolah dalam suatu sistem metabolisme  menjadi zat-zat
kehidupan  (zat gizi dan zat non gizi) dalam darah dan dalam sel-sel tubuh 
membentuk jaringan tubuh dan organ-organ tubuh dengan fungsinya masing-
masing  dalam suatu sistem, sehingga menghasilkan  pertumbuhan (fisik) dan
perkembangan (mental), kecerdasan, dan produktivitas sebagai syarat 
dicapainya tingkat kehidupan sehat, bugar dan sejahtera. Sedangkan ilmu gizi
masyarakat adalah ilmu gizi yang diaplikasikan untuk masyarakat luas yang
tidak hanya dikaitkan dengan masalah kesehatan masyarakat, tetapi juga
dengan masalah-masalah ekonomi, kemiskinan, pertanian, lingkungan hidup,
pendidikan, kesetaraan gender, dan masalah-masalah pembangunan manusia
lainnya. Secara ringkas bahwa ilmu gizi adalah ilmu yang mempelajari
hubungan makanan dengan kesehatan.
B. Pengertian
Pengertian analisis situasi pangan dan gizi adalah kegiatan
pengamatan terhadap kondisi pangan dan gizi masyarakat yang bertujuan agar
pengambilan keputusan dalam penentuan kebijakan dan program-program
dapat terarah kepada perbaikan pangan dan gizi masyarakat terutama dari
golongan miskin. Analisis situasi pangan dan gizi bertujuan untuk
menyediakan informasi secara berkesinambungan tentang keadaan pangan
dan gizi masyarakat dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Melalui kegiatan analisis situasi pangan dan gizi yang didasarkan pada
data laporan rutin yang tersedia, atau berdasar hasil survei-survei khusus,
dapat dijadikan bahan pengambilan Keputusan ataupun Tindakan Penanganan
Masalah Krisis Pangan dan Gizi. Informasi yang dihasilkan menjadi dasar
perencanaan, penentuan kebijakan, koordinasi program, kegiatan
penanggulangan kerawanan pangan dan gizi serta evaluasi program jangka
panjang maupun jangka pendek.
C. Tujuan
Hasil SKPG dapat digunakan sebagai dasar pelaksanaan investigasi
untuk menentukan tingkat kedalaman kejadian kerentanan pangan dan gizi di
lapangan serta intervensi dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan
masyarakat (Pangan, 2021). Tujuannya yaitu:

1) Menganalisis situasi pangan dan gizi


2) Mengetahui deteksi dini daerah rentan pangan;
3) Mengantisipasi terjadinya rentan pangan;
4) Memberikan informasi tentang situasi pangan dan gizi kepada masyarakat,
OPD, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Pihak pengambil
Kebijakan.
Secara Nasional Tujuan Kegiatan SKPG (BKP, 2019) yaitu:
1) Menyediakan informasi secara berkesinambungan tentang situasi pangan
dan gizi suatu wilayah.
2) Menyusun rekomendasi kebijakan ketahanan pangan dan gizi.
D. Kegiatan
Ruang lingkup kegiatan SKPG pada dasarnya terdiri atas 3 (tiga)
kegiatan yang bersifat simultan yang dilaksanakan dalam suatu kerangka
waktu tertentu yang mengedepankan pentingnya menemukan isyarat dini
untuk mencari alternatif intervensi yang relevan dan dilaksanakan tepat
waktu. Tiga kegiatan tersebut meliputi:(1) Pengumpulan data;(2) Pengolahan
dan analisis data; dan (3) Penyajian dan diseminasi informasi.
Ruang Lingkup Kegiatan SKPG.
Output kegiatan SKPG adalah :
1. Tersedianya informasi situasi pangan dan gizi wilayah.
2. Tersusunnya rekomendasi kebijakan pangan dan gizi.
Outcome Kegiatan SKPG adalah meningkatnya kewaspadaan pangan
dan gizi untuk mendukung ketahanan pangan.
E. Siapa Yang Terlibat
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Mahfi (2008) di Kabupaten
Lampung Barat, perumusan dalam kebijakan ketahanan pangan dan gizi
dilakukan oleh pejabat yang tergabung dalam Dewan Ketahanan Pangan
Kabupaten yaitu wakil bupati, wakil ketua DPRD, sekretaris daerah, kepala
Bappeda, kepada dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura (TPH), kepala
dinas perkebunan, kepala dinas peternakan dan kesehatan hewan, kepala
dinas perikanan, kepala dinas kehutanan, kepala dinas perindustrian dan
perdagangan, kepala dinas koperasi, kepala dinas kesehatan, kepala badan
ketahanan pangan dan kepala divisi dolog.
Secara teori, yang terlibat dalam perumusan kebijakan dan analisa
situasi pangan dan gizi adalah lembaga, organisasi, staf, maupun tokoh
masyarakat yang yang mampu dan mengerti mengenai keadaan yang ada di
lapangan dan merumuskan kebijakan untuk keadaan pangan dan gizi yang
lebih terjaga. Sehingga dibutuhkna orang-orang yang kompeten di bidangnya
dan bertanggung jawab dalam pelaksanaannya. Pada umumnya yang terlibat
adalah kepala daerah dan beberapa kepala dinas terkait yang mengurus
mengenai pangan dan gizi di daerah tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

BKP. (2019). Panduan Analisis Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi.


Kristiyanto, Rudi. 2018. Waspadai Rawan Pangan. Klaten: Cempaka Putih.

Kompas. Ketahanan Pangan, Sejarah, Perkembangan, Konsep, dan Ukuran.


https://kompaspedia.kompas.id/baca/paparan-topik/ketahanan-pangan-
sejarah-perkembangan-konsep-dan-ukuran .
Mahfi, T., Setiawan, B. and Baliwati, Y.F., 2008. Analisis situasi pangan dan gizi
untuk perumusan kebijakan operasional ketahanan pangan dan gizi
Kabupaten Lampung Barat. Jurnal Gizi dan Pangan, 3(3), pp.233-238.

Panduan SKPG. 2019. BKP Pertanian.


http://bkp.pertanian.go.id/storage/app/media/PPID%202019/Panduan
%20SKPG%202019_cetak.pdf

Pangan, D. K. (2021, Maret 10). Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG).
Retrieved from Dinas Ketahanan Pangan Indramayu:
https://dkp.indramayukab.go.id/sistem-kewaspadaan-pangan-dan-gizi-
skpg/#:~:text=1)%20Menganalisis%20situasi%20pangan%20dan,LSM)
%20dan%20Pihak%20pengambil%20Kebijakan.

Soekirman, 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya. Direktorat Jendral Pendidikan


Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.
Susilowati, N., Soedewo, E., Koestoro, L.P. (eds.). 2009. Jejak Pangan dalam
Arkeologi. Seri Warisan Budaya Sumatera Bagian Utara No. 0409. Balai
Arkeologi, Medan. 55–70p.

Anda mungkin juga menyukai