Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada masa globalisasi sekarang ini, isu-isu yang tersebar di khasanah

internasional semakin beragam, terutama sekali pada problematika

ketahanan pangan yang hingga saat ini masih menjadi perbincangan hangat

di berbagai Negara. Menurut Undang-undang Nomor 12 Tahun 2018 Pasal

1 (Satu) tentang pangan, Pangan merupakan segala sesuatu yang berasal dari

sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang

diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia,

termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang

digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan

makanan atau minuman.

Pangan merupakan kebutuhan manusia yang paling asasi, sehingga

ketersediaan pangan bagi masyarakat harus selalu terjamin.1 Krisis pangan

ini di perparah dengan krisis energi yang menyebabkan sektor industri dan

ekonomi menurun. Kondisi tersebut mengakibatkan tingkat pengangguran

dan kemiskinan meningkat. Hal ini merupakan fenomena sebab-akibat yang

saling berhubungan satu sama lain.2

Ketahanan pangan ini juga memiliki kaitan atau hubungan dengan

hukum. Ketahanan pangan merupakan sebuah hasil dari Konferensi United

Nation Conferenceon Food and Agriculture yang diselenggarakan pada

1
Akbar Kurnia Putra, Agreement on Agriculture dalam World Trade Organization, Jurnal
Hukum dan Pembangunan , Volume 6 No. 1, 2016, hal 91
2
Sherina Caroline Nainggolan, Analisis Yuridis Hak Atas Pangan Bagi Warga Negara Di
Masa Pandemi Virus Corona, Skripsi, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Stara, 2021, hal. 5

1
2

tahun 1945 yang berlokasi di Amerika Serikat dan dihadiri oleh sebanyak 44

negara yang dimana yang dimana hukum internasional berada pada

posisinya sebagai hukum yang sebenarnya guna di pedomani oleh negara-

negara yang menjadi anggota dari perserikatan bangsa-bangsa.

Ketersediaan pangan dan kemampuan masyarakat untuk mengaksesnya,

serta menjadi urgensi bagi sebuah negara untuk menciptakannya, dimana

ketahanan pangan dapat terwujud apabila ketersediaan lahan berkelanjutan

tersedia sesuai dengan teori yang di gunakan dalam penelitian ini yaitu teori

kehendak bersama demi kepentingan negara. Supaya ketersediaan lahan

terpenuhi dan ketahanan tercapai maka perlu adanya regulasi atau aturna

yang jelas dari pemerintah, dimana regulasi ini diwujudkan dalam bentuk

peraturan tertulis seperti Undang-Undang atau peraturan kebijakan lainnya

yang merupakan produk hukum.

Pada dasarnya komitmen atas pangan merupakan hak asasi manusia

yang tertuang dalam dokumen :

A. Deklarasi Universal Tentang Hak Asasi Manusia (Universal Declaration

of Human Rights) Pasal 25 nomor 1 pada tahun 1948 yang menyatakan

bahwa:

Setiap orang berhak atas taraf kehidupan yang memadai untuk

kesehatan dan kesejahteraan dirinya sendiri dan keluarganya,

termasuk hak atas pangan, sandang, papan, dan pelayanan

kesehatan, pelayanan sosial yang diperlukan, serta hak atas

keamanan pada saat menganggur, sakit, cacat, ditinggalkan oleh


3

pasangannya, usia lanjut, atau keadaan-keadaan lain yang

mengakibatkan merosotnya taraf kehidupan yang terjadi diluar

kekuasaannya.3

B. Konvensi internasional tentang Ekonomi, Sosial, dan Budaya (The

International Convenant on Economic, Social, and Cultural Rights)

Pasal 11 Tahun 1966, menyebutkan:

Negara-negara Peserta Perjanjian, yang mengakui hak hakiki setiap

orang untuk bebas dari kelaparan, akan mengambil tindakan, secara

perorangan dan melalui kerjasama internaisonal, termasuk program

khusus, yang diperlukan :

a) Memperbaiki metode produksi, konservasi dan distribusi makanan

dan memanfaatkan sepenuhnya pengetahuan teknik dan ilmu

pengetahuan, dengan menyebarkan pengetahuan tentang

prinsipprinsip ilmu gizi dan dengan mengembangkan atau

memperbarui sistem agraria sedemikian rupa sehingga mencapai

pembangunan yang pemanfaatan sumberdaya alam yang paling

efisien. Dengan membahas masalah-masalah negara-negara yang

mengimpor dan mengekspor makanan, berusaha menjamin

distribusi yang wajar atas penyediaan makanan dunia yang

diperlukan.bahwa kecukupan pangan dan terbebas dari kelaparan

3
https://www.komnasham.go.id/files/1475231326-deklarasi-universal-hak-asasi--
$R48R63.pdf diakses pada 03/08/22 pukul 15:48.
4

(the fundamental right to freedom from hunger and malnutrition)

adalah hak dasar setiap individu.4

C. Konvensi tentang Hak Anak (International Convention on the Right of

Child) pada tahun 1989, bahwa hak asasi dari setiap anak untuk

memperoleh pangan dan gizi yang layak bagi perkembangan fisik,

mental, spritual, moral, dan sosial anak.

Pengaturan pangan secara tegas dan ideal terdapat pada Food

Assistance Convention April 2012 sebagai berikut:

ARTICLE 1

OBJECTIVES

The objectives of this Convention are to save lives, reduce

hunger, improve food security, and improve the nutritional

status of the most vulnerable populations by:

a. addressing the food and nutritional needs of the most

vulnerable populations through commitments made by the

Parties to provide food assistance that improves access to,

and consumption of, adequate, safe and nutritious food;

b. ensuring that food assistance provided to the most

vulnerable populations is appropriate, timely, effective,

efficient, and based on needs and shared principles; and

c. facilitating information-sharing, cooperation, and

coordination, and providing a forum for discussion in order

4
https://referensi.elsam.or.id/wp-content/uploads/2014/09/Kovenan-Internasional-Hak-
Ekonomi-Sosial-dan-Budaya.pdf diakses pada 04/08/22 pukul 15:50
5

to improve the effective, efficient, and coherent use of the

Parties' resources to respond to needs.. Hal khusus dari

deklarasi tersebut ialah pemberian tekanan pada hak atas

pemenuhan kebutuhan pangan secara cukup (human right to

adequate food). 5

Jika berbicara mengenai pengaturan pangan di negara indonesia

sebenarnya sejak tahun 1996 sudah ada pengaturan pangan yang terdapat

dalam Undang-undang No 7 tahun 1996 namun mengalami perubahan demi

kepentingan pembharuan aturan ke Undang-undang No 18 tahun 2012.

Menurut Undang-undang pangan No 18 tahun 2012 bahwa Pangan

merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya

merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin di dalam Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai komponen

dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas dan juga

Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri

menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat

dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem

Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal.

Akan tetapi, dalam pelaksanaannya justru ketahanan pangan

mengalami permasalahan yang berujung pada krisis pangan secara global.

Persoalan krisis pangan secara global ini banyak terjadi pada negara-negara

berkembang dan tertinggal. Krisis pangan global adalah sebuah peristiwa di

5
https://treaties.un.org/doc/source/signature/2012/ctc_xix-48.pdf diakses pada tanggal
04/08/22 pada pukul 15:53
6

mana harga pangan global mengalami peningkatan yang sangat pesat

sampai semakin tidak terjangkau oleh banyaknya elemen masyarakat hampir

di seluruh belahan dunia.

Guna mengatasi problematika ini, Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB)

pada akhirnya membentuk sebuah organisasi internasional khusus untuk

membantu mengatasi berbagai permasalahan yang terkait pada bidang

pangan dan pertanian yang melanda banyak negara-negara di dunia, yaitu

Food and Agriculture Organization (FAO).

FAO merupakan suatu organisasi khusus yang berada di bawah

payung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang memiliki kantor pusat di

Roma, Italia. FAO dibentuk sebagai sebuah organisasi yang bergerak pada

bidang pangan dan pertanian, dan merupakan sebuah hasil dari Konferensi

United Nation Conference on Food and Agriculture yang diselenggarakan

pada tahun 1945 yang berlokasi di Amerika Serikat dan dihadiri oleh

sebanyak 44 negara. Melalui konferensi ini, akhirnya muncul sebuah

kesepakatan bersama bahwa pentingnya untuk membentuk sebuah

organisasi internasional yang memiliki tugas utama berfokus pada bidang

pangan dan pertanian dunia, termasuk juga mengatasi persoalan krisis

pangan.

Persoalan krisis pangan baru-baru ini juga sedang terjadi tepatnya

pada saat dunia mengalami pandemic Corona Virus Deseade-19 atau yang

disebut dengan Covid-19. Pandemi Covid-19 mewabah hampir diseluruh

negara di dunia yang menyebabkan pada penurunan kemampuan penduduk


7

untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pandemi covid-19 tidak hanya

mengancam kesehatan manusia tetapi juga berdampak tidak langsung

terhadap penurunan daya beli masyarakat, serta penurunan kapasitas

produksi dan distribusi produk bahan pangan. Komponen masyarakat yang

paling rentan terdampak adalah kelompok masyarakat miskin.6

Berdasarkan Laporan FAO dan Program Pangan Dunia Perserikatan

Bangsa-Bangsa (WFP) mencatat bahwa selama pandemic Covid-19 ada 23

negara yang rawan terjadi krisis pangan, seperti Afghanistan, Nigeria,

Republik Afrika Tengah, Angola, Republik Demokratik Kongo, Ethiopia,

Haiti, Kenya, Republik Rakyat Demokratik Korea, Chad, Lebanon,

Kolombia, Somalia, Sudan Selatan, Sudan, Siera Leone, Mozambik,

Madagaskar, Myanmar, Liberia, Suriah, Yaman, Amerika Tengah

(Guatemala, Honduras, Nikaragua), dan Sahel Tengah (Burkina Faso, Mali

dan Niger)., Dari laporan tersebut menekankan lebih dari 4,1 juta orang di

selruuh dunia sekarang beresiko jatuh ke dalam kelaparan , kecuali mereka

menerima bantuan penyelamatan hidup negara.

Oleh karena itu, peran FAO sebagai lembaga pangan dan pertanian

PBB sesuai dengan asas hukum internasional yaitu asas yang didasarkan

pada kewenangan negara untuk melindungi dan mengatur kepentingan

dalam kehidupan masyarakat, dalam hal ini negara dapat menyesuaikan diri

dengan semua keadaan dan peristiwa yang berkaitan dengan kepentingan

6
Endro Gunawan, “Program FAO dalam Penanggulangan Krisis Pangan Akibat Covid-19:
Implikasi dan Manfaat bagi Indonesia”, diakses melalui https://pse.litbang.pertanian.go.id
/ind/index.php /covid-19/berita-covid19/343-program-fao-dalam-penanggulangan-krisis-pangan-
akibat-covid-19-implikasi-dan-manfaat-bagi-indonesia, tanggal akses 12 Maret 2022.
8

umum, jadi hukum tersebut tidak terikat pada batas-batas wilayah suatu

negara., juga diharapkan untuk eksis pada masa pandemic Covid 19 yang

telah merebak dua tahun terakhir ini dengan berbagai dampak pada seluruh

lini kehidupan masyarakat dunia. Pandemi Covid-19 berpengaruh langsung

terhadap sistem pangan global melalui mekanisme supply-demand produk

pangan dan pertanian.

Pengalaman dari wabah-wabah pandemi global sebelumnya seperti

Ebola, Sars dan Avian influenza menunjukkan bahwa sektor kesehatan

adalah sektor yang paling terdampak dan membutuhkan perhatian lebih.

Akan tetapi peran sektor pertanian juga tidak dapat diabaikan mengingat

perannya dalam menjaga ketahanan pangan, sebagai penyangga bagi sektor

lain, dan kemampuannya menghindari bencana yang lebih parah lagi, yaitu

krisis pangan. Kebijakan pembatasan mobilisasi orang dan barang serta

karantina wilayah telah menyebabkan terganggunya distribusi bahan

pangan.

Selain itu, petani tidak dapat bercocok tanam dengan mengikuti

rekomendasi budidaya karena gangguan pada sisi input dan tenaga kerja.

Kondisi tersebut akan berdampak terhadap produksi dan penyediaan bahan

pangan. Belajar dari pengalaman tersebut, maka hal terpenting dalam

menghadapi dampak langsung dari pandemi global adalah melindungi mata

pencaharian (petani) agar tetap berproduksi, serta menjaga kelangsungan

distribusi pangan dari desa ke kota ataupun dari sentra-sentra produksi.


9

FAO sebagai lembaga pangan dunia berkewajiban untuk

mengamankan dan mengantisipasi dampak pandemi global ini melalui 2

aspek: (a) penguatan ketahanan pangan dan (b) mengatasi krisis

kemanusiaan. Pendekatan kegiatan yang dilakukan adalah memperkuat

kegiatan sosial kemanusiaan yang sedang berjalan, mengamankan mata

pencaharian petani agar tetap bisa berproduksi, serta melindungi rantai

distribusi bahan pangan. Pendekatan yang dilakukan FAO untuk

mengantisipasi bencana kemanusiaan akibat Covid-19 didasarkan pada

analisis potensi dampak dan implikasi pandemi bagi ketahanan pangan.

Ada satu titik masuk penting dalam melihat letak Reforma Agraria

yang berkaitan dengan produksi dan distribusi dalam Kovensi Internasional

tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR), yakni Pasal 11

ayat (2) dimana Negara-negara pihak telah mengakui hak dasar setiap orang

untuk bebas dari kelaparan, maka kewajiban-kewajiban mereka dinyatakan

seperti berikut ini:

a) Perbaikan terhadap metode-metode produksi, konservasi dan


distribusi pangan dengan menggunakan secara penuh pengetahuan
ilmiah dan teknis, dengan penyebaran pengetahuan tentang prinsip-
prinsip nutrisi dan dengan mengembangkan atau memperbarui
sistem-sistem agraria (reforming agrarian systems) sedemikian rupa
sehingga mampu mencapai pengembangan dan penggunaan
berbagai macam sumber daya alam dengan sangat efisien
b) “Mempertimbangkan sejumlah masalah-masalah dari negara-
negara pengekspor maupun pengimpor pangan, untuk menjamin
distribusi yang sama atas suplai pangan dunia menurut
kebutuhannya”.7

7
Asbjorn Eide, “Hak atas standar hidup yang layak Termasuk Hak atas Pangan,’’ dalam
ifdhal kasim dan johanes da Masenus arus (editor), Hak Ekonomi, sosial dan budaya: Esai-Esai
pilihan. Jakarta: ELSAM, 2001, hal. 115.
10

Sehubungan dengan kondisi darurat Covid-19 tersebut, FAO

menggelontorkan dana sebesar USD110 juta untuk program keamanan

pangan global, khususnya terhadap penduduk miskin di perdesaan yang

paling rentan terdampak dalam konteks krisis pangan. Usulan dana tersebut

masuk dalam Rencana Tanggap Kemanusiaan Global Covid-19 di bawah

koordinasi PBB dan dapat diakses oleh semua negara terdampak Covid-19.

Peran FAO sebagai organisasi internasional di bawah PBB tidak

terlepas dari adanya hukum internasional.8 Pengaturan pangan global

tercermin dari rencana penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT)

Sistem Pangan Dunia oleh PBB (United Nations Food System Summit-

UNFSS) yang terdiri dari acara Pre-Summit pada 26-28 Juli 2021 dan

puncaknya pada September 2021 di New York.

KTT Sistem Pangan Dunia PBB merupakan KTT yang bertujuan

untuk menciptakan sistem pangan yang lebih sehat, adil, dan berkelanjutan.

KTT ini dimaksudkan untuk menjadi wadah dalam mengentaskan

permasalahan kelaparan dan gizi di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Berdasarkan Laporan SOFI 2021 (State of the Food Security and Nutrition

in the World), lebih dari 811 juta penduduk dunia menghadapi kelaparan

pada tahun 2020 atau meningkat 116 juta dari tahun 2019.

Namun, penyelenggaraan KTT tidak dibangun dari inisiatif negara

anggota PBB (member-states), terkhusus FAO (Food and Agriculture

Organization) ataupun inisiatif para petani, nelayan, buruh, masyarakat sipil

8
Sumaryo Suryokusumo, Pengantar Hukum Organisasi Internasional. Tatanusa. Jakarta,
2007, hal .34.
11

dan organisasi massa, atau lembaga berbasis HAM PBB yang relatif

demokratis, partisipatif, dan berbasis hak seperti Komite Ketahanan Pangan

Dunia (Committee of World Food Security/CFS). Inisiatif

menyelenggarakan KTT ini datang dari Sekjen PBB dan melibatkan Forum

Ekonomi Dunia (World Economic Forum) yang beranggotakan korporasi-

korporasi berkepentingan bisnis. Tentunya, ini berpotensi menyebabkan

konflik kepentingan dan penyimpangan dari visi KTT sendiri yang

bertujuan yang lebih sehat, adil, dan berkelanjutan. Dalam hal ini keadilan

dalam mentransformasi sistem pangan untuk berpihak pada hak rakyat.

Kerjasama strategis PBB-WEF pada 2019 silam dan pengikutsertaan

Agnes Kalibata, Presiden AGRA (Alliance for a Green Revolution in

Africa), sebagai Special Envoy (Utusan Khusus) juga semakin

mengukuhkan kepentingan dan peluang dominasi bisnis dalam prosesnya.

AGRA adalah salah satu organisasi yang didukung dan didanai Gates

Foundation yang punya orientasi mempromosikan Revolusi Industrial

Keempat yang mengonsentrasikan kuasa pada institusi riset dan korporasi

agribisnis, serta mendorong praktik-praktik pertanian industrial berintensif

kimia.

Dasar pelaksanaan KTT tentunya berpengaruh terhadap struktur,

keluaran yang akan dihasilkan, berikut dampak pengaturan sistem pangan

global dalam jangka panjang. Secara struktural, penyelenggaraan KTT

bergeser dari pendekatan multilateralisme, di mana input dan solusi

diwakilkan oleh negara anggota (member-states), ke multipihak atau


12

multistakeholderism dimana semua aktor dalam sistem pangan

diikutsertakan dalam forum penghimpunan aspirasi dan pengambilan

keputusan.

Selain itu, konsekuensi yang lain adalah skema akuntabilitas dalam

struktur ini menjadi tidak jelas. Alih-alih membuat forum pengambilan

keputusan dengan aturan yang jelas dan hukum yang mengikat (legally

binding), di mana negara sebagai pemegang kewajiban yang mandat dan

pertanggungjawabannya jelas mewakili kepentingan rakyatnya, tapi KTT

justru tidak melibatkan lembaga PBB lain yang berkepentingan memastikan

terpenuhinya hak dasar seperti CFS dan ILO juga tidak diikutsertakan.

Negara yang memperoleh tempat dalam memberikan masukan, di

antaranya melalui Dialog Nasional dan Dialog Subnasional dimana

Bappenas sebagai penyelenggaranya justru lebih memberi ruang bagi

kepentingan privat yang juga berbasis pasar, dengan dilibatkannya asosiasi-

asosiasi bisnis yang beranggotakan korporasi-korporasi agribisnis seperti

PISAgro dan World Business Council for Sustainable Development

(WBCSD), dan melalui organisasi non-profit yang bermitra dengan sektor

privat seperti GAIN Indonesia. Seleksi dan invitasi partisipan juga tidak

diketahui apa dasarnya atau bagaimana prosesnya. Per bulan Juli, Bappenas

sudah melaksanakan satu dialog nasional dengan lima dialog subnasional

yang hasilnya akan dibawa ke “Pre-Summit KTT Sistem Pangan Dunia di

Roma pada tanggal 26-28 Juli 2021 ini”.9

9
United Food System Summit, (UNFSS) new york, Amerika serikat September 2021
13

Kemudian dalam KTT system pangan yang dilakukan oleh PBB pada

tahun 2021 atau yang disebut dengan UNFSS 2021 juga tidak membahasa

permasalahan pangan pada masa pandemic covid-19 yang dihadapi oleh

beberapa negara di dunia. Padahal persoalan pangan di masa pandemic ini

perlu mendapat perhatian dan sudah seharusnya PBB menganggap bahwa

persoalah krisis pangan ini sebagai keadaan memaksa yang membutuhkan

aturan yang jelas. Dari kondisi ini maka terjadi kekosongan hukum karena

tidak adanya regulasi internasional yang mengatur tentang permasalahan

pangan di masa pandemic Covid-19.

Dari hal tersebut sesuai dengan konsep hukum internasional yaitu

Hukum Internasional ialah keseluruhan kaedah dan asas yang mengatur

hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara antara: negara dengan

negara; negara dengan subyek hukum lain bukan negara atau subyek hukum

bukan negara satu sama lain. Maka dirasa penyelenggaraan KTT Sistem

Pangan (UNFSS) yang merupakan pertemuan yang seharusnya dapat

menyelesaikan persoalan ketahanan pangan pada negara yang mengalami

dampak krisis pangan dimasa pandemi mempunyai kesalahan, yakni tujuan

pembangunan berkelanjutan di masa pandemi dirasa tidak relevan

dikarenakan penyelesaian pangan di masa pandemi dan juga

menyelenggarakan pembangunan berkelanjutan merupakan 2 topik yang

berbeda, kesalahan prosedur-proses dan kesalahan paradigma sistem pangan

yang bias korporasi dan sekaligus melanggar hak rakyat sebagai pemegang

hak (rights holders), sehingga dengan terjadinya hal tersebut akan


14

mempengaruhi operasional FAO dalam menangani krisis pangan khususnya

selama pandemic Covid 19.

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk membahas mengenai

“Pengaturan Pangan Oleh Food And Agriculture (FAO) Selama Pandemi

Covid 19”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di latar belakang masalah

maka rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagaimana kebijakan pengaturan pangan oleh Food And Agriculture

(FAO) selama pandemi Covid 19?

2. Apa akibat hukum terhadap kebijakan pengaturan pangan oleh Food

And Agriculture (FAO) selama pandemi Covid 19?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui dan menganalisis kebijakan pengaturan pangan

oleh Food And Agriculture (FAO) selama pandemi Covid 19.

b. Untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum terhadap

kebijakan pengaturan pangan oleh Food And Agriculture (FAO)

selama pandemi Covid 19.

2.Manfaat Penelitian

c. Secara teoritis, penelitian ini sebagai sumbangsih penulis dalam

pengembangan Hukum Internasional pada umumnya, khususnya

Hukum Hubungan Internasional dan Organisasi Internasional.


15

d. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbang saran kepada aparat pemerintahan, kalangan

akademisi/mahasiswa dalam pengaturan pangan oleh Food And

Agriculture (FAO) selama pandemi Covid 19.

D. Kerangka Konseptual

Agar lebih mudah untuk memahami maksud penulis, maka perlu

kirannya penulis memberikan definisi atau batasan terhadap konsep-konsep

yang terdapat dalam judul ini, dimana definisi ini berguna bagi penulis

sebagai pengantar pada pengertian awal. Adapun konsep-konsep tersebut

adalah sebagai berikut:

1. Pengaturan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), definisi

pengaturan adalah: “proses, cara, perbuatan mengatur”.10 Maria

Farida Indrarti S. berpendapat bahwa:

Pengaturan atau beliau menyebut dengan istilah perundang-


undangan (legislation) diartikan sebagai “suatu proses, cara dan
atau perbuatan mengatur, yaitu proses pembentukan atau proses
membentuk perundang-undangan, peraturan perundang-
undangan, peraturan Negara, atau aturan hukum tertulis baik di
tingkat pusat maupun di tingkat daerah dan segala peraturan
negara yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan
baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.11

10
http://kbbi.web.id//atur, tanggal akses 10 Maret 2022.
11
Sukamto Satoto, Pengaturan dan Fungsi Badan Kepegawaian Negara, Hanggar Kreator,
Jogjakarta, 2004, hal.2.
16

Pengaturan merupakan: “perbuatan hukum publik pemerintah

yang mengikat secara umum sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang menjadi dasar pengaturannya”.12

2. Pangan

Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati

produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan,

perairan dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah dan

diperuntukkan untuk konsumsi manusia. Ketahanan pangan (food

security) dalam suatu Negara dapat dikatakan sukses apabila berbagai

permasalahan tersebut sudah teratasi. “krisis pangan global selama

beberapa tahun dan telah membawa lebih dari seratus juta orang ke

dalam kemiskinan dan menciptakan tragedy manusia”.13

3. Food And Agriculture (FAO)

Organisasi internasional sebagai wadah kerjasama antar negara

memiliki kedudukan, fungsi dan kekuasaan hukum, dalam arti bahwa

organisasi internasional yang memiliki personalitas hukum dalam

hukum internasional, yang pada hakikatnya menimbulkan hak dan

kewajiban seperti membuat perjanjian internasional, hak untuk

menikmati keistimewaan dan kekebalan diplomatik, hak locus standi14

terbatas di mahkamah internasional, kemampuan untuk mengajukan

12
Ibid.
13
Josina A. Y Wattimena & Vondaal V Hattu, Ketahanan pangan masyarakat adat sebagai
wujud pemenuhan ham dalam masa pandemi covid-19, Volume 27 Nomor 2, April - Juni 2021 :
hal 247 - 266
14
Kedudukan hukum atau locus standi adalah suatu keadaan ketika suatu pihak dianggap
memenuhi syarat untuk mengajukan permohonan penyelesaian sengketa di suatu pengadilan.
17

tuntutan, serta adanya kewajiban dalam arti adanya tanggung jawab

dari organisasi internasional untuk tindakan-tindakan yang dianggap

tidak sah.15

Food and Agriculture Organization (FAO) atau yang juga

sering dikenal dengan Organisasi Pangan dan Pertanian, merupakan

sebuah organisasi yang dibentuk oleh PBB pada bulan Oktober tahun

1945. Organisasi ini dibentuk dengan tujuan untuk menghilangkan

kelaparan dan meningkatkan nutrisi serta standar hidup dengan cara

meningkatkan produktivitas pertanian. FAO juga merupakan sebuah

organisasi antar pemerintah yang memiliki anggota sebanyak 194

negara, dua anggota asosiasi dan satu organisasi Uni Eropa dan

memiliki kantor pusat di Roma, Italia. FAO juga merupakan sebuah

forum untuk mengkoordinasikan upaya pemerintah dan sebagai

sebuah lembaga teknis dalam mengembangkan pertanian, kehutanan,

perikanan dan sumber daya alam lainnya dan sudah hadir dikurang

lebih 130 negara di dunia.

Selanjutnya, FAO juga akan memberikan bantuan secara teknis

kepada proyek di masing-masing negara, meningkatkan program

pendidikan melalui seminar dan pusat pelatihan, menyimpan data

statistik mengenai produksi, perdangangan serta konsumsi komoditas

pertanian dunia dan beberapa program kerja lainnya. Dengan kata lain

FAO juga bisa disebut dengan sebuah lembaga khusus yang secara

15
Ade tiara puteri, Kedudukan Organisasi internasional sebagai wadah kerja sama antar
negara menurut kajian hukum internasional, lex et societatis Vol. VI/No. 6/agust/2018. Hal 27
18

teknis bekerja untuk menghapuskan kemiskinan, memperkuat mata

pencaharian dan ketahanan pangan. FAO juga secara aktif memantau

kondisi ketahanan pangan suatu negara serta mendorong negara untuk

menempuh berbagai upaya demi mencapai ketahanan pangan. Upaya

FAO ini demi mewujudkan kehidupan yang berkelanjutan sesuai

dengan target dalam SDGs.

4. Pandemi Covid 19

Pandemi covid-19 merupakan “Corona virus atau virus corona

merupakan keluarga besar virus yang menyebabkan infeksi saluran

pernapasan atas ringan hingga sedang, seperti penyakit flu. Pada tahun

2019 dunia dikejutkan dengan penyebaran virus covid-19, yang awal

mulanya berkembang di kota Wuhan China dan dengan cepat tersebar

ke semua benua, Asia, Amerika, Eropa dan Afrika dan hampir

dipastikan tidak ada satupun Negara yang tidak terkena dengan virus

yang menular dan mematikan ini, di mana penyebaran virus ini sangat

cepat dapat menyerang beberapa orang sekaligus bahkan seluruh

penduduk atau masyarakat yang ada di dalamnya.16 Banyak orang

terinfeksi virus ini, setidaknya satu kali dalam hidupnya”17.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dikemukakan

bahwa pengaturan pangan oleh Food and Agriculture Organization

(FAO) pada masa ppandemi covid-19 adalah perbuatan hukum publik

16
Sakharina, I. K, Hak Atas pangan di masa pandemi Coronavirus disease Covid-19. Jurnal
Legislatif, 367-384, hal 368 (2020)
17
Rizal Padli, Corona Virus, diakses melalui https://www.halodoc.com
/kesehatan/coronavirus, tanggal akses 20 September 2020.
19

pemerintah yang mengikat secara umum sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang menjadi dasar pengaturan pangan yang

dilakukan oleh organisasi Food and Agriculture Organization (FAO)

atau yang juga sering dikenal dengan Organisasi Pangan dunia,

dimana dalam pengaturna tersebut diatur mengenai krisis pangan

hingga ketahanan pangan suatu negara.

E. Landasan Teoretis

Sesuai dengan permasalahan hukum yang telah dikemukakan dalam

latar belakang, maka landasan teori yang penulis gunakan sebagai landasan

penulisan adalah teori organisasi internasional dengan penjelasan sebagai

berikut:

Teori Kehendak Bersama Demi Kepentingan Negara

Hukum internasional merupakan seperangkat aturan yang ditujukan dan

dibuat oleh negara-negara berdaulat secara ekslusif. Hukum internasional

juga dapat dimaknai sebagai Hukum Antar Bangsa (The Law of Nations),

Hukum Antar Negara (Interstates Law), Hukum Dunia (World Law), dan

Hukum Transnasional (Transnational Law).18

Hukum internasional sendiri memiliki beberapa teori dasar yang

menjadi pengikat pelaksanaan hukum ini, diantaranya adalah teori hukum

alam (natural law theorie), teori kehendak negara (voluntaris theorie), teori

18
I Made Pesek Diantha, Hukum Internasional, Universitas Udayana Press, Denpasar, 2017,
hal. 11
20

kehendak bersama (vereinbarungs theorie), teori norma hukum (mahzab

vienna theorie) dan teori fakta kemasyarakatan (fait social theorie).19

Salah satu dari teori dasar dalam hukum internasional adalah teori

kehendak bersama (vereinbarungs theorie). Teori kehendak bersama

(vereinbarungs theorie) merupakan hasil pemikiran dari tokoh Triepel

(Heinrich Triepel) yang merupakan teori penyempurnaan dari teori

kehendak negara (voluntaris theorie).20

Ajaran dari Triepel mengenai teori kehendak bersama (vereinbarungs

theorie) berusaha membuktikan bahwa hukum internasional itu mengikat

bagi negara, bukan karena kehendak mereka satu per satu untuk terikat,

melainkan karena adanya suatu kehendak bersama (vereinbarungs) yang

lebih tinggi dari kehendak masing-masing negara untuk tunduk pada hukum

internasional.21

Menurut teori ini, hukum internasional mengikat bagi negara karena

adanya suatu kehendak bersama yang lebih tinggi dari kehendak masing-

masing negara untuk tunduk pada hukum internasional.22

Kehendak bersama ini tidak perlu dinyatakan, melainkan secara diam-

diam (implied). Teori ini juga memandang bahwa hukum internasional

hukum perjanjian antar negara. Teori ini juga menjadi dasar perwujudan

kepentingan masing-masing negara dalam hukum internasional, karena

19
Mulyana, Sifat Hakekat Mengikatnya Hukum Internasional, Unikom Press, Jakarta, 2017,
hal. 6
20
Ibid., hal. 15
21
Ibid.
22
Ibid.
21

hukum internasional berasal dari kepentingan negara dan disetujui oleh

negara sebagai kehendak bersama.23

Teori-teori yang mendasarkan berlakunya hukum internasional itu

pada kehendak bersama karena adanya kepentingan negara yang merupakan

pencerminan dari teori kedaulatan dan aliran positivism yang menguasai

alam pikiran dunia ilmu hukum.24

F. Metode Penelitian

1. Tipe Penelitian

Pada penulisan proposal skripsi ini, penulis menggunakan tipe

penulisan yuridis normatif atau penelitian hukum normatif. Berkaitan

dengan penelitian hukum normatif, Bahder Johan Nasution menjelaskan

sebagai berikut:

Karakteristik utama penelitian ilmu hukum normatif dalam

melakukan pengkajian hukum adalah:

a. Sumber utamanya adalah bahan hukum bukan data atau fakta

sosial, karena dalam penelitian ilmu hukum normatif yang dikaji

adalah bahan hukum yang berisi aturan-aturan yang bersifat

normatif. Bahan-bahan hukum tersebut terdiri dari:

a) Bahan Hukum Primer:

1) Peraturan Perundang-undangan;

2) Yurisprudensi;

3) Traktat, convensi yang sudah diratifikasi;


23
Warnet Raha, Teori Hukum Internasional, Gramedia, Jakarta, 2017, hal. 2
24
Dina Sunyowati, Hukum Internasional sebagai Sumber Hukum dalam Hukum
Internasional, Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2, Nomor 1, 2013, hal. 73
22

4) Perjanjian-perjanjian keperdataan para pihak;

b) Bahan Hukum Sekunder:

1) Buku-buku ilmu hukum;

2) Jurnal ilmu hukum;

3) Laporan penelitian hukum;

4) Artikel ilmiah hukum; dan

5) Bahan seminar, lokakarya, dan sebagainya.

b. Pendekatan Yuridis Normatif

Dalam penelitian atau pengkajian ilmu hukum normatif,

kegiatan untuk menjelaskan hukum tidak diperlukan dukungan

data atau fakta-fakta sosial, sebab ilmu hukum normatif tidak

mengenal data atau fakta sosial yang dikenal hanya bahan

hukum, jadi untuk menjelaskan hukum atau untuk mencari

makna dan memberi nilai akan hukum tersebut hanya digunakan

konsep hukum dan langkah-langkah yang ditempuh adalah

langkah normatif.

2. Pendekatan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah sebagai obyek penelitian yang

dibahas dan yang akan dijawab, maka pendekatan penelitian yang

digunakan dalam penulisan proposal skripsi ini adalah:

a) Pendekatan undang-undang (statuta aproach).

Menurut Bahder Johan Nasution, “Pendekatan undang-undang atau

statuta aproach dan sebagian ilmuwan hukum menyebutnya dengan


23

pendekatan yuridis, yaitu penelitian terhadap produk-produk

hukum”.25

b) Pendekatan historis (historical approach).

Menurut Bahder Johan Nasution, ”Pendekatan historis, yaitu

penelitian atau pengkajian terhadap perkembangan produk-produk

hukum berdasarkan urutan-urutan periodesasi atau kenyataan sejarah

yang melatar belakanginya”.26

c) Pendekatan Konsep (conceptual approach)

Menurut Bahder Johan Nasution:

Pendekatan konseptual, yaitu penelitian terhadap konsep-konsep


hukum seperti; sumber hukum, fungsi hukum, lembaga hukum,
dan sebagainya. Konsep hukum ini berada pada tiga ranah atau
tataran sesuai tingkatan ilmu hukum itu sendiri yaitu: tataran
hukum dogmatikkonsep hukumnya teknis yuridis, tataran teori
hukum konsep hukumnya konsep umum, tataran filsafat hukum
konsep hukumnya konsep dasar.27

3. Pengumpulan Bahan Hukum.

Jenis bahan-bahan hukum yang penulis gunakan dalam penulisan

proposal skripsi ini yakni:

a. Bahan Hukum Primer:

1) Food Asisstance Convention 2012

2) Peraturan pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang pangan

3) Undang-undang nomor 18 tahun 2012 Tentang Pangan

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang dapat memberikan

25
Ibid., hal. 92.
26
Ibid.,
27
Ibid.,
24

penjelasan mengenai bahan hukum primer, yaitu:

a) Buku-Buku Kalangan Hukum;

b) Jurnal dan Makalah Hukum;

c. Bahan Hukum Tertier, yakni bahan hukum yang dapat memberikan

petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan

sekunder, yaitu meliputi Black,s Law Dictionary dan Kamus Besar

Bahasa Indonesia (KBBI).

4. Analisis Bahan Hukum.

Untuk menganalisis bahan hukum dalam penulisan proposal skripsi ini,

penulis menggunakan cara:

a. Menginventarisasi semua bahan hukum sesuai masalah yang dibahas.

b. Melakukan sistematisasi bahan-bahan hukum yang berhubungan

dengan masalah yang diteliti.

c. Menginterprestasikan semua peraturan perundang-undangan yang

berhubungan dengan masalah yang dibahas dan menilai bahan-bahan

hukum yang relevan.

G. Sistematika Penulisan

Guna mendapatkan gambaran yang jelas dari pembahasan skripsiini,

maka perlu kiranya disusun secara sistematis. Adapun sistematika yang

dipergunakan dalam penulisan proposal skripsi ini adalah terdiri dari 4

(empat) bab yang secara garis besarnya diuraikan sebagai berikut:

BAB I: PENDAHULUAN, pada bab ini penulis akan menguraikan tentang

latar belakang masalah yang merupakan titik tolak bagi penulis dalam
25

penulisan skripsi ini, selain itu bab ini juga menguraikan mengenai

latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat

penelitian, kerangka konseptual, landasan teoretis, metode penelitian,

sistematika penulisan dan diakhiri dengan Daftar Pustaka.

BAB II: TINJAUAN TENTANG FOOD AND AGRICULTURE

ORGANIZATION (FAO) DAN KETAHANAN PANGAN

Pada bab ini penulis akan menguraikan tentang tinjauan umum

tentang Food and Agriculture Organization (FAO), krisis pangan

dan ketahanan pangan, serta pandemic covid terhadap krisis pangan

BAB III: PENGATURAN PANGAN OLEH FOOD AND AGRICULTURE

(FAO) SELAMA PANDEMI COVID 19

Merupakan pembahasan mengenai kebijakan pengaturan krisis

pangan oleh Food And Agriculture (FAO) selama pandemi Covid 19

dan akibat hukum terhadap kebijakan pengaturan pangan oleh Food

And Agriculture (FAO) selama pandemi Covid 19. Bab ini

merupakan pembahasan yang khusus mengkaji permasalahan kedua

yang terdapat pada bab pertama dengan menggunakan teori-teori

yang ada pada bab kedua guna mendapatkan atau memperoleh

kesimpulan pada bab keempat.

BAB IV PENUTUP

Bab ini merupakan ringkasan dari seluruh uraian sebelumnya yang

dimuat dalam beberapa kesimpulan dan diakhiri dengan saran yang

diharapkan dapat bermanfaat

Anda mungkin juga menyukai